Penyelaras: Sutjipto
Diterbitkan oleh
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Badan Penelitian dan Pengembangan
Pusat Kurikulum dan Perbukuan
Jalan Gunung Sahari Raya No. 4
Senen, Jakarta Pusat
i
KATA SAMBUTAN
Kepada penulis dan berbagai pihak yang telah memungkinkan buku ini
ditulis, direviu, direvisi dan diterbitkan, sebagai pimpinan Pusat Kurikulum
dan Perbukuan, saya mengucapkan banyak terimakasih atas dedikasi dan
kerja keras yang telah ibu bapak berikan untuk menghasilkan buku ini.
Demikian juga kepada penerbit dan percetakan yang menjadikan buku ini
dalam tampilan sekarang,
ii
Jakarta, Juni 2017
Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan
iii
UCAPAN TERIMA KASIH
iv
khusus mereka adalah Prof. Dr Rochiati Wiraatmadja, MA yang telah
meminjamkan buku tentang pendidikan pada masa Hindia Belanda, Prof. Dr.
Helius Sjamsuddin, MA, yang telah memberi pinjaman buku mengenai
sejarah pendidikan pada masa kolonial Belanda. Prof. Dr. Dadang Supardan,
M.Pd., Dra. Murdiyah Winarti, M.Hum, Drs Sjarief Moeis, M.Pd, Dr. Nana
Supriatna, Dr. Erlina ,M.Pd, Dra. Yani Kusmarni, M.Pd. Secara khusus
bapak Drs. Sjarief Moeis, M.Pd. yang telah meminjamkan buku rapor
ayahanda pada waktu bersekolah di MULO di Bandung.
Kepada teman dari Nagoya University, Jepang, yaitu Prof. Dr. Mina
Hattori dan Dr. Murni Ramly penulis menyampaikan terima kasih yang
mendalam. Mereka yang banyak membantu dalam penyediaan dokumen
pendidikan di masa Pendudukan Jepang, yaitu dokumen yang diberi nama
“Jawa ni okeru Bunkyô no Gaikyô, Kurasawa” sangat berharga dalam
penulisan ini.
Teman-teman yang menelaah tulisan awal, yaitu almarhum Bapak
Benny Karyadi, Ibu Mujiyem, Bapak Achmad Riyanto, Bapak Agus
Suhardono dan Bapak Juandanilsyah memberikan sumbangan yang
berharga untuk penyempurnaan penulisan buku ini. Kepada mereka, penulis
sampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Kepada mereka yang namanya tak tersebutkan tetapi banyak
memberikan kontribusi dalam penyempurnaan buku, penulis menyampaikan
rasa hormat dan terima kasih yang sama nilainya dengan yang telah
disebutkan di atas.
Semoga amal dan bantuan tersebut mendapatkan limpahan rahmat-
Nya. Amin.
Penulis
v
KATA PENGANTAR
vi
kata, kalimat dan sebagainya menyebabkan dokumen yang tersedia di suatu
situs internet perlu dicek dan ricek dengan yang tersedia di situs
lain.Kehadiran situs resmi pemerintah lebih mempermudah proses dan
teknis validasi. Kehadiran dokumen hard-copy merupakan suatu keuntungan
yang memudahkan proses validasi dokumen, kritik eksternal dan internal.
Dokumen kurikulum yang digunakan adalah dokumen yang resmi
dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sejak bernama Kementerian
Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (KPPK) sampai terakhir bernama
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kurikulum pada masa Hindia
Belanda didasarkan dari berbagai sumber kedua yang termuat pada buku
yang ditulis oleh van der Wal (1963), Djumhur dan Danasaputra (1976),
Mestoko (1979), Nasution(2008), Poeze (1982), Said dan Dahlan (1953).
Analisis antarsumber kedua ini dilakukan untuk mendapatkan informasi
yang memiliki validitas tinggi. Sumber pertama yang digunkn untuk
mengetahui struktur mata pelajaran MULO diperoleh dari rapor bapak
Ahmad, putra penulis besar Abdul Moeis, yang dipinjamkan oleh bapak Drs.
Sjarief Moeis putra dari bapak Ahmad Abdul Moeis.
Sumber zaman Pendudukan Jepang diperoleh dari berbagai sumber
kedua di atas dan diperkuat oleh sebuah sumber yang ditulis pada zaman itu,
yaitu Jawa ni okeru Bunkyô no Gaikyô yang diterbitkan di Jepang. Dokumen
ini telah dikritik oleh Kurasawa yang menggunakannya untuk studi
doktoralnya dalam bidang Sejarah. Buku yang memuat dokumen pendidikan
pada masa Jepang tertulis dalam bahasa campur antara bahasa Jepang dan
Bahasa Indonesia (Melayu). Dalam riwayatnya, dokumen tersebut
ditemukan oleh seorng tentara Belanda dibawa ke negaranya. Sebagai buku,
dokumen tersebut diberi Kata Pengantar oleh Kurasawa. Penulis berterima
kasih kepada Prof Mena, dari Nagoya University yang telah memberikan
buku dan menterjemahkan beberapa bagian dari dokumen yang berbahasa
Jepang. Juga kepada Dr. Murni, seorang lulusan S-3 dari Nagoya
University, yang telah membantu menterjemahkan bagian berbahasa
Jepang.
Buku ini disusun sebagai upaya untuk memberikan gambaran
perkembangan pemikiran kurikulum SMP yang pernah dilakukan selama
masa Penjajahan Belanda, Pendudukan Jepang, dan Masa Kemerdekaan.
Masa Kemerdekaan adalah masa yang paling panjang dilihat dari kurun
waktu dan jumlah naskah kurikulum SMP yang pernah dikembangkan.
Pengembangan Kurikulum pada Masa Kemerdekaan yang dikaji dimulai
dari awal kemerdekaan bangsa Indonesia ketika suasana kehidupan
kenegaraan Indonesia masih berada di bawah ancaman agresi meliter
Belanda, dilanjutkan dengan pengembangan kurikulum SMP pada masa
Pemerintahan Parlementer, Masa Orde Lama, Masa Orde Baru, dan diakhiri
pada masa Reformasi. Kerangka perkembangan kehidupan kebangsaan
vii
Indonesia digunakan sebagai periodesasi kajian pengembangan kurikulum
SMP karena pengembangan keberlakuan suatu kurikulum selalu
dipengaruhi oleh kebijakan politik selain faktor-faktor yang bersifat
akademik dan perkembangan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Gambaran perkembangan kurikulum selama masa yang
dikemukakan di atas terutama diutamakan pada kajian terhadap dokumen
kurikulum yang secara teknis dikenal dengan istilah Kurikulum Sebagai
Rencana atau intended curriculum, dan curriculum as a plan. Kajian ini paling
dimungkinkan mengingat ketersediaan sumber informasi dalam hal ini
dokumen kurikulum. Dimensi kurikulum yang lain, yaitu implementasi
kurikulum yang disebut juga dengan istilah implemented curriculum, observed
curriculum atau taught curriculum tidak dikaji mengingat ketersediaan sumber
yang dapat dikatakan sangat tidak mungkin untuk membangun rekonstruksi
yang dapat memberikan gambaran yang adil. Laporan, hasil evaluasi, atau
pun hasil penelitian tentang implementasi kurikulum hanya berkenaan
dengan kejadian yang terbatas pada suatu wilayah tertentu. Untuk
menghindari gambaran yang tidak adil maka buku ini tidak melakukan
kajian mengenai dimensi implementasi kurikulum.
Dimensi kurikulum yang ketiga, yaitu hasil tidak pula dikaji dalam
buku ini sehingga gambaran mengenai kualitas tamatan SMP dari setiap
dokumen kurikulum yang dikaji tidak direkonstruksi dalam buku. Alasan
yang sama dengan ketiadaan kajian terhadap dimensi kedua kurikulum,
implementasi kurikulum, berlaku pula bagi ketiadaan kajian dimensi hasil
kurikulum. Hasil-hasil yang diperoleh peserta didik dari ujian nasional baik
yang dinamakan Evaluasi Belajar Tahap Akhir (EBTA), Evaluasi Belajar
Tahap Akhir Nasional (EBTANAS), Ujian Akhir Nasional (UAN) maupun
Ujian Nasional (UN) memiliki kelemahan mendasar jika diuji dari validitas
kurikulum. Soal-soal ujian yang dikembangkan untuk evaluasi nasional
tersebut tidak memiliki validitas kurikulum yang dapat
dipertanggungjawabkan walaupun memiliki validitas isi yang dapat
dipertanggungjawabkan.1 Oleh karena itu, hasil ujian tersebut tidaklah
menggambarkan kemampuan sesungguhnya yang dimiliki peserta didik.
Dalam analisis setiap kurikulum diungkapkan landasan filosofis dan
teoritik yang digunakan dalam pengembangan kurikulum. Keberlanjutan
dan perubahan yang terjadi dalam landasan filosofis dan teoritik
memberikan gambaran tentang terjadinya perbedaan dalam struktur,
1
Validitas kurikulum berkenaan dengan pengukuran kualitas tamatan yang dinyatakan dalam
tujuan kurikulum, bukan hanya terbatas pada aspek pengetahuan. Kualitas dalam
kemampuan intelektual, afektif dan psikomotor yang tercantum dalam tujuan kurikulum
tidak terujikan dalam ujian nasional yang disebutkan di atas. Validitas konten dalam ujian
nasional yang disebutkan di atas terbatas pada pokok bahasan yang diujikan dan pada tujuan
dlam aspek pengetahuan dari pokok bahasan terkait.
viii
organisasi konten kurikulum, beban belajar, dan juga format dokumen
kurikulum yang dikembangkan. Dari analisis yang dilakukan tersebut
berbagai hal yang terkait dengan masalah miskonsepsi diungkapkan agar
pembaca buku dapat mengambil makna dan memberikan penilaian yang
lebih baik terhadap kurikulum.
Dilihat dari aspek kelembagaan yang mengembangkan kurikulum
pada masa kemerdekaan, pengembangan kurikulum pada masa kemerdekaan
dapat dibagi atas tiga periode, yakni periode pengembangan oleh lembaga
teknis, periode pengembangan lembaga pengembang kurikulum khusus,
yaitu Pusat Kurikulum (Puskur), dan periode Reformasi di mana
pengembangan kurikulum menjadi wewenang pemerintah dan satuan
pendidikan. Sampai tahun 1968, kurikulum SMP dikembangkan oleh
lembaga teknis yang sekarang bernama Direktorat Pembinaan SMP.
Kurikulum SMP 1975 adalah kurikulum pertama yang dikembangkan oleh
lembaga yang didirikan dengan tugas khusus untuk pengembangan
kurikulum yang sekarang dikenal dengan nama Pusat Kurikulum dan
Perbukuan (Puskurbuk). Periode ini berlangsung hingga tahun 2004 di
mana Puskurbuk berhasil mengembangkan kurikulum yang awalnya
bernama Kurikulum Berbasis Kompetensi pada tahun 2001 dan naskah
terakhir dinamakan Kurikulum 2004.
Pada masa Reformasi pengembangan kurikulum menjadi tanggung
jawab Pemerintah, pemerintah daerah, dan satuan pendidikan. Kurikulum
tingkat nasional atau Kurikulum Nasional yang dikembangkan Pemerintah
berbentuk Kerangka Dasar Kurikulum yang berlaku secara nasional. Secara
teknis, pengembangan kurikulum pada masa awal reformasi dilakukan
bukan oleh Pusat Pengembangan Kurikulum tetapi oleh suatu badan baru
yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003, yang dinamakan Badan Standar Nasional Pendidikan
Indonesia (BSNP). Kurikulum yang dihasilkan diberi nama Standar Isi
walaupun isinya adalah Kerangka Dasar dan Struktur Kuurikulum,
disyahkan dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22
Tahun 2006.
Kerangka Dasar Kurikulum yang ditetapkan adalah kurikulum yang
memiliki semua unsur kurikulum, yaitu landasan legal, filosofis, sosiologis,
teori, prinsip struktur kurikulum, tujuan, konten/isi, pengalaman belajar
dan penilaian hasil belajar, ketentuan-ketentuan pelaksanaan kurikulum
pada tingkat satuan pendidikan. Kerangka dasar tersebut mengikat
pengembang kurikulum tingkat daerah dalam mengembangkan komponen
muatan lokal dan satuan pendidikan dalam mengembangkan komponen
tingkat satuan pendidikan. Kurikulum lengkap atau disebut sebagai
kurikulum operasional dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan dan
diberi nama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) berisikan
ix
komponen visi dan misi satuan pendidikan, komponen Kurikulum Nasional
beserta seluruh pedoman pelaksanaannya, muatan lokal dan muatan satuan
pendidikan.
Kurikulum kedua yang diberlakukan Pemerintah pada masa
Reformasi adalah Kurikulum 2013. Awalnya, kurikulum ini dikembangkan
oleh Puskurbuk pada tahun 2010 berdasarkan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2009-2014. Kemudian,
pengembangan kurikulum ini dikoordinasi pada jenjang kementerian untuk
mengatasi berbagi persoalan legal. Untuk itu, dibentuk tim inti
pengembangan yang terdiri dari unsur Pusat Kurikulum dan Perbukuan
(Puskurbuk) dan beberapa ahli kurikulum. Unsur lain yang terlibat adalah
berbagai guru besar dan Doktor ahli pendidikan, guru besar dan Doktor ahli
dalam disiplin yang terkait dengan mata pelajaran, guru, kepala sekolah dan
pengawas.
x
DAFTAR ISI
KATA SAMBUTAN ii
UCAPAN TERIMA KASIH iv
KATA PENGANTAR vi
DAFTAR ISI xi
DAFTAR TABEL xiii
DAFTAR GAMBAR xiv
DAFTAR FOTO xv
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Istilah Kurikulum Sebagai Pengganti Leerplan 1
B. Perubahan Nama SMP dari MULO, Shoto Chu 4
Gakko, SLTP, SMP
C. Kurikulum Sebagai Public Policy dan 6
Academic/Educational Innovation
D. Faktor yang Berpengaruh terhadap Pengembangan 7
Kurikulum
BAB II KURIKULUM SMP (MULO) PADA MASA 12
HINDIA BELANDA
A. Kelahiran MULO dalam Sistem Persekolahan 13
Zaman Hindia Belanda
B. Tujuan Pendidikan MULO 17
C. Leerplan (Rencana Pelajaran) dan Mata Pelajaraan 17
MULO
BAB III KURIKULUM SMP (SHOTO CHU GAKKO) PADA 21
MASA PENDUDUKAN JEPANG
A. Kebijakan Pendidikan Masa Pemerintahan 21
Pendudukan Jepang
B. Struktur dan Mata Pelajaran Kurikulum Shoto Chu 23
Gakko
BAB IV KURIKULUM SMP PADA MASA AWAL 28
KEMERDEKAAN
A. Perkembangan dalam Kebijakan Pendidikan 28
B. Daftar Pelajaran SMP 1947-1950 36
BAB V KURIKULUM SMP PADA MASA 40
PEMERINTAHAN KABINET PARLEMENTER
A. Perkembangan Kebijakan Pendidikan 40
B. Filsafat Kurikulum SMP 1954 42
C. Tujuan Kurikulum SMP 1954 43
D. Daftar Pelajaran SMP 1954 50
xi
E. Daftar Pelajaran SMP 1954 52
BAB VI KURIKULUM SMP PADA MASA 56
PEMERINTAHAN ORDE LAMA
A. Perkembangan Kebijakan Pendidikan 56
B. Rencana Pelajaran SMP Gaya Baru (1964) 58
C. Tujuan Pendidikan SMP 63
D. Struktur Rencana Pelajaran SMP Gaya Baru (1964) 64
BAB VII KURIKULUM SMP PADA MASA 66
PEMERINTAHAN ORDE BARU
A. Perkembangan Kebijakan Pendidikan 66
B. Kurikulum SMP 1968 68
C. Kurikulum SMP 1975 73
D. Kurikulum SMP 1984 96
E. Kurikulum SMP 1994 108
BAB VIII KURIKULUM SMP/M.Ts PADA MASA 117
REFORMASI
A. Perkembangan Kebijakan Pendidikan 117
B. Kurikulum 2004 118
C. Kurikulum 2006 133
BAB IX MENATAP MASA DEPAN: KURIKULUM 2013 142
A. Landasan Pengembangan Kurikulum 2013 142
B. Tujuan Kurikulum 2013 157
C. Pendidikan Karakter Landasan Ide dan Desain 158
Kurikulum 2013
D. Struktur Kurikulum 2013 164
BAB X PENUTUP 166
DAFTAR BACAAN 169
DAFTAR DOKUMEN 172
xii
DAFTAR TABEL
xiii
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR FOTO
xiv
Foto 1 Gedung MULO
Foto 2 Gedung Shoto Chu Gakko
Foto 3 Gedung Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
Foto 4 Sekolah Menengah Pertama
xv
BAB I
PENDAHULUAN
2
Sebelum istilah kurikulum digunakan istilah paedagogy atau pedagogiek adalah istilah
umum yang digunakan bersamaan dengan istilah didaktik.
-1-
Bobbitt menerbitkan buku baru yang diberi judul How to Make a Curriculum
(Longstreet dan Shane, 1993:29). Pada tahun 1927 National Society for the
Study of Education (NSSE) menerbitkan buku tahunan ke 26 organisasi
tersebut dengan nama Curriculum Making: Past and Present yang menurut
kedua penulis tadi (Longsreet dan Shane, 1993:32) merupakan awal
kebangkitan bidang studi kurikulum sebagai suatu pekerjaan akademik dan
profesional. Dalam buku tahunan NSSE, Harold Rugg sebagai editor
menyatakan tugas pengembangan kurikulum adalah (1) menentukan objektif
kurikulum, (2) seleksi materi dan aktivitas yang sesuai, dan (3) menentukan
organisasi dan tata urut materi dan aktivitas (Longstreet dan Shane,
1993:32). Ketiga komponen tersebut masih menjadi komponen utama
kurikulum modern, yang diperkaya menjadi empat dengan komponen
penilaian hasil belajar. Secara implisit buku tersebut menuntut adanya studi
yang ilmiah dalam pengembangan rencana dan evaluasi menjadi bagian
yang tak terpisahkan untuk menentukan efektivitas kurikulum.
Meskipun Bobbitt dianggap bapak kurikulum di Amerika Serikat, tokoh
pendidikan seperti John Dewey (1916) dan terutama Ralph Tyler (1942)
dianggap oleh banyak ahli sebagai pelopor pemikir kurikulum modern
dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat. Dalam bukunya yang berjudul
Basic Principles of Curriculum and Instruction, Tyler mengubah makna
kurikulum secara mendasar dan membedakannya secara mendasar pula dari
pengertian kurikulum sebagai daftar mata pelajaran atau pun sebagai
pengalaman belajar. Tyler (1942) memperbaiki komponen kurikulum yang
dikembangkan oleh Harold Rugg dengan mengemukakan empat komponen
yang terkait dengan kurikulum, yaitu tujuan, konten, organisasi konten, dan
penilaian hasil belajar. Komponen penilaian hasil belajar merupakan
penyempurnaan yang dilakukan Tyler terhadap pemikiran Harold Rugg.
Sejak itu, berbagai definisi kurikulum dirumuskan oleh mereka yang secara
khusus mendalami dan mengembangkan bidang studi kurikulum tetapi
keempat komponen yang dikemukakan Tyler tetap menjadi fokus
pengembangan utama kurikulum dalam setiap konstruksi dokumen
kurikulum.
Pada tahun 50-an dan 60-an banyak ahli pendidikan Indonesia belajar buku-
buku pendidikan dari Amerika Serikat dan Inggris dan banyak pula di
antara mereka melanjutkan studi di bidang pendidikan di Amerika Serikat.
Mereka membaca buku-buku dari belahan dunia yang berbahasa Inggris
tersebut dan berkenalan dengan istilah kurikulum. Istilah kurikulum mulai
masuk menjadi istilah teknis dalam literatur dunia pendidikan Indonesia
tetapi secara resmi istilah kurikulum di Indonesia baru digunakan pada
tahun 1968 (Dokumen Kurikulum 1968) ketika pemerintah mengumumkan
adanya kurikulum 1968 menggantikan kurikulum yang berlaku sebelum
1964 yang masih berjudul Rencana Pelajaran (Dokumen Rencana Pelajaran
SMP Gaya Baru). Sejak 1968, istilah kurikulum digunakan secara meluas
-2-
dalam berbagai kebijakan pendidikan dan literatur pendidikan di Indonesia.
Berbagai ahli kurikulum yang belajar tentang bidang ini mulai dimiliki
bangsa Indonesia, dan mereka memperkaya kelompok yang telah
berpengalaman dalam mengembangkan Rencana Pelajaran (kurikulum).
Kehadiran lembaga Pusat Pengembangan Kurikulum dan sarana
Pendidikan, yang kemudian berubah menjadi Puskur dan sekarang bernama
Puskurbuk, serta kehadiran program studi kurikulum di berbagai Institut
Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP)3 memperkuat kelompok yang bekerja
dan melakukan studi akademik dalam bidang kurikulum.
Meskipun demikian, harus diakui bahwa meninggalkan makna kurikulum
sebagai daftar mata pelajaran bukanlah sesuatu yang mudah. Dalam realita
pengembangan kurikulum dan kebijakan kurikulum sering kali masih
dikungkung oleh makna kurikulum sebagai daftar mata pelajaran walaupun
dalam kurikulum 1954 dan Kuurikulum 1975 telah ada upaya untuk
mengubah makna kurikulum. Dalam pelaksanaan atau implementasi
kurikulum di sekolah, kurikulum masih diperlakukan sebagai daftar mata
pelajaran. Memang mengubah sebuah kerangka berpikir dan pola tindakan
bukan merupakan sesuatu yang mudah, perlu kesadaran tinggi tentang
makna baru secara konsisten dan membangun pola tindakan baru yang
sesuai dengan makna baru itu merupakan perubahan yang sering kali baru
terjadi dalam waktu yang panjang apabila diupayakan secara konsisten.
Pada saat sekarang, secara resmi kurikulum diartikan sebagai “seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara
yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu” (UU RI Nomor 20 Tahun 2003,
Pasal 1, Ayat (19)). Rumusan pengertian kurikulum yang digunakan dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tersebut
menyatukan tiga dimensi utama kurikulum, yaitu dimensi rencana dan
pengaturan (curriculum as intended, planned, document) dan dimensi proses
(penyelenggaraan kegiatan pembelajaran = implementasi) dan kurikulum
sebagai hasil (mencapai tujuan tertentu = product) dalam satu
kesinambungan. Rumusan kurikulum tersebut kehilangan suatu komponen
penting, yaitu asesmen/penilaian hasil belajar. Komponen ini amat penting
karena komponen ini yang menentukan kualitas belajar atau kurikulum.
Ketika kurikulum merencanakan pengembangan kemampuan/kompetensi
tingkat tinggi (HOTS), dikembangkan dalam proses pembelajaran yang
tepat, tetapi kualitas yang dimiliki peserta didik yang diakui adalah yang
teruji dalam penilaian. Jika yang dinilai adalah ingatan dan pemahaman
3
Pada saat sekarang IKIP Negeri di seluruh Indonesia berkembang menjadi universitas tetapi
nama IKIP masih banyak digunakan oleh berbagai perguruan tinggi pendidikan guru swasta.
Nama FKIP digunakan oleh fakultas yang mengembangkan ilmu pendidikan, guru dan
tenaga kependidikan.
-3-
maka kualitas hasil belajar teruji dan yang terekam untuk kemudian
dipublikasikan (angka yang diberikan guru/penilai, rapor, ijazah, dan
sebagainya) adalah ingatan dan pemahaman. Hasil belajar lainnya yang
dimiliki peserta didik tidak teruji, tidak diketahui, dan secara formal tidak
dianggap sebagai kualitas hasil belajar. Dalam kasus lain, ketika
pembelajaran berfokus pada ingatan dan pemahaman pengetahuan
sedangkan yang diuji tentang kompetesi berpikir tinggi seperti kemampuan
menganalisis, mengevaluasi atau pun mencipta maka tentu saja peserta didik
tidak mampu menjawabnya dan dianggap tidak berkualitas.
Ketidaksinambungan antara komponen kurikulum lain dengan penilaian
telah menimbulkan banyak persoalan kurikulum.
4
MULO = Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (Pendidikan Rendah yang Diperluas), bahasa
pengantar Bahasa Belanda
5
HIS = Hollandsch Inlandsche School (Sekolah Dasar untuk pribumi), bahasa pengantar
Bahasa Belanda
6
ELS = Europesche Lagere School (Sekolah Dasar untuk orang Eropa), bahasa pengantar
Bahasa Belanda
7
HBS = Hogere Burger School (Sekolah Lanjutan Tinggi) untuk mereka yang akan
melanjutkan ke perguruan tinggi dikembangkan dari seksi B Gymnasium Koning Willem III
pada tahun 1867 di Jakarta (Nasution,1983:130; Djumhur dan Danasaputra, 1974:128).
8
Gunawan (1986), Kebijakan-Kebijakan Pendidikan di Indonesia. Jakarta. Bina Aksara
-4-
pendidikan yang berdiri sendiri merupakan suatu yang khas Indonesia.
Pewarisan sistem persekolahan dari zaman penjajahan Belanda yang
kemudian diteruskan oleh pendudukan militer Jepang dan diformalkan
dalam berbagai ketetapan legal di Indonesia memberikan dasar hukum yang
kuat bagi esksistensi SMP sebagai satuan pendidikan yang mandiri.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1950,
sekolah yang disebut dengan istilah Mulo atau pun Shoto Chu Gakko, disebut
dengan nama Sekolah Menengah Umum Tingkat Pertama disingkat SMP.
Kata atau istilah umum pada nama SMP digunakan karena sampai tahun
1973 Indonesia masih mengenal adanya sekolah kejuruan seperti Sekolah
Teknik Tingkat Pertama (STP), Sekolah Menengah Ekonomi Tingkat
Pertama (SMEP), Sekolah Menengah Pertanian Pertama (SMPP), Sekolah
Kepandaian Keputrian Pertama (SKKP), dan sekolah menengah keguruan,
yaitu Sekolah Guru B (SGB). Nama-nama sekolah kejuruan dan keguruan
tersebut sangat eksplisit menggambarkan kemampuan tamatannya sehingga
sangat kecil menimbulkan salah persepsi. Untuk SMP adanya kata umum
memperjelas posisi sekolah tersebut sebagai sekolah yang tidak dirancang
untuk menghasilkan tamatan dalam vokasi tertentu. Dalam Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 17, Ayat (2) SMP
adalah singkatan dari Sekolah Menengah Pertama, sudah tidak lagi
menggunakan kata umum.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989
nama SMP diubah menjadi Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP)
walaupun pada waktu Indonesia hanya memiliki satu jenis sekolah pada
jenjang ini. Jadi, SLTP adalah nama diri sekolah seperti halnya SMP, dan
bukan nama kelompok sekolah/satuan pendidikan di jenjang lanjutan
pertama. Sementara itu, nama SMA yang dalam undang-undang yang sama
diubah menjadi Sekolah Menengah Umum (SMU) sebagai anggota dari
Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) menjadi nama kelompok satuan
pendidikan. Anggota lain dari SLTA adalah Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK). Perubahan nama SLTP terjadi lagi, kembali menjadi SMP
sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
20 Tahun 2003, singkatan dari Sekolah Menengah Pertama (UU nomor 20
tahun 2003, Pasal 17) tanpa ada kata umum. Sedangkan sekolah di bawah
Departemen Agama yang sederajat dengan SMP dan disebut dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 adalah
Madrasah Tsanawiyah (MTs). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tidak memberikan
nama kelompok satuan baik untuk jenjang menengah pertama maupun
menengah atas.
-5-
C. KURIKULUM SEBAGAI PUBLIC POLICY DAN SEBAGAI
ACADEMIC/EDUCATIONAL INNOVATION
Kurikulum adalah suatu kebijakan publik karena kurikulum yang dinyatakan
berlaku oleh pemerintah berdampak kepada kehidupan sebagian terbesar
masyarakat langsung atau tidak langsung, berdampak kepada pembiayaan
(cost) yang harus dikeluarkan pemerintah dan masyarakat, berdampak
kepada kehidupan bangsa di masa mendatang, dan memiliki keterikatan
dengan tata kehidupan masyarakat yang dilayani kurikulum secara
langsung. Oleh karena itu, kurikulum tidak mungkin menjadi suatu
keputusan/kebijakan pendidikan apabila tidak mendapat dukungan politik
(politically viable) bangsa. Aspek kurikulum yang paling banyak berkenaan
dengan unsur politik adalah aspek ide kurikulum. Aspek ini menyatakan
secara filosofis kualitas generasi muda bangsa yang akan dikembangkan
melalui pengembangan potensi setiap individu peserta didik.
Aspek ide kurikulum merupakan ketentuan tentang filosofi, teori serta
model kurikulum untuk mengembangkan potensi peserta didik. Artinya, jika
pendidikan untuk seluruh bangsa Indonesia adalah pendidikan dasar 9
tahun (Wajib Belajar 9 Tahun) maka kualitas minimal yang harus dimiliki
setiap anak bangsa Indonesia mereka miliki setelah mengikuti proses
pendidikan selama 9 tahun (SD/MI dan SMP/MTs). Oleh karenanya,
kurikulum pendidikan dasar harus mampu mengembangkan materi dan
proses pendidikan di mana setiap peserta didik memiliki kesempatan dan
kemampuan mengembangkan potensi dirinya menjadi kualitas yang
dimaksudkan. Posisi yang menempatkan kurikulum pendidikan dasar
menyandang peran penting dalam mengembangkan potensi peserta didik
menjadi kualitas dasar bagi seluruh manusia Indonesia, menjadikan
kurikulum SD/MI dan SMP/MTs sebagai suatu kebijakan pendidikan yang
kritikal dan fundamental. Kegagalan dalam upaya mengembangkan potensi
menjadi kualitas yang diperlukan akan menimbulkan dampak yang sangat
mungkin tidak diinginkan, dalam kehidupan pribadi yang bersangkutan dan
bangsa di berbagai dimensi kehidupan pribadi, kemasyarakatan, dan
kebangsaan. Pendidikan menengah, apalagi pendidikan tinggi tidak dalam
posisi yang kritikal dan fundamental sebagaimana kurikulum pendidikan
dasar karena pendidikan menengah dan tinggi tidak dalam posisi untuk
mengembangkan kualitas minimal yang dipersyaratkan bagi seluruh bangsa
Indonesia, tetapi bagi mereka yang terpilih berdasarkan kemampuan dan
minat yang dimiliki seseorang warga negara. Tentu saja suatu bangsa
memerlukan warga yang memiliki kualitas dasar, kualitas lanjutan, dan
kualitas tinggi dan karenanya secara keseluruhan pendidikan menengah dan
pendidikan tinggi sangat diperlukan bangsa.
Kurikulum sebagai kebijakan publik dituangkan dalam bentuk dokumen,
direalisasikan dalam bentuk dimensi proses kurikulum, yaitu pembelajaran,
-6-
dan diwujudkan dalam bentuk hasil belajar. Dimensi dokumen
dikembangkan sebagai rancangan bagi landasan pengembangan dimensi
proses kurikulum sedangkan dimensi hasil adalah bentuk kemampuan yang
dimiliki peserta didik sebagai hasil langsung dari pengalaman belajar
mereka dalam dimensi proses pembelajaran. Keempat dimensi kurikulum
tersebut, yaitu sebagai “curriculum ideas, a written plan where the ideas are
planned and documented, the experiences the students have as teachers realize the
ideas in the document into reality or learning process, and the product, outcomes or
the competencies the students have as the direct result from the experiences ( Hasan,
2009) merupakan satu keseluruhan proses pengembangan kurikulum
(curriculum development). Secara singkat, Kurikulum dapat didefinisikan
sebagai program pendidikan untuk suatu jenjang, satuan pendidikan atau
program dalam bentuk rencana tertulis, proses pembelajaran dan hasil
belajar.
Kurikulum adalah suatu hasil pemikiran inovatif para pengembang sebagai
jawaban terhadap apa yang diperlukan masyarakat (hasil dari “need analysis”).
Seperti dikemukakan Oliva (1992) curriculum is a product of its time. . .
Curriculum responds to and is changed by social forced, philosophical positions,
psychological principles, accumulating knowledge, and educational leadership at its
moment in history. Oleh karena setiap terjadi perkembangan dalam
masyarakat yang berdampak luas dan menghendaki adanya kualitas baru
dari anggota masyarakatnya maka diperlukan suatu kurikulum baru.
Kurikulum adalah jawaban atau hipotesis pendidikan terhadap kebutuhan
pengembangan potensi peserta didik menjadi kualitas baru yang diperlukan
untuk kehidupan dirinya sebagai warga negara.
Dalam jawaban tersebut yaitu kurikulum baru selalu terkandung suatu
inovasi. Ruang lingkup atau “magnitude” inovasi suatu kurikulum baru
beragam, dapat berkenaan dengan sesuatu yang besar dan meliputi aspek
filosofis, teoritik, model sampai ke berbagai komponen dokumen kurikulum.
Ruang lingkup inovasi kurikulum baru tersebut dapat pula merupakan
sesuatu yang sangat kecil dan hanya berkenaan dengan satu komponen
kurikulum, tetapi memiliki nilai pendidikan yang signifikan. Semakin rumit
dan luas kualitas baru yang dibutuhkan masyarakat maka semakin besar
pula ruang lingkup inovasi suatu kurikulum baru.
-7-
faktor tersebut berpengaruh terhadap kebijakan kurikulum sebagai
kebijakan publik/pendidikan di negara mana pun, dan ketika salah satu dari
ketiga faktor tersebut berubah terutama faktor politik maka kurikulum
sebagai suatu kebijakan publik/pendidikan akan berubah.
1. Faktor Politik
Sebagaimana telah dikemukakan di bagian atas, kurikulum di Indonesia
mengalami perubahan mendasar pada tahun 1966 karena adanya perubahan
kekuatan politik dari kehidupan politik yang semula didominasi oleh
kekuatan komunis ke kekuatan politik yang didominasi kekuatan
antikomunis. Ketika terjadi perubahan kekuatan politik tersebut maka
pemerintah segera mengeluarkan kurikulum baru yang dinamakan
Kurikulum 1968 menggantikan kurikulum sebelumnya, yaitu Rencana
Pelajaran SMP Gaya Baru tahun 1964. Penggantian kurikulum Gaya Baru
menjadi kurikulum 1968 bersifat sementara untuk mengatasi masalah
ideologi komunis, demokrasi terpimpin dan ekonomi terpimpin yang
dianggap sudah tidak sesuai untuk kehidupan masyarakat Indonesia pada
masa pemerintahan Orde Baru. Pada dasarnya secara teknis perubahan
tersebut terjadi hanya dengan menghapus bagian-bagian tertentu konten
kurikulum yang berkenaan dengan ajaran komunisme. Perubahan tersebut
memang membuktikan adanya pengaruh politik yang sangat jelas dan tak
mungkin dipungkiri terhadap kurikulum (Appel, 1979: 13; Giroux, 1981:
21-22; Waring, 1981: 20). Kurikulum adalah isi dan jantungnya pendidikan
(Klein, 2000:54) dan oleh karena itu, kekuatan yang mampu mempengaruhi
kurikulum berarti mampu menguasai proses pendidikan dan hasil
pendidikan. Kepedulian kekuatan politik dapat berupa kekuatan resmi yang
dipegang oleh pemerintah (pusat, daerah) tetapi juga dapat berupa kekuatan
politik yang riil di masyarakat dan secara langsung berpengaruh terhadap
kurikulum sebagai suatu proses pendidikan.
Kekuatan politik dikembangkan menjadi kemauan politik. Kemauan politik
dimiliki oleh sekelompok orang yang memiliki wewenang sebagai pengambil
kebijakan di bidang kurikulum (presiden, menteri, BSNP, kepala
sekolah/komite sekolah). Kemauan politik dimiliki pula oleh sejumlah
orang yang berhasil mempengaruhi pengambil kebijakan dalam menentukan
kurikulum. Sekelompok orang yang berhasil mempengaruhi pengambil
kebijakan itu mungkin para politisi, “pressure groups”, akademisi, orangtua,
atau komunitas tertentu di masyarakat.
Pengaruh politik atau kekuatan politik (termasuk tekanan sosial) tidak dapat
dilepaskan atau pun diabaikan dalam proses pengembangan kurikulum mana
pun dan di negara mana pun. Pengaruh politik atau kekuatan politik paling
kecil adalah pengaruh terhadap kurikulum akademik perguruan tinggi
karena lembaga perguruan tinggi dilindungi dan dikembangkan sebagai
lembaga yang memiliki otonomi penuh di bidang akademik. Berbeda dari
-8-
kurikulum akademik, kurikulum profesi dan vokasional yang dikembangkan
di perguruan tinggi sangat dipengaruhi oleh kekuatan masyarakat yang
menjadi pemegang profesi dan tergabung dalam organisasi profesi.
Untuk mengurangi pengaruh politik dan masyarakat terhadap
pengembangan kurikulum di jenjang pendidikan dasar dan menengah, di
berbagai negara kurikulum perekolahan dikembangkan oleh perguruan
tinggi. Kebijakan tersebut tidak menyebabkan para pengembang kurikulum
dapat melepaskan diri dari pengaruh politik dan kekuatan masyarakat.
Pengaruh politik dan masyarakat paling kecil adalah dalam bentuk apa yang
tidak boleh dikembangkan kurikulum, baik terutama dalam komponen
konten, proses pendidikan atau pun penilaian hasil belajar. Pengaruh
tersebut menyebabkan suatu kurikulum hanya dapat digunakan oleh satuan
pendidikan jika kurikulum tersebut tidak bertentangan dengan kepentingan
politik dan masyarakat (politically viable).
-9-
Perkembangan dalam dunia ilmu pendidikan termasuk filsafat berpengaruh
terhadap perubahan kurikulum. Filosofi kurikulum sebagaimana dikatakan
oleh Schubert (1986:113) adalah jantung pengembangan kurikulum. Ia
mengatakan:
Philosophy lies at the heart of educational endeavor. This is perhaps more
evident in curriculum domain than in any other, for curriculum is a
response to the question of how to live a good life. . . . John Dewey (1916)
supported this emphasis when he suggested that education is the testing
ground of philosophy itself
Pendapat serupa dikemukakan oleh Tanner dan Tanner (1980) dan Oliva
(1997). Tanner dan tanner (1980: 103) bahkan menyatakan bahwa filosofi
kurikulum berpengaruh dan menjadi sumber dalam proses pengembangan
kurikulum. Sedangkan Oliva (1997:190) mengatakan bahwa setiap
pengembang kurikulum harus sadar filosofi yang berpengaruh pada dirinya
ketika mereka mengembangkan ide dan dokumen kurikulum. Sebagai
contoh, filosofi kurikulum essensialisme dan perenialisme sangat
menekankan pada pandangan bahwa pendidikan yang baik adalah
pendidikan yang mampu mengembangkan kemampuan intelektual dan
berpikir rasional. Atas dasar filosofi ini, kurikulum harus mengembangkan
pendidikan disiplin ilmu sehingga konten kurikulum adalah konten disiplin
ilmu dan tentu saja setiap perkembangan yang terjadi dalam konten disiplin
ilmu menghendaki perubahan kurikulum. Ketika filosofi lain, seperti
eksperimentalisme, humanisme dan rekonstruksi sosial menjadi landasan
pengembangan kurikulum maka pengetahuan dan keterampilan yang
berasal dari disiplin ilmu tetap diperlukan. Pengetahuan dari disiplin ilmu
berupa fakta, konsep, generalisasi atau juga teori merupakan persyaratan
awal untuk mengenal dan memahami keterampilan atau pun nilai yang akan
dikembangkan. Pengetahuan merupakan sesuatu yang diperlukan otak
untuk mengembangkan kemampuan kognitif, tetapi juga kegiatan kognitif
memberikan hasil berupa pengetahuan baru. Kemampuan kognitif, seperti
memahami, menggunakan/menerapkan, menganalisis, dan mengevaluasi
menjadi dasar kuat bagi seseorang untuk mengembangkan kemampuan
kognitif tertinggim, yakni menghasilkan suatu pengetahuan baru atau
produk baru dalam berbagai bentuk.
3. Perkembangan sosial-budaya-ekonomi
Sosial-budaya adalah landasan pengembangan suatu kurikulum. Pewarisan
nilai-nilai budaya adalah salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya
perubahan kurikulum, sebab pada dasarnya kurikulum adalah salah satu
landasan pengembangan kurikulum (Smith, Stanley, dan Shores, 1957;
Taba, 1962). Perkembangan fokus dan unsur nilai yang harus diwariskan
pendidikan kepada generasi muda akan memberikan dasar yang kuat untuk
- 10 -
suatu kurikulum berubah. Ketika fokus dan unsur nilai berhimpit dengan
kepentingan politik maka perubahan pada fokus dan unsur nilai semakin
tinggi frekuensinya. Pada saat itu, maka adanya perubahan kurikulum
semakin tinggi pula.
Kehidupan sosial-budaya-ekonomi suatu masyarakat selalu berubah.
Pengaruh politik, ilmu pengetahuan, dan teknologi akan lebih mempercepat
perubahan yang terjadi dalam kehidupan sosial-budaya-ekonomi suatu
masyarakat. Perubahan yang terjadi melahirkan berbagai kebutuhan akan
kemampuan baru yang harus dimiliki anggota masyarakat. Kemampuan
baru yang dituntut oleh perubahan kehidupan sosial-budaya-ekonomi
berkaitan dengan penguasaan pengetahuan baru, keterampilan kognitif baru,
sikap baru, nilai baru, dan kebiasaan baru. Hal-hal baru itu merupakan
tambahan, penyempurnaan atau bahkan mengganti hal-hal lama yang sudah
ada. Keterampilan baru yang dihasilkan oleh hal-hal baru merupakan
dorongan atau faktor yang kuat untuk mengubah kurikulum.
Perubahan yang dipengaruhi oleh perubahan dalam kehidupan sosial-
budaya-ekonomi tak bisa dihindari kurikulum. Kurikulum mempunyai peran
yang sangat penting untuk melayani kepentingan masyarakat (Taba, 1962;
Saylor dan Alexander, 1974). Dinamika masyarakat adalah dinamika
kurikulum dan masyarakat berkembang jika kurikulum memberikan hasil
dengan kualitas peserta didik yang mampu mengembangkan masyarakat.
Pada gilirannya, masyarakat memerlukan kualitas baru akibat dari kemajuan
atau perkembangan yang mereka miliki. Oleh karena itu, apa yang terjadi di
masyarakat akan berpengaruh terhadap kurikulum dan sebaliknya apa yang
diberikan kurikulum kepada masyarakat akan menimbulkan perubahan-
perubahan baru dalam masyarakat.
- 11 -
BAB II
KURIKULUM SMP (MULO) PADA
ZAMAN HINDIA BELANDA
- 12 -
A. KELAHIRAN MULO DALAM SISTEM PERSEKOLAHAN
ZAMAN HINDIA BELANDA
Pendidikan barat di Indonesia sudah diperkenalkan sejak masa awal
kekuasaan Portugis di Indonesia, yaitu dengan pendirian sekolah seminari di
Ternate pada tahun 1536 (Nasution, 2008:4; Djumhur dan Danasaputra,
1976: 115). Tujuan dari pendirian sekolah itu adalah untuk menyebarkan
agama Katolik, sesuai dengan semboyan gold, glory, and gospel ketika bangsa
Portugis menjelajah dan menjajah wilayah di luar benua Eropa. Pendidikan
barat dalam skala yang lebih luas dari sekolah seminari, diperkenalkan
kongsi dagang Belanda yang bernama Vereenigde Oost-Indische Compagnie
(VOC) di Ambon pada tahun 1607 (Nasution, 2008:4; Djumhur dan
Danasaputra, 1976:116). Ajaran agama yang diperkenalkan adalah Kristen
Protestan (Calvinisme, Lutherian) yang telah berkembang di Eropa sejak
awal abad ke 16 termasuk Belanda dan di Indonesia secara resmi dinamakan
Kristen untuk membedakannya dari Katolik. Baik Portugis maupun Belanda
(VOC) berkonsentrasi mendirikan sekolah di daerah Maluku di masa awal
kekuasaan mereka, karena Maluku adalah daerah penghasil rempah-rempah
yang terkenal di Eropa pada masa itu, dan menjadi daerah tujuan utama
Portugis dan Belanda ke Indonesia. Kurikulum pada waktu itu
mengembangkan proses pembelajaran yang berkenaan dengan ajaran-ajaran
agama.
Setelah VOC menduduki Jayakarta, mengubah namanya menjadi Batavia,
VOC mulai membangun sistem administrasi pemerintahan dan
perdagangan. Untuk itu, VOC memerlukan tenaga kerja terampil terutama
di bidang administrasi. Pada tahun 1630 VOC membuka sekolah di Jakarta
dengan pelajaran yang utama adalah membaca, menulis, berhitung ditambah
dengan pendidikan agama Kristen seperti “memupuk rasa takut kepada
Tuhan, dasar-dasar agama Kristen, berdo’a, bernyanyi, pergi ke gereja,
mematuhi orangtua, penguasa dan guru” (Nasution, 2008:5). Kurikulum
seperti itu adalah sesuatu yang umum pada masa itu dan untuk sekolah VOC
ditetapkan oleh lembaga pimpinan tertinggi VOC yang dinamakan De
Heeren XVII.
Kebijakan pendidikan VOC pada masa itu tidak sepenuhnya memisahkan
sekolah untuk anak-anak Eropa dengan pribumi terpilih. Mereka bersekolah
bersama terutama disebabkan karena jumlah anak-anak Eropa masih
terbatas dan misi untuk menyebarkan agama Kristen (Nasution, 2008:6;
Djumhur dan Danasuparta, 1976:116) yang ditujukan kepada anak
Indonesia9. Pada bulan Desember 1799 VOC dibubarkan dan kekuasaan di
Indonesia langsung berada di bawah parlemen Belanda. Pemerintahan
9
Nama Indonesia dan pribumi digunakan silih berganti dengan pengertian yang sama karena
pada masa VOC nama Indonesia belum dikenal/digunakan.
- 13 -
Belanda di Indonesia dinamakan Pemerintahan Hindia Belanda
(Nederlandsch-Indie). Berbagai kebijakan pendidikan baru pun dikembangkan
oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk anak-anak keturunan Eropa, Cina,
dan pribumi dengan sekolah yang berbeda pula. Pendidikan untuk anak
pribumi (inlands onderwijs) dikembangkan khusus dengan jenis sekolah yang
berbeda dari anak-anak keturunan Eropa yang bersekolah di dalam sistem
pendidikan Eropa (Europees Onderwijs) (Poeze, 1982: xx). Pada tahun 1817
sekolah pertama bagi anak-anak Belanda dan Eropa lainnya dibuka di
Jakarta diikuti dengan pendirian sekolah serupa di berbagai kota di pulau
Jawa (Nasution, 2008:9). Sedangkan untuk anak Indonesia didirikan sekolah
Kelas Dua (Tweede Klasse-school = sekolah ongko loro), Sekolah Desa (Dessa-
school), dan Sekolah Rakyat (Vervolg-school). Ketiganya adalah dalam
kelompok sekolah dasar (lager onderwijs). Secara keseluruhan sistem
persekolahan tingkat dasar dan menengah tergambarkan pada Gambar 1
sebagaimana dikemukakan oleh Poeze (1982:xx)
Politik Etis dan pengaruh faham liberal yang berkembang di Belanda
membuka kesempatan pendidikan barat yang lebih besar bagi anak
Indonesia. Tekanan politik dalam negeri menyebabkan Pemerintah Hindia
Belanda membuka kesempatan kepada anak Indonesia untuk mendapatkan
pendidikan yang lebih luas, tetapi baik politik Etis maupun paham liberal
tidak memberikan kesempatan yang sama antara anak Indonesia dengan
anak Belanda. Pemisahan pendidikan terjadi pada jalur dan jenjang. Pada
jenjang pendidikan dasar terjadi pemisahan pendidikan untuk anak pribumi
(inlands onderwijs), dan anak Eropa (Europees onderwijs) dan anak Cina.
Dalam jangka waktu yang cukup panjang bagi anak Indonesia hanya
tersedia sekolah pada jenjang pendidikan dasar sedangkan bagi anak
Belanda tersedia sekolah pada jenjang pendidikan menengah. Anak
Indonesia yang cerdas dan jumlah mereka semakin banyak tetapi mereka
tidak memiliki melanjutkan studinya ke jenjang pendidikan menengah.
Beberapa anak priyayi tinggi dan terpilih memang dibolehkan melanjutkan
ke jenjang pendidikan menengah. Kesempatan itu baru terbuka ketika
Pemerintah Hindia Belanda membuka Meer Uitgebreid Lager Onderwijs
(MULO), pendidikan dasar yang diperluas.
- 14 -
Hoger Onderwijs
Middelbaar Onderwijs
Bestuursscchool
Midd.Landb.school 3 jr
Kweek. 2 jr
Hoogere
2 jrl
Stovia 6 jr
Kw 3 jr
Kweeksch.
Rechtsch.
A.M.S
KKKK
Mosvia
MM
3 jr
3 jr
2jr
Inheemse Opl. Normaal- M.U.L.O
M.U.L.O Volkson- School 3 M.U.L.
jr
opl H.B.S
4 jr Derwijzer 3 jr 3/5 jr
2 jr Voorklas 1 jr
Lager Onderwijs
Schakel-
school
5 jr
Vervolg-
school H.I.S E.L.S
Tweede-
2/3 jr 7 jr EE.L.
Klasse- 7 jr
Dessa-
School
School
5/6 jr
3 jr
- 15 -
sebagai lembaga yang berdiri sendiri (als een zelfstandig instituut). Pribumi
tamatan HIS yang cerdas tersebut tidak mungkin melanjutkan ke
mulocursussen yang bagian ELS dan tidak pula ke HBS, karena keduanya
diperuntukkan bagi orang Eropa.10
Pada tahun 1914 kursus-kursus tersebut disetujui untuk dikembangkan
menjadi MULO sebagai sekolah yang berdiri sendiri, lepas dari ELS.
