Anda di halaman 1dari 24

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DI INDONESIA

Tim Penulis:

Dra. Yunani, M.Pd

Dr. Farida R Wargadalem

Aulia Novemy Dhita Surbakti, M.Pd.

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2018

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah buku Sejarah dan Perkembangan Pendidikan di Indonesia dapat


diselesaikan dan diterbitkan. Pada kesempatan ini kami sampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Dekan FKIP Universitas Sriwijaya, Prof. Sofendi, M.A, Ph.D,
Ketua Jurusan Pendidikan IPS Dr. Farida, M.Si, Ketua Prodi Pendidikan Sejarah, Drs. Alian,
M. Hum. Pendidikan merupakan usaha paling efektif untuk menghadapi perubahan dan
kemajuan zaman. Sehingga membicarakan sejarah dan perkembangan pendidikan tentu
 bersinggungan dengan jiwa zaman yang menaunginya. Sejarah dan perkembangan
 pendidikan merupakan tema besar dalam pendidikan dan menjadi acuan dalam mengambil
kebijakan pendidikan.

Sejarah dan perkembangan pendidikan yang dimaksud dalam buku ini membahas
 perkembangan pendidikan yang dibagi dalam delapan periodisasi yaitu Pendidikan Masa
Hindu-Budha, Pendidikan Masa Islam, Pendidikan Masa Pemerintah kolonial Belanda,
Pendidikan Masa Pendudukan Jepang (1942-1945), Pendidikan Masa Awal Kemerdekaan,
Pendidikan Masa Orde Lama (1959-1966), Pendidikan Masa Orde Baru (1966-1998) dan
Pendidikan Masa Reformasi (1988-saat ini). Guna melengkapi buku ini sebagai “pencerahan”
tentang dunia pendidikan di Sumatera Selatan, maka ditambahkan pula Sejarah dan
Perkembangan Pendidikan di daerah ini, mulai dari masa Sriwijaya hingga memasuki awal
Orde Baru (ORBA).

Semoga buku Sejarah dan Perkembangan Pendidikan ini bermanfaat bagi untuk dunia
Pendidikan, khususnya di FKIP Universitas Sriwijaya. Buku ini masih jauh dari sempurna,
keterbatasan waktu dan sumber menjadi kendala utama dalam penulisan buku ini. Untuk itu
kami berharap buku ini dapat disempurnakan secara bertahap. Dalam upaya tersebut, kami
sangat mengharapkan masukan, kritikan dari semua pihak demi kesempurnaan buku ini
dimasa yang akan dating, terima kasih

Inderalaya, 11 Desember 2017

Tim Penulis,

Dra. Yunani, M.Pd

Dr. Farida R Wargadalem

Aulia Novemy Dhita Surbakti, M.Pd.

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar..................................................................................................................... 2

Daftar Isi................................................................................................................................ 3

Pendahuluan............................................................................................................................ 4-5

Bab 1 Pendidikan Masa Hindu-Budha..................................................................................6-9

Bab 2 Pendidikan Masa Islam.............................................................................................10-15

Bab 3 Pendidikan Masa Pemerintah Kolonial Belanda......................................................16-25

Bab 4 Pendidikan Masa Jepang (1942-1945).....................................................................26-31

Bab 5 Pendidikan Masa Awal Kemerdekaan......................................................................32-34

Bab 6 Pendidikan Masa Orde Lama (1959-1966)..............................................................35-37

Bab 7 Pendidikan Orde Baru (1966-1998).........................................................................38-40

Bab 8 Pendidikan Masa Reformasi....................................................................................41-46

Bab 9 Pendidikan di Sumatera Selatan..............................................................................47-53

Daftar Pustaka.................................................................................................................... 54-55

3
PENDAHULUAN

Secara umum pendidikan adalah upaya menggali, dan mengembangkan potensi yang
dimiliki oleh setiap insan. Potensi itu dapat berupa kemampuan berbahasa, berfikir,
mengingat, menciptakan, dan sebagainya. Pendidikan juga dianggap sebagai suatu proses
 pewarisan pola fikir, dan tata cara hidup, atau nilai-nilai dari suatu generasi ke generasi
 berikutnya agar identitas dan keberadaan masyarakat tersebut terpelihara sepanjang
masa.Pendidikan juga merupakan suatu proses berkesinambungan sejak manusia itu ada,
 berkembang secara dinamis sesuai jiwa zaman (zeitgist). Pendidikan mengikuti pola
kehidupan masyarakat, dan sistem kebudayaan yang melatarbelakanginya. Sehingga
 peralihan pergantian kekuasaan mempengaruhi perubahan substandi dalam pendidikan.
Begitu pula dengan pendidikan sejarah yang merupakan bagian dari pendidikan itu sendiri.
Pendidikan sejarah berguna bagi manusia agar mampu belajar dari pengalaman, dari masa
lalu, yang membentuk kebijakan, dan kearifan pada masa kini. Melalui sejarah pendidikan,
manusia memperoleh manfaat bagaimana memaknai pendidikan di masa kini sebagai proses
akumulasi pendidikan di masa lalu, dan mengambil keputusan dalam upaya menentukan
kebijakan pendidikan yang lebih baik di masa kini, dan bagi kebaikan di masa depan. Sejarah
telah membuktikan, bahwa pendidikan telah teruji mampu membawa dunia dari kegelapan
dan kesempitan menjadi dunia yang benderang dan lapang, global dan universal (Wiyanarti,
tanpa tahun: 1-2).

Sesuai dengan kondisi dunia pendidikan saat ini, dan manfaat dari belajar tentang
sejarah pendidikan dan perkembangannya, maka berdasarkan KKNI maka pemerintah
menetapkan mata kuliah baru yaitu “Sejarah dan Perkembangan Pendidikan” untuk diajarkan
di LPTK, dan merupakan bagian dari Mata Kuliah Dasar Kependidikan (MKDK) bersama-
sama dengan mata kuliah Psikologi, Pengelolaan Pendidikan, Penelitian dan Etika Profesi,
serta mata kuliah pengganti P4. Atas dasar itu maka FKIP Universitas Sriwijaya menetapkan
mata kuliah tersebut. Dalam kaitannya dengan mata kuliah Sejarah dan Perkembangan
 pendidikan, maka perlu dibuat Bahan Ajar sebagai pedoman dan sumber belajar dalam
melaksanakan pengajaran di kelas. Bahan ajar Sejarah dan Perkembangan Pendidikan
meliputi sejarah dan perkembangan pendidikan di Indonesia mulai dari masa Hindu-Budha,
 pendidikan masa Islam, pendidikan masa Kolonial Belanda-Jepang, pendidikan pada awal
kemerdekaan (1945-1950; 1950-1959), pendidikan masa Orde Lama (1959-1966),
 pendidikan masa Orde Baru (1966-1998) dan pendidikan masa Reformasi, serta Sejarah
Pendidikan di Sumatera Selatan.

4
Pendidikan pada masa Hindu-Budha dipengaruhi oleh agama Hindu dan agama
Buddha yang berkembang di Indonesia. Pendidikannya bersifat non formal atau disebut
“gurukula” yaitu murid mendatangi rumah guru untuk menuntut ilmu. Adapun pad a masa
 perkembangan Islam, pendidikan pada awalnya adalah mengenal rukun-rukun Islam, dan
 berlanjut pada ilmu-ilmu lain yang berkaitan dengan itu. Pendidikan pada masa kolonial
 bertujuan untuk mendapatkan tenaga kerja yang mampu baca, tulis dan hitung untuk
dipekerjakan di instansi pemerintah, perkebunan dan lainnya. Pada masa pendudukan Jepang,
maka yang mengemuka adalah pendidikan militer sesuai dengan kondisi perang saat itu.
Dengan demikian, maka pendidikan pra-kemerdekaan bertujuan untuk mendukung dan
memperkuat kepentingan kekuasaan penjajah, dan menjadikan pribumi sebagai abdi penjajah.
Untuk itu, maka mereka membentuk lembaga- lembaga pendidikan yang hanya
diperuntukkan bagi kalangan terbatas, yaitu anak-anak golongan ningrat yang selanjutnya
diproyeksikan sebagai pegawai rendahan.

