Pendahuluan
Kesehatan ibu merupakan salah satu prioritas pembangunan kesehatan di Indonesia. Adapun
indikator yang dapat digunakan untuk melihat kesehatan ibu di indonesia adalah angka kematian
ibu (AKI). AKI adalah rasio kematian ibu selama masa kehamilan, persalinan dan nifas yang
disebabkan oleh kehamilan, persalinan, dan nifas itu sendiri atau pengelolaannya tetapi bukan
karena sebabsebab lain seperti kecelakaan atau terjatuh di setiap 100.000 kelahiran hidup. AKI
juga dapat digunakan untuk menilai derajat kesehatan masyarakat. Berdasarkan hasil survei
penduduk antar sensus (SUPAS) Badan Pusat Statistik tahun 2015, terjadi penurunan kematian
ibu dalam rentang tahun 1991 (390 kematian ibu) hingga tahun 2015 (305 kematian ibu) per
100.000 kelahiran hidup. Walaupun terjadi penurunan kematian ibu dalam rentang tahun 1991
hingga tahun 2015, tetapi hal tersebut belum mencapai target Millennium Development Goals
(MDGs) sebesar 102 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. Hasil SUPAS 2015 juga
memperlihatkan bahwasanya AKI tahun 2015 tiga kali lipat dibandingkan target MDGs.1
AKI di Indonesia didominasi oleh tiga penyebab utama yaitu, adanya perdarahan, adanya
hipertensi dalam kehamilan, dan infeksi.1 Hipertensi dalam kehamilan (HDK) merupakan kondisi
terjadinya peningkatan tekanan darah pada masa kehamilan yang ditandai dengan tekanan darah
sitolik ≥140 mmHg dan/atau diastolik ≥ 90mmHg. Adapun pengukuran tekanan darah dilakukan
pada dua kali pemeriksaan berjarak waktu 4-6 jam. Menurut American College of Obstetricians
and Gynecologists (ACOG) tahun 2013, hipertensi dalam kehamilan dapat dibagi menjadi 4
kategori, yaitu preeclampsia-eklampsia, hipertensi kronik (dengan berbagai penyebab), hipertensi
kronik dengan superimposed preeklampsia, dan hipertensi gestasional.2
Preeklampsia merupakan suatu kondisi hipertensi yang baru terjadi pada kehamilan diatas usia
kehamilan 20 minggu yang dapat disertai dengan proteinuria atau disertai salah satu dari gejala-
gejala seperti: trombositopenia, gangguan ginjal, gangguan hati, edema paru, ditemukan gejala
neurologis, dan gangguan pertumbuhan janin.3
Manifestasi klinis preeclampsia yang terjadi pada wanita hamil seringkali lambat terdeteksi
sehingga tanpa disadari dalam waktu singkat dapat timbul keadaan yang dapat membahayakan
ibu dan janin. Munculnya preeclampsia pada kehamilan dapat menyebabkan komplikasi pada ibu,
seperti eklampsia, sindroma hemolysis, elevated liver enzyme, and low platelets count (HELLP),
perdarahan intraseerebral, edem pulmoner, dan gagal ginjal akut. Selain itu preeclampsia juga
dapat menyebabkan gangguan kesejahteraan terhadap janin, seperti terjadinya kelahiran
premature, intrauterine growth restriction (IUGR), sampai dengan intrauterine fetal death
(IUFD).4
Pemahaman yang mendasar mengenai preeclampsia menjadi sangat penting bagi dokter layanan
primer sehingga dapat melakukan penanganan yang sesuai dan rujukan yang tepat dalam
penanganan preeclampsia. Melalui perawatan antenatal yang teratur dan penggunaan pendekatan
kedokteran pencegahan, yaitu dengan mengenal faktor risiko, mengenal tanda-tanda dini
preeclampsia, serta mengenal tanda-tanda munculnya komplikasi preeklampsia. Juga diharapkan
dapat menurunkan kejadian dan kematian akibat preeklampsia. Didalam penulisan ini akan
diuraikan sebuah kasus perawatan konservatif preeclampsia berat (PEB) dari aspek teori,
penatalaksanaan, kesesuaian teori dengan penatalaksanaannya.
