Anda di halaman 1dari 18

BAB I

Pendahuluan

Kesehatan ibu merupakan salah satu prioritas pembangunan kesehatan di Indonesia. Adapun
indikator yang dapat digunakan untuk melihat kesehatan ibu di indonesia adalah angka kematian
ibu (AKI). AKI adalah rasio kematian ibu selama masa kehamilan, persalinan dan nifas yang
disebabkan oleh kehamilan, persalinan, dan nifas itu sendiri atau pengelolaannya tetapi bukan
karena sebabsebab lain seperti kecelakaan atau terjatuh di setiap 100.000 kelahiran hidup. AKI
juga dapat digunakan untuk menilai derajat kesehatan masyarakat. Berdasarkan hasil survei
penduduk antar sensus (SUPAS) Badan Pusat Statistik tahun 2015, terjadi penurunan kematian
ibu dalam rentang tahun 1991 (390 kematian ibu) hingga tahun 2015 (305 kematian ibu) per
100.000 kelahiran hidup. Walaupun terjadi penurunan kematian ibu dalam rentang tahun 1991
hingga tahun 2015, tetapi hal tersebut belum mencapai target Millennium Development Goals
(MDGs) sebesar 102 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. Hasil SUPAS 2015 juga
memperlihatkan bahwasanya AKI tahun 2015 tiga kali lipat dibandingkan target MDGs.1

AKI di Indonesia didominasi oleh tiga penyebab utama yaitu, adanya perdarahan, adanya
hipertensi dalam kehamilan, dan infeksi.1 Hipertensi dalam kehamilan (HDK) merupakan kondisi
terjadinya peningkatan tekanan darah pada masa kehamilan yang ditandai dengan tekanan darah
sitolik ≥140 mmHg dan/atau diastolik ≥ 90mmHg. Adapun pengukuran tekanan darah dilakukan
pada dua kali pemeriksaan berjarak waktu 4-6 jam. Menurut American College of Obstetricians
and Gynecologists (ACOG) tahun 2013, hipertensi dalam kehamilan dapat dibagi menjadi 4
kategori, yaitu preeclampsia-eklampsia, hipertensi kronik (dengan berbagai penyebab), hipertensi
kronik dengan superimposed preeklampsia, dan hipertensi gestasional.2

Preeklampsia merupakan suatu kondisi hipertensi yang baru terjadi pada kehamilan diatas usia
kehamilan 20 minggu yang dapat disertai dengan proteinuria atau disertai salah satu dari gejala-
gejala seperti: trombositopenia, gangguan ginjal, gangguan hati, edema paru, ditemukan gejala
neurologis, dan gangguan pertumbuhan janin.3

Manifestasi klinis preeclampsia yang terjadi pada wanita hamil seringkali lambat terdeteksi
sehingga tanpa disadari dalam waktu singkat dapat timbul keadaan yang dapat membahayakan
ibu dan janin. Munculnya preeclampsia pada kehamilan dapat menyebabkan komplikasi pada ibu,
seperti eklampsia, sindroma hemolysis, elevated liver enzyme, and low platelets count (HELLP),
perdarahan intraseerebral, edem pulmoner, dan gagal ginjal akut. Selain itu preeclampsia juga
dapat menyebabkan gangguan kesejahteraan terhadap janin, seperti terjadinya kelahiran
premature, intrauterine growth restriction (IUGR), sampai dengan intrauterine fetal death
(IUFD).4
Pemahaman yang mendasar mengenai preeclampsia menjadi sangat penting bagi dokter layanan
primer sehingga dapat melakukan penanganan yang sesuai dan rujukan yang tepat dalam
penanganan preeclampsia. Melalui perawatan antenatal yang teratur dan penggunaan pendekatan
kedokteran pencegahan, yaitu dengan mengenal faktor risiko, mengenal tanda-tanda dini
preeclampsia, serta mengenal tanda-tanda munculnya komplikasi preeklampsia. Juga diharapkan
dapat menurunkan kejadian dan kematian akibat preeklampsia. Didalam penulisan ini akan
diuraikan sebuah kasus perawatan konservatif preeclampsia berat (PEB) dari aspek teori,
penatalaksanaan, kesesuaian teori dengan penatalaksanaannya.