Pendirian MULO tersebut dikukuhkan berdasarkan Ind. Stbl.11 1914 nomor
447 junto nomor 672 dan 687 tentang Reglement op de openbare scholen van
voortgezet en uitgebreid lager onderwijs in Netherlands Indie” (Van der Waal,
1963:230). Istilah meer uitgebreid (lanjutan lebih luas) memberikan indikasi
tentang kedudukan sekolah yang semula kursus dan bagian dari sekolah
dasar tersebut, demikian pula dengan istilah onderwijs (pendidikan) dan
bukan school yang digunakan, seolah-olah pelaksanaan pendidikan dilakukan
bukan oleh lembaga pendidikan yang dinamakan sekolah.
Lama belajar MULO yang semula 2 tahun ketika masih menjadi kursus dan
bagian dari ELS, dikembangkan menjadi 3 tahun setelah menjadi MULO
yang lepas dari ELS12. MULO terbuka bagi anak Indonesia yang sudah
menyelesaikan HIS (Hollandsch Inlandsche School = Sekolah Pribumi
berbahasa Belanda). Sejak berdiri sendiri, Mulo menjadi lembaga/sekolah
resmi sesudah sekolah dasar dan menjadi persyaratan untuk memasuki
AMS (Algemeene Middlebare School) yang setelah Indonesia merdeka disebut
SMA.
Berbeda dari ELS, HIS, apalagi HBS, MULO tidak didasarkan pada model
sekolah Eropa (Nasution, 2008:123; Poeze, 1982:XIX). Dalam struktur
persekolahan di Belanda dan di banyak negara Eropa, tidak ada sekolah pada
jenjang menengah yang berdiri sendiri seperti MULO. Di berbagai negara
Eropa, sekolah menengah diorganisasikan dalam satu manajemen dan terdiri
atas program menengah junior (setara SMP) dan menengah senior (setara
SMA). Pada masa kemudian, tamatan MULO dapat melanjutkan pelajaran
ke sekolah kejuruan tingkat menengah (hogere vakscholen) dan ke AMS
10
Dalam kebijakan pendidikan pemerintah Hindia Belanda dipisahkan sekolah untuk orang
Eropa, Cina, dan Indonesia yang dinamakan pribumi (istilah orang atau bangsa Indonesia
belum digunakan). Untuk anak pribumi disediakan inlands onderwijs sedangkan untuk Eropa
disediakan Europees onderwijs (Poeze,1982:xx)
11
Ind. Stbl adalah singkatan Indische Staatblad yang masih berlaku dalam sistem hukum
Indonesia, dinamakan Lembar Negara yang mencatat sebuah undang-undang. Sebuah
undang-undang baru dinyatakan resmi berlaku setelah tercatat dan diundangkan dalam
Lembar Negara. Lembar Negara ditandatangani oleh Sekertaris Negara (dulu oleh Menteri
Kehakiman) dan diberi nomor khusus.
12
Menurut Poeze (1982: 20) ada MULO yang merupakan sekolah dalam sistem pendidikan
Belanda (3 tahun) dan ditambah satu tahun bagi anak Indonesia yang melanjutkan sekolah
ini dari Schakel-school dan ada MULO Pribumi (Imheese MULO) yang masuk dalam sistem
pendidikan pribumi (Inlands Onderwijs) yang lamanya 4 tahun.
- 16 -
(Algemeene Middlebare School) 3 tahun. Seperti juga MULO, menurut Poeze
AMS merupakan bentuk khusus sekolah menengah (awal) di daerah Hindia
Belanda (de specifiek Indische vorm van voorbereidend hoger onderwijs). Tamatan
MULO dapat juga melanjutkan studi mereka ke Stovia (School tot Opleiding
van Indische Artsen 6 tahun = Sekolah Dokter Jawa), Mosvia (Middlebare
Opleidingsschool vor Indische Ambtenaaren = Sekolah Menegah Pamong Praja
Pribumi 2 tahun), Rechtschool (Sekolah Hukum 3 tahun), Kweekschool
(Sekolah Guru 3 tahun), dan Middle Landsbouw School (Sekolah Menengah
Pertukangan 3 tahun).
- 17 -
Keseluruhan mata pelajaran yang terdapat pada Rencana Pelajaran Mulo
nampak pada table 2.1.
Dalam ilmu bumi peserta didik MULO belajar terutama geografi negara
Belanda, Eropa, dan sedikit mengenai Hindia-Belanda (Indonesia).
Pengetahuan tentang letak negara, bentuk dan karakteristik permukaan
tanah, nama dan letak kota (peta buta), dan bahkan nama-nama gedung
penting serta alamatnya di berbagai kota di Belanda merupakan
pengetahuan penting dan harus menjadi pengetahuan siap (paratekennis),
yaitu pengetahuan hafalan. Pengetahuan hafalan (paratekennis) adalah
pengetahuan yang harus dimiliki peserta didik dan mereka harus selalu siap
dengan jawaban di luar kepala apabila ditanyakan. Pada saat sekarang,
walaupun nama pengetahuan siap sudah tidak digunakan, dunia pendidikan
Indonesia masih mengandalkan pengetahuan siap. Soal-soal yang dibuat
untuk ulangan dan ujian berpijak pada pemikiran dasar bahwa peserta didik
harus memiliki pengetahuan siap untuk menjawab pertanyaan yang
diajukan.
13
Bahasa Perancis nantinya dihapus ketika Belanda tidak lagi dikuasai Louis Bonaparte,
- 18 -
Sama halnya dengan ilmu bumi adalah mata pelajaran sejarah. Pengetahuan
sejarah yang diutamakan adalah pengetahuan sejarah tentang kerajaan
Belanda dan dinasti Oranye, asal-usul dinasti Oranye beserta raja dan ratu
yang berkuasa, perjuangan bangsa Belanda dalam percaturan kekuatan
politik negara-negara Eropa, keunggulan Belanda sebagai bangsa serta
perjuangan bangsa Belanda memerdekakan dirinya dari kekuasaan Jerman.
Pengetahuan sejarah juga mencakup pengetahuan tentang pelayaran bangsa
Belanda ke Indonesia, pendirian VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie),
tokoh-tokoh VOC yang berjasa dalam membangun kekuasaan Belanda di
Indonesia, pembentukan kekuasaan dan pemerintah Belanda di Nederlandsche
Indie (Hindia Belanda = Indonesia). Para tokoh yang berkedudukan sebagai
gubernur jenderal (wakil pemerintah Belanda di wilayah Hindia-Belanda),
usaha pemerintah Hindia Belanda mengembangkan kekuasaan dan pengaruh
di wilayah Nusantara (Indonesia) terutama dalam memepertahankan
kekuasaan dari para “pemberontak” (pemimpin Indonesia yang melawan
pemerintahan Hindia Belanda dalam mempertahankan wilayah kekuasaan
para pemimpin/raja tersebut). Sejarah kekuasaan Belanda di Indonesia
diikuti dengan berbagai tindakan pemerintah Hindia Belanda dalam
membangun berbagai aspek kehidupan lain, seperti budaya dan ekonomi
termasuk program-program kemanusiaan untuk masyarakat pribumi
(Indonesia). Politik Etis (Etische Politiek) pemerintah Hindia Belanda
menjadi pokok bahasan penting karena melalui pokok bahasan poliitik etis
yang dianggap sebagai program kemanusiaan, Pemerintah Belanda
membangun kehidupan masyarakat Indonesia yang “lebih baik” terutama
dalam membangun sekolah untuk menghasilkan golongan terpelajar dan
tenaga terlatih bangsa Indonesia.
Mata pelajaran sejarah umum untuk MULO mengajarkan mengenai asal-
usul peradaban dunia yang dimulai dengan asal-usul peradaban bangsa-
bangsa Eropa, yaitu peradaban bangsa Yunani dan Romawi. Pelajaran
tentang kebudayaan bangsa Yunani dan Romawi berkenaan dengan budaya,
seni dan pemerintahan serta kekuasaan sampai kepada dongeng dan
mitologi para dewa yang dikenal dalam teologi kepercayaan Yunani dan
Romawi sangat penting. Peserta didik MULO sangat hafal mengenai
pengaruh kedua peradaban tua tersebut terhadap peradaban Eropa dan
dunia barat. Peradaban bangsa Belanda dan bangsa-bangsa Eropa lainnya
yang mereka miliki sekarang memang banyak dipengaruhi kebudayaan
Yunani dan Romawi. Oleh karena itu, mempelajari kedua kebudayaan
tersebut memiliki makna yang penting bagi orang Belanda dan Eropa
lainnya.
Mata pelajaran Ilmu Alam berkenaan dengan berbagai hukum alam yang
telah dihasilkan oleh para sarjana Eropa dan menjadi dasar dari ilmu
pengetahuan modern. Berbagai teori yang sampai sekarang masih dibahas
dalam khasanah ilmu alam seperti hukum Archimedes, Boyle dan sebagainya
- 19 -
merupakan pelajaran penting dalam Ilmu Alam. Tokoh-tokoh ilmu
pengetahuan dari belahan dunia lain apalagi dari dunia Asia tak
tersentuhkan bahkan hingga saat kini ketika Indonesia sudah merdeka
selama 65 tahun materi pelajaran IPA masih tidak banyak berubah dari apa
yang telah diperkenalkan Belanda. Dari pelajaran Ilmu Alam, peserta didik
MULO mengenal dan dilatih dalam cara berpikir empirik dan rasional. Hal-
hal yang tidak terkait dengan alam nyata dan tidak dapat dibuktikan secara
empirik dinyatakan sebagai tahayul dan dianggap bertentangan dengan cara
berpikir manusia modern.
Bahasa Melayu tidak diajarkan pada waktu kursus MULO didirikan pada
tahun 1910, dan tidak juga ketika MULO sudah memiliki status sebagai
sekolah menengah (lanjutan) yang berdiri sendiri (Nasution,2008:123).
Selanjutnya, Nasution (2008:124) mengatakan bahwa mata pelajaran Bahasa
Melayu baru ada dalam kurikulum MULO pada tahun 1919. Pembelajaran
bahasa Melayu dalam kurikulum MULO memberikan pengaruh yang kuat
terhadap kelompok terpelajar Indonesia dalam membangun dan
mengembangkan semangat kebangsaan. Ketika para pemuda yang
tergabung dalam berbagai organisasi pemuda daerah (Jong Java, Jong
Ambon, Jong Sumatra Bond, Jong Sunda, Jong Celebes, dan sebagainya)
berkongres di Jakarta, mereka menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa
persatuan untuk bangsa yang mereka cita-citakan. Pada waktu Indonesia
mengeluarkan undang-undang pendidikan pertama dan dikokohkan dalam
undang-undang pendidikan sesudahnya, aspirasi para pemuda tersebut
dikukuhkan dalam bentuk keputusan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa
instruksional dalam setiap jenjang pendidikan di Indonesia.
- 20 -
BAB III
KURIKULUM SHOTO CHU GAKKO
(SMP) PADA MASA PENDUDUKAN
JEPANG
Foto 2:
SMPN 1 Yogya, pada tanggal 11 September 1942 didirikan oleh Pemerintah Pendudukan
Militer Jepang sebagai Shoto Chu Gakko (SMP)
Sumber: Website SMP N 1 Yogyakarta
- 21 -
Pemerintah Militer Jepang memerlukan banyak orang untuk dilatih dalam
militer, memiliki cinta Jepang dan semangat Jepang. Oleh karena itu,
pendidikan harus terbuka bagi banyak orang dan bukan golongan tertentu.
Sistem persekolahan yang dihapus adalah sekolah untuk rakyat dan HIS
menjadi Sekolah Rakyat (kokumin gakkô). Juga, nama MULO dan AMS
diubah dengan nama baru yang diciptakan Pemerintah Militer Jepang
walaupun dalam dokumen Jawa ni okeru Bunkyô no Gaikyô, ada yang masih
menggunakan nama MULO. Perubahan paling penting adalah kurikulum,
karena kurikulum menghasilkan manusia dengan kualitas yang diperlukan
Pemerintah Militer Jepang. Kurikulum harus mampu mengubah orientasi
berpikir dan bersikap yang dikembangkan pada masa pemerintah Kolonial
Hindia Belanda harus dihapus dan diganti dengan orientasi berpikir dan
bersikap Jepang terutama militer Jepang.
Kebijakan Jepang tentang pendidikan, terutama kebijakan pendidkan di
pulau Jawa dapat diketahui dari berbagai sumber, tetapi yang utama adalah
dokumen yang dinamakan Jawa ni okeru Bunkyô no Gaikyô (Kebijakan
Pendidikan Jepang di pulau Jawa)(Kurasawa, 1991:16). Menurut Kurasawa
dokumen tersebut adalah dokumen rahasia yang dikumpulkan oleh personil
militer Jepang, dan berisikan doktrin, ideologi, prinsip dasar serta petunjuk
pelaksanaan kebijakan pendidikan Jepang di pulau Jawa. Dokumen serupa
berkenaan dengan wilayah lain di Indonesia merupakan sesuatu yang masih
perlu ditelusuri untuk dapat membandingkan kebijakan pendidikan
Pemerintahan Pendudukan Militer Jepang.
Pada masa kekuasaan Pemerintah Pendudukan Militer Jepang, sekolah-
sekolah untuk rakyat yang didirikan pada masa pemerintahan Hindia
Belanda (volks school dan vervolg school) dihapus, digantikan dengan sekolah
bergaya Jepang yang dinamakan kokumin gakkô dengan masa belajar 6
tahun. MULO diganti dengan Sekolah Menengah Pertama (Shoto Chu
GakkO) dan didirikan di banyak kota di Indonesia. Di pulau Jawa terdapat
Shoto Chu Gakko di Serang 1(satu) sekolah, Jakarta 3 (tiga) sekolah, Bogor
satu (1) sekolah, Bandung satu (1) sekolah, Garut satu (1) sekolah, Cirebon
satu (1) sekolah, Pekalongan satu (1) sekolah, Kediri satu (1) sekolah,
Jember satu (1) sekolah, Pamekasan satu (1) sekolah, Jogja dua (2) sekolah,
Solo dua (2) sekolah, Magelang satu (1) sekolah, Purwokerto satu (1)
sekolah, Semarang dua (2) sekolah, Pati satu (1) sekolah, Malang stu (1)
sekolah, Bojonegoro satu (1) sekolah, Madiun satu (1) sekolah, dan
Surabaya dua (2) sekolah. Selain itu, ada Sekolah Menengah Pertama Putri
di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Solo, Semarang, Malang, dan Madiun.
Sekolah Menengah Pertama Putri menerima siswa khusus putri dan
memiliki kurikulum yang sedikit berbeda dari Sekolah Menengah Pertama
biasa (Jawa ni okeru Bunkyô no Gaikyô).
- 22 -
B. STRUKTUR KURIKULUM DAN MATA PELAJARAN
Struktur kurikulum Shoto Chu Gakko lebih sederhana dibandingkan struktur
kurikulum MULO. Dalam struktur kurikulum Shoto Chu Gakko semua mata
pelajaran wajib dan tidak ada yang berstatus pilihan. Warna kehidupan
militer yang tidak punya pilihan tampaknya memberi pengaruh yang cukup
kuat terhadap kurikulum Shoto Chu Gakko.
Mata pelajaran yang terdapat dalam kurikulum Shoto Chu Gakko
mencerminkan kebijakan pendidikan Pemerintahan Pendudukan Militer
Jepang untuk menjepangkan bangsa Indonesia. Selain mata pelajaran yang
bersifat eksakta materi mata pelajaran lain disesuaikan dengan kepentingan
pendudukan Jepang di Indonesia, termasuk menarik hati bangsa Indonesia.
Mata pelajaran bahasa Belanda dihapus dan digantikan oleh mata pelajaran
Bahasa Jepang. Selain mengganti bahasa Belanda dengan bahasa Jepang,
dalam kurikulum Shoto Chu Gakko ditambahkan mata pelajaran Pendidikan
Semangat (Moral) dan bahasa Indonesia menjadi mata pelajaran resmi.
Olahraga atau Latihan Badan mendapatkan tempat yang penting sehingga
diberikan jam pelajaran yang cukup besar, yakni 5 jam perminggu.
Kedudukan penting Latihan Badan ini mudah dipahami karena militer
Jepang memerlukan pemuda dengan badan yang sehat dan terlatih secara
pisik. Senam pagi dilakukan sebelum sekolah dimulai dengan menghadap ke
arah matahari terbit. Selain latihan pisik mereka juga diajar lagu kebangsaan
Jepang (Kimigayo) serta berbagai doktrin mengenai kedudukan Jepang
sebagai pemimpin dunia (Hakko ichi U) dan pemimpin Asia.
Tambahan mata pelajaran dalam kurikulum adalah Kaligrafi. Kedudukan
tulisan indah (kaligrafi) huruf kanji sangat dihargai oleh masyarakat dan
budaya Jepang. Tradisi yang turun temurun dalam kaligrafi dimaksudkan
untuk diwariskan juga bagi bangsa Indonesia, yang juga tidak asing dengan
tradisi kaligrafi huruf Arab. Tulisan indah huruf Arab telah berkembang
sejak awal Islam masuk ke Indonesia dan oleh karena itu, adanya mata
pelajaran kaligrafi dalam kurikulum Shoto Chu Gakko bukan sesuatu yang
baru bagi bangsa Indonesia. Unsur kebaruannya adalah jika sebelumnya
yang digunakan untuk tulisan indah itu huruf Arab maka pada masa itu
huruf yang ditulis indah adalah huruf kanji yang masuk dalam kelompok
huruf gambar (pictograph)14.
14
Pictograph adalah huruf yang menggunakan gambar (picto) untuk mewakili suatu pokok
pikiran/ide karena itu disebut juga ideograph. Tulisan ini berkembang di Cina dengan nama
hanzi, di Mesir dengan nama hieroglyph, di Sumeria dengan nama tulisan paku. Tulisan
Hanzi masih digunakan sampai hari ini di Cina, Korea dan Jepang bahkan, seluruh negara
Cina yang memiliki banyak bahasa dipersatukan dalam komunikasi tulisan melalui huruf
Hanzi. Huruf Hanzi di Jepang dinamakan Kanji.
- 23 -
Tabel 3.1. mencantumkan mata pelajaran, kelas dan jam pelajaran untuk
masing-masing mata pelajaran di setiap kelas
Tabel 3.1. Mata Pelajaran dan Jam Pelajaran dalam Kurikulum Shoto Chu Gakko
Kelas dan Jam pelajaran
Mata Pelajaran 1 2 3
Pendidikan Semangat (Moral) 1 1 1
Bahasa Jepang (Nippon) 9 9 9
Bahasa Indonesia 6 6 6
Ilmu Pasti 6 6 6
Ilmu Bumi 2 2 1
Latihan Badan (Pend. Jasmani) 5 5 5
Sejarah 2 1 1
Gambar Tangan (Menggambar) 2 2 2
Ilmu Alam - 2 3
Kesenian 1 1 1
Kaligrafi (Jepang) 2 2 2
Jumlah jam pelajaran 36 37 37
Sumber: diadaptasi dari Ramli, 2010, halaman 70
Dari Tabel 3.1 tampak bahwa beban belajar atau jam belajar untuk mata
pelajaran Bahasa Jepang 9 jam perminggu, Bahasa Indonesia 6 jam
perminggu serta Ilmu Pasti juga 6 jam perminggu menunjukkan pikiran
pokok kurikulum yang ingin menghasilkan “manusia baru” yang bebas dari
pengaruh pendidikan Belanda. Memang, jam belajar Ilmu Pasti sedikit
berkurang jika dibandingkan dengan kurikulum MULO, tetapi
pengurangan tersebut tidak membawa dampak yang berarti bagi kualitas
manusia tamatan SMP yang diinginkan Pemerintah Pendudukan Militer
Jepang.
Penghapusan bahasa Inggris dan bahasa Jerman memperkuat ide kurikulum
yang ingin menghapuskan pengaruh budaya Belanda, khususnya dan barat
umumnya. Memang menarik bahwa bahasa Jerman dihapus, padahal bangsa
Jepang pada waktu itu bersekutu dengan bangsa Jerman. Tampaknya, kerja
sama militer dalam perang antara pemerintah Jerman dan Jepang di masa
Perang Dunia II tidak berpengaruh terhadap kebijakan pendidikan SMP di
masa pendudukan militer Jepang di Indonesia. Pentingnya pelajaran bahasa
- 24 -
yang mengajarkan keterampilan berkomunikasi dan cara berpikir
berdasarkan nilai-nilai budaya yang menghasilkan bahasa tersebut disadari
benar oleh Pemerintah Pendudukan Militer Jepang. Oleh karena itu, adanya
pelajaran bahasa Jerman, apalagi bahasa Belanda akan menjadikan generasi
muda Indonesia berpikir seperti orang barat dan mereka akan tercabut dari
akar budayanya. Selain itu, cara berpikir barat akan menimbulkan masalah
politik bagi misi pendudukan Jepang di Indonesia.
Berdasarkan dokumen Jawa ni okeru Bunkyô no Gaikyô, tahun ajaran baru
bersekolah dimulai tanggal 1 April setiap tahun. Kantor Pengajaran
(Bunkyo Kyoku) setiap Syuu berwewenang menetapkan buku pelajaran yang
digunakan untuk setiap mata pelajaran dan hari libur sekolah. Berdasarkan
dokumen yang sama, hari libur untuk sekolah ditetapkan untuk jangka
waktu satu tahun ajaran. Hari besar agama mendapatkan porsi utama
sebagai hari libur sekolah.
Pada umumnya sekolah libur pada hari besar agama Islam sebagaimana
dikemukakan Tabel 3.2 berikut.
Tabel 3.2. Hari Libur Sekolah
HARI LIBUR LAMANYA LIBUR
Mi’raj Nabi 1 hari
Puasa 40 hari
Grebeg Besar (pulau Jawa) 7 hari
Asyura 1 hari
Maulud Nabi 14 hari
Tahun Baru Cina 1 hari
Jawa ni okeru Bunkyô no Gaikyô, p 38
Dari ketetapan mengenai hari libur di atas ada kesan kuat bahwa kekuasaan
pendudukan Jepang khususnyadi pulau Jawa sangat memperhatikan agama
mayoritas penduduk. Mayoritas penduduk pulau Jawa beragama Islam dan
oleh karenanya, hari libur sekolah adalah hari besar yang terkait dengan
agama Islam termasuk perayaan Grebeg Besar. Perayaan Grebeg Besar di
Yogyakarta, Surakarta, dan Cirebon berkenaan dengan Maulud Nabi
Muhammad dan oleh karenanya, ditetapkan secara menjadi hari libur
sekolah. Sementara itu, hari libur puasa dan perayaan Idul Fitri ditetapkan
selama 40 hari, hari raya Idul Adha tidak ditetapkan sebagai hari libur. Hal
ini mungkin saja terkait dengan pandangan budaya di banyak tempat di
pulau Jawa yang beranggapan bahwa Idul Adha adalah hari raya bagi
orang-orang yang sudah melaksanakan ibadah haji. Dengan adanya
pandangan budaya yang demikian, maka tentu saja Idul Adha bukan hari
- 25 -
libur bagi anak sekolah yang pada umumnya belum melaksanakan ibadah
haji.15
Perhatian yang sangat besar terhadap hari besar agama Islam tersebut
bukan saja bersifat realistik karena pendidikan berakar pada budaya dan
agama serta lingkungan terdekat peserta didik tetapi juga merupakan upaya
politis Pemerintah Pendudukan Jepang untuk menarik simpati masyarakat.
Masyarakat yang mendapatkan keleluasaan merayakan hari-hari besar
tersebut akan merasa senang. Penetapan tahun baru Cina sebagai hari libur
tidak terlepas dari upaya untuk menarik simpati masyarakat Cina di
Indonesia. Kebijakan tersebut sukar diukur keberhasilannya mengingat
masa pendudukan Jepang yang singkat tetapi libur bulan Ramadhan dan
idul Fitri selama 40 hari berlangsung sampai masa pemerintahan Orde Baru,
dan baru disesuaikan pada tahun 80-an.
Buku pelajaran merupakan sumber materi pelajaran yang penting dan
ditetapkan oleh Kepala Bagian Buku-buku pada Kantor Pengajaran (Bunkyô
Kyoku). Untuk Kantor Pengajaran Jakarta, Kepala bagian Buku-buku,
Sadarjoen pada tanggal 11 Desember 2603 (1944) mengeluarkan daftar
buku pelajaran sebagai mana tampak pada table 3.3.
Tabel 3.3. Buku Pelajaran untuk Kurikulum Shoto Chu Gakko di Jakarta
Mata pelajaran Buku Yang Digunakan
Bahasa Indonesia Matahari Terbit
Ilmu Tumbuh-tumbuhan Ilmu Tumbuh-tumbuhan I
Ilmu Alam Ilmu Alam I
Ilmu Aljabar Ilmu Aljabar I, kelas 1
Ilmu Aljabar 2, kelas 2
Ilmu Aljabar 3, kelas 3
Ilmu Ukur Ilmu Ukur 1, kelas 1 dan 2
Ilmu Ukur 2, kelas 2 dan 3
Jawa ni okeru Bunkyô no Gaikyô
Sayangnya, daftar buku pada Tabel 3.3 tidak disertai dengan nama
pengarangnya. Suatu yang jelas, buku Matahari Terbit digunakan untuk
mata pelajaran Bahasa Indonesia sampai pada masa awal pemerintahan Orde
Baru walaupun penulis buku sudah berbeda dari buku dengan judul yang
sama pada tahun 50-an.
Kebijakan tentang buku pelajaran memberikan keuntungan bagi
pemerintah Pendudukan Militer Jepang untuk mengontrol kualitas bahan
pelajaran dan isi dari materi pelajaran. Pemerintah Pendudukan Militer
Jepang terus mengawasi apa yang terjadi di sekolah dan jangan sampai
15
Pandangan masyarakat yang beranggapan bahwa Idul Adha adalah hari raya bagi mereka
yang sudah haji masih terdapat di banyak kelompok tertentu di pulau Jawa.
- 26 -
materi pelajaran menjadi “boomerang” bagi kekuasaan mereka di Indonesia.
Dengan demikian pula, isi buku pelajaran tidak boleh memuat bahan yang
mengecam atau menimbulkan permusuhan terhadap Pemerintah
Pendudukan Militer Jepang. Hal ini wajar, dan berlaku di banyak negara
sampai hari ini tetapi keadaannya tentu lebih sensitif untuk pemerintah
pendudukan dan penjajahan dibandingkan untuk pemerintah nasional.
- 27 -
BAB IV
KURIKULUM SMP PADA MASA AWAL
KEMERDEKAAN
- 28 -
tersebut nantinya mendapat pengakuan hukum yang lebih tegas pada tahun
2003 setelah pemerintah mengesahkan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Berdasarkan usulan BP-KNIP agar ada peraturan tentang pendidikan dan
pengajaran, Menteri PPK, Mr Soewardi membentuk Penitia Penyelidik
Pendidikan Pengajaran (Sjamsuddin, Kosoh, dan Hasan, 1993:11) yang
diketuai oleh Ki Hajar Dewantara dengan sekertaris Soegarda
Poerbakawatja pada tahun 1946. Tugas panitia adalah untuk meninjau ulang
“dasar-dasar, isi, susunan dan seluruh usaha pendidikan/pengajaran
(Djumhur dan Danasuparta, 1959:202). Berdasarkan hasil kerja panitia,
ditetapkan pedoman dasar-dasar pengajaran bagi guru-guru di Indonesia
(Pewarta PPK nomor 2 tahun 1951), sebagai berikut.
1. Perasaan bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Perasaan cinta kepada alam.
3. Perasaan cinta kepada negara.
4. Perasaan cinta dan hormat kepada ibu dan bapak.
5. Perasaan cinta kepada bangsa dan kebudayaan.
6. Perasaan berhak dan wajib ikut memajukan negaranya menurut
pembawaan dan kekuatannya.
7. Keyakinan bahwa orang menjadi bagian yang tak terpisah dari
keluarga dan masyarakat.
8. Keyakinan bahwa orang hidup dalam masyarakat harus tunduk
pada tata tertib.
9. Keyakinan bahwa pada dasarnya manusia itu sama derajatnya
sehingga sesama anggota masyarakat harus saling
menghormati, berdasarkan rasa keadilan dengan berpegang
teguh pada harga diri.
10. Keyakinan bahwa negara memerlukan warga negara yang rajin
bekerja, mengetahui kewajiban, dan jujur dalam pikiran dan
tindakan.
Jelas bahwa pandangan pendidikan Ki Hajar Dewantara dan Soegarda
Poerbakawatja sangat berpengaruh dalam kesepuluh rumusan yang telah
dihasilkan. Pemahaman keduanya yang mendalam tentang pendidikan telah
diterjemahkan dengan baik dalam posisi seorang peserta didik sebagai
dirinya, anggota keluarga, anggota masyarakat, warga negara, dan umat
manusia. Oleh karena itu, kesepuluh prinsip yang dirumuskan tersebut
sangat menekankan pada karaktervorming yang meliputi seluruh potensi
kemanusiaan seorang peserta didik.
Keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan yang
dikeluarkan pada tahun 1946 oleh Menteri Mr Soewandi yang memuat 10
tujuan pendidikan yang telah dikemukakan di atas, dapat dikatakan sebagai
keputusan awal yang berkenaan dengan kurikulum. Tentu saja keputusan
- 29 -
itu lebih banyak berkenaan dengan dimensi ide kurikulum dan dinyatakan
dalam istilah pedoman dasar-dasar pengajaran. Pedoman dasar-dasar
pengajaran yang ditetapkan Menteri PPK memuat berbagai landasan
pendidikan yang masih aktual, bahkan untuk masa sekarang walaupun harus
diakui bahwa dalam kenyataan kurikulum pada masa-masa akhir abad ke- 20
dan awal abad ke-21 banyak dasar-dasar pengajaran yang telah
dikemukakan tersebut dilupakan. Perubahan yang semakin lama semakin
memperkuat kedudukan filosofi pendidikan disiplin ilmu (esensialisme dan
perenialisme) sebagai ide dari kurikulum, menyebabkan kurikulum makin
meninggalkan dasar-dasar pengajaran yang tercantum dalam pedoman
tahun 1946 tersebut. Hal ini memang sangat disayangkan karena
sebagaimana dirumuskan dalam pedoman pengajaran tahun 1946,
pendidikan seharusnya berkenaan dengan memanusiakan manusia,
membudayakan manusia, menjadikan manusia sebagai makhluk religius,
sosial, ekonomi, politik, ilmu, seni, dan teknologi, bukan sekadar hanya
mengembangkan kemampuan ingatan dan pemahaman semata. Kedua
kemampuan ranah kognitif tersebut penting, tetapi manusia tidak bisa hidup
hanya dengan kedua kemampuan kognitif itu.
Meskipun situasi negara penuh dengan peperangan melawan agresi militer
Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan, Ki Hajar Dewantara dan
panitia yang dibentuk oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran dan
Kebudayaan berhasil menyelesaikan pekerjaan mereka dengan penuh pikiran
dan visi yang mendalam mengenai pendidikan bangsa. Kesepuluh ketetapan
yang telah dikemukakan di atas menunjukkan bahwa kerja panitia sangat
sungguh-sungguh dan mengena pada hakiki pendidikan. Hasil kerja itu,
sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya telah disahkan dengan Keputusan
Menteri PKK untuk digunakan di sekolah. Sayangnya, hasil kerja panitia
yang dipimpin Ki Hajar Dewantara tidak dapat langsung dinikmati oleh
bangsa Indonesia karena situasi kehidupan bangsa yang masih belum aman
dari ancaman agresi militer Belanda.
Dalam keadaan negara dan bangsa yang terancam, kepeduliaan pemerintah
dan bangsa Indonesia terhadap pendidikan tak pernah surut. Pada tanggal
4-7 Maret 1947 diadakan Kongres Pendidikan Indonesia di bawah pimpinan
Prof. Sunaryo Kolopaking (Djumhur dan Danasuparta, 1959: 202) untuk
mengkaji berbagai masalah pendidikan nasional yang muncul di masyarakat.
Kongres tersebut dapat dikatakan sebagai kongres pendidikan pertama yang
diadakan pada tingkat nasional. Hasil kongres dijadikan masukan untuk
memperkaya hasil kerja tim yang dipimpin Ki Hajar Dewantara. Kongres
mengeluarkan rekomendasi agar pemerintah memiliki undang-undang
pendidikan sebagai landasan bagi kebijakan pendidikan untuk masa-masa
mendatang.
- 30 -
Sebagai jawaban atas perhatian rakyat terhadap pendidikan dan sebagai
tindak lanjut dari hasil Kongres Nasional Pendidikan maka pada tahun 1948
Menteri PPK, Mr Ali Sostroamidjojo, membentuk “Panitia Pembentukan
Rencana Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran”. Ki Hajar
Dewantara kembali dimintakan jasanya untuk memimpin panitia baru ini.
Berbagai pemikiran yang telah dikembangkan dalam kerja panitia pada
tahun 1946 dan berbagai masukan dari kongres dijadikan dasar untuk
mengembangkan naskah undang-undang pendidikan. Pada tahun 1948,
panitia telah dapat menyelesaikan tugasnya menyusun rancangan undang-
undang pokok pendidikan dan pengajaran, hasilnya dijadikan naskah dasar
untuk dibahas dalam rapat BP-KNIP. Pembahasan dalam sidang BP-KNIP
dilakukan secara rutin dalam semangat kebangsaan dan kepedulian
terhadap pendidikan yang tinggi. Pada tahun 1948 pembahasan naskah
dasar pendidikan dan pengajaran sudah hampir selesai tetapi terhalang oleh
kondisi bangsa dalam menghadapi agresi militer Belanda. Oleh karena itu
tindak lanjut dari hasil rapat BP-KNIP ditunda untuk sementara karena
ibukota negara dipindahkan ke Yogyakarta.
Pada tahun 1949 diadakan Kongres Pendidikan di Yogyakarta (Djumhur
dan Danasuparta, 1974:203) . Ini adalah kongres pendidikan kedua yang
dilakukan ketika suasana negara masih belum aman, sebagaimana halnya
kongres yang pertama. Semangat dan harapan bangsa yang besar terhadap
pendidikan tidak mengendur dan menyebabkan keinginan membahas dunia
pendidikan dalam satu kongres nasional dilaksanakan. Serangan militer
Belanda ke Yogyakarta menyebabkan hasil kerja kongres tidak langsung
dapat ditindaklanjuti oleh pemerintah. Ketika keadaan sudah
memungkinkan, maka BP-KNIP melanjutkan pembahasan mengenai hasil
kerja Panitia Pembentukan Rencana Undang-Undang Pokok Pendidikan
dan Pengajaran di Yogyakarta ditambah dengan masukan dari hasil kongres
pendidikan kedua kota Yogyakarta. Sidang pertama dihadiri oleh 22 orang
anggota diketuai oleh Mr. Assaat serta Menteri PP dan K, yakni S.
Mangunsarkoro yang menggantikan Mr. Ali Sostroamidjojo. Pada tanggal
17 Oktober 1949 rapat pertama membahas kembali naskah undang-undang
pokok pendidikan dimulai oleh BP-KNIP. Pemerintah memasukkan naskah
yang sudah direvisi berdasarkan masukan-masukan dari anggota BP-KNIP
sebelumnya dan hasil kongres.
Pembahasan yang dilakukan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia
Pusat (KNIP)16 terhadap rancangan yang telah dihasilkan panitia yang
dipimpin Ki Hajar Dewantara sangat kritis. Berbagai isu yang dianggap
penting untuk kemajuan pendidikan dibahas dengan berbagai argumentasi.
Penekanan tujuan pendidikan pada pembentukan manusia susila, misalnya,
16
KNIP adalah lembaga yang dibentuk berdasarkan Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945
sebelum DPR yang sesungguhnya terbentuk.
- 31 -
dianggap sangat penting dan demikian pula dengan kualitas sebagai warga
negara yang demokratis. Perhatian terhadap tujuan pendidikan
memunculkan perdebatan yang amat menarik pada masa itu karena para
pemimpin orang-orang yang mempunyai latar belakang pendidikan yang
jauh di atas rata-rata anggota masyarakat kebanyakan. Meskipun
merupakan golongan yang dinamakan intelekktual, mereka tidak
beranggapan bahwa intelektualitas semata menjadi kualitas utama yang
harus dimiliki bangsa Indonesia. Dalam tujuan yang mereka namakan
karaktervorming, susila, demokratis, dan bertanggung jawab terhadap
kesejahteraan masyarakat adalah kualitas yang penting yang harus dimiliki
setiap warga negara.
Selain tujuan untuk menghasilkan manusia yang susila, perdebatan yang
sengit mengenai Rencana Undang-Undang Pendidikan dan Pengajaran
terjadi pula perdebatan mengenai tujuan pendidikan dan pengajaran untuk
menghasilkan warga negara yang demokratis, status pendidikan agama, dan
penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar. Ketidaksepahaman
mengenai pengertian manusia susila, ketidaksetujuan mengenai kehadiran
pendidikan agama dan penggunaan bahasa daerah diperdebatkan dan
dipertanyakan oleh beberapa anggota BP KNIP. Sebagian anggota setuju
bahwa pendidikan menghasilkan manusia susila, sebagian lagi
mempertanyakan kejelasan pengertian manusia susila dan sebagian lain
menentang.
Dr D.S. Diapari, salah seorang anggota KNIP dari Serikat Sekerja Indonesia
mendukung manusia susila menjadi tujuan pendidikan, bahkan mengatakan
”bahwa untuk pembangunan negara yang terutama sekali, ialah peribudi dan
akhlak pada umumnya dan bukan kepintaran” (ejaan disesuaikan dengan
EYD; dokumen notulen pembicaraan rapat, 1954). Mohd. Sjafei, tokoh
pendidik yang terkenal dengan sekolah Kayu Tanamnya, menyetujui tujuan
pendidikan yang menghasilkan manusia susila, tetapi ia mengingatkan
bahwa pekerjaan itu bukanlah pekerjaan mudah dan memerlukan biaya
besar. Kobarsih, dari Buruh tidak setuju dengan tujuan menghasilkan
manusia susila karena ketidakjelasan pengertian susila yang dimaksudkan.
Kobarsih, beranggapan bahwa pengertian susila bersifat multi makna dan
tidak seharusnya menjadi tujuan pendidikan persekolahan.
Perbedaan pendapat tersebut berlangsung lama dan Kobarsih tetap
mempertahankan pendapatnya sehingga tampaknya tidak akan mencapai
kata sepakat. Hal inilah yang menyebabkan Ketua Sidang menanyakan
kepada anggota yang hadir apakah ada yang mendukung pendapat Kobarsih
yang tidak setuju pendidikan menghasilkan manusia susila. Ada beberapa
orang menyatakan dukungannya dan ada beberapa yang menolak, sehingga
Ketua Sidang memberikan kesempatan kepada anggota BP-KNIP lainnya
menyatakan pendapat mereka. Tanggapan kemudian diberikan oleh M.L.
- 32 -
Latjuba, Sadjarwo, Mr Sartono, Mr Kasman Singodimedjo yang mendukung
dicantumkannya kata susila. Asarudin menolaknya, demikian pula dengan
Kobarsih tetap menolak pencantuman kata susila. Untuk menyelesaikan
perbedaan pendapat tersebut, Ketua Sidang, Mr Assaat pada tanggal 26
Oktober 1949 melakukan pemilihan suara. Hasil pemilihan suara adalah 6
orang setuju tujuan menghasilkan manusia susila dihapus sedangkan 15
orang setuju untuk dipertahankan. Akhirnya, tujuan pendidikan
menghasilkan manusia susila menjadi keputusan sidang.
Pembahasan rencana undang-undang yang dilakukan di Yogyakarta dimulai
pada bulan Oktober tahun 1949, sebelum Konferensi Meja Bundar, dan
keputusan-keputusan kesepakatan BP-KNIP baru dapat diselesaikan pada
bulan Desember 1949. Kemudian, ditetapkan sebagai undang-undang di
Yogyakarta pada tanggal 2 April 1950. Ketika itu, berdasarkan persetujuan
Konferensi Meja Bundar, Republik Indonesia menjadi salah satu negara
bagian di dalam negara yang dinamakan Republik Indonesia Serikat. Oleh
karena itu, undang-undang ini ditandatangani oleh Presiden Republik
Indonesia Mr Assaat17 dan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan
Kebudayaan Republik Indonesia S. Mangunsarkoro, di ibukota negara RI di
Yogyakarta. Setelah disahkan dengan nama Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah
maka undang-undang itu dimasukkan ke dalam Lembaran Negara dan
diundangkan oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia, A.G.
Pringgodigdo, pada tanggal 5 April 1950 serta dinyatakan berlaku untuk
seluruh wilayah Republik Indonesia (yang hanya meliputi pulau Sumatera,
Jawa, dan Madura).
Pada tahun itu juga, bertepatan dengan perayaan kemerdekaan tanggal 17
Agustus 1950, RIS dibubarkan dan negara Indonesia kembali dalam bentuk
negara kesatuan. Dengan bubarnya RIS tidak ada lagi negara bagian yang
bernama Republik Indonesia atau pun negara bagian lainnya karena
semuanya menjadi satu negara, yaitu Republik Indonesia. Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1950 yang dihasilkan oleh negara ‘Republik Indonesia
Dahulu” dan dinyatakan berlaku untuk wilayah “Republik Indonesia
Dahulu” dibahas oleh DPR-RI dan disetujui untuk diberlakukan sebagai
undang-undang pendidikan bagi seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia pada tanggal 27 Januari 1954. Kemudian, pada tanggal
12 Maret tahun 1954, UU pendidikan tahun 1950 itu ditandatangi oleh
17
Pada waktu Undang-Undang ini mulai dirancang oleh Badan Pekerja Komite Nasional
Indonesia Pusat (BP-KNIP) pada pertengahan bulan Oktober 1949, Mr Assaat adalah ketua
BP-KNIP. Rancangan Undang-Undang itu adalah draft baru yang diusulkan oleh Menteri
Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan pada waktu itu S. Mangunsarkoro berdasarkan
ingatan pada draft yang telah dibuat dan dibahas setahun sebelumnya tetapi hilang ketika
terjadi aksi meliter Belanda
- 33 -
Presiden Republik Indonesia Soekarno dan Menteri PP dan K. Muhammad
Yamin di ibu kota negara, Jakarta. Diundangkan dalam Lembaran Negara
Nomor 38 Tahun 1954 tanggal 18 Maret 1954 dan ditandatangani oleh
Menteri Kehakiman Djody Gondokoesoemo, sebagai Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1954 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1950 Dari Republik Indonesia Dahulu Tentang Dasar-
Dasar Pendidikan dan Pengajaran Disekolah untuk Seluruh Indonesia.
Peraturan perundang-undangan tentang dasar-dasar pendidikan dan
kebudayaan menetapkan tentang tujuan lembaga pendidikan. Ketetapan
dalam pasal 7 dalam UU nomor 4 1950 junto UU nomor 12 tahun 1954
menyebutkan:
1. Pendidikan dan pengajaran taman kanak-kanak bermaksud
menuntun tumbuhnya rohani dan jasmani kanak-kanak sebelum
ia masuk sekolah rendah
2. Pendidikan dan pengajaran rendah bermaksud menuntun
tumbuhnya rokhani dan jasmani kanak-kanak memberikan
kesempatan kepadanya guna mengembangkan bakat dan
kesukaannya masing-masing, dan memberikan dasar-dasar
pengetahuannya, kecakapannya, dan ketangkasannya, baik lahir
maupun batin
3. Pendidikan dan pengajaran menengah (umum dan vak)
bermaksud melanjutkan dan meluaskan pendidikan dan
pengajaran yang diberikan di sekolah rendah untuk
mengembangkan cita-cita hidup serta membimbing kesanggupan
murid sebagai anggota masyarakat, mendidik tenaga-tenaga ahli
dalam pelbagai lapangan khusus sesuai dengan bakat masing-
masing dan kebutuhan masyarakat dan/atau mempersiapkannya
bagi pendidikan dan pengajaran tinggi.
4. Pendidikan dan pengajaran tinggi bermaksud memberi
kesempatan kepada pelajar untuk mendjadi orang yang dapat
memberi pimpinan di dalam masyarakat dan yang memelihara
kemajuan ilmu dan kemajuan hidup kemasyarakatan.
5. Pendidikan dan pengajaran luar biasa bermaksud memberi
pendidikan dan pengajaran kepada orang-orang yang dalam
keadaan kekurangan baik jasmani maupun rohaninya supaya
mereka dapat memiliki kehidupan lahir batin yang layak.
Bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa pengantar terkecuali di TK dan
kelas 1, 2, dan 3 Sekolah Dasar (Sekolah Rakyat). TK dan ketiga kelas awal
SD boleh menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar. Pasal 9
secara tegas mencantumkan mengenai pendidikan jasmani. Tertulis pada
- 34 -
pasal tersebut ”pendidikan jasmani yang menuju kepada keselarasan antara
tumbuhnya badan dan perkembangan jiwa dan merupakan suatu usaha
untuk membuat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang sehat dan kuat lahir
batin, diberikan pada segala jenis sekolah”. Selain pendidikan jasmani yang
secara tegas menjadi mata pelajaran dalam kurikulum di setiap sekolah,
mata pelajaran lain yang dinyatakan secara tegas adalah pendidikan agama.
Pasal 20 menyatakan ”dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran
agama; orangtua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti
pelajaran tersebut”. Pendidikan campuran (co-education) diterima sebagai
suatu keharusan untuk sekolah negeri terkecuali sekolah khusus yang
menghendaki hanya peserta didik laki-laki atau perempuan saja maka
pendidikan campuran tidak dilakukan (separated education).
Undang-undang tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran
menetapkan pula mengenai wajib belajar. Dalam Bab VII Pasal 10, Ayat (1)
ditetapkan “semua anak-anak yang sudah berumur 6 tahun berhak dan yang
sudah berumur 8 tahun diwajibkan belajar di sekolah, sedikitnya 6 tahun
lamanya”. Pengertian wajib belajar dalam pasal ini lebih dekat dengan
pengertian “compulsory education” dan bukan kepada pengertian pendidikan
minimal (basic education) yang ddigunakan pada Wajib Belajar 9 Tahun.
Meskipun demikian, ketetapan ini memperlihatkan semangat demokratisasi
pendidikan, yaitu pendidikan bagi semua warga negara dan bukan bagi
sekelompok orang yang dianggap memiliki keistimewaan untuk
mendapatkan pendidikan. Dasar pemikiran demokratisasi pendidikan masih
tetap diberlakukan dalam kebijakan pendidikan pemerintah sampai kini.
Foto 3: SMP Negeri 1 Jakarta berdiri pada tahun 1947, sedangkan bangunan yang
digunakan merupakan bangunan bekas EERSTE SCHOOL D yang dibangun pada tahun
- 35 -
1907. EERSTE SCHOOL D merupakan sekolah milik pemerintah Hindia-Belanda untuk
orang pribumi pertama yang ada di Batavia.Tahun 1947, Pemerintah Republik Indonesia
mengambil alih gedung tersebut untuk digunakan sebagai Sekolah yang bernama SMP
Negeri 1 Djakarta (ejaan pada saat itu).
Sumber: available at http://blog-smpn1.blogspot.com/
- 36 -
Selain Daftar Pelajaran (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996:99),
kurikulum SMP pada masa itu mengenal pembagian jurusan di kelas III
yaitu bagian A (sosial-ekonomi) dan bagian B (Ilmu Pasti). Pembagian
jurusan di kelas III SMP tersebut berangsur hingga tahun 1962 ketika ada
pandangan atau ide baru mengenai tujuan pendidikan SMP.
Tabel 4.1: Struktur Daftar Pelajaran SMP 1947-1950
Kelompok Mata Pelajaran Kelas dan Jam Pelajaran
I II IIIA IIIB
I Bahasa Indonesia 5 5 6 5
Bahasa Bahasa Inggris 4 4 4 4
Bahasa Daerah 2 2 2 1
SubJumlah 11 11 12 10
II Berhitung dan Aljabar 4 3 2 4
Ilmu Pasti Ilmu Ukur 4 3 - 4
SubJumlah 8 6 2 8
III Ilmu Alam/Kimia 2 3 2 2
Pengetahuan Ilmu Hayat 2 2 2 2
Alam SubJumlah 4 5 4 4
IV Ilmu Bumi 2 2 3 3
Pengetahuan Sejarah 2 2 2 2
Sosial Sub Jumlah 4 4 5 5
V Hitung Dagang - 1 2 -
Pelajaran Pengetahuan Dagang - - 2 -
Ekonomi SubJumlah - 1 4 -
VI Seni Suara 1 1 1 1
Pelajaran Menggambar 2 2 2 2
Ekspresi Pek. Tangan/Ker. Wanita 2 2 2 2
SubJumlah 5 5 5 5
VII Pendidikan Jasmani 3 3 3 3
VIII Budi Pekerti (bukan mata
pelajaran berdiri sendiri tapi
terintegrasi dalam kegiatan
semua mata pelajaran dan
kegiatan sekolah)
IX Agama 2 2 2 2
Jumlah 37 37 37 37
Sumber: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996:100)
- 37 -
yang lulus dari jurusan B (Ilmu Pasti) boleh masuk ke SMA B (Ilmu Pasti)
dan pada masa kemudian boleh pula melanjutkan ke SMA C. Pada masa
tersebut nama jurusan yang sebenarnya merupakan jalur program studi
menjadi unik sekolah karena satu SMA dibedakan dari SMA lainnya
berdasarkan jurusan yang dibinanya (SMA-A, SMA-B, SMA-C). Penjurusan
pun sudah dilakukan pada waktu peserta didik mendaftar untuk masuk ke
SMA. Tentu saja pemisahan SMA yang demikian sudah tidak dikenal pada
masa sekarang karena juruan-jurusan yang ada (IPA, IPS, Bahasa) adalah
program dalam satu SMA dan penjurusan baru dilakukan di tahun kedua
ketika peserta didik naik kelas XI.