Bab II
Pembahasan
II.1 Definisi
Secara klasik, preeklampsia didefinisikan sebagai suatu kondisi terjadinya hipertensi dan adanya
proteinuria pada usia kehamilan > 20 minggu. Hipertensi merupakan tekanan darah sistolik ≥ 140
mmHg dan/atau diastolic ≥ 90mmHg. Sedangkan proteinuria merupakan eksresi protein abnormal
pada urin ≥300mg/24 jam, atau perbandingan protein kreatinin ≥0,3, atau hasil uji dipstick
protein 30 mg/dL atau +2. Meskipun demikian seringkali wanita hamil dengan hipertensi dapat
menunjukkan gejala gangguan organ multisistemik tanpa adanya proteinuria.5 Sehingga pada
tahun 2013, ACOG mendeklarasikan definisi baru mengenai preeclampsia, yaitu dengn tidak
terdapatnya proteinuria, diagnosis preeclampsia pada wanita hamil ditegakkan apabila terdapat
kondisi trombositopenia (platelet<100.000/microliter), gangguan fungsi hati (peningkatan kadar
enzim liver transaminase didalam darah sebesar dua kali dari konsentrasi normal), insufisiensi
ginjal (peningkatan serum kreatinin > 1,1 mg/dL atau peningkatan ganda serum kreatinin tanpa
adanya penyakit ginjal), edema pulmoner, dan gangguan pada serebral dan fungsi penglihatan.2
1. Usia Ibu
Usia sangat mempengaruhi kehamilan maupun persalinan. Usia yang baik untuk
hamil atau melahirkan 20 sampai 35 tahun. Pada usia tersebut alat reproduksi wanita telah
berkembang dan berfungsi secara maksimal.
Pada kehamilan < 20 tahun, ke adaan reproduksi yang belum siap menerima
kehamilan akan meningkatkan keracunan kehamilan dalam berntuk preeclampsia atau
toksemia gravidarum. Sedangkan pada usia > 35 tahun seiring bertambahnya usia rentan
untuk terjadi peningkatan tekanan darah karena terjadi degenerasi. Adanya perubahan
patologis, yaitu terjadinya spasme pembuluh darah arteriol menuju organ penting sehingga
menimbulkan gangguan metabolism, gangguan peredaran darah menuju retroplasenta.
2. Primigravida
Status gravida adalah wanita yang sedang hamil. Status gravida dibagi menjadi 2
kategori, yaitu primigravi dan dan multigravida. Primigravida adalah wanita yang hamil
untuk pertama kalinya. Multigravida adalah wanita yang hamil ke 2 atau lebih.
Preeklampsia banyak dijumpai pada primigravida daripada multigravida, terutama
primigravida usia muda. Primigravida lebih berisiko mengalami preeklampsia daripada
multigravida karena preeklampsia biasanya timbul pada wanita yang pertama kali terpapar
virus korion. Hal ini terjadi karena pada wanita tersebut mekanisme imunologik
pembentukan blocking antibody yang dilakukan oleh HLA-G terhadap antigen plasenta
belum terbentuk secara sempurna, sehingga proses implantasi trofoblas ke jaringan
desidual ibu menjadi terganggu. Primigravida juga rentan stress dalam menghadapi
persalinan yang menstimulasi tubuh unuk mengeluarkan kortisol. Efek kortisol adalah
meningkatkan respon simpatis, sehingga curah jantung dan tekanan darah juga akan
meningkat.
3. Multipara dengan riwayat preeklampsia sebelumnya
Riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya merupakan faktor risiko utama.
Kehamilan pada wanita dengan riwayat preeklampsia sebelumnya berkaitan dengan
tingginya kejadian preeklampsia berat, preeklampsia onset dini, dan dampak perinatal
yang buruk.
