Anda di halaman 1dari 20

KEBIJAKAN PEMBUATAN KARTU IDENTITAS ANAK (KIA)

TERHADAP PENGUATAN PERLINDUNGAN HUKUM ATAS ANAK


BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2013
TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

Oleh:
FITRIA ERRINANDINI SUBANDI
E1A016006

ABSTRAK

Pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)


memberlakukan Kartu Identitas Anak (KIA) yang diharapkan dapat menjadi
identitas bagi anak. Kebijakan KIA didasari oleh tiga regulasi inti, yaitu Undang-
undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Administrasi Kependudukan, Undang-
undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, dan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 2016 Tentang Kartu Identitas Anak.
Permasalahan skripsi ini tentang kebijakan pembuatan KIA dan apakah kebijakan
pembuatan KIA dapat memberikan penguatan perlindungan hukum atas anak di
Indonesia. Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan
pendekatan perundang-undangan dan pendekatan analisis. Bahan hukum yang
digunakan adalah bahan hukum sekunder yang berupa peraturan perundang-
undangan, buku-buku literatur, dan situs-situs internet.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan kebijakan
pembuatan KIA di Indonesia memiliki dasar pertimbangan yang dapat dilihat dari
tiga aspek, yaitu aspek filosofis, aspek yuridis, dan aspek sosiologis. Tujuan KIA
adalah untuk meningkatkan pendataan, perlindungan, dan pemenuhan hak
konstitusional warga negara. Hak-hak yang didapatkan anak sebagai pemegang
kartu identitas anak belum menunjukkan adanya penguatan perlindungan hukum
bagi anak. KIA hanya memenuhi indikator sarana perlindungan preventif. Hal itu
disebabkan, hak-hak tersebut telah diatur dibeberapa konvensi yang telah
diratifikasi.

Kata kunci: Kebijakan, Kartu Identitas Anak (KIA), Perlindungan Hukum


2

THE POLICY OF MAKING IDENTITY CARD OF THE CHILD (KIA)


AGAINST THE STRENGTHENING OF THE LEGAL PROTECTION OF
THE CHILD BASED ON LAW NUMBER 24 OF 2013 ABOUT
POPULATION ADMINISTRATION

By:
FITRIA ERRINANDINI SUBANDI
E1A016006

ABSTRACT

Central government is enforcing Identity Card of the Child (KIA) through


Ministry of Home Affairs and hoping it can be an identity for children. Policy of
Identity Card of the Child (KIA) based on three core regulation, such as Law
Number 24 of 2013 about Population Administration, Law Number 35 of 2014
about Child Protection, Regulation of the Minister of Internal Affairs Number 2 of
2016 about Identity Card of the Child (KIA). A problem in this thesis is about a
policy of making Identity Card of the Child (KIA) and do the policy of making
Identity Card of the Child (KIA) could strengthen the legal protection regarding
children in Indonesia. This research is using juridical normative with an
approach of law and analysis. The substance of law that this research is using are
secondary substance of law such as legislation, literatures, and internet websites.
The outcome of this thesis shown that the policy of making Identity Card of the
Child (KIA) in Indonesia have basic consideration that can be seen through three
aspects such as philosophy, juridical, and sociological. The purpose of Identity
Card of the Child (KIA) is intensifying data collection, protection, and fulfilling
constitutional rights of citizens. The rights that children got as a holder of Identity
Card of the Child (KIA) is shown that there is not yet any strengthen of legal
protection regarding a child. Identity Card of the Child (KIA) is just for the
indicator of preventive protection. This case is caused by the rights is have been
regulated in some of conventions that have been ratified.
Keyword: Policy, Identity Card of the Child (KIA), Legal Protection.
3

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Hukum Administrasi Negara memiliki tujuan yang mengarah
pada perlindungan hukum bagi rakyat, yaitu dalam bentuk pembinaan,
pengayoman, dan partisipasi.1 Hukum Administrasi Negara dapat
dijadikan instrumen yuridis oleh pemerintah dalam rangka melakukan
pengaturan dan pelayanan. Hukum Administrasi Negara juga memuat
aturan normatif tentang bagaimana pemerintahan dijalankan. Hal di atas
sejalan dengan konsepsi Welfare State yang dianut Indonesia, bahwa
tugas utama pemerintah adalah memberikan pelayanan terhadap
masyarakat.
Urusan kependudukan sangat berhubungan erat dengan
administrasi. Seiring pertumbuhan penduduk yang terus mengalami
peningkatan serta semakin heterogen penduduknya maka semakin
kompleks masalah yang ditangani oleh pemerintah, dalam hal ini masalah
kependudukan. Pemerintah harus memberikan pelayanan publik yang
prima kepada masyarakat, melalui instansi-instansi terkait, salah satunya
yakni Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) yang
berupaya mewujudkan tertib administrasi kependudukan secara nasional.
Pemberian Nomor Induk Kependudukan (NIK) sangat berkaitan
erat dengan masalah kependudukan dan dinilai sangat penting untuk
memudahkan pemerintah dalam memenuhi segala urusan kependudukan.
Penduduk juga memiliki hak, yang mana diatur pada Pasal 28D ayat 1
UUD NRI 1945 bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
di hadapan hukum.
Ketentuan pasal tersebut menyatakan bahwa setiap manusia
terutama Warga Negara Indonesia (WNI) tanpa terbatas strata sosial