Pasca-kemerdekaan (Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi), pendidikan di Indonesia


mengalami perkembangan sesuai dengan tujuan landasan pendidikan Indonesia yang
tercantum dalam falsafah negara Indonesia. Reformasi membawa pengaruh yang signifikan
 bagi perkembangan pendidikan di Indonesia. Hal ini diawali dengan terbitnya Undang-
Undang siatem Pendidikan Nasional (UUSPN) Nomor 20 Tahun 2003 beserta turunan
 perundang-undangannya.

5
BAB 1
PENDIDIKAN MASA HINDU-BUDHA

Dalam bab ini akan dipelajari mengenai sejarah pendidikan masa Hindu-Budha di
Indonesia. Adapun capaian pembelajaran pada pertemuan ini adalah:
1) Mahasiswa mampu mendeskripsikan hakikat sejarah pendidikan
2) Mahasiswa mampu menguraikan peranan sejarah pendidikan dalam memahami
 perkembangan masyarakat
3) Mahasiswa mampu menguraikan sistem Guru-Kula
4) Mahasiswa mampu menganalisis pengajaran yang bersifat Istana Sentris
5) Mahasiswa mampu menganalisis lembaga dan sumber pembelajaran pada masa Hindu-
Budha

A. Bentuk dan Sistem Pendidikan pada Masa Hindu-Buddha


Bentuk pendidikan pada masa Hindu-Budha adalah pelaksanaan pendidikan yang
didominasi oleh kaum Brahmana (golongan teratas yang berhak mengajarkan agama Hindu).
Pendidikannya bersifat non-formal, yaitu murid mendatangi rumah guru untuk
 belajar.Kalangan raja dan bangsawan membutuhkan pendidikan untuk anak-anaknya, maka
langkah yang ditempuh adalah mengundang para guru ke istana untuk memberikan pelajaran,
atau mereka mengirim anak-anak untuk belajar pada kaum Brahmana. Khusus bidang
 pendidikan keterampilan biasanya diberikan secara turun-menurun antar-generasi, dan ini
tidak hanya terbatas pada kalangan atas, sebab biasanya keterampilan berkaitan dengan
 pemenuhan dan pengembangan hidup masing-masing.
Sistem pendidikan pada masa Hindu-Budha yang dipakai adalah sistem “Gurukula”.
Sistem ini dilaksanakan dengan cara para murid pada waktu tertentu mendatangi guru untuk
 belajar, lamanya tidak ditentukan, tergantung pada minat dan kecapakapan murid. Pada tahap
selanjutnya, sistem pendidikan berangsur-angsur mengalami perubahan dengan munculnya
 padepokan. Dalam sistem ini jumlah murid relatif terbatas dan materi yang diajarkan bersifat
spiritual religius, membahas kitab Hindu yaitu Weda atau kitab Buddha Tripitaka. Dalam
 bentuk ini, para murid diarahkan untuk belajar sambil bekerja demi memenuhi kebutuhan
hidup mereka sehari-hari.
Pada masa kerajaan Hindu-Buddha telah ada lembaga-lembaga pendidikan yang
 berpedoman pada pengetahuan dan pemahaman ajaran agama. Dalam proses pembelajaran
tersebut, maka para murid harus mengikuti “Karsyan”.  Karsyanadalah tempat bertapa, guna

6
menjauhkan diri dari keramaian dunia, semata-mata untuk mendekatkan diri kepada dewa
tertinggi. Karsyan dibagi menjadi dua bentuk,  pertama, “Papatan” adalah tempat orang yang
ingin menyendiri untuk sementara waktu, dan memohon petunjuk agar keinginannya tercapai.
 Kedua, “Mandala” adalah tempat suci yang menjadi pusat semua kegiatan, khususnya
keagamaan bagi para bikshu.

Pelaksanaan pendidikan Hindu-Budha di kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-


Buddha di Indonesia (Kerajaan Kutai, kerajaan Tarumanegara, kerajaan Holing, kerajaan
Sriwijaya, kerajaan Mataram, kerajaan Kediri, kerajaan Singasari, dan kerajaanMajapahit)
sudah mengarah pada istana sentris. Bentuk ini dilaksanakan khusus untuk anak-anak dari
kalangan istana, dikumpulkan di salah satu tempat di istana untuk belajar. Jadi, dalam bentuk
ini guru yang mendatangi murid. Materi yang diajarkan pada awalnya masih sangat
sederhana, yaitu: membaca, menulis, dan berhitung. Sedangkan, pendidikan khususnya
agama Buddha dilaksanakan di wihara-wihara,oleh para calon Biksu dan Biku. Khusus
 pendidikan zaman Hindu yang ditentukan oleh kasta (Brahmana, Kesatria, Waisya dan
Sudra), maka pendidikan hanya diperuntukkan pada dua kasta teratas (Brahmana dan
Kesatria) saja. Meskipun demikian, penggolongan kasta di Indonesia tidak seketat di India
sebagai asal agama tersebut. Artinya, secara bertahap kasta lainnya yang lebih rendah juga
mendapat kesempatan untuk menuntut ilmu.

Pada zaman Buddha pendidikan berkembang pada kerajaan Sriwijaya yang berpusat
di Palembang. Di Sriwijaya sudah terdapat perguruan tinggi agama Buddha, dengan
muridnya berasal dari mancanegara, antara lain dari Indochina, Jepang dan Tiongkok.
Mahagurunya yang terkenal bernama Syakyakirti. Semua itu menunjukkan bahwa pendidikan
agama Budha berkembang di kerajaan Sriwijaya (Raisyidin, 2007:34).

Tujuan pendidikan pada zaman Hindu-Budha identik dengan tujuan hidup yaitu
manusia hidup untuk mencapai moksa bagi agama Hindu, dan manusia mencapai nirwana
 bagi agama Buddha. Dalam agama Hindu tujuan pendidikan berbeda antara satu kasta dengan
kasta lainnya, contoh: bagi kasta Brahmana, pendidikan bertujuan untuk menguasai kitab suci
Weda sebagai sumber kebenaran dan pengetahuan yang universal. Kasta Ksatria (golongan
raja dan bangsawan), pendidikan bertujuan untuk memiliki pengetahuan teoritis yang
 berkaitan tentang pengaturan pemerintahan. Kasta Waisya dan Sudra, tujuan
 pendidikannyaadalah agar penduduk/rakyat memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk
hidup, sesuai dengan pekerjaannya masing-masing secara turun temurun (bercocok tanam,

7
 pelayaran, perdagangan, seni pahat dan sebagainya). Bagi pemeluk agama Buddha tujuan
 pendidikannya adalah agar rakyat atau para pemeluknya berpegang teguh pada ajaran kitab
Tripitaka.

Karakteristik pendidikan masa Hindu-Buddha, adalah informal, berpusat pada religi


(kehidupan sepenuhnya ditentukan oleh kepercayaan), penghormatan yang tinggi terhadap
guru yaitu kaum Brahmana yang bekerja tanpa imbalan, semata-mata karena kewajiban
sebagai Pendeta.Karakteristik lainnya adalah aristokratis, bermakna pendidikan hanya diikuti
oleh kalangan atas yaitu golongan Brahmana, golongan Ksatria dan golongan keturunan raja-
raja. Khusus di Indonesia perbedaan yang nyata antara golongan raja-raja dan rakyat jelata.

B. Jenis-jenis pendidikan pada masa Hindu-Buddha

Beberapa jenis pendidikan masa Hindu-Buddhaadalah sebagai berikut :

1. Pendidikan Intelektual, pendidikan jenis ini dikhususkan untuk menguasai kitab-kitab suci.
Kitab Weda dipelajari oleh kaum Brahmana, sedangkan penganut Buddha mempelajari kitab
Tripitaka. Pendidikan intelektual juga berkaitan dengan penguasaan doa dan mantera, yang
berkaitan dengan penguasaan alam semesta, pengabdian kepada Syiwa dan Buddha
Gautama.