Konsep kurikulum yang menarik dari Daftar Pelajaran SMP pada masa itu
adalah pelajaran Budi Pekerti yang tidak diajarkan sebagai suatu mata
pelajaran terpisah, tetapi diintegrasikan ke dalam semua kegiatan mata
pelajaran lain dan kegiatan sekolah. Konsep ini menggambarkan
pemahaman materi kurikulum yang mendalam dan penerapannya dalam
suatu desain kurikulum yang sesuai dengan karakteristik materi kurikulum.
Konten/materi kurikulum terdiri atas pengetahuan, keterampilan
(intelektual, motorik, sosial) dan nilai/moral/sikap. Materi pelajaran Budi
Pekerti bukan hanya sekadar pengetahuan tetapi sarat dengan
nilai/moral/sikap yang harus dikembangkan dalam cara berpikir, bertindak,
berkomunikasi, dan melakukan kegiatan sehari-hari seorang peserta didik.
Materi pelajaran yang demikian, sebagaimana halnya dengan materi
keterampilan, harus dikembangkan secara konsisten dan berkelanjutan
selama seorang peserta didik belajar di sebuah satuan pendidikan atau
jenjang pendidikan. Tidak seperti pengetahuan yang dapat dipelajari dan
dikuasai dalam setiap pertemuan kelas, materi pelajaran dalam ranah
nilai/moral/sikap memerlukan penguatan yang terus menerus baik secara
sekuensial dari suatu mata pelajaran maupun penguatan horizontal dari
berbagai mata pelajaran. Penguatan-penguatan itu bukan saja dilakukan
baik dalam proses interaksi di kelas tetapi juga dalam proses interaksi
sesama teman, dengan guru dan pegawai sekolah di lingkungan sekolah
(luar kelas). Konsep pendidikan nilai yang demikian telah diterapkan dalam
mata pelajaran Budi Pekerti pada kurikulum SMP di awal masa
kemerdekaan.
Pemahaman mengenai prinsip pendidikan nilai/moral/sikap dan
karakteristik materi nilai/moral/sikap tersebut dirancang dan diterapkan
dengan baik untuk berbagai mata pelajaran dalam Daftar Pelajaran SMP
tahun 1950. Sayangnya, materi pelajaran agama yang juga sarat dengan
nilai/moral/sikap dikembangkan tidak hanya menggunakan prinsip untuk
materi nilai/moral/sikap tersebut sehingga pendidikan agama cenderung
menjadi mata pelajaran tentang pengetahuan agama semata. Materi mata
pelajaran agama yang didominasi oleh materi pengetahuan menjadikan
- 38 -
pelajaran agama lebih mengutamakan hafalan dan kurang pada
pengembangan perilaku beragama. Mestinya, prinsip yang sama
sebagaimana digunakan untuk pendidikan Budi Pekerti dapat juga
diterapkan pada pendidikan agama sehingga materi pelajaran mengenai
pengetahuan tentang berbagai ajaran, kaedah dan keterampilan dalam
menjalan ibadah dikembangkan melalui mata pelajaran agama sedangkan
aspek perilaku beragama dikembangkan melalui mata pelajaran agama dan
mata pelajaran lainnya.
Kondisi pendidikan agama yang terjadi pada masa awal kemerdekaan masih
berlanjut hingga kini. Kondisi pada masa itu, pendidikan agama bukan wajib
bagi seluruh peserta didik (Bab XII Pasal 20 Undang-Undang Pendidikan
Nomor 12 Tahun 1954) dan materi pendidikan agama dikembangkan oleh
Kementerian Agama, terpisah dari pengembangan materi mata pelajaran
lain. Hal ini, kiranya menjadi penyebab perilaku beragama tidak menjadi
materi mata pelajaran lain di luar mata pelajaran agama. Pada saat sekarang
kebijakan tentang pendidikan agama sudah berubah dan pendidikan agama
menjadi pendidikan wajib bagi seluruh peserta didik. Perencanaan
kurikulum SMP masa kini sudah dapat menerapkan prinsip pengembangan
konten kurikulum yang membedakan organisasi konten pengetahuan, nilai
dan keterampilan.
- 39 -
BAB V
KURIKULUM SMP PADA MASA
PEMERINTAHAN KABINET
PARLEMENTER
- 40 -
DPR RI dan ditandatangani oleh Presiden Sukarno pada tanggal 12 Maret
1954. Keduanya, masa antara 1954 – 1959 merupakan masa yang penting
bagi kehidupan pendidikan di Indonesia dan bagi perkembangan kurikulum.
Kurikulum yang sudah digunakan pada tahun 1947 untuk SMP
(Departemen Pendidikan Nasional, 2009) diganti dengan kurikulum baru
yang dilaksanakan sejak 1954/1955, yang diundangkan secara resmi pada
tahun 1954, setelah dilaksanakan selama 3 tahun. Walau pun dilaksanakan
mulai tahun ajaran 1954/1955 karena diundangkan pada tahun 1954
kurikulum ini dikenal dengan nama Rencana Pelajaran 1954. Nama Rencana
Pelajaran menggantikan istilah Daftar Pelajaran.
Antara tahun 1954 – 1959 Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan
Kebudayaan (PP dan K) baru memiliki bagian-bagian yang berkenaan
dengan pelayanan, tetapi belum memiliki bagian yang berkenaan dengan
penelitian dan pengembangan. Karena itu, belum ada lembaga/kantor
khusus yang bertugas untuk melakukan penelitian dan pengembangan
kurikulum (istilah yang digunakan masih Rencana Pelajaran). Rencana
Pelajaran SMP 1954 diterbitkan dan diundangkan oleh Jawatan Pendidikan
Umum, Kementerian PP dan K. Kurikulum SMP 1954 yang dihasilkan pada
masa itu, yakni Rencana Pelajaran SMP 1954 dikembangkan dan dihasilkan
oleh para inspektur SMP, sebagai hasil kerja mereka dalam sebuah
konferensi yang dilaksanakan di Bandung pada tahun 1953.
Ketiadaan lembaga khusus yang memiliki tugas resmi mengembangkan
kurikulum, seperti Pusat Kurikulum (PUSKUR), misalnya, tidak harus
berarti mereka memiliki keterbatasan dalam wawasan teoritik
pengembangan kurikulum. Pada masa itu para inspektur dianggap orang
yang paling berpengalaman dalam dunia pendidikan (SMP) dan oleh
karenanya dianggap kelompok yang paling mampu untuk mengembangkan
rencana pelajaran baru sesuai dengan undang-undang pendidikan yang baru.
Pengalaman mereka yang panjang dalam dunia pendidikan menjadi dasar
kuat dalam wawasan dan kemampuan pengembangan kurikulum. Kebebasan
berpikir yang dipayungi oleh kehidupan politik parlementer masa itu,
menyebabkan para inspektur memiliki kebebasan dalam memikirkan dan
merencanakan rencana pelajaran yang baru. Kelompok pengembang
tersebut bebas dari pengarahan dari para atasan termasuk dari Menteri PP
dan K.
Kurikulum yang dikembangkan dalam Rencana Pelajaran 1954 dapat
dikatakan memang masih terbatas, baik dalam dimensi ide mau pun dalam
pengembangan rincian komponen serta format/model yang digunakan.
Meskipun demikian, dasar-dasar dan komponen penting yang harus dimiliki
sebuah dokumen kurikulum sebagai rencana telah tertuang dalam rumusan
yang singkat dan padat. Ide tentang pembelajaran setiap mata pelajaran
- 41 -
dirumuskan dalam maksud dan tujuan, petunjuk didaktik (cara mengajar)
serta pokok bahasan yang terpisah.
Tampaknya, kesederhanaan dalam pemikiran dan format/model adalah
kecenderungan masa itu. Lagipula dapat dikatakan bahwa kesederhanaan
mencerminkan nilai yang tinggi dalam sistem nilai budaya bangsa Indonesia
pada waktu itu. Kesederhanaan dalam format dianggap sebagai standar yang
baik pula. Hal lain yang jelas adalah apa yang telah dirumuskan dalam
rencana pelajaran sangat mewakili kualitas pemahaman para pengembang
Rencana Pelajaran tentang suatu ide serta tradisi pendidikan yang berlaku
saat itu. Pokok-pokok bahasan setiap mata pelajaran diirinci dalam bentuk
suatu tabel yang berisikan kolom mengenai informasi tentang jumlah jam
pelajaran dalam satu minggu untuk suatu pokok bahasan. Pokok bahasan
yang dinamakan pokok/bagian pelajaran merupakan rincian materi pokok
bahasan (pokok/bagian), dan keterangan. Buku yang harus digunakan guru
sebagai pegangan dalam pembelajaran dan buku yang harus dibaca peserta
didik untuk setiap kelas ditetapkan di bagian bawah tabel. Rancangan
tersebut memiliki keterbacaan yang tinggi, didukung oleh penggunaan
istilah yang umum dan dikenal dengan baik oleh guru.
Keuntungan lain dari rencana pelajaran yang dikembangkan oleh para
inspektur adalah kemudahan dalam sosialisasi dan implementasi.
Keterpautan emosional para inspektur terhadap kelompok yang telah
menghasilkan kurikulum tersebut, menyebabkan mereka memiliki dedikasi
yang tinggi dalam menjaga keberhasilan pelaksanaan rencana pelajaran
yang telah dihasilkan kelompok inspektur menjadi suatu kenyataan di kelas.
Inspektur merupakan orang-orang yang memiliki wewenang formal dan
“kekuasaan” untuk memonitor dan membantu kesulitan guru dalam
pelaksanaan implementasi rencana pelajaran.
- 42 -
Posisi filosofi gabungan antara experimentalisme-rekonstruksi dan
essensialisme adalah sesuatu yang wajar dan mudah dipahami jika diingat
bahwa kurikulum SMP 1954 dihasilkan berdasarkan undang-undang
pertama pendidikan Indonesia yang sangat kuat dalam pandangan bahwa
pendidikan adalah alat untuk mensejahterakan masyarakat. Pendidikan yang
hanya berfokus pada pengembangan intelektual atau pun kemampuan
berpikir rasional semata ditolak oleh para penentu undang-undang tersebut,
yakni Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), ketika
merumuskan UU Nomor 4 Tahun 1950, mereka adalah generasi pertama
pendiri bangsa ini, dan oleh anggota DPR-RI ketika UU Nomor 4 Tahun
1950 ditelaah kembali dan kemudian diundangkan sebagai UU Nomor 12
Tahun 1954.
Dalam Rencana Pelajaran SMP 1954, pelajaran bahasa Indonesia ditujukan
untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi dan menimbulkan
keinsyafan peserta didik sebagai warga bangsa Indonesia. Bahasa Inggris
ditujukan untuk mampu menggunakan bahasa tersebut dalam hubungan
dengan dunia luar baik secara aktif mau pun pasif. Sementara ilmu pasti
untuk membentuk jiwa yang kritis serta memupuk kebiasaan bersih, teliti,
tabah, dan tanggung jawab dalam kehidupan sehari-hari dan dalam
menyelesaikan pekerjaan. Pelajaran pengetahuan alam ditujukan untuk
mengenal dan memperhatikan alam di sekitar peserta didik dan menambah
pengetahuan mereka tentang gejala-gejala alam serta menggunakan
pengetahuan tersebut dalam praktik kehidupan keseharian. Untuk kelompok
pengetahuan sosial ( mata pelajaran ilmu bumi dan sejarah) tujuannya
adalah agar dapat membangun keinsyafan peserta didik sebagai warga
negara yang demokratis, bebas dari segala perasaan kebangsaan yang
sempit. Sedangkan tujuan pelajaran ekonomi adalah mempersiapkan peserta
didik untuk melanjutkan pelajaran dan untuk hidup di masyarakat dengan
pengetahuan yang berguna dalam pembangunan ekonomi nasional.
C. TUJUAN PEMBELAJARAN
Istilah tujuan yang digunakan dalam Rencana Pelajaran 1954 adalah
Maksud dan Tujuan. Maksud menggambarkan apa yang diinginkan
sedangkan tujuan menyatakan apa yang akan dicapai/dimiliki. Kedua kata
tersebut menjadi satu istilah teknis yang digunakan kurikulum 1954 dan
sebelumnya untuk menggambarkan apa yang dimaksudkan dengan istilah
tujuan yang dipakai kurikulum pada masa kini. Rencana Pelajaran SMP
1954 tidak mencantumkan tujuan yang akan dicapai oleh kurikulum.
Kurikulum 1954 atau lebih tepatnya dinamakan Rencana Pelajaran SMP
yang diimplementasikan pada 1954/1955 untuk kelas I SMP (tahun
1955/1956 untuk kelas II dan tahun 1956/1957 untuk kelas III). Dokumen
- 43 -
Rencana Pelajaran SMP 1954 diterbitkan oleh Jawatan Pendidikan Umum
Kementerian PP dan K pada tahun 1958. Rencana Pelajaran atau kurikulum
1954 tersebut disusun berdasarkan Konferensi Inspektur-inspektur SMP
tahun 1953 di Bandung. Ide kurikulum belum tampak sebagai kesatuan,
tetapi sudah ada dalam bentuk pikiran tentang setiap mata pelajaran,
sebelum rincian materi ajar (pokok bahasan) suatu mata pelajaran untuk
setiap kelas. Dokumen kurikulum terdiri hanya satu buku yang berisikan
struktur mata pelajaran dan dinamakan ikhtisar daftar jam pelajaran diikuti
dengan ide/pikiran kurikulum untuk setiap mata pelajaran, dan kemudian
rincian bahan ajar untuk setiap kelas.
Ide kurikulum untuk mata pelajaran berisikan pokok-pokok pikiran tentang
tujuan (diistilahkan dengan maksud dan tujuan), dan petunjuk didaktik
(istilah yang diwarisi dari bahasa Belanda). Petunjuk didaktik terdiri atas
strategi dan proses pencapaian tujuan (bagaimanakah mencapai tujuan), dan
pokok-pokok materi pelajaran. Dalam strategi dan proses pencapaian tujuan
dikemukakan peran guru, aspek-aspek kemampuan belajar peserta didik
yang harus diperhatikan guru, dan kegiatan yang harus dilakukan peserta
didik (istilah yang digunakan pada waktu itu adalah murid).
Dalam kurikulum 1954 mata pelajaran dibagi atas 6 kelompok dan 3 mata
pelajaran berdiri sendiri (tidak masuk kelompok). Kelompok-kelompok
tersebut adalah kelompok bahasa, ilmu pasti, pengetahuan alam,
pengetahuan sosial, pelajaran ekonomi, pelajaran ekspresi. Sedangkan mata
pelajaran yang tidak membentuk kelompok dan berdiri sendiri adalah mata
pelajaran pendidikan jasmani, budi pekerti, dan agama. Mata pelajaran
agama bukan mata pelajaran wajib, karena Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1954, Pasal 20 Ayat (1) menyebutkan bahwa pelajaran agama
diberikan di sekolah negeri tetapi orangtua memiliki hak menentukan
apakah anaknya ikut pelajaran agama atau tidak. Dalam struktur kurikulum
ditentukan pula jumlah jam pelajaran untuk tahun pertama, tahun kedua,
dan tahun ketiga.
Kurikulum SMP tahun 1954 memiliki jalur atau jurusan. Peserta didik harus
mengikuti pelajaran yang sama selama 2 tahun dan pada kenaikan ke kelas 3
ditentukan apakah peserta didik naik ke kelas III A (bahasa, ekonomi, sosial)
atau ke kelas III B (Ilmu Pasti dan Pengetahuan Alam). Nilai rapor peserta
didik dalam mata pelajaran terkait, menentukan apakah seseorang naik ke
kelas A atau B. Mereka yang memiliki nilai rapor yang memenuhi syarat
untuk mata pelajaran kelompok bahasa, ekonomi dan sosial akan naik ke
kelas III A sedangkan mereka yang memiliki nilai yang memenuhi syarat
untuk mata pelajaran kelompok Ilmu Pasti dan Pengetahuan Alam naik ke
kelas III B.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, dalam dokumen Rencana
Pelajaran SMP 1954 tidak merumuskan tujuan kurikuler atau pun tujuan
- 44 -
instruksional umum. Model (kurikulum) yang berlaku pada masa itu belum
mengenal “nomenclature” tujuan rencana pelajaran (tujuan kurikulum). Pada
masa itu, pengertian kurikulum sebagai daftar mata pelajaran masih sangat
kuat, karenanya istilah yang dikenal adalah tujuan mata pelajaran. Mata
pelajaran lah yang memiki materi pelajaran dan dengan demikian mata
pelajaran pulalah yang memiliki tujuan. Rencana pelajaran adalah rencana
dari setiap mata pelajaran dan bukan merupakan satu kesatuan rencana yang
ditopang oleh berbagai materi yang dikemas dalam mata pelajaran,
sebagaimana yang dikenal dalam pengembangan kurikulum (modern).
Di samping tujuan mata pelajaran, Rencana Pelajaran SMP 1954 juga
memiliki tujuan kelompok mata pelajaran. Beberapa mata pelajaran
dijadikan satu dalam kelompok, seperti kelompok Ilmu Pasti, Pengetahuan
Alam, dan Pengetahuan Sosial. Hakikat pengelompokkan ini adalah adanya
kesamaan antara satu mata pelajaran dengan mata pelajaran lain. Bahasa
Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa daerah masing-masing mata pelajaran
memiliki tujuan dan tidak ada rumusan tujuan untuk kelompok bahasa. Hal
tersebut disebabkan karena posisi dan karakter materi pelajaran bahasa
Indonesia berbeda dengan bahasa Inggris sebagai bahasa asing, dan bahasa
daerah yang berlaku hanya untuk daerah tertentu. Sedangkan mata
pelajaran berhitung, aljabar, dan ilmu ukur dalam kelompok ilmu pasti
karena memiliki persamaan posisi teoritik keilmuan dan karakter materi
pelajaran sehingga ada tujuan kelompok mata pelajaran sedangkan tujuan
mata pelajaran disebut dengan istilah tujuan khusus. Dalam kelompok
pengetahuan alam ada mata pelajaran ilmu alam, ilmu kimia, ilmu hayat, dan
hanya ada tujuan kelompok pengetahuan alam, sedangkan tujuan khusus
untuk setiap mata pelajaran tidak ada. Untuk kelompok pengetahuan sosial
yang terdiri dari mata pelajaran ilmu bumi dan sejarah ada tujuan kelompok
dan tujuan masing-masing mata pelajaran. Jadi, terdapat ketidakajegan
(inkonsistensi) dalam konseptualisasi rencana pelajaran.
Ketidakajegan dalam merumuskan tujuan, tampaknya disebabkan karena
masing-masing kelompok dikembangkan oleh kelompok inspektur yang
khusus dan masing-masing kelompok inspektur memiliki kebebasan dalam
mengembangkan rencana pelajaran untuk kelompoknya. Meskipun
demikian, sesuatu yang disepakati ialah adanya komponen tujuan yang
dinamakan maksud dan tujuan. Keseragaman hanya terjadi bahwa mereka
(tim inspektur) merumuskan rencana pelajaran dalam aspek kelas, jam per
minggu, pokok/bagian mata pelajaran, materi pelajaran yang diistilahkan
dengan pelajaran dan keterangan dalam suatu bangunan tabel atau matriks.
- 45 -
Dari dokumen yang diterbitkan oleh Jawatan Pendidikan Umum
Kementerian PP dan K, maksud dan tujuan setiap mata pelajaran
dirumuskan pada tabel 5.1 berikut.
Tabel 5.1: Kelompok, Maksud dan Tujuan
Rencana Pelajaran SMP 1954
Kelompok Mata
Pelajaran dan Mata Maksud dan Tujuan
Pelajaran
Bahasa Indonesia A. Membentuk penguasaan bahasa yang sedemikian hingga murid-murid
dengan teliti dan lancar dapat mengeluarkan pikiran dan perasaan
mereka serta dengan teliti dan lancar pula dapat memahami orang lain
B. Harus menimbulkan di hati murid-murid keinsyafan sebagai warga
negara Indonesia yang mempunyai bahasa persatuan dan bahasa resmi,
yaitu Bahasa Indonesia, yang harus dipelihara sebaik-baiknya dan
dihargai setinggi-tingginya
Bahasa Inggris A. Tujuan umum mempelajari bahasa Inggris adalah memperoleh suatu
alat hubungan dengan dunia luar (dalam lapangan politik, kebudayaan,
pengetahuan, ekonomi, dan sebagainya). Oleh karena bagian besar di
dunia mempergunakan bahasa Inggris, maka pentinglah bagi kita untuk
menguasai bahasa ini sebaik-baiknya.
B. Tujuan khusus pelajaran bahasa Inggris pada sekolah menengah
pertama agar murid dapat mempergunakan bahasa Inggris yang
sederhana baik pasif mau pun aktif.
Bahasa Daerah
Kelompok Ilmu Pasti 1. Mengajar berpikir secara logis, agar terbentuklah jiwa yang kritis
2. Memupuk kebiasaan untuk menyelesaikan tiap pekerjaan dengan
kebersihan, ketelitian, ketabahan hati serta penuh rasa tanggung jawab
3. Mengajar mempergunakan segala kecakapan dan kebiasaan itu dalam
kehidupan sehari-hari
1.Berhitung -----------------------------------------------------------------------------------------
a. Memelihara dan mempertinggi ketangkasan dan ketelitian terutama
mengenai berhitung angka
b. Membantu pelajaran Aljabar dan Ilmu Ukur
2.Aljabar -----------------------------------------------------------------------------------------
a. Memberi pengetahuan dasar tentang Ilmu Aljabar dan penggunaannya
berhubung dengan Ilmu Ukur, Ilmu Bumi, Ilmu Hayat, dan lain-lain
b. Meletakkan dasar-dasar pengertian dan pokok pengetahuan tentang
3. Ilmu Ukur aljabar agar murid-murid dapat mengikuti pelajaran sebaik-baiknya di
SLA
-----------------------------------------------------------------------------------------
a. Memberi pengetahuan dasar tentang Ilmu Ukur dan penggunaannya
berhubung dengan Ilmu Bumi, Ilmu Hayat, Menggambar, dan lain-lain
b. Meletakkan dasar-dasar pengertian dan pokok pengetahuan tentang
Ilmu Ukur, agar murid-murid dapat mengikuti pelajaran sebaik-baiknya
di SLA
c. Belajar menyusun suatu uraian yang logis, singkat dan tepat
Kelompok 1. Umumnya bertujuan mengenal dan memperhatikan alam di sekitar kita
Pengetahuan Alam dan menambah pengetahuan dan pengertian tentang gejala-gejala
dalam alam, berdasarkan sifat-sifatnya dan hukum-hukunya yang
tertentu
2. Memberikan pengertian tentang alat-alat dan sebagainya yang
dipergunakan dalam praktek hidup sehari-hari yang kerjanya
berdasarkan hukum-hukum alam tersebut.
3. Pada umumnya untuk menarik perhatian murid-murid akan alam di
- 46 -
sekitar kita dan memberi dasar untuk pelajaran pada SLA
Kelompok 1. Memberi pengetahuan dan pengertian dasar tentang cara hidup manusia
Pengetahuan Sosial berhubung dngan keadaan alam sekelilingnya, perkembangan dan
susunan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia khususya, dan
negara-negara lain umumnya
2. Memberi pengetahuan dasar tentang kebudayaan bangsa Indonesia dan
bangsa lain
3. Membangun akan keinsyafan kewarganegaraan dalam suatu negara yang
demokratis dan membangun keinsyafan nasional, bebas dari segala
kebangsaan yang sempit
4. Memberi pengertian tentang perhubungan antara bangsa dengan bangsa
yang lain yang menjadi syarat mutlak untuk menuju ke arah pelaksanaan
kemakmuran dan kesejahteraan bersama
------------------------------------------------------------------------------------------
Ilmu Bumi 1. Memberi pengetahuan dan pengertian tentang keadaan geografis
indonesia dan negara-negara lain di dunia ini yang menentukan keadaan
dan perkembangan cara hidup manusia dalam segala lapangan
2. Memperbesar kecakapan murid-murid untuk mempergunakan alat-alat
Ilmu Bumi (peta, globe, angka-angka, statistik, gambar2, grafik-grafik)
agar dapat memberi manfaat kepadanya dalam kehidupannya sehari-hari
------------------------------------------------------------------------------------------
Sejarah 1. Memberi pengertian elementer tentang pertumbuhan dan perkembangan
di dalam kehidupan manusia pada umumnya dan bangsa sendiri pada
khususnya; atau dengan kata-kata lain: memberi sekadar pengertian
tentang terjadinya masyarakat dan susunannya dewasa ini
2. Menarik pelajaran-pelajaran yang berguna dari peristiwa-peristiwa
luhuran budi dan sifat dari pada orang-orang yang besar yang berjasa
dalam sejarah
3. Mempertinggi budi-pekerti murid-murid dengan jalan menunjukkan
kejadian yang telah terjadi di waktu yang lampau
4. Membangkitkan dan memelihara serta memupuk rasa cinta akan bangsa
dan tanah air
5. Memahami cara dan susunan pemerintahan di negeri kita dan di samping
itu juga di negeri lain
Kelompok Pelajaran 1. Memperkenalkan murid-murid dengan gejala-gejala dalam lapangan
Ekonomi ekonomi yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari
2. Memberi pengetahuan pokok tentang hal yang tersebut di atas dan
ketangkasan di dalam soal-soal hitung dagang untuk mempersiapkan
murid:
a. melanjutkan pelajaran ke jurusan ekonomi
b. memasuki masyarakat di hari kelak dengan pengetahuan yang
berguna dalam pembangunan ekonomi nasional
------------------------------------------------------------------------------------------
Hitung Dagang 1. Memberi pengetahuan dasar tentang menghitung hal-hal yang
terpenting dalam transaksi perdagangan
2. Menambah kecakapan berhitung terutama untuk keperluan Perdagangan
------------------------------------------------------------------------------------------
Pengetahuan Dagang 1. Mempersiapkan murid untuk melanjutkan pelajaran ke jurusan ekonomi
2. Memberi pengetahuan dan pengertian pokok tentang hal-hal yang
terdapat dalam dunia ekonomi dan perdagangan, supaya murid dapat
mengerti dalam garis besar, apa yangterjadi dalam dunia ekonomi di
sekitar mereka
- 47 -
Kelompok Mata 1. Mendidik dan membimbing murid-murid untuk menyatakan perasaan
Pelajaran Ekspresi dan fikiran dengan bebas dan untuk mencipta sesuatu yang sesuai
dengan kewajibannya (aktif kreatif)
2. Membangun dan mengembangkan rasa keindahan dan mendidik murid
menghargai ciptaan orang lain khususkarena sifat keindahannya
3. Memberi pendidikan yang menjamin keseimbangan antara pendidikan
fikiran (intelek), perasaan (emosi) dan jasmani
4. Memberikan perintang waktu
5. Melatih murid dalam ketangkasan
------------------------------------------------------------------------------------------
Seni Suara a. Mengembangkan perasaan dan membangun minat terhadap Seni-Suara
(vokal dan instrumental), dapat menghargai dan mengikuti ciptaan seni
suara
b. Memberi pengetahuan dasar dan melatih murid menyanyi lagu-lagu
sederhana dengan tepat dan suara murni
c. Turut menghidupkan perasaan kebangsaan, persatuan dan persaudaraan
d. Sedapat mungkin murid harus dapat mempergunakan alat musik atau
gamelan
------------------------------------------------------------------------------------------
Menggambar 1. Mendidik mengamat-amati alam sekitarnya dengan teliti
2. Mengembangkan perasaan tentang perbandingan antara benda-benda
dan bagian-bagiannya
3. Melatih murid dalam ketangkasan
4. Menggambar untuk mata pelajaran lain (Ilmu Bumi, Sejarah, Ilmu
Hayat, Ilmu Alam, dan sebagainya)
5. Mengembangkan perasaan keindahan dan keseimbangan warna dan
bentuk
------------------------------------------------------------------------------------------
Pekerjaan Tangan 1. Mendidik murid untuk mewujudkan perasaan dan fikiran dalam rupa
yang berukuran tiga
2. Membangunkan dan mengembangkan aktivitas dan daya cipta murid-
murid
3. Memupuk rasa indah
4. Menghidupkan hasrat kerja praktis
5. Memperkuat rasa tata tertib dan susunan teratur
6. Mengadakan keseimbangan (harmoni) antara rohani dan jasmani
7. Memberikan perintang waktu yang berfaedah bagi murid-murid
Budi Pekerti (terjalin 1. Mendidik murid-murid agar menjadi anggota masyarakat yang bersifat
dalam semua mata dan berperasaan sosial
pelajaran dan dalam 2. Mendidik murid-murid menjadi manusia yang berakhlak baik
semua usaha sekolah) 3. Mendidik murid-murid menjadi warga negara yang baik dan
bertanggung jawab
Agama Dibuat oleh Kementerian Agama
Keterangan:
Hasrat = kemauan
Keinsyafan = kesadaran
Ketangkasan = Keterampilan
Perintang waktu = Penggunaan waktu senggang
Ilmu Alam = Fisika
Ilmu Bumi = Geografi
Ilmu Hayat = Biologi
Dari setiap rumusan maksud dan tujuan pada kurikulum SMP 1954 yang
dikemukakan dalam Tabel 5.1 terdapat petunjuk yang jelas bahwa apa yang
sudah dipelajari peserta didik di sekolah harus berguna bagi kehidupan
sehari-hari. Masalah yang terjadi di masyarakat digunakan sebagai pokok
kajian/bahasan.
- 48 -
Pemanfaatan suatu keterampilan untuk mata pelajaran lain dinyatakan
secara eksplisit. Keterampilan dalam ilmu ukur, misalnya, digunakan untuk
menggambar, geografi dan biologi sedangkan kemampuan menggambar
digunakan untuk geografi, sejarah, biologi, dan fisika. Konsep keterkaitan
keterampilan yang dikembangkan oleh satu mata pelajaran dan terkait
dengan mata pelajaran lain memberikan petunjuk bahwa para pengembang
rencana pelajaran tersebut memahami secara mendalam karakteristik materi
kurikulum/pelajaran yang dinamakan keterampilan. Pemahaman yang
mendalam mengenai karaktersitik materi nilai ditunjukkan oleh pernyataan
mengenai budi pekerti di mana disebutkan pendidikan budi pekerti “terjalin
dalam semua mata pelajaran dan dalam semua usaha sekolah”. Sementara
penguasaan pengetahuan yang bersifat berbeda dari materi keterampilan
dan nilai tidak dijalin dengan mata pelajaran lain karena memang sifat dari
pengetahuan yang spesifik dan sulit digunakan untuk mempelajari materi
pengetahuan mata pelajaran lain yang juga bersifat spesifik.
Dari apa yang tersurat pada maksud dan tujuan, selain mencerminkan
pemahaman yang mendalam dari para pengembang Rencana Pelajaran SMP
1954, juga mencerminkan konsep kurikulum modern. Indikasi yang
ditunjukkan oleh maksud dan tujuan pada Rencana Pelajaran tersebut
mencerminkan pengertian kurikulum bukan lagi sekadar daftar mata
pelajaran. Jadi, walaupun istilah yang digunakan adalah Rencana Pelajaran,
tetapi pengertian kurikulum yang digunakan merupakan pengertian modern
kurikulum. Dalam pengertian modern, kurikulum adalah suatu rancangan
pendidikan yang dikembangkan dalam bentuk rencana, dilaksanakan dalam
berbagai proses interaksi, untuk mempersiapkan peserta didik bagi
kehidupannya sebagai anggota masyarakat/bangsa dan sebagai dirinya.
Sedangkan mata pelajaran hanyalah sekadar organisasi materi kurikulum
yang karena terlalu luas perlu diikat dalam suatu kesatuan organisasi yang
dinamakan mata pelajaran. Oleh karena itu, secara hakiki setiap mata
pelajaran adalah bagian integral kurikulum dan bersifat saling menunjang
antara satu mata pelajaran dengan mata pelajaran lainnya. Organisasi
konten kurikulum dalam kemasan mata-mata pelajaran menyebabkan proses
pembelajaran menjadi terkendali (manageable) dan terencana dengan baik.
Perlu dikemukakan bahwa dalam setiap mata pelajaran terdapat materi
kurikulum yang sifatnya spesifik untuk suatu mata pelajaran dan materi
kurikulum yang sifatnya umum dan untuk semua mata pelajaran. Materi
kurikulum yang bersifat spesifik adalah pengetahuan. Pengetahuan terdiri
atas pengetahuan tentang fakta, istilah, kategori atau klasifikasi, prinsip,
generalisasi, teori, model, struktur, prosedur, cara-cara, pendapat, dan
menggunakan sesuatu. Materi kurikulum yang bersifat umum dan menjadi
milik semua mata pelajaran berkenaan dengan kemampuan berpikir,
berkomunikasi, menerapkan keterampilan, cara kerja, nilai dan sikap, serta
kebiasaan (Airasian, 2001). Prinsip yang digunakan dalam rumusan tujuan
- 49 -
dan maksud pada Tabel 5.1, jelas memperlihatkan penerapan kedua
kelompok materi kurikulum yang dikemukakan sebelumnya dengan baik.
Berbagai keterampilan dan nilai diterapkan pada berbagai mata pelajaran
sedangkan pengetahuan yang spesifik mata pelajaran menjadi materi kajian
untuk mata pelajaran terkait.
Pendekatan yang digunakan untuk menyatakan keterkaitan itu dapat
dilakukan dengan berbagai cara. Pendekatan yang dilakukan oleh Rencana
Pelajaran SMP 1954 menempatkan keterkaitan antar mata pelajaran dalam
rumusan maksud dan tujuan. Format lain yang dapat digunakan adalah
merumuskan keterkaitan itu dalam elemen pengorganisasian (organizing
element) seperti konsep, tema, keterampilan dan nilai, atau lainnya.
- 50 -
kelompok Ilmu Pasti (23 jam), Ilmu Alam (21 jam), Ekspresi (20 jam) dan
Pengetahuan Sosial (18 jam). Alokasi waktu untuk bahasa Indonesia dan
bahasa Inggris bahkan lebih banyak dari mata pelajaran lainnya, lebih dari
dua kali dari kelompok lainnya. Alokasi waktu tersebut dapat dimaknai
sebagai prioritas yang diberikan terhadap pendidikan bahasa, terutama
bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Posisi bahasa Indonesia sebagai
bahasa nasional amat penting dalam mengembangkan jati diri bangsa
peserta didik dan oleh karenanya mereka harus memiliki kesempatan yang
luas dalam menguasai bahasa persatuan tersebut. Bahasa Inggris digunakan
untuk memberi kesempatan kepada peserta didik berkomunikasi dengan
bangsa lain.
Suatu yang mengundang pertanyaan adalah posisi bahasa daerah. Mata
pelajaran bahasa daerah memang tidak berlaku untuk seluruh wilayah
Indonesia tetapi bahasa daerah adalah wahana bagi peserta didik untuk
mengenal dirinya dan masyarakat terdekat lebih baik. Berdasarkan prinsip
pendidikan yang dikemukakan Ki Hajar Dewantara (1977) maka pendidikan
harus berakar pada budaya dan agama. Artinya, peserta didik seharusnya
mendapatkan keleluasaan belajar bahasa daerah lebih besar dari alokasi
waktu yang tercantum dalam struktur kurikulum SMP 1954. Memang, jika
prinsip pendidikan yang dikemukakan Ki Hajar Dewantara ingin diterapkan
maka pelajaran kebudayaan daerah yang di dalamnya terdapat bahasa
daerah, budaya dan nilai) menjadi nama mata pelajaran menggantikn nama
bahasa daerah.
Kelompok mata pelajaran ilmu pasti, pengetahuan alam, ekspresi, dan
pengetahuan sosial diberikan alokasi waktu yang berimbang. Perbedaan
antara satu dengan lainnya dalam keempat kelompok tersebut tidak terlalu
mencolok jika dibandingkan dengan perbedaan keempatnya dengan
kelompok mata pelajaran bahasa. Posisi kelompok ekspresi memang menarik
karena kelompok ini diharapkan dapat mengembangkan kreativitas,
kecerdasan emosional, rasa indah serta membangun keseimbangan antara
ketiganya dengan kemampuan intelektual, keseimbangan antara
perkembangan jasmani dan rohani, memberi kesempatan bagi peserta didik
untuk mengembangkan kemampuan vokasional dan menggunakan waktu
dengan kegiatan yang berguna. Karenanya kelompok ekspresi mendapat
alokasi waktu yang cukup. Ketiga kelompok lainnya, secara tradisional
berkenaan dengan pengembangan kemampuan intelektual walaupun
pandangan itu tidak lagi dianut secara ketat oleh para pengembang
kurikulum SMP 1954.
- 51 -
E. KOMPONEN STRUKTUR RENCANA PELAJARAN SMP 1954
Struktur Rencana Pelajaran SMP 1954 mirip dengan Rencana Pelajaran
1950. Sebagaimana sebelumnya, pendidikan SMP di kelas I dan II terdiri
dari pendidikan dasar tingkat menengah pertama kemudian dilanjutkan di
kelas III dengan pendidikan spesialisasi yang dinamakan jurusan. Di kelas
III dikenal ada jurusan A (sosial-ekonomi) dan B (Ilmu Pasti), sama seperti
Rencana Pelajaran sebelumnya. Perubahan dalam ide kurikulum sangat
sedikit. Perbedaan yang mendasar terutama pada pemberian makna
terhadap pendidikan jurusan dan konsekuensinya dalam beban belajar
jurusan. Dalam pandangan tersebut, untuk jurusan A diperlukan
penguasaan bahasa Inggris yang lebih baik sehingga jam pelajaran bahasa
Inggris untuk jurusan A ditambah dari 4 jam menjadi 5 jam. Demikian pula
pelajaran sejarah untuk jurusan A ditambah dari 2 jam menjadi 3 jam.
Sementara itu, untuk jurusan B dirasakan perlu penambahan jam pelajaran
untuk bidang terkait dengan jurusan B (Pasti-Alam), yaitu Ilmu
Alam/Kimia ditambah dari 2 jam menjadi 5 jam sedangkan materi ilmu
bumi dianggap tidak perlu terlalu banyak sehingga dikurangi dari 3 jam
menjadi 2 jam.
Konsekuensi dari penilaian di atas menyebabkan beban belajar untuk kelas
III lebih besar dibandingkan dari pendidikan dasar di kelas I dan II SMP.
Tampaknya, bagi para pengembang kurikulum, pendidikan spesialisasi
dipandang sebagai pendidikan yang memerlukan pendalaman tertentu
terkait dengan jurusan tersebut. Berdasarkan pandangan tersebut maka
untuk setiap jurusan diberikan tambahan mata pelajaran baru yang
dianggap perlu untuk memperkuat kemampuan peserta didik di masing-
masing jurusan. Untuk jurusan A (sosial-ekonomi) ada penambahan mata
pelajaran Pengetahuan Dagang sedangkan pada jurusan B (Ilmu Pasti) ada
penambahan mata pelajaran Ilmu Kimia yang di kelas I dan II dimasukkan
dalam pelajaran Pengetahuan Alam, tetapi di kelas III B ilmu Kimia
diajarkan sebagai mata pelajaran berdiri sendiri. Pandangan mengenai
perlunya kajian yang lebih mendalam untuk beberapa mata pelajaran dan
perlu adanya mata pelajaran baru menyebabkan jumlah jam belajar di kelas
III menjadi lebih besar dibandingkan di kelas I dan II.
Dalam Rencana Pelajaran SMP 1954 ditetapkan jam belajar sebagai berikut:
jumlah jam belajar satu minggu untuk untuk kelas I dan II adalah 37 jam
pelajaran terdiri atas hari Senin – Rabu diberikan 7 jam pelajaran, hari
Kamis dan Sabtu 6 jam pelajaran, sedangkan hari Jum’at hanya diberikan 4
jam pelajaran. Sedangkan jumlah jam belajar untuk kelas III adalah 39 jam
terdiri atas 7 jam pelajaran untuk hari Senin – Kamis dan Sabtu dan 4 jam
pelajaran untuk hari Jum’at. Setiap hari disediakan 2 kali jam istirahat,
masing-masing 15 menit kecuali pada hari Jum’at hanya disediakan satu kali
jam istirahat.
- 52 -
Rencana Pelajaran SMP 1954 menyediakan petunjuk pelaksanaan
pembelajaran setiap kelompok mata pelajaran dan mata pelajaran, dan
dinamakan Petunjuk Didaktik. Dalam buku tersebut dikemukakan apa yang
diharapkan dilakukan oleh para peserta didik dan bagaimana guru harus
berbuat sehingga perilaku yang diharapkan dari peserta didik tadi dapat
diwujudkan. Misalnya untuk kelompok bahasa maka peserta didik
diharapkan dapat “mengeluarkan pikiran dan perasaan secara lisan, ialah
bercakap-cakap, bercerita, berpidato, menguraikan sesuatu, bersoal-jawab,
berkomunikasi menggunakan telepon dan sebagainya”. Untuk itu, guru
harus memimpin proses belajar di kelas dengan:
a. Memberikan kesempatan kepada murid untuk berlatih
mengeluarkan pikiran dan perasaan secara lisan
b. Latihan ini hendaklah berisi pula latihan percaya akan diri sendiri
dan berani mengucapkan sesuatu sehingga tumbuh suatu peribadi
yang bebas dan tahu harga diri
c. Isi daripada yang diucapkan itu hendaklah tersusun secara logis
sehingga ucapan itu menjadi teliti dan jelas. Bentuk ucapan itu
(susunan kalimat dan pemakaian kata-kata) seperti yang lazim
dalam Bahasa Indonesia
d. Lancar atau tidak keluarnya ucapan itu tergantung pada latihan
yang cukup
e. Hal yang dijadikan pokok pembicaraan dapat diambil dari lapangan
kehidupan masyarakat. Syarat yang harus dipenuhi ialah bahwa
murid tahu betul-betul seluk-beluknya, sehingga murid biasa
mengucapkan pikiran dan perasaan secara teliti dan lancar
(Djawatan Pendidikan Umum Kementerian P.P dan K, 1954:6)
Petunjuk didaktik untuk keterampilan berbahasa tulis dikemukakan sebagai
berikut: “mengeluarkan pikiran dan perasaan secara tulisan ialah pada
hakikatnya mengarang, yang terdiri dari membuat ceritera pendek,
membuat laporan sesuatu kejadian, membuat surat, membuat ikhtisar,
menyusun iklan, menyusun tilgram, dan sebagainya”.
a. Secara teliti dan lekas menuliskan buah pikiran, baru dapat setelah
melewati latihan yang banyak. Berikan murid-murid kesempatan
yang cukup untuk berlatih
b. Isi karangan hendaklah logis dan tersusun baik sehingga terang
segala yang dimakud untuk membaca. Pakailah kalimat yag
sederhana
c. Bentuknya harus menurut jalan Bahasa Indonesia dan tertulis
dalam ejaan yang teratur.
Orientasi kurikulum pada kehidupan keseharian dan pemanfaatan apa yang
sudah dipelajari terungkapkan dengan jelas dalam petunjuk didaktik setiap
kelompok/mata pelajaran. Dalam pelajaran bahasa Indonesia kegiatan
- 53 -
belajar membuat surat, menyusun iklan dan menyusun telegram (pada masa
itu telegram merupakan bentuk komunikasi tertulis tercepat) menunjukkan
orientasi kurikulum terhadap kehidupan keseharian. Dalam pelajaran bahasa
Inggris ada 9 petunjuk didaktik, yaitu “intonation”, “pronounciation”,
kepercayaan diri peserta didik18, penggunaan gambar, cerita pendek,
perbendaharaan kata yang terkait dengan kehidupan sehari-hari peserta
didik, kata digunakaan dalam konteks dan demikian juga tes, terjemahan
dilakukan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia, dan pengenalan budaya.
Jelas bahhwa ke-9 petunjuk tersebut menekankan pada pemanfaatan bahasa
dan kemampuan berbahasa keseharian. Lagipula, kepercayaan peserta didik
bahwa mereka mampu berbahasa Inggris menjadi suatu dasar didaktik yang
sangat kuat dan masih perlu dikembangkan hingga masa kini. Banyak
peserta didik yang sudah merasa tidak mampu ketika diminta membaca atau
berbicara dalam bahasa Inggris dan tentu saja sikap yang demikian penjadi
penghambat dalam belajar bahasa dan belajar mata pelajaran mana pun.
Dalam petunjuk didaktik mengenai Aljabar dikemukakan 4 pedoman.
Pedoman nomor 3 menyebutkan “taraf terakhir dalam pelajaran aljabar
adalah pemecahan persamaan tersamar. Hendaklah dipilih soal-soal yang
mengenai kehidupan sehari-hari dengan tidak terlalu hipotetis”. Sedangkan
dalam petunjuk didaktik keempat (d) dikemukakan “hendaknya ada
hubungan yang rapat antara aljabar dengan mata pelajaran lainnya
(umpamanya membaca grafik dalam aljabar merupakan suatu soal yang
penting, karena besar hubungannya dengan mata pelajaran lainnya).
Orientasi pada kehidupan keseharian juga jelas terungkap pada petunjuk
didaktik kelompok Pengetahuan Alam yang mengemukakan 8 petunjuk.
Tujuh petunjuk berkenaan dengan cara belajar aktif dimana peserta didik
belajar menemukan dalam suasana “menarik perhatian, menimbulkan minat
terutama untuk pengamatan dan penyelidikan sendiri”. Petunjuk didaktik
kedua menyebutkan “bahan pelajaran disusun sedemikian rupa sehingga
murid-murid mengetahui penggunaannya dalam praktik hidup sehari-hari”.
(Dokumen Rencana Pelajaran SMP, hal40).
Dalam kelompok Pengetahuan Sosial terdapat petunjuk didaktik yang
terpisah untuk mata pelajaran Ilmu Bumi dan Sejarah. Ilmu bumi memiliki
petunjuk sebanyak 4 buah sedangkan sejarah memiliki petunjuk sebanyak 13
18
Kepercayaan diri dalam berbahasa asing adalah modal dasar untuk mampu berkomunikasi
dalam bahasa tersebut. Setiap orang yang mau mengungkapkan pikirannya dalam bahasa
asing harus diawali dengan kepercayaan diri, dan berdasarkan kepercayaan diri yang
dimilikinya yang bersangkutan menata pikirannya dalam struktur kalimat yang sesuai
dengan kaedah bahasa terkait. Dengan kepercayaan diri itu pula yang bersangkutan memiliki
“keberanian” untuk mengucapkan kalimat yang ada pada pikirannya. Oleh karena itu
membangun kepercayaan diri peserta didik untuk mampu berbahasa Inggris adalah petunjuk
didaktik yang sangat fundamental, dan perlu diberlakukan bagi setiap orang yang belajar
bahasa di luar bahasa ibunya.
- 54 -
buah. Petunjuk ilmu bumi yang pertama berkenaan dengan keterkaitan
antara Ilmu Bumi dan Sejarah di mana dikatakan “ilmu sejarah mempelajari
riwayat hidup manusia, ilmu Bumi mempelajari keadaan manusia pada suatu
waktu. Oleh karena itu, kedua mata pelajaran ini harus diajarkan dalam
hubungan yang erat”. Tampaknya istilah “hubungan yang erat” sama
maksdunya dengan “correlated curriculum content”.
Tidak seperti mata pelajaran kelompok bahasa, ilmu pasti dan ilmu alam
yang menyatakan secara keterkaitan dan pemanfaatan mata pelajaran dalam
kehidupan sehari-hari peserta didik secara eksplisit, tidak demikian halnya
dengan petunjuk didaktik ilmu bumi. Tidak ada pernyataan eksplisit
tentang hal tersebut dan mungkin hal ini disebabkan karena dalam makksud
dan tujuan sudah dinyatakan bahwa kelompok Pengetahuan Sosial
“membangun akan keinsyafan kewarganegaraan dalam suatu negara yang
demokratis dan membangun keinsyafan nasional, bebas dari segala perasaan
kebangsaan yang sempit”. Pernyataan ini tampaknya sudah dianggap
mewakili orientasi pelajaraan sosial pada kehidupan keseharian.
Dalam petunjuk didaktik mata pelajaran sejarah terdapat pernyataan yang
menunjukkan perlunya keterkaitan mata pelajaran sejarah dengan
kehidupan sehari-hari. Dalam petunjuk didaktik nomor 2 disebutkan “harus
diinsyafi oleh murid-murid bahwa nasib dan kebahagiaan tanah air dan
bangsa kita bergantung kepada sifat-sifat dan cita2 mereka (pelaku sejarah,
pen.), dengan kata-kata lain: kita bertanggung jawab dan ikut serta dalam
pembentukan masyaraat dikemudian hari”, dan pada petunjuk didaktik
nomor 5 dikatakan “sejarah bukan rentetan fakta-fakta belaka, tetapi harus
diinsyafi sebab-musabab dan akibatnya bagi masyarakat”. Oleh karena itu,
pendekatan rekonstruksi yang selalu mengkaitkan pendidikan dengan
masalah sosial dan kehidupan peserta didik di masyarakat sangat kental
digunakan dalam kurikulum SMP 1954.
Setiap kelompok mata pelajaran atau mata pelajaran memiliki tujuan dan
petunjuk didaktik, diikuti dengan tabel atau matriks yang berisikan kolom
kelas, jumlah jam pelajaran perminggu, pokok/bagian dari pelajaran,
pelajaran dan keterangan. Walau pun berbeda dan terutama ketiadaan
kolom evaluasi atau asesmen hasil belajar pada dasarnya format ini mirip
dengan format Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP) yang
digunakan pada kurikulum 1975, 1984 dan 1994. Dalam kolom keterangan
terdapat informasi mengenai buku yang digunakan untuk pokok/bagian dan
pelajaran tertentu.
- 55 -
BAB VI
KURIKULUM SMP PADA MASA
PEMERINTAHAN ORDE LAMA
(1959 – 1965)
- 56 -
1. penertiban aparatur dan usaha-usaha Kementerian P.P. dan K.