1
Philipus M. Hadjon dkk., 1994, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hlm 39.
4

maupun usia dalam hal ini ialah anak, berhak mendapatkan pemenuhan
hak konstitusional dengan diberikannya perlindungan. Perlindungan
terhadap anak harus diusahakan oleh setiap orang, baik orang tua,
keluarga, masyarakat, pemerintah maupun negara.
Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)
memberlakukan KIA yang diharapkan menjadi kartu identitas bagi anak.
Kebijakan ini muncul dari adanya pengintegrasian suatu data yang
dilakukan dalam rangka melaksanakan administrasi kependudukan.
Penerbitan KIA bertujuan untuk meningkatkan pendataan, perlindungan,
dan pemenuhan hak konstitusional warga negara.
KIA diharapkan tidak hanya sebagai identitas diri anak, namun
juga sebagai sarana perlindungan bagi anak. Komisi Nasional
Perlindungan Anak (Komnas PA), sepanjang 2015 terjadi 87 kasus
penculikan dan kehilangan anak. Pada Tahun 2016, kasus penculikan dan
kehilangan anak bertambah menjadi 112 kasus. Pada 2017 jumlah kasus
penculikan dan kehilangan anak naik lebih drastis menjadi 196 kasus.2
Maraknya kasus penculikan, pemerkosaan/fedofilia, pencucian
otak, kasus hilangnya anak, membuat adanya identitas bagi anak
sangatlah diperlukan dan menjadikan program KIA harus diterbitkan oleh
pemerintahan saat ini dalam rangka memberikan penguatan perlindungan
hukum bagi anak. Perlindungan hukum bagi rakyat yang menjadi arah
tujuan hukum administrasi negara membuat segala kebijakan pemerintah
yang bersinggungan langsung dengan masyarakat harus diperhatikan.
Dalam rangka mengkaji sebuah kebijakan pembuatan KIA,
penulis akan menelaah perlindungan hukum apakah yang telah diberikan
oleh pemerintah bagi anak sebagai pemilik KIA sehingga pemerintah
harus menerapkan kebijakan ini secara nasional. Berdasarkan uraian latar
belakang di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam
tentang : “KEBIJAKAN PEMBUATAN KARTU IDENTITAS ANAK
2
Dhimas Ginanjar, 2018, Mengerikan: Dalam Dua Tahun Penculikan Anak Naik Dua
Kali Lipat, https://www.jawapos.com/nasional/hukum-kriminal/04/02/2018/mengerikan-
dalam-dua-tahun-penculikan-anak-naik-dua-kali-lipat/, diakses pada 30 Oktober 2019.
5

(KIA) TERHADAP PENGUATAN PERLINDUNGAN HUKUM


ATAS ANAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24
TAHUN 2013 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN”.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah tersusun, maka rumusan
masalah yang hendak diteliti adalah sebagai berikut :
a. Bagaimana dasar pertimbangan kebijakan pembuatan Kartu Identitas
Anak (KIA) yang dilaksanakan oleh pemerintah ?
b. Bagaimana bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada anak
selaku pemegang Kartu Identitas Anak (KIA) ?
3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang tersusun di atas, maka
tujuan penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui dan menganalisis dasar pertimbangan kebijakan
pembuatan KIA yang dilaksanakan oleh pemerintah.
b. Untuk mengetahui dan menganalisis perlindungan hukum yang
diberikan oleh pemerintah terhadap anak selaku pemegang KIA.
4. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara
teoritis dan praktis, yang diantaranya adalah :
a. Kegunaan teoritik
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memperluas
wawasan peneliti, kalangan akademisi, aparat penegak hukum, dan
memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu hukum pada
umumnya serta disiplin ilmu Hukum Administrasi Negara dan
Hukum Kependudukan pada khususnya mengenai Kebijakan
Pembuatan KIA secara nasional oleh pemerintah.
b. Kegunaan praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi
kepustakaan hukum bagi ilmuwan hukum atau masyarakat yang
berkaitan dengan Hukum Administrasi Negara dan Hukum
6

Kependudukan pada khususnya mengenai Perlindungan Hukum


terhadap Anak atas Kebijakan KIA.