Bab II

Pembahasan
II.1 Definisi

Secara klasik, preeklampsia didefinisikan sebagai suatu kondisi terjadinya hipertensi dan adanya
proteinuria pada usia kehamilan > 20 minggu. Hipertensi merupakan tekanan darah sistolik ≥ 140
mmHg dan/atau diastolic ≥ 90mmHg. Sedangkan proteinuria merupakan eksresi protein abnormal
pada urin ≥300mg/24 jam, atau perbandingan protein kreatinin ≥0,3, atau hasil uji dipstick
protein 30 mg/dL atau +2. Meskipun demikian seringkali wanita hamil dengan hipertensi dapat
menunjukkan gejala gangguan organ multisistemik tanpa adanya proteinuria.5 Sehingga pada
tahun 2013, ACOG mendeklarasikan definisi baru mengenai preeclampsia, yaitu dengn tidak
terdapatnya proteinuria, diagnosis preeclampsia pada wanita hamil ditegakkan apabila terdapat
kondisi trombositopenia (platelet<100.000/microliter), gangguan fungsi hati (peningkatan kadar
enzim liver transaminase didalam darah sebesar dua kali dari konsentrasi normal), insufisiensi
ginjal (peningkatan serum kreatinin > 1,1 mg/dL atau peningkatan ganda serum kreatinin tanpa
adanya penyakit ginjal), edema pulmoner, dan gangguan pada serebral dan fungsi penglihatan.2

II.2 Faktor Risiko

1. Usia Ibu
Usia sangat mempengaruhi kehamilan maupun persalinan. Usia yang baik untuk
hamil atau melahirkan 20 sampai 35 tahun. Pada usia tersebut alat reproduksi wanita telah
berkembang dan berfungsi secara maksimal.
Pada kehamilan < 20 tahun, ke adaan reproduksi yang belum siap menerima
kehamilan akan meningkatkan keracunan kehamilan dalam berntuk preeclampsia atau
toksemia gravidarum. Sedangkan pada usia > 35 tahun seiring bertambahnya usia rentan
untuk terjadi peningkatan tekanan darah karena terjadi degenerasi. Adanya perubahan
patologis, yaitu terjadinya spasme pembuluh darah arteriol menuju organ penting sehingga
menimbulkan gangguan metabolism, gangguan peredaran darah menuju retroplasenta.
2. Primigravida
Status gravida adalah wanita yang sedang hamil. Status gravida dibagi menjadi 2
kategori, yaitu primigravi dan dan multigravida. Primigravida adalah wanita yang hamil
untuk pertama kalinya. Multigravida adalah wanita yang hamil ke 2 atau lebih.
Preeklampsia banyak dijumpai pada primigravida daripada multigravida, terutama
primigravida usia muda. Primigravida lebih berisiko mengalami preeklampsia daripada
multigravida karena preeklampsia biasanya timbul pada wanita yang pertama kali terpapar
virus korion. Hal ini terjadi karena pada wanita tersebut mekanisme imunologik
pembentukan blocking antibody yang dilakukan oleh HLA-G terhadap antigen plasenta
belum terbentuk secara sempurna, sehingga proses implantasi trofoblas ke jaringan
desidual ibu menjadi terganggu. Primigravida juga rentan stress dalam menghadapi
persalinan yang menstimulasi tubuh unuk mengeluarkan kortisol. Efek kortisol adalah
meningkatkan respon simpatis, sehingga curah jantung dan tekanan darah juga akan
meningkat.
3. Multipara dengan riwayat preeklampsia sebelumnya
Riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya merupakan faktor risiko utama.
Kehamilan pada wanita dengan riwayat preeklampsia sebelumnya berkaitan dengan
tingginya kejadian preeklampsia berat, preeklampsia onset dini, dan dampak perinatal
yang buruk.

4. Multipara yang jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih


Hubungan antara risiko terjadinya dengan interval/jarak kehamilan lebih
signifikan dibandingkan dengan risiko yang ditimbulkan dari pergantian pasangan
seksual. Risiko pada kehamilan kedua atau ketiga secara langsung berhubungan dengan
waktu persalinan sebelumnya. Ketika intervalnya lebih dari 10 tahun, maka risiko ibu
tersebut mengalami preeklampsia adalah sama dengan ibu yang belum pernah melahirkan.
Dibandingkan dengan wanita dengan jarak kehamilan dari 18 hingga 23 bulan, wanita
dengan jarak kehamilan lebih lama dari 59 bulan secara signifikan meningkatkan risiko
preeklampsia dan eklamsia.
5. Kehamilan multipel/kehamilan ganda
Kehamilan ganda meningkatkan risiko preeklampsia sebesar 3 kali lipat. Dengan adanya
kehamilan ganda dan hidramnion, menjadi penyebab meningkatnya resiten intramural pada
pembuluh darah myometrium, yang dapat berkaitan dengan peninggian tegangan myometrium dan
menyebabkan tekanan darah meningkat. Wanita dengan kehamilan kembar berisiko lebih tinggi
mengalami preeklampsia hal ini disebabkan oleh peningkatan massa plasenta dan produksi
hormon.
6. IDDM (Insulin Dependent Diabetes Melitus)
Diabetes dan preeklampsia adalah dua kondisi umum yang berhubungan dengan
kehamilan, keduanya terkait dengan hasil kesehatan ibu dan janin yang buruk. Diabetes dan
preeklampsia memiliki faktor risiko yang sama (misalnya, obesitas, sindrom ovarium polikistik,
usia ibu lanjut, peningkatan berat badan kehamilan), hiperinsulinemia dikaitkan dengan kedua
kondisi. Diabetes dan preekampsia memiliki bukti disfungsi vaskular endotel. 25
7. Hipertensi kronik
Penyakit kronik seperti hipertensi kronik bisa berkembang menjadi preeklampsia. Yaitu
pada ibu dengan riwayat hipertensi kronik lebih dari 4 tahun. Chappel juga menyimpulkan bahwa
ada 7 faktor risiko yang dapat dinilai secara dini sebagai prediktor terjadinya preeklampsia
superimposed pada wanita hamil dengan hipertensi kronik. 18
8. Penyakit Ginjal
Pada wanita hamil, ginjal dipaksa bekerja keras sampai ke titik dimana ginjal tidak mampu
lagi memenuhi kebutuhan yang semakin meningkat. Wanita hamil dengan gagal ginjal kronik
memiliki ginjal yang semakin memperburuk status dan fungsinya. Beberapa tanda yang
menunjukkan menurunnya fungsi ginjal antara lain adalah hipertensi yang semakin tinggi dan
terjadi peningkatan jumlah produk buangan yang sudah disaring oleh ginjal di dalam darah. Ibu
hamil yang menderita penyakit ginjal dalam jangka waktu yang lama biasanya juga menderita
tekanan darah tinggi. Ibu hamil dengan penyakit ginjal dan tekanan darah tinggi memiliki risiko
lebih besar mengalami preeklampsia.6,7,8
9. Kehamilan dengan inseminasi donor sperma, oosit atau embrio