2. Pendidikan Kesatriaan, pendidikan ini dilakukan untuk mendidik kaum bangsawan


keluarga istana kerajaan, agar memiliki pengetahuan dan kemampuan yang berkaitan dengan
mengatur pemerintahan (kerajaan), mengatur negara, dan teknik berperang.

3. Pendidikan Keterampilan, adalah pendidikan bagi rakyat jelata berlangsung secara


informal. Maksudnya pendidikan yang berlangsung di dalam keluarga, dan menurunkan apa
yang menjadi keahlian orang tuanya (pemahat, petani, nelayan dan lainnya).

Lembaga-lembaga Pendidikan pada masa Hindu-Budha bersifat non formal, terdapat


 beberapa tempat yang biasa dijadikan sebagai lembaga pendidikan. Lembaga-lembaga
tersebut adalah: padepokan adalah tempat berkumpulnya murid-murid,khususnya keturunan
Brahmana untuk mempelajari pengetahuan yang bersumber dari kitab suci (Weda  dan
Upanishad  bagi penganut Hindu) atau Tripitaka  bagi penganut Buddha. Cara belajarnya
adalah guru (Brahmana atau pendeta) duduk di tengah-tengah dilingkari oleh murid-muridnya
di sebuah pendopo besar. Para peserta membawa buku atau kitab. Selanjutnya, mereka
 belajar membaca dan menulis. Guru tidak menerima gaji, namun kehidupan mereka dijamin
oleh murid-muridnya. Bukti sistem pengajaran tersebut dapat dilihat pada relief-relief yang

8
Awal abad 19, pemerintah Hindia Belanda di Indonesia secara terang-terangan
menyatakan bahwa tanah jajahan harus memberikan keuntungan yang sebesar-besarnya
kepada perdagangan, dan kekayaan negeri Belanda. Pada tahun 1842 Markus, menteri
 jajahan, memberikan perintah agar setiap Gubernur Jendral berusaha dengan segenap tenaga
agar memperbesar keuntungan bagi negerinya. Walaupun setiap Gubernur Jendaral pada
 penobatannya berjanji dengan hikmat bahwa ia akan memajukan kesejahteraan Hindia
Belanda dengan segenap usuha. Prinsip ini masih dipertahankan pada tahun 1854 dengan
 pernyataan bahwa Hindia Belanda(Belanda di Indonesia) sebagai negeri yang direbut harus
terus memberi keuntungan kepada negeri induk yaitunegara Belanda di Eropa. Ini pula yang
menjadi tujuan pendidikan pada waktu itu.

Sekolah pertama bagi anak Belanda dibuka di Jakarta pada tahun 1817. Selanjutnya
diikuti pembukaan sekolah-sekolahlainnya di kota lain pulau Jawa. Dalam statuta tahun 1818,
disebutkan bahwa sekolah-sekolah harus dibuka ditiap tempat bila diperlukan oleh penduduk
Belanda dan diizinkan oleh keadaan. Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Van der
Capellen (1819-1823), ia menganjurkan adanya pendidikan rakyat. Tahun 1820
diinstruksikan agar para regen menyediakan sekolah bagi penduduk untuk mengajar anak-
anak membaca, dan menulis, serta mengenal budi pekerti yang baik. Namun, anjuran ini tidak
 berhasil untuk mengembangkan pendidikan pada waktu itu.

Kesulitan finansial yang melanda pemerintah kolonial, akibat perang Diponegoro


(1825-1830) yang menelan biaya yang sangat tinggi dan menelan banyak korban. Faktor lain
adalah terjadi peperangan antara Belanda dan Belgia (1830-1839). Semua itu berdampak
negatif bagi pendidikan yaitu tahun 1826 terjadi penghematan. Sekolah-sekolah yang ada
hanya diperuntukkan bagi anak-anak Indonesia yang memeluk agama Nasrani. Kesulitan
keuangan ini menyebabkan raja Belanda untuk meninggalkan prinsip-prinsip liberal dan
menerima rencana yang dianjurkan Van den Bosch (bekaskas gubernur Belanda di Guyana,
 jajahan Belanda di Amerika selatan). Atas dasar itu maka dilakukanlah eksploitasi terhadap
 pekerja budak. Inilah yang menjadi dasar diadakannya kerja paksa(rodi). Melalui cara ini,
maka terjadi eksploitasi besar-besaran pada masa Tanam Paksa (cultuur stelsel)  1830-
1840 yaitu memaksa penduduk menanam tanaman yang laku di pasaran Eropa.

Untuk memperbaiki  stesel  pembangunan ekonomi Belanda, merekamembutuhkan


tenaga-tenaga ahli yang banyak, maka setelah tahun 1848 Van den Bosch mengeluarkan
 peraturan-peraturan yang menunjukan perintah kolonial, secara bertahap menyadari perlunya

18
mengembangkan pendidikan bagi putera-puteri bumiputra. Semua itu merupakan buah dari
 perdebatan pajang mereka diparlemen Belanda, yang mencerminkan sikap golongan liberal
lebih menguntungkan rakyat Indonesia. Penyalahgunaan sistem Tanam Paksa yang
menyebabkan kesengsaraan yang luar biasa bagi rakyat Indonesia, menjadi penyebab
 perubahan pandangan di atas. Peraturan pemerintah tahun 1854 mengimtruksikan Gubernur
Jendral untuk mendirikan sekolah bagi pendidikan anak pribumi di setiap kabupaten.
Sembuilan tahun kemudian, peraturan baru yang mewajibkan Gubernur Jendral untuk
mengusahakan terciptanya situasi yang memungkinkan penduduk bumiputera mengenyam
 pendidikan.

Sistem Tanam Paksa dihapuskan tahun 1870, diganti Undang-Undang Agraria tahun
1870, yang memberi peluang kebebasan berusaha bagi pengusaha-pengusaha partikelir.
Kebijakan itu membawa makin berkembangnya perekonomian pihak kolonial, sehingga
membutuhkan lebih banyak pegawai. Sekolah-sekolah yang ada dianggap belum cukup
memenuhi kebutuhan. Itulah sebabnya, maka usaha mencetak calon-calon pegawai makin
dipergiat. Kini tugas departemen adalah memelihara sekolah-sekolah yang ada dengan lebih
 baik dan menggiatkan usaha perluasan sekolah-sekolah baru.

Pada tahun 1893 timbulah differensiasi pengajaran bumi putera. Hal ini disebabkan:

a) Hasil sekolah-sekolah bumiputera kurang memuaskan pemerintah kolonial, karena isi


rencana pelaksanaannya terlalu padat.

 b) Dikalangan pemerintah mulai timbul perhatian pada rakyat jelata. Mereka sadar
 bahwa yang harus mendapat pendidikan itu bukan hanya lapisan atas saja.

c) Adanya kenyataan bahwa masyarakat Indonesia mempunyai kedua kebutuhan


dilapangan pendidikan yaitu lapisan atas dan lapisan bawah.

Untuk mengatur dasar-dasar baru bagi pengajaran bumiputera, maka dikeluarkanlah  Indisch
 staatsblad  1893 nomor 125, yang isinya menyatakan bahwa sekolah bumiputera dibagi
menjadi dua bagian, yaitu 1) sekolah-sekolah kelas I untuk anak-anak priyai dan kaum
terkemuka, 2) Sekolah-sekolah kelas II atau disebut juga Sekolah vervolg  (sekolah
sambungan) ditujukan untuk rakyat jelata.Sekolah ini merupakan sekolah lanjutan dari
sekolah desa yang mulai didirikan sejak tahun 1907.