2. menggiatkan kesenian dan olah raga
3. mengharuskan “usaha halaman”,
4. mengharuskan penabungan,
5. mewajibkan usaha-usaha koperasi,
6. mengadakan “Klas masyarakat”
7. membentuk “Regu Kerja” di kalangan Sekolah Lanjutan Atas
(SLA) dan universitas
(Sastradinata, Sjamsuddin, Hasan, 1993:200-201)
19
Pada waktu itu terdapat 2 kementerian yaitu Kementerian Pendididkan Dasar dan
Kebudayaan dan Kementerian Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan. Dr Prijono adalah
Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan sedangkan Prof.Dr. Ir. Thajib Hadiwidjaja
adalah Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan.
- 57 -
(3) Menjelenggarakan ”hari Krida” atau hari untuk kegiatan-kegiatan
dalam lapangan kebudayaan, kesenian, olahraga dan permainan
pada tiap-tiap hari Sabtu.
- 58 -
Rencana Pelajaran baru SMP dan pelaksanaannya di seluruh Indonesia
selama tahun ajaran 1962/1963. Selain membahas laporan pelaksanaan
kurikulum SMP yang dihasilkan di Tugu pada tahun 1962, Rapat Kerja
Para Pengawas SMP di Tawangmangu memperoleh masukan dari
Pembantu Menteri bidang Pendidikan, Direktorium Jawatan Pendidikan
Umum, gagasan dari Urusan Pendidikan Menengah Umum Tingkat
Pertama, saran dari para pengawas SMP, dan saran dari berbagai urusan di
lingkungan Jawatan Pendidikan Umum. Rapat Kerja para pengawas SMP
seluruh Indonesia di Tawangmangu tersebut menghasilkan dokumen
Rencana Pelajaran SMP Gaya Baru. Kata Pengantar Dokumen Rencana
Pelajaran SMP Gaya Baru ditandatangani oleh Kepala Urusan Pendidikan
Menengah Umum Tingkat Pertama, Zainuddin, di Jakarta pada tanggal 13
Juli 1963 (Dokumen Rentjana Pelajaran SMP Gaya Baru, 1964)
Selain perubahan politik, perubahan dalam pandangan mengenai fungsi
pendidikan yang dilaksanakan suatu sekolah pada jenjang tertentu turut
menentukan perubahan kurikulum. Tentu tidak dapat disangkal bahwa
perubahan politik memberikan pengaruh terhadap pandangan pendidikan
yang harus dikembangkan dan pada gilirannya kedua faktor tersebut
berpengaruh terhadap kurikulum. Hampir dapat dikatakan bahwa tidak ada
kejadian di mana faktor politik tidak berpengaruh terhadap pandangan
pendidikan dan kedua faktor tersebut (politik dan pandangan pendidikan)
secara bersama-sama tidak memberikan dampak terhadap terjadinya
perubahan kurikulum. Oleh karena itu, kenyataan perubahan politik dan
perubahan pandangan pendidikan berpengaruh terhadap perubahan
kurikulum merupakan suatu keadaan yang tak mungkin dihindari dalam
konteks politik mana pun di negara mana pun. Dalam Dokumen Rentjana
Pelajaran SMP Gaya Baru, 1964 disebutkan bahwa perubahan kurikulum
tersebut disebabkan adanya TAP MPRS nomor II/MPRS/1960, instruksi
Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan tentang Sapta Usaha Tama dan
Panca Wardhana, dan Haluan Negara.
Kurikulum SMP 1962 dan kemudian diperbaiki menjadi Kurikulum SMP
Gaya Baru berubah dalam struktur kurikulum dibandingkan Kurikulum
SMP 1954. Perubahan pertama terletak pada penghapusan terhadap istilah
penjurusan yang dikenal dalam kurikulum SMP 1954 dan sebelumnya.
Pembagian jurusan di kelas III SMP yang terbagi atas jurusan A (sosial-
budaya) dan B (ilmu Pasti) pada kurikulum SMP 1954, ditiadakan oleh
kurikulum SMP Gaya Baru. (Kosoh, Sjamsuddin, Hasan, 1993:96).
Penghapusan jurusan A dan B pada kelas III SMP didasarkan pada
pandangan pedagogik bahwa pendidikan SMP bukan pendidikan disiplin
ilmu dan lagipula masyarakat belum memerlukan tenaga kerja tamatan SMP
yang memiliki spesialisasi yang dikembangkan pada jurusan di kelas III
SMP. Tamatan SMP yang bekerja tidak ditempatkan berdasarkan jurusan
yang mereka ikuti pada waktu bersekolah. Oleh karena itu, adanya jurusan
- 59 -
tersebut tidak memberikan nilai apa pun bagi peserta didik baik dari segi
keilmuan mau pun dari pemanfaatan di masyarakat. Sementara itu, pada
tingkat SMP sudah ada berbagai sekolah kejuruan yang memberikan
berbagai keterampilan vokasional yang diperlukan masyarakat (Sekolah
Kepandaian Keputrian Pertama = SKKP; Sekolah Teknik = ST; Sekolah
Menengah Ekonomi Pertama = SMEP, dan sebagainya).
Struktur kurikulum SMP Gaya Baru didasarkan pada konsep Panca
Wardhana. Struktur kurikulum terdiri atas kelompok dasar, cipta,
rasa/karya, dan krida. Kelompok dasar untuk mengembangkan wardhana
pertama, yaitu pengembangan cinta bangsa dan tanah air, moral
nasional/internasional/ keagamaan; kelompok cipta untuk mengembangkan
wardhana kecerdasan; kelompok rasa/karya untuk mengembangkan
wardhana emosional-artistik atau rasa keharuan dan keindahan lahir-batin;
kelompok krida untuk mengembangkan wardhana keprigelan atau kerajinan
tangan; sedangkan pendidikan jasmani untuk mengembangkan wardhana
perkembangan jasmani. Pengelompokkan ini diikuti dengan
pengelompokkan mata pelajaran.
Masa antara 1959 – 1965 atau disebut juga Masa Orde Lama merupakan
awal pengaruh politik yang semakin kuat dalam pendidikan di Indonesia,
melebihi pengaruh politik terhadap kurikulum yang terjadi pada masa
sebelumnya. Pada masa itu ideologi negara menjadi mata pelajaran dalam
kurikulum sekolah dengan tujuan untuk membekali peserta didik dengan
dasar-dasar filosofi bangsa dan ideologi politik yang dianut oleh pemerintah.
Mata pelajaran civics diperkenalkan dan menjadi mata pelajaran utama,
menjadi mata pelajaran yang memiliki tugas untuk mengemban amanat
pendidikan ideologi bangsa, dikelompokkan dalam kelompok wardhana
pertama, yakni perkembangan cinta bangsa dan tanah air, moral
nasional/internasional/ keagamaan. Dalam mata pelajaran civics dibahas
ideologi politik pemerintah sebagai landasan manusia baru Indonesia
sehingga civics harus ditempatkan dalam wardhana pertama dan menjadi
mata pelajaran bagi seluruh peserta didik (dari SD sampai ke sekolah di atas
SMP).
Selain mata pelajaran Civics, dalam kelompok wardhana pertama yang
disebut Kelompok Dasar, terdapat mata pelajaran Bahasa Indonesia, Sejarah
Kebangsaan, Ilmu Bumi Indonesia, Pendidikan Agama/Budi Pekerti
(Sejarah Nasional Indonesia jilid VI:278; Kosoh, Sjamsuddin, dan Hasan,
1993:96; Departemen Pendidikan Nasional, 1996:129). Mata pelajaran
Pendidikan Jasmani/Kesehatan dimasukkan sebagai bagian dari Kelompok
Dasar walaupun pendidikan jasmani berkenaan dengan pengembangan
wardhana kelima. Jelas tujuan kelompok pertama wardhana, yakni
Kelompok Dasar adalah untuk membangun kesadaran sebagai satu bangsa
dan pengetahuan serta kesadaran akan ideologi bangsa. Bangsa baru harus
- 60 -
memperhatikan generasi muda yang akan meneruskan perjuangan ideologi
para pemimpin bangsa pada waktu itu.
Dalam Kelompok Cipta terdapat mata pelajaran Bahasa Daerah, Bahasa
Inggris, Ilmu Aljabar, Ilmu Ukur, Ilmu Hayat, Ilmu Bumi Dunia, Sejarah
Dunia, dan ilmu Administrasi. Kelompok Cipta merupakan kelompok yang
memberikan pengetahuan untuk mengembangkan kemampuan berpikir
peserta didik. Pengetahuan yang dipelajari dalam berbagai mata pelajaran
dalam Kelompok Cipta merupakan bahan utama untuk menggerakkan
kemampuan otak dalam ranah kognitif (mengingat, memahami,
mengaplikasi, menganalisis, menilai, dan menciptakan pengetahuan baru).
Suatu hal yang tidak jelas adalah alasan mengapa mata pelajaran Bahasa
Daerah masuk dalam Kelompok Citra dan bukan dalam kelompok Dasar.
Padahal, bahasa Daerah merupakan medium pendidikan yang dapat
mengembangkan rasa kebangsaan menjadi lebih kuat. Mungkin ada
kekhawatiran bahwa pengajaran Bahasa Daerah disalahgunakan untuk
pengembangan perasaan kedaerahan yang berlebihan sehingga dapat
membahayakan persatuan nasional. Pertimbangan lainnya, mungkin karena
hanya beberapa daerah saja di Indonesia yang menghendaki adanya
pengajaran bahasa daerah sehingga akan sangat janggal apabila bahasa
daerah ada dalam Kelompok Dasar yang berlaku untuk seluruh peserta didik
dan di wilayah atau komunitas masyarakat mana pun. Apalagi, jika diingat
bahwa SMP di daerah perkotaan melayani masyarakat yang berasal dari
berbagai kelompok etnis dan pemakai bahasa daerah yang beragam sehingga
secara teknis akan menimbulkan banyak kesulitan.
Dalam kelompok Cipta, mata pelajaran matematika tidak dikenal. Secara
tradisional, sebagaimana diwariskan Belanda yang dikenal adalah kelompok
ilmu Pasti, bukan matematika. Dalam kelompok ini terdapat mata pelajaran
ilmu Aljabar dan ilmu Ukur. Pemikiran bahwa pendidikan haruslah
berdasarkan disiplin ilmu dan diberi label sebagaimana label disiplin ilmu
(menurut pandangan filosofi esensialisme) belum berkembang sepenuhnya.
Pada masa belakangan ketika pandangan filosofis perenialisme semakin kuat
pengaruhnya dalam pengembangan kurikulum maka pemikiran pendidikan
disiplin ilmu semakin menjadi andalan sejak dari SD sampai ke SMA. Sesuai
dengan pandangan perenialisme maka label untuk pendidikan disiplin ilmu
tidak perlu menggunakan nama resmi disiplin ilmu yang bersangkutan dan
penggabungan beberapa disiplin ilmu diperkenankan. Pendekatan
perenialisme yang memperkenankan penggabungan berbagai disiplin
melahirkan label mata pelajaran, seperti IPA dan IPS.
Dalam kelompok Rasa/Karsa terdapat mata pelajaran Menggambar,
Kesenian, Prakarya, dan Kesejahteraan Keluarga. Kelompok mata pelajaran
ini jelas bertujuan mengembangkan perasaan yang halus dan kemampuan
berkreasi yang tinggi. Kesejahteraan keluarga tidak terbatas pada
- 61 -
kesejahteraan ekonomi, tetapi teutama pada kesejahteraan batin, kesehatan,
dan pembinaan generasi muda dalam membentuk kepribadian. Oleh karena
itu, wajar jika kesejahteraan keluarga menjadi mata pelajaran dalam
kelompok Rasa/Karsa. Sedangkan kedudukan mata pelajaran lain seperti
Menggambar, Kesenian, Prakarya dalam kelompok Rasa/Karsa, amat jelas.
- 62 -
tinggi, sikap yang positif dan produktif, dan memiliki kemampuan dasar
yang mampu mendorong seseorang untuk mengembangkan potensi dirinya
sepanjang hayat.
Konten kurikulum yang demikian memberikan kemampuan kepada peserta
didik mengolah berbagai informasi yang terdapat pada pengetahuan dan
menghasilkan pengetahuan baru dari hasil olahan kemampuan kognitif.
Konten kurikulum seperti itu, memberikan pula dorongan kepada peserta
didik untuk mengembangkan rasa ingin tahu, kebiasaan membaca dan
belajar. Dengan konten kurikulum seperti itu, juga akan menjadikan peserta
didik manusia yang mampu mengembangkan segala potensi
kemanusiaannya dan bukan mesin penghafal pengetahuan.
Dapat dikatakan perubahan ide kurikulum yang terjadi pada kurikulum
SMP Gaya Baru terkait dengan pengaruh aspek politik dan juga berkenaan
dengan aspek akademis ide kurikulum. Penciutan pengertian konten
kurikulum hanya pada aspek pengetahuan menyebabkan desain dan
organisasi konten kurikulum menjadi terbatas pada desain kurikulum
akademik dan organisasi konten yang teoritik keilmuan. Pengaruh lebih
lanjut, akan terjadi pada pengertian hasil belajar yang terkerdilkan menjadi
hafalan tentang pengetahuan, keterampilan, dan sikap bukan pada perilaku
yang didasarkan pada sikap yang harus dikembangkaan kurikulum maupun
pada keterampilan dalam menerapkan berbagai prosedur, kemampuan
memecahkan masalah, berkomunikasi, kebiasaan membaca, rasa ingin tahu,
dan keterampilan belajar.
- 63 -
D. STRUKTUR RENCANA PELAJARAN SMP GAYA BARU
(1964)
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, mata pelajaran dalam kurikulum
SMP Gaya Baru dikelompokkan berdasarkan kelompok ranah wardhana
yang terdapat pada Panca Wardhana kecuali kesehatan jasmani yang
disatukan dalam kelompok dasar atau cinta bangsa tanah air, moral
nasional/ internasional/keagamaan. Sesuai dengan Panca Wardhana, selain
kelompok Dasar dikenal adanya kelompok Cipta dan kelompok Krida.
Kelompok Cipta merupakan kelompok paling besar baik dalam pengertian
jumlah mata pelajaran maupun dalam beban belajar. Kelompok Dasar
merupakan kelompok kedua terbesar, sedangkan kelompok krida adalah
kelompok yang memiliki mata pelajaran tunggal.
Selengkapnya, struktur dan pesebaran mata pelajaran serta beban belajar
kurikulum SMP Gaya Baru tertera pada tabel 6.1 berikut:
Tabel 6.1: Struktur dan Mata Pelajaran Rencana Pelajaran SMP Gaya Baru
Kelompok Mata Pelajaran Kelas dan JamPelajaran
I II III
A Civics 2 2 2
Bahasa Indonesia 5 5 5
Kelompok Sejarah Kebangsaan 1 1 1
Dasar Ilmu Bumi Indonesia 1 1 1
Pendidikan Agama/Budi Pekerti 2 2 2
Pendidikan Jasmani/Kesehatan 2 2 2
SubJumlah 13 13 12
B Bahasa Daerah 2 2 2
Bahasa Inggris 4 4 4
Kelompok Ilmu Aljabar 3 3 3
Cipta Ilmu Ukur 3 3 3
Ilmu Alam 2 2 2
Ilmu Hayat 2 2 2
Ilmu Bumi Dunia 1 1 1
Sejarah Dunia 1 1 1
Ilmu Administrasi 1 1 1
SubJumlah 19 19 19
C Menggambar 2 2 2
Kesenian 1 1 1
Kelompok Prakarya 2 2 2
Rasa/Karya Kesejahteraan Keluarga 1 1 1
SubJumlah 6 6 6
D Krida 2 2 2
Krida
Jumlah 40 40 40
- 64 -
untuk mata pelajaran tersebut dan tidak dikaitkan dengan mata pelajaran
lainnya.
Pendekatan konten kurikulum suatu mata pelajaran yang khusus dan
terpisah dari mata pelajaran lainnya yang dilakukan kurikulum SMP 1962
menjadi paradigm tersendiri dalam sejarah pengembangan kurikulum SMP.
Pendekatan yang demikian dianggap sebagai pendekatan terbaik oleh
banyak para ahli ilmu pengetahuan (Tanner dan Tanner, 1980; Unruh dan
Unruh, 1984). Pendidikan berfungsi untuk mengembangkan kemampuan
berpikir intelektual dan kemampuan berpikir rasional. Kedua kemampuan ini
hanya dapat dikembangkan melalui pendidikan disiplin ilmu, karena disiplin
ilmu dianggap memiliki cara berpikir intelektual yang rasional dan
sistematis. Disiplin ilmu pula yang dapat membebaskan orang dari cara
berpikir dan orientasi berpikir yang tidak logis.
Filosofi esensialisme yang menyatakan bahwa pendidikan disiplin ilmu
,dalam dunia pendidikan harus dilaksanakan sesuai dengan hakikat ilmu itu
sendiri. Nama mata pelajaran pun harus disesuaikan dengan nama disiplin
ilmu. Penggabungan beberapa disiplin ilmu menjadi nama satu mata
pelajaran sangat ditentang oleh filosofi esensialisme walaupun
diperkenankan oleh filosofi perenialisme. Nama-nama mata pelajaran yang
terdapat dalam Kurikulum SMP 1962, seperti sejarah, ilmu bumi, ilmu
aljabar, ilmu alam, ilmu hayat dan sebagainya jelas menunjukkan orientasi
kurikulum pada filosofi esensialisme.
Pengaruh politik yang kuat terlihat pada mata pelajaran kelompok dasar
terutama mata pelajaran civics, sejarah, dan ilmu bumi. Untuk mata
pelajaran Civics peserta didik mempelajari berbagai pidato Presiden,
manusia sosialisme Indonesia, Manipol, revolusi Indonesia termasuk musuh-
musuh revolusi. Materi mata pelajaran sejarah berkewajiban untuk
“mewujudkan dan memperteguh cita-cita revolusi bangsa Indonesia.
Karenanya, pengajaran Sejarah Kebangsaan haruslah (a) Proklamasi- sentris
dan (b) ber-eskatologi masyarakat sosialis Indonesia. Dalam kewajiban
untuk mewujudkan dan memperteguh cita-cita revolusi Indonesia, materi
pelajaran ilmu bumi Indonesia bertujuan mewujudkan masyarakat
sosialisme Indonesia.
- 65 -
BAB VII
KURIKULUM SMP PADA MASA
PEMERINTAHAN ORDE BARU
(1967 – 1994)
- 66 -
Dalam kurun waktu lebih kurang 30 tahun, Pemerintahan Orde Baru telah
berhasil mengembangkan 4 kurikulum untuk SMP dan sekolah lainnya.
Keempat kurikulum tersebut, yaitu Kurikulum 1968, 1975, 1984, dan 1994.
Hampir menjadi tradisi bahwa setiap 10 tahun terjadi perubahan kurikulum.
Kenyataan semacam itu dapat dikatakan sebagai suatu kejadian yang
berlangsung sampai berakhirnya Pemerintahan Orde Baru. Upaya untuk
menjadikan kurikulum responsi terhadap perkembangan kehidupan
mayarakat di bidang sosial-budaya-politik-ilmu-teknologi-seni-ekonomi
menyebabkan rentang waktu sepuluh tahun merupakan masa yang cukup
panjang untuk menjawab tantangan perkembangan kehidupan masyarakat.
Dilihat dari ruang lingkup pengembangan kurikulum (curriculum
development) yang meliputi pengembangan ide dan rancangan pembelajaran
(curriculum construction) yang terwujud dalam bentuk dokumen kurikulum,
sosialisasi dan implementasi kurikulum (curriculum implementation) serta
evaluasi kurikulum (curriculum evaluation) maka sangat adekuat untuk
dikatakan bahwa tidak keseluruhan pekerjaan pengembangan kurikulum
tersebut dapat terlaksana. Implementasi kurikulum yang merupakan
pekerjaan yang rumit dan memerlukan strategi implementasi yang harus
meliputi keragaman kualitas dan kesiapan sekolah merupakan aspek
pengembangan yang sangat terabaikan. Seperti halnya dengan
implementasi, pekerjaan evaluasi kurikulum yang sistematis dan terus-
menerus (kontinyu) memberikan informasi baik kepada pengembangan
kurikulum ketika dokumen disiapkan apalagi pada waktu implementasi
merupakan dimensi pekerjaan pengembangan kurikulum yang tidak
terlaksana sebagaimana seharusnya. waktu sepuluh tahun untuk perubahan
kurikulum terasa amat singkat. Berdasarkan laporan yang tersedia terjadi
suatu kenyataan yang cukup memperihatinkan karena belum lagi suatu
rancangan kurikulum (dokumen) terlaksana maka sekolah sudah harus
melaksanakan kurikulum baru yang nota bene tidak juga mampu mereka
laksanakan. Kelemahan dalam sosialisasi dan pelatihan yang harus diterima
guru dalam pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan melaksanakan
kurikulum menyebabkan mereka berada dalam posisi yang tidak siap
melaksanakan kurikulum baru.
Selain faktor politik, faktor lain yang juga berpengaruh terhadap perubahan
kurikulum pada masa itu adalah perkembangan dalam berbagai teori belajar,
model dan orientasi kurikulum, serta kemajuan dalam teknologi yang
berdampak pada aplikasinya dalam dunia pendidikan membawa berbagai
pemikiran baru dalam kurikulum. Inovasi berbagai aspek kurikulum
dilakukan dalam setiap perubahan kurikulum tersebut terutama sejak
Kurikulum 1975. Oleh karena itu, pada masa Pemerintahan Orde Baru
merupakan masa yang sangat mendasar dalam sejarah perkembangan
kurikulum di Indonesia bukan saja dilihat dari banyaknya kurikulum yang
- 67 -
dihasilkan pada waktu itu, melainkan dari pemikiran-pemikiran baru
pendidikan yang diperkenalkan dalam setiap kurikulum. Pada masa itu,
dapat dikatakan Indonesia mengalami dinamika pengembangan kurikulum
yang cukup signifikan dalam menjawab perkembangan masyarakat
walaupun ada jurang yang cukup luas antara pemikiran kependidikan yang
dikembangkan para pengembang kurikulum dengan pengelola dan
pelaksana kurikulum. Kesenjangan yang demikian memang disayangkan dan
menyebabkan pengurangan nilai responsif para pemikir kurikulum.
- 68 -
Dengan adanya ketetapan tersebut maka arah dan tujuan pendidikan
Indonesia berubah dari menghasilkan ”manusia susila yang cakap dan warga
negara yang demokratis” menjadi manusia Pancasila sejati. Perubahan ini
sangat fundamental dilihat dari pandangan pendidikan karena tujuan
pendidikan sebelumnya adalah untuk menghasilkan manusia revolusioner
berdasarkan ajaran MANIPOL-USDEK sedangkan tujuan yang ditetapkan
oleh MPRS adalah untuk mengikis tujuan tersebut. TAP MPRS ini memang
merupakan manifestasi adanya pengaruh politik yang kuat sebagai reaksi
pengaruh politik Orde Lama. Meskipun demikian, haruslah diingat bahwa
pengaruh politik terhadap pendidikan bukan merupakan sesuatu yang unik
dan ekslusif Indonesia, tetapi sesuatu yang terjadi di berbagai negara di
dunia. Perubahan politik yang terjadi sangat fundamental dan dapat
dianggap sebagai suatu tuntutan kebutuhan masyarakat (politik) yang baru.
Oleh karena itu, perubahan kurikulum merupakan sesuatu yang tak
terhindarkan.
- 69 -
yang ditetapkan dalam Kurikulum SMP Gaya Baru. Jumlah mata pelajaran
dalam kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila lebih sedikit dibandingkan
jumlah mata pelajaran Kelompok Dasar Kurikulum SMP Gaya Baru.
Demikian pula dengan beban belajar untuk kelompok Pembinaan Jiwa
Pancasila lebih sedikit, yakni 11 jam dibandingkan 13 jam pada kelompok
Dasar Kurikulum SMP Gaya Baru. Mata Pelajaran Sejarah Kebangsaan dan
Ilmu Bumi Indonesia dihilangkan dari kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila.
Sementara itu, mata pelajaran Civics (Kewargaan Negara) diganti oleh
Pendidikan Kewargaan Negara yang di dalamnya terdapat unsur Sejarah
Indonesia, Ideologi Negara Pancasila, Politik dan Tata Hukum Indonesia.
Kelompok Pembinaan Pengetahuan Dasar merupakan kelompok mata
pelajaran yang memberikan pengetahuan dasar dalam bahasa, ilmu pasti,
ilmu alam, dan pengetahuan sosial. Kelompok ini menjadi dasar bagi mereka
yang akan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (SMA) dan
dasar berbagai keterampilan yang diperlukan masyarakat. Pada kelompok
ketiga, yakni Kelompok Pembinaan Kecakapan Khusus merupakan
kelompok untuk mengembangkan kecakapan khusus yang diperlukan untuk
memasuki dunia kerja tertentu, sekaligus juga untuk mengembangkan minat
seseorang yang dapat digunakan dalam mengembangkan pekerjaan yang
lepas dari “formal vocation” di pemerintah mau pun swasta. Pada dasarnya,
Kelompok Pembinaan Kecakapan Khusus dalam Kurikulum SMP 1968 mirip
atau bahkan dapat dikatakan sama dengan kelompok Rasa/Karsa dalam
Kurikulum SMP Gaya Baru.
Sebagaimana dengan kurikulum Kurikulum SMP Gaya Baru, Kurikulum
SMP 1968 tidak mengenal adanya penjurusan pada kelas III SMP.
Pendidikan SMP adalah pendidikan umum dan oleh karenanya kurikulum
SMP tidak perlu menyiapkan peserta didik dalam spesialisasi pendidikan
keilmuan (disiplin ilmu) yang khusus. Pandangan bahwa pendidikan di SMP
merupakan bagian dari pendidikan umum bagi banga Indonesia dianut
sampai sekarang, bahkan diperkuat posisinya dalam program Wajib Belajar
9 Tahun (WAJAR 9 Tahun) yang dicanangkan Pemerintah sejak 1984.
Tabel 7.1. menggambarkan keseluruhan struktur kurikulum, mata pelajaran,
beban belajar serta distribusinya untuk setiap kelas. Sebagaimana kurikulum
sebelumnya, masa belajar belajar satu tahun akademik dibagi dalam kuartal
dan beban belajar untuk setiap kuartal sama. Distribusi beban belajar
nantinya berbeda ketika sistem semester digunakan menggantikan sistem
kuartal.
- 70 -
Tabel 7.1: Struktur dan Mata Pelajaran Rencana Pelajaran SMP Tahun 1968
KELAS
KELOMPOK MATA PELAJARAN
I II III
A 1. Pendidikan Agama 3 3 3
Pembinaan Jiwa 2. Pendidikan Kewargaan Negara 3 3 3
Pancasila 3. Bahasa Indonesia (I) 3 3 3
4. Olahraga 2 2 2
SubJumlah 11 11 11
B 1. Bahasa Indonesia (II) 2 2 2
Pembinaan 2. Bahasa Daerah 2 2 2
Pengetahuan 3. Bahasa Inggris 3 3 3
Dasar 4. Ilmu Aljabar 3 3 3
5. Ilmu Ukur 3 3 3
6. Ilmu Alam 3 3 3
7. Ilmu Hayat 2 2 2
8. Ilmu Bumi 2 2 2
9. Sejarah 2 2 2
10.Menggambar 2 2 2
SubJumlah 24 24 24
C 1. Administrasi 1 1 1
Pembinaan 2. Kesenian 2 2 2
Kecakapan 3. Prakarya 2 2 2
Khusus 4. Pendidikan Kesejahteraan Keluarga 1 1 1
SubJumlah 6 6 6
Jumlah 41 41 41
- 71 -
mata pelajaran, dalam kurikulum SMP 1968 masing-masing dijadikan satu
mata pelajaran. Mata Pelajaran Sejarah Kebangsaan dan Sejarah Dunia
digabungkan menjadi mata pelajaran Sejarah. Mata pelajaran Ilmu Bumi
Indonesia dan Ilmu Bumi Dunia digabungkan menjadi satu dengan nama
mata pelajaran Ilmu Bumi. Penggabungan kedua mata pelajaran tersebut
tidak mengubah jam pelajaran karena jika sebelumnya terdiri atas 1 jam
masing-masing untuk Sejarah Kebangsaan dan Sejaarah Dunia sekarang
menjadi 2 jam pelajaran untuk mata pelajaran Sejarah. Demikian pula
dengan mata pelajaran Ilmu Bumi Indonesia yang digabungkan dengan
Ilmu Bumi Dunia menjadi Ilmu Bumi dengan jam belajar yang juga
digabungkan sehingga menjadi 2 jam pelajaran.
Perbedaan lain untuk kedua mata pelajaran tersebut, yaitu penempatannya
dalam kelompok. Dalam kurikulum SMP Gaya Baru mata pelajaran Sejarah
Kebangsaan dan Ilmu Bumi Indonesia dimasukkan kedalam kelompok Dasar
sedangkan Sejarah Dunia dan Ilmu Bumi Dunia dalam kelompok Cipta.
Setelah digabungkan mata pelajaran Sejarah dan Ilmu Bumi masuk dalam
kelompok Pembinaan Pengetahuan Dasar. Hal ini mencerminkan adanya
pemikiran kurikulum yang berbeda antara pengembang kurikulum SMP
Gaya Baru dengan SMP 1968.
Ide pengembang kurikulum SMP 1968 tidak lagi memandang mata
pelajaran Sejarah Kebangsaan dan mata pelajaran Ilmu Bumi Indonesia
sebagai bagian dari dasar pembentukan kebangsaan atau Jiwa Pancasila.
Tampaknya penggabungan itu didasarkan atas pemikiran bahwa materi
Sejarah Kebangsaan dan Ilmu Bumi Indonesia tidak berbeda dari materi
Sejarah Dunia dan Ilmu Bumi Dunia yakni merupakan bagian dari
pendidikan akademik. Karenanya, materi masing-masing kedua mata
pelajaran tersebut dapat digabungkan dan fungsinya menjadi mata pelajaran
akademik semata. Pengembang kurikulum SMP 1968 mungkin saja lupa
bahwa persyaratan untuk menjadi warga negara Indonesia adalah memiliki
pengetahuan dan pemahaman mengenai sejarah nasional, ilmu bumi
(geografi) Indonesia, bahasa Indonesia dan ideologi negara. Karena itu,
materi Sejarah Kebangsaan (nasional) dan Ilmu Bumi Indonesia menjadi
materi kajian akademik tampaknya merupakan persyaratan warga negara
tersebut. Tentu saja, orang dapat berargumentasi bahwa yang terpenting
adalah peserta didik dapat mempelajari dan memiliki pengetahuan mengenai
materi sejarah kebangsaan dan Ilmu Bumi Indonesia bagaimana pun
keduanya diorganisasikan dan ditempatkan dalam struktur kurikulum.
Pandangan demikian melemahkan makna dan fungsi dari kelompok mata
pelajaran dalam struktur kurikulum karena pembagian mata pelajaran dalam
kelompok tidak memberikan gambaran yang jelas mengenai tujuan dan
fungsi struktur yang ada.
- 72 -
Perubahan kelompok terjadi dengan mata pelajaran Ilmu Administrasi yang
dalam kurikulum SMP Gaya Baru masuk kedalam kelompok Cipta
sedangkan dalam kurikulum SMP 1968 dimasukkan kedalam kelompok
Pembinaan Kecakapan Khusus. Berbeda dari mata pelajaran Sejarah dan
Ilmu Bumi, perubahan kelompok menyebabkan nama mata pelajaran pun
berbeda, yaitu dari Ilmu Administrasi yang masuk kelompok Cipta menjadi
Administrasi yang masuk kelompok Pembinaan Kecakapan Khusus. Dalam
hal ini, perubahan kelompok tidak menimbulkan permasalahan dalam
struktur kurikulum karena materi pelajaran administrasi sebagai ilmu
berbeda dari materi pelajaran administrasi sebagai keterampilan.
- 73 -
baru karena berbagai pokok bahasan dan informasi baru yang telah terdapat
pada buku-buku tersebut.
1. Perkembangan Kebijakan Pendidikan
Perubahan dalam tujuan pendidikan pada masa pemerintahan Orde Baru
terus berlanjut. Dapat dikatakan hampir setiap sidang MPR lima tahunan
menghasilkan tujuan pendidikan baru. Dalam Sidang Umum MPRS pada
Tahun 1973 MPRS menghasilkan TAP MPR Nomor IV/MPR/1973
mengenai Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam bagian
mengenai Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Pembinaan
Generasi Muda dinyatakan bahwa “pembangunan di bidang pendidikan
didasarkan atas Falsafah Negara Pancasila dan diarahkan untuk membentuk
manusia-manusia pembangunan yang ber-Pancasila dan untuk membentuk
manusia Indonesia yang sehat jasmani dan rohaninya, memiliki pengetahuan
dan keterampilan, dapat mengembangkan kreativitas dan tanggung jawab,
dapat menyuburkan sikap demokrasi dan penuh tenggang rasa, dapat
mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti yang
luhur, mencintai bangsanya dan mencintai sesama manusia sesuai dengan
ketentuan yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945.” (Dokumen TAP
MPRS No. IV Tahun 1973; Gunawan, 1986: 52).
Istilah manusia Pancasila sejati tidak lagi digunakan. Situasi politik pada
tahun 1973 kiranya sudah lebih stabil dibandingkan tahun 1966 dalam
menangkal pengaruh negatif paham dan gerakan komunis di Indonesia.
Oleh karena itu, kata-kata Pancasila sejati dalam tujuan pendidikan tidak
perlu dinyatakan secara ekspilisit. Sebagai gantinya, jargon politik yang
populer pada waktu itu adalah manusia pembangunan. Semua kegiatan
diarahkan untuk pembangunan dan suasana pembangunan fisik dan non
fisik mendominasi kehidupan kebangsaan. Pembentukan manusia
pembangunan sesuai dengan kebijakan politik pada waktu itu yang
menempatkan pembangunan sebagai jargon politik penting dalam
kehidupan bangsa. Sesuai dengan arah pembangunan bangsa maka
pendidikan sebagai salah satu upaya pembangunan bangsa harus
menghasilkan manusia sesuai dengan ciri kehidupan bangsa pada waktu itu.
Perubahan lain yang cukup menonjol dari rumusan tujuan dalam TAP
MPRS IV Tahun 1973 dibandingkan TAP MPR sebelumnya adalah pada
TAP MPRS IV Tahun 1973 posisi pengetahuan dan keterampilan cukup
penting dibandingkan rumusan TAP MPRS Nomor XXVII/MPRS/1966.
Penempatan posisi pengetahuan dan keterampilan memang sudah
sewajarnya karena merupakan suatu kenyataan yang tak dapat disangkal
bahwa manusia memang tidak mungkin hidup tanpa ilmu pengetahuan.
Tujuan pendidikan yang dirumuskan dalam TAP MPRS IV Tahun 1973
memperlihatkan tugas pendidikan yang cukup mendasar untuk
mengembangkan potensi peserta didik di berbagai bidang untuk menjadi
- 74 -
manusia yang “sehat jasmani dan rohaninya, memiliki pengetahuan dan
keterampilan, dapat mengembangkan kreaktivitas dan tanggung jawab,
dapat menyuburkan sikap demokrasi dan penuh tenggang rasa, dapat
mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti yang
luhur, mencintai bangsanya dan mencintai sesama manusia sesuai dengan
ketentuan yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945.”
Tujuan yang dirumuskan TAP MPRS Nomor IV Tahun 1973 manusia
Indonesia adalah manusia yang selain sehat jasmani dan rohani, memiliki
pengetahuan dan keterampilan tetapi memiliki pula berbagai kualitas afektif
yang masih tetap aktual untuk masa kini. Sikap demokrasi dan tanggung
jawab adalah sesuatu yang masih diperlukan hingga saat kini dan untuk
masa panjang selama negara Indonesia dan bangsa Indonesia menegakkan
kehidupan kebangsaannya atas dasar demokrasi, sesuatu yang tidak saja
dominan melainkan juga menjadi alternatif terbaik dalam kehidupan
kebangsaan. Cara merumuskan yang memberikan keseimbangan antara
kemampuan kognitif dan afektif (demokrasi dan bertanggung jawab)
digunakan pula dalam rumusan berikutnya. Kualitas kognitif, yaitu
kecerdasan yang tinggi diseimbangkan dengan kualitas afektif, yakni budi
pekerti yang luhur. Prinsip keseimbangan digunakan pula dalam rumusan
mengenai usaha pendidikan untuk menghasilkan manusia yang mencintai
bangsanya dan juga sesama manusia untuk tidak menimbulkan sikap
chauvinistis atau nasionalisme yang sempit.
Untuk merealisasikan tujuan pendidikan sebagaimana telah dirumuskan
dalam TAP MPRS Nomor IV Tahun 1973 telah pula ditetapkan mata
pelajaran Pendidikan Moral Pancasila sebagai pengganti Civics atau
Kewargaan Negara pada kurikulum sebelumnya. Pada bagian Pendidikan,
Ilmu Pengetahuan, Tenologi dan Pembinaan Generasi Muda butir 2 TAP
MPRS tersebut dirumuskan arah bagi kurikulum Taman Kanak-Kanak
(TK) sampai Sekolah Menengah Tingkat Atas (SMTA). Pada butir itu,
dirumuskan sebagai berikut: “untuk mencapai cita-cita tersebut maka
kurikulum di semua tingkat pendidikan, mulai dari taman kanak-kanak
sampai perguruan tinggi baik negeri maupun swasta harus berisikan
Pendidikan Moral Pancasila dan unsur unsur yang cukup untuk meneruskan
Jiwa dan nilai-nilai 1945 kepada Generasi Muda”. Kedudukan mata pelajaran
Pendidikan Moral Pancasila sebagai mata pelajaran wajib berlaku sampai
kini walaupun nama mata pelajaran tersebut mengalami perubahan beberapa
kali, disesuaikan dengan TAP-TAP MPR pada masa berikutnya.
Di samping perubahan politik, terutama dalam keputusan mengenai tujuan
pendidikan nasional terjadi pula berbagai pemikiran baru tentang
kurikulum. Kehadiran beberapa sarjana yang memfokuskan dirinya pada
bidang pengembangan kurikulum dan bidang studi kurikulum
memperkenalkan berbagai pemikiran baru untuk kurikulum 1975. Berbagai
- 75 -
teori dan pemikiran mengenai pengembangan kurikulum (curriculum
development) yang mereka pelajari dan dianggap bermanfaat bagi dunia
pendidikan Indonesia mereka aplikasikan dalam pekerjaan pengembangan
Kurikulum 1975. Mereka memperkenalkan pikiran inovatif mengenai desain
kurikulum, posisi peserta didik dalam belajar, proses pembelajaran, dan
evaluasi atau asesmen hasil belajar. Desain kurikulum yang mengarah pada
model pendekatan tujuan menghasilkan struktur tujuan lebih jelas dan
keterkaitan antara berbagai jenjang tujuan dinyatakan secara eksplisit. Jika
dalam Kurikulum SMP 1954 tujuan setiap mata pelajaran dirumuskan
terpisah dari materi yang dipelajari maka pada Kurikulum 1975 SMP
dirumuskan dalam sebuah matriks sehingga jelas keterkaitan antara tujuan
kurikuler dan tujuan instruksional. Selain itu, Kurikulum 1975 SMP
memperlihatkan keterkaitan yang jelas antara Tujuan Kurikuler, Tujuan
Instruksional Umum, materi, metode, dan penilaian hasil belajar Kurikulum
sebelumnya tidak memperlihatkan keterkaitan berbagai komponen itu dalam
satu matriks.
Pemikiran inovatif yang juga dikembangkan pada Kurikulum 1975 SMP
adalah adanya penjelasan mengenai berbagai hal yang dianggap inovatif
atau pun yang merupakan kelanjutan dari apa yang sudah dilaksanakan
sebelumnya. Di antara pikiran-pikiran itu penggunaan model Prosedur
Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI) dan sistem penilaian yang
berkelanjutan merupakan aspek inovasi, pedoman pelaksanaan kurikulum
banyak berpengaruh terhadap pengembangan kurikulum berikutnya.
Sebagian dari pemikiran inovatif, yakni pengunaan filosofi perenialisme
masih dipertahankan untuk jenjang pendidikaan dasar, sedangkan
penerapan filosofi perenialisme untuk kurikulum SMA mendapatkan
tantangan politis yang kuat sehingga pada tahun 1984 Kurikulum SMA
kembali dikembangkan berdasarkan filosofi esensialisme sampai hari ini.
Tentang tujuan, Kurikulum 1975 menggunakan pendekatan hierarkis antara
tujuan pendidikan nasional, tujuan pendidikan institusional, tujuan
pendidikan kurikuler, tujuan pendidikan instruksional umum (TIU), dan
tujuan pendidikan instruksional khusus (TIK). Keterkaitan antartujuan
tersebut masih berlangsung hingga kurikulum 1994 dan menjadi petunjuk
kuat mengenai keterkaitan antara apa yang dikehendaki bangsa Indonesia
dengan apa yang dikembangkan kurikulum. Secara diagramatik keterkaitan
itu digambarkan pada gambar 2 berikut.
- 76 -
Gambar 2: Heirarki Tujuan Pendidikan
TUJUAN
PENDIDIKA
N
NASIONAL
TUJUAN INSTITUSIONAL
(LEMBAGA)
Di bawah setiap TIU terdapat sejumlah TIK yang harus dirumuskan guru.
Hirarki keterkaitan tujuan pendidikan tersebut berdasarkan asumsi bahwa
apabila tujuan pendidikan di bawah dirumuskan dengan benar dan tercapai
maka tujuan pendidikan di atasnya akan tercapai. Artinya, jika kualitas hasil
belajar yang dirumuskan guru dalam TIK tercapai maka TIU yang menjadi
dasar pengembangan TIK tersebut diasumsikan tercapai. Jika berbagai
kualitas hasil belajar yang dirumuskan dalam berbagai TIU tercapai maka
Tujuan Kurikuler untuk bidang studi tersebut tercapai. Jika kualitas hasil
belajar yang dirumuskan dalam berbagai Tujuan Kurikuler dimiliki peserta
didik maka tamatan SMP akan memiliki kualitas hasil belajar yang
dirumuskan dalam Tujuan Institusional (SMP) tersebut. Apabila semua
tujuan institusional semua lembaga pendidikan tercapai maka kualitas
manusia Indonesia yang dirumuskan dalam Tujuan Pendidikan Nasional
tercapai pula.
- 77 -
2. Tujuan Institusional SMP
Dalam bab III Buku I Kurikulum 1975 SMP ditetapkan adanya Tujuan
Umum dan Tujuan Khusus. Tujuan Umum menggambarkan tujuan
pendidikan SMP yang terdiri atas tiga tujuan yang mencakup wewenang
yang dimiliki seorang tamatan pendidikan SMP. Ketiga tujuan tersebut,
ialah (1) menjadi “warganegara yang baik sebagai manusia yang utuh, sehat,
kuat lahir dan batin; (2) menguasai hasil pendidikan umum yang merupakan
kelanjutan dari hasil pendidikan di sekolah dasar; (3) dan memiliki bekal
untuk melanjutkan pelajarannya ke Sekolah Lanjutan Tingkat Atas dan
untuk terjun ke masyarakat”. Tujuan nomor satu jelas merupakan tujuan
yang dirancang untuk menjadi kualitas peserta didik yang belajar dari
kurikulum SMP sehingga kurikulum tersebut diharapkan mampu
mengembangkan berbagai pengetahuan, keterampilan dan nilai untuk
menjadi warga negara yang baik. Tujuan nomor dua menggambarkan
keterkaitan antara kurikulum SD – SMP sehingga ketiga kualitas yang
dirumuskan dalam tujuan pertama merupakan suatu upaya lanjutan dari apa
yang sudah dikembangkan dalam kurikulum SD. Sedangkan tujuan ketiga
menggambarkan apa yang dapat dilakukan peserta didik dari hasil yang
dirumuskan pada tujuan pertama dan kedua, agar peserta didik dapat
menggunakan kemampuan yang sudah dimiliki untuk melanjutkan
pendidikan mereka ke jenjang yang lebih tinggi atau menjadi anggota
masyarakat yang memiliki keutuhan kemampuan serta sehat lahir-batin.
Tujuan khusus pendidikan SMP menjadi tujuan yang secara operasional
harus terjamin ketercapaiannya dalam rancangan dokumen kurikulum,
dalam proses implementasi kurikulum berupa kegiatan proses belajar-
mengajar, dan terbukti dalam informasi yang dikumpulkan oleh asesmen
hasil belajar dan bahkan evaluasi kurikulum. Tujuan khusus tersebut
mencakup bidang pengetahuan, keterampilan, dan nilai. Ketiga ranah ini
merupakan ranah penting karena pengetahuan adalah landasan untuk
mengembangkan keterampilan (belajar, berpikir, kinestetik, estetika,
kesehatan, kepemimpinan, dan vokasional), dan untuk mengembangkan nilai
yang berkenaan dengan ideologi dan dasar hukum/filosofi negara, agama,
kemanusiaan; sikap demokratis dan tenggang rasa, tanggung jawab,
apresiasi budaya dan karya, percaya diri, rasa ingin tahu (minat), disiplin dan
patuh, jujur, mandiri, berinisiatif, kreativitas, kritis, rasional, objektif,
menghargai pekerjaan ; kebiasan hidup hemat, produktif, sehat dan
berolahraga, dan menghargai waktu.
Dari tujuan khusus yang dirumuskan dalam Buku I Bab III Pasal 5 jelas
menunjukkan bahwa pemahaman para pengembang kurikulum dalam
berbagai teori tentang intelegensia, sikap dan nilai, serta tujuan. Rumusan
tujuan khusus tersebut membedakan ranah pengetahuan dari
kemampuan/keterampilan dan nilai. Pada masa belakangan para pelaksana
- 78 -
kurikulum dan pembuat kebijakan dalam kurikulum tidak memberikan
perhatian yang sungguh dalam mengembangkan ranah
kemampuan/keterampilan serta sikap dan nilai tetapi hanya fokus pada
pengembangan pengetahuan. Ranah kemampuan/keterampilan yang
meliputi berbagai aspek inteleligensia yang lebih luas dibandingkan “multiple
intelligences” Howard Gardner tidak mendapatkan perhatian dan
pengembangan yang seharusnya. Ranah sikap dan nilai terabaikan dalam
kadar yang sama dengan ranah kemampuan/keterampilan. Kedua ranah
yang disebutkan belakangan, diperlakukan seperti ranah pengetahuan
sehingga proses belajar dan materi pelajaran kedua ranah tersebut
dikerdilkan menjadi ranah pengetahuan.
Keterampilan dan nilai serta sikap yang dikembangkan Kurikulum 1975
masih relevan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia masa kini dan masih
relevan juga dengan kebijakan pendidikan Pemerintah akhir-akhir ini yang
diterjemahkan dalam kebijakan pendidikan budaya dan karakter bangsa,
belajar aktif, mandiri-kreatif dan kewirausahaan. Pelajaran yang muncul dari
pengalaman Kurikulum 1975 SMP adalah kekurangan dalam perhatian dan
kemampuan mengembangkan proses belajar yang dapat membangun
kemampuan, sikap dan nilai yang telah dirumuskan sebagai tujuan menjadi
perilaku peserta didik. Kelemahan dalam mengembangkan proses
pembelajaran dan keterpurukan proses pembelajaran kemampuan (skills),
sikap dan nilai menyebabkan pengembangan ranah keterampilan intelektual
dan afektif tersebut menjadi pengembangan pengetahuan sehingga peserta
didik mengenai apa yang dimaksudkan dengan berbagai keterampilan, sikap
dan nilai yang dibahas di kelas namun, mereka tidak mampu melakukannya
dalam perilaku keseharian mereka di sekolah dan masyarakat.
Kelemahan lain adalah dalam penilaian hasil belajar peserta didik yang
sebagaimana halnya dalam proses pembelajaran terfokuskan dan terpuruk
pada upaya mencari informasi tentang kemampuan peserta didik dalam
ranah pengetahuan. Pengaruh dari asesmen hasil belajar yang terpuruk pada
pengetahuan maka proses pembelajaran semakin memusatkan perhatiannya
pada upaya pengembangan pengetahuan . Sayangnya, kelemahan ini
berlanjut pada kurikulum SMP berikutnya. Kenyataan ini merupakan
pelajaran terbaik agar bangsa ini tidak lagi dan lagi mengulang kesalahan
yang sama.
- 79 -
- Prinsip berorientasi pada tujuan
- Prinsip kontinuitas
- Prinsip pendidikan seumur hidup
- 80 -
Prinsip pendidikan seumur hidup menyatakan bahwa apa yang sudah
dipelajari di sekolah dapat digunakan dan dikembangkan lebih lanjut ketika
seseorang sudah tidak lagi belajar di jalur sekolah atau pun luar sekolah. Ia
memiliki kemandirian untuk belajar terus bagi pengembangan kemampuan
dan kepribadian dirinya. Sebetulnya untuk bisa belajar sepanjang hidup
seseorang memerlukan keterampilan belajar, kebiasaan dan keterampilan
membaca, rasa ingin tahu yang tinggi serta disiplin. Sayangnya, nilai-nilai
ini yang juga dinyatakan dalam tujuan kurikulum tidak dikembangkan
sebagaimana seharusnya. Tentu saja dengan demikian, belajar sepanjang
hidup tidak tampak dalam realita kehidupan peserta didik di sekolah dan
masyarakat.
- 81 -
kurikulum berikutnya dan baru berubah ketika kebijakan pendidikan
memberikan wewenang pengembangan kurikulum kepada daerah dan
sekolah.