Kehamilan setelah inseminasi donor sperma, donor oosit atau donor embrio
juga dikatakan sebagai faktor risiko. Satu hipotesis yang populer penyebab preeklampsia
adalah maladaptasi imun. Mekanisme dibalik efek protektif dari paparan sperma masih
belum diketahui. Data menunjukkan adanya peningkatan frekuensi preeklampsia setelah
inseminasi donor sperma dan oosit, frekuensi preeklampsia yang tinggi pada kehamilan
remaja, serta makin mengecilnya kemungkinan terjadinyapreeklampsia pada wanita hamil
dari pasangan yang sama dalam jangka waktu yang lebih lama. Walaupun preeklampsia
dipertimbangkan sebagai penyakit pada kehamilan pertama, frekuensi preeklampsia
menurun drastis pada kehamilan berikutnya apabila kehamilan pertama tidak mengalami
preeklampsia. Namun, efek protektif dari multiparitas menurun apabila berganti
pasangan. 6,7,8
Obesitas adalah kondisi IMT yang masuk ketaegori gemuk (kelebihan berat
badan tigkat berat). Obesitas sebelum hamil dan IMT saat pertama kali ANC merupakan
faktor risiko preeklampsia dan risiko ini semakin besar dengan semakin besarnya IMT
pada wanita hamil karena obesitas berhubungan dengan penimbunan lemak yang berisiko
munculnya penyakit degeneratif. Obesitas adalah adanya penimbunan lemak yang
berlebihan di dalam tubuh. Obesitas dapat memicu terjadi nya preeklampsia melalui
pelepasan sitokin-sitokin inflamasi dari sel jaringan lemak, selanjutnya sitokin
menyebabkan inflamasi pada endotel sistemik. Peningkatan IMT sebelum hamil
meningkatkan risiko preeklampsia 2,5 kali lipat dan peningkatan IMT selama ANC
meningkatkan risiko preeklampsia sebesar 1,5 kali lipat. 6,7,8
II.3.1 Etiologi 10
Penyebab hipertensi kehamilan hingga saat ini belum di ketahui dengan jelas.
Banyak teori telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam kehamilan,
tetapi tidak ada satu pun teori tersebut yang dianggap mutlak benar. Teori-teori
yang sekarang dianut adalah:
1. Teori kelainan vaskularisasi
Pada kehamilan normal, dengan sebab yang belum jelas, terjadi invasi trofoblas ke dalam
lapisan otot arteria spiralis, yang menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut sehingga terjadi
dilatasi arterialis. Invasi trofoblas juga memasuki jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga
jaringan matriks menjadi gembur dan memudahkan lumen arteri spiralis mengalami distensi
dan dilatasi. Hal ini memberi dampak penururnan tekanan darah, penurunan resistensi vaskular,
dan peningkatan aliran darah pada daerah uteroplasenta. Akibatnya aliran darah ke janin cukup
banyak dan perfusi jaringan juga meningkat sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin
dengan baik. Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada lapisan
otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap
kaku dan keras sehingga lumen arteri spiralis tidak memungkinkan mengalami distensi dan
vasodilatasi. Akibatnya arteri spiralis relatif mengalami vasokonstriksi, sehingga aliran
uteroplasenta menurun dan terjadi hipoksia dan iskemik plasenta.
2. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel
Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan menghasilkan oksidan
(radikal bebas). Salah satu oksidan penting yang dihasilkan plasenta iskemia
adalah radikal hidroksil yang sangat toksis, khususnya terhadap membran sel
endotel pembuluh darah. Radikal ini akan merusak membran sel yang
mengandung banyak asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak.
Peroksida lemak selain dapat merusak membran sel, juga akan merusak
nukleus dan protein sel endotel. Jika sel endotel terpapar terhadap peroksida
lemak maka akan terjadi disfungsi endotel, yang akan berakibat:
Gangguan metabolisme prostaglandin
Pada kehamilan normal plasenta akan melepkaskan debris trofoblas, sebagai sisa proses
apoptosis dan nektrotik trofoblas, akibat reaksi stres oksidatif. Bahan-bahan ini selanjutnya
akan merangsang proses inflamasi. Pada kehamilan normal, jumlah debris trofoblas masih
dalam batas wajar, sehingga reaksi inflamasi juga masih dalam batas normal. Hal tersebut
berbeda dengan proses apoptosis pada preeklampsia, dimana terjadi peningkatan stress oksidatif
dan peningkatan produksi debris apoptosis dan nekrotik trofoblas. Sehingga menjadi bebas
reaksi inflamasi dalam darah ibu sampai menimbulkan gejala-gejala preeklampsia padai ibu.
II.3.2 Patofisiologi
Pada susunan syaraf pusat dan mata dapat menyebabkan kejang, kebutaan,
pelepasan retina, dan pendarahan.
Pada plasenta dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan janin, hipoksia
janin, dan solusio plasenta.