Kehamilan setelah inseminasi donor sperma, donor oosit atau donor embrio
juga dikatakan sebagai faktor risiko. Satu hipotesis yang populer penyebab preeklampsia
adalah maladaptasi imun. Mekanisme dibalik efek protektif dari paparan sperma masih
belum diketahui. Data menunjukkan adanya peningkatan frekuensi preeklampsia setelah
inseminasi donor sperma dan oosit, frekuensi preeklampsia yang tinggi pada kehamilan
remaja, serta makin mengecilnya kemungkinan terjadinyapreeklampsia pada wanita hamil
dari pasangan yang sama dalam jangka waktu yang lebih lama. Walaupun preeklampsia
dipertimbangkan sebagai penyakit pada kehamilan pertama, frekuensi preeklampsia
menurun drastis pada kehamilan berikutnya apabila kehamilan pertama tidak mengalami
preeklampsia. Namun, efek protektif dari multiparitas menurun apabila berganti
pasangan. 6,7,8

10. Obesitas sebelum hamil (IMT >30 kg/m2)

Obesitas adalah kondisi IMT yang masuk ketaegori gemuk (kelebihan berat
badan tigkat berat). Obesitas sebelum hamil dan IMT saat pertama kali ANC merupakan
faktor risiko preeklampsia dan risiko ini semakin besar dengan semakin besarnya IMT
pada wanita hamil karena obesitas berhubungan dengan penimbunan lemak yang berisiko
munculnya penyakit degeneratif. Obesitas adalah adanya penimbunan lemak yang
berlebihan di dalam tubuh. Obesitas dapat memicu terjadi nya preeklampsia melalui
pelepasan sitokin-sitokin inflamasi dari sel jaringan lemak, selanjutnya sitokin
menyebabkan inflamasi pada endotel sistemik. Peningkatan IMT sebelum hamil
meningkatkan risiko preeklampsia 2,5 kali lipat dan peningkatan IMT selama ANC
meningkatkan risiko preeklampsia sebesar 1,5 kali lipat. 6,7,8

II.3 Etiologi dan Patofisiologi

II.3.1 Etiologi 10
Penyebab hipertensi kehamilan hingga saat ini belum di ketahui dengan jelas.
Banyak teori telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam kehamilan,
tetapi tidak ada satu pun teori tersebut yang dianggap mutlak benar. Teori-teori
yang sekarang dianut adalah:
1. Teori kelainan vaskularisasi
Pada kehamilan normal, dengan sebab yang belum jelas, terjadi invasi trofoblas ke dalam
lapisan otot arteria spiralis, yang menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut sehingga terjadi
dilatasi arterialis. Invasi trofoblas juga memasuki jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga
jaringan matriks menjadi gembur dan memudahkan lumen arteri spiralis mengalami distensi
dan dilatasi. Hal ini memberi dampak penururnan tekanan darah, penurunan resistensi vaskular,
dan peningkatan aliran darah pada daerah uteroplasenta. Akibatnya aliran darah ke janin cukup
banyak dan perfusi jaringan juga meningkat sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin
dengan baik. Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada lapisan
otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap
kaku dan keras sehingga lumen arteri spiralis tidak memungkinkan mengalami distensi dan
vasodilatasi. Akibatnya arteri spiralis relatif mengalami vasokonstriksi, sehingga aliran
uteroplasenta menurun dan terjadi hipoksia dan iskemik plasenta.
2. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel
Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan menghasilkan oksidan
(radikal bebas). Salah satu oksidan penting yang dihasilkan plasenta iskemia
adalah radikal hidroksil yang sangat toksis, khususnya terhadap membran sel
endotel pembuluh darah. Radikal ini akan merusak membran sel yang
mengandung banyak asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak.
Peroksida lemak selain dapat merusak membran sel, juga akan merusak
nukleus dan protein sel endotel. Jika sel endotel terpapar terhadap peroksida
lemak maka akan terjadi disfungsi endotel, yang akan berakibat:
 Gangguan metabolisme prostaglandin

 Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami


kerusakan. Agregasi trombosit memproduksi tromboksan suatu
vasokonstriktor kuat. Pada hipertensi kehamilan kadar tromboksan lebih
tinggi sehingga terjadi vasokontriksi, dan terjadi kenaikan tekanan darah
 Perubahan khas pada sel endotel kapilar glomerulus

 Peningkatan permeabilitas kapilar

 Peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor, yaitu endotelin

 Peningkatan faktor koagulasi


3. Teori Intoleransi Imunologik antara ibu dan janin
Pada perempuan hamil normal, terdapat Human Leucocyte Antigen Protein G
(HLA-G) yang berfungsi melindungi trofoblas janin dari lisis oleh sel Natural Killer
(NK) ibu.Namun, pada plasenta hipertensi dalam kehamilan, terjadi penurunan ekspresi
HLA-G. Penurunan HLA-G akan menghambat invasi trofoblas ke dalam desidua.
Padahal Invasi trofoblas penting agar jaringan desidua lunak dan gembur sehingga
memudahkan dilatasi arteri spiralis.
4. Teori Adaptasi Kardiovaskuler
Pada hamil normal pembuluh darah refrakter terhadap bahan-bahan vasopressor. Refrakter
berarti pembuluh darah tidak peka terhadap rangsangan bahan vasopresor atau dibutuhkan
kadar vasopresor yang lebih tinggi untuk menimbulkan respon vasokontriksi. Terjadinya
refrakter pembuluh darah karena adanya sintesis PG pada sel endotel pembuluh darah. Akan
tetapi, pada hipertensi dalam kehamilan terjadi kehilangan daya refrakter terhadap bahan
vasokonstriktor dan terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahan vasopresor.
5. Teori Genetik
Ada faktor keturunan dan familiar dengan model gen tunggal. Telah terbukti bahwa pada
ibu yang mengalami preeklampsia, 26 % anak perempuan akan mengalami preeklampsia pula
dan 8% anak menantu mengalami preeklampsia.
6. Teori Defisiensi Gizi
Beberapa hasil penetilian menunjukkan bahwa kekurangan defisiensi gizi berperan dalam
terjadinya hipertensi dalam kehamilan, seperti defisiensi kalsium pada wanita hamil dapat
mengakibatkan risiko terjadinya preeklampsia/eklampsia.

7. Teori Stimulus Inflamasi

Pada kehamilan normal plasenta akan melepkaskan debris trofoblas, sebagai sisa proses
apoptosis dan nektrotik trofoblas, akibat reaksi stres oksidatif. Bahan-bahan ini selanjutnya
akan merangsang proses inflamasi. Pada kehamilan normal, jumlah debris trofoblas masih
dalam batas wajar, sehingga reaksi inflamasi juga masih dalam batas normal. Hal tersebut
berbeda dengan proses apoptosis pada preeklampsia, dimana terjadi peningkatan stress oksidatif
dan peningkatan produksi debris apoptosis dan nekrotik trofoblas. Sehingga menjadi bebas
reaksi inflamasi dalam darah ibu sampai menimbulkan gejala-gejala preeklampsia padai ibu.

II.3.2 Patofisiologi

Dalam perjalanannya beberapa faktor di atas tidak berdiri sendiri, tetapi


kadang saling berkaitan dengan titik temunya pada invasi tropoblast dan
terjadinya iskemia plasenta. Pada preeklampsia ada dua tahap perubahan yang
mendasari patogenesianya. Tahap pertama adalah: hipoksia plasenta yang terjadi
karena berkurangnya aliran darah dalam arteri spiralis. Hal ini terjadi karena
kegagalan invasi sel tropoblast pada dinding arteri spiralis pada awal kehamilan
dan awal trimester kedua kehamilan sehingga arteri spiralis tidak dapat melebar
dengan sempurna dengan akibat penurunan aliran darah dalam ruangan intervilus
diplasenta sehingga terjadilah hipoksia plasenta. Hipoksia plasenta yang
berkelanjutan ini akan membebaskan zat-zat toksis seperti sitokin, radikal bebas
dalam bentuk lipid peroksidase dalam sirkulasi darah ibu, dan akan menyebabkan
terjadinya stress oksidatif yaitu suatu keadaan di mana radikal bebas
jumlahnya lebih dominan dibandingkan antioksidan. Stress oksidatif pada tahap
berikutnya bersama dengan zat toksis yang beredar dapat merangsang terjadinya
kerusakan pada sel endothel pembuluh darah yang disebut disfungsi endothel
yang dapat terjadi pada seluruh permukaan endothel pembuluh darah pada organ-
organ penderita preeklampsia.