Buku I Kurikulum 1975 memuat Keputusan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Nomor 008-D/U/1975 tentang pikiran-pikiran pokok
(curriculum ideas) dari Kurikulum 1975. Pikiran pokok tersebut berisikan
ketentuan umum, dasar dan tujuan pendidikan , tujuan umum dan tujuan
khusus pendidikan SMP, susunan kurikulum (struktur kurikulum), susunan
program pengajaran dan metode penyampaian, dan strategi implementasi
yang dinyatakan dalam bagian lain-lain/penutup. Dalam bagian umum
dirumuskan berbagai istilah yang digunakan dalam kurikulum, seperti
GBPP, model satuan pelajaran, jam pelajaran, semester, program pendidikan
umum, program pendidikan akademis, pendidikan keterampilan pilihan
terikat, pendidikan keterampilan pilihan bebas, lama waktu belajar di SMP,
dan guru bidang studi (Kurikulum 1975 SMP menggunakan istilah bidang
studi dan bukan mata pelajaran. Oleh karena itu, guru pun merupakan guru
bidang studi dan bukan lagi guru mata pelajaran. Beberapa dari istilah
tersebut merupakan istilah yang sudah dikenal dan diartikan sama dengan
pengertian yang sudah dikenal kepala sekolah, guru, dan masyarakat.
Beberapa istilah adalah istilah baru yang dikembangkan dan digunakan
dalam Kurikulum 1975.
Rumusan istilah-istilah yang digunakan dalam kurikulum baik yang sudah
umum mau pun yang baru, memiliki makna yang penting. Rumusan itu
menyampaikan pengertian yang digunakan oleh para pengembang ketika
mereka mendesain dan mengembangkan dokumen kurikulum (curriculum as
a written plan). Pengertian tersebut mengikat dan menjadi patokan bagi
kepala sekolah, guru dan pengawas sehingga terjadi kesamaan bahasa dalam
komunikasi antara para pelaksana kurikulum dengan pengembang
kurikulum. Kesamaan bahasa antara para pengembang dan pelaksana
dipersyaratkan dalam banyak literatur tentang pengembangan kurikulum
karena kesamaan bahasa tersebut menjadi satu kunci keberhasilan
pelaksanaan kurikulum. Meskipun demikian harus diingat bahwa adanya
rumusan istilah yang telah dilakukan para pengembang kurikulum bukanlah
pengganti sosialisasi sebagai salah satu strategi implementasi kurikulum.
Rumusan yang telah dikembangkan menjadi titik awal dalam membangun
persamaan bahasa dalam sosialisasi. Sosialisasi kurikulum mempunyai fungsi
untuk membangun pemahaman dan mengembangkan keterampilan baru
yang diperlukan guru bidang studi. Sayangnya, kelemahan dalam sosialisasi
untuk implementasi terutama berkenaan dengan aspek keterampilan yang
harus dimiliki guru seperti pengembangan PPSI, merumuskan tujuan
instruksional khusus berdasarkan kaategori atau taksonomi tujuan
pendidikan Bloom (Taxonomy of Educational Objectives), pengembangan tes
objektif, dan bahkan keterampilan dalam belajar dengan Cara Belajar Siswa
- 82 -
Aktif (CBSA) serta pengembangan strategi dan proses pembelajaran yang
menyebabkan peserta didik belajar aktif, menjadi faktor yang cukup
menentukan kelemahan kalau tidak dapat disebut sebagai kegagalan
implementasi Kurikulum SMP 1975. Pelatihan yang dilakukan tidak sampai
pada setiap guru dan akibatnya guru tidak mampu mengembangkan
keterampilan yang diperlukan. Lagipula, banyak dari pelatihan tersebut
dilakukan sepanjang perjalanan implementasi dan bukan di awal tahun
sebelum implementasi di kelas I dilakukan.
Terdapat beberapa istilah baru yang diperkenalkan Kurikulum 1975 SMP,
seperti Garis Besar Program Pengajaran (GBPP), model satuan pelajaran
yang nantinya menggunakan model Program Pengembangan Sistem
Instruksional (PPSI), semester sebagai pengganti sistem kuartalan, guru
bidang studi sebagai pengganti guru mata pelajaran, tujuan instruksional
(umum dan khusus). Garis Besar Program Pengajaran dirumuskan sebagai
“ikhtisar daripada keseluruhan program pengajaran yang terdiri atas tujuan-
tujuan kurikuler, tujuan-tujuan instruksionil dengan ruang lingkup bahan-
bahan pengajaran yang diatur dan disusun secara berurutan menurut
semester dan kelas”. Secara khusus, GBPP dikembangkan sebagai dokumen
khusus untuk setiap bidang studi yang ada dalam struktur Kurikulum 1975
berisikan rumusan tujuan kurikuler, tujuan isntruksional umum (TIU),
pokok-pokok bahasan, dan tata urut penyampaian bahasan (sequence) di
setiap semester, dan dari satu semester ke semester berikutnya. Guru
berkewajiban mengembangkan GBPP menjadi satuan pelajaran untuk setiap
TIU dan pokok bahasan yang perlu dipelajari untuk menguasai kemampuan
yang tertuang dalam rumusan TIU20. Setiap rumusan TIU mengandung
komponen peserta didik, kemampuan/keterampilan (intelektual, afektual,
psikomotorik), dan aspek substantif yang harus dipelajari dan dikuasai
peserta didik. Aspek substantif dipelajari dan digunakan untuk melatih
peserta didik dalam menguasai aspek kemampuan tetapi aspek
kemampuan/keterampilan juga digunakan dalam mempelajari aspek
substantif sehingga peserta didik mencapai tingkat mahir dalam
20
Dalam Buku I Kurikulum SMP 1975 titik 2.3 di halaman 21 dikatakan bahwa “pokok
bahasan yang telah disusun secara berurutan ini selanjutnya perlu dikembangkan menjadi
suatu program instruksionil yang jelas sasarannya (dalam bentuk rumusan tujuan
instruksionil yang lebih khusus), perincian pokok-pokok bahasan, alat-alat pelajaran yang
harus disediakan dan digunakan, cara mengajar dan belajar yang harus ditempuh, lamanya
pelajaran itu diadakan, alat evaluasi yang perlu disusun untuk mengukur tingkat pencapaian
tujuan para siswa. Petunjuk tersebut agak “menyesatkan” karena model yang digunakan
adalah pendekatan tujuan sebagaimana dinyatakan dalam buku yang sama di halam 17
(prinsip berorientasi pada tujuan) dan pada halaman 21 tentang kedudukan tujuan. Dengan
pendekatan tujuan maka seharusnya TIK dirumuskan sebagai operasionalisasi TIU terutama
yang berkenaan aspek kemampuan intelektual, afektif, dan psikomotorik dan rincian materi
pembelajaran dari materi TIU yang sesuai dengan materi pokok bahasan.
- 83 -
menggunakan kemampuan/keterampilan. Kedua proses tersebut bersifat
timbal balik dan menyebabkan terjadinya proses belajar bermakna.
Model satuan pelajaran dirumuskan sebagai “pedoman tentang proses
belajar-mengajar yang meliputi tujuan-tujuan instruksional (khusus), pokok-
bahasan, uraian kegiatan belajar-mengajar murid dan guru, alat/media
pelajaran, dan alat evaluasi yang digunakan”. Sebagaimana dikemukakan di
atas model satuan pelajaran yang diperkenalkan pada Kurikulum 1975 SMP
dinamakan Program Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Model
PPSI dikembangkan dari wilayah Desain Instruksional (Instructional Design)
dan bukan bidang kurikulum. Meskipun demikian, PPSI cukup efektif untuk
mengimplementasi kurikulum sebagai dokumen menjadi kurikulum sebagai
suatu proses. Pemanfaatan PPSI sebagai salah satu aspek inovatif yang
diperkenalkan Kurikulum 1975 SMP memiliki dampak yang cukup positif
dalam perkembangan pendidikan di Indonesia. Memang harus diakui bahwa
model PPSI memberikan keterbatasan dalam arti pencapaian tujuan yang
sangat terbatas tetapi hal tersebut dapat dihindari jika rumusan TIU dan
terutama rumusan TIK tidak diarahkan kepada persyaratan pandangan
behavioristik Mager yang dikenal dengan persyaratan ABCD (audience,
behavior, conditions, degree). Sayangnya, rumusan ABCD ini merupakan
salah satu aspek inovatif yang diperkenalkan oleh Kurikulum SMP 1975
dalam merumuskan TIK.
Bersamaan dengan penerapan PPSI maka diperkenalkan pula istilah
instruksional umum (TIU) dan instruksional khusus (TIK) sebagai upaya
membedakan dengan pengertian tujuan kurikuler yang digunakan dalam
Garis Garis Besar Program Pengajaran. Selain sebagai pembeda yang
disebabkan oleh fungsi dan ruang lingkup yang berbeda antara tujuan
kurikuler, tujuan instruksional umum dan tujuan instruksional khusus,
penggunaan istilah instruksional umum dan khusus memberikan landasan
pengembangan yang lebih jelas. Tujuan kurikuler merumuskankan kualitas
hasil belajar/kemampuan yang akan dicapai peserta didik dari sebuah
bidang studi, tujuan instruksional umum merumuskan kualitas hasil hasil
belajar/kemampuan yang akan dicapai peserta didik dari beberapa pokok
bahasan sebuah bidang studi sedangkan TIK merumuskan kualitas hasil
belajar/kemampuan peserta didik setelah mempelajari suatu pokok bahasan.
Pikiran pokok lain yang dikembangkan Kurikulum 1975 SMP mengenai
sistem penilaian. Kurikulum 1975 SMP menghendaki adanya perubahan
dari pandangan lama bahwa penilaian hanya dapat dilakukan pada akhir
catur wulan/kuartalan atau pada akhir tahun maka Kurikulum 1975 SMP
dilaksanakan pada akhir setiap satuan pelajaran. Konsekuensi dari pemikiran
ini adalah frekuensi pengukuran pencapaian hasil belajar menjadi lebih
sering sehingga peserta didik mengikuti tes atau ulangan untuk ruang
lingkup materi yang lebih terbatas. Ketika asesmen itu dilakukan pada setiap
- 84 -
saat peserta didik membahas suatu pokok bahasan maka daya ingat akan
lebih kuat dan segar dibandingkan apabila tes atau ulangan itu dilakukan
pada beberapa saat setelah materi pelajaran itu dikaji. Semakin lama suatu
pengetahuan bersifat asing atau tidak menjadi bagian integral dari schema
seseorang dan semakin lama jarak waktu antara saat ketika materi tersebut
dipelajari dengan saat ulangan/tes maka semakin banyak pengetahuan itu
tersimpan dalam memori dan sukar dipanggil untuk menjawab pertanyaan
yang ada dalam tes/ulangan.
Semakin sering sebuah pengetahuan digunakan maka semakin mudah tinggi
tingkat kemampuan untuk memanggilnya. Pengetahuan yang digunakan
setiap hari menjadi pengetahuan yang selalu siap dipanggil setiap saat dan
dengan demikian ia akan tersimpan dalam memori di tempat yang mudah
terjangkau. Alat asesmen hasil belajar digunakan tidak saja untuk
mengumpulkan informasi tentang kemampuan peserta didik melainkan juga
menjadi fasilitas bagi peserta didik untuk mengakses pengetahuan dan
menggunakannya maka semakin sering diadakan ulangan/tes semakin
tinggi tingkat pemanfaatan pengetahuan dan pada gilirannya semakin
mudah memanggil pengetahuan yang bersangkutan. Dari sudut pandang
teoritis ini maka pikiran yang dikembangkan Kurikulum SMP 1975
merupakan suatu pendekatan yang memiliki kemampuan tinggi dalam
mengatasi kelemahan peserta didik dalam menghafal.
Dalam bidang penilaian hail belajar Kurikulum 1975 SMP memperkenalkan
dua jenis penilaian, yaitu penilaian formatif dan sumatif. Keduanya memiliki
fungsi yang berbeda. Penilaian formatif dilakukan untuk memperbaiki
kemampuan peserta didik sedangkan penilaian sumatif digunakan untuk
menentukan tingkat keberhasilan belajar peserta didik. Istilah formatif dan
sumatif diperkenalkan oleh Michael Scriven tahun 1967 untuk bidang
evaluasi kurikulum dan oleh Benjamin Bloom dan kawan-kawannya untuk
bidang evaluasi hasil belajar. Sejak diperkenalkan oleh Kurikulum 1975
SMP kedua istilah itu menjadi nomenklatur yang dikenal oleh guru,
masyarakat pendidik, dan juga orang tua terkadang dalam penggunaan
makna yang salah. Kesalahan yang terjadi ialah penilaian formatif tidak
digunakan untuk memperbaiki kemampuan peserta didik yang rendah baik
kemampuan kelas (dengan adanya ketentuan lebih dari 75% peserta didik di
suatu kelas menguasai kurang dari 75% kemampuan yang dirumuskan
dalam tujuan instruksional khusus) apalagi secara individual di mana guru
harus melakukan analisis jawaban peserta didik secara khusus untuk
menentukan kelemahan yang masih dimiliki seorang peserta didik. Kalaulah
tradisi penilaian formatif ini berjalan sebagaimana seharusnya dan
berkelanjutan sampai masa kini banyak kelemahan proses pembelajaran
dapat diperbaiki dan peserta didik akan selalu mendapatkan bantuan belajar
yang diperlukannya.
- 85 -
Hal lain yang berkenaan dengan asesmen hasil belajar ialah asesmen itu
harus menckup keseluruhan aspek tingkah laku. Artinya, asesmen yang
dilakukan tidak boleh hanya membatasi diri pada upaya mendapatkan
informasi mengenai penguasaan pengetahuan semata melainkan juga aspek
lain dari kemampuan yang harus dimiliki peserta didik. Asesmen harus
berkenaan dengan kemampuan/keterampilan intelektual, afeksi, dan juga
psikomotor. Prinsip menyeluruh dalam asesmen hasil belajar diaplikasikan
Kurikulum 1975 SMP dan ini hanya dapat dilakukan jika guru paham dan
memiliki keterampilan menerapkannya. Tampak bahwa sosialisasi
kurikulum jadi masalah sehingga guru tidak memiliki keterampilan yang
cukup untuk melaksanakan kurikulum.
Prinsip belajar tuntas merupakan pikiran pokok yang dikembangkan dalam
Kurikulum 1975 SMP adalah mengenai pendekatan belajar tuntas. Dalam
pedoman dinyatakan bahwa apabila 75% peserta didik tidak menguasai 75%
kemampuan yang dirumuskan dalam TIK maka guru harus mengulang
pembelajaran pokok bahasan tersebut. Prinsip belajar tuntas mengatakan
bahwa setiap peserta didik dapat menguasai kemampuan dan pengetahuan
apa pun yang dikehendaki kurikulum asalkan mereka diberi waktu yang
sesuai dengan tingkat kecepatan belajar mereka. Metode mengajar dapat
membantu peserta didik dapat memperpendek waktu untuk menguasai
kemampuan dan pengetahuan asalkan dilakukan dalam suatu proses
pembelajaran yang tepat bagi seorang peserta didik.
Penerapan prinsip dan pendekatan belajar tuntas tidak saja memerlukan
perubahan kemampuan pada diri guru tetapi terlebih lagi perubahan dalam
cara pandang mengenai belajar dan posisi peserta didik dalam belajar.
Pendekatan belajar tuntas menhendaki suatu keyakinan pada diri guru
bahwa setiap peserta didik akan mampu menguasai kemampuan yang
dirumuskan dalam tujuan. Mengubah cara pandang guru lebih sulit
dibandingkan dengan mengembangkan keterampilan baru dan tentu saja
lebih sulit lagi dibandingkan dengan penguasaan pengetahuan.
Pikiran pokok yang dikembangkan Kurikulum 1975 yang telah
dikemukakan di atas memberi petunjuk yang kuat bahwa Kurikulum 1975
mencoba mengubah banyak tradisi yang sudah berakar dalam dunia
pendidikan Indonesia. Model kurikulum yang berorientasi pada tujuan,
model penerapan proses pembelajaran yang juga berorientasi pada tujuan
serta asesmen yang mengukur pencapaian kemampuan yang terumuskan
dalam tujuan menjadikan Kurikulum 1975 sebagai tonggak pengembangan
kurikulum modern di Indonesia. Kurikulum 1975 dikembangkan untuk
mengubah berbagai tradisi dengan hal-hal baru.
- 86 -
5. Struktur Kurikulum 1975 SMP
Buku I Pasal 6 dan 7 menetapkan struktur Kurikulum 1975 SMP terdiri
atas program pendidikan umum, program pendidikan akademis, dan
program pendidikan keterampilan. Program Pendidikan Umum harus
diikuti oleh seluruh peserta didik. Demikian pula dengan program
Pendidikan Akademis yang akan menjadi dasar bagi mereka yang akan
melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi. Program Keterampilan terdiri
atas dua kelompok yaitu Program Keterampilan pilihan terikat yang
berkenaan dengan berbagai keterampilan vokasional dan Program
Keterampilan pilihan bebas yang berkenaan dengan berbagai kegiatan
keilmuan, olahraga, kesenian dan kesehatan. Dua kelompok proram
Keterampilan yang dikembangkan Kurikulum 1975 SMP memberikan
keleluasaan kepada peserta didik untuk mendapatkan keterampilan yang
berguna untuk mengembangkan minat mereka untuk memasuki dunia kerja
berbekal keterampilan vokasional yang bersifat pilihan terikat dan
keterampilan untuk memperdalam suatu bidang minat tertentu. Keterkaitan
dengan TAP MPRS tahun 1973 yang memberikan perhatian khusus pada
keterampilan diterjemahkan dalam bentuk kedua pilihan keterampilan
tersebut.
- 87 -
dibandingkan Kurikulum 1968. Penggantian nama yang sangat bersifat
politis dan sensitif tersebut tentu saja sudah berdasarkan analisis kondisi
masyarakat dan pemerintahan pada waktu itu yang sudah lebih dapat
menerima tidak digunakannya istilah Pancasila. Kajian terhadap rumusan
tujuan pendidikan dalam TAP MPRS Nomor IV Tahun 1973 yang sudah
mengganti istilah manusia Pancasila sejati (TAP MPRS XXVII Tahun
1966) menjadi manusia pembangunan yang ber-Pancasila menunjukkan
adanya sikap yang lebih akomodatif terhadap penggunaan istilah lain selain
Pancasila.
Untuk kelompok Pendidikan Umum bahasa Indonesia tidak lagi menjadi
anggotanya karena Bahasa Indonesia menjadi bidang studi dalam kelompok
Pendidikan Akademis. Artinya, dengan perubahan posisi ini maka
pendidikan Bahasa Indonesia bukan lagi merupakan salah satu landasan
pokok, bersamaan dengan Pendidikan Agama dan Pancasila, untuk
pendidikan kewargaannegara. Kebijakan serupa terjadi ketika Kurikulum
1954 digantikan oleh Kurikulum 1962, 1964 dan 1968 di mana mata
pelajaran sejarah Indonesia diubah posisinya menjadi menjadi mata
pelajaran akademis semata. Padahal untuk menjadi warga negara seseorang
harus mengetahui ideologi negaranya, sejarah bangsanya, wilayah, tata
negara dan bahasa nasional/bahasa resmi. Untuk warga negara yang
dilahirkan dan dibesarkan di Indonesia pendidikan, dalam hal ini kurikulum
merupakan media sebagai upaya untuk mengembangkan wawasan dan
kesadaran kewarga negara- annya. Oleh karena itu, perubahan posisi
Bahasa Indonesia dalam Kurikulum 1975 dan mata pelajaran Sejarah
Indonesia serta Ilmu Bumi/Geografi Indonesia menjadi bidang kajian
akademis jelas didasarkan pada pertimbangan ilmu dan bukan didasarkan
pada konsep kewargaannegaraan yang dimaksudkan.
Kelompok Pengetahuan Dasar dalam Kurikulum 1968 diganti namanya
menjadi kelompok Pendidikan Akademis. Penggantian nama kelompok ini
jelas menunjukkan konsep Kurikulum 1975 yang didasarkan pada pemikiran
kurikulum pendidikan disiplin ilmu. Dalam kelompok ini, bidang studi yang
tercantum memiliki fungi utama untuk mengembangkan kemampuan
akademis peserta didik dalam cara berpikir, bersikap, rasa ingin tahu, dan
belajar. Meskipun demikian, ada hal yang rancu, yaitu bidang studi Bahasa
Daerah yang dimasukkan sebagai bidang kajian akademis. Sebagaimana
halnya dengan Bahasa Indonesia, Bahasa Daerah dalam kurikulum
diarahkan untuk mengembangkan kemampuan berbahasa dan apresiasi
terhadap karya sastra yang dihasilkan dalam bahasa daerah. Dengan
memasukkan Bahasa Daerah sebagai bidang studi dalam kelompok
Pendidikan Akademis tentu saja mengurangi tujuan yang dimaksudkan.
Meskipun disadari bahwa pada waktu Kurikulum 1975 digunakan, SMP
belum menjadi bagian dari pendidikan dasar karena pendidikan dasar 9
tahun (SD dan SMP) baru ditetapkan dalam Undang-Undang Republik
- 88 -
Indonesia Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu
pada Penjelasan Pasal 13 Ayat (1) sedangkan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1954 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1950 dari Republik Indonesia Terdahulu tentang Dasar-dasar
Pendidikan dan Pengajaran di sekolah Untuk Seluruh Indonesia
menetapkan SMP sebagai pendidikan menengah dan bukan bagian dari
pendidikan dasar. Hal ini yang memberikan justifikasi memasukkan bidang
studi Bahasa Daerah sebagai anggota kelompok Pendidikan Akademis.
Suatu kenyataan menarik dalam kelompok Pendidikan Akademis adalah
pemikiran para pengembang kurikulum untuk menggunakan organisasi
“broad-fields”, yaitu dengan menggabungkan mata pelajaran Aljabar dan
Ilmu Ukur menjadi bidang studi Matematika, mata pelajaran Ilmu Alam dan
Ilmu Hayat menjadi Ilmu Pengetahuan Alam serta mata Ilmu Bumi dan
mata pelajaran Sejarah menjadi bidang studi Ilmu Pengetahuan Sosial.
Perkembangan pemikiran kurikulum sekolah menengah ketika upaya
memperkenalkan pendekatan ini untuk kurikulum perguruan tinggi
dianggap berhasil mengembangkan kemampuan berpikir mahasiswa yang
lebih luas dan tidak terkotak-kotak (Tanner dan Tanner, 1980:428;
Longstreet dan Shane, 1993:82). Keberhasilan tersebut menarik perhatian
para pengembang kurikulum sekolah menengah dan sekolah dasar di
Amerika Serikat (Longstreet dan Shane, 1993:82) dan pada saat sekarang
dunia menyaksikan bahwa organisasi “broad-fields” menjadi pendekatan yang
banyak dilakukan untuk kurikulum sekolah dasar dan menengah di berbagai
negara (NIER, 1999; O’Donnel dkk, 2002). Walaupun di Indonesia terjadi
perkembangan baru dalam pemikiran pengembangan kurikulum dan
pengambil kebijakan pendidikan di Indonesia dengan membatasi penerapan
organisasi “broad-fields” terbatas pada jenjang pendidikan dasar (SD dan
SMP), apa yang sudah diperkenalkan Kurikulum 1975 merupakan titik awal
sejarah perkembangan kurikulum di Indonesia dalam menerapkan pemikiran
organisasi konten “broad-fields”.
Organisasi “broad-fields” pada dasarnya merupakan pendekatan dalam
pendidikan disiplin ilmu. Pada saat sekarang pendekatan ini telah
berkembang sedemikian rupa dan dianggap merupakan titik berangkat
untuk mengembangkan kemampuan berpikir komprehensif, analitik,
evaluatif dan sintesis/mencipta sehingga memberikan kemungkinan untuk
mengembangkan kreativitas peserta didik. Keleluasaan dalam berpikir dan
melihat masalah yang tidak terbatasi oleh dinding-dinding ilmu yang
“discrete” memberikan dasar yang kuat untuk mengembangkan kreativitas.21
21
Dalam revisi yang dilakukan oleh Airisian dan kawan-kawan terjadi pemberian makna
baru dan restrukturisasi taksonomi tujuan pendidikan ranah kogniti yang dikembangkan
Bloom dan kawan-kawan. Dalam revisi ini kemampuan synthesis ditetapkan sebagai
kemampuan kognitif tertinggi, di atas kemampuan evaluasi yang ditetapkan sebagai
- 89 -
Oleh karena itu, pendekatan “broad-fields” mengubah tradisi kurikulum di
Indonesia yang sebelumnya selalu berdasarkan pendekatan “discrete
disciplinary” sesuai dengan pandangan essensialisme.
Permasalahan yang muncul adalah ketika pendekatan ini diperkenalkan
Kurikulum 1975 SMP, guru yang ada di sekolah dididik untuk
mengembangkan materi dan proses pembelajaran berdasarkan pendekatan
“discrete disiciplinary”. Pada tahun-tahun awal implementasi kurikulum dan
bahkan untuk waktu 5 tahun setelah Kurikulum 1975 SMP dinyatakan
resmi berlaku masih banyak di antara guru yang mengajar bidang studi
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) secara
terpisah. Guru yang terdidik dalam bidang geografi mengajar geografi, guru
yang terdidik dalam sejarah tetap mengajar sejarah, dan guru yang terdidik
dalam ekonomi mengajarkan materi pelajaran ekonomi. Hal yang sama
terjadi pula dengan bidang studi IPA yang terdiri atas komponen materi
terutama berasal dari biologi dan fisika. Masing-masing guru biologi dan
fisika mengajar bidang studi IPA dengan cara mengajar materi masing-
masing disiplin ilmu secara terpisah.
Kenyataan bahwa guru IPS dan IPA masih mengajar dengan menggunakan
pendekatan “discrete disciplinary” dapat dikatakan sebagai indikator yang
menyebabkan ketidakberhasilan upaya Kurikulum 1975 SMP
memperkenalkan pendekatan ini. Tampaknya, sosialisasi kurikulum yang
kurang mampu mempersiapkan lapangan dalam melaksanakan pendekatan
ini dan kurangnya koordinasi yang lebih baik dan terarah antara para
pengembang kurikulum dan pengambil kebijakan kurikulum dengan
lembaga pendidikan tenaga kependidikan kurang berhasil. Pikiran-pikiran
baru yang akan dikembangkan oleh sebuah kurikulum baru sudah
sepatutnya dikomunikasikan dan mesti dibicarakan dengan lembaga
penghasil tenaga kependidikan secara menyeluruh dan mendalam sehingga
lembaga pendidikan tenaga kependidikan dapat mengembangkan wawasan
baru dan keterampilan baru yang dikehendaki kurikulum dalam program
pendidikan calon guru yang dibina dalam bentuk pendidikan pra-jabatan
dan kepada guru yang sudah ada di lapangan dalam bentuk pendidikan
dalam jabatan.
kemampuan di bawah sintesis tetapi yang hasil evaluasi itu diperlukan untuk membangun
sinthesis. Istilah sinthesis diganti menjadi “create” kemampuan menciptakan yang
merupakan kemampuan untuk menghasilkan kreativitas.
- 90 -
guru dalam mengembangkan Garis-garis Besar Program Pengajaran
(GBPP) menjadi kurikulum guru dalam bentuk rencana tertulis guru.
Satuan pelajaran yang harus dikembangkan guru masih terbatas pada
pengembangan satu pokok bahasan yang terdapat pada GBPP dan belum
menjadi rencana pembelajaran guru untuk satu semester. Pemikiran bahwa
implementasi kurikulum dilakukan melalui perencanaan guru dalam bidang
studi secara terpisah masih mendominasi pemikiran para pengembang
kurikulum. Oleh karena itu, Satuan Pelajaran dibuat oleh guru bidang studi
tersebut baik yang dilakukan guru secara individual maupun dalam
kelompok Musyawarah Kerja Guru Bidang Studi. Guru bidang studi IPS
mengembangkan satuan pelajaran untuk kelas yang diajarnya demikian pula
guru bidang studi IPA, Matemateka, Bahasa Inggris dan seterusnya. Pada
waktu pertemuan di Musyawarah Kerja Guru Bidang Studi mereka
berkelompok pada kelas yang diajar oleh guru dari berbagai sekolah dan
menghasilkan Satuan Pelajaran untuk bidang studi kelas yang menjadi
tanggung jawab mereka.
Sebagaimana kurikulum sebelumnya, pemikiran bahwa kurikulum adalah
kurikulum sekolah dan bidang studi atau pun mata pelajaran adalah bagian
dari kurikulum sekolah belum menjadi fokus perhatian para pengembang
kurikulum. Konsekuensi dari pemikiran bahwa kurikulum adalah kurikulum
sekolah menghendaki perencanaan dokumen kurikulum yang
menggambarkan adanya keutuhan tersebut. Oleh karena itu, materi
kurikulum yang masuk dalam kategori keterampilan (keterampilan kognitif,
keterampilan sosial, keterampilan kinestetik, dan sebagainya), dan materi
kurikulum yang masuk dalam kategori nilai dan sikap harus diorganisasikan
sebagai materi kurikulum yang dikembangkan melalui materi pengetahuan
yang diorganisasikan dalam label mata pelajaran atau bidang studi.
Pemikiran semacam itu pernah dimunculkan dalam rancangan kurikulum
berbasis kompetensi dengan label kompetensi lintas kurikulum. Label itu
salah nama karena tidak ada kurikulum mata pelajaran tetapi label itu dapat
dimengerti karena tradisi sebelumnya memperlakukan mata pelajaran
sebagai kurikulum. Sayangnya, pendekatan yang digunakan dalam
mengembangkan kompetensi lintas kurikulum adalah pendekatan induktif
padahal seharusnya dilakukan di awal proses pengembangan/konstruksi
dokumen kurikulum.
Sejalan dengan kebijakan mengenai Satuan Pelajaran dan penggunaan tes
objektif yang bersifat terukur, rumusan Tujuan Instruksional Khusus (TIK)
yang terukur dan spesifik dengan persyaratan Audience, Behavior, Condition,
dan Degree (ABCD) yang dikemukakan Mager maka diperkenalkan juga
taksonomi tujuan pendidikan yang dikembangkan oleh Benjamin Bloom,
dan kawan-kawan (1957). Istilah teknis yang mulai diberlakukan adalah
kognitif, afektif, dan psikomotor sesuai dengan istilah yang digunakan.
Istilah teknis ini berkembang sampai saat kini walaupun dalam
- 91 -
penggunaannya banyak kalangan yang mencampuradukkan antara
pengetahuan dengan kognitif, antara nilai dan sikap dengan jenjang afektif,
dan antara gerak motorik dengan keterampilan psikomotorik. Tidak jarang
terdengar para pengambil keputusan atau pelaksana pendidikan
menyamakan pengetahuan dengan kognitif. Pengetahuan adalah unsur
subtantif yang dihasilkan oleh ilmu dan kegiatan lainnya terdiri atas
pengetahuan tentang istilah, konsep, teori, prosedur, nilai, moral,
keterampilan (intelektual dan motorik). Kognitif adalah kemampuan akal
dalam memeroses pengetahuan dalam berbagai jenjang kemampuan
kognitif22 sehingga menghasilkan pengetahuan baru. Demikian pula
menyamakan nilai/moral/sikap dengan jenjang afektif padahal
nilai/moral/sikap adalah materi yang dikembangkan dalam berbagai
jenjang afektif (menerima, merespon, menilai, mengorganisasikan, dan
menjadikan kebiasaan). Gerak motorik adalah gerak yang harus dilakukan
otot dengan kendali psikologis dan kognitif untuk mencapai jenjang
psikomotorik yang paling tinggi.
Rumusan TIK yang dikembangkan guru dalam menyusun TIK dan butir
soal menggunakan kata kerja yang terkait dengan kemampuan kognitif,
afektif, dan psikomotor. Kata kerja tersebut dikenal dengan istilah Kata
Kerja Operasional (KKO) digunakan untuk merinci perilaku terukur dalam
rumusan TIK dari kata kerja yang masih bersifat umum yang terdapat pada
rumusan Tujuan Instruksional Umum (TIU). Pemanfaatan Kata Kerja
Operasional (KKO) dalam mengembangkan tujuan masih menjadi tradisi
dalam penerapan kurikulum masa kini. Orientasi pengukuran dalam
penilaian hasil belajar masih cukup dominan dan oleh karena itu rumusan
TIK yang terukur dan butir soal yang terkait dengan keterukuran perilaku
peserta didik masih merupakan tuntutan yang harus dipenuhi guru dalam
melaksanakan kurikulum.
22
Jenjang kognitif yang dikembangkan Bloom dan kawan dan diterbitkan dalam buku yang
berjudul Taxonomy of Educational Objectives direvisi oleh Airasian, dan kawan-kawan di
mana untuk menghilangkan kesalahpahaman maaka pengetahuan digambarkan secara
terpisah dari kognitif, sintesis ditempatkan sebagai jenjang kognitif tertinggi, dan label
untuk setiap jenjang diganti menjadi mengingat (remember), memahami (understand),
menerapkan (apply), menilai (evaluate), mencipta (create).
- 92 -
kontinu diperkenalkan oleh Kurikulum SMP 1975. Melalui penerapan
prinsip ini maka dapat dikatakan peserta didik selalu berada dalam keadaan
siap belajar dan mengikuti asesmen bahkan ada kesan bahwa peserta didik
belajar untuk tes.
Secara teoretik, asesmen formatif adalah asesmen untuk mengenal kekuatan
dan kelemahan peserta didik dalam menguasai pengetahuan dan kemampuan
tertentu. Berdasarkan informasi mengenai kelemahan yang dimiliki peserta
didik guru melakukan berbagai tindakan perbaikan (remedial) sehingga
peserta didik yang bersangkutan dapat memiliki pengetahuan dan
kemampuan yang diharapkan. Asesmen sumatif berfungsi untuk
menentukan tingkat keberhasilan peserta didik baik dalam bentuk kenaikan
kelas atau pun keberhasilan menyelesaikan pendidikannya di sebuah satuan
pendidikan. Kedua fungsi asesmen ini saling melengkapi tetapi asesmen
formatif lebih penting bagi membantu peserta didik dalam keberhasilan
belajar. Sayangnya, dalam pelaksanaan kurikulum asesmen sumati lebih
dominan dibandingkan asesmen formatif.
Tentu saja praktik yang lebih mementingkan asesmen sumatif kesan
tersebut tidak menguntungkan karena dengan menerapkan fungsi formatif
dalam asesmen hasil belajar maka guru dan peserta didik memiliki banyak
kesempatan untuk memperbaiki penguasaannya. Melalui penerapan fungsi
formatif maka dari hasil tes atau ulangan guru dan juga peserta didik
mendapat informasi tentang materi pelajaran yang belum mereka kuasai dan
guru serta peserta didik dapat menggunakan informasi tersebut untuk
memperbaiki tingkat penguasaan. Memang kebijakan ini memberikan tugas
yang tidak ringan kepada para guru tetapi memberikan keuntungan edukatif
yang tinggi kepada peserta didik. Perpindahan kajian dari satu pokok
bahasan ke pokok bahasan berikutnya dapat dilanjutkan tanpa ada akumulasi
ketidakmampuan yang dimiliki peserta didik pada akhir satu semester.
Dalam Buku III B tentang Pedoman Penilaian, Kurikulum SMP 1975
memperkenalkan inovasi lain yaitu tes objektif dan pendekatan norms-
referenced pada pengolahan data asesmen. Pengembangan butir soal objektif
merupakan sesuatu yang baru karena sebelumnya guru menggunakan soal
uraian. Perubahan dari tes uraian yang dianggap terlalu banyak
mengandung hal-hal yang subjektif ke tes objektif menghendaki
keterampilan baru yang harus dimiliki guru. Guru harus memiliki
kemampuan dalam menyusun kisi-kisi soal yang didalamnya melibatkan
berbagai keputusan mengenai tingkat kesulitan butir soal dan tes, bentuk-
bentuk butir soal serta kemampuan yang diukur soal tersebut, dan proporsi
kemampuan yang diukur oleh tes. Penentuan setiap komponen yang
tercantum dalam kisi-kisi memerlukan pertimbangan pedagogis dan
profesional guru yang hanya diperoleh jika guru mendapatkan pelatihan
dalam jabatan (inservice). Sayangnya, pelatihan yang diterima guru dalam
- 93 -
mengembagkan tes objekti dan menyusun soal objektif hanya berkenaan
dengan aspek teknis-administratif tetapi tidak cukup adekuat untuk
memberikan keterampilan terlatih dalam mnentukan pertimbangan
pedagogis. Akibatnya, apa yang terjadi terutama terkait dalam kemampuan
guru dalam menyusun kisi-kisi soal secara teknis dan memenuhi berbagai
persyaratan dari sudut pandang tes tetapi tidak dari sudut pandang
pedagogis kependidikan.
Kemampuan lain yang mendasar dan diperlukan guru adalah kemampuan
mengkontruksi butir soal objektif dalam ragam yang banyak digunakan
yaitu pilihan ganda (multiple choice), benar – salah (true-false), dan
menjodohkan (matching). Konstruksi soal-soal dalam kelompok butir soal
objektif, baik dalam merekonstruksi pernyataan (statement) maupun dalam
pilihan (options) memerlukan keterampilan khusus yang hanya diperoleh
melalui pelatihan yang cukup. Guru yang akan melaksanakan Kurikulum
1975 sudah harus memiliki keterampilan yang diperlukan dalam
mekonstruksi butir soal objektif sebelum mereka mengimplementasikan
kurikulum tersebut. Kiranya tak perlu dikatakan bahwa ketidakmampuan
guru dalam merekonstruksi butir soal dan tes objektif, karena mereka tidak
mendapatkan pelatihan, menyebabkan keampuhan alat asesmen ini dalam
menghasilkan informasi yang diperlukan dan valid menjadi masalah besar.
Butir soal yang dikonstruksi tanpa mengindahkan persyaratan yang standar
akan menghasilkan informasi yang menyesatkan. Strategi implementasi
yang lemah dan yang menyebabkan guru sebagai pelaksana utama
kurikulum dalam posisi yang tidak siap untuk merealisasikan rancangan
yang tercantum dalam dokumen menjadi suatu kenyataan atau proses
pembelajaran yang diharapkan akan menimbulkan berbagai masalah
kurikulum, guru dan masyarakat/bangsa yang menggunakan kurikulum
tersebut.
Kebijakan lain mengenai asesmen hasil belajar yang dianjurkan Kurikulum
SMP 1975 yaitu penerapan prosedur norms-referenced dalam menentukan
nilai bagi peserta didik. Melalui pendekatan “norms-referenced assessment”,
nilai seorang peserta didik ditentukan berdasarkan posisi skornya
dibandingkan kelompok “norms”nya yaitu teman sekelasnya. Pendekatan
“norms-referenced assessment” menyebabkan guru harus menghitung angka
rata-rata matematis kelas (means) dan simpangan baku (standar deviasi)
kelas yang dijadikan kelompok “norms”. Atas dasar hitungan angka rata-
rata dan simpangan baku guru harus membangun tabel sigma untuk
mengkonversikan skor individu yang diperoleh seorang peserta didik
menjadi nilai peserta didik yang bersangkutan. Cara ini menyebabkan
seorang peserta didik di suatu kelas atau sekolah menjadi sangat sulit
mendapatkan nilai baik jika kelompok “norms”nya adalah kelompok peserta
didik yang cemerlang. Cara ini pula menyebabkan seorang peserta didik di
suatu kelas atau sekolah menjadi mudah mendapatkan nilai baik jika
- 94 -
kelompok “norms”nya terdiri atas peserta didik dengan kemampuan rendah.
Oleh karena itu, nilai peserta didik dari suatu kelas atau sekolah tertentu
yang sama dengan peserta didik dari suatu kelas atau sekolah lain tidak
memiliki makna bahwa kualitas hasil belajar kedua peserta didik tersebut
sama atau “comparable”.
- 95 -
mengenai GBPP. GBPP yang merupakan tabel yang lebih mudah untuk
digunakan guru, tetapi karena ide kurikulum dalam Buku I tidak dipelajari
dan dipahami guru maka kurikulum tidak berhasil diterjemahkan dengan
baik. Ketika guru mengembangkan GBPP menjadi Satuan Pelajaran mereka
mampu menterjemahkannya secara teknis, tetapi kehilangan roh kurikulum.
Posisi GBPP yang demikian terfokus pada hal teknis menyebabkan banyak
guru yang bahkan hanya memperhatikan GBPP untuk kelas yang
diajarkannya, bukan lagi GBPP bidang studi yang mencakup program
pengajaran kelas I – III (7 – 9) SMP. Kenyataan yang demikian berlanjut
untuk kurikulum yang menggantikan Kurikulum 1975 SMP.
- 96 -
H.Achmad Lamo, Mh Isnaeni, MPR menghasilkan TAP MPR Nomor
IV/MPR/1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) untuk
Pembangunan Lima Tahun (PELITA) Ketiga. Keadaan negara pada waktu
itu dianggap sudah lebih baik sebagaimana dinyatakan dalam TAP MPR
Nomor IV/MPR/1978 bahwa “Setelah Pemberontakan G-30-S/PKI pada
tahun 1965 dapat digagalkan, berkat lindungan dan Rahmat Tuhan Yang
Maha Esa serta berkat kesadaran dan keteguhan rakyat pada landasan
Falsafah Pancasila, maka Orde Baru dengan perjuangan yang sungguh-
sungguh telah berhasil menciptakan stabilitas Nasional, baik di bidang
ekonomi maupun di bidang politik, untuk selanjutnya melakukan
serangkaian Pembangunan Nasional yang harus dilaksanakan secara terus-
menerus, menyeluruh, terarah dan terpadu, bertahap dan berencana, sebagai
satu-satunya jalan untuk mengisi kemerdekaan serta mencapai tujuan
Nasional”.
- 97 -
Pendidikan Moral Pancasila sebagai bagian dari Pendidikan Pancasila dalam
kurikulum dan tentu saja termasuk kurikulum SMP.
Lima tahun kemudian, yaitu pada tahun 1983 MPR kembali melakukan
sidang lima tahunan sebagai awal dari sidang MPR baru yang terpilih dari
hasil pemilihan umum. Pada tahun 1983 tersebut yang menjadi Ketua MPR
adalah H. Amir Machmud, dibantu Wakil Ketua M. Kharis Suhud, Haji
Amir Murtono, SH, Drs. Hardjantho Sumodisastro, H. Nuddin Lubis, dan
H. Soenandar Prijosoedarmo. Tap tentang GBHN berubah nomornya dari
IV menjadi II yaitu TAP MPR Nomor II/MPR/1983. Sebagaimana telah
dikemukakan di atas rumuan tujuan pendidikan nasional dalam TAP MPR
Nomor II/MPR/1983 tidak berbeda dari TAP MPR Nomor
IV/MPR/1978, yakni “pendidikan nasional berdasarkan atas Pancasila dan
bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat
kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat
menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun
dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan
bangsa”.
- 98 -
memasuki kehidupan di masyarakat, khususnya bagi siswa yang tidak
melanjutkan pendidikannya setelah tamat SMP.
- 99 -
berbagai mata pelajaran dengan taraf kemampuan belajar siswa, dan terlalu
beratnya materi pelajaran untuk beberapa mata pelajaran tertentu. Dengan
demikian, pengembangan kurikulum SMP (Sekolah Menengah Umum
Pertama) perlu berorientasi pada landasan pada pendekatan proses belajar-
mengajar yang diarahkan agar siswa memiliki kemampuan untuk
memeroses perolehannya” (Dokumen Kurikulum 1984:1).
Kemampuan untuk memeroses perolehan tersebut dikenal dengan nama
Keterampilan Proses. Pendekatan Keterampilan Proses menggantikan
pendekatan yang dikenal dengan nama Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA)
yang diperkenalkan oleh Kurikulum SMP 1975. Pada dasarnya, kedua
pendekatan itu memiliki langkah-langkah yang tidak jauh berbeda karena
keduanya menghendaki peran aktif peserta didik dalam mencari, mengolah,
dan mengkomunikasikan hasil belajarnya. Melalui pendekatan ini peserta
didik diposisikan sebagai subjek dalam belajar dan mereka mengembangkan
kemampuan belajar melalui kegiatan merumuskan masalah yang
diidentifikasikan dari suatu pokok bahasan, mencari berbagai sumber
informasi yang diperlukan, melakukan analisis sumber untuk mendapatkan
informasi yang diperlukan, mengolah informasi yang telah dikumpulkan
dari sumber, dan merekonstruksi hasil olahan informasi sehingga
menghasilkan pengetahuan (baru bagi peserta didik). Sayangnya,
pendekatan Keterampilan Proses sebagaimana pendekatan CBSA tidak
terlaksana dengan baik di lapangan.
Ketidakberhasilan pelaksanaan Keterampilan Proses, dan juga CBSA, di
lapangan disebabkan oleh paling tidak tiga faktor. Faktor pertama, adalah
kemampuan guru yang tidak terlatih untuk melaksanakan pendekatan
tersebut. Faktor kedua, fasilitas belajar yang diperlukan seperti buku dan
sumber lainnya tidak tersedia di sekolah. Faktor ketiga, pengertian konten
kurikulum yang dianut masih terpaku pada pengertian tradisional dan hanya
menganggap pengetahuan sebagai konten kurikulum. Keterampilan yang
perlu dipelajari dan dikuasai peserta didik untuk mampu memeroses
informasi tidak dianggap konten kurikulum dan tidak diajarkan pada peserta
didik. Dalam keadaan demikian, peerta didik tidak memiliki keterampilan
yang diperlukan bagi dirinya untuk merumuskan pertanyaan/masalah,
mencari dan mengumpulkan sumber informasi, mempelajari sumber
informasi untuk mendapatkan inormasi yang diperlukan, mengolah
informasi untuk menjawab pertanyaan/masalah yang diajukan, dan untuk
menyusun inormasi menjadi sebuah bentuk komunikasi
- 100 -
4. Struktur Kurikulum SMP 1984
Struktur Kurikulum SMP 1984 sama dengan struktur Kurikulum SMP
1975, yaitu terdiri atas Pendidikan Umum, Pendidikan Akademis, dan
Pendidikan Keterampilan. Meskipun demikian, beban belajar setiap semester
berbeda, karena Kurikulum SMP 1984 menggunakan pemikiran bahwa
beban belajar di kelas lebih tinggi harus lebih rendah dibandingkan kelas
sebelumnya (kelas I 38/40, kelas II 37/39, kelas III 36/38).
Tabel 7.3 Struktur Kurikulum dan Bidang Studi Kurikulum SMP 1984
JAM PELAJARAN KELAS/SEMESTER
PROGRAM I II III JUMLAH
BIDANG STUDI 1 2 3 4 5 6
PENDIDIKAN
KETERAMPILA 12. Pendidikan Keterampilan**) 4 4 4 4 4 4 24
N
Ada dua bidang studi yang membedakan antara Kurikulum SMP 1975
dengan Kurikulum SMP 1984, yaitu Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa
dan pemisahan Ilmu Pengetahuan Alam menjadi mata pelajaran Biologi dan
Fisika. Adanya bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa
didasarkan atas TAP MPR Nomor II/MPR/1983 dan Keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0461/U/1983. Berdasarkan TAP MPR
Nomor II/MPR/1983 bidang studi ini adalah bagian dari Pendidikan
Pancasila bersama-sama dengan Pendidikan Moral Pancasila. Dengan
demikian maka bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa adalah
bagian dari pendidikan kewargaan negara dan bukan kajian akademis. Oleh
karena itu, Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa dikelompokkan ke dalam
bidang studi dan Program Pendidikan Umum.
- 101 -
Kata sejarah dalam bidang studi ini menggambarkan bahwa materi utama
sebagai bahan ajar terdiri atas berbagai peristiwa sejarah nasional yang
dimulai dengan kebangkitan perjuangan kebangsaan. Tampaknya,
keberadaan bidang studi ini didasarkan atas pertimbangan bahwa
dipersyaratkan setiap warga negara memiliki pengetahuan mengenai
sejarah kelahiran dan perkembangan kehidupan bangsanya untuk
membentuk memori kolektif sebagai warga negara, ideologi dan tata negara,
bahasa Indonesia, dan geografi Indonesia. Materi sejarah dalam Program
Pendidikan Akademis yang diorganisasikan dalam bidang studi Ilmu
Pengetahuan Sosial tampaknya dianggap belum cukup untuk memenuhi
persyaratan tersebut. Oleh karena itu, bidang studi Pendidikan Sejarah
Perjuangan Bangsa bukan dianggap sebagai pendidikan akademis sejarah,
melainkan sebagai pendidikan kewargaannegara.
Konsep Program Pendidikan Umum sebagai pendidikan kewargaannegara
sangat menarik, tetapi tampaknya tidak dikembangkan dalam satu kesatuan
yang utuh. Jika Program Pendidikan Umum dimaksudkan sebagai
pendidikan kewargaannegara, pernah dikembangkan maka bahasa Indonesia
dan Geografi Indonesia seharusnya dimaksukkan ke dalam kelompok
Program Pendidikan Umum. Apabila materi pendidikan Geografi Indonesia
dikemas dalam bidang studi Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) bersamaan
dengan materi Sejarah Indonesia maka sudah sepantasnya jika IPS menjadi
bagian dari kelompok Pendidikan Umum sebagaimana ditetapkan dalam
Dasar dan Tujuan Pendidikan yang tercantum dalam Buku I tentang
Ketentuan Pokok. Tampaknya, ide kurikulum tersebut tidak diterjemahkan
secara utuh dalam struktur kurikulum dan pengelompokkan bidang studi.
Kedudukan IPS sebagai bidang studi dalam kelompok Program Pendidikan
Akademis memang tidak diarahkan untuk pendidikan kewargaannegara
walaupun terjadi ketidaksinambungan antara tujuan dan fungsi bidang studi
IPS sebagaimana dinyatakan dalam GBPP Bidang Studi Ilmu Pengetahuan
Sosial. Dalam GBPP disebutkan bahwa bidang studi IPS bertujuan “untuk
mengembangkan cara berpikir kritis dan kreatif siswa dalam melihat
hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya”. Rumusan tujuan tersebut
jelas memperlihatkan posisi bidang kajian akademis, yaitu kemampuan
berpikir dalam melihat fenomena bidang kajian (hubungan manusia dengan
lingkungan hidupnya).