B. METODE PENELITIAN
1. Metode Pendekatan : Yuridis Normatif
2. Spesifikasi Penelitian : Preskriptif
3. Sumber Bahan Hukum : Bahan Hukum Sekunder
4. Metode Pengumpulan Data : Studi Kepustakaan
5. Metode Penyajian Data : Teks Naratif
Metode Analisis : Normatif Kualitatif

C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


1. Dasar Pertimbangan Kebijakan Pembuatan Kartu Identitas Anak
(KIA)
Kebijakan adalah suatu arah tindakan yang diusulkan oleh
seseorang, kelompok atau Pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu
yang memberikan hambatan-hambatan dan peluang-peluang terhadap
kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam
rangka mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu sasaran atau
suatu maksud tertentu.3 Dasar dibentuknya sebuah kebijakan pemerintah
dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu aspek filosofis, aspek sosiologis, dan
aspek yuridis. Ketiga aspek tersebut dapat dilihat dari konsideran
peraturan perundang-undangan yang menjadi pelaksana dilaksanakannya
sebuah kebijakan.
Aspek filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa UU yang dibentuk mempertimbangkan
pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana
kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila
dan Pembukaan UUD NRI 1945. Aspek sosiologis merupakan

3
Budi Winarno, 2007, Kebijakan Publik : Teori, Proses, dan Studi Kasus Edisi Revisi,
Yogyakarta : Caps, hlm 17.
7

pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa UU yang dibentuk


untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Aspek
sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai
perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.
Sedangkan, Aspek yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi
permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan
mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang
akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat.4
Aspek filosofis dalam kebijakan ini terletak pada UUD NRI 1945
dalam pasal 27 ayat (1) yang menegaskan bahwa segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
pengecualiannya. Ketentuan dalam UUD NRI 1945 ini jelas sekali, bahwa
hukum tidak membeda-bedakan semua warga negara dalam wilayah
Republik Indonesia, meskipun kenyataannya ada lapisan-lapisan sosial
dalam masyarakat Indonesia.
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
UUD NRI 1945 pada hakikatnya berkewajiban memberikan perlindungan
dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum atas
setiap Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialami oleh
Penduduk Indonesia yang berada di dalam dan/atau di luar wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Negara Kesatuan Republik
Indonesia juga harus menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya.
Selain itu, ketentuan di dalam UUD NRI 1945 Pasal 28D ayat 1 juga
menjadi aspek filosofis kebijakan ini, yang telah menegaskan bahwa

4
Pusat Perancangan Undang-Undang, Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia (DPR RI), 2017, Pedoman Naskah Akademik Rancangan Undang-
Undang, http://www.dpr.go.id/doksetjen/dokumen/reformasi-birokrasi-Quick-Win-
Pedoman-Penyusunan-Naskah-Akademik-Rancangan-Undang-Undang-1507775513.pdf
diakses pada 30 April 2020.
8

setiap manusia terutama warga negara Indonesia (WNI) termasuk anak


berhak mendapatkan pemenuhan hak konstitusional dengan diberikannya
perlindungan.
Aspek sosiologis yang mendasari kebijakan ini adalah masalah
perlindungan anak. Tantangan perlindungan anak sangat beragam, mulai
dari kemiskinan, kepemilikan akta kelahiran dan partisipasi anak. Di
tengah gencarnya sosialisasi pemerintah akan pentingnya registrasi
kelahiran, hampir dua di antara sepuluh anak di Indonesia yang belum
tersentuh program ini. Pemerintah menyadari akan pentingnya menjamin
hak-hak anak khususnya hak atas perlindungan dari segala bentuk
kekerasan, fisik, mental, dan lainnya.
Jumlah penduduk Indonesia dengan rentang usia 0-17 tahun pada
tahun 2018 yang dikategorikan sebagai anak ialah sebesar 79.552.084
jiwa.5 Angka tersebut menunjukkan bahwa komposisi penduduk berusia
0-17 tahun, cukup tinggi. Hal itu mengharuskan pemerintah harus
senantiasa memberikan perhatian lebih terhadap anak untuk menjamin
perlindungannya.
Terkait kepemilikan akta kelahiran, bila peristiwa kelahiran
tidak/belum tercatat dalam akta kelahiran maka dampak terhadap anak
juga tidak sedikit. Banyak permasalahan yang terjadi berpangkal dari
adanya manipulasi (rekayasa) identitas anak. Semakin tidak jelas identitas
seorang anak, maka semakin mudah terjadi eksploitasi terhadap anak.
Keberadaan anak, baik nama maupun silsilah secara de jure dianggap
tidak ada, dan bahkan kewarganegaraannya tidak terlindungi. Termasuk
dalam dampak dari ketiadaan akta kelahiran adalah perdagangan bayi dan
anak, serta eksploitasi terhadap tenaga kerja dan kekerasan terhadap anak.