Pada disfungsi endothel terjadi ketidakseimbangan produksi zat-zat yang


bertindak sebagai vasodilator seperti prostasiklin dan at oksida, dibandingkan
dengan vasokonstriktor seperti endothelium I, tromboxan, dan angiotensin II
sehingga akan terjadi vasokonstriksi yang luas dan terjadilah hipertensi.
Peningkatan kadar lipid peroksidase juga akan mengaktifkan sistem koagulasi,
sehingga terjadi agregasi trombosit dan pembentukan thrombus. Secara
keseluruhan setelah terjadi disfungsi endothel di dalam tubuh penderita
preeklampsia jika prosesnya berlanjut dapat terjadi disfungsi dan kegagalan organ
seperti:9,10,11
 Pada ginjal: hiperurisemia, proteinuria, dan gagal ginjal.

 Penyempitan pembuluh darah sistemik ditandai dengan hipertensi. Perubahan


permeabilitas pembuluh darah ditandai dengan oedema paru dan oedema
menyeluruh.
 Pada darah dapat terjadi trombositopenia dan koagulopati.

 Pada hepar dapat terjadi pendarahan dan gangguan fungsi hati.

 Pada susunan syaraf pusat dan mata dapat menyebabkan kejang, kebutaan,
pelepasan retina, dan pendarahan.
 Pada plasenta dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan janin, hipoksia
janin, dan solusio plasenta.

II.4 Tanda dan gejala klinis

 Tekanan darah sistolik ≥160 mm/Hg dan/ atau tekanan diastolik ≥110 mm/Hg
 Sakit kepala berat dan persisten
 Gangguan penglihatan, seperti pandangan kabur atau sensitif terhadap cahaya
 Nyeri epigastrik dan region abdomen kanan atas
 Sesak napas
 Pusing, lemas, dan tidak enak badan
 Frekuensi buang air kecil dan volume urine menurun
 Mual dan muntah
 Hiperrefleksia
 Edema pada tungkai, tangan, wajah, dan beberapa bagian tubuh lain12
II. 5 Diagnosis Preeklamsia

II.5.1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan dengan tujuan untuk mendeteksi


hipertensi yang berkaitan dengan kehamilan, dan mencari tahu tanda dan gejalanya.
Riwayat dari status obstetri sangat membantu untuk memastikan perubahan atau
progresivitas dari hasil temuan. Gangguan penglihatan (khususnya scotoma), atau nyeri
kepala yang berat atau persisten dapat mengindikasikan terjadinya vasospasme. Nyeri
regio kanan atas abdomen dapat menunjukkan keterlibatan hati. Adanya riwayat dari
kehilangan kesadaran ataupun kejang, walaupun pada pasien dengan kelainan kejang,
dapat membantu secara signifikan 13

Dalam pemeriksaan tekanan darah, posisi dari pasien saat pemeriksaan, ukuran
besar cuff memengaruhi hasil pengukuran tekanan darah. Pada perjalanan kehamilan,
tekanan darah biasanya menurun sedikit pada trimester kedua, dan naik hingga mencapai
tekanan darah sebelum kehamilan menjelang kelahiran.13

Massa tubuh ibu dibandingkan dengan massa tubuh sebelum kehamilan dan
dengan massa tubuh sebelumnya pada kehamilan. Hal ini dilakukan guna melihat
pertambahan massa tubuh ibu, dan perlu diperhatikan apabila ditemukan pertambahan
massa tubuh ibu yang berlebihan atau terlalu cepat. Pada wanita dengan preeklampsia
dapat ditemukan adanya edema pada ekstremitas atas, dan muka. Pemeriksaan refleks
tendon achilles dan patellar dapat dilakukan dan dapat ditemukan adanya hiperrefleksia 13

II.5.2 Penegakkan Diagnosis Preeklampsia Berat


American College of Obstetricians and Gynecologists menyatakan preeklampsia dengan gejala
pemberat (preeclampsia with severe features) adalah:
 Tekanan darah sistolik ≥160 mm/Hg, atau tekanan darah diastolik ≥110 mm/Hg pada 2 kali
pengukuran minimal berjarak 4 jam (kecuali kalau terapi antihipertensi diberikan sebelum waktu
ini).
 Thrombositopenia (jumlah platelet 1,1 mg/dL atau sebanyak 2 kali lipat konsentrasi serum
kreatinin dengan tidak adanya penyakit ginjal lainnya.
 Edema paru (pulmonary edema).
 Nyeri kepala dengan onset baru yang tidak merespon pengobatan dan tidak disebabkan oleh
diagnosis lainnya.
 Gangguan penglihatan (visual disturbances).
Beberapa penelitian terbaru menunjukkan rendahnya hubungan antara kuantitas protein urin
terhadap luaran preeklampsia, sehingga kondisi protein urin masif ( lebih dari 5 g) telah
dieleminasi dari kriteria pemberatan preeklampsia (preeklampsia berat). Kriteria terbaru tidak lagi
mengkategorikan lagi preeklampsia ringan, dikarenakan setiap preeclampsia merupakan kondisi
yang berbahaya dan dapat mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas secara
signifikan dalam waktu singkat.

