Tim Penulis:
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2018
1
KATA PENGANTAR
Sejarah dan perkembangan pendidikan yang dimaksud dalam buku ini membahas
perkembangan pendidikan yang dibagi dalam delapan periodisasi yaitu Pendidikan Masa
Hindu-Budha, Pendidikan Masa Islam, Pendidikan Masa Pemerintah kolonial Belanda,
Pendidikan Masa Pendudukan Jepang (1942-1945), Pendidikan Masa Awal Kemerdekaan,
Pendidikan Masa Orde Lama (1959-1966), Pendidikan Masa Orde Baru (1966-1998) dan
Pendidikan Masa Reformasi (1988-saat ini). Guna melengkapi buku ini sebagai “pencerahan”
tentang dunia pendidikan di Sumatera Selatan, maka ditambahkan pula Sejarah dan
Perkembangan Pendidikan di daerah ini, mulai dari masa Sriwijaya hingga memasuki awal
Orde Baru (ORBA).
Semoga buku Sejarah dan Perkembangan Pendidikan ini bermanfaat bagi untuk dunia
Pendidikan, khususnya di FKIP Universitas Sriwijaya. Buku ini masih jauh dari sempurna,
keterbatasan waktu dan sumber menjadi kendala utama dalam penulisan buku ini. Untuk itu
kami berharap buku ini dapat disempurnakan secara bertahap. Dalam upaya tersebut, kami
sangat mengharapkan masukan, kritikan dari semua pihak demi kesempurnaan buku ini
dimasa yang akan dating, terima kasih
Tim Penulis,
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..................................................................................................................... 2
Daftar Isi................................................................................................................................ 3
Pendahuluan............................................................................................................................ 4-5
3
PENDAHULUAN
Secara umum pendidikan adalah upaya menggali, dan mengembangkan potensi yang
dimiliki oleh setiap insan. Potensi itu dapat berupa kemampuan berbahasa, berfikir,
mengingat, menciptakan, dan sebagainya. Pendidikan juga dianggap sebagai suatu proses
pewarisan pola fikir, dan tata cara hidup, atau nilai-nilai dari suatu generasi ke generasi
berikutnya agar identitas dan keberadaan masyarakat tersebut terpelihara sepanjang
masa.Pendidikan juga merupakan suatu proses berkesinambungan sejak manusia itu ada,
berkembang secara dinamis sesuai jiwa zaman (zeitgist). Pendidikan mengikuti pola
kehidupan masyarakat, dan sistem kebudayaan yang melatarbelakanginya. Sehingga
peralihan pergantian kekuasaan mempengaruhi perubahan substandi dalam pendidikan.
Begitu pula dengan pendidikan sejarah yang merupakan bagian dari pendidikan itu sendiri.
Pendidikan sejarah berguna bagi manusia agar mampu belajar dari pengalaman, dari masa
lalu, yang membentuk kebijakan, dan kearifan pada masa kini. Melalui sejarah pendidikan,
manusia memperoleh manfaat bagaimana memaknai pendidikan di masa kini sebagai proses
akumulasi pendidikan di masa lalu, dan mengambil keputusan dalam upaya menentukan
kebijakan pendidikan yang lebih baik di masa kini, dan bagi kebaikan di masa depan. Sejarah
telah membuktikan, bahwa pendidikan telah teruji mampu membawa dunia dari kegelapan
dan kesempitan menjadi dunia yang benderang dan lapang, global dan universal (Wiyanarti,
tanpa tahun: 1-2).
Sesuai dengan kondisi dunia pendidikan saat ini, dan manfaat dari belajar tentang
sejarah pendidikan dan perkembangannya, maka berdasarkan KKNI maka pemerintah
menetapkan mata kuliah baru yaitu “Sejarah dan Perkembangan Pendidikan” untuk diajarkan
di LPTK, dan merupakan bagian dari Mata Kuliah Dasar Kependidikan (MKDK) bersama-
sama dengan mata kuliah Psikologi, Pengelolaan Pendidikan, Penelitian dan Etika Profesi,
serta mata kuliah pengganti P4. Atas dasar itu maka FKIP Universitas Sriwijaya menetapkan
mata kuliah tersebut. Dalam kaitannya dengan mata kuliah Sejarah dan Perkembangan
pendidikan, maka perlu dibuat Bahan Ajar sebagai pedoman dan sumber belajar dalam
melaksanakan pengajaran di kelas. Bahan ajar Sejarah dan Perkembangan Pendidikan
meliputi sejarah dan perkembangan pendidikan di Indonesia mulai dari masa Hindu-Budha,
pendidikan masa Islam, pendidikan masa Kolonial Belanda-Jepang, pendidikan pada awal
kemerdekaan (1945-1950; 1950-1959), pendidikan masa Orde Lama (1959-1966),
pendidikan masa Orde Baru (1966-1998) dan pendidikan masa Reformasi, serta Sejarah
Pendidikan di Sumatera Selatan.