19
Perbedaan Sekolah Kelas I dan II yaitu, Kelas I1 bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
 pegawai pemerintah, perdagangan dan perusahaan, lama belajarnya lima tahun. Mata
 pelajarannya terdiri dari membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, sejarah, pengetahuan
alam, menggambar, dan ilmu ukur. Guru-guru yang mengajar tingkat ini adalah guru-guru
tamatan dari Kweekschool. Bahasa pengantar yang digunakan adalah Bahasa Daerah/Melayu.
Sekolah Kelas II bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pengajaran di kalangan rakyat umum,
dengan lama belajar tiga tahun.Mata pelajarannya terdiri dari membaca, menulis dan
 berhitung, dengan bahasa pengantar sama dengan Kelas I yaitu bahasa daerah atau Melayu.
Syarat-syarat menjadi guru lebih longgar.

B. Sistem Persekolahan pada Zaman Pemerintahan Hindia Belanda

Sistem pendidikan khususnya sistem persekolahan didasarkan kepada golongan


 penduduk menurut keturunan atau lapisan (kelas) sosial yang ada, dan menurut golongan
kebangsaan yang berlaku waktu itu, yaitu:

1. Pendidikan Rendah ( Lager Onderwijs), pendidikan dasar untuk tingkatan sekolah


dasar terdiri dari: a) Sekolah Rendah dengan bahasa pengantar bahasa Belanda. Jenis sekolah
ini terdiri dari sekolah rendah Eropa, yaitu ELS ( Europese Lagere school)  . Sekolah
 jenis ini merupakan sekolah rendah khusus untuk anak-anak keturunan Eropa atau anak-anak
turunan Timur asing, atau Bumiputera dari kalangan terkemuka. Lama pendidikan tujuh
tahun, mulai tahun 1818. Berikutnya adalah Sekolah Cina Belanda, yaitu HCS ( Hollands
Chinese school ), sekolah rendah ini diperuntukkan bagi anak-anak keturunan Timur Asing,
khususnya keturunan Cina. Pertama didirikan pada tahun 1908, dengan lama sekolah tujuh
tahun. Kelompok ketiga adalah Sekolah Bumiputera Belanda HIS ( Hollands Inlandse
School)  . Sekolah rendah ini untuk golongan penduduk pribumi, khususnya anak-
anak golongan bangsawan, tokoh-tokoh terkemuka atau pegawai negeri. Lamanya tujuh tahun
dan
 pertama kali didirikan pada tahun 1914.Selanjutnya, Sekolah Rendah dengan bahasa
 pengantar bahasa daerah, terdiri dari Sekolah Bumiputera kelas II (Tweede klasee). Sekolah
ini disediakan untuk golongan Bumiputera. Lamanya tujuh tahun, pertama didirikan tahun
1892. Berikutnya Sekolah Desa ( Volksschool)  , disediakan bagi anak-anak golongan
bumi
 putera, dengan lama tiga tahun. Pertama kali muncul tahun 1907. Sekolah lainnya adalah

1
 Tahun 1914 Sekolah Kelas I diubah menjadi HIS ( Hollands Inlandse School ) dengan bahasa pengantar bahasa
Belanda.

20
Guna memenuhi kebutuhan tenaga ahli yang mendesak, maka didirikanlah:

a) Sekolah Tehnik Tinggi (Technische Hoge School ). Sekolah Tehnik Tinggi ini didirikan
tahun 1920 di Bandung, yang merupakan sekolah Tinggi yang pertama di Indonesia,
lama belajarnya lima tahun. Sekolah ini kemudian menjelma menjadi ITB.

 b) Sekolah Hakim Tinggi ( Rechskundige Hoge school ). Sekolah ini didirikan pada tahun
1924 di Jakarta, dengan lama belajar lima tahun. Sekolah ini menerima lulusan AMS,
dan outputnya menjadi jaksa atau hakim.

c) Pendidikan tinggi kedokteran. Lembaga ini di Indonesia di mulai dari sekolah dasar lima
tahun. Bahasa pengantarnya bahasa Melayu. Pada tahun 1902 Sekolah Dokter Jawa
diubah menjadi STOVIA (School Tot Opleiding Voor Indische Artsen). Sekolah ini
menerima lulusan ELS, dengan bahasa pengantar Belanda. Lama belajarnya tujuh tahun.
Kemudian syarat penerimaannya ditingkatkan menjadi lulusan MULO. Pada tahun 1913
disamping STOVIA di Jakarta didirikan pula Sekolah Tinggi Kedokteran
(Geneeskundige Hogeschool ). Lama belajaranya enam tahun, menerima lulusan AMS
dan HBS.

C. Politik Etis dalam sejarah pendidikan Indonesia pada awal abad ke-20

Indonesia yang kaya raya ini di keruk terus menerus oleh penjajah Belanda.
Keuntungan mengalir terus ke negeri Belanda. Rakyat Indonesia tetap miskin. Keadaan ini
sangat menggelisahkan kaum importir Belanda yang membawa barang hasil industri mereka
dari Eropa ke Indonesia. Mereka tidak dapat menjual produk mereka, karena daya beli
masyarakat sangat rendah, sedangkan industri di negeri Belanda sedang berkembang pesat.
Mereka membutuhkan pasar. Untuk itu mereka menginginkan penduduk Indonesia yang
 banyak,mampu menyerap produk mereka,tapi rakyat tidak mampu. Di sisi lain, para eksportir
mendapat laba besar dengan membawa barang mentah dari Indonesia. Untuk memenuhi
kaum importir tidak ada jalan lain yang harus segera ditempuh, selain memperbaiki dan
membuat ekonomi rakyat Indonesia yang sudah rusak.

Keinginan tersebut semakin kuat dengan terbitnya artikel Van Deventer berjudul
“Hutang Kehormatan” dalam majalah De Gidstahun 1899. Artikel itu memuat tentang
 perlunya Belanda “mengembalikan” keuntungan besar yang selama ini diperoleh dari
Indonesia kepada Indonesia. Peristiwa itu dapat dipandang sebagai ekspresi ide yang baru
kemudian dikenal dengan namaPolitik Etis. Van Devender menganjurkan program ini untuk

23
memajukan kesejahteraan rakyat dengan memperbaiki irigasi agar memproduksi pertanian,
menganjurkan trasmigrasi, dan perbaikan dalam lapangan pendidikan. Ia juga
mengembangkan pengajaran bahasa Belanda secara kultural.

Faktor lain yang menyebabkan berlangsungnya Politik Etis, adalah munculnya “Ke 
bangkitan Nasional”  dengan berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908, Serikat Islam
(partai politik pertama di Indonesia yang didasarkan atas organisai Barat didirikan tahun
1919), adanya Volksraad  tahun 1918 yang merupakan saluran bagi orang Indonesia untuk
menyatakan pendapatnya. Sejak dilaksanakannya Politik Etis tampak sekali kemajuan dalam
 pendidikan dengan diperbanyaknya sekolah rendah, sekolah yang berorientasi Barat untuk
orang Cina dan Indonesia juga didirikan.Demikian juga pendidikan dikembangkan secara
vertikal dengan didirikannya MULO dan AMS yang terbuka bagi anak Indonesia untuk
melanjutkan ke tingkat universitas.

Upaya-upaya lebih lanjut dalam bidang pendidikan khusus pribumi dilakukan


 berbagai hal untuk memperbaiki pengajaran rendah, maka pada tahun 1907 diambil dua
tindakan penting yaitu:

1. Memberi corak dan sifat keBelandaan-Belandaan pada sekolah kelas I, misalnya,


menjadikan mata pelajaran Bahasa Belanda sejak kelas tiga, di kelas 6 bahasa Belanda
dijadikan bahasa pengantar. Lama belajar menjadi 7 tahun, dan mulai tahun 1914 dijadikan
KIS, dan menjadi bagian pengajaran rendah barat. Peserta sekolah ini adalah anak-anak dari
golongan bangsawan dan terkemuka.