II.6 Pencegahan
Berbagai strategi yang digunakan untuk mencegah atau memodifikasi keparahan preeklampsia
antara lain :

1. Antenatal Care (ANC)


Deteksi dini preeklampsia dilakukan dengan berbagai pemeriksaaan tanda biologis, biofisik dan
biokimia sebelum timbulnya gejala klinis sindrom preeklampsi. Hal ini diupayakan dengan
mengidentifikasi kehamilan risiko tinggi dan mencegah pengobatan dalam rangka menurunkan
komplikasi penyakit dan kematian melalui modifikasi ANC.

WHO merekomendasikan semua ibu hamil harus melakukan kunjungan ANC minimal 8x. Yaitu
kunjungan pertama dilakukan sebelum usia kehamilan 12 minggu dan kunjungan selanjutnya di
usia kehamilan 20, 26, 30, 34, 36, 38 dan 40 minggu.5

Pemantauan yang lebih ketat memungkinkan lebih cepatnya identifikasi perubahan tekanan darah
yang berbahaya, temuan laboratorium yang penting, dan perkembangan tanda dan gejala yang
penting. Frekuensi kunjungan ANC bertambah sering pada trimester ketiga, dan hal ini membantu
deteksi dini preeclampsia.

2. Manipulasi Diet
a. Suplemantasi Kalsium
WHO merekomendasikan pemberian kalsium rutin sebanyak 1500-2000 mg elemen
kalsium perhari, terbagi menjadi 3 dosis (dianjurkan dikonsumsi mengikuti waktu makan).
Lama konsumsi adalah semenjak kehamilan 20 minggu hingga akhir kehamilan.
Pemberian kalsium dianjurkan untuk ibu hamil terutama dengan risiko tinggi untuk
terjadinya hipertensi pada kehamilan dan daerah dengan asupan kalsium yang rendah.3

b. Suplementasi Vitamin D
Institute of Medicine (IOM) dan ACOG merekomendasikan suplemen vitamin D 600
IU perhari untuk ibu hamil guna mendukung metabolisme tulang ibu dan janin. Dan dosis
1000-2000 IU per hari untuk kasus defisiensi vitamin D.

3. Antioksidan
Terdapat data empiris bahwa ketidakseimbangan antara aktivitas oksidan dan antioksidan
mungkin memiliki peran penting dalam pathogenesis preeklampsia. Dua antioksidan alamiah
yaitu vitamin C dan vitamin E dapat menurunkan oksidan tersebut. Suplementasi diet
diajukan sebagai metode untuk memperbaiki kemampuan oksidatif perempuan yang berisiko
mengalami preeklampsia.
4. Agen Antitrombotik
Dengan aspirin dosis rendah yaitu dalam dosis oral 50 hingga 150 mg/hari, aspirin secara
efektif menghambat biosintesan A2 dalam trombosit dengan efek minimal pada produksi
prostlasiklin vaskuler. Berdasarkan penelitian Paris Collaborative Group untuk perempuan
yang mendapatkan aspirin, risiko relatif preeklampsia menurun secara bermakna sebesar 10%
untuk terjadinya preeklampsia. Karena manfaat marginal ini, menggunakan aspirin dosis
rendah yang disesuaikan bagi tiap individu untuk mencegah berulangnya preeklampsia.3

II. 7 Tatalaksana

Tatalaksana preeclampsia berat harus dikerjakan berdasarkan penilaian yang cermat,


stabilisasi kondisi ibu, monitoring ketat dan melakukan persalinan dalam waktu dan kondisi
yang tepat. Beberapa hal yang sama harus dikerjakan dalam penanganan preeclampsia
berat:

a. Manajemen Ekspektatif
Tujuan utama dari manajemen ekspektatif adalah untuk memperbaiki luaran perinatal dengan
mengurangi morbiditas neonatal serta memperpanjang usia kehamilan tanpa membahayakan ibu.
Perawatan Ekspektatif pada Preeklampsia Berat Rekomendasi:
1. Manajemen ekspektatif direkomendasikan pada kasus preeklampsia berat dengan usia
kehamilan kurang dari 34 minggu dengan syarat kondisi ibu dan janin yang stabil
2. Manajemen ekspektatif pada preeklampsia berat juga direkomendasikan untuk
melakukan perawatan di fasilitas kesehatan yang adekuat dengan tersedianya perawatan
intensif bagi maternal dan neonatal