4
Pendidikan pada masa Hindu-Budha dipengaruhi oleh agama Hindu dan agama
Buddha yang berkembang di Indonesia. Pendidikannya bersifat non formal atau disebut
“gurukula” yaitu murid mendatangi rumah guru untuk menuntut ilmu. Adapun pad a masa
perkembangan Islam, pendidikan pada awalnya adalah mengenal rukun-rukun Islam, dan
berlanjut pada ilmu-ilmu lain yang berkaitan dengan itu. Pendidikan pada masa kolonial
bertujuan untuk mendapatkan tenaga kerja yang mampu baca, tulis dan hitung untuk
dipekerjakan di instansi pemerintah, perkebunan dan lainnya. Pada masa pendudukan Jepang,
maka yang mengemuka adalah pendidikan militer sesuai dengan kondisi perang saat itu.
Dengan demikian, maka pendidikan pra-kemerdekaan bertujuan untuk mendukung dan
memperkuat kepentingan kekuasaan penjajah, dan menjadikan pribumi sebagai abdi penjajah.
Untuk itu, maka mereka membentuk lembaga- lembaga pendidikan yang hanya
diperuntukkan bagi kalangan terbatas, yaitu anak-anak golongan ningrat yang selanjutnya
diproyeksikan sebagai pegawai rendahan.
5
BAB 1
PENDIDIKAN MASA HINDU-BUDHA
Dalam bab ini akan dipelajari mengenai sejarah pendidikan masa Hindu-Budha di
Indonesia. Adapun capaian pembelajaran pada pertemuan ini adalah:
1) Mahasiswa mampu mendeskripsikan hakikat sejarah pendidikan
2) Mahasiswa mampu menguraikan peranan sejarah pendidikan dalam memahami
perkembangan masyarakat
3) Mahasiswa mampu menguraikan sistem Guru-Kula
4) Mahasiswa mampu menganalisis pengajaran yang bersifat Istana Sentris
5) Mahasiswa mampu menganalisis lembaga dan sumber pembelajaran pada masa Hindu-
Budha
6
menjauhkan diri dari keramaian dunia, semata-mata untuk mendekatkan diri kepada dewa
tertinggi. Karsyan dibagi menjadi dua bentuk, pertama, “Papatan” adalah tempat orang yang
ingin menyendiri untuk sementara waktu, dan memohon petunjuk agar keinginannya tercapai.
Kedua, “Mandala” adalah tempat suci yang menjadi pusat semua kegiatan, khususnya
keagamaan bagi para bikshu.
Pada zaman Buddha pendidikan berkembang pada kerajaan Sriwijaya yang berpusat
di Palembang. Di Sriwijaya sudah terdapat perguruan tinggi agama Buddha, dengan
muridnya berasal dari mancanegara, antara lain dari Indochina, Jepang dan Tiongkok.
Mahagurunya yang terkenal bernama Syakyakirti. Semua itu menunjukkan bahwa pendidikan
agama Budha berkembang di kerajaan Sriwijaya (Raisyidin, 2007:34).
Tujuan pendidikan pada zaman Hindu-Budha identik dengan tujuan hidup yaitu
manusia hidup untuk mencapai moksa bagi agama Hindu, dan manusia mencapai nirwana
bagi agama Buddha. Dalam agama Hindu tujuan pendidikan berbeda antara satu kasta dengan
kasta lainnya, contoh: bagi kasta Brahmana, pendidikan bertujuan untuk menguasai kitab suci
Weda sebagai sumber kebenaran dan pengetahuan yang universal. Kasta Ksatria (golongan
raja dan bangsawan), pendidikan bertujuan untuk memiliki pengetahuan teoritis yang
berkaitan tentang pengaturan pemerintahan. Kasta Waisya dan Sudra, tujuan
pendidikannyaadalah agar penduduk/rakyat memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk
hidup, sesuai dengan pekerjaannya masing-masing secara turun temurun (bercocok tanam,
7
pelayaran, perdagangan, seni pahat dan sebagainya). Bagi pemeluk agama Buddha tujuan
pendidikannya adalah agar rakyat atau para pemeluknya berpegang teguh pada ajaran kitab
Tripitaka.
1. Pendidikan Intelektual, pendidikan jenis ini dikhususkan untuk menguasai kitab-kitab suci.
Kitab Weda dipelajari oleh kaum Brahmana, sedangkan penganut Buddha mempelajari kitab
Tripitaka. Pendidikan intelektual juga berkaitan dengan penguasaan doa dan mantera, yang
berkaitan dengan penguasaan alam semesta, pengabdian kepada Syiwa dan Buddha
Gautama.