2. Mendirikan Sekolah Desa. Gubernur Jendral Belanda Van Heutsz, mulai tahun 1907
mendirikan sekolah-sekolah desa. Bangunannya didirikan oleh desa dan guru-gurunya juga
diangkat oleh desa, jadi bukan pegawai negeri. Jadi, sekolah jenis ini adalah sekolah swasta
yang harus ditanggung oleh desa dan penduduknya. Kebijakan ini diambil karena program
 pemerintah kolonial untuk memperhatikan kepentingan pendidikan rakyat Indonesia tidak
tercapai, karena sekolah-sekolah bumiputera Kelas II yang ada pada waktu itu, tidak mampu
dijangkau oleh rakyat karena mahal, dan pemerintah berat menanggung beban yang berat
sebab memerlukan anggaran yang besar. Dengan demikian, susunan pengajaran bagi anak-
anak Indonesia untuk sekolah rendah pada waktu itu ada tiga, yaitu: a) Sekolah Desa, bagi
anak-anak rakyat biasa. b) Sekolah Kelas II, yang kemudian diubah menjadi sekolah Vervolg. c)
Sekolah kelas I, yang sejak tahun 1914 dijadikan HIS bagi anak-anak bangsawan dan
terkemuka.

24
Demikian berbagai jenis dan tingkatan pendidikan untuk putera-puteri Indonesia yang
diselenggarakan atas perintah kolonial Belanda. Sekolah-sekolah tersebut terus berlangsung
hingga masuknya Jepang ke Indonesia tahun 1942.

25
kurikuler, yang penekanan utamanya pada sesuatu kegiatan yang merangsang kegiatan fisik
dan perasaan).

B. Bentuk Persekolahan Pendidikan Tahun 1959-1966

Pada masa antara tahun 1959-1966 jenjang pendidikan di Indonesia mulai diatur atas
 jenjang kependidikan dasar, jenjang pendidikan menengah, dan jenjang pendidikan tinggi.
Pembagian ini berlaku hingga sekarang. Pada jenjang pendidikan menengah pertama, sekolah
yang memberikan pendidikan umum adalah SMP, sedangkan sekolah yang memberikan
 pendidikan khusus dalam bidang tertentu, terdiri dari pendidikan teknik yaitu Sekolah Teknik
(ST), pendidikan ekonomi yaitu Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP), pendidikan
kerumahtanggaan yaitu Sekolah Kesejahteraan keluarga Pertama (SKKP), dan pendidikan
guru (SGB). Semua terjadi tahun 1964.

Jenjang pendidikan menengah atas terdapat Sekolah Menengah Umum (SMA).


Sekolah kejuruan terdiri dari Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA), Sekolah Teknik
Menegah (STM), Sekolah Kesejahteran Keluarga Atas (SKKA), Sekolah Menengah
Olahraga Atas (SMOA),Sekolah Kesejahteraan Keluarga Atas (SKKA), dan Sekolah Guru
Atas (SGA). Sekolah yang terakhir ini nantinya diubah menjadi Sekolah Pendidikan Guru
(SPG) tahun 1964 hingga 1990.

C. Kurikulum 1959-1966

Kurikulum Sekolah Dasar (SD) mengalami perubahan disesuaikan dengan  Panca


Wardhana. Dalam kurikulum ini dikenal adanya mata pelajaran yang sifatnya membina
kecerdasan, ketrampilan dan rasa/karya. Untuk kurikulum jenjang ini diperkenalkan mata
 pelajaran Pendidikan Kemasyarakatan, yaitu mata pelajaran hasil integrasi mata pelajaran
ilmu bumi, sejarah, dan kewarganegaraan. Mata pelajaran berguna untuk penanaman moral
nasional/internasional, dan keagamaan (dokumen kurikulum). Setelah beberapa pertemuan
diadakan ulangan/tes.
Struktur kurikulum SMP terdiri dari kelompok dasar, kelompok cipta, kelompok
rasa/karya, dan kelompok krisa. Struktur ini disesuaikan dengan keputusan menteri PP&K
dalam  Panca Wadhana. Kelompok dasar memberikan pengetahuan terdiri dari pelajaran
civics, sejarah nasional Indonesia, bahasa Indonesia, ilmu bumi Indonesia, pendidikan

36
agama/budi pekerti, dan pendidikan jasmani/kesehatan. Mata pelajaran kelompok cipta terdiri
dari aljabar, ilmu ukur, ilmu hayat, ekonomi, dan mata pelajaran sejarah dunia. Sedangkan
kelompok rasa/karya adalah mata pelajaran drama dan sastra. Tes diberikan jika telah
melakukan beberapa kali tatap muka.
Tahun 1962 terjadi perubahan di tingkat SMP, dan SMA, disebutkan bahwa jika
sebelumnya terjadi penjurusan di tingkat SMP (Jalur A atau Jalur B), maka sejak itu
 penjurusan terjadi di tingkat SMA. Setelah siswa naik ke kelas dua SMA, mereka dapat
memilih salah satu dari empat jurusan (Jurusan Budaya, Jurusan Sosial, Jurusan Ilmu Pasti,
dan Jurusan Ilmu Alam). Perubahan tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa terlalu muda
 bagi siswa SMP untuk dipaksamemilih jalur A atau B. Oleh sebab itu, sejak itu muncul istilah
SMP Gaya Baru, dan SMA Gaya Baru.
Kurikulum di tingkat SMA menetapkan bahwa jika siswa memilih jurusan sastra,
maka mereka wajib belajar bahasa asing (bahasa Jerman dan bahasa Perancis). Mereka juga
harus mempelajari Bahasa Jawa Kuno, dan tulisan Arab Melayu. Jurusan sosial mata
 pelajarannya terdiri dari ekonomi, tata buku, hukum dan tata negara, etnologi/sosiologi.
Jurusan Ilmu Pasti mempelajari matematika seperti aljabar, ilmu ukur ruang, ilmu ukur
 bidang. Terakhir Jurusan Ilmu Alam harus belajar tentang kimia, ilmu tubuh manusia, ilmu
hewan, dan ilmu tumbuh-tumbuhan.
Beberapa peristiwa penting yang dialami oleh bangsa Indonesia dalam dunia
 pendidikan yaitu :
1.Pada tahun 1945-1950 landasan idiil pendidikan adalah UUD 1945 dan falsafah
 pancasila.
2. Pada permulaan tahun 1949 dengan terbentuknya Negara Republik Indonesia Serikat, di
negara bagian timur dianut suatu sistem pendidikan yang mewarisi dari zaman
 pemerintahan Belanda.
3. Pada tanggal 17 Agustus 1950, dengan terbentuknya kembali Negara Kesatuan RI,
landasan idiil pendidikan UUD Sementara RI (UUDS RI).
4. Pada tahun 1959, presiden mendekritkan RI kembali ke UUD 1945 dan menetapkan
Manifesto Politik RI menjadi Haluan Negara. Di bidang pendidikan ditetapkan Sapta
Usaha Tama dan Panca Wardhana
5. Pada tahun 1965, sesudah peristiwa Gerakan 30 September, kita kembali lagi
melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen

37
BAB 7
PENDIDIKAN MASA ORDE BARU (1966-1998)
Masa Orde Baru (ORBA) pemerintahan melaksanakan berbagai kebijakan bidang
 pendidikan. Capaian pembelajaran yang ingin dicapai pada pertemuan ini adalah:
1) Mahasiswa mampu menguraikan tujuan dan landasan pendidikan
2) Mahasiswa mampu menjelaskan kebijakan kurikulum