3. Bagi wanita yang melakukan perawatan ekspektatif preekklamsia berat, pemberian


kortikosteroid direkomendasikan untuk membantu pematangan paru janin
4. Pasien dengan preeklampsia berat direkomendasikan untuk melakukan rawat inap selama
melakukan perawatan ekspektatif

b.Pemberian Magnesium sulfat untuk mencegah Kejang

Magnesium Sulphate(MgSO4) adalah obat pilihan pertama dalam mencegah kejang pada
kasus preeclampsia berat.
Cara pemberian magnesium sulfat adalah sebagai berikut:

 Dosis Inisial
 4 g MgSO440% dibuat dengan cara mengencerkan 10 ml larutan MgSO4 dalam 10ml
aquades, diberikan bolus (IV) selama 10-15 menit
 Segera dilanjutkan dengan 6 g MgSO4 40% dibuat dengan cara melarutkan 15ml larutan
MgSO4 ke dalam 500 ml RL, habis dalam 6 jam
 Jika kejang berulang setelah 15 menit, berikan 2 g MgSO 440% dibuat dengan cara
mengencerkan 5 ml larutan MgSO4 dalam 5 ml aquades, diberikan bolus (IV) selama 5 menit.
 Dosis Rumatan
Larutan MgSO4 40% 1 g/jam dimasukkan melalui cairan infus Ringer Laktat (RL)/Ringer Asetat
(RA) yang diberikan sampai 24 jam pascapersalinan
Pemberian MgSO4 memiliki syarat-syarat pemberian yang harus terpenuhi, yaitu:
 Harus tersedia antidotum MgSO4 yakni Ca Gluconas 10%. Jika terjadi tanda-tanda
intoksikasi (refleks patella menghilang, distres pernapasan), segera berikan 1g Ca Gluconas 10%
yang dibuat dengan cara mengencerkan 10 ml larutan Ca Gluconas dalam 10 ml aquades,
diberikan secara IV dalam 3-5 menit
 Refleks pattela pasien normal
 Frekuensi pernapasan ≥16 kali/menit dan tidak ada tanda-tanda distres pernapasan.
 Produksi urin > 100 cc dalam 4 jam sebelumnya (0,5 cc/kgBB/jam)
Pemberian magnesium sulfat harus dihentikan jika terdapat tanda-tanda intoksikasi atau setelah
24 jam pascapersalinan/24 jam setelah kejang terakhir. Selain sebagai terapi untuk menghentikan
kejang, magnesium sulfat juga diberikan kepada pasien dengan tanda-tanda preeklampsia berat
sebagai profilaksis kejang. Dosis yang digunakan serupa dengan dosis terapi pada preeklampsia
dengan kejang (eklampsia).
Alternatif Antikonvulsan
Alternatif antikonvulsan lain selain magnesium sulfat yang dapat dipakai adalah diazepam.
Diazepam IV 10 mg diberikan secara perlahan kurang lebih selama 2 menit. Jika kejang berulang
dapat diulang sesuai dosis awal. Jika kejang sudah teratasi, dosis rumatan yang dipakai adalah 40
mg diazepam dilarutkan dalam 500 ml RL dihabiskan dalam 24 jam.
Pemberian diazepam harus dilakukan dengan sangat hati-hati karena risiko depresi pernapasan
(Dosis maksimal diazepam >30 mg/jam). Perlu menjadi catatan bahwa pemberian diazepam
sebagai antikonvulsan pada preeklampsia dilakukan jika memang betul-betul dalam kondisi tidak
tersedia magnesium sulfat.

c. Antihipertensi
Pada ibu hamil dengan hipertensi berat(>160/110mmHg), obat penurun tekanan
darah diberikan dengan target menurunkan tekanan darah <160/10mmHg. Pada hipertensi
berat, obat pilihan utama yaitu kapsul nifedipine short acting, hydralazine intravena atau
parenteral labetolol. Alternative lain adalah nitrogliserin, metildopa, labetalol. Nifedipine
dapat diberikan dengan dosis awal 3 x 10 mg per oral, dengan dosis maksimmal 120
mg/hari. Nifedipine tidak boleh diberikan secara sublingual.

d. Pemberian Kortikosteroid untuk Maturasi Paru Janin


Kortikosteroid harus diberikan pada ibu preeclampsia dengan usia kehamilan < 34
minggu. Pemberian steroid pada wanita yang terancam persalinan premature sangat
signifikan menurunkan mortalitas dan morbiditas neonatal. ACOG menyatakan bahwa
pilihan steroid untuk maturasi paru janin, yaitu :
 Dexamethasone 4 x 6 mg (IM) tiap 2 jam atau dalam 2 hari pemberian
 Betamethasone 2 x 12 mg (IM) tiap 24 jam atau dalam 2 hari pemberian
2.7 Komplikasi