Warna akademik yang dinyatakan dalam tujuan bidang studi IPS
bersesuaian dengan pendekatan yang dirumuskan dalam dua pendekatan,
yaitu (1) “pendekatan integratif sesuai dengan realita kehidupan”, dan (2)
“pendekatan struktural untuk meningkatkan pengertian konsep-konsep dari
generalisasi secara luas dan mendalam”. Terlepas dari adanya konflik dalam
berpikir antara pendekatan integrati dan pendekatan struktural, tetapi kedua
pendekatan tersebut merupakan aplikasi kurikulum dari pendidikan disiplin
- 102 -
ilmu. Artinya, IPS dalam posisi sebagai bidang studi dalam kelompok
Program Pendidikan Akademis memang dirancang sebagai pendidikan
akademis, bukan pendidikan kewargaannegara (bukan kewarga negaraan
yang menjadi label mata pelajaran). Landasan berpikir demikian,
menyebabkan kelahiran bidang studi Sejarah Pendidikan Perjuangan Bangsa
dalam kelompok Program Pendidikan Umum merupakan sesuatu yang
wajar walaupun menimbulkan masalah dalam ide kurikulum tentang
pendidikan kewargaannegara.
Sikap mendua dalam organisasi konten kurikulum yang diberi label bidang
studi Ilmu Pengetahuan Alam tetapi dipecah menjadi dua, yakni biologi dan
fisika dengan masing-masing beban belajar berbeda mencerminkan adanya
tarik ulur dalam konsep pendidikan ilmu alamiah (natural science). Secara
filosofis tampak ada tarik ulur antara pengembang kurikulum yang beraliran
perenialisme yang memperkenankan adanya pendidikan disiplin ilmu yang
terintegrasi dengan label berbeda dari label disiplin ilmu dengan mereka
yang beraliran esensialisme yang kokoh dalam posisi bahwa pendidikan
disiplin ilmu harus sesuai dengan kaidah disiplin ilmu termasuk nama mata
pelajaran. Menurut pandangan perenialisme pendidikan biologi, fisika, kimia
dapat disatukan dalam sebuah organisasi konten kurikulum yang dinamakan
IPA (science). Bagi pengikut esensialisme penggabungan dengan label seperti
IPA sedangkan bagi pengikut perenialisme penggabungan seperti IPA adalah
sesuatu yang wajar dan dapat diterima.
Penyelesaian yang dilakukan dengan mencantumkan nama bidang studi IPA
dalam tradisi perenialisme (IPA) dan yang kemudian untuk memenuhi filosofi
esensialisme dibagi atas biologi dan fisika mungkin dianggap sebagai
penyelesaian terbaik. Garis-garis Besar Program Pengajaran IPA tidak
merinci mengenai pendekatan sebagaimana yang tercantum dalam Struktur
Program dan Bidang Studi Kurikulum SMP 1984. Memang sangat
disayangkan ketiadaan informasi mengenai proses yang menyebabkan
terjadinya keputusan tersebut untuk lebih dapat memahami ide kurikulum
pengembangan bidang studi IPA, apalagi hal tersebut tidak terjadi dalam
bidang studi IPS. Jadi, terjadi perbedaan ide kurikulum yang cukup
mendasar antara pengembang bidang studi IPA dan IPS yaitu bidang studi
IPA menggunakan pemikiran “discrete disciplinary approach” sedangkan IPS
menggunakan pendekatan “integrated approach”.
Dalam konteks banyaknya mata pelajaran untuk Kelompok Umum dan
Akademis, Kurikulum SMP 1984 tidak lebih sederhana jika dibandingkan
dengan Kurikulum SMP 1975. Dengan adanya mata pelajaran Pendidikan
Sejarah Perjuangan Bangsa dan IPA yang terbagi dua atas Biologi dan
Fisika maka jumlah mata pelajaran dalam Kurikulum SMP 1984 menjadi
dua lebih banyak dari Kurikulum SMP 1975. Kesederhanaan Kurikulum
SMP 1984 dibandingkan Kurikulum SMP 1975 hanya terdapat pada mata
- 103 -
pelajaran Keterampilan yang hanya mengenal satu jenis dibandingkan dua
jenis pada Kurikulum SMP 1975 (pilihan wajib dan bebas). Dalam Buku I
tentang Landasan, Program, dan Pengembangan dikemukakan bahwa mata
pelajaran keterampilan diarahkan pada keterampilan yang terkait dengan
perkembangan terakhir yang terjadi di sekitar lingkungan sekolah. Oleh
karena itu, disarankan keterampilan untuk perkotaan dalam bidang
perbengkelan otomotif dan elektronika karena semakin banyaknya mobil
dan pemakaian komputer. Sedangkan untuk daerah pedesaan disarankan
keterampilan dalam bidang bioteknologi, kelistrikan, pembangunan desa,
perkoperasian, dan penyuluhan pertanian.
Prinsip yang mirip, walaupun tidak sama, dengan kebijakan tentang bidang
studi IPA diterapkan juga untuk IPS. Dalam bidang studi IPA struktur
kurikulum secara eksplisit memecah IPA dalam dua subbidang studi, yakni
Biologi dan Fisika, IPS melakukannya dalam cara yang berbeda. Dalam
Buku II Ilmu Pengetahuan Sosial Kurikulum SMP 1984 disebutkan “bidang
studi Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan gabungan Ilmu Pengetahuan
Sosial (IPS) yang terintegrasi atau terpadu, dan sejarah sebagai subbidang
studi. Pelaksanaan Subbidang Studi Sejarah mengambil waktu dari jatah
waktu yang tersedia untuk Bidang Studi Ilmu Pengetahuan Sosial sebanyak
1 jam pelajaran perminggu dan diberikan mulai dari kelas I sampai dengan
kelas III” (Buku II, 1986:4).
Akibat dari adanya kebijakan atau ide kurikulum yang demikian, tentu saja
terjadi ketidaksinambungan (inkonsistensi) atau bahkan dapat dikatakan
sebagai suatu “contradictio in terminis” bidang studi IPS, yakni antara
definisi IPS dengan ketentuan menjadikan sejarah sebagai subbidang studi
dengan GBPP yang terpisah dari GBPP IPS yang berisikan materi geografi,
kependudukan, ekonomi, sosiologi dan antropologi. Adanya pengaruh
pengambil kebijakan kurikulum yang cukup dominan dalam bidang sejarah
dan menginginkan pendidikan sejarah dalam konsep pendidikan esensialisme
menyebabkan terjadinya keputusan kurikulum yang demikian. Penyelesaian
dua GBPP, yaitu IPS dan Sejarah tentu saja menyebabkan persoalan
konseptual yang cukup mengganggu mengenai pendidikan IPS yang
menjadi komponen materi Kurikulum SMP 1984. Hal yang terjadi pada
bidang studi IPS dalam inkonsistensi antara pengertian dan pemecahan
subbidang studi tidak terjadi pada bidang studi IPA, karena GBPP IPA
tidak menyebutkan IPA sebagai suatu bidang studi terpadu.
Ketentuan kurikulum tentang adanya mata pelajaran keterampilan tentu
memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan diri
dalam berbagai bidang kesenian, olahraga, dan vokasional yang mungkin
dimaksukannya setelah yang bersangkutan menyelesaikan pendidikan SMP
dan tidak melanjutkan pada pendidikan di atasnya. Perbedaan mata
pelajaran keterampilan yang disarankan untuk lingkungan pendidikan yang
- 104 -
berbeda adalah kebijakan yang mengarah kepada diversifikasi kurikulum.
Keterkaitan kurikulum dengan lingkungan menjadi suatu yang didukung
oleh mata pelajaran pilihan. Sayangnya, kebijakan tentang mata pelajaran
keterampilan dalam Kurikulum SMP 1984, sebagaimana kurikulum
sebelumnya dan sesudahnya, tidak diikuti dengan kewajiban penyelenggara
pendidikan dan pemilik sekolah (dalam hal ini terutama pemerintah) untuk
melengkapi fasilitas yang diperlukan dalam mata pelajaran pilihan,
dukungan dana operasional dan pemeliharaan. Pada sisi lain, kenyataan
menunjukkan bahwa SMP tidak memiliki fasilitas olahraga, kesenian, dan
keterampilan yang memadai sampai hari ini sebagaimana halnya dengan
biaya operasional dan pemeliharaan. Kebijakan kurikulum yang tidak
didukung oleh kebijakan pengadaan fasilitas belajar berkelanjutan sampai
masa kini menyebabkan sekolah sebenarnya tidak dalam keadaan siap untuk
melaksanakan kurikulum. Dengan perkataan lain, sekolah tidak mungkin
melaksanakan apa yang telah direncanakan dalam dokumen kurikulum
(curriculum as plan) menjadi suatu realita kurikulum (implemented, observed,
atau taught curriculum).
Hal lain yang membedakan antara Kurikulum SMP 1975 dan sebelumnya
dengan Kurikulum SMP 1984 adalah dalam memberikan penawaran mata
pelajaran antarsemester (alternate semester offering). Dalam konsep ini, suatu
mata pelajaran tertentu diberikan pada semester tertentu dan tidak pada tiap
semester. Kurikulum SMP 1975 menerapkan konsep penawaran
antarsemester untuk bidang studi keterampilan pilihan terikat dan pilihan
bebas, sedangkan untuk Kurikulum SMP 1984 penawaran antarsemester
diberlakukan untuk bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa.
Walaupun keduanya menerapkan konsep antarsemester, konsep penawaran
antarsemester untuk bidang studi Keterampilan Terikat dan Keterampilan
Pilihan (Kurikulum SMP 1975) memiliki perbedaan dengan penawaran
antarsemester bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa
(Kurikulum SMP 1984). Penawaran antarsemester dalam Kurikulum SMP
1975 didasarkan pada pemikiran bahwa bidang studi Keterampilah Pilihan
Terikat dan Keterampilan Pilihan Bebas memiliki materi pelajaran
keterampilan yang dapat diselesaikan dalam satu semester sebagai satu
kesatuan utuh dan tidak berlanjut pada semester lain. Konsep demikian
banyak digunakan dalam kurikulum perguruan tinggi karena hakikat materi
satu mata kuliah yang sepenuhnya dikemas secara utuh dalam Sistem Kredit
Semester (SKS) sehingga materi satu semester suatu mata kuliah merupakan
satu kesatuan utuh (terkecuali mata kuliah prasyarat) dan tersedianya
banyaknya mata kuliah pilihan pengganti mata kuliah yang tidak
ditawarkan pada semester terkait.
Kurikulum SMP 1984 tidak menggunakan prinsip di atas dalam
mengembangkan bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa
walaupun ditawarkan dalam model antarsemester. Sebagaimana bidang
- 105 -
studi lainnya, materi bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa
semester 4 merupakan kelanjutan semester 2 dan materi semester 6
merupakan kelanjutan materi semester 4 dan 2. Kembali ketiadaan
dokumen mengenai proses pengembangan ide kurikulum dan dalam hal ini
berkenaan dengan ide kurikulum bidang studi Pendidikan Sejarah
Perjuangan Bangsa menyebabkan kesulitan memahami ide kurikulum yang
digunakan. Suatu hal yang jelas bahwa materi bidang studi Pendidikan
Sejarah Perjuangan Bangsa semester 2 berkaitan dengan materi semester 4
dan materi semester 6 sehingga penawaran pembelajaran yang bersifat
selang semester (alternate) semester mengundang masalah yang berkaitan
dengan prinsip tata urut (sequence) dalam pengembangan materi kurikulum
dan dalam proses pembelajaran. Harus diakui bahwa untuk unit kelas atau
tahun akademik penawaran materi pembelajaran yang bersifat selang
semester mungkin bukan masalah besar, tetapi harus pula diingat bahwa
kurikulum bukan berkenaan dengan kelas, tetapi sekolah dan keberhasilan
penguasaan materi pembelajaran bersifat menyeluruh.
Penilaian hasil belajar bidang studi yang digunakan Kurikulum SMP 1984
dalam bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa tidak sama
dengan kurikulum perguruan tinggi yang menggunakan SKS. Suatu mata
kuliah diakhiri dengan penilaian hasil belajar yang menentukan keberhasilan
seorang mahasiswa dalam mata kuliah tersebut dan tidak lagi terkait dengan
mata kuliah lain yang akan dikontrak oleh mahasiswa yang bersangkutan.
Kebijakan kurikulum di SMP tidaklah demikian, karena materi bidang studi
Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa yang dipelajari di semester 2 dan 4
akan masuk dalam ujian akhir sekolah. Oleh karena itu, sistem penawaran
selang semester (alternate semester) tidak sesuai dengan prinsip kurikulum
tingkat persekolahan.
Pertimbangan yang mungkin digunakan untuk mengembangkan
pembelajaran yang bersifat selang semester untuk bidang studi Pendidikan
Sejarah Perjuangan Bangsa adalah beban belajar keseluruhan persemester.
Ada pertimbangan yang cukup kuat agar beban belajar setiap semester tidak
melebihi 38 jam untuk kelas I, 37 jam untuk kelas II, dan 36 jam untuk kelas
III sehingga beban belajar keseluruhan Kurikulum SMP 1984 sama dengan
Kurikulum SMP 1975, yaitu 222 jam atau 234 bagi sekolah yang
memberikan pelajaran Bahasa Daerah.
Pertimbangan mengenai beban belajar semester ini berdampak pada alokasi
beban belajar bidang studi Matematika. Bidang studi Matematika
menggunakan alokasi beban belajar yang tidak sama antara semester ganjil
(1,3,dan 5) dengan semester genap (2,4, dan 6). Di setiap semester ganjil di
mana Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa tidak ditawarkan, maka
bidang studi Matematika memiliki beban belajar 6 sedangkan di setiap
semester genap ketika bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa
- 106 -
ditawarkan dengan beban belajar 2 jam, maka beban belajar bidang studi
Matematika berkurang dari 6 menjadi 4 jam. Akibatnya, distribusi jam
belajar bidang studi Matematika Kurikulum SMP 1984 berbeda dari
Kuurikulum SMP 1975 yang memiliki beban belajar sama di setiap
semester, yakni masing-masing 5 jam.
Dalam pemikiran kurikulum, beban belajar adalah sesuatu yang harus
dipertimbangkan secara serius. Peserta didik yang terlalu lelah tidak
mungkin menghasilkan kualitas belajar yang baik. Banyak studi yang
menunjukkan bahwa kelelahan merupakan faktor mediasi (mediating
variable) yang berpengaruh terhadap unjuk kerja seseorang. Meskipun
demikian, pemikiran bahwa beban belajar yang berbeda antara kelas I, II, III
cukup mengundang permasalahan jika pengurangan beban belajar dilakukan
hanya untuk mempersiapkan peserta didik untuk Evaluasi Belajar Tahap
Akhir Nasional (EBTANAS). Oleh karena peserta didik yang akan
menempuh ujian pada jamaknya harus memiliki jam belajar yang lebih
banyak dan intensif dibandingkan sebelumnya.
Pikiran baru yang dikembangkan dalam Kurikulum SMP 1984 adalah
materi muatan lokal. Muatan lokal dalam Kurikulum SMP 1984
dimaksudkan memberi kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan
pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan masyarakat setempat.
Adanya materi muatan lokal didasarkan pada pemikiran bahwa kurikulum
harus relevan dengan masyarakat yang dilayani kurikulum. Pengembangan
materi nasional kurikulum untuk memenuhi kepentingan bangsa secara
keseluruhan, berlaku untuk seluruh lapisan masyarakat dan komunitas yang
berdiam di mana pun di Indonesia bahkan di luar negeri. Sedangkan
kebutuhan masyarakat setempat yang dilayani kurikulum harus diberi
alokasi dan program dalam bentuk kurikulum muatan lokal.
Dalam kebijakan kurikulum mengenai materi muatan lokal ditentukan
bahwa keputusan mengenai mata pelajaran muatan lokal ditetapkan oleh
Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi.
Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mendapatkan
masukan dari Kantor Departemen Kabupaten dan Kotamadya23.
Berdasarkan pertimbangan kepentingan daerah kabupaten dan kotamadya
maka Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
menetapkan mata pelajaran untuk materi muatan lokal. Pada umumnya
penetapan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk
materi muatan lokal adalah bahasa daerah dan kesenian. Selain itu, mata
pelajaran materi muatan lokal lainnya berkenaan dengan kemampuan
23
Pada masa itu sistem pemerintahan bersifat sentralistis. Di setiap propinsi ada perwakilan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang dinamakan Kantor Wilayah untuk tingkat
propinsi dan Kantor Departemen untuk tingkat Kabupaten dan Kotamadya. Kotamadya
adalah istilah yang digunakan pada masa itu dan sekarang berubah menjadi Kota.
- 107 -
vokasional yang berkenaan dengan pekerjaan yang banyak di masyarakat
seperti pertanian, peternakan, perikanan, dan jasa.
Kebijakan mengenai materi muatan lokal yang diperkenalkan Kurikulum
SMP 1984 sebenarnya dapat memberikan orientasi baru kurikulum. Dengan
adanya materi muatan lokal, terlebih materi yang berkenaan dengan
keterampilan vokasional, Kurikulum SMP 1984 memberikan kemungkinan
kepada tamatan SMP untuk memasuki dunia kerja dengan bekal
kemampuan vokasional yang cukup sehingga dunia kerja mendapatkan
tenaga kerja yang siap melaksanakan pekerjaannya. Adanya ketetapan
mengenai bahasa dan kesenian daerah sebagai mata pelajaran dalam muatan
lokal memberikan dasar pendidikan yang kuat karena peserta didik tidak
tercabut dari akar budaya masyarakat darimana mereka berasal.
Konsekuensi dari materi muatan lokal ini tentu saja sekolah harus
melakukan kajian kebutuhan (need analysis) masyarakat. Kajian tersebut
untuk melihat ketersediaan vokasi yang memerlukan tenaga kerja dan
kemampuan yang diperlukan oleh vokasi tersebut. Kajian kebutuhan ini
penting agar kurikulum tidak menyediakan tenaga kerja di bidang vokasi
yang sudah jenuh atau dengan keterampilan yang tidak sesuai dengan
tuntutan vokasi. Untuk mampu melakukan kajian kebutuhan (need analysis)
maka bagian kurikulum di setiap sekolah atau yang bertanggung jawab
dalam mengembangkan materi muatan lokal harus terlatih untuk melalukan
kajian kebutuhan.
Konsekuensi lain dari kebijakan tentang muatan lokal terutama berkenaan
dengan mata pelajaran yang sifatnya mengembangkan keterampilan
vokasional tertentu, sekolah memerlukan fasilitas belajar yang cukup dan
dari jenis yang digunakan di masyarakat. Artinya, sekolah memerlukan dana
khusus untuk pengadaan fasilitas belajar bagi vokasional tertentu karena
sebelumnya SMP tidak dilengkapi dengan fasilitas demikian. Ketersediaan
fasilitas belajar untuk materi muatan lokal yang berorientasi vokasional
merupakan masalah besar bagi pemerintah. Dana yang tersedia untuk itu
dapat dikatakan terbatas sedangkan kebijakan materi muatan lokal dalam
Kurikulum SMP 1984 bersifat nasional.
E. Kurikulum SLTP24 1994
Pada tahun 1994 Pemerintah memberlakukan kurikulum baru
menggantikan Kurikulum SMP 1984. Sesuai dengan tradisi penamaan
24
Berdasarkan ketetapan dalam Undang-undang Republik Indonesia nomor 2 Tahun 1989
Tentang Sistem Pendidikan Nasional, penjelasan Pasal 13 Ayat (1) disebutkan “Pendidikan
dasar merupakan pendidikan yang lamanya 9 (sembilan) tahun yang diselenggarakan selama
6 (enam) tahun di Sekolah Dasar (SD) dan 3 (tiga) tahun di Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama (SLTP) atau satuan pendidikan yang sederajat”. Istilah SLTP tidk digunakan dalam
pasal-pasal yang terdapat pada Ketetapan.
- 108 -
kurikulum di Indonesia, kurikulum baru yang diberlakukan mulai tahun
1994 dinamakan Kurikulum SMP 1994. Pemberlakuan kurikulum baru ini
disebabkan paling tidak oleh tuntutan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menggantikan Undang-
Undang Nomor 12 tahun 1954, TAP MPR Nomor II/MPR/1988 dan TAP
MPR Nomor II/MPR/1993.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989, adalah undang-undang kedua
mengenai pendidikan yang dihasilkan bangsa Indonesia, memperkenalkan
jenjang pendidikan dasar yang terdiri atas pendidikan Sekolah Dasar (6
tahun) dan pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (3 tahun).
Pengertian Pendidikan Dasar 9 tahun sebagaimana yang ditetapkan dalam
Undang-Undang Nomor 2 tersebut digunakan hingga sekarang.
Konsekuensi dari pengertian pendidikan dasar yang ditetapkan Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1989 maka pemikiran kurikulum untuk Pendidikan
Dasar berubah, meliputi kurikulum SD dan kurikulum SLTP.
- 109 -
Poin (g) jelas menunjukkan apa yang harus ada dalam kurikulum, yaitu
Pendidikan Pancasila. Dalam Pendidikan Pancasila terdapat materi P4,
PMP dan pendidikan sejarah perjuangan bangsa.
Lima tahun kemudian ketika MPR bersidang pada tahun 1993 maka TAP
MPR Nomor II/MPR/1993 tentang GBHN telah merumuskan tujuan
pendidikan nasional yang berbeda dengan apa yang telah ditetapkan dalam
TAP Nomor II/MPR/1988. Pendidikan dirumuskan untuk:
mewujudkan manusia yang beriman dan takwa terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, tangguh, sehat, cerdas,
patriotik, berdisiplin, kreatif, produktif dan profesional;makin
mantapnya budaya bangsa yang tercermin dalam meningkatnya
peradaban, harkat dan martabat manusia Indonesia, dan memperkuat
jati diri dan kepribadian bangsa.
Ada perbedaan yang cukup konseptual dan bukan hanya sekadar redaksional
antara tujuan yang dirumuskan dalam TAP MPR Nomor II/MPR/1988
dan TAP MPR Nomor II/MPR/1993. Di antara perbedaan kualitas antara
keduanya adalah semangat kebangsaan dan rasa kesetiakawanan sosial, kerja
keras, bertanggung jawab, mandiri, serta bertanggung jawab tidak lagi
menjadi tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan dalam TAP MPR
Nomor II/MPR/1993. Perbedaan kualitas yang diinginkan sebagai tujuan
pendidikan nasional antara kedua TAP tersebut mencerminkan adanya
perubahan suasana politik yang cukup mendasar. Pembangunan ekoonomi
menjadi semakin kuat walaupun fokus pada pembangunan pada bidang
lainnya tetap menjadi perhatian, dan pendidikan adalah salah satu fokus
penting Pemerintah dalam pembangunan.
Dalam kedua TAP MPR yang disebutkan terkait dengan pendidikan, TAP
MPR Nomor II/MPR/1988 dan TAP MPR Nomor II/MPR/1993 di atas,
nama pendidikan sejarah perjuangan bangsa masih disebutkan. Dalam TAP
MPR Nomor II/MPR/1988 sebagaimana dikutip di atas telah secara jelas
menunjukkan bahwa pendidikan sejarah perjuangan bangsa adalah bagian
dari Pendidikan Pancasila.
Dalam TAP MPR nomor II/MPR/1993 pendidikan sejarah perjuangan
bangsa juga dinyatakan yaitu titik e pada bagian Pendidikan, dinyatakan
sebagai berikut:
Penyelenggaraan pendidikan nasional harus mampu meningkatkan,
memperluas, dan memantapkan usaha penghayatan dan pengamalan
Pancasila serta membudayakan nilai-nilai Pancasila agar diamalkan dalam
kehidupan sehari-hari di segenap lapisan masyarakat. Oleh karena itu,
pendidikan Pancasila termasuk pendidikan Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (P4), pendidikan moral Pancasila, pendidikan
kewarganegaraan, pendidikan sejarah perjuangan bangsa serta unsur
unsur yang dapat meneruskan dan mengembangkan jiwa, semangat, dan
- 110 -
nilai kejuangan, khususnya nilai 1945, dilanjutkan dan ditingkatkan di
semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan termasuk prasekolah.
Ketetapan tersebut tidak menyatakan bahwa Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (P4), pendidikan moral Pancasila, pendidikan
kewarga negaraan, dan pendidikan sejarah perjuangan bangsa sebagai
bidang studi atau pun mata pelajaran. Pada masa Prof. Dr. Nugroho
Notosusanto yang menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan maka
pendidikan sejarah perjuangan bangsa menjadi bidang studi dan kemudian
dicantumkan dalam Kurikulum SMP 1984. Setelah beliau wafat dan
digantikan Prof. Dr. Fuad Hassan, kebijakan tentang Pendidikan Pancasila
berbeda dari kebijakan sebelumnya. Pendidikan Pancasila tercantum dalam
mata pelajaran di Kurikulum SMP 1994 sebagai mata pelajaran Pendidikan
Pancasila dan Kewarga negaraan. Unsur pendidikan moral Pancasila
dimasukkan ke dalam mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, tetapi unsur pendidikan sejarah perjuangan bangsa tidak
menjadi bagian dari mata pelajaran tersebut dan tidak pula menjadi mata
pelajaran yang berdiri sendiri walaupun TAP MPR tentang Pendidikan
Pancasila tidak berubah. Memang materi Pendidikan Pancasila tidak perlu
selalu menjadi nama mata pelajaran tetapi kebijakan yang tercantum dalam
TAP MPR adalah suatu keharusan politik untuk memuat unsur-unsur
Pendidikan Pancasila sebagai materi suatu mata pelajaran (Pendidikan
Pancasila). Dengan hilangnya unsur pendidikan sejarah perjuangan bangsa
dan unssur lain dari mata pelajaran, Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan terjadi diskontinuitas antara TAP MPR dengan
kebijakan kurikulum.
Pada tahun 1989 ketika pemerintah memberlakukan Undang-Undang
Nomor 2 tentang Sistem Pendidikan Nasional maka tujuan pendidikan
nasional mempunyai arah baru. Pendidikan dipandang sebagai suatu upaya
yang memiliki tujuan ”mencerdaskan kehidupan bangsa dan
mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur,
memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani,
kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan”25 (UU Nomor 2 Tahun 1989). Dari
rumusan ini jelas bahwa pendidikan tidak hanya memiliki tujuan untuk
mengembangkan kualitas peserta didik semata sebagaimana yang
dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 atau Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 1954 atau TAP MPRS XXVI/MPRS/1966.
Dokumen itu jelas menunjukkan bahwa tujuan pendidikan berkonsentrasi
pada pengembangan potensi peserta didik, sedangkan dalam UU Nomor 2
25
Rumusan tujuan pendidikan nasional yang ada dalam UU nomor 2 tahun 2003 berbeda
dari rumusan tujuan dalam TAP MPR nomor II/MPR/1988 .
- 111 -
tahun 1989 pendidikan memiliki dua tujuan, yaitu berkenaan dengan
kehidupan bangsa dan manusia. Entah bagaimana caranya pendidikan dapat
mencerdaskan kehidupan bangsa tanpa mengembangkan kehidupan
manusia yang cerdas. Pada dasarnya, hanya kehidupan manusia yang cerdas
yang dapat membawa pada kehidupan bangsa yang cerdas.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tidak menganut paham bahwa
kecerdasan kehidupan bangsa hanya dapat dikembangkan melalui kehidupan
manusianya. Oleh karena itu, pada tujuan pendidikan kedua yang berkenaan
dengan manusia tidak dirangkumkan sebagai kualitas kehidupan bangsa
yang diinginkan. Manusia Indonesia seutuhnya adalah yang menyangkut
kualitas keimanan dan ketakwaan, budi pekerti, berpengetahuan dan
berkterampilan, sehat jasmani dan rohani, berkepribadian yang mantap dan
mandiri tidak harus menjadikan kualitas kehidupan bangsa berkembang.
Tampaknya, rumusan itu menganut paham bahwa kualitas kehidupan
bangsa yang cerdas menjadi sesuatu yang terpisah dari kualitas manusia
yang ingin dihasilkan oleh proses pendidikan.
Pada kenyataannya, tujuan pendidikan yang dirumuskan dalam UU Nomor
2 Tahun 1989 ini tidak pernah pula diketahui pencapaiannya. Evaluasi
terhadap pencapaian hasil pendidikan lebih diarahkan pada ketentuan
mengenai kelulusan peserta didik dari suatu unit atau lembaga pendidikan
tertentu. Kualitas yang harus dikuasai peserta didik tidak pula didasarkan
pada tujuan pendidikan nasional sehingga alat evaluasi nya pun tidak
dikembangkan untuk mengumpulkan informasi mengenai pencapaian tujuan
pendidikan. Soal-soal yang dikembangkan untuk Evaluasi Belajar Tahap
Akhir (EBTA), Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS), Ujian
Akhir Nasional (UAN) atau pun Ujian Nasional (UN) adalah untuk
menentukan kelulusan seorang siswa, bukan untuk mengukur pencapaian
tujuan pendidikan nasioanal. Oleh karena itu, sifat tujuan pendidikan yang
mendua itu pun seolah-olah tidak menimbulkan masalah kependidikan.
Dalam ketetapan pada Pasal 39, Ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1989 tentang Isi Kurikulum, dicantumkan materi pendidikan
Pancasila dan pendidikan Kewarga negaraan sebagai materi wajib dan bahan
kajian wajib. Materi Pendidikan Moral Pancasila dan pendidikan sejarah
perjuangan bangsa serta unsur-unsur lain yang terantum dalam TAP MPR
Nomor II/MPR/1988 tidak tercantum dalam undang-undang tersebut.
Dalam Penjelasan Pasal 39, Ayat (2) dan (3) tidak tercantum unsur
pendidikan Moral Pancasila, pendidikan sejarah perjuangan bangsa dan
unsur-unsur lainnya sebagai materi Pendidikan Pancasila atau pun
pendidikan Kewarga negaraan. Dengan demikian, terjadi disharmoniasasi
ketetapan antara TAP MPR, UU Sisdiknas, dan kebijakan kurikulum.
Kebijakan kurikulum hanya memperdulikan ketentuan dari UU Sisdiknas
tapi tidak TAP MPR
- 112 -
Foto 3: Nama Sekolah ini Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), menggantikan SMP.
Nama SLTP adalah nama yang digunakan dalam UU Nomor 2 Tahun 1989.
Sumber: Website SMPN 8 Yogyakarta
- 113 -
Kesederhanaan struktur Kurikulum SMP 1994 terlihat pada penempatan
semua mata pelajaran dalam satu kelompok dan dengan demikian mata
pelajaran yang satu sama dengan mata pelajaran lain dalam fungsinya. Mata
pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarga negaraan bersama-sama
dengan mata pelajaran Pendidikan Agama yang dalam kurikulum
sebelumnya dimasukkan dalam kelompok dasar atau pembinaan jiwa
Pancasila. Kurikulum SMP 1994 tidak mengenal kelompok dan dengan
demikian tidak memisahkan posisi kedua mata pelajaran tersebut dari mata
pelajaran lainnya. Biasanya dalam struktur kurikulum mata pelajaran
dikelompokkan berdasarkan perbedaan dalam fungsi dan tujuan yang
hendak dicapai oleh sejumlah mata pelajaran.
Kesederhanaan struktur Kurikulum SMP 1994 ditunjukkan pula adanya
penggabungan mata pelajaran/bidang studi PMP dan PSPB menjadi
Pendidikan Pancasila dan Kewarga negaraan. Penggabungan juga dilakukan
antara biologi dan fisika yang dijadikan mata pelajaran Ilmu Pengetahuan
Alam dengan alokasi waktu menjadi satu, yaitu 6 jam belajar.
Penggabungan dalam Kurikulum SMP 1994 dilakukan juga terhadap mata
pelajaran kesenian dan mata pelajaran keterampilan menjadi mata pelajaran
Kesenian dan Kerajinan Tangan.
Kurikulum SMP 1994 tetap menggunakan filosofi perenialisme yang masih
dalam kelompok pendidikan disiplin ilmu tetapi memperoleh organisasi
“broadfield” yaitu mata pelajaran IPS dan IPA. Artinya, secara filosofis tidak
ada perubahan antara Kurikulum SMP 1994 dan Kurikulum SMP 1984
walaupun haru diakui bahwa Kurikulum SMP 1994 menerapkan filosofi
perenialisme lebih utuh dibandingkan Kurikulum SMP 1984. Dalam
Kurikulum SMP 1994 mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam tidak dipecah
menjadi Biologi dan Fisika seperti yangg dilakukan pada Kurikulum SMP
1984.
Terlepas dari kesederhanaan yang ditunjuk dalam struktur, Kurikulum SMP
1994 memberikan beban belajar yang lebih banyak kepada peserta didik.
Dengan jumlah mata pelajaran sebanyak 10, lebih sedikit dibandingkan
Kurikulum SMP 1984 (yang terbanyak dalam bidang studi) dan Kurikulum
SMP 1975, jam belajar peserta didik dalam Kurikulum SMP 1994 lebih
banyak yaitu 42 jam setiap semester dibandingkan Kurikulum SMP 1975
yang 37 jam setiap semester dan Kurikulum SMP 1984 yang dimulai
dengan 38 jam di kelas I kemudian menurun ke 37 jam di kelas II dan
menurun lagi menjadi 36 jam di kelas III.
Perubahan yang ditunjukkan oleh Kurikulum SMP 1994 adalah pendekatan
mata pelajaran, bukan bidang studi. Dengan pendekatan mata pelajaran
maka pendekatan bidang studi hanya digunakan oleh Kurikulum SMP 1975
dan Kurikulum SMP 1984. Pendekatan mata pelajaran untuk organisasi
konten kurikulum memang lebih umum dan melalui Kurikulum SMP 1994
- 114 -
pendekatan mata pelajaran yang digunakan kurikulum SMP sebelum
Kurikulum 1975 dihidupkan kembali oleh Kurikulum 1994. Mata pelajaran
lebih sederhana dan tidak mengundang tafsiran yang berbeda antara
pengembang dan pelaksana kurikulum. Pemaknaan yang sama dalam istilah
kurikulum antara pengembang dan pelaksana kurikulum sangat penting
untuk keberhasilan implementasi kurikulum. Guru sebagai pelaksana tahu
secara tepat apa yang dimaksudkan pengembang kurikulum sehingga ketika
guru mengembangkan dokumen kurikulum menjadi kurikulum sebagai
suatu realita atau “observed curriculum” maka ide pengembang kurikulum
dapat dilaksanakan dengan tepat pula.
Kurikulum SMP 1994 tidak menganut paham penawaran selang semester
(alternate semester), perbedaan beban belajar semester atau kelas sebagaimana
yang digunakan pada Kurikulum SMP 1984. Kurikulum SMP 1994, sebagai
kurikulum sebelum 1984, mengembangkan sistem penawaran setiap
semester dan beban belajar setiap semester untuk setiap mata pelajaran.
Konstruksi struktur kurikulum yang demikian memang memberikan
kemudahan kepada sekolah dalam merencanakan implementasi terutama
dalam mengatur jam pelajaran. Kesamaan beban belajar setiap semester
menyebabkan guru lebih mudah memberikan pertimbangan mengenai
kedalaman materi yang akan dipelajari peserta didik setiap semester.
Kurikulum 1994 memiliki beban belajar/jam belajar yang lebih besar, yaitu
42 jam tanpa menghitung mata pelajaran Bahasa Daerah, yaitu 42 jam
persemester. Beban belajar ini lebih tinggi dari Kurikulum SMP 1984 yang
memiliki jam belajar tertinggi 38 jam dan kemudian menurun pada tahun
berikutnya. Jumlah jam 42 untuk Kurikulum SMP 1994 sama untuk seluruh
kelas dan tidak ada pengurangan jam belajar untuk mata pelajaran tertentu
sebagaimana yang ada pada Kurikulum SMP 1984. Baik mata pelajaran
Matematika maupun IPS memiliki jam pelajaran yang sama pada setiap
tahun untuk masing-masing mata pelajaran.
Kurikulum SMP 1994 memandang mata pelajaran Bahasa Indonesia,
Matematika, IPA dan IPS dalam kedudukan yang sama dan mendapatkan
alokasi jam belajar yang sama yakni masing-masing 6 jam. Sedangkan untuk
kesenian dan keterampilan tangan digabungkan dalam satu mata pelajaran
dengan nama mata pelajaran Kesenian dan Kerajinan Tangan. Alokasi jam
untuk mata pelajaran ini sangat rendah dibandingkan alokasi dalam
Kurikulum SMP 1975 dan Kurikulum SMP 1984. Tampaknya pikiran (ide)
kurikulum para pengembang Kurikulum SMP 1994 tidak memandang
pendidikan Kesenian dan Kerajinan Tangan sama pentingnya dibandingkan
pikiran (ide) para pengembang Kurikulum SMP 1975 dan Kurikulum SMP
1984.
Mata pelajaran muatan lokal yang diperkenalkan sejak Kurikulum SMP
1984 masih tetap dipertahankan dalam Kurikulum SMP 1994. Pendekatan
- 115 -
mata pelajaran untuk materi muatan lokal pun masih digunakan. Kebijakan
bahwa keputusan tentang mata pelajaran muatan lokal oleh Kepala Kantor
Wilayah (Kakanwil) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan masih tetap
dipertahankan. Sebagaimana yang terjadi pada Kurikulum SMP 1984,
penetapan materi muatan lokal sebagai mata pelajaran wajib yang terjadi
hampir di setiap daerah tidak berbeda, yakni bahasa daerah dan kesenian
daerah. Posisi mata pelajaran bahasa daerah dan kesenian daerah sebagai
mata pelajaran wajib dalam keadaan seperti ini masih dipertahankan pada
saat pemerintah memberikan wewenang yang lebih besar kepada sekolah
untuk mengembangkan kurikulum sekolah masing-masing dan dikenal
dengan istilah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
- 116 -
BAB VIII
KURIKULUM SMP PADA MASA
REFORMASI (OTONOMI DAERAH)
- 117 -
Reformasi Pendidikan ini kemudian dijadikan dasar dalam pengembangan
undang-undang baru tentang sistempendidikan nasional.
Pada tahun 2003 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas tahun 2003) disyahkan. Undang-
undang Sisdiknas tersebut membawa perubahan tujuan pendidikan dan
konsep pendidikan. Perubahan tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan
undang-undang Sisdiknas tahun 2003 dapat dikatakan merupakan koreksi
terhadap tujuan pendidikan sebelumnya. Pemikiran baru tentang
pendidikan, posisi peserta didik dalam pendidikan dan proses pembelajaran
menyebabkan pengertian pendidikan dirumuskan sesuai dengan
perkembangan baru tersebut. Perubahan sistem pemerintahan dari
sentralistis ke otonomi membawa pemikiran baru mengenai wewenang
pengembangan kurikulum. Dengan diberlakukannya Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional maka fungsi
pendidikan dirumuskan untuk ”mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa”. Sedangkan tujuan pendidikan
dirumuskan untuk ”berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Koreksi ini sangat fundamental karena menyangkut hakiki kegiatan
pendidikan. Dalam pikiran baru pendidikan, kegiatan pendidikan berfungsi
untuk mengembangkan potensi peserta didik, baik pengetahuan,
keterampilan intelektual, nilai dan sikap dan pisik. Dalam mengembangkan
potensi tersebut proses pendidikan memiliki kemampuan mengarahkannya
kepada suatu kualitas tertentu seperti keimanan, ketaqwaan, kemuliaan
akhlak, kesehatan pisik, dan sebagainya. Oleh karena itu, perkembangan
tujuan pendidikan di Indonesia mencapai titik yang dapat
dipertanggungjawabkan secara akademik, pedagogik, dan politik26 .
B. KURIKULUM 2004
Pada awal tahun 2000 Pemerintah mulai merintis pengembangan kurikulum
baru berdasarkan model Kurikulum Berbasis Kompetensi. Beberapa sarjana
kurikulum yang memiliki kemampuan tinggi dalam bidang studi kurikulum
dan di antaranya baru kembali dari pendidikan di luar negeri dengan gelar
26
Pertanggungjawaban politik (political viability and accountability) dibuktikan oleh semua
rumusan tujuan yang telah dibicarakan sejak 1950 yaitu dengan pencantuman tujuan tersebut
dalam suatu ketetapan resmi seperti undang-undang. Meskipun demikian sesuatu yang dapat
dipertanggungjawabkan secara politk bukanlah jaminan dapat dipertanggungjawabkan secara
akademik atau pun pedagogik.
- 118 -
tertinggi (S3) di bidang kurikulum. Mereka belajar tentang kurikulum
berbasis kompetensi dan landasan pemikiran kurikulum berbasis kompetensi
untuk SD, SLTP, SLTA dan SMK. Kurikulum berbasis kompetensi
direncanakan guna menggantikan kurikulum sebelumnya, yaitu Kurikulum
SMP 1994 walaupun rencana tersebut tidak dapat direalisasikan karena
adanya perubahan kebijakan mengenai wewenang penyelenggaraan
pendidikan yang diberikan kepada pemerintah daerah, sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah yang menyempurnakan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintah Daerah. Meskipun demikian, Kurikulum Berbasis
Kompetensi perlu dikemukakan sebagai suatu peristiwa dalam sejarah
pengembangan kurikulum di Indonesia.
Sebenarnya, pemikiran kurikulum berbasis kompetensi bukan sesuatu yang
baru di Indonesia. Di jenjang pendidikan tinggi pemikiran kurikulum
berbasis kompetensi telah dikembangkan untuk program pendidikan guru
pada tahun 70-an. Sebelumnya, kurikulum di lembaga pendidikan perhotelan
telah menerapkan kurikulum berbasis kompetensi untuk berbagai program
studi yang dimilikinya. Di program pendidikan profesi seperti kedokteran,
apoteker, psikolog, insinyur, dan sebagainya kurikulum berbasis kompetensi
telah pula digunakan. Di jenjang pendidikan menengah, kurikulum berbasis
kompetensi telah diterapkan untuk sekolah menengah kejuruan. Pada tahun
2002 melalui Surat Keputusan Mendiknas Nomor 045/U/2002 tentang
Kurikulum Inti Perguruan Tinggi mengemukakan pengertian kompetensi.
Dalam SK tersebut dikemukakan "Kompetensi adalah seperangkat tindakan
cerdas, penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk
dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di
bidang pekerjaan tertentu". Sementara pada sekolah umum, seperti SD,
SLTP, dan SLTA penerapan kurikulum berbasis kompetensi masih
merupakan hal baru.
Dalam kurikulum yang dikenal dengan nama Kurikulum 2004, kompetensi
diartikan sebagai “pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang
diwujudkan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kompetensi dapat
dikenali melalui sejumlah hasil belajar dan indikatornya yang dapat diukur
dan diamati. Kompetensi dapat dicapai melalui pengalaman belajar yang
dikaitkan dengan bahan kajian dan bahan pelajaran secara kontekstual”.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa “kompetensi dikembangkan secara
berkesinambungan sejak Taman Kanak-kanak dan Raudhatul Athfal, Kelas I
sampai dengan Kelas XII yang menggambarkan suatu rangkaian
kemampuan yang bertahap, berkelanjutan, dan konsisten seiring dengan
perkembangan psikologis peserta didik” (Dokumen power point, Depdiknas,
hal 4). Walaupun tidak dinyatakan secara eksplisit, pengertian keterampilan
- 119 -
mencakup keterampilan intelektual, emosional, kinestetik, sosial,
intrapersonal, komunikasi, dan sebagainya.
Kurikulum Berbasis Kompetensi mulai dikembangkan pada tahun 2000,
tahun terakhir abad ke 20. Pada tahun pertama abad berikutnya, yaitu
tahun 2001, tim pengembang sudah berhasil merumuskan draft pertama
sampai kepada buku acuan untuk guru, orang tua dan pembina yang terdiri
atas buku untuk setiap mata pelajaran. Pada tahun akademik 2001/2002
dilakukan “mini piloting” di beberapa sekolah di Sidoarjo, Bandung, Serang,
DI Yogyakarta, dan DKI Jakarta. Sekolah yang ikut serta dalam “mini
piloting” harus memenuhi kriteria-kriteria antara lain, yakni.
1. Memiliki sumber daya manusia yang lengkap.
2. Memiliki sarana pendidikan yang lengkap.
3. Memiliki dana yang cukup.
4. Memiliki nara sumber dari luar sekolah.
Dalam “piloting” tersebut menggunakan sekolah yang termasuk kategori
ideal. Melalui “piloting” dengan kriteria sekolah yang demikian dapat diamati
kemampuan kurikulum bekerja secara maksimal sehingga berbagai masalah
dapat segera diidentifikasi sebagai masalah yang sudah “exhausted”.
Sayangnya, pendekatan yang demikian hanya dapat menggambarkan
kurikulum bekerja dalam kondisi yang seharusnya, sedangkan sisi lain masih
banyak sekolah yang tidak memiliki kondisi yang sama dengan kondisi
sekolah “mini piloting”. Hal yang demikian sering dilakukan dalam sejarah
pengembangan kurikulum di Indonesia, sehingga pada waktu terjadi
desiminasi secara nasional maka kegagalan implementasi kurikulum secara
nasional sudah dapat diprediksi, sejalan dengan banyaknya sekolah yang
memiliki persyaratan di bawah kriteria sekolah “piloting”. Keadaan yang
demikian sangat disayangkan karena akibatnya, kurikulum yang telah
dikembangkan dengan baik tidak terlaksana dengan baik sehingga tidak
mampu menghasilkan tamatan sesuai dengan kualitas yang direncanakan
dalam dokumen kurikulum.
Dilihat dari prosedur dalam mengkonstruksi kurikulum (curriculum
construction) untuk menghasilkan suatu dokumen kurikulum yang baik,
prosedur yang dilakukan dalam mengembangkan dokumen kurikulum sudah
memenuhi standar prosedur. Dengan pemenuhan standar prosedur tersebut
tidak pula diragukan bahwa dokumen kurikulum yang dihasilkan adalah
dokumen kurikulum yang baik dan berkualitas. Sayangnya keberhasilan
konstruksi kurikulum (curriculum construction) baru sebagian keberhasilan
pengembangan kurikulum (curriculum development) karena masih ada satu
dimensi kurikulum yang sama pentingnya dengan konstruksi kurikulum,
yaitu implementasi kurikulum. Sayangnya lagi, suatu dokumen kurikulum
baru dapat memberikan hasil dengan kualitas tamatan sebagaimana yang
- 120 -
direncanakannya hanya apabila dokumen kurikulum berhasil dilaksanakan
dengan baik dalam bentuk proses atau implementasi kurikulum atau “taught
curricculum”. Dokumen Kurikulum 2004 tidak pernah menjadi “implemented
curriculum” atau “taught curriculum” karena kebijakan pendidikan yang
memberikan wewenang pegembangan kurikulum tingkat sekolah kepada
pemerintah daerah.
- 121 -
Dalam proses pengembangan dokumen kurikulum (curriculum construction)
tingkat nasional maka dikembangkan buku untuk setiap mata pelajaran.
Buku tersebut diberi judul Kurikulum Berbasis Kompetensi dan diikuti
dengan nama mata pelajaran untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama.
Dalam setiap buku, terdapat nama-nama tim pengembang, rasional,
pengertian mata pelajaran, fungsi dan tujuan, materi pokok, pendekatan dan
organisasi penyajian, kompetensi umum, dan rambu yang menjadi bagian
dari bab I Pendahuluan buku. Dalam Bab 2 terdapat Kompetensi Dasar,
Materi Pokok, dan Indikator Pencapaian Hasil belajar untuk setiap kelas
dan catur wulan. Pencantuman nama tim pengembang tampaknya
merupakan suatu kebijakan baru untuk memberikan tanggung jawab yang
lebih besar kepada tim pengembang.
Dalam rasional buku Kurikulum Berbasis Kompetensi disebutkan bahwa
pengembangan kurikulum dilakukan pada dua jenjang, yaitu Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah. Adanya kewenangan yang diberikan kepada
pemerintah daerah dikarenakan adanya TAP MPR No. IV/MPR/1999 dan
UU Nomor 22/1999 tentang otonomi pemerintahan. Berdasarkan TAP dan
UU maka Buku Kurikulum Berbasis Kompetensi merupakan realisasi dari
wewenang pemerintah pusat dalam “menentukan kompetensi umum secara
nasional yang berlaku di seluruh daerah” (Buku Kurikulum Berbasis
Kompetensi, 2001). Berdasarkan kompetensi umum nasional yang telah
ditetapkan Pemerintah maka pemerintah daerah berkewajiban
mengembangkan kurikulum sesuai dengan potensi dan karakteristik daerah
masing-masing. Berdasarkan rambu-rambu yang ada, daerah pada dasarnya
diberi wewenang mengembangkan silabus yang akan digunakan guru dalam
mengelola proses pembelajaran.
Dalam bagian kedua, buku Kurikulum Berbasis Kompetensi memuat
kompetensi dasar, materi pokok, dan indikator pencapaian hasil belajar.
Dalam satu tahun/kelas terdapat beberapa kompetensi dasar yang harus
dikuasai peserta didik kelas tersebut. Istilah kelas tidak secara konsisten
digunakan dalam dokumen Kurikulum SLTP Berbasis Kompetensi. Kajian
antara buku-buku Kurikulum Berbasis Kompetensi menunjukkan adanya
inkonsistensi dalam penamaan kelas: pada beberapa dokumen kurikulum
disebutkan kelas I, II, dan III tetapi di beberapa dokumen kurikulum lain
disebutkan kelas VII, VIII, dan IX. Tampaknya, ada kegalauan mengenai
konsep kelas yang disebabkan kegalauan dalam menempatkan posisi SLTP
yang dalam UU Nomor 2 Tahun 1989 adalah bagian dari pendidikan dasar
9 tahun. Jika SLTP merupakan bagian dari pendidikan dasar 9 tahun maka
adalah wajar apabila penamaan kelas di SLTP merupakan kelanjutan dari
kelas di SD, yaitu kelas VII, VIII dan IX. Dalam struktur persekolahan yang
dikemukakan dalam Materi Diskusi KBK berkenaan dengan kebijakan
umum penamaan kelas yaitu “ (1) Kelas 0 untuk pendidikan prasekolah, (2)
Kelas I sampai dengan Kelas VI untuk pendidikan dasar, dan (3) Kelas VII
- 122 -
sampai dengan Kelas XII untuk pendidikan menengah”. Walaupun bahan
diskusi tersebut belum bersifat final tampaknya para pengembang
kurikulum KBK tahun 2001 tidak sepenuhnya mengikuti apa yang
tercantum dalam materi tersebut.