5
Tri Windiarto, Al Huda Yusuf, dkk, 2019, Profil Anak Indonesia : Kerjasama
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dengan Badan Pusat
Statistik, Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA),
https://www.kemenpppa.go.id/lib/uploads/list/15242-profil-anak-indonesia_-2019.pdf,
diakses pada 15 Mei 2020.
9

Terdapat sejumlah manfaat atau arti penting dari kepemilikan


Akta Kelahiran. Pertama, menjadi bukti bahwa negara mengakui atas
identitas seseorang yang menjadi warganya. Kedua, sebagai alat dan data
dasar bagi pemerintah untuk menyusun anggaran nasional dalam bidang
pendidikan, kesehatan, sosial dan perlindungan anak. Ketiga, merupakan
bukti awal kewarganegaraan dan identitas diri pertama yang dimiliki anak.
Keempat, menjadi bukti sangat kuat bagi anak untuk mendapatkan hak
waris dari orangtuanya. Kelima, mencegah pemalsuan umur, perkawinan
di bawah umur, tindak kekerasan terhadap anak, perdagangan anak,
adopsi ilegal dan eksploitasi seksual. Keenam, sebagai salah satu
instrumen hak anak, karena anak secara yuridis berhak untuk
mendapatkan perlindungan, kesehatan, pendidikan, pemukiman, dan hak-
hak lainnya sebagai warga negara. 6
Dalam hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun
2017, menunjukkan masih rendahnya kepemilikan akta kelahiran anak.
Hasil Susenas 2017 mencatat sekitar 62,19 persen anak memiliki akta
kelahiran dan dapat menunjukkannya. Masih ada sekitar 21,14 persen
yang mengaku memiliki akta kelahiran namun tidak dapat
menujukkannya. Lebih jauh, anak yang tidak memiliki akta kelahiran ada
sekitar 16,39 persen, bahkan ada sekitar 0,28 persen yang tidak tahu
tentang akta kelahiran.7 Dari data tersebut, menunjukkan sebagian besar
anak belum memiliki akta kelahiran. Artinya, Pasal 27 ayat (1) Undang-
Undang Perlindungan Anak belum terlaksana sebagaimana mestinya.
Identitas seseorang dapat dibuktikan salah satunya dengan kartu
identitas. Kondisi yang nyata pada saat ini, anak-anak di bawah usia 17
tahun belum memiliki kartu identitas yang berlaku secara nasional dan

6
Hari Harjanto Setiawan, 2017, Akta Kelahiran Sebagai Hak Identitas Diri
Kewarganegaraan Anak, Sosio Informa Vol. 3, No. 01, Januari - April, Tahun 2017.
Kesejahteraan Sosial.
7
Kerjasama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dengan
Badan Pusat Statistik, 2018, Profil Anak Indonesia 2018, Jakarta : Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,
https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/25/1587/profil-anak-indonesia-tahun-
2018, diakses pada 20 April 2020.
10

terintegrasi dengan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK).


Hal tersebut membuktikan secara sosiologis, pemberian identitas
kependudukan kepada anak akan mendorong peningkatan pendataan,
perlindungan dan pelayanan publik untuk mewujudkan hak terbaik bagi
anak.
Meninjau aspek yuridisnya, perlu diinventarisir berbagai macam
peraturan perundang-undangan yang mengupayakan perlindungan anak.
diantaranya adalah :
a. Undang-Undang Dasar NRI 1945 Pasal 28B ayat (2); Pasal 28C; dan
Pasal 34 ayat (1).
b. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1979 Nomor 32,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3143).
c. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3277).
d. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886).
e. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun
2014 Tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 297, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5606)
f. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi ICESCR
(Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya) (Pasal 10, Pasal 12 ayat (2), dan Pasal 13 ayat (3)) (Lembaran
11

Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 118, Tambahan


Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4557)
g. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi ICCPR
(Konvenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) (Pasal 14
ayat (1), Pasal 18 ayat (4), Pasal 23 ayat (4), Pasal 23 ayat (4), dan
Pasal 24), (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor
119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4558)
h. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Konvensi Hak
Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 57).
i. Keputusan Presiden Nomor 40 Tahun 2004 tentang Pertahanan
Keamanan 2004-2009 tentang Memasukkan Agenda Ratifikasi
Protokol Opsional Konvensi Anak tentang Perdagangan Anak,
Pornografi Anak, dan Prostitusi Anak (2005) dan Protokol Opsional
Konvensi Anak tentang Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata
(2006).
j. Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi
Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak.
k. Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi
Nasional (RAN) Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak
(EKSA).
l. Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana
Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN P3A).
Walaupun instrumen hukum yang mengatur mengenai
perlindungan anak telah banyak dimiliki Indonesia, dalam pelaksanaannya
belum dapat berjalan secara efektif karena masih adanya tumpah tindih
antarperaturan perundang-undangan. Berbagai peraturan perundang-
undangan tersebut yang mengatur mengenai perlindungan anak, tetap
mendorong pemerintah untuk melakukan berbagai cara dengan membuat
kebijakan yang dinilai dapat memberi penguatan terhadap perlindungan
anak. Beberapa peraturan perundang-undangan pun dilakukan perubahan
sesuai dengan perkembangan kasus-kasus yang mengancam perlindungan
12

anak. Tidak berhenti disitu, pemerintah juga membuat kebijakan yang


mengikat masyarakat yang bertujuan untuk melindunginya. Usaha
pemerintah diantaranya terkait hak konstitusional anak sebagai penduduk
yang harus diberikan identitas.
Berbagai aspek di atas telah menunjukkan secara langsung maupun
tidak langsung dasar pertimbangan dibuatnya KIA. Untuk lebih
menguatkan dasar pertimbangan apa yang menjadi urgensi kebijakan ini
dibuat dapat dilihat dari latar belakang dan alasan dibuatnya kebijakan ini
apabila ditinjau dari aspek menimbang dan mengingat di dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 2016 yang merupakan peraturan
pelaksana dari Undang-Undang Administrasi Kependudukan ialah sebagai
berikut :
a. Pemerintah melihat saat ini anak yang berusia kurang dari 17 tahun dan
belum menikah belum memiliki identitas kependudukan yang berlaku
secara nasional dan belum terintegrasi dengan Sistem Informasi dan
Administrasi Kependudukan.
b. Melihat kondisi tersebut berbanding terbalik dengan kewajiban
Pemerintah yang seharusnya memberikan hak yang sama dalam
memberikan identitas kependudukan kepada seluruh Warga Negara
Indonesia termasuk anak yang berlaku secara nasional sebagai upaya
perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional warga negara.
c. Sehingga Pemerintah berupaya untuk memberikan identitas
kependudukan kepada anak berupa Kartu Identitas Anak (KIA) sehingga
diharapkan dapat mendorong peningkatan pendataan, perlindungan dan
pelayanan publik untuk mewujudkan hak terbaik bagi anak.
2. Bentuk Perlindungan Hukum Yang Diberikan Kepada Anak Selaku
Pemegang Kartu Identitas Anak (KIA)
Perlindungan hukum adalah penyempitan arti dari perlindungan,
dalam hal ini hanya perlindungan oleh hukum saja. Perlindungan yang
diberikan oleh hukum, terkait pula dengan adanya hak dan kewajiban,
dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai subyek hukum dalam
13

interaksinya dengan sesama manusia serta lingkungannya. Sebagai


subyek hukum manusia memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan
suatu tindakan hukum.8
Philipus M. Hadjon membagi perlindungan hukum ke dalam dua
jenis, yaitu Sarana Perlindungan Hukum Preventif, dan Sarana
Perlindungan Hukum Represif. Sarana Perlindungan Hukum
Preventif bertujuan mencegah terjadinya sengketa. Perlindungan hukum
preventif sangat besar artinya bagi tindak pemerintahan yang didasarkan
pada kebebasan bertindak karena dengan adanya perlindungan hukum
yang preventif pemerintah terdorong untuk bersifat hati-hati dalam
mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi. Sedangkan, Sarana
Perlindungan Hukum Represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.
Berdasarkan penjelasan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang termasuk dalam
kelompok rentan adalah orang lansia, anak-anak, fakir miskin, wanita
hamil, dan penyandang cacat. Dalam hal ini, Anak dianggap sebagai
kelompok rentan karena anak-anak bergantung pada orang lain dalam
menjaga kelangsungan hidupnya. Anak dalam posisinya dapat mengalami
penderitaan sekunder atas hak asasi manusianya apabila hak atas
pemeliharaan utamanya (primary carier) mereka dilanggar. Misalnya
anak yang lahir dari orang tua dengan ekonomi lemah, rentan akan
mengalami kekurangan pangan (dalam kasus terparah gizi buruk).
Melihat kondisi anak yang rentan tersebut maka memastikan
penghormatan terhadap hak-hak anak merupakan tugas prioritas mulai
dari tingkat pertumbuhan hingga anak dikategorikan dewasa, hal ini
karena anak berhak menikmati hak asasi manusia dan kebebasannya sejak
ia dalam kandungan sehingga umur tidak menjadi batasan untuk bisa
menikmati hak asasi manusianya.9