A. Pendidikan Masa Orde Baru


Istilah Orde Baru (ORBA) ditandai dengan pemerintahan Soeharto menggantikan
Soekarno (istilah yang diberikan pada rezim ini adalah Orde Lama/ORLA). Pendidikan pada
masa ORBA diarahkan pada penyeragaman dalam berpikir dan bertindak. Daoed Joesof dan
 Nugroho Notosusanto adalah menteri pendidikan yang berpengaruh pada masa ORBA.
Kebijakan Daoed Joesof yang paling fenomenal adalah pelaksanaan Normalisasi
Kehidupan Kampus (NKK). Inti dari program ini adalah menjadikan Perguruan Tinggi
sebagai jenjang pendidikan formal berdimensi pada pendidikan, penelitian dan pengabdian
masyarakat. Melalui penelitian, Perguruan Tinggi akan menghasilkan tenaga ahli dalam
 bidangnya 3  Normalisasi kampur adalah redefenisi dari lembaga-lembaga kemahasiswaan
secara mendasar dan fungsional dan bertahap sehingga membantu mahasiswa untuk
mewujudkan kekuasaan riil yang secara potensial dimilikinya.
Selanjutnya adalah Nugroho Notosusanto yang memiliki pemikiran sama seperti Ki
Hajar Dewantara. Ia menegaskan bahwa hakekat pendidikan adalah menyeimbangkan aspek
kognitif, psikomotrik dan afektif. Beberapa kebijakan Nugroho Notosusanto diantaranya
adalah mengembangkan pendidikan pelaksanaan P4, pendidikan moral pancasila (PMP)
serta pendidikan sejarah perjuangan bangsa (PSPB), menyusun buku Sejrah Indonesia
sebanyak 6 jilid, dan menghapus kegiatan perkenalan mahasiswa baru dan menggantinya
dengan indoktrinasi pancasila 100 jam.4
Dalam bidang pembangunan pendidikan, khususnya pendidikan dasar, terjadi suatu
loncatan yang sangat signifikan dengan adanya Instruksi Presiden (Inpres) Pendidikan Dasar.
 Namun, yang disayangkan adalah pengaplikasian inpres ini hanya berlangsung dari segi
kuantitas tanpa diimbangi dengan perkembangan kualitas. Yang terpenting pada masa ini

3
 Sardiman AM, M.Pd. Dinamika Pendidikan Pada Masa Orde Baru (Kebijakan Daoed Joseof dan Nugroho
Notosusanto). Merupakan hasil penelitian FIS UNY pada tahun 2012
4
 Katherine E. Mc Gregor, 2008. Ketika Sejarah Berseragam. Yogyakarta: Syarikat. Hal, 290.

38
dalam kampung dan pelihara orang miskin dan jaga murid- murid di dalam kampungnya”
(Rahim, 1998: 169). Jadi, tradisi mengaji terus berjalan di dusun-dusun dan di ibu kota
Palembang, namun tidak terkoordinir dengan baik sehingga sulit berkembang sebagaimana
 pondok-pondok pesantren di Pulau Jawa.

C. Pendidikan Masa Kolonial Belanda

Ketika di bawah pendudukan Belanda, peran keraton hilang sebagai pengusung utama
 pengajian Islam, selanjutnya berpindah ke tangan para ulama bebas yang memberikan
 pengajian di rumah-rumah mereka, dan para murid datang ke rumah guru/ustadz atau di
langgar yang biasanya dilaksanakan pada pagi, sore atau malam hari. Sementara itu, pihak
kolonial menjalankan kebijakannya sendiri untuk mengajar anak-anak mereka ilmu
 pengetahuan. Corak ini mulai berubah pada penghujung abad 19 dengan dikeluarkannya
Politik Etis, yang memberi peluang bagi sebagian kecil anak-anak bumiputera menuntut ilmu
 pada sekolah-sekolah yang mulai mereka buka, walaupun pada mulanya sekolah-sekolah
tersebut hanya diperuntukkan bagi kalangan mereka saja.Output dari sekolah-sekolah tersebut
akan dipekerjakan pada instansi pemerintah atau perkebunan-perkebunan yang waktu itu
mulai dikembangkan sebagai juru tulis dengan gaji rendah (Dep. P&K , 1985: 11).

Pihak kolonial membuka peluang kepada kaum bumiputera seiring makin


meningkatnya kebutuhan mereka akan para pemuda yang melek huruf Latin. Belandajuga
mengharapkan nantinya posisi  Pasirah di pegang oleh orang-orang yang mampu baca tulis
dengan huruf Latin. Apa yang terjadi di Batavia, dan daerah-daerah di pulau Jawa umumnya,
menjalar ke ibu kota Palembang dan Sumatera Selatan. Mulailah mereka mendirikan sekolah-
sekolah pada awal abad 207. Hingga tahun 1913 terdapat sekitar 93 sekolah rakyat (Sekolah
Angka Dua dan Angka Tiga) di Sumatera Selatan(di luar Kota Palembang) yang telah
didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda, dengan peserta umumnya anak-anak para
“punguasa lokal” yaitu Pasirah/Depati. Jika mereka ingin melanjutkan pendidikannya, maka
mereka dapat mengikuti “Sekolah Sambung” ( Verlolg Schoolen) yang terdapat di ibu kota
Marga. Selain itu, terdapat pula Sekolah Pertanian di Muara Enim yang khusus
diperuntukkan bagi pengembangan tanaman karet. Sekolah yang sama berdiri pula di
Pagaralam, dengan spesifikasi tanaman kopi. Perkembangan sekolah-sekolah Belanda makin

7
Sebelumnya pada akhir abad 19 sudah beberapa sekolah yang didirikan oleh misi Katolik di Tanjung Sakti
Lahat (Dep. P&K  , 1985: 35).

49
marak memasuki tahun 1920-an8, mulai meningkat dengan didirikannya HIS ( Holand
 Inlandsche school ) di Palembang tahun 1920, dengan tujuannya untuk menampung anak-
anak bangsawan. Lama pendidikannya tujuh tahun, dengan bahasa pengantar Bahasa
Belanda. Selanjutnya sekolah yang sama berdiri pula di Lahat, Tanjung Raja, Martapura,
Baturaja, Muara Enim (Rivai, 2001: 62-63; Seno dan Hasanadi, 2014: 45; Dep. P&K, 1985:
39).

Sesuai komitmen pemerintah Belanda, maka sekolah-sekolah di daerah ini tetap


 berkembang secara perlahan. Hal ini dapat dilihat dengan makin meratanya orang-orang yang
dapat menuntut ilmu. Sekolah Kelas Dua mulai tahun 1926 telah tersebar di Tanjung Raja
(dari kelas 1-5), Sirah Ulu Kilip (Kelas 1-3), Tanjung Sejaro (kelas 1-5) dan Tanjung Batu
(Kelas 1-5). Umumnya sekolah-sekolah tersebut dengan menggunakan material dari kayu,
kecuali sekolah di Tanjung Batu dan Tanjung Raja di Ogan Komering Ilir. Perkembangan
tersebut dapat pula dinilai dengan diperbolehkannya murid perempuan dalam menuntut ilmu,
walaupun jumlah masih sangat terbatas, lima orang dari 539 orang murid. Demikian
 perkembangan pendidikan di daerah sumatera Selatan, sayang memasuki tahun 1930-an
mengalami kemunduran akibat berkurangnya pendapatan secara umum, yang bisa jadi
disebabkankan oleh  Malaise yaitu krisis yang terjadi di dunia yang berimbas ke Nusantara
tidak terkecuali di daerah ini (Rivai. 2001:65).