8
Awal abad 19, pemerintah Hindia Belanda di Indonesia secara terang-terangan
menyatakan bahwa tanah jajahan harus memberikan keuntungan yang sebesar-besarnya
kepada perdagangan, dan kekayaan negeri Belanda. Pada tahun 1842 Markus, menteri
jajahan, memberikan perintah agar setiap Gubernur Jendral berusaha dengan segenap tenaga
agar memperbesar keuntungan bagi negerinya. Walaupun setiap Gubernur Jendaral pada
penobatannya berjanji dengan hikmat bahwa ia akan memajukan kesejahteraan Hindia
Belanda dengan segenap usuha. Prinsip ini masih dipertahankan pada tahun 1854 dengan
pernyataan bahwa Hindia Belanda(Belanda di Indonesia) sebagai negeri yang direbut harus
terus memberi keuntungan kepada negeri induk yaitunegara Belanda di Eropa. Ini pula yang
menjadi tujuan pendidikan pada waktu itu.
Sekolah pertama bagi anak Belanda dibuka di Jakarta pada tahun 1817. Selanjutnya
diikuti pembukaan sekolah-sekolahlainnya di kota lain pulau Jawa. Dalam statuta tahun 1818,
disebutkan bahwa sekolah-sekolah harus dibuka ditiap tempat bila diperlukan oleh penduduk
Belanda dan diizinkan oleh keadaan. Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Van der
Capellen (1819-1823), ia menganjurkan adanya pendidikan rakyat. Tahun 1820
diinstruksikan agar para regen menyediakan sekolah bagi penduduk untuk mengajar anak-
anak membaca, dan menulis, serta mengenal budi pekerti yang baik. Namun, anjuran ini tidak
berhasil untuk mengembangkan pendidikan pada waktu itu.
18
mengembangkan pendidikan bagi putera-puteri bumiputra. Semua itu merupakan buah dari
perdebatan pajang mereka diparlemen Belanda, yang mencerminkan sikap golongan liberal
lebih menguntungkan rakyat Indonesia. Penyalahgunaan sistem Tanam Paksa yang
menyebabkan kesengsaraan yang luar biasa bagi rakyat Indonesia, menjadi penyebab
perubahan pandangan di atas. Peraturan pemerintah tahun 1854 mengimtruksikan Gubernur
Jendral untuk mendirikan sekolah bagi pendidikan anak pribumi di setiap kabupaten.
Sembuilan tahun kemudian, peraturan baru yang mewajibkan Gubernur Jendral untuk
mengusahakan terciptanya situasi yang memungkinkan penduduk bumiputera mengenyam
pendidikan.
Sistem Tanam Paksa dihapuskan tahun 1870, diganti Undang-Undang Agraria tahun
1870, yang memberi peluang kebebasan berusaha bagi pengusaha-pengusaha partikelir.
Kebijakan itu membawa makin berkembangnya perekonomian pihak kolonial, sehingga
membutuhkan lebih banyak pegawai. Sekolah-sekolah yang ada dianggap belum cukup
memenuhi kebutuhan. Itulah sebabnya, maka usaha mencetak calon-calon pegawai makin
dipergiat. Kini tugas departemen adalah memelihara sekolah-sekolah yang ada dengan lebih
baik dan menggiatkan usaha perluasan sekolah-sekolah baru.
Pada tahun 1893 timbulah differensiasi pengajaran bumi putera. Hal ini disebabkan:
b) Dikalangan pemerintah mulai timbul perhatian pada rakyat jelata. Mereka sadar
bahwa yang harus mendapat pendidikan itu bukan hanya lapisan atas saja.
Untuk mengatur dasar-dasar baru bagi pengajaran bumiputera, maka dikeluarkanlah Indisch
staatsblad 1893 nomor 125, yang isinya menyatakan bahwa sekolah bumiputera dibagi
menjadi dua bagian, yaitu 1) sekolah-sekolah kelas I untuk anak-anak priyai dan kaum
terkemuka, 2) Sekolah-sekolah kelas II atau disebut juga Sekolah vervolg (sekolah
sambungan) ditujukan untuk rakyat jelata.Sekolah ini merupakan sekolah lanjutan dari
sekolah desa yang mulai didirikan sejak tahun 1907.
19
Perbedaan Sekolah Kelas I dan II yaitu, Kelas I1 bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
pegawai pemerintah, perdagangan dan perusahaan, lama belajarnya lima tahun. Mata
pelajarannya terdiri dari membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, sejarah, pengetahuan
alam, menggambar, dan ilmu ukur. Guru-guru yang mengajar tingkat ini adalah guru-guru
tamatan dari Kweekschool. Bahasa pengantar yang digunakan adalah Bahasa Daerah/Melayu.