8
CST Kansil, 1980, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, hlm. 102 .
9
Knut D. Asplanud, Suparman Marzuki editor, 2010, Hukum Hak Asasi Manusia,
Cetakan kedua, Yogyakarta: PUSHAM UII, hlm. 138-139.
14

Kenyataan tersebut menggambarkan pentingnya upaya


perlindungan terhadap hak-hak anak termasuk hak atas identitas anak.
Pentingnya hak identitas anak terdapat di dalam Pasal 8 Konvensi Hak
Anak bahwa salah satu hak anak menurut Konvensi Hak Anak adalah
Hak untuk mempertahankan identitas, yang mana :
a. Negara harus berusaha untuk menghormati hak-hak anak untuk
memperoleh identitasnya, termasuk kewarganegaraannya, namanya,
dan hubungan keluarganya sebagaimana yang diakui oleh Undang-
Undang.
b. Apabila seorang anak secara tidak sah dirampas sebagian atau
seluruh identitasnya, negara-negara peserta akan memberikan
bantuan dan perlindungan guna memulihkan kembali identitasnya.
Dalam rangka mendukung pelaksanaan tertib administrasi
mengenai identitas diri, Pemerintah juga telah menetapkan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2006 yang sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi
Kependudukan (UU Adminduk). Di dalam UU Adminduk mengatur,
bahwa seseorang berhak mendapatkan identitas diri jika telah berusia 17
tahun, sedangkan anak cukup memperoleh akta kelahiran atau surat tanda
kenal lahir.
Kebijakan KIA yang telah dicanangkan pemerintah di tahun 2016
ini telah diketahui sebagai upaya pemerintah memberikan identitas diri
untuk anak. Program ini menjadi salah satu pelayanan kependudukan
dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan tertib administrasi
kependudukan melalui penertiban dokumen kependudukan sebagai
bentuk pendaftaran dan pencatatan sipil. Yang secara langsung maupun
tidak langsung identitas tersebut yang disebut sebagai KIA sebagai
sarana perlindungan anak.
KIA diberikan kepada anak di bawah usia 17 tahun baik anak
warga negara Indonesia (WNI) yang telah tinggal di Indonesia ataupun
yang baru datang dari luar negeri berdasarkan kategori umur. Kategori
15

umur tersebut dibagi menjadi dua, yaitu, bagi anak di bawah usia 5 tahun,
dan bagi anak di atas usia 5 tahun (sebelum berumur 17 tahun kurang
satu hari).
Penggolongan Kartu Identitas Anak tersebut diatur di dalam
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 2016 tentang Kartu
Identitas Anak. Permendagri tersebut diterbitkan berdasarkan amanat
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi
Kependudukan. Di dalam penjelasan umum Undang-Undang Adminduk
menjelaskan bahwa Nomor Induk Kependudukan (NIK) adalah identitas
penduduk Indonesia dan merupakan kunci akses untuk melakukan
verifikasi dan validasi data jati diri seseorang guna mendukung
pelayanan publik di bidang Administrasi Kependudukan. Salah satu
elemen yang tercantum di dalam KIA adalah NIK, sementara Akta
Kelahiran tidak mencantumkan NIK seseorang sehingga KIA dapat
memberikan identitas bagi pemiliknya. Selain itu, adanya identitas juga
memberikan pengakuan terhadap jati diri sesorang sehingga KIA itu
penting sebagaimana tercantum dalam UUD NRI 1945 Pasal 28D ayat 1
yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
dihadapan hukum.
Jika dilihat dari apa yang tercantum di dalam KIA maka dapat
dikatakan bahwa KIA merupakan suatu kartu identitas tetapi KIA tidak
hanya mencantumkan identitas saja tetapi juga status dari si pemilik KIA.
KIA ini akan diberikan kepada seluruh anak tanpa memandang anak
tersebut bersekolah atau tidak. Selain itu, KIA akan diberikan secara
gratis tanpa pemungutan biaya apapun sehingga bagi masyarakat yang
kurang mampu tetap bisa mengajukan pembuatan KIA bagi anak-
anaknya. Selain sebagai pelindung identitas, KIA juga diharapkan dapat
memberi manfaat antara lain seperti dapat digunakan untuk :
a. Mendaftar sekolah
b. Pembuatan dokumen keimigrasian
16