Di samping itu, berkembang pula sekolah-sekolah bercorak Islam (Sekolah Arab atau
Sekolah Agama)9. Sesungguhnya, sekolah sudah ada sejak tahun 1874, yaitu Sekolah Rakyat
yang diperuntukkan bagi golongan bangsawan Palembang. Dua tahun kemudian berdiri pula
sekolah sejenis dengan peruntukan yang sama yaitu golongan bangsawan. Sekolah Arab
( Arabieren Schoolen) muncul pertama kali pada tahun 1902, perkembangannya tidak begitu
 baik hingga tahun 1914. Sekolah-sekolah tersebut antara lain, Al-Ihsan yang didirikan oleh
IttihadulIhsan pada tahun 1907 di 10 Ulu, Madrasah Arabiyah 10oleh keluarga Al Munawar

8
Sebelum pertengahan tahun 1920-an pendidikan umum di Palembang belum berkembang. Beberapa faktor
yang menjadi penyebabnya, antara lain: jenis pendidikan umum merupakan barang baru bagi penduduk,
otomatis butuh waktu untuk mengenal dan memercayainya. Walaupun anak-anak pribumi telah mengikutinya,
namun semangat untuk sekolah dengan tuntas masih rendah. Hal tersebut juga didukung oleh rendahnya
tingkat ekonomi, sehingga banyak yang tidak menyelesaikan pendidikannya, khususnya pada kurun waktu
(1923-1926). (Seno dan Hasanadi, 2014: 43-44).
9
Pertengahan abad 19 sudah ada pendidikan Islam di daerah Komering yaitu Marga Madang Suku II yang
sponsori oleh H. Djuana. Ternyata pendidikan yang diberikan tidak hanya mengenai agama Islam juga
bercocok tanam dan pertukangan. Pengembangan pendidikan ini dilanjutkan oleh Kemas Jambi dari
Palembang, juga dilanjutkan oleh Haji Jamamaluddin dari Martapura. (Dep. P&K ,1985:27).
10
Di Madrasah Arabiyah pembelajarannya ditempuh selama tujuh tahun yang terdiri dari dua tahap, pertama
selama tiga tahun, dilanjutkan empat tahun lagi untuk menamatkan pembelajaran di sana (Seno dan
Hasanadi,2014: 79).

50
 pada tahun 1911 di Kampung 13 Ulu (daerah ini kini di kenal dengan nama Kampung Al-
Munawwar). Sistem pengajaran dari kedua lembaga tersebut masih sama dengan sebelumnya
yaitu tradisional (Peeters, 147; Rivai, 2001: 55-58, 62).

Perkembanganpendidikan Islam dapat dilihat dari kelahiran Madrasah Qur’aniyah


 pada tahun 1929 di 15 Ilir Palembang oleh Persyarikatan Qur’aniyah 11. Lima tahun
 berikutnya lahir Madrasah Nurul Falah,didirikan oleh organisasi Persatuan Nurul Falah di
 bawah pimpinan KH. Abubakar al Basatari. Selanjutnya muncul Madrasah Darul Funun
tahun 1938 oleh KH. Ibrahim. Di luar kota Palembang juga lahir pusat-pusat pendidikan
dalam bentuk madrasah dan pondok pesantren. Bermula di daerah Ogan Komering Ilir, yang
tertua adalah pondok pesantren Ittifaqiyah12 di Inderalaya pada tahun 1918 oleh KH. Ishaq
Bahsin.Selanjutnya berdiri  Admidrasatul Aslamiyah  di Tanjung Raja pada tahun 1925
dipimpin oleh Sajid Moehammad bin Jahja (Cucu almarhum Sajid Oesman Betawi). Tahun
1930 muncul pula pondok pesantren Raudhatul Ulum oleh KH. Bahri bin Bunga di dusun
Sakatiga Inderalaya. Dua tahun kemudian KH. Anwar bin Haji Kumpul mendirikan pesantren
 Nurul Islam di Sri Bandung Tanjung Batu Ogan komering Ilir (Jumhari, 2011: 34). Pondok
 pesantren juga dikembangkan di Sekayutahun 1926 yaitu Madrasah Islamiyah, diikuti oleh
 berbagai daerah lainnya (Rawas dan Komering Ulu, terus meluas ke Lahat, Muara Enim,
Muara Dua) pada tahun 1929, sedangkan di Baturaja terjadi tahun 1930 (Peeters, 1997: 151;
Rivai, 2001: 66).

Organisasi Muhammadiyah yang bergerak di bidang pendidikan, juga berperan dalam


mengembangkan pendidikan yang menggabungkan antara pendidikan Agama Islam dan ilmu
umum, dengan sistem klasikal, dan kurikulum yang teratur. Bentuk pendidikannya adalah
 Madrasah Diniyah School  dan  Madrasah Wustho  dengan lama belajar tiga tahun. Sekolah
Muhammadiyah mulai lahir di Lahat13 pada tahun 1925 dipelopori oleh Agus Tjik dan H.

11
Lembaga pendidikan ini dirintis sejak tahun 1926. Pengajiannya dilaksanaan di rumah seorang pengusaha
karet dan kopi terkenal bernama H. Akib. Selanjutnya beliau mengusahakan pendirian gedung sekolah tahun
1928. Sejak itulah lembaga ini makin mengembangkan kiprahnya dalam pendidikan Islam, dan telah berhasil
membuat Anggaran Dasar (AD) yang menandai bahwa lembaga ini telah dikelola secara modern. (Seno dan
Hasanadi, 2014:86).
12
Pada masa pendudukan Jepang sekolah-sekolah yang ada ditutup, tidak terkecuali Pesantren Ittifaqiyah.
Pondok Pesantren ini dibuka kembali tahun 1949, dan tetap berdiri hingga kini (Jumhari,2011: 34 -35).

13
Sejak itu maka organisasi Muhammadiayah terus berkembang dan pada 1 Agustus 1932, untuk pertama kali
organisasi ini Sekolah Rakyat di lahat. Di daerah Lesung Batu, dan Pagaralam juga berdiri jenis sekolah yang
sama pada tahun 1935. Selanjutnya Sekolah rakyat didirikan pula di Tanjung Sakti, Ulu Musi, Tebing Tinggi
dan Lintang Empat Lawang. Tingkat Sekolah menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Guru pertama kali
berdiri tahun 1942, sedangkan tingkat Sekolah menengah Atas (SMA) berdiri jauh setelahnya yaitu tahun 1974
(Efrianto,2011 :49)

51
Raden Marto. Sekolah berikutnya didirikan di Sekayu tahun 1926, dan sepuluh tahun
kemudian lahir pula di kota Palembang (Erfianto, 2011:48; Seno dan Hasanadi, 2014: 77, 79-
80). Dengan demikian, tampaknya organisasi Muhammadiyah memilih mendirikan sekolah-
sekolah di uluan  baru dilanjutkan di Kota Palembang. Bisa jadi semua itu karena belum
meratanya sekolah-sekolah di daerah-daerah, berbeda dengan Kota Palembang yang sejak
awal sudah berdiri berbagai sekolah, baik yang bercorak Islam maupun sekolah-sekolah yang
didirikan oleh pihak kolonial Belanda.

D. Pendidikan Masa Jepang dan Revolusi Fisik

Pada masa Jepang kondisinya dalam darurat militer (1942-1945), sehingga pendidikan tidak
meninggalkan jejak. Sekolah-sekolah yang didirikan oleh Belanda ditutup oleh pemerintah
militer Jepang. Setelah proklamasi kemerdekaan, bangsa Indonesia dihadapkan pada masa
Revolusi Fisik (1947-1949). Pasukan republik dihadapkan pada fakta kembalinya Belanda
dengan membonceng sekutu yang bertugas melucuti tentara Jepang yang telah kalah perang.
Kehadiran tentara Belanda ini, memicu pertikaian dengan pihak republik yang menolak
kehadiran mereka, maka terjadi konflik yang berujung pada meletusnya Perang Lima Hari
Lima malam di Palembang (1-5 Januari 1947)”. Pertempuran itu berakhir dengan
kesepakatan bahwa para pejuang harus mundur dengan radius 20 kilometer dari pusat kota.
Sejak itu, maka dimulailah masa gerilya yang dilakukan oleh para pejuang hingga Pengakuan
Kedaulatan dipenghujung tahun 1949. Kondisi di atas otomatis mematikan pendidikan di sini,
yang memang sudah ditutup oleh Jepang sejak kehadiran mereka sebagai penguasa. Namun,
kondiisi darurat perang memaksa pihak Jepang mendirikan sekolah-sekolah, maka
didirikanlah pendidikan militer Gyugun. Selain itu, Jepang juga meneruskan pendidikan
yang sudah ada pada zaman Belanda dengan mengubah namanya menjadi Syoto-Sugakko
(Volkschool)  ,  Koto-Sugakko (Vervolkschool)  , dan  Kokumin-Gakko (HIS). Akan
tetapi
 jumlahnya sangat terbatas, dengan tambahan mata pelajaran: bahasa dan tulisan Jepang,
sejarah dan adat istiadat Jepang(Seno dan Hasanadi, 2014: 74; Dep. P&K , 1985: 61).