Sekolah Kelas II bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pengajaran di kalangan rakyat umum,
dengan lama belajar tiga tahun.Mata pelajarannya terdiri dari membaca, menulis dan
berhitung, dengan bahasa pengantar sama dengan Kelas I yaitu bahasa daerah atau Melayu.
Syarat-syarat menjadi guru lebih longgar.
1
Tahun 1914 Sekolah Kelas I diubah menjadi HIS ( Hollands Inlandse School ) dengan bahasa pengantar bahasa
Belanda.
20
Guna memenuhi kebutuhan tenaga ahli yang mendesak, maka didirikanlah:
a) Sekolah Tehnik Tinggi (Technische Hoge School ). Sekolah Tehnik Tinggi ini didirikan
tahun 1920 di Bandung, yang merupakan sekolah Tinggi yang pertama di Indonesia,
lama belajarnya lima tahun. Sekolah ini kemudian menjelma menjadi ITB.
b) Sekolah Hakim Tinggi ( Rechskundige Hoge school ). Sekolah ini didirikan pada tahun
1924 di Jakarta, dengan lama belajar lima tahun. Sekolah ini menerima lulusan AMS,
dan outputnya menjadi jaksa atau hakim.
c) Pendidikan tinggi kedokteran. Lembaga ini di Indonesia di mulai dari sekolah dasar lima
tahun. Bahasa pengantarnya bahasa Melayu. Pada tahun 1902 Sekolah Dokter Jawa
diubah menjadi STOVIA (School Tot Opleiding Voor Indische Artsen). Sekolah ini
menerima lulusan ELS, dengan bahasa pengantar Belanda. Lama belajarnya tujuh tahun.
Kemudian syarat penerimaannya ditingkatkan menjadi lulusan MULO. Pada tahun 1913
disamping STOVIA di Jakarta didirikan pula Sekolah Tinggi Kedokteran
(Geneeskundige Hogeschool ). Lama belajaranya enam tahun, menerima lulusan AMS
dan HBS.
C. Politik Etis dalam sejarah pendidikan Indonesia pada awal abad ke-20
Indonesia yang kaya raya ini di keruk terus menerus oleh penjajah Belanda.
Keuntungan mengalir terus ke negeri Belanda. Rakyat Indonesia tetap miskin. Keadaan ini
sangat menggelisahkan kaum importir Belanda yang membawa barang hasil industri mereka
dari Eropa ke Indonesia. Mereka tidak dapat menjual produk mereka, karena daya beli
masyarakat sangat rendah, sedangkan industri di negeri Belanda sedang berkembang pesat.
Mereka membutuhkan pasar. Untuk itu mereka menginginkan penduduk Indonesia yang
banyak,mampu menyerap produk mereka,tapi rakyat tidak mampu. Di sisi lain, para eksportir
mendapat laba besar dengan membawa barang mentah dari Indonesia. Untuk memenuhi
kaum importir tidak ada jalan lain yang harus segera ditempuh, selain memperbaiki dan
membuat ekonomi rakyat Indonesia yang sudah rusak.
Keinginan tersebut semakin kuat dengan terbitnya artikel Van Deventer berjudul
“Hutang Kehormatan” dalam majalah De Gidstahun 1899. Artikel itu memuat tentang
perlunya Belanda “mengembalikan” keuntungan besar yang selama ini diperoleh dari
Indonesia kepada Indonesia. Peristiwa itu dapat dipandang sebagai ekspresi ide yang baru
kemudian dikenal dengan namaPolitik Etis. Van Devender menganjurkan program ini untuk
23
memajukan kesejahteraan rakyat dengan memperbaiki irigasi agar memproduksi pertanian,
menganjurkan trasmigrasi, dan perbaikan dalam lapangan pendidikan. Ia juga
mengembangkan pengajaran bahasa Belanda secara kultural.
Faktor lain yang menyebabkan berlangsungnya Politik Etis, adalah munculnya “Ke
bangkitan Nasional” dengan berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908, Serikat Islam
(partai politik pertama di Indonesia yang didasarkan atas organisai Barat didirikan tahun
1919), adanya Volksraad tahun 1918 yang merupakan saluran bagi orang Indonesia untuk
menyatakan pendapatnya. Sejak dilaksanakannya Politik Etis tampak sekali kemajuan dalam
pendidikan dengan diperbanyaknya sekolah rendah, sekolah yang berorientasi Barat untuk
orang Cina dan Indonesia juga didirikan.Demikian juga pendidikan dikembangkan secara
vertikal dengan didirikannya MULO dan AMS yang terbuka bagi anak Indonesia untuk
melanjutkan ke tingkat universitas.