c. Mendaftar BPJS
d. Membuka tabungan/rekening di bank
e. Berobat di puskesmas atau rumah sakit
f. Proses identifikasi jenazah dengan korban anak-anak dan juga untuk
mengurus klaim santunan kematian
g. Mempermudah proses pencarian anak hilang
h. Terhindarnya pemalsuan identitas anak
i. Melindungi anak yang berhadapan dengan hukum
j. Mencegah terjadinya illegal trafficking
k. Mencegah terjadinya perdagangan anak
l. Hal-hal pelayanan publik lainnya yang membutuhkan bukti diri si
anak
Berdasarkan Teori Perlindungan Hukum oleh Philipus M. Hadjon
bahwa sarana perlindungan hukum terdapat dua macam, yaitu
Perlindungan Hukum Preventif dan Perlindungan Hukum Represif.
Kebijakan KIA yang dilakukan pemerintah dan telah dijabarkan di atas,
lebih memenuhi indikator sarana perlindungan preventif. Secara teoritis,
keberadaan KIA, akan mencegah anak mendapatkan perilaku yang tidak
wajar. Hal itu cukup berbeda apabila seorang anak yang berada di dalam
sengketa pengadilan, tidak disebutkan dengan jelas dalam peraturan yang
mengatur, hak apa yang didapatkan oleh anak ketika dirinya ada di dalam
sebuah sengketa pengadilan. KIA hanya sebagai kartu layaknya KTP yang
hanya menegaskan anak adalah seorang warga negara yang datanya
terintegrasi di SIAK (Sistem Administrasi Kependudukan).
Melihat hak-hak yang akan didapatkan Anak dalam kepemilikan
KIA, bukan sebagai upaya penguatan perlindungan hukum terhadap anak.
Beberapa hak yang tercantum sudah seharusnya seorang anak dapat
menikmatinya, dan hak-hak tersebut sudah diberikan terlebih dahulu jauh
sebelum KIA muncul. Hak-Hak Anak sudah tercantum lebih awal di
dalam beberapa konvensi yang telah diratifikasi.
17

D. KESIMPULAN DAN SARAN


1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diperoleh kesimpulan:
a. Dasar pertimbangan Kebijakan Pembuatan KIA dapat terlihat
berdasarkan tiga aspek, yaitu Aspek Filosofis, Aspek Yuridis, dan
Aspek Sosiologis. Aspek Filosofis dikeluarkannya Kebijakan
Pembuatan KIA ini tidak terlepas dari pedoman pandangan hidup
bangsa dan dasar negara republik Indonesia yaitu Pancasila dan
UUD NRI 1945. Ketentuan di dalam UUD NRI 1945 Pasal 27 ayat 1
dan Pasal 28D ayat 1 UUD NRI 1945 adalah aspek filosofis yang
menonjol sebagai dasar pertimbangan Kebijakan KIA ini.
Meninjau berdasarkan aspek yuridisnya, terdapat berbagai
macam peraturan perundang-undangan terkait perlindungan anak
yang menjadi dasar dibuatnya kebijakan ini. Walaupun instrumen
hukum yang mengatur mengenai perlindungan anak telah banyak
dimiliki Indonesia, dalam pelaksanaannya belum dapat berjalan
secara efektif karena masih adanya tumpah tindih antarperaturan
perundang-undangan. Hal tersebut yang menjadi dasar
pertimbangan pemerintah membuat kebijakan yang dapat
menguatkan perlindungan hukum terhadap anak.
Berdasarkan aspek sosiologis, Akta Kelahiran tidaklah
mencantumkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang
seharusnya dimiliki dalam sebuah identitas diri, hal ini diatur di
dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang
Administrasi Kependudukan. Selain itu, berdasarkan data hasil
survei sosial ekonomi nasional (Susenas) tahun 2017, menunjukkan
masih rendahnya kepemilikan akta kelahiran anak. Yang berarti,
masih ada anak yang belum memiliki identitas diri yang secara
langsung mengancam seorang anak.
b. Bentuk perlindungan hukum yang didapatkan anak selaku pemegang
KIA, ialah ; mendaftar sekolah, pembuatan dokumen keimigrasian,
18