2. Prinsip Pengembangan Kurikulum 2004
Dalam dokumen pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)
dikemukakan ada 12 prinsip yang digunakan dalam mengembangkan
Kurikulum Berbasis Kompetensi tahun 2001 dan prinsip yang sama tetap
digunakan dalam revisi terakhir kurikulum yang dilakukan pada akhir tahun
2003. Kedua belas prinsip tersebut adalah sebagai berikut.
a. Keseimbangan etika, logika, estetika, dan kinestika
Kurikulum merupakan input instrumental yang digunakan untuk
menyeimbangkan pengalaman belajar yang mengembangkan etika,
estetika, logika, dan kinestika.Pengembangan etika dilaksanakan
dalam rangka penanaman nilai-nilai sosial dan moral termasuk
menghargai dan mengangkat nilai-nilai pluralitas dan nilai-nilai
universal.Pengembangan estetika menempatkan pengalaman belajar
dalam konteks holistik dan total untuk memberikan ruang bagi
pengalaman estetik dengan melalui berbagai kegiatan yang dapat
mengekspresikan gagasan, rasa, dan karsa. Logika yang
dikembangkan termasuk berpikir kreatif dan inovatif dengan
keseimbangan yang nyata antara kognisi dan emosi
dapatmemberikan keterampilan kognitif sekaligus dengan
keterampilan interpersonal.
b. Kesamaan Memperoleh Kesempatan
Setiap orang berhak menerima pendidikan yang tepat sesuai dengan
kemampuan dan kecepatannya. Untuk itu perlu adanya jaminan
keberpihakan kepada peserta didik yang kurang beruntung dan segi
ekonomi dan sosial, yang memerlukan bantuan khusus, berbakat, dan
unggul. Hal tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan
upaya untuk menjamin persamaan memperoleh kesempatan
pendidikan.
c. Memperkuat Identitas Nasional
Kurikulum harus menanamkan dan mempertahankan kebanggaan
menjadi bangsa Indonesia melalui pemahaman terhadap
pentumbuhan peradaban bangsa Indonesia dan sumbangan bangsa
Indonesia terhadap peradaban dunia. Dengan demikian kunikulum
harus mempertahankan keberlanjutan tradisi budaya yang
bermanfaat dan mengembangkan kesadaran, semangat, dan kesatuan
nasional. Materi tentang pemeliharaan identitas nasionat
- 123 -
patriotisme, sikap nonsektarian, kemampuan untuk bertoleransi
terhadap perbedaan yang ditimbulkan oleh agama, ideologi,
wilayah,bahasa, dan jender perlu diperhatikan dalam kurikulum.
d. Menghadapi Abad Pengetahuan
Globalisasi dalam bidang informasi, komunikasi, dan teknologi
menyebabkan semakin meningkatnya fenomena perkembangan
ekonomi berbasis pengetahuan. Pasar bebas, kemampuan bersaing,
serta penguasaan pengetahuan dan teknologi menjadi makin penting
untuk kemajuan suatu bangsa. Sumber daya alam yang makin
terbatas tidak lagi dapat menjadi tumpuan modal karena sumber
kesejahteraan suatu bangsa telah bergeser dan modal fisik ke modal
intelektual, pengetahuan, sosial, dan kredibilitas. Pada abad
pengetahuan ini dipenlukan masyarakat yang berpengetahuan yang
diperoleh dengan cara belajar sepanjang hayat. Sifat pengetahuan
dan keterampilan yang harus dikuasai oleh masyarakat sangat
beragam dan berkualitas, sehingga diperlukan kunikulum yang
mendorong untuk meningkatkan 4/18 kemampuan metakognitif dan
kemampuan berpikir dan belajar dalam mengakses, memilih, menilai
pengetahuan, dan mengatasi situasi yang membingungkan dan
penuh ketidakpastian.
e. Menyongsong Tantangan Teknologi Informasi dan Komunikasi
Revolusi dalam teknologi informasi dan komunikasi merupakan
tantangan fundamental yang dapat mengubah masyarakat biasa ke
dalam masyarakat informasi dan masyarakat pengetahuan.
Teknologi informasi dan komunikasi berpotensi untuk menyediakan
kemudahan belajar elektronik atau belajar dengan kabel on-line yang
memperrnudah akses ke dalam informasi dan ilmu pengetahuan baru
yang tidak tertulis dalam kunikulum. Oleh karena itu diperlukan
kurikulum yang luwes dan adaptif terhadap berbagai pengetahuan
baru sesuai dengan keadaan zaman.
f. Mengembangkan Keterampilan Hidup
Pendidikan perlu menyiapkan peserta didik agar mampu
mengembangkan keterampilan hidup untuk menghadapi tantangan
hidup yang terjadi di masyarakatnya. Beberapa aspek utama
keterampilan hidup antara lain kerurnahtanggaan, pemecahan
masalah, berpikir kritis, komunikasi, kesadaran diri, menghindari
stres, membuat keputusan, berpikir kreatif, hubungan interpersonal
dan pemahaman tentang berbagai bentuk pekerjaan serta
kemampuan vokasional disertai sikap positif terhadap kerja. Oleh
karena itu, di dalam kunikulum perlu dimasukan ketenampilan hidup
agar peserta didik memiliki kemampuan bersikap dan berpenilaku
- 124 -
adaptif dalam menghadapi tantangan dan tuntutan kehidupan sehari-
hari secara efektif.
g. Mengintegrasikan Unsur-unsur Penting ke Dalam Kurikuler
Kurikulum perlu memuat dan mengintegrasikan pengetahuan dan
sikap tentang budi pekerti, hak asasi manusia, pariwisata, lingkungan
hidup dan kependudukan, kehutanan, home economics, pencegahan
konsumerisme, pencegahan HIV/AIDS, penangkalan
penyalahgunaan narkoba, perdamaian, demokrasi, dan peningkatan
konsensus pada nilai-nilai universal. Pengintegrasian unsur-unsur
tensebut perlu disesuaikan dengan sifat rnata pelajaran pokok yang
relevan dan perkembangan kernampuan peserta didik.
h. Pendidikan Alternatif
Pendidikan tidak hanya terjadi sccara formal di sekolah tetapi juga
harus terjadi di mana saja. Hal itu sangat penting terutama dalam
rangka mencapai universalisasi dan demokratisasi pendidikan.
Pendidikan alternatif meliputi antara lain pendidikan non-formal,
pendidikan terbuka, pendidikan jarak jauh, sistem lain yang lentur
yang diselenggarakan oleh pemenintah atau organisasi non-
pemerintah.
i. Berpusat Pada Anak Sebagai Pembangun Pengetahuan
Upaya untuk memandinikan peserta didik untuk belajar,
benkolaborasi, membantu teman, mengadakan pengamatan, dan
penilaian din untuk suatu refleksi akan mendonong rnereka untuk
membangun pengetahuannya sendiri. Dengan demikian pandangan
baru akan diperoleh melalui pengalaman langsung secana lebih
efektif. Dalam hal ini, peran utama guru adalah sebagai fasilitator
belajar.
j. Pendidikan Multikultur dan Multibahasa
Indonesia terdiri atas masyarakat dengan beragam budaya, bahasa,
dan agama. Implikasi dari hal tersebut yaitu bahwa dalam pendidikan
perlu menerapkan metodik yang produktif dan kontekstual untuk
mengakomodasikan sifat dan sikap masyarakat pluraristik dalam
kerangka pembentukan jati diri bangsa.
j. Penilaian Berkelanjutan dan Komprehensif
Kurikulum harus menanggapi kebutuhan belajar peserta didik untuk
mengetahui hasil belajarnya. Hassil belajar dipandang sebagai umpan
balik untuk perbaikan lebih lanjut terhadap segala kekurangan dan
kelebihan peserta didik selama belajar dalam kurun waktu tertentu.
Oleh karenanya penilaian berkelanjutan dan komprehensif menjadi
- 125 -
sangat penting dalam dunia pendidikan. Hasil dan suatu penilaian
umumnya tergantung pada identifikasi jenis dan alat penilaian yang
digunakan serta tujuan, kritenia penilaian. dan interpretasi hasil.
Relevansi, reliabilitas, dan validitas penilaian merupakan prosedur
yang menentukan kualitas umpan balik. Penilaian berkelanjutan
mengacu kepada penilaian yang dilaksanakan oleh guru itu sendiri
dengan proses penilaian yang dilakukan secara transparan. Penilaian
harus dilakukan secara komprehensif yang mencakup aspek
kompetensi akademik dan keterampilan hidup.
k. Pendidikan Sepanjang Hayat
Pendidikan harus berlanjut sepanjang hidup manusia dalam rangka
untuk mengembangkan, menambah kesadaran, dan selalu belajar
tentang dunia yang berubah dalam segala bidang. Dengan demikian,
kerusakan dan keusangan pengetahuan dapat dihindari. Dalam hal
ini, kurikulum harus menyediakan kompetensi dan materi yang
berguna bagi peserta didik bukan hanya untuk kepentingannya di
masa sekarang, tetapi juga kepentingannya di masa yang akan
datang dengan memberikan fondasi yang kuat untuk inkuiri dan
memecahkan masalah yang merupakan titik awal untuk menguasai
cara berpikir bagaimana berpikir dan belajar sepanjang hidupnya.
Harus diakui bahwa beberapa dari yang dikemukakan sebagai prinsip di atas
pada dasarnya bukanlah prinsip pengembangan kurikulum. Ada di
antaranya berupa tantangan yang harus dijawab oleh kurikulum seperti
bagaimana mengembangkan keterampilan hidup, menyongsong tantangan
teknologi informasi dan komunikasi, menghadapi abad pengetahuan,
pendidikan sepanjang hayat dan memperkuat identitas nasional. Beberapa
yang lain, memang merupakan prinsip yang harus digunakan dalam
mengembangkan kurikulum seperti penilaian berkelanjutan dan
komprehensif, pendidikan multikultur dan multi bahasa, berpusat pada anak
sebagai pembangun pengetahuan, keseimbangan etika, logika, estetika, dan
kinestika. Sedangkan yang dinamakan prinsip pendidikan alternatif bukan
prinsip pengembangan kurikulum, tetapi lebih mengarah kepada prinsip
pengembangan pendidikan. Mengintegrasikan unsur-unsur penting ke
dalam kurikuler bukan prinsip dan bukan pula tantangan, tetapi merupakan
pekerjaan yang harus diselesaikan oleh para pengembang kurikulum.
Pekerjaan yang tertinggal demikian digunakan juga dalam Kurikulum SMP
1975 sebagai prinsip walaupun pengembang kurikulum tidak seharusnya
memberikan pekerjaan yang mendasar dalam pengembangan materi dan
organisasi materi kurikulum kepada para guru.
- 126 -
3. Visi dan Misi SMP
Kurikulum Berbasis Kompetensi memperkenalkan adanya visi dan misi yang
harus dinyatakan dalam kurikulum. Pikiran ini dikembangkan terus sampai
pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Untuk SMP (istilah ini
digunakan walaupun berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2003 istilah yang
digunakan adalah SLTP) yang menjadi bagian dari pendidikan dasar maka
visi dan misinya adalah visi dan misi pendidikan dasar. Tentu saja visi dan
misi lembaga menjadi bagian penting dalam pengembangan kurikulum
karena kurikulum harus mendukung pencapaian visi dan misi tersebut.
Visi untuk pendidikan dasar dirumuskan sebagai berikut.
Penyelenggaraan pendidikan dasar adalah dalam rangka menghasilkan
lulusan yang mempunyai dasar-dasar karakter, kecakapan, keterampilan, dan
pengetahuan yang kuat dan memadai untuk mengembangkan potensi dirinya
secara optimal sehingga memiliki ketahanan dan keberhasilan dalam
pendidikan lanjutan atau dalam kehidupan yang selalu berubah sesuai dengan
perkembangan jaman.
Sedangkan misi pendidikan dasar dirumuskan sebagaimana tercantum di
bawah ini.
• Menanamkan dasar-dasar perilaku berbudi pekerti dan berakhlak mulia.
• Menumbuhkan dasar-dasar kemahiran membaca, menulis, dan berhitung.
• Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah dan kemampuan
berpikir logis, kritis, dan kreatif.
• Menumbuhkan sikap toleran, tanggung jawab, kemandirian dan
kecakapan emosional.
• Memberikan dasar-dasar keterampilan hidup, kewirausahaan, dan etos
kerja.
• Membentuk rasa cinta terhadap tanah air Indonesia.
Visi dan misi yang dikembangkan untuk pendidikan dasar sangat
fundamental sebagai kualifikasi minimal bangsa Indonesia. Seyogianya
warga negara Indonesia yang memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan
minimal 9 tahun memiliki kualitas yang menjadi visi dan misi pendidikan
dasar sehingga mereka dapat dan mampu berpartisipasi sebagai warga
negara yang produktif, bertanggung jawab, dan berkemampuan untuk
mengembangkan diri sepanjang hayatnya. Kurikulum sebelumnya tidak
mengembangkannya dalam bentuk visi dan misi, tetapi dalam rumusan yang
dinamakan tujuan yang memiliki kualitas serupa atau mirip dengan visi dan
misi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jadi, terdapat kontinuitas dalam
upaya kurikulum untuk mengembangkan kualitas manusia Indonesia
walaupun terdapat pula berbagai perubahan yang disebabkan oleh adanya
kehidupan di suatu periode waktu dan proyeksi kehidupan pada periode
waktu mendatang.
- 127 -
4. Struktur Kurikulum 2004
Naskah awal Kurikulum 2004 SMP yang dikembangkan pada tahun 2001
memiliki struktur kurikulum sebagai berikut:
Tabel 8.1. Struktur Kurikulum 2004 Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah
Alokasi Waktu
Jenis dan Jumlah
Kelas Kelas Kelas
Mata pelajaran Pokok
VII VIII IX
1.Agama 2 2 2
2.Kewarga negaraan dan Sejarah 3 3 3
3.Bahasa dan Sastra Indonesia 6 6 6
4.Matematika 6 6 6
5.Sains 6 6 6
6.Ilmu Sosial 3 3 3
7.Bahasa Inggris 4 4 4
8.Pendidikan Jasmani 2 2 2
9.Kesenian dan Kerajinan Tangan 2 2 2
Jumlah 34 34 34
Struktur Kurikulum Berbasis Kompetensi yang ditunjukkan dalam Tabel 8.1
sangat sederhana dan banyak mengurangi beban belajar. Jika pada
Kurikulum SMP 1994 beban belajar setiap semester dominasi pandangan
filosofis esensialisme pada para pengembang Kurikulum Berbasis
Kompetensi sangat kuat walaupun fenomena tersebut agak mengherankan
karena pada umumnya kurikulum berbasis kompetensi tidak mendasarkan
diri pada pendidikan disiplin ilmu. Sejarah pendidikan kompetensi yang
awalnya adalah mempersiapkan peserta didik untuk memiliki keterampilan
atau kemampuan yang diperlukan dunia kerja menyebabkan pengaruh
pandangan filosofi pendidikan disiplin ilmu tidak menonjol. Kenyataan yang
ditunjukkan dalam struktur Kurikulum Berbasis Kompetensi pada Tabel 8.1
di atas berbeda dari tradisi umum kurikulum berbasis kompetensi. Nama-
nama mata pelajaran seperti Sains dan Ilmu Sosial menggambarkan
pengaruh pendidikan disiplin ilmu yang sangat kuat. Tentu saja, dominasi
pendidikan disiplin ilmu agak kurang sesuai dengan tujuan dan misi
kelembagaan SMP dan Madrasah Tsanawiyah kecuali untuk misi yang
berkenaan dengan pengembangan kemampuan berpikir logis, kritis dan
kreatif. Alokasi waktu yang sangat besar untuk mata pelajaran yang dikenal
sebagai mata pelajaran yang melatih peserta didik dalam berpikir logis,
kritis, dan kreatif seperti matematika, sains menambah kuatnya kesan
ketidakajegan antara kurikulum sebagaimana yang dinyatakan dalam
struktur dengan misi kelembagaan.
Tampaknya, hasil “mini piloting” dan uji publik meredam pandangan
pendidikan disiplin ilmu yang terasa dominan pada struktur Tabel 8.1.
- 128 -
Setelah dilakukan “mini piloting” dan taggapan masyarakat, maka struktur
Kurikulum Berbasis Kompetensi sebagaimana yang tercantum pada Tabel
8.1. mengalami penyempurnaan. Jumlah SKS yang sudah lebih merata
dengan mengurangi sks untuk mata pelajaran matematika dan pengetahuan
alam memberi indikasi adanya perubahan dalam ide kurikulum para
pengembang. Pandangan pendidikan disiplin ilmu yang didasarkan pada
filosofi esensialis juga mendapat koreksi yang cukup kuat sehingga mata
pelajaran sains dan ilmu sosial diubah menjadi label bidang studi dan mata
pelajaran yang lebih menyesuaikan diri dengan pandangan filosofis
perenialisme.
Hasil dari penyempurnaan struktur Kurikulum Berbasis Kompetensi
tercantum pada tabel 8.2. berikut ini.
Tabel 8.2. Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Pertama Dan Madrasah Tsanawiyah
Alokasi Waktu
Kelas
VII VIII IX
- 129 -
Teknologi Informasi dan Komunikasi tidak akan pernah dapat
menyelesaikan pendidikan mereka di SMP. Ini adalah sesuatu yang bersifat
berbahaya bagi kurikulum karena dengan demikian kurikulum sudah
memberikan perlakuan yang tidak “fair” kepada seluruh peserta didik.
Kedua, kurikulum dikembangkan berdasarkan keberpihakan kepada
kelompok peserta didik yang beruntung. Artinya, kurikulum melanggar
prinsip yang diletakkan untuk mengembangkan kurikulum itu sendiri, yaitu
“perlu adanya jaminan keberpihakan kepada peserta didik yang kurang
beruntung dari segi ekonomi dan sosial, yang memerlukan bantuan khusus,
berbakat, dan unggul”. Kalau pun mereka yang tidak mengikuti mata
pelajaran keterampilan Teknologi Informasi dan Komunikasi boleh
dinyatakan telah menyelesaikan pendidikan mereka di SMP, tetapi terjadi
diskriminasi karena mereka tidak memiliki kemampuan yang sama dengan
sebaya mereka yang mengikuti mata pelajaran tersebut padahal
ketidakikutsertaan mereka bukan disebabkan oleh kemampuan mereka yang
tidak sesuai dengan materi pelajaran. Kenyataan seperti ini merupakan
pelajaran berharga dari sejarah kurikulum. Kurikulum telah mengkianati
prinsipnya dan peserta didik diperlakukan tidak adil. Sayangnya, kita tidak
belajar dari pengalaman ini dan kejadian seperti ini masih juga diulangi oleh
Kurikulum KTSP dalam struktur Kurikulum yang dinyatakan dalam
Standar Isi (Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2003
tentang Standar Isi).
Ketimpangan dan ketidakajegan kurikulum dalam prinsip serta perlakuan
kurikulum yang berbeda terhadap peserta didik tidak hanya terjadi pada
mata pelajaran keterampilan Teknologi Informasi dan Komunikasi.
Demikian pula dengan mata pelajaran kesenian dan pendidikan olahraga dan
kesehatan di mana banyak SMP yang tak mungkin melaksanakan sesuai
dengan apa yang dikehendaki kurikulum karena ketiadaan fasilitas belajar.
Lebih lanjut, jika Standar Kompetensi Lulusan untuk setiap mata pelajaran
yang diberlakukan melalui Peraturan Menteri Pendidikan dikaji maka kita
akan menemui ketimpangan yang sama, yaitu adanya Standar Kompetensi
Lulusan yang tidak mungkin dikuasai peserta didik karena ketiadaan
fasilitas di SMP di mana mereka belajar. Hal yang sama ditemukan pula
dalam Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) pada mata
pelajaran tertentu.
- 130 -
dinyatakan berhasil dengan kemampuan yang kurang dari apa yang
dipersyaratkan kurikulum. Ketimpangan ini tentu saja merugikan mereka,
karena mereka telah kehilangan daya saing dan berada dalam posisi yang
tidak menguntungkan ketika dunia kerja menghendaki kemampuan
penggunaan teknologi informasi dan komunikasi sebagai persyaratan.
Suatu kenyataan yang menyenangkan dari struktur kurikulum di atas ialah
Kurikulum SMP 2004 (dan kurikulum lainnya) telah mampu menyatukan
SMP dengan Madrasah Tsanawiyah karena secara hitam di atas putih
dinyatakan bahwa kurikulum adalah Kurikulum Sekolah Menengah Pertama
dan Madrasah Tsanawiyah. Penyatuan ini senafas dengan berbagai pasal
dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional yang mengakui kesejajaran antara SMP dengan MTs (SD dengan
MI, SMA dengan MA, SMK dengan MAK). Tentu saja untuk Madrasah
Tsanawiyah yang memiliki misi berbeda dari SMP struktur kurikulum
tersebut perlu disesuaikan.
- 131 -
Sisdiknas) dan Madrasah Tsanawiyah. Ini untuk pertama kali Pusat
Kurikulum menghasilkan kurikulum yang secara eksplisit mencantumkan
sekolah Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama dalam
sebuah dokumen kurikulum, sesuai dengan ketetapan pada Undang-Undang
nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.27
Buku Standar Kompetensi ditandatangani oleh Kepala Badan Penelitian dan
Pengembangan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan Direktur
Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Dalam buku ini dikemukakan
mengenai rasional mengenai pentingnya mata pelajaran yang dimaksud,
pengertian, tujuan dan fungsi, ruang lingkup, standar kompetensi lintas
kurikulum, standar kompetensi bahan ajar, standar kompetensi mata
pelajaran, dan rambu-rambu pada bagian I Pendahuluan. Bagian II
menguraikan kompetensi dasar, indikator, materi pokok mata pelajaran
yang dimaksud untuk kelas VII, VIII, dan IX.
Standar Kompetensi Lintas Kurikulum adalah standar yang berlaku untuk
seluruh mata pelajaran. Seharusnya nama standar ini adalah standar lintas
mata pelajaran atau standar kurikulum karena kurikulum hanya ada satu
untuk satu satuan pendidikan, bukan untuk setiap mata pelajaran. Dalam
Buku Standar Kompetensi terdapat 9 Standar Kompetensi Lintas
Kurikulum. Sedangkan pada bagian II Buku yang sama terdapat Standar
Kompetensi yang harus diselesaikan untuk kelas tertentu. Setiap kelas
memiliki lebih dari satu Standar Kompetensi, beragam dalam jumlah untuk
setiap kelas dan setiap mata pelajaran.
Setiap Standar Kompetensi dirinci dalam beberapa Kompetensi Dasar,
jumlahnya beragam tergantung keluasan dari Standar Kompetensi. Satu
Kompetensi Standar memiliki sejumlah indikator yang merupakan rincian
perilaku dan pengetahuan yang harus dimiliki peserta didik. Berdasarkan
indikator, maka dikembangkan Materi Pokok. Setiap Kompetensi Dasar
memiliki satu materi pokok yang dirumuskan dalam bentuk pernyataan
tunggal seperti “penggunaan mikroskop” , “proses sosialisasi” atau dapat
pula dirumuskan dalam suatu pernyataan yang menyatakan keterkaitan
antara dua konsep atau lebih seperti ‘keanekaragaman hidup dan upaya
pelestariannya”, “atmosfer dan pengaruhnya terhadap kehidupan”. Guru dan
sekolah mengembangkan silabus berdasarkan Standar Kompetensi,
Kompetensi Dasar, Indikator, dan Materi Pokok yang terdapat pada buku
Standar Kompetensi.
27
Ini juga menjadi kurikulum terakhirr yang dihasilkan Pusat Kurikulum, Badan Penelitian
dan Pengembangan Pendidikan, Kementerian Pendidikan Nasional setelah ada Peraturan
Pemerintah nomor 19 tahun 2005 yang memberikan wewenang mengembangkan sstruktur
kurikulum kepada Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) .
- 132 -
C. KURIKULUM 2006
Kurikulum 2004 atau yang semula bernama Kurikulum Berbasis
Kompetensi tidak berkembang menjadi kurikulum nasional. Kurikulum
2004 tidak mendapat dukungan politis untuk dilaksanakan secara nasional,
antara lain karena terjadi perubahan dalam kehidupan ketata negaraan
Indonesia dari sentralistik ke otononomi daerah. Naskah terakhir Kurikulum
2004 telah mencoba mengakomodasi perubahan sistem ketata negaraan
tersebut, tetapi upaya yang dimaksudkan tidak cukup kuat. Pemberlakuan
Undang-Undang Nomor 20 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, Undang-
Undang Nomor 20 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan
Pemerintah Daerah, dan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional menyebabkan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan harus melaksanakan ketetapan dalam undang-undang tersebut
sehingga perlu melakukan berbagai revisi terhadap Kurikulum 2004.
Kenyataannya, proses pengembangan Kurikulum 2004 dilakukan bersamaan
dengan masa pengembangan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 dan
masa proses Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 menyebabkan
Kurikulum 2004 sukar secara penuh memposisikan perubahan kewenangan
dalam kehidupan ketata negaraan dan kebijakan politik dalam rancangan
akhir dokumen kurikulum. Ketika Kurikulum 2004 mencapai tahap untuk
dinyatakan sebagai kurikulum yang sudah siap dilaksanakan, Undang-
Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sudah
dinyatakan berlaku dan Departemen Pendidikan Nasional adalah
kementerian yang paling bertanggungjawab dalam keberhasilan
pelaksanaan undang-undang tersebut. Sebagai kementerian yang paling
terdepan dalam melaksanakan undang-undang tersebut, Kurikulum 2004
yang baru selesai dikembangkan tidak diberlakukan sebagai kurikulum
nasional.
- 133 -
dikatakan tidak mungkin setiap satuan pendidikan mampu menyusun
kurikulum yang dapat mengembangkan kepentingan nasional. Sementara
itu, suatu kurikulum haruslah memperhatikan kepentingan nasional, daerah,
masyarakat di sekitar satuan pendidikan, dan peserta didik.
Arus globalisasi telah memberikan pengaruh yang tidak kecil. Globalisasi
memberi dampak pada sistem pasar bebas dan suatu bangsa tidak lagi dapat
melindungi sepenuhnya dari gerakan pasar bebas. Gerakan globalisasi juga
berdampak pada kehidupan lainnya di samping ekonomi, pendidikan
merupakan salah satu aspek yang terkena dampak. Pendidikan di suatu
negara tidak lagi bersifat ekslusif untuk bangsa tersebut tetapi harus
terbuka bagi yang lain baik secara langsung mengikuti pendidikan di negara
tersebut maupun mendirikan lembaga pendidikan di negara tersebut.
Proteksi dan upaya membangkitkan jati diri bangsa menjadi pertimbangan
kuat untuk memberi keyakinan bahwa pendidikan harus menghasilkan
manusia dengan semangat dan kebangsaan yang kuat. Pendidikan juga
harus menghasilkan warga negara yang tidak tersaing dalam kehidupan
budaya, sosial, ekonomi, ilmu dan teknologi. Di berbagai negara yang
menganut paham bahwa pendidikan adalah sepenuhnya hak pemerintah
daerah/negara bagian dan apalagi yang menyerahkan pengembangan
kurikulum ke sekolah (school-based curriculum) mulai menyadari kelemahan
sistem ini. Kurikulum yang dikembangkan pada jenjang sekolah hanya kuat
dalam melayani kebutuhan peserta didik dan lingkungan masyarakat di
sekitarnya. Kepentingan nasional, apalagi kepentingan nasional dalam
pegertian memiliki kualitas tamatan yang mampu menghadapi bangsa lain
tidak mendapat jaminan. Level sekolah yang jauh dari nasional dan
pengembang kurikulum (guru dan kepala sekolah) yang horizon berpikirnya
tidak sampai tingkat nasional menjadi kekhawatiran para pengambil
kebijakan pendidikan di banyak negara.
Gerakan kurikulum nasional di negara-negara yang menganut kebijakan
kurikulum dikembangkan di tingkat pemerintah daerah/negara bagian dan
sekolah mulai mendapatkan tempat. Persoalannya adalah bagaimana dengan
tradisi dan undang-undang serta peraturan yang terkait dengan
kewenangan dalam mengatur pendidikan di wilayah masing-masing.
Amerika Serikat, misalnya sudah tidak mungkin untuk mengubah seluruh
perangkat kebijakan yang ada dan kemudian melahirkan kebijakan tentang
standar. Standar dikembangkan secara nasional, berlaku secara nasional dan
menjadi pedoman bagi pengembangan kurikulum di jenjang pemerintah
daerah/negara bagian. Banyak standar yang dikembangkan oleh organisasi
profesi seperti NCSS (National Council for Social Studies), NCSE (National
Council for Science Education), NCHE (National Council for History
Education), dan setiap mata pelajaran memiliki organisasi profesi pada
tingkat nasional.
- 134 -
Inggris dan Australia mengambil langkah kebijakan lain, yaitu dengan
memperkenalkan kurikulum nasional (National Curriculum) sebagai
kerangka dasar. Inggris (England) memberlakukan kurikulum nasional pada
tahun 1999 akhir dan Australia pada tahun 2008.
Dalam mengatasi situasi dunia internasional seperti itu, Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memperjelas
dan memperkuat wewenang pengembangan kurikulum melalui Pasal 38
Ayat (1) dan Ayat (2). Pasal 38, Ayat (1) menyebutkan “kurikulum
pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya
oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah
di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen
Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan Propinsi untuk
pendidikan menengah”. Ayat (2) ini didahului oleh Ayat (1) yang
menegaskaan bahwa “kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan
dasar dan menengah ditetapkan oleh Pemerintah”. Ketentuan ini
menyebabkan kurikulum dapat melayani kepentingan nasional melalui
kurikulum nasional, melayani kepentingan daerah melalui muatan lokal, dan
kepentingan masyarakat di sekitarnya melalui muatan sekolah. Seluruh
kepentingan tersebut terumuskan dalam Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan.
Pemerintah mengambil kebijakan untuk menyelamatkan pikiran kurikulum
kompetensi yang telah dikembangkan dalam Kurikulum 2004 dan biaya
besar yang telah dikeluarkan untuk pengembangan naskah atau dokumen
kurikulum. Oleh karena itu, ide-ide tersebut dimasukkan dalam berbagai
ketentuan seperti Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar dimasukkan
dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional mengenai Standar Isi.
Demikian pula halnya dengan Standar Kompetensi Lulusan, Standar
Kompetensi Lintas Kurikulum, dan Standar Kompetensi Mata Pelajaran
dikemas dalam bentuk Peraturan Menteri Pendidikan Nasional. Sedangkan
Struktur Kurikulum untuk SMP dan Madrasah Tsanawiyah dikemas dalam
bentuk Standar Isi.
Berdasarkan kebijakan baru maka kurikulum dikembangkan oleh setiap
satuan pendidikan dan dikenal dengan nama Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP). Struktur KTSP mengacu kepada Struktur Kurikulum
yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri Pendidikan Nasional. Dalam hal ini
terjadi kerancuan penetapan karena Kerangka Dasar dan Struktur
Kurikulum bukan Standar Isi dan berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, wewenang mengembangkan standar
dan kurikulum dilakukan oleh lembaga yang berbeda. Standar
dikembangkan oleh lembaga independen yang dinamakan Badan Standar
Nasional Pendidikan (BSNP) sedangkan kerangka dasar dan struktur
kurikulum dikembangkan oleh lembaga yang diberi wewenang secara
- 135 -
Institusional yaitu Pusat Kurikulum. Kurikulum mengacu kepada standar
dan terutama Standar Kompetensi Lulusan, Standar Isi, Standar Proses dan
Standar Penilaian untuk keempat komponen utama kurikulum, yaitu tujuan,
isi, proses, dan penilaian hasil belajar28. Kedua produk dari kedua lembaga
tersebut dinyatakan berlaku resmi melalui Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional.
28
Tujuan, konten/isi, pengalaman belajar dan penilaian hasil belajar adalah empat komponen
utama kurikulum sebagai rencana yang dikembangkan dalam kurikulum di hampir setiap
negara. Istilah yang digunakan dapat berbeda dan keempatnya dapat ditambah dengan
komponen lain seperti sumber, dan sebagainya.
- 136 -
yang ditetapkan setelah Standar Isi. Logika dan prosedur dalam
pengembangan standar adalah pengembangan Standar Kompetensi Lulusan
(SKL), dan berdasarkan SKL yang terumuskan dikembangkan Standar Isi,
bukan sebaliknya. Logika hukum menyatakan bahwa yang diputuskan
belakang terkait dengan yang telah diputuskan terdahulu. Mungkin ini
kekacauan dalam berpikir karena konsep pendidikan berdasarkan standar
yang tidak dipahami sepenuhnya.
Struktur Kurikulum SMP/Madrasah Tsanawiyah ditetapkan sebagai
berikut yang ditetapkan dalam Standar Isi adalah sebagai berikut:
Tabel 8.3 Struktur Kurikulum 2006 SMP /MTs
Komponen Kelas dan Alokasi Waktu
VII VIII IX
A. Mata Pelajaran
1. Pendidikan Agama 2 2 2
2. Pendidikan Kewarga negaraan 2 2 2
3. Bahasa Indonesia 4 4 4
4. Bahasa Inggris 4 4 4
5. Matematika 4 4 4
6. Ilmu Pengetahuan Alam 4 4 4
7. Ilmu Pengetahuan Sosial 4 4 4
8. Seni Budaya 2 2 2
9. Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan 2 2 2
10. Keterampilan/Teknologi Informasi dan Komunikasi 2 2 2
B. Muatan Lokal 2 2 2
C. Pengembangan Diri 2*) 2*) 2*)
Jumlah 32 32 32
2*) Ekuivalen 2 jam pembelajaran
- 137 -
menjadi Bahasa Indonesia merupakan indikasi dominasi filosofi
perenialisme. Kecerdasan intelektual sebagai hasil belajar menjadi bukti lain
dari pengaruh perenialisme.
Pengembangan Diri merupakan sesuatu yang baru dari Struktur Kurikulum
2006 SMP/MTs yang ditetapkan dalam Standar Isi. Walaupun
Pengembangan Diri diberi alokasi 2 jam, tetapi pada pelaksanaannya
Pengembangan Diri yang dimaksudkan pada Struktur Kurikulum 2006
SMP/MTs Standar Isi di atas sama dengan Pembiasaan yang tercantum
dalam Struktur Kurikulum 2004. Tampaknya nama Pengembangan Diri
dianggap lebih sesuai jika dibandingkan dengan Pembiasaan.
Pemikiran tentang adanya Pengembangan Diri yang dinyatakan secara
eksplisit dan terpisah dari mata pelajaran lain dalam Struktur Kurikulum
SMP/MTs berdasarkan Standar Isi memang mengundang masalah
kurikulum. Sebagaimana dikemukakan dalam Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 22 tahun 2005.
Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus diasuh oleh
guru. Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta
didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan
kebutuhan, bakat, dan minat setiap peserta didik sesuai dengan kondisi
sekolah. Kegiatan pengembangan diri difasilitasi dan atau dibimbing oleh
konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk
kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan pengembangan diri dilakukan melalui
kegiatan pelayanan konseling yang berkenaan dengan masalah diri pribadi
dan kehidupan sosial, belajar, dan pengembangan karir peserta didik.
Permasalahan pertama adalah adanya istilah Pengembangan Diri
merupakan “contradictio in terminis” karena keseluruhan kurikulum harus
merupakan pengembangan potensi peserta didik dan setiap kurikulum harus
memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan
minat, bakat, keunggulannya serta berbagai karakter yang berkenaan
dengan nilai umum dan pribadi, sikap umum dan pribadi serta berbagai
kemampuan pribadi yang diperlukan dirinya sebagai seorang makhluk.
Kegiatan pengembangan diri yang dibatasi pada kegiatan ekstrakurikuler
dan konseling memberi keterbatasan yang tidak seharusnya terhadap
pengembangan diri peserta didik oleh kurikulum.
- 138 -
standar kompetensi lulusan dan standar isi serta panduan penyusunan
kurikulum yang dibuat oleh BSNP.” (Permendiknas nomor 22 tahun 2005)
Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip berikut:
a. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan
kepentingan peserta didik dan lingkungannya
Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta
didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan
kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung
pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta
didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan
kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan.
b. Beragam dan terpadu
Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman
karakteristik peserta didik, kondisi daerah, dan jenjang serta jenis
pendidikan, tanpa membedakan agama, suku, budaya dan adat
istiadat, serta status sosial ekonomi dan gender. Kurikulum
meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan
lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam
keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat
antarsubstansi.
c. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni
Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni berkembang secara dinamis, dan
oleh karena itu semangat dan isi kurikulum mendorong peserta
didik untuk mengikuti dan memanfaatkan secara tepat
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
d. Relevan dengan kebutuhan kehidupan
Pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan
pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi
pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya
kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh
karena itu, pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan
berpikir, keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan
keterampilan vokasional merupakan keniscayaan.
e. Menyeluruh dan berkesinambungan
- 139 -
Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi,
bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan
dan disajikan secara berkesinambungan antarsemua jenjang
pendidikan.
f. Belajar sepanjang hayat
Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan,
pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung
sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara
unsur-unsur pendidikan formal, nonformal dan informal, dengan
memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu
berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya.
g. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan
daerah
Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan
nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kepentingan nasional
dan kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan
sejalan dengan motto Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ada penyempurnaan prinsip pengembangan kurikulum yang ditetapkan
dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2005 di
atas dibandingkan dengan prinsip pengembangan Kurikulum 2004. Selain
jumlahnya yang lebih sedikit tetapi juga ketujuh ketetapan tersebut lebih
menggambarkan pengertian suatu prinsip pengembangan kurikulum
terkecuali prinsip belajar sepanjang hayat. Belajar sepanjang hayat adalah
suatu tujuan dalam mengembangkan perhatian, kemauan, kemampuan
untuk dapat belajar sepanjang hayat dan oleh karenanya lebih kepada tujuan
pendidikan dibandingkan prinsip pengembangan kurikulum. Oleh karena
itu, konsep Belajar Sepanjang Hayat sebaiknya menjadi landasan kriteria,
bukan prinsip, untuk mengembangkan materi kurikulum.
Salah satu prinsip pengembangan kurikulum yang baik, dari tujuh yang
dinyatakan dalam pedoman tersebut, tetapi tampaknya akan sangat sulit
dilakukan, yaitu keseimbangan antara kepentingan nasional dan daerah.
Prinsip ini sangat bagus dan harus menerus menjadi prinsip pengembangan
kurikulum di Indonesia mengingat keragaman budaya, sosial, ekonomi,
historis, dan geografis masyarakat Indonesia. Sayangnya, dalam konteks
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan permasalahan muncul pada
pengertian keseimbangan. Apabila kepentingan nasional diartikan sebagai
apa yang telah ditetapkan dalam struktur dan isi kurikulum dan
kepentingan daerah dikembangkan dalam mata pelajaran muatan lokal
sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
- 140 -
Nomor 22 Tahun 2005, dan apabila pengertian keseimbangan dipatok
dengan ukuran sks maka sks yang telah ditetapkan pusat lebih besar dari
alokasi sks untuk muatan lokal. Dalam pengertian jumlah sks maka prinsip
keeimbangan tidak pernah dapat dilaksanakan satuan pendidikan dalam
mengembangan KTSP.
Prinsip keseimbangan kurikulum akan dapat dilaksanakan dengan baik
melalui dua cara. Pertama, materi muatan lokal yang dikembangkan satuan
pendidikan dikemas tidak hanya menjadi materi mata pelajaran-mata
pelajaran muatan lokal yang berdiri sendiri tetapi juga dikembangkan
sebagai materi pelajaran untuk mata pelajaran lain yang telah ditetapkan
dalam struktur kurikulum. Kedua, dalam menetapkan materi Standar Isi
Pemerintah mengembangkan materi yang dipandang penting dari sudut
kepentingan nasional, bukan semua materi yang harus dikuasai peserta didik
untuk suatu mata pelajaran. Apabila Pemerintah menempuh kebijakan
tentang materi muatan lokal sebagaimana yang dikemukakan di sini maka
baik Pemerintah maupun satuan pendidikan memiliki kemungkinan untuk
menerapkan prinsip keseimbangan antara kepentingan nasional dan daerah.
Pemerintah dapat menerapkan isi dan kompetensi minimal untuk setiap
mata pelajaran sedangkan satuan pendidikan dapat menambah isi dan kalau
perlu kompetensi baru untuk mata pelajaran yang dimaksudkan. Jika satuan
pendidikan berpendapat bahwa kompetensi tidak perlu atau perlu ditambah
dan untuk menguasai kompetensi tersebut dapat ditambah dengan materi
dari lokal maka satuan pendidikan dapat memberikan pertimbangan edukatif
mengenai keseimbangan antara kepentingan nasional dan daerah. Orientasi
lingkungan dan penerapan prinsip pendidikan yang dimulai dari lingkungan
terdekat (Ki Hajar Dewantara) dapat diterapkan dengan pendekatan
pengembangan materi lokal yang dimasukkan ke dalam mata pelajaran yang
sudah ditetapkan Pemerintah.
- 141 -
BAB IX
MENATAP MASA DEPAN :
KURIKULUM 2013
- 142 -
A. LANDASAN PENGEMBANGAN KURIKULUM 2013
29
Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003, disebutkan ada 8 Standar Nasional Pendidikan yaitu
Standar Kompetensi Lulusan (SKL), Standar Isi (SI), Standar Proses (SP), Standar Penilaian
(SPn), Standar Tenaga Kependidikan, Standar Sarana dan Prasarana, Standar Pengelolaan,
dan Standar Pembiayaan. Empat standar terakhir adalah standar untuk implementasi
kurikulum.Dalam konsep standar maka standar adalah persyaratan minimal yang harus
dimiliki suatu satuan penididkan untuk melaksanakan kurikulum. Oleh karena itu pemenuhan
standar oleh penanggungjawab pelayanan pendidikan adalah suatu kemutlakan untuk
keberhasilan implementasi kurikulum.
- 143 -
Dalam RPJMN disebutkan dua hal yang terkait dengan pengembangan
kurikulum, yaitu berkenaan dengan perubahan proses pembelajaran dan
penataan ulang kurikulum. “Mengenai proses pembelajaran RPJMN 2010-
2014 mengamanatkan agar terjadi perubahan dalam proses pembelajaran
sehingga pembelajaran tidak lagi demi kelulusan ujian (teaching for the test)
tetapi perlu diarahkan kepada pengembangan potensi anak dalam belajar.
Secara spesifik, Bab IV Prioritas 2 Pendidikan, Pasal 3 tersebut
menyebutkan:
Metodologi: Penerapan metodologi pendidikan yang tidak lagi berupa
pengajaran demi kelulusan ujian (teaching for the test), namun pendidikan
menyeluruh yang memperhatikan kemampuan sosial, watak, budi pekerti,
kecintaan terhadap budayabahasa Indonesia melalui penyesuaian sistem
Ujian Akhir Nasional pada 2011 dan penyempurnaan kurikulum sekolah
dasar dan menengah sebelum tahun 2011 yang diterapkan di 25% sekolah
pada 2012 dan 100% pada 2014 (Naskah Akademik Kurikulum 2013)
Pasal 5 Bab IV Prioritas 2 menyebutkan:
Penataan ulang kurikulum sekolah yang dibagi menjadi kurikulum tingkat
nasional, daerah, dan sekolah sehingga dapat mendorong penciptaan hasil
didik yang mampu menjawab kebutuhan SDM untuk mendukung
pertumbuhan nasional dan daerah dengan memasukkan pendidikan
kewirausahaan (diantaranya dengan mengembangkan model link and
match);
Ketentuan yang dinyatakan dalam RPJMN 2010-2014 adalah perintah
langsung kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk
melakukan perubahan atau penataan ulang kurikulum. RPJMN diturunkan
dalam rencana kerja kementerian yang dinamakan Rencana Strategis
Kementerian Pendidikan Nasional 2010 -2014. Dalam Rencna Strategis
Kementerian Pendidikan Nasional 2010 - 2014 dinyatakan Pusat Kurikulum
dan Perbukuan diberi amanat untuk melakukan penyempurnaan Kurikulum
2006.
Dari ketentuan di atas maka pada tahun 2010 Pusat Kurikulum dan
Perbukuan melakukan kegiatan pengembangan penyempurnaan Kurikulum
2006 setelah dilakukan pengkajian terhadap ide kurikulum (filosofis, teori,
prinsip), desain kurikulum (keberadaan SK yang terpisah untuk setiap mata
pelajaran yang menggambarkan pengertian bahwa kurikulum adalah daftar
mata pelajaran), dan kerangka dasar kurikulum. Kajian juga dilanjutkan
pada SKL untuk memperoleh wawasan dan pemahaman mengenai kualitas
manusia Indonesia yang diinginkan, dan ditemukan antara lain bahwa perlu
penyempurnaan SKL agar sejalan dengan Tujuan Pendidikan Nasional.
Landasan yuridis di atas menjadi titik berangkat pengembangan kurikulum
baru (Kurikulum 2013). Secara empirik, Kurikulum 2013 dikembangkan
untuk menjawab tantangan nasional dan internasional dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, serta adanya pengembangan baru dalam ilmu
- 144 -
pendidikan terutama berkaitan dengan pengertian dan proses pembelajaran
sikap, pembelajaran kompetensi, taksonomi tujuan pendidikan dan posisi
Tujuan Pendidikan Nasional dalam pengembangan kurikulum.
Perkembangan baru tersebut menjadi dasar untuk mengembangkan ide,
desain dan struktur kurikulum berbasis karakter yang terpadu.
Upaya untuk merealisasikan Tujuan Pendidikan Nasional dalam bentuk
perilaku dan wawasan warga negara tidak dapat dilakukan tanpa
memperbaiki SKL, ide dan desain kurikulum. Untuk menjadikan pendidikan
karakter sebagai basis Kurikulum 2013 ditetapkan 4 elemen pengikat
(organizing element) yang merupakan realisasi SKL baru, Tujuan Pendidikan
Nasional, dan filsafat bangsa, yaitu Pancasila. Unsur Ketuhanan Yang Maha
Esa yang dirumuskan dalam Tujuan Pendidikan Nasional sebagai “manusia
yang beriman dan bertaqwa” dan diterjemahkan dalam SKL sebagai sikap
beriman dan berakhlak mulia menjadi Kompetensi Inti 1 (KI-1), yaitu sikap
religius. Sikap30 yang berkenaan dengan kehidupan pribadi, masyarakat dan
bangsa menjadi Kompetensi Inti 2 (KI-2), yaitu Sikap Sosial. Kompetensi
Pengetahuan mejadi Kompetensi Inti 3 (KI-3), yaitu Pengetahuan
sedangkan aplikasi dari pengetahuan dijadikan Kompetensi Inti 4 (KI-4).
Kompetensi Inti 4 merupakan upaya untuk menghilangkan verbalisme, yaitu
pengetahuan fakta, konsep, prosedur dan meta kognitif yang dikembangkan
dalam KI-3. Melalui penerapan pengetahuan yang dipelajari di KI-3 dalam
berbagai bentuk kegiatan pembelajaran langsung (KI-4) maka peserta didik
memiliki pengalaman belajar langsung (autentik), mengenal lingkungan
sekitarnya dan memiliki tingkat retensi pemahaman dan aplikasi yang tinggi
sesuai dengan prinsip “ saya melakukan saya paham”.
Berdasarkan tradisi penamaan kurikulum nasional di Indonesia maka
kurikulum baru tersebut dinamakan Kurikulum 201331, dinyatakan resmi
dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 68 Tahun
2013 dan Permendikbud Nomor 58 Tahun 2014 untuk SMP/M.Ts.
30
Sikap adalah kompetensi yang dihasilkan suatu proses pembelajaran. Sikap terdiri atas
nilai-nilai dan nilai meliputi pengetahuan tentang nilai (ngerti=knowledge), perasaan moral
(ngerasa=moral feeling), dan tindakan (nglakoni = act). Pengetahuan tentang nilai dalam
domain afektif Bloom dkk. masuk pada jenjang penerimaan (receiving), penanggapan
(responding) kemudian dilanjutkan dengan penilaian (valueing) oleh individu siswa, Apabila
nilai tersebut dimengerti dan disetujui maka peserta didik memasukkannya dalam sistem
nilai yang sudah ada (organizing), menjadi kecenderungan bersikap
(predisposisi=ngerasa=moral feeling), dan kemudian membentuk tindakan-tindakan dan
menjadi perilaku (characterization=ngelakoni=act). Oleh karena itu sikap peserta didik dapat
dilihat dalam perilaku sehari-hari sedangkan dalam penelitian, karena keterbatasan
metodologis, diartikan sebagai kecenderungan (predisposisi).
31
Dalam sejarah kurikulum di Indonesia dikenal adanya Kurikulum 1947, Kurikulum 1954,
Kurikulum 1964, Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994,
Kurikulum 2002/2004, Kurikulum 2006 dan terakhir pada saattulisan ini diselesaikan
Kurikulum2013.
- 145 -
Kurikulum tersebut dinyatakan berlaku sejak tahun ajar 2013-2014 untuk
kelas VII.
- 146 -
sosialisasi dilakukan juga melalui jaringan internet yang menghasilkan
puluhan ribu masukan dari berbagai kalangan masyarakat. Hasil dari
sosialisasi ini adalah perubahan nama mata pelajaran Pendidikan Kewarga
negaraan (PKn) menjadi Pancasila dan Pendidikan Kewarga negaraan
(PPKn), Pendidikan Agama menjadi Pendidikan Agama dan Budi Pekerti,
dan beberapa perubahan pada ide dan struktur kurikulum. Desain kurikulum
yang integratif tetap dengan perubahan pada label Kompetensi Inti 1 Sikap
Beragama diganti menjadi Sikap Religius sedangkan Kompetensi Inti 2
Sikap Sosial, Kompetensi Inti 3 Pengetahuan dan Kompetensi Inti 4
Penerapan tidak mengalami perubahan. Demikian pula fungsi Kompetensi
Inti sebagai pengikat (organizing element) dan sekaligus menjadi tujuan dari
setiap mata pelajaran tidak mengalami perubahan.