2. Mendirikan Sekolah Desa. Gubernur Jendral Belanda Van Heutsz, mulai tahun 1907
mendirikan sekolah-sekolah desa. Bangunannya didirikan oleh desa dan guru-gurunya juga
diangkat oleh desa, jadi bukan pegawai negeri. Jadi, sekolah jenis ini adalah sekolah swasta
yang harus ditanggung oleh desa dan penduduknya. Kebijakan ini diambil karena program
pemerintah kolonial untuk memperhatikan kepentingan pendidikan rakyat Indonesia tidak
tercapai, karena sekolah-sekolah bumiputera Kelas II yang ada pada waktu itu, tidak mampu
dijangkau oleh rakyat karena mahal, dan pemerintah berat menanggung beban yang berat
sebab memerlukan anggaran yang besar. Dengan demikian, susunan pengajaran bagi anak-
anak Indonesia untuk sekolah rendah pada waktu itu ada tiga, yaitu: a) Sekolah Desa, bagi
anak-anak rakyat biasa. b) Sekolah Kelas II, yang kemudian diubah menjadi sekolah Vervolg. c)
Sekolah kelas I, yang sejak tahun 1914 dijadikan HIS bagi anak-anak bangsawan dan
terkemuka.
24
Demikian berbagai jenis dan tingkatan pendidikan untuk putera-puteri Indonesia yang
diselenggarakan atas perintah kolonial Belanda. Sekolah-sekolah tersebut terus berlangsung
hingga masuknya Jepang ke Indonesia tahun 1942.
25
kurikuler, yang penekanan utamanya pada sesuatu kegiatan yang merangsang kegiatan fisik
dan perasaan).
Pada masa antara tahun 1959-1966 jenjang pendidikan di Indonesia mulai diatur atas
jenjang kependidikan dasar, jenjang pendidikan menengah, dan jenjang pendidikan tinggi.
Pembagian ini berlaku hingga sekarang. Pada jenjang pendidikan menengah pertama, sekolah
yang memberikan pendidikan umum adalah SMP, sedangkan sekolah yang memberikan
pendidikan khusus dalam bidang tertentu, terdiri dari pendidikan teknik yaitu Sekolah Teknik
(ST), pendidikan ekonomi yaitu Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP), pendidikan
kerumahtanggaan yaitu Sekolah Kesejahteraan keluarga Pertama (SKKP), dan pendidikan
guru (SGB). Semua terjadi tahun 1964.
C. Kurikulum 1959-1966
36
agama/budi pekerti, dan pendidikan jasmani/kesehatan. Mata pelajaran kelompok cipta terdiri
dari aljabar, ilmu ukur, ilmu hayat, ekonomi, dan mata pelajaran sejarah dunia. Sedangkan
kelompok rasa/karya adalah mata pelajaran drama dan sastra. Tes diberikan jika telah
melakukan beberapa kali tatap muka.
Tahun 1962 terjadi perubahan di tingkat SMP, dan SMA, disebutkan bahwa jika
sebelumnya terjadi penjurusan di tingkat SMP (Jalur A atau Jalur B), maka sejak itu
penjurusan terjadi di tingkat SMA. Setelah siswa naik ke kelas dua SMA, mereka dapat
memilih salah satu dari empat jurusan (Jurusan Budaya, Jurusan Sosial, Jurusan Ilmu Pasti,
dan Jurusan Ilmu Alam). Perubahan tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa terlalu muda
bagi siswa SMP untuk dipaksamemilih jalur A atau B. Oleh sebab itu, sejak itu muncul istilah
SMP Gaya Baru, dan SMA Gaya Baru.
Kurikulum di tingkat SMA menetapkan bahwa jika siswa memilih jurusan sastra,
maka mereka wajib belajar bahasa asing (bahasa Jerman dan bahasa Perancis). Mereka juga
harus mempelajari Bahasa Jawa Kuno, dan tulisan Arab Melayu. Jurusan sosial mata
pelajarannya terdiri dari ekonomi, tata buku, hukum dan tata negara, etnologi/sosiologi.
Jurusan Ilmu Pasti mempelajari matematika seperti aljabar, ilmu ukur ruang, ilmu ukur
bidang. Terakhir Jurusan Ilmu Alam harus belajar tentang kimia, ilmu tubuh manusia, ilmu
hewan, dan ilmu tumbuh-tumbuhan.
Beberapa peristiwa penting yang dialami oleh bangsa Indonesia dalam dunia
pendidikan yaitu :
1.Pada tahun 1945-1950 landasan idiil pendidikan adalah UUD 1945 dan falsafah
pancasila.
2. Pada permulaan tahun 1949 dengan terbentuknya Negara Republik Indonesia Serikat, di
negara bagian timur dianut suatu sistem pendidikan yang mewarisi dari zaman
pemerintahan Belanda.