Preeklampsia berat dapat menyebabkan komplikasi baik pada ibu maupun bayi.
Komplikasi preeclampsia berat pada ibu termasuk eklamsia, kerusakan organ seperti edema
paru, gagal ginjal, gagal hati, penyakit jantung, koagulopati, solusio plasenta, sindrom
HELLP. Komplikasi pada janin dapat berupa pertumbuhan janin terhambat, lahir premature,
BBLR, Neonatal respiratory distress syndrome (NRDS). 8

2.8 Prognosis
Prognosis preeclampsia dibedakan menjadi prognosis pada ibu dan bayi. Prognosis pada
ibu sangat tergantung pada waktu ditemukan kondisi preeclampsia pada ibu hamil, kondisi klinis
ibu, hasil laboratorium, komplikasi yang terjadi dan ketepatan pelaksanaan yang diberikan.
Apabila preeclampsia ditemukan lebih dini dan mendapatkan penatalaksanaan yang optimal,
maka prognosis cenderung baik. Bila ditemukan lebih lambat dengan kondisi ibu yang buruk,
hasil laboratorium buruk, dan terdapat komplikasi maka prognosis nya cenderung buruk.
Prognosis preeclampsia pada bayi cenderung buruk. Adapun risiko komplikasi pada bayi,
yaitu pertumbuhan janin terhambbat, kelahiran premature, bahkan intrauterine fetal death
(IUFD).
BAB III

KESIMPULAN

Preeklampsia merupakan suatu kondisi hipertensi yang baru terjadi pada kehamilan diatas usia
kehamilan 20 minggu yang dapat disertai dengan proteinuria atau disertai salah satu dari gejala-
gejala seperti: trombositopenia, gangguan ginjal, gangguan hati, edema paru, ditemukan gejala
neurologis, dan gangguan pertumbuhan janin. Pengetahuan mengenai preeclampsia menjadi
sangat penting agar dapat melakukan penanganan yang sesuai dan rujukan yang tepat dalam
penanganan preeclampsia. Melalui perawatan antenatal yang teratur dan penggunaan pendekatan
kedokteran pencegahan, yaitu dengan mengenal faktor risiko, mengenal tanda-tanda dini
preeclampsia, serta mengenal tanda-tanda munculnya komplikasi preeklampsia. Juga diharapkan
dapat menurunkan kejadian dan kematian akibat preeklampsia.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementrian Kesehatan RI. 2019. Profil Kesehatan Indonesia 2019. Jakarta: Kemenkes RI.
2. Roberts, J.M., August, P.A., Bakris, G., et al., 2013. Hypertension in Pregnancy. American
College of Obstetricians and Gynecologist. Washington DC.
 Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia dan
Himpunan Kedokteran Fetomaternal. Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran: Diagnosis dan Tatalaksana Pre-
Eklampsia. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia
(POGI) dan Himpunan Kedokteran Feto Maternal. Jakarta.
2016
 Carson MP. Hypertension and Pregnancy. Medscape. 2016
 Osman O, Maynard S. Proteinuria in pregnancy-Reiview.
Front Womens Healt. June 2019;(4)1-5
 English FA, Kenny LC, McCarthy FP. Risk Factor and
effective of preeclampsia. Integr Blood Press Control. 2015;
(8)7-12
 Cahyono I, Setyorini. Reproductive Risk Factor of
Preeclampsia. Indian Journal of Forensic Medicine &
Toxicology. 2019:13(4):1728-31
 Distribution of preeclampsia Risk Factor in Pregnant Woman
with Mild preeclampsia in Banyumas District. Jurnal
Kebidanan. 2019;9(2):135-141
 Rana S, Lemoine E, Granger JP, Karumanchi. Preeclampsia.
Circulation Research. 2019.124(7):1094-112
 Burton GJ, Redman CW, Roberts JM, Moffett A. Pre-
eclampsia: pathophysiology and clinical implications.
BMJ.2019;366:12381

 McElwain CJ, Tuboly E. Mechanisms of Endothelial


Dysfunction in Pre-eclampsia and Gestational Diabetes
Mellitus: Windows Into Future Cardiometabolic Health?.
Front Endocrinol(Lausanne).202011:655

 Lim KH. Preeclampsia. Medscape.2018

 Casanova, R., Chuang, A., Goepfert, A. R., Hueppchen, N.


A., Weiss, P. M., Beckmann, C. R. B., Ling, F. W., Herbert,
W. N. P., Laube, D. W., Smith, R. R., 2018. „Cardiovasculars
and Respiratory Disorders‟ in Beckmann and Ling’s
Obstetrics and Gynecology, 8th edn, Wolters Kluwer, pp.
480-484.

 Lawrence L, Fontaine WP. Hypertensive Disorders of


Pregnancy. American Family Physician. 2016;93(2):121-6

Anda mungkin juga menyukai