Pengembangan kurikulum berikutnya adalah pengembangan Kompetensi
Dasar. Setiap Kompetensi Inti (KI) memiliki Kompetensi Dasar (KD)32 yang
merupakan kompetesi yang harus dicapai dan substansi (materi) untuk
mengembangkan kompetesi (sikap, pengetahuan, dan keterampilan
berdasarkan ketetapan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003).
Kegiatan pengembangan ini adalah suatu pekerjaan yang sangat besar dan
memerlukan organisasi besar serta partisipasi banyak pihak. Secra teknis,
pekerjaan ini dilakukan melalui koordinasi Pusat Kurikulum dan Perbukuan
yang sudah memiliki pengalaman puluhan tahun, sejak Kurikulum 1975.
Pekerjaan mengembangkan Konpetensi Dasar (KD) menuntut partisipasi
para guru bidang yang terkait mata pelajaran, dosen dari berbagai
perguruan tinggi, dan staf Pusat Kurikulum dan Perbukuan. Para guru
besar, lektor kepala, lektor dan guru bekerja sama dalam mengembangkan
KD setiap mata pelajaran. Staf dari Puskurbuk yang memiliki latar belakang
bidang studi sesuai dengan mata pelajaran memiliki kontribusi yang sangat
besar dalam merumuskan KD sesuai dengan pengertian kompetensi, prinsip
kurikulum, dan konten setiap KD. Kerja sama ketiga unsur ini bukan
sesuatu yang baru dan oleh karena itu, solusi untuk hal-hal yang berbeda
secara konseptual dapat diselesaikan dengan baik dan memenuhi kaidah
keilmuan dari suatu mata pelajaran dan prinsip kurikulum.
Hasil awal dari pekerjaan tim pengembang KD disosialisasikan ke guru dan
dosen yang terkait dengan mata pelajaran dalam struktur kurikulum.
Perbedaan visi dan persepsi yang terkadang menyebabkan perbedaan dalam
merumuskan suatu KD didiskusikan dan kesepakatan antara peserta
menghasilkan KD-KD yang dianggap memenuhi berbagai kriteria tersebut.
32
Dalam revisi yang dilakukan kemudian, tahun 2015-2016, KD untuk KI-1 dan KI-2 untuk
mata pelajaran selain Agama dan Budi Pekerti ditiadakan sedangkan KD untuk KI-2 untuk
mata pelajaran PPKN. Mata pelajaran lain hanya memiliki KD untuk KI-3 dan KI-4.
- 147 -
3. Tantangan Kehidupan Abad ke 21
Pertimbangan lain yang menyebabkan perubahan kurikulum adalah
perkembangan dalam bidang ilmu dan teknologi, ilmu pendidikan terutama
kurikulum, kenyataan sosial-budaya, dan tak kalah pentingnya adalah
prediksi perkembangan ekonomi dan penduduk Indonesia di masa
mendatang dalam mempersiapkan warga negara untuk kehidupan berbangsa
pada abad ke-21.
- 148 -
Komptensi Sosial merupakan suatu kesatuan yang dimiliki oleh seorang
warga negara dan karenanya kedua kelompok kompetensi tersebut harus
dimiliki setiap warga negara, dan dikembangkan dalam suatu proses belajar
yang terintegrasi. Dalam kemasan Kurikulum 2013, kemampuan empat C
(critical, creative, collaborative, dan communicative) merupakan bagian dari
kemampuan abad ke 21 bangsa Indonesia.
- 149 -
pengembangan intelektual semata. Untuk kurikulum berbasis kompetensi,
sebagaimana yang digunakan dalam Kurikulum 2013, yang dinyatakan
bahwa suatu kompetensi berpikir dan sosial tidak mungkin dikebangkan
hanya oleh satu mata pelajaran. Penguatan-penguatan vertikal tidak lagi
dianggap cukup dan diperlukan penguatan horizontal33. Artinya, untuk
mempersiapkan generasi muda yang hidup pada abad ke-21, penguasaan
kompetensi yang komprehensif merupakan suatu persyaratan yang tak bisa
dihindari. Pendekatan Kurikulum Terpadu (integrated curriculum)
Perkembangan lain dalam dunia pendidikan adalah perubahan taksonomi
pendidikan dari taksonomi Bloom (1956) ke taksonomi Andersen (2001)
dan Taksonomi Kendall dan Marzano (2007). Taksonomi Andersen dkk
(2001) merupakn revisi terhadap ranah kognitif taksonomi Boom dkk.
(1956), antara lain adalah memisahkan pengetahuan secara tegas dari
kemampuan berpikir kognitif. Pengetahuan adalah yang diolah oleh kognitif
dan pengetahuan empat dimensi, yaitu faktual, konseptual, procedural, dan
metakognitif. Dalam ranah kognitif, Andersen dkk. mengubah posisi sintesis
Bloom dari jenjang kelima sebelum evaluasi menjadi posisi tertinggi, seudah
evaluasi. Andersen dkk. juga mengubah kata benda yang digunakan Bloom
dkk (knowledge, comprehension, application, analysis,synthesis, evaluation) menjadi
kata kerja (remember, understand, apply, analyze, evaluate, create) karena kerja
kognitif lebih tepat dinyatakan dalam kata kerja.
Perubahan jenjang kognitif yang dilakukan Andersen dkk. yang
menempatkan mengevalusi pada jenjang kelima dan mencipta pada jenjang
keenam adalah sesuatu yang penting dalam pendidikan. Dengan perubahan
jenjang tersebut maka kemampuan tertinggi dalam berpikir adalah mencipta
yang merupakan kreativitas seseorang. Kreativitas itu berupa suatu
pemikiran baru yang orisinal dan secara akademik dimungkinkan melalui
sintesis dari berbagai buah pikir (ide) sehingga menghasilkan hipotesis baru,
konsep baru, teori baru, prosedur baru untuk penyelesaian suatu masalah.
Kemampuan sintesis hanya dapat dilakukan setelah melakukan evaluasi
terhadap hipotesis, konsep, teori, pendekatan, dan prosedur yang pernah
33
Penguatan horizontal dilakukan oleh suatu mata pelajaran di mana kompetensi yang telah
dicapai di tingkat rendah diperkuat dan dikembangkan dalam tingkat yang lebih complicated
di kelas di atas. Semakin tinggi jenjang pendidikan dan semakin tinggi kelas/tahun yang
diikuti peserta didik semakin mahir dan komprehensif tingkat kompetesi yang dipelajari dan
dikuasai peserta didik. Dalam perkembangan terakhir ditemukan bahwa suatu untuk
menguasai penerapan kompetensi secara komprehensif diperlukan penguatan horizontal
yaitu penguatan melalui berbagai konten berbeda dari berbagai mata pelajaran. Melalui
penguatan horizontal, peserta didik dilatih menghadapi berbagai masalah yang timbul dalam
berbagai mata pelajaran sehingga mereka mampu menghadapi dan terampil memechkan
masalah yang terkadang tidak terduga kemunculannya. Persoalan kehidupan abad ke-21
mengandung karakter yang multi facet sehingga memerlukan penyelesaian yang bersifat
komprehensif.
- 150 -
dikembangkan. Hasil dari evaluasi memperlihatkan bagian yang
sama/sejenis, bagian yang berbeda, bagian yang masih
relevan/kurang/tidak, yang memberikan pengetahuan tentang mana yang
mana disintesiskan untuk menghasilkan sesuatu yang “baru”. Oleh karena
itu, perubahan posisi jenjang sintesis menjadi tertinggi adalah sesuatu yang
tepat. Hasil suatu sintesis selalu merupakan sesuatu yang “baru” dan
mengandung makna sesuatu yang diciptakan menurut kaidah ilmu.
Lagipula, penempatan posisi mencipta sebagai posisi tertinggi sejajar
dengan posisi karakterisasi dalam ranah afektif dan posisi original dalam
ranah psikomotor Simpson (1964)
Berdasarkan pertimbangan empirik taksonomi Kendall dan Mazano (2007)
tidak digunakan untuk Kurikulum 2013. Secara filosofis dan teoretik,
taksonomi ini yang mereka namakan A New Taxonomy of Educational
Objectives memang baru dan sangat berbeda dari filosofi dan teori pendidikan
yang mendasari taksonomi Bloom atau pun Andersen. Perbedaan filosofi
dan teoretik taksonomi Kendall dan Mazano ini menghendaki pemahaman
yang mendalam dan perubahan cara berpikir yang sangat besar sehingga
akan sangat rumit dan sulit untuk mengubah cara berpikir dan wawasan
guru yang sudah membeku dengan taksonomi Bloom. Lagipula, tingkat
tertinggi Taksonomi Kendall dan Marzano adalah self yang berada di atas
jenjang sistem metakognitif (metacognitive system) dan metakognitif sistem
berada di atas 4 jenjang sistem kognitif (cognitive system). Meskipun
demikian, penerapan pengetahuan (knowledge utilization) yang merupakan
kemampuan kognitif level tertinggi dari Taksonomi Kendall dan Marzano,
digunakan sebagai kemampuan yang harus dicapai oleh setiap mata
pelajaran. Oleh karena itu, digunakan untuk Kompetensi Inti 4 (KI-4)dalam
desain Kurikulum 2013.
Perkembangan baru lain dalam dunia pendidikan adalah kemampuan belajar
untuk menghasilkan pembelajar mandiri (independent learner) sepanjang
hayat. Untuk itu, dikembangkan pengalaman belajar (learning experiences)
yang mencakup berbagai kompetensi belajar mandiri sepanjang hayat.
Pengalaman belajar ini terdiri atas kemampuan mengamati, menanya,
mengumpulkan informasi, mengolah informasi/konseptualisasi, dan
mengomunikasi. Kelimanya secara popular diistilah dengan 5 M dan secara
resmi disebut dengan istilah pendekatan saintifik. Nama saintifik
menunjukkan bahwa pendekatan ini, selain untuk mengembangkan
keterampilan belajar mandiri sepanjang hayat, juga dapat digunakan untuk
keterampilan melakukan kegiatan yang ilmiah untuk berbagai disiplin ilmu
(ilmu alamiah, ilmu-ilmu sosial, ilmu humaniora). Lebih lanjut, kelima
kemampuan tersebut mampu menjawab kemampuan yang dicanangkan
- 151 -
sebagai empat C kemampuan abad ke-21 atau pun Kemampuan personal dan
Sosialsebagai kemampuan abad ke-21 bangsa Indonesia.34
Perubahan lain dalam dunia pendidikan yang diterapkan dalam Kurikulum
2013 adalah teori tentang sikap. Sikap sebagai kompetensi dinyatakan dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 dan oleh karena itu, diperlukan
persyaratan kompetensi, yaitu kemampuan yang ditunjukkan dalam suatu
perbuatan (ability to perform). Teori sikap yang dinyatakan sebagai
predisposisi (kecederungan) sudah tidak memenuhi kepentingan pendidikan.
Predisposisi belum berbentuk perilaku dan belum mencapai tingkat
tertinggi pengembangan afektif Krathwohl, dan kawan-kawan yang
digunakan dalam dunia pendidikan Indonesia yaitu karakterisasi berupa
pembiasaan (habitual) yang tiada lain adalah perilaku. Pandangan Lickona
(2001) dan Ki Hajar Dewantara (1947) yang menyatakan bahwa
pengembangan nilai menjadi bagian dari karakter terdiri atas ngerti/moral
knowledge, ngerasa/moral feeling, dan ngelakoni/act. Pandangan yang saling
mendukung ini menyebabkan para pengembang Kurikulum 2013
memberikan makna sikap sebagai suatu perilaku yang ditunjukkan dalam
kegiatan peserta didik sehari-hari.
Komponen kurikulum yang tak kalah pentingnya adalah penilaian hasil
belajar. Posisi ini sedemikian penting sehingga secara empirik kualitas hasil
belajar peserta didik ditentukan atau diukur dari penilaian. Oleh karena itu,
kualitas pertanyaan, tugas, dan bentuk lain yang digunakan sebagai alat
untuk mendapatkan informasi dari peserta didik amat menentukan hasil
belajar yang diinginkan. Sejak tahun 1975, dunia pendidikan Indonesia telah
mengenal bentuk soal objektif dan yang paling banyak digunakan adalah
bentuk soal pilihan ganda. Bentuk Pilihan Ganda memiliki konstruksi yang
hanya menyediakan satu jawaban benar (key) dan jawaban itu disediakan
oleh pengembang butir soal. Siswa memilih mana jawaban benar tersebut
diantara beberapa jawaban pengecoh (distracters) yang juga disediakan oleh
pengembang butir soal.
Konstruksi soal yang demikian tentu saja hanya terkait dengan pengetahuan
fakta dan sesuatu yang sudah dibahas di kelas. Kemampuan untuk
menggunakan apa yang sudah diajarkan (knowledge utility) atau pun
34
Pikiran dasar kemampuan belajar mandiri sepnjang hayat tersebut berasal dari tulisan
Dyer, Gregersen, dan Christensen (2011) berjudul The Innovator’s DNA: Mastering the Five
Skills of Disruptive Innovators. Kelima keterampilan yang dimaksudkan dikembangkan dari
hasil penelitian mereka terhadap dunia business terdiri atas associating, questioning,
observing, networking, dan experimenting. Penyesuaian keterampilan tersebut untuk
pendidikan dan mengingat karakter dari berbagai mata pelajaran serta Tujuan Pendidikan
Nasional Indonesia maka dihasilkan Pendekatan Saintifik atau 5 M: observing sebagai
observasi, questioning sebagai menanya, experimenting sebagai mencari informasi,
associating sebagai mengolah informasi/menalar, dan networking sebagai mengomunikasi.
- 152 -
mengembangkan pendapat sendiri tidak mungkin teruji oleh bentuk soal
Pilihan Ganda. Kemampuan abad ke-21 seperti kreativitas, bekerja sama,
berkomunikasi yang menghendaki siswa mampu menyelesaikan masalah
atau situasi baru yang dihadapinya tidak dapat teruji dengan Pilihan Ganda.
Kemampuan berpikir kritis sampai jenjang memilah jawaban benar di antara
jawaban yang tersedia masih teruji jika bentuk soal meminta memilih
jawaban yang paling benar di antara pengecoh yang semuanya benar.
Tradisi lain dalam penilaian yang diubah adalah Penilaian Berdasarkan
Norma menjadi Penilaian Berdasarkan Kriteria. Dalam Penilaian
Berdasarkan Norma (norms-referenced assessment) di mana siswa dianggap
sebagai suatu kumpulan populasi dan terbagi atas kelompok tinggi/cerdas,
sedang, dan kurang. Upaya pendidikan tidak boleh mengubah komposisi
siswa dalam distribusi kurva normal tetapi hanya berupa peningkatan dalam
rata-rata pencapaian hasil belajar dan standar deviasi yang semakin kecil
(homogeneous). Setiap tahun siswa diranking berdasarkan kelas dan sekolah.
Siswa yang berprestasi tinggi (ranking teratas) diberi penghargaan yang
tinggi, diumumkan dalam setiap kesempatan terbuka, dan dinyatakan
sebagai siswa cerdas, walaupun hanya dalam aspek intelektual tradisional
(mathematico-logic intellectual). Secara prinsipiil, pendidikan dinyatakan tidak
bisa/boleh mengubah distribusi normal dan proses pendidikan dianggap
sebagai wilayah pertandingan. Pikiran baru mengenai penilaian
menempatkan siswa sebagai subjek dan penilaian bersifat membantu siswa
dalam belajar (assessment for learning) tidak semata penilaian dari apa yang
sudah dipelajari (assessment of learning). Siswa merupakan subjek yang
mengembangkan jawaban mereka sehingga tersedia jawaban benar dalam
jumlah yang banyak, mungkin sebanyak jumlah siswa di suatu kelas.
Kemampuan memahami dan menggunakan fakta, konsep, teori sangat
diunggulkan. Oleh karena itu, siswa dapat mengembangkan kemampuan
menggunakan pengetahuannya sampai pada tingkat tertinggi jenjang
kognitif yaitu mencipta.
Pendekatan Penilaian Berdasarkan Kriteria (criteria-referenced assessment)
merupakan alternatif yang digunakan Kurikulum 2013. Selain sesuai dengan
hakikat pendidikan kompetensi, siswa tidak lagi dianggap sebagai populasi
yang terdistribusi dalam kurva normal tetapi setiap individu adalah pribadi
yang melalui proses pendidikan berubah dalam banyak aspek intelegensi
(multiple intelligences), yaitu dalam beragama, kehidupan sosial, berpikir,
berkomunikasi, gerak/kinestetik, berbahasa, pengendalian diri, hidup sehat
dan pengembangan lingkungan.
Kurikulum 2013 menggunakan bentuk asesmen yang dikenal dengan nama
Penilaian Autentik (authentic assessment). Dalam Penilaian Autentik problem
yang digunakan bersifat autentik untuk dapat menguji kemampuan siswa
dalam berbagai aspek sebagaimana yang diinginkan Kurikulum 2013.
- 153 -
Kemampuan yang dikenal dengan istilah Kemampuan Kognitif Tinggi
(HOTS) dapat teruji dengan baik, demikian pula dengan kemampuan hidup
beragama, berinteraksi sosial, berkomunikasi, bergerak, berbahasa,
pengendalian diri, hidup sehat, pengembangan lingkungan. Instrumen yang
digunakan beragam dari observasi, penugasan, sampai kepada laporan diri
(self-report). Melalui penerapan penilaian autentik siswa memiliki
kesempatan untuk mengembangkan jawaban yang sepenuhnya berasal dari
hasil pemikiran dan kemampuan metakogitif dalam menyelesaikan suatu
masalah. Siswa tidak lagi dituntut untuk menentukan satu jawaban benar
yang ditentukan oleh guru,dan menutup kemungkinan jawaban alternatif
lain yang mungkin juga benar. Ketika soal satu jawaban benar tersebut,
sebagaimana yang dipersyaratkan oleh konstruksi soal Pilihan Ganda,
berkenaan dengan fakta siswa memang harus memiliki hanya satu jawaban
benar dan untuk menguji pengetahuan yang banyak dalam waktu singkat
maka bentuk Piligan Ganda sangat bermanfaat. Akan tetapi ketika hal
tersebut terkait dengan kemampuan memahami (C2), menenerapkan (C3),
menganalisis (C4), mengevaluasi (C5) apalagi mencipta (C6) maka yang
dimita pendidikan adalah kemampuan yang harus ditunjukkan oleh siswa
bukan kemampuan yang membuat soal. Menghadapi tantangan abad ke-21
dalam kemampuan yang dikenal sebagai 4 C (creative thinking, critical
thingking, collaboration, communication) Kurikulum 2013 menggunakan
Penilaian Autentik.
- 154 -
9 Tahun, masa prediksi kehidupan 7 – 10 tahun sudah tidak dapat
dipertahankan. Kurikulum harus mempersiapkan generasi muda untuk
kehidupan bangsa, masyarakat, dan indivisu untuk masa yang lebih panjang.
Prediksi untuk suatu kehidupan yang lebih panjang bukanlah sesuatu yang
mudah tetapi kemajuan ilmu, teknologi, dan dunia pendidikan telah
melahirkan berbagai prediksi yang lebih adekuat dan juga lebih jelas.
Prediksi mengenai struktur penduduk Indonesia di masa yang lebih panjang
yaitu 2045 memberikan informasi yang cukup jelas tentang kelompok usia
produktif yang lebih besar dari kelompok yang belum (0 – 15 tahun) dan
kelompok yang sudah tidak produktif (65 - …. tahun). Sementara itu,
berbagai kajian dalam dunia pendidikan telah menyimpulkan berbagai
keterampilan yang perlu dimiliki pada abad ke-21 seperti 4 C (creative,
critical thinking, collaboration, communication), kemampuan intrapersonal dan
interpersonal, berbagai sikap seperti jujur, patriotism, toleran, disiplin, dan
sebagainya.
Gambar 3 Proyeksi Komposisi Penduduk Indonesia 2045
- 155 -
akan menjadikan bonus demografi tersebut sebagai generasi emas Indonesia.
Jika gagal, sebaliknya yang akan terjadi dan bangsa Indonesia akan menjadi
negara penghutang yang besar untuk memberi kehidupan kepada
bangsanya. Usia produktif yang tidak bekerja, tidak produktif, merupakan
suatu musibah. Tentu saja pendidikan hanya mampu mengubah potensi
menjadi kompetensi dan dunia ekonomi yang harus mengembangkan
kesempatan kerja bagi mereka.
Persyaratan awal untuk menjadikan bonus demografi tersebut adalah
menyediakan kesempatan kepada setiap warga yang berusia 7- 15 tahun
untuk mendapatkan pendidikan, tidak boleh ada di antara mereka yang tidak
bersekolah. Suatu kenyataan, kebijakan kurikulum tidak terkait dengan
penyediaan akses penduduk usia sekolah terhadap sekolah tetapi harus
mampu mengembangkan proses pendidikan untuk memberi kesempatan
kepada setiap siswa mencapai tingkat minimal kompetensi yang diperlukan.
Kedua, kurikulum baru harus mampu mengembangkan kemampuan
universal yang diperlukan untuk abad ke 21 dan untuk hidup sebagai warga
negara Indonesia.
Kurikulum 2013 dirancang untuk mampu menjawab kebutuhan bangsa
dalam mempersiapkan warga negaranya sehingga bonus demografi tersebut
menjadi modal bangsa dalam membangun kehidupan bangsa yang sejahtera
di abad ke 21. Untuk itu, kualitas untuk tetap menjadi bangsa Indonesia dan
berkarakter Indonesia seperti kehidupan beragama yang baik dan berakhlak
mulia, cinta tanah air/patriotik, nasionalistik, demokratik, jujur, kerjakeras,
toleran, sabar, berilmu, percaya diri, inovatif, bertanggung jawab serta
menjadi teladan dalam kehidupan internasional. Selain itu, kemampuan
berkolaborasi, berkomunikasi, berpikir kritis, menyinta dan peduli terhadap
lingkungan alam, produktif, menghargai prestasi dan menyenangi
keindahan dan mencipta kehidupan yang aman. Karakter bangsa yang
berdasarkan kehidupan kebangsaan berdasarkan Pancasila, bineka tunggal
ika, dan kemajemukan budaya, sosial, suku bangsa, dan agama menjadi
karakter utama yang dikembangkan Kurikulum 2013.
Kualitas lain yang perlu dimiliki generasi emas bangsa Indonesia adalah
kemampuan berkontribusi untuk membangun kehidupan masyarakat,
bangsa dan umat manusia yang lebih baik, serta kemampuan
mengembangkan diri sepanjang hayat. Kedua kemampuan ini memberi
landasan bagi perkembangan dan keberlanjutan kemampuan yang telah
mereka terima di sekolah atau pun lembaga pendidikan lainnya.
Persentase penduduk usia produktif yang diproyeksikan bersifat akumulatif,
mulai dari masa yang paling dekat. Dalam prediksi tersebut masa itu dimulai
tahun 2010 tetapi Kurikulum 2013 baru mampu memulainya pada tahun
2013. Memang sedikit terlambat dan itu sudah merupakan suatu kenyataan
yang tak dapat diubah. Kurikulum 2013 harus mampu mengurangi dampak
- 156 -
negatif akibat keterlambatan tersebut dan seharusnya melalui proses
implementasi yang intensif dan ekstensif. Program implementasi perlu
dikembangkan dan dilakukan secara sistematis, terencana dan memberikan
kesempatan kepada ide, desain, dan struktur kurikulum segera menunjukkan
dampaknya dalam hasil belajar peserta didik.
- 157 -
intelektual peserta didik dan mengabaikan kemampuan berkonstribusi bagi
masyarakat. Pendidikan masih mengarahkan kepada warga negara yang
individualistis dan belum pada warga negara yang peduli pada kehidupan
masyarakat dan bangsa. Kenyataan tersebut yang menyebabkan Kurikulum
2013 merumuskan kepedulian terhadap kesejahteraan masyarakat dan
bangsa secara eksplisit sebagai kualitas tamatan yang ingin dikembangkan
melalui Kurikulum 2013.
Sebelumnya, pada masa Pemerintahan Orde Baru, TAP MPR mensyaratkan
kepedulian sosial sebagai kualitas manusia seutuhnya tetapi tidak dijadikan
rumusan tujuan dan fungsi pendidikan. Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2013 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengenai tujuan dan fungsi
pendidikan nasional secara tegas menyatakan “Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis dan bertanggungjawab” (Bab II Pasal 2).
- 158 -
Nilai-nilai yang sudah tersaring oleh Puskurbuk ketika mengembangkan
Pendidikan Karakter digunakan dan disesuaikan dengan pikiran dengan
pendidikan nilai, dijadikan nilai-nilai dalam Standar Kompetensi Lulusan
(SKL)35. Nilai-nilai tersebut adalah beriman, berakhlak mulia (jujur, disiplin,
tanggung jawab, peduli, santun), rasa ingin tahu, estetika, percaya diri, motivasi
internal, toleransi, gotong royong, kerja sama, musyawarah, pola hidup sehat,
ramah lingkungan,patriotic, dan cinta perdamaian. Nilai-nilai yang tercantum
dalam Standar Kompetensi Lulusan diramu dengan pengetahuan tentang
manusia, bangsa, negara, tanah air, dan dunia, dan keterampilan membaca,
menulis, menghitung, menggambar, mengarang, berpikir, menggunakan
pengetahuan, membuat atau mencipta. Keseluruhan kualitas yang dinyatakan
dalam SKL menjadi karakter warga negara Indonesia yang ingin
dikembangkan Kurikulum 2013.
Sesuai dengan model pendidikan berbasis standar yang dinyatakan dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Kurikulum 2013 dikembangkan berdasarkan standar yang
ditetapkan, yaitu Standar Kompetensi Lulusan (SKL), Standar Isi (SI),
Standar Proses (SP), dan Standar Penilaian (SPn). Sesuai dengan
kedudukannya, standar tersebut digunakan dalam mengembangkan ide
kurikulum, komponen kompetensi (Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar),
desain, proses pembelajaran, dan penilaian Kurikulum 2013.
35
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 63 Tahun 2013 Tentang Standar
Kompetensi Lulusan
- 159 -
dan proses pendidikan sebagai cultural transmission and cultural
development. Nilai-nilai ini adalah dasar dari nilai bangsa yang
menjadi nilai yang wajib dikembangkan oleh kurikulum.
b. Kurikulum dikembangkan berdasarkan filosofi eksperimentalisme
yang mengatakan bahwa proses pendidikan adalah upaya untuk
mendekatkan apa yang dipelajari di sekolah dengan apa yang
terjadi di masyarakat baik dalam bentuk menjadikan apa yang
terjadi di masyarakat sebagai sumber konten kurikulum maupun
mengembangkan potensi peserta didik sebagai agent of change
dalam berpartisipasi meningkatkan kualitas kehidupan
masyarakat. Manusia yang demokratis dalam sistem kehidupan
bernegara, politik dan sosial adalah tujuan pendidikan yang
harus menjadi kepedulian kurikulum.
c. Filosofi yang dikenal dengan nama rekonstruksi sosial
memberikan dasar bagi pengembangan kurikulum untuk
menempatkan peserta didik sebagai subjek yang peduli pada
lingkungan sosial, alam, dan lingkungan budaya. Kurikulum
dikembangkan berdasarkan filosofi bahwa pendidikan bertujuan
untuk mengembangkan potensi intelektual, berpikir rasional,
dan kemampuan membangun masyarakat demokratis peserta
didik menjadi suatu kemampuan yang dapat digunakan untuk
mengembangkan kehidupan masyarakat yang lebih baik. Sekolah
tidak boleh terpisah dari kehidupan masyarakat dan kompetensi
peserta didik harus pula berkaaitan dengan kepentingan
masyarakat. Berdasarkan filosofi ini juga sekolah sebagai
lembaga pendidikan tidak dapat dilepaskan dari kehidupan
masyarakat di sekitarnya.
Bersinergi dengan kedua filosofi di atas maka kurikulum harus
memberi kesempatan kepada peserta didik mengenal
lingkungannya, mempedulikan lingkungannya, menjadikan
lingkungan sebagai sumber dan fokus kajian dari pengetahuan,
sikap, dan keterampilan yang telah dipelajari di sekolah. Melalui
kajian tersebut peserta didik dapat mengembangkan kompetensi
berpikir, bersikap, dan berkarya. Kemampuan 4 C (creative,
critical thinking, collaboration, communication) dapat dikembangkan
melalui proses pembelajaran yang menjadikan lingkungan di
sekitarnya sebagai sumber dan fokus kajian.
d. Filsofi esensialisme (essentialism) dan perenialisme (perennialism)
yang menempatkan kemampuan intelektual dan berpikir rasional
sebagai aspek penting yang harus menjadi kepedulian kurikulum
untuk dikembangkan. Manusia cerdas dan intelektual adalah
- 160 -
manusia yang terdidik dan sekolah harus menjadi centre for
excellence, di mana kurikulum memiliki tugas mengembangkan
potensi manusia dalam aspek intelektual dan rasional semata.
Filsafat esensialisme dan perenialisme merupakan filsafat yang
banyak digunakan dalam mengembangkan kurikulum di
berbagai negara di berbagai belahan dunia dan penerapannya
secara ekslusif akan menghasilkan manusia cerdas secara
akademik tetapi kurang memiliki kepedulian sosial dan terhadap
kesejahteraan masyarakat. Dua filosofi ini, yakni progresifisme
(progressivism) (Brameld, 1965) yang mempersyaratkan agar
kurikulum dapat mengembangkan bakat, minat, dan kemampuan
, dalam makna kemampuan atau potensi intelektual jamak
manusia atau multiple intelligence (Gardner:2002), sesuai dengan
usia dan lingkungannya. harus digunakan bersama-sama filosofi
lain yang diungkapkan di atas agar kurikulum dapat
mengembangkan potensi intelektual jamak manusia.
e. Kurikulum dikembangkan berdasarkan filosofi eksistensialisme
(existentialism) dan romantik naturalisme (romantic naturalism)
bahwa proses pendidikan adalah untuk mengembangkan rasa
kemanusiaan yang tinggi, kemampuan berinteraksi dengan
sesama dalam mengangkat harkat kemanusiaan, dan kebebasan
berinisiatif serta berkreasi. Pandangan filsafat ini memberikan
arahan bahwa setiap individu peserta didik adalah unik, memiliki
kebutuhan belajar yang unik, serta perlu mendapatkan perhatian
secara individual. Mereka adalah subjek dalam pendidikan yang
memiliki kebebasan untuk menentukan kehidupan mereka.
Kehidupan abad ke 21 menghendaki pengembangan kompetensi
yang tidak hanya pada kemampuan berpikir tetapi juga kualitas
kemanusiaan lainnya yang tercermin dalam perilaku keseharian
seperti jujur, kerja keras, patriotik, nasionalistis, toleran,
menghargai prestasi dan memiliki rasa ingin tahu yang kuat.
f. Kurikulum dikembangkan dengan model kurikulum berbasis
kompetensi (UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional). Sebagai suatu kurikulum yang berbasis kompetensi
maka Kurikulum 2013 mengartikan kompetensi sebagai berikut.
Competency is knowledge, skills, and abilities that a person can learn
and develop, which become parts of his or her being to the extent he or
she can satisfactorily perform particular cognitive, affective, and
psychomotor behavior (MaAsham, 1981). Pengertian ini diperkuat
dengan pengertian yang menyatakan competencies as the ability of
a student/worker enabling him to accomplish tasks adequately, to find
solutions and to realize them in work situations. Lebih lanjut these
- 161 -
qualifications should be expressed in terms of knowledge, skills, and
attitude".
Kurikulum Berbasis Kompetensi Terintegrasi (KBTI) atau
integrated competency-based curriculum digunakan sebagai model
kurikulum berdasarkan prinsip bahwa suatu kompetensi tidak
dapat dikembangkan oleh suatu mata pelajaran atau pun dalam
suatu pertemuan pembelajaran. Suatu kompetensi harus
dikembangkan dengan penguatan horizontal (antarmata
pelajaran) dan peningkatan vertikal (melalui jenjang-jenjang
kemampuan yang dinyatakan dalam Standar Isi). Model
kompetensi kurikulum melepaskan keterbatasan pengertian
konten kurikulum hanya pada pengetahuan (fakta, konsep, teori,
prosedur) yang sejak lama mentradisi dalam dunia pendidikan.
Model kompetensi kurikulum memperluas pengertian konten
kurikulum meliputi keterampilan dan sikap, dan menjadi materi
pembelajaran (apa yang dipelajari peserta didik) dengan ketiga
aspek konten tadi.
2. Desain Kurikulum 2013
Sejalan dengan sistem kurikulum berbasis karakter, berbasis standar, model
kurikulum berbasis kompetensi, dan Ide Kurikulum maka Kurikulum 2013
mengembangkan desain kurikulum yang relatif baru bagi dunia pendidikan
Indonesia, yaitu desain integratif berbasis karakter. Sebagaimana karakter
diartikan dan diterjemahkan di SKL dalam bentuk sikap, keterampilan dan
pengetahuan maka desain Kurikulum 2013 menggunakan ketiga dasar bagi
pendidikan karakter tersebut sebagai Kompetensi Inti (KI), yaitu unsur
pengikat komponen Kompetensi Dasar (KD) mata pelajaran, penentu
rambu-rambu proses pembelajaran, dan patokan penilaian hasil belajar.
Fungsi KI menjadikan Kurikulum 2013 sebagai kurikulum dengan desain
khusus Indonesia.
Kompetensi Inti terdiri atas Kompetensi Inti 1 (KI-1), yaitu Sikap Religius,
Kompetensi Inti 2 (KI-2), yaitu Sikap Sosial/Intra dan Pribadi/Inter),
Kompetensi Inti 3 (KI-3), yaitu Pengetahuan dan Kompetensi 4 (KI-4)
Penerapan atau Penggunaan Pengetahuan. Semua mata pelajaran berfungsi
untuk mengembangkan sikap religius, sikap sosial, pengetahuan dan
penerapan pengetahuan. KI-1 yaitu Sikap Religius memiliki KD-1 untuk
mata pelajaran agama tetapi tidak mata pelajaran lain. KD-1 untuk Sikap
Religius pada mata pelajaran Agama dan Budi Pekerti dikembangkan dalam
pembelajaran langsung sebagai pengetahuan dan penerapannya dalam
kehidupan keseharian. Bagi mata pelajaran lain, KI-1, yaitu Sikap religius
tidak memiliki KD-1, tetapi perilaku beragama menjadi kepedulian setiap
mata pelajaran, dikembangan melalui contoh dan keteladanan guru. Dalam
istilah yang digunakan di Kurikulum 2013, pengetahuan diajarkan secara
- 162 -
langsung (pembelajaran langsung = direct teaching) sedangkan perilaku
dikembangkan melalui pembelajaran tidak langsung (indirect teaching).
Kompetensi Inti 2, yaitu Sikap Sosial dan Pribadi memiliki KD-2 untuk mata
pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarga negaraan (PPKn) dan menjadi
KD-3, yaitu Pengetahuan bagi mata PPKN. Sedangkan untuk perilaku
Sosial dan pribadi dari KI-2 dan KD-2 dikembangkan melalui setiap langkah
pembelajaran setiap mata pelajaran dalam bentuk pembelajaran tidak
langsung. Dengan desain tersebut setiap mata pelajaran bertanggung jawab
dalam pengembangan Sikap Religius, Sikap Sosial dan Pribadi dan dengan
kedudukan KI sebagai pengikat, pengarah pembelajaran, penentu patokan
penilaian maka setiap guru harus mengembangkan KI-1 dan KI-2 dalam
rancangan pembelajaran dan penilaian mata pelajaran yang mereka bina.
Tabel 9.1. Desain Kurikulum 2013: Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar
Kompetensi Inti Kompetensi Dasar
Kompetensi Inti 1 Sikap Religius (KI-1) Kompetensi Dasar 1 (KD-1)
Kompetensi Inti 2 Sikap Sosial dan Pribadi (KI- Komptensi Dasar 2 (KD-2)
2)
Kompetensi Inti 3 Pengetahuan (KI-3) Kompetensi Dasar 3 (KD-3)
Kompetensi Inti 4 Penerapan (KI-4) Kompetensi Dasar 4 (KD-4)
Selanjutnya, dalam desain tersebut ditentukan bahwa KD-3 dan KD-4 selalu
berkaitan. KD-4 merupakan penerapan dari KD-3 dalam bentuk penerapan
pengetahuan yang dipelajari di KD-3. Implikasinya nomor identitas KD-3
dan KD selalu sama, misalnya KD-3.1 penerapannya adalah KD-4.1, KD-3.2
penerapannya KD-4.2, demikian seterusnya.
Adanya KI dan KD 4 adalah untuk menghapus verbalisme yang sudah
berakar dalam pendidikan di Indonesia di mana siswa hafal berbagai fakta,
konsep, teori, prinsip, dan prosedur tetapi mereka tidak mampu
menggunakannya. Adanya KI dan KD 4 sebagai penerapan dari KI dan KD
3 menyebabkan peserta didik memiliki kesempatan untuk mengerjakan apa
yang sudah mereka pelajari (saya hafal saya tahu, saya lakukan saya paham).
Posisi lain dari KI dan KD 4 adalah memberi peluang bagi peserta didik
untuk mengenal lingkungan sosial, budaya, fisik sekitarnya. Penerapan
pengetahuan dalam mengkaji lingkungan sekitarnya merupakan suatu
pengalaman belajar yang sangat bermakna karena ilmu bukan sesuatu yang
ada dalam dunia abstrak saja tetapi memiliki kenyataan empirik yang ada di
kehidupan sehari-hari. Pengalaman belajar yang berkaitan dengan
lingkungan sekitarnya merupakan aplikasi dari prinsip belajar kontekstual
di mana peserta didik belajar dari lingkungan terdekatnya.
- 163 -
Peran lain yang tak kalah pentingnya dari KI dan KD 4 merupakan
penerapan diversifikasi kurikulum yaitu perbedaan antarsatu wilayah
dengan wilayah lain dalam sumber dan materi pembelajaran. Peserta didik
yang tinggal di daerah pertanian, industri, pantai, kota, pegunungan
masing-masing memiliki sumber dan materi pelajaran berbeda untuk
mempelajari konsep yang sama. Dengan desain ini, Kurikulum 2013
memiliki kemampuan mengembangkan diversifikasi kurikulum yang sangat
besar, selain yang dikembangkan melalui KD dan mata pelajaran muatan
lokal.
Selain yang disebutkan di atas, materi pembelajaran yang dikembangkan
melalui KI dan KD 4 bersama-sama KI dan KD 3 memberi kesempatan
untuk menyerap perkembangan baru dalam dunia ilmu, sosial, budaya,
ekonomi, seni dan teknologi. KD 3 untuk KI 3 memang bersifat perennial
dan umum tetapi materi pembelajaran untuk kedua KD tersebut selalu
berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat dalam
aspek ilmu dan teknologi serta pemanfaatannya, sosial, budaya, ekonomi,
dan komunikasi.
- 164 -
1. Seni Budaya (termasuk muatan lokal) 3 3 3
2. Pendidikan Jasmani, Olah Raga, dan 3 3 3
Kesehatan
(termasuk muatan lokal)
3. Prakarya (termasuk muatan lokal) 2 2 2
Jumlah Alokasi Waktu Per Minggu 38 38 38
- 165 -
BAB X
PENUTUP
- 166 -
Kebijakan muatan lokal ini pada mulanya terfokus pada bahasa daerah.
Kebutuhan lain untuk menyelamatkan budaya, permainan, seni, dan
kerajinan lokal menyebabkan kebijakan muatan lokal tidak lagi terbatas
pada bahasa daerah. Untuk daerah-daerah tertentu kehadiran bahasa daerah
sangat menonjol sedangkan di daerah-daerah lain kedudukan bahasa daerah
sebagai muatan lokal tidak menonjol.
Perkembangan ilmu pada mulanya merupakan landasan utama
pengembangan kurikulum. Pengaruh pandangan filosofi esensialisme dan
perenialisme yang menekankan pada pengembangan intelektual dan
kemampuan berpikir rasional sebagai ciri manusia terpelajar menjadi tujuan
pendidikan yang utama. Walaupun harus diakui bahwa pada masa
penjajahan Hindia Belanda dan masa pendudukan militer Jepang
kepentingan akan tenaga terdidik didasarkan pada tenaga kerja yang
menguasai kemampuan dasar baca, tulis, hitung, dan kemudian baru pada
kemampuan berpikir intelektual yang tinggi.
Sejalan dengan perkembangan pendidikan dan terutama sejak Indonesia
merdeka para pemikir pendidikan seperti Ki Hajar Dewantara telah
memberikan kepedulian lebih luas dari kemampuan berpikir intelektual
filsafat esensialisme dan perenialisme. Kualitas manusia yang harus
dikembangkan meliputi berbagai dimensi kemanusiaan seperti sikap, agama,
dan juga padat dengan nilai-nilai budaya. Manusia paripurna menjadi istilah
yang menonjol pada masa pemerintahan Orde Baru.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, Indonesia
mengenal model pendidikan yang berdasarkan standar dan kurikulum
ditetapkan dikembangkan berdasarkan model kurikulum berbasis
kompetensi. Dengan model pendidikan berdasarkan standar (standard-based
education), Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 menetapkan ada delapan
standar yaitu Standar Kompetensi Lulusan (SKL), Standar Isi (SI), Standar
Proses (SP), Standar Penilaian (SPn), Standar Tenaga Pendidikan, Standar
Pembiayaan, Standar Sarana dan Prasarana, dan Standar Pengelolaan.
Empat standar pertama adalah dijadikan dasar untuk pengembangan
kurikulum sebagai rencana/dokumen sedangkan empat standar berikutnya
untuk mengembangkan proses implementasi kurikulum.
Perkembangan kurikulum untuk SMP mengalami tiga masa otoritas
pengembangan kurikulum. Sebelum tahun 1975, kurikulum SMP
dikembangkan oleh Direktorat SMP. Sejak tahun 1975 kurikulum SMP
dikembangkan oleh Pusat Kurikulum, Badan Penelitian dan Pengembangan
Pendidikan dan Kebudayaan. Sejak 2003 kurikulum SMP dikembangkan
oleh BSNP yang menghasilkan Peraturan Menteri Nomor 20 Tahun 2006
tentang Standar Isi yang isinya adalah kurikulum, dan Peraturan Menteri
Nomor 21 Tahun 2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan. Pada tahun
2012 pengembangan kurikulum dilakukan langsung di bawah koordinasi
- 167 -
kementerian dengan Pusat Kurikulum dan Perbukuan sebagai unsur utama,
menghasilkan Kurikulum 2013.
Lembaga pendidikan yang sekarang dikenal dengan nama SMP lahir
sebagai MULO pada masa Hindia Belanda sebagai hasil perjuangan para
kaum terdidik tamatan HIS. Lembaga ini pada masa pemerintahan Militer
Jepang berubah namanya menjadi Shoto Chu Gakko. Pada masa kemerdekaan
dikenal adanya Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan SMP. Nama
SMP memiliki kepanjangan yang berbeda, yaitu Sekolah Menengah Umum
Tingkat Pertama dan kemudian menjadi Sekolah Menengah Pertama.
- 168 -
DAFTAR BACAAN
Andersen,L.W. dkk (2001)(eds). A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: A Revision
of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives. Abridges Edition. New York: Longman
Apple, M.W. (1979). Ideology and Curriculum. London: Routledge and Kegan Paul.
Bradjanegara, S. (1956). Sedjarah Pendidikan Indonesia. Yogyakarta
Benjamin, H. (1939). The Saber-tooth Curriculum, dalam The Curriculum: Context, Design &
Development.(1971)( Editor Richard Hooper). Bungay, Suffolk: The Open University
Depdikbud (1965). 20 tahun Indonesia Merdeka. VIII. Jakarta
Depdikbud (1976). Pendidikan Indonesia 1900 – 1970. Jakarta: Balitbang
Depdikbud (1983). Hasil Rapat Kerja Nasional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1983.
Jakarta: Depdiknas
Depdikbud (1989). Statistik Pendidikan Menengah Umum: Sekolah, Murid, Guru dan Pembina
SMP dan SMA seluruh Indonesia. Jakarta: Ditjen Dikdasmen
Depdikbud (1996). Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Dinas Sejarah TNI – AD (1976). Sumbangan TNI Angkatan Darat Dalam Pemantapan Orde
Baru. Bandung: Angkasa Offset
Djumhur, I dan Danasaputra (1976). Sedjarah Pendidikan. Bandung: CV Ilmu Bandung
Garret, M.D. (2014). Complexity of Our Brain. Posting Feb 25, 2014. Available at
www.psychologytoday.com/basics/neuscience200
Gay, G. (2000). Culturally Responsive Teaching: Theory, Research, and Practice. New York and
London: Teachers College, Columbia University
Giroux, H.A. (1981). Ideology, Culture, and the Process of Schooling. Philadelphia: Temple
University Press
Gunawan, A.H. (1986). Kebijakan-Kebijakan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Bina Aksara
Hasan, S.H. (2009). The Use of Project-Based Learning in the Implementation of the Senior
Secondary Social Studies Curriculum. Makalah dipresentasi pada Seminar International
tentang Social Studies Education, PPS-UPI, Bandung, January 15, 2009
Henderson, J.G. dan Kesson, K.R. (2004). Curriculum Wisdom: Educational Decisions in
Democratic Society. New Jersey: Prentice-Hall
Henderson, J.G. dan Gornik, R. (2007). Transformative Curriculum Leadership. Third edition.
Columbus, Ohio: Pearson Prentice-Hall.
- 169 -
Jorgensen, C. G. (2014).Social Studies Curriculum Migration: Confronting Challenges in
the 21th Century, dalam Ross, E.W. (ed)(2014). The Social Studies Curriculum: Purposes,
Problems, and Possibilities, 4th edition. New York: State University of New York
Kartodirjo, S. dkk. (1977). Sejarah Nasional Indonesia. VI. Jakarta: Balai Pustaka
Ki Hadjar Dewantara (1977). Karya Ki Hadjar Dewantara. Bagian Pertama: Pendidikan.
Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa
Kliebard, H.M. (1965). Structure of the Disciplines as an Educational Slogan, dalam
Readings in Curriculum. (Second edition).(editor Glen Hass, Kimball Wiles, dan Joseph
Bondi)
Klein, M.F. (1989). Curriculum Reform in the Elementary School: Creating Your Own Agenda.
New York and London: Teachers College, Columbia University.
Lickona, T. (1992). Educating for Character: How Our School can Teach Respect and
Responsibility. Bantam Book
Longstreet,W.S. dan Shane, H.G. (1993). Curriculum for a New Millennium. Needham Heights.
MA: Allyn & Bacon.
Mestoko, S. (1979). Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke Jaman. Jakarta: Depdikbud
Nasution, S. (2008). Sejarah Pendidikan Indonesia. Bandung: Jenmars
NIER (1999): An International Comparative Study of School Curriculum. Tokyo: NIER
O’Donnell, S. dkk. (2002) (Eighth ed.). International Review of Curriculum and Assessment
Frameworks: Comparative tables and factual summaries – 2002. London: National Foundation
for Educational Research
Poerbakawatja, S. (1970). Pendidikan Dalam Alam Terbuka. Jakarta: Gunung Agung
Poeze, H.A. (1982). Politiek-Politioneele Overzichten van Nederlandsch-Indie. Deel I 1927 –
1928. The Hague: Martinus Nijhoff
Post, T.R. dkk. (1997). Interdisciplinary Approaches to Curriculum: Themes for Teaching.
Columbus, Ohio: Prentice Hall, Inc.
Said, M. (1981). Pendidikan Abad Ke Duapuluh dengan Latar Belakang Kebudayaannya.
Jakarta: Mutiara
Said, M. dan Dahlan Mansyur (1953). Pendidikan dari Zaman ke Zaman. Jakarta: Pustaka
Rakyat
Santoso, Slamet Imam (1987). Pendidikan di Indonesia dari Masa ke Masa. Jakarta: CV Haji
Masagung
Saylor, J.G. dan Alexander, W.M. (1974). Planning Curriculum for Schools. New York: Holt,
Rinehart, and Winston, Inc
Sekertariat Negara (1984). 30 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta: PT Tira Indonesia
Simandjuntak, I.P. (1972). Perkembangan Pendidikan di Indonesia. Banddung: Angkasa
Sjamsuddin, H., Kosoh Sastradinata, Said Hamid Hasan (1993). Sejarah Pendidikan di
Indonesia: Zaman Kemerdekaan (1945-1966). Jakarta: Manggala Bhakti
- 170 -
Smith, B.O., Stanley,W.O. dan Shores, J.H. (1957). Cultural Roots o the Currciulum, dalam
The Curriculum: Context, Design & Development.(1971)( Editor Richard Hooper). Bungay,
Suffolk: The Open University
Soedarsono, S. (2002).Character Building: Membentuk Karakter. Jakarta: PT Gramedia
Soemanto, W. (1983). Landasan Historis Pendidikan Indonesia. Surabaya: Usaha Nasional
Taba, H. (1962). The Development of Curriculum: Theory into Practice. New York: Hardcourt
Brace and World
Tanner, D dan Tanner, L.N (1980). Curriculum Development: Theory into Practice. New York:
Macmillan Publishing Co.,Inc.
Tilaar, H.A.R (2012). Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik
Transformatif untuk Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta
Unruh, G.G. dan Unruh, A. (1984). Curriculum Development: Problems, Processes, and Progress.
Berkeley, California: McCutchan Publishing Corporation.
Yamin, Muhd (1954). Dasar Pendidikan dan Pengadjaran.
Yunus, M. (1992). Sejarah Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Mutiara Sumber Widya
Waring, M. (1979). Social Pressures and Curriculum Innovation: A Study of the Nuffield
Foundation Science Teaching Project. London: Methuen
- 171 -
DAFTAR DOKUMEN
- 172 -