3. Pada tanggal 17 Agustus 1950, dengan terbentuknya kembali Negara Kesatuan RI,
landasan idiil pendidikan UUD Sementara RI (UUDS RI).
4. Pada tahun 1959, presiden mendekritkan RI kembali ke UUD 1945 dan menetapkan
Manifesto Politik RI menjadi Haluan Negara. Di bidang pendidikan ditetapkan Sapta
Usaha Tama dan Panca Wardhana
5. Pada tahun 1965, sesudah peristiwa Gerakan 30 September, kita kembali lagi
melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen
37
BAB 7
PENDIDIKAN MASA ORDE BARU (1966-1998)
Masa Orde Baru (ORBA) pemerintahan melaksanakan berbagai kebijakan bidang
pendidikan. Capaian pembelajaran yang ingin dicapai pada pertemuan ini adalah:
1) Mahasiswa mampu menguraikan tujuan dan landasan pendidikan
2) Mahasiswa mampu menjelaskan kebijakan kurikulum
3
Sardiman AM, M.Pd. Dinamika Pendidikan Pada Masa Orde Baru (Kebijakan Daoed Joseof dan Nugroho
Notosusanto). Merupakan hasil penelitian FIS UNY pada tahun 2012
4
Katherine E. Mc Gregor, 2008. Ketika Sejarah Berseragam. Yogyakarta: Syarikat. Hal, 290.
38
dalam kampung dan pelihara orang miskin dan jaga murid- murid di dalam kampungnya”
(Rahim, 1998: 169). Jadi, tradisi mengaji terus berjalan di dusun-dusun dan di ibu kota
Palembang, namun tidak terkoordinir dengan baik sehingga sulit berkembang sebagaimana
pondok-pondok pesantren di Pulau Jawa.
Ketika di bawah pendudukan Belanda, peran keraton hilang sebagai pengusung utama
pengajian Islam, selanjutnya berpindah ke tangan para ulama bebas yang memberikan
pengajian di rumah-rumah mereka, dan para murid datang ke rumah guru/ustadz atau di
langgar yang biasanya dilaksanakan pada pagi, sore atau malam hari. Sementara itu, pihak
kolonial menjalankan kebijakannya sendiri untuk mengajar anak-anak mereka ilmu
pengetahuan. Corak ini mulai berubah pada penghujung abad 19 dengan dikeluarkannya
Politik Etis, yang memberi peluang bagi sebagian kecil anak-anak bumiputera menuntut ilmu
pada sekolah-sekolah yang mulai mereka buka, walaupun pada mulanya sekolah-sekolah
tersebut hanya diperuntukkan bagi kalangan mereka saja.Output dari sekolah-sekolah tersebut
akan dipekerjakan pada instansi pemerintah atau perkebunan-perkebunan yang waktu itu
mulai dikembangkan sebagai juru tulis dengan gaji rendah (Dep. P&K , 1985: 11).
7
Sebelumnya pada akhir abad 19 sudah beberapa sekolah yang didirikan oleh misi Katolik di Tanjung Sakti
Lahat (Dep. P&K , 1985: 35).
49
marak memasuki tahun 1920-an8, mulai meningkat dengan didirikannya HIS ( Holand
Inlandsche school ) di Palembang tahun 1920, dengan tujuannya untuk menampung anak-
anak bangsawan. Lama pendidikannya tujuh tahun, dengan bahasa pengantar Bahasa
Belanda. Selanjutnya sekolah yang sama berdiri pula di Lahat, Tanjung Raja, Martapura,
Baturaja, Muara Enim (Rivai, 2001: 62-63; Seno dan Hasanadi, 2014: 45; Dep. P&K, 1985:
39).
Di samping itu, berkembang pula sekolah-sekolah bercorak Islam (Sekolah Arab atau
Sekolah Agama)9. Sesungguhnya, sekolah sudah ada sejak tahun 1874, yaitu Sekolah Rakyat
yang diperuntukkan bagi golongan bangsawan Palembang. Dua tahun kemudian berdiri pula
sekolah sejenis dengan peruntukan yang sama yaitu golongan bangsawan. Sekolah Arab
( Arabieren Schoolen) muncul pertama kali pada tahun 1902, perkembangannya tidak begitu
baik hingga tahun 1914. Sekolah-sekolah tersebut antara lain, Al-Ihsan yang didirikan oleh
IttihadulIhsan pada tahun 1907 di 10 Ulu, Madrasah Arabiyah 10oleh keluarga Al Munawar
8
Sebelum pertengahan tahun 1920-an pendidikan umum di Palembang belum berkembang. Beberapa faktor
yang menjadi penyebabnya, antara lain: jenis pendidikan umum merupakan barang baru bagi penduduk,
otomatis butuh waktu untuk mengenal dan memercayainya. Walaupun anak-anak pribumi telah mengikutinya,
namun semangat untuk sekolah dengan tuntas masih rendah. Hal tersebut juga didukung oleh rendahnya
tingkat ekonomi, sehingga banyak yang tidak menyelesaikan pendidikannya, khususnya pada kurun waktu
(1923-1926). (Seno dan Hasanadi, 2014: 43-44).