E. Pendidikan Masa Kemerdekaan

Pasca-proklamasi kemerdekaan jumlah sekolah rakyat di Palembang sangat sedikit


yaitu sepuluh sekolah. Jika jumlah di kota saja hanya sepuluh dapat dibayangkan bagaimana
dengan di uluan tentu jauh lebih sedikit lagi. Menghadapi kondisi demikian maka pemerintah
melakukan berbagai kebijakan yaitu  pertama, mengubah lama pendidikan di sekolah rakyat
dari tiga tahun menjadi enam tahun secara bertahap.  Kedua, memperbaikan dan

52
meningkatkan mutu pendidikan, dan ketiga, menambah jumlah sekolah rakyat. Namun, hal
itu sulit dilaksanakan. Sebagai bangsa yang baru merdeka, maka segala sesuatunya memulai
dari nol. Semua serba terbatas (dana, sumber daya manusia, gedung sekolah, perlengkapan,
dan lain-lain). Pendidikan baru mulai berbenah sejak tahun 1950 pasca-pengakuan
kemerdekaan dari Belanda pada Desember 1949. Pendidikan di Palembang dan daerah uluan
 pada tahun 1954 sepenuhnya telah terselenggara selama enam tahun. Dengan demikian, maka
 pendidikan dasar sudah sama dan mulai merata. Mengatasi kekurangan dana dan gedung
sekolah, maka pemerintah menenpuh jalan antara lain, memanfaatkan balai-balai marga dan
rumah penduduk sebagai kelas-kelas belajar sementara secara gratis. Dengan kebijakan
tersebut, maka sebagian masalah pendidikan dapat diatasi, walaupun dari jumlah tersebut
hampir separuh dari balai-bali tersebut kondisinya sudah tua. Selain dari balai-balai di atas,
masih terdapat rumah-rumah milik Kementerian P&K dan rumah-rumah partikelir yang
dapat dijadikan sebagai kelas-kelas untuk belajar yang jumlahnya mencapai 1222 lokal.
Sesungguhnya jumlah tersebut masih jauh dari pemenuhan kebutuhan akan sekolah untuk
wilayah Sumatera Selatan. Masalah kekurangan guru yang mendesak, diatasi dengan cara
membuka kursus-kursus yang dikenal dengan nama “Kursus Pengajar untuk Khusus
Pengantar Kewajiban Belajar (KPKPKB)”. Kursus ini nantinya digantikan oleh SGB
(Sekolah Guru B) dan SGA (Sekolah Guru A). Berbagai keterbatasan dalam mengembangkan
dunia pendidikan pada masa awal kemerdekaan tersubut berlanjut hingga meletus
 pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia) tahun 1965. Jadi, pendidikan baru dapat
dilaksanakan secara tertib ketika bangsa Indonesia menerapkan Rencana Pembangunan Lima
 pertama (REPELITA) Tahun 1969-1974.

53
Daftar Pustaka

Besluit Residen Palembang No. 43 Tahun 1832.

Badan Standar Nasional Pendidikan. 2006. Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat


Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: PSNP

Departemen Pendidikan dan kebudayaan,. 1985. Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera


Selatan, Jakarta.

Efrianto, 2011,  Dunia Pendidikan di Kabupaten Lahat “Dinamika Lembaga Pendidikan


 Muhammadiyah Lahat” Padang: BPSNT Padang Press.

Hartono, Yudi. 2016. Pendidikan dan Kebijakan Politik (Kajian Reformasi Pendidikan di
Indonesia pada Masa Orde Lama hingga Reformasi). Jurnal Agastya Vol 6 No 1
Januari 2016: 34-45

Jumhari, 2011, Sejarah Pendidikan Daerah Ogan Komering Ilir dari Awal Kemerdekaan
 sampai Masa Orde Baru, Padang: BPSNT Padang Press.

Jumhari dan Iin Imaduddin, 2005,  Arab palembang dari Masa Kesultanan sampai Kolonial
Belanda  suatu Kajian Sejarah Sosial, Padang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional Padang.

Katherine E. Mc Gregor, 2008. Ketika Sejarah Berseragam. Yogyakarta: Syarikat.

Lisa, Rivai, 2001, Sejarah Pendidikan di Kota Palembang, Yogyakarta: Phhilosophy Press

Machali, Imam . Kebijakan Perubahan Kurikulum 2013 dalam Menyongsong Indonesia


 Emas Tahun 2015. Jurnal Pendidikan Islam : Volume III, Nomor 1, Juni 2014/1435.

Muzammil, As’ad.  Kebijakan Pemerintah dalam Bidang Pendidikan dari Orde Lama
 sampai Orde Baru (Suatu Tinjauan Historis). POTENSIA: Jurnal Kependidikan
Islam, Vol. 2, No.2, Desember 2016.

Muljana, Slamet, 2006, Sejarah Sriwijaya, Yogyakarta:LKIS Yogyakarta

Munirah. 2015. Sistem Pendidikan di Indonesia. Jurnal AULADUNA Vol 2. No. 2


Desember 2015.

 Nasution. 2015. Sejarah Pendidikan Indonesia. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.

Peeters, Jeroen, 1997, Kaum Tuo-Kaum Mudo Perubahan Religius di Palembang 1821-1942,


Jakarta: INIS.

Puadi, Asrari. 2016. https://www.goodnewsfromindonesia.id/2016/04/12/7- inovasi-


  pendidikan-indonesia-di-era-digital (Diakses, 6 Januari 2018)

Putra Daulay, Haidar. 2007. Sejarah Pertumbuhan Dan Pembaharuan Pendidikan


 Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.

54
Rahim, Rusli, 1991, Sistem Otoritas dan Administrasi Islam, Studi tentang Pejabat Agama
 Masa Kesultanan dan Kolonial di Palembang, Jakarta: Logos.

Ricklefs, M. C. 2001. Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004. Jakarta: PT Serambi


Ilmu Semesta

Seno dan Hasanadi, 2014,  Pengembangan Pendidikan Islam di Kota Palembang, Padang:
Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Padang.

Soearni, Eddy. 2003. Pengembangan Tenaga Kependidikan pada Awal Era Reformasi


(1998- 2001) dalam “Guru di Indonesia, Pendidikan, Pelatihan dan Perjuangan
Sejak Jaman
Kolonial Hingga Era Reformasi”. Jakarta: Departemen Pendidikan
 Nasional RI, Dirjen Dikdasmen, Direktorat Tenaga Kependidikan

Soekmono. 2010. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia II . Yogyakarta: Kanisius

Suyanto & Hisyam. 2000.  Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki
 Millenium III.  Yogyakarta: Adicita Karya Nusa

Sunanto, Musyrifah. 2005. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada

Tilaar, HAR. 2002. Membenahi Pendidikan Nasional . Jakarta: Rineka Cipta

Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan


 Nasional. 2003. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

Wargadalem, Farida R, 2012, Undang-Undang Simbur Cahaya Sebagai Sumber Hukum


di Kesultanan Palembang, Proseeding “Seminar AntaraBangsa Perantauan Sumatera-
Semenanjung Malaysia, Sabah dan Serawak ”  pada 6-8 Juni 2012 di Pulau Pinang
Malaysia.

  , 2017,  Kesultanan Palembang dalam Pusaran Konflik 1821-1825, Jakarta: KPG


(Kepustakaan populer Gramedia) dan EFEO Francis.

55

Anda mungkin juga menyukai