mendaftar BPJS, membuka tabungan/rekening di bank, Berobat di


puskesmas atau rumah sakit, proses identifikasi jenazah dengan
korban anak-anak dan juga untuk mengurus klaim santunan kematian,
mempermudah proses pencarian anak hilang, terhindarnya
pemalsuan identitas anak, melindungi anak yang berhadapan dengan
hukum, mencegah terjadinya illegal trafficking, mencegah terjadinya
perdagangan anak, dan hal-hal pelayanan publik lainnya yang
membutuhkan bukti diri si anak.
Melihat bentuk-bentuk perlindungan yang didapatkan anak
sebagai pemilik KIA membuat KIA yang dilakukan pemerintah dan
telah dijabarkan di atas, dapat dikatakan lebih memenuhi indikator
sarana perlindungan preventif. Bentuk-bentuk perlindungan yang
muncul hanya mencegah terancamnya perlindungan seorang anak.
Yang secara langsung, hak-hak yang didapatkan bagi pemilik KIA
belum menunjukkan adanya penguatan perlindungan hukum bagi
anak. Hal itu disebabkan, hak-hak tersebut sudah seharusnya
diterima oleh anak, karena hak-hak tersebut telah diatur dibeberapa
konvensi yang diratifikasi.
2. Saran
Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan yang telah dikemukakan di
atas, terdapat beberapa saran sebagai berikut :
a. Bagi Masyarakat, khususnya orang tua yang berkewajiban mengurus
segala dokumen yang dimiliki oleh anak, dalam hal ini identitas anak
baik Akta Kelahiran maupun KIA. Merupakan suatu keharusan membuat
identitas milik anak sesuai dengan prosedur di dalam perundang-
undangan secara tepat waktu. Hal itu disebabkan, pentingnya identitas
anak sebagai salah satu syarat mengurus keperluan anak di masa yang
akan datang, serta mencegah berbagai hal buruk yang akan menyerang
anak.
b. Bagi Pemerintah Daerah, dalam hal ini Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil. Sebaiknya dapat memberikan pelayanan publik yang lebih
19

baik bagi masyarakat yang akan mengurus keperluan pembuatan KIA,


serta memberikan sosialisasi ke berbagai pelosok desa untuk
mengenalkan dan menyegerakan pembuatan KIA.
c. Bagi Pemerintah Pusat, seharusnya gencar mengadakan sosialisasi ke
berbagai daerah tertinggal untuk meratakan kebijakan pembuatan KIA.
Pemerintah Pusat juga harus tegas menentukan sanksi terhadap oknum-
oknum yang melakukan kecurangan dalam menjalankan kebijakan ini.
E. DAFTAR PUSTAKA
Buku/Literatur
Philipus M. Hadjon dkk., 1994, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia,
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Budi Winarno, 2007, Kebijakan Publik : Teori, Proses, dan Studi Kasus Edisi
Revisi, Yogyakarta : Caps.
CST Kansil, 1980, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka.
Knut D. Asplanud, Suparman Marzuki editor, 2010, Hukum Hak Asasi
Manusia, Cetakan kedua, Yogyakarta: PUSHAM UII.
Jurnal Ilmiah/Internet
Dhimas Ginanjar, 2018, Mengerikan, Dalam Dua Tahun Penculikan Anak
Naik Dua Kali Lipat, dilansir dalam,
https://www.jawapos.com/nasional/hukum-
kriminal/04/02/2018/mengerikan-dalam-dua-tahun-penculikan-anak-
naik-dua-kali-lipat/, diakses pada 30 Oktober 2019.
Pusat Perancangan Undang-Undang, Badan Keahlian Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), 2017, Pedoman Naskah
Akademik Rancangan Undang-Undang, Jakarta :
http://www.dpr.go.id/doksetjen/dokumen/reformasi-birokrasi-Quick-
Win-Pedoman-Penyusunan-Naskah-Akademik-Rancangan-Undang-
Undang-1507775513.pdf diakses 30 April 2020.
Tri Windiarto, Al Huda Yusuf, dkk, 2019, Profil Anak Indonesia : Kerjasama
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
20

dengan Badan Pusat Statistik, Jakarta: Kementerian Pemberdayaan


Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA),
https://www.kemenpppa.go.id/lib/uploads/list/15242-profil-anak-
indonesia_-2019.pdf, diakses pada 15 Mei 2020.
Hari Harjanto Setiawan, 2017, Akta Kelahiran Sebagai Hak Identitas Diri
Kewarganegaraan Anak, Sosio Informa Vol. 3, No. 01, Januari -
April, Tahun 2017. Kesejahteraan Sosial.
Kerjasama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
dengan Badan Pusat Statistik, 2018, Profil Anak Indonesia 2018,
Jakarta : Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak,
https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/25/1587/profil-
anak-indonesia-tahun-2018, diakses pada 20 April 2020.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1979 Nomor 32,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3143);
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886);
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
(Lembaran Negara Reprublik Indonesia Tahun 2006 Nomor 124,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4674)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 24 Tahun
2013 Tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 232, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5475);
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 2016 Tentang Kartu
Indentitas Anak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016
Nomor 80).

Anda mungkin juga menyukai