9
Pertengahan abad 19 sudah ada pendidikan Islam di daerah Komering yaitu Marga Madang Suku II yang
sponsori oleh H. Djuana. Ternyata pendidikan yang diberikan tidak hanya mengenai agama Islam juga
bercocok tanam dan pertukangan. Pengembangan pendidikan ini dilanjutkan oleh Kemas Jambi dari
Palembang, juga dilanjutkan oleh Haji Jamamaluddin dari Martapura. (Dep. P&K ,1985:27).
10
Di Madrasah Arabiyah pembelajarannya ditempuh selama tujuh tahun yang terdiri dari dua tahap, pertama
selama tiga tahun, dilanjutkan empat tahun lagi untuk menamatkan pembelajaran di sana (Seno dan
Hasanadi,2014: 79).
50
pada tahun 1911 di Kampung 13 Ulu (daerah ini kini di kenal dengan nama Kampung Al-
Munawwar). Sistem pengajaran dari kedua lembaga tersebut masih sama dengan sebelumnya
yaitu tradisional (Peeters, 147; Rivai, 2001: 55-58, 62).
11
Lembaga pendidikan ini dirintis sejak tahun 1926. Pengajiannya dilaksanaan di rumah seorang pengusaha
karet dan kopi terkenal bernama H. Akib. Selanjutnya beliau mengusahakan pendirian gedung sekolah tahun
1928. Sejak itulah lembaga ini makin mengembangkan kiprahnya dalam pendidikan Islam, dan telah berhasil
membuat Anggaran Dasar (AD) yang menandai bahwa lembaga ini telah dikelola secara modern. (Seno dan
Hasanadi, 2014:86).
12
Pada masa pendudukan Jepang sekolah-sekolah yang ada ditutup, tidak terkecuali Pesantren Ittifaqiyah.
Pondok Pesantren ini dibuka kembali tahun 1949, dan tetap berdiri hingga kini (Jumhari,2011: 34 -35).
13
Sejak itu maka organisasi Muhammadiayah terus berkembang dan pada 1 Agustus 1932, untuk pertama kali
organisasi ini Sekolah Rakyat di lahat. Di daerah Lesung Batu, dan Pagaralam juga berdiri jenis sekolah yang
sama pada tahun 1935. Selanjutnya Sekolah rakyat didirikan pula di Tanjung Sakti, Ulu Musi, Tebing Tinggi
dan Lintang Empat Lawang. Tingkat Sekolah menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Guru pertama kali
berdiri tahun 1942, sedangkan tingkat Sekolah menengah Atas (SMA) berdiri jauh setelahnya yaitu tahun 1974
(Efrianto,2011 :49)
51
Raden Marto. Sekolah berikutnya didirikan di Sekayu tahun 1926, dan sepuluh tahun
kemudian lahir pula di kota Palembang (Erfianto, 2011:48; Seno dan Hasanadi, 2014: 77, 79-
80). Dengan demikian, tampaknya organisasi Muhammadiyah memilih mendirikan sekolah-
sekolah di uluan baru dilanjutkan di Kota Palembang. Bisa jadi semua itu karena belum
meratanya sekolah-sekolah di daerah-daerah, berbeda dengan Kota Palembang yang sejak
awal sudah berdiri berbagai sekolah, baik yang bercorak Islam maupun sekolah-sekolah yang
didirikan oleh pihak kolonial Belanda.
Pada masa Jepang kondisinya dalam darurat militer (1942-1945), sehingga pendidikan tidak
meninggalkan jejak. Sekolah-sekolah yang didirikan oleh Belanda ditutup oleh pemerintah
militer Jepang. Setelah proklamasi kemerdekaan, bangsa Indonesia dihadapkan pada masa
Revolusi Fisik (1947-1949). Pasukan republik dihadapkan pada fakta kembalinya Belanda
dengan membonceng sekutu yang bertugas melucuti tentara Jepang yang telah kalah perang.
Kehadiran tentara Belanda ini, memicu pertikaian dengan pihak republik yang menolak
kehadiran mereka, maka terjadi konflik yang berujung pada meletusnya Perang Lima Hari
Lima malam di Palembang (1-5 Januari 1947)”. Pertempuran itu berakhir dengan
kesepakatan bahwa para pejuang harus mundur dengan radius 20 kilometer dari pusat kota.
Sejak itu, maka dimulailah masa gerilya yang dilakukan oleh para pejuang hingga Pengakuan
Kedaulatan dipenghujung tahun 1949. Kondisi di atas otomatis mematikan pendidikan di sini,
yang memang sudah ditutup oleh Jepang sejak kehadiran mereka sebagai penguasa. Namun,
kondiisi darurat perang memaksa pihak Jepang mendirikan sekolah-sekolah, maka
didirikanlah pendidikan militer Gyugun. Selain itu, Jepang juga meneruskan pendidikan
yang sudah ada pada zaman Belanda dengan mengubah namanya menjadi Syoto-Sugakko
(Volkschool) , Koto-Sugakko (Vervolkschool) , dan Kokumin-Gakko (HIS). Akan
tetapi
jumlahnya sangat terbatas, dengan tambahan mata pelajaran: bahasa dan tulisan Jepang,
sejarah dan adat istiadat Jepang(Seno dan Hasanadi, 2014: 74; Dep. P&K , 1985: 61).
52
meningkatkan mutu pendidikan, dan ketiga, menambah jumlah sekolah rakyat. Namun, hal
itu sulit dilaksanakan. Sebagai bangsa yang baru merdeka, maka segala sesuatunya memulai
dari nol. Semua serba terbatas (dana, sumber daya manusia, gedung sekolah, perlengkapan,
dan lain-lain). Pendidikan baru mulai berbenah sejak tahun 1950 pasca-pengakuan
kemerdekaan dari Belanda pada Desember 1949. Pendidikan di Palembang dan daerah uluan
pada tahun 1954 sepenuhnya telah terselenggara selama enam tahun. Dengan demikian, maka
pendidikan dasar sudah sama dan mulai merata. Mengatasi kekurangan dana dan gedung
sekolah, maka pemerintah menenpuh jalan antara lain, memanfaatkan balai-balai marga dan
rumah penduduk sebagai kelas-kelas belajar sementara secara gratis. Dengan kebijakan
tersebut, maka sebagian masalah pendidikan dapat diatasi, walaupun dari jumlah tersebut
hampir separuh dari balai-bali tersebut kondisinya sudah tua. Selain dari balai-balai di atas,
masih terdapat rumah-rumah milik Kementerian P&K dan rumah-rumah partikelir yang
dapat dijadikan sebagai kelas-kelas untuk belajar yang jumlahnya mencapai 1222 lokal.
Sesungguhnya jumlah tersebut masih jauh dari pemenuhan kebutuhan akan sekolah untuk
wilayah Sumatera Selatan. Masalah kekurangan guru yang mendesak, diatasi dengan cara
membuka kursus-kursus yang dikenal dengan nama “Kursus Pengajar untuk Khusus
Pengantar Kewajiban Belajar (KPKPKB)”. Kursus ini nantinya digantikan oleh SGB
(Sekolah Guru B) dan SGA (Sekolah Guru A). Berbagai keterbatasan dalam mengembangkan
dunia pendidikan pada masa awal kemerdekaan tersubut berlanjut hingga meletus
pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia) tahun 1965. Jadi, pendidikan baru dapat
dilaksanakan secara tertib ketika bangsa Indonesia menerapkan Rencana Pembangunan Lima
pertama (REPELITA) Tahun 1969-1974.
53
Daftar Pustaka
Hartono, Yudi. 2016. Pendidikan dan Kebijakan Politik (Kajian Reformasi Pendidikan di
Indonesia pada Masa Orde Lama hingga Reformasi). Jurnal Agastya Vol 6 No 1
Januari 2016: 34-45
Jumhari, 2011, Sejarah Pendidikan Daerah Ogan Komering Ilir dari Awal Kemerdekaan
sampai Masa Orde Baru, Padang: BPSNT Padang Press.
Jumhari dan Iin Imaduddin, 2005, Arab palembang dari Masa Kesultanan sampai Kolonial
Belanda suatu Kajian Sejarah Sosial, Padang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional Padang.
Lisa, Rivai, 2001, Sejarah Pendidikan di Kota Palembang, Yogyakarta: Phhilosophy Press
Muzammil, As’ad. Kebijakan Pemerintah dalam Bidang Pendidikan dari Orde Lama
sampai Orde Baru (Suatu Tinjauan Historis). POTENSIA: Jurnal Kependidikan
Islam, Vol. 2, No.2, Desember 2016.
54
Rahim, Rusli, 1991, Sistem Otoritas dan Administrasi Islam, Studi tentang Pejabat Agama
Masa Kesultanan dan Kolonial di Palembang, Jakarta: Logos.
Seno dan Hasanadi, 2014, Pengembangan Pendidikan Islam di Kota Palembang, Padang:
Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Padang.
Suyanto & Hisyam. 2000. Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki
Millenium III. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa
Sunanto, Musyrifah. 2005. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada
55