Tekanan darah sistolik ≥160 mm/Hg dan/ atau tekanan diastolik ≥110 mm/Hg
Sakit kepala berat dan persisten
Gangguan penglihatan, seperti pandangan kabur atau sensitif terhadap cahaya
Nyeri epigastrik dan region abdomen kanan atas
Sesak napas
Pusing, lemas, dan tidak enak badan
Frekuensi buang air kecil dan volume urine menurun
Mual dan muntah
Hiperrefleksia
Edema pada tungkai, tangan, wajah, dan beberapa bagian tubuh lain12
II. 5 Diagnosis Preeklamsia
Dalam pemeriksaan tekanan darah, posisi dari pasien saat pemeriksaan, ukuran
besar cuff memengaruhi hasil pengukuran tekanan darah. Pada perjalanan kehamilan,
tekanan darah biasanya menurun sedikit pada trimester kedua, dan naik hingga mencapai
tekanan darah sebelum kehamilan menjelang kelahiran.13
Massa tubuh ibu dibandingkan dengan massa tubuh sebelum kehamilan dan
dengan massa tubuh sebelumnya pada kehamilan. Hal ini dilakukan guna melihat
pertambahan massa tubuh ibu, dan perlu diperhatikan apabila ditemukan pertambahan
massa tubuh ibu yang berlebihan atau terlalu cepat. Pada wanita dengan preeklampsia
dapat ditemukan adanya edema pada ekstremitas atas, dan muka. Pemeriksaan refleks
tendon achilles dan patellar dapat dilakukan dan dapat ditemukan adanya hiperrefleksia 13
II.6 Pencegahan
Berbagai strategi yang digunakan untuk mencegah atau memodifikasi keparahan preeklampsia
antara lain :
WHO merekomendasikan semua ibu hamil harus melakukan kunjungan ANC minimal 8x. Yaitu
kunjungan pertama dilakukan sebelum usia kehamilan 12 minggu dan kunjungan selanjutnya di
usia kehamilan 20, 26, 30, 34, 36, 38 dan 40 minggu.5
Pemantauan yang lebih ketat memungkinkan lebih cepatnya identifikasi perubahan tekanan darah
yang berbahaya, temuan laboratorium yang penting, dan perkembangan tanda dan gejala yang
penting. Frekuensi kunjungan ANC bertambah sering pada trimester ketiga, dan hal ini membantu
deteksi dini preeclampsia.
2. Manipulasi Diet
a. Suplemantasi Kalsium
WHO merekomendasikan pemberian kalsium rutin sebanyak 1500-2000 mg elemen
kalsium perhari, terbagi menjadi 3 dosis (dianjurkan dikonsumsi mengikuti waktu makan).
Lama konsumsi adalah semenjak kehamilan 20 minggu hingga akhir kehamilan.
Pemberian kalsium dianjurkan untuk ibu hamil terutama dengan risiko tinggi untuk
terjadinya hipertensi pada kehamilan dan daerah dengan asupan kalsium yang rendah.3
b. Suplementasi Vitamin D
Institute of Medicine (IOM) dan ACOG merekomendasikan suplemen vitamin D 600
IU perhari untuk ibu hamil guna mendukung metabolisme tulang ibu dan janin. Dan dosis
1000-2000 IU per hari untuk kasus defisiensi vitamin D.
3. Antioksidan
Terdapat data empiris bahwa ketidakseimbangan antara aktivitas oksidan dan antioksidan
mungkin memiliki peran penting dalam pathogenesis preeklampsia. Dua antioksidan alamiah
yaitu vitamin C dan vitamin E dapat menurunkan oksidan tersebut. Suplementasi diet
diajukan sebagai metode untuk memperbaiki kemampuan oksidatif perempuan yang berisiko
mengalami preeklampsia.
4. Agen Antitrombotik
Dengan aspirin dosis rendah yaitu dalam dosis oral 50 hingga 150 mg/hari, aspirin secara
efektif menghambat biosintesan A2 dalam trombosit dengan efek minimal pada produksi
prostlasiklin vaskuler. Berdasarkan penelitian Paris Collaborative Group untuk perempuan
yang mendapatkan aspirin, risiko relatif preeklampsia menurun secara bermakna sebesar 10%
untuk terjadinya preeklampsia. Karena manfaat marginal ini, menggunakan aspirin dosis
rendah yang disesuaikan bagi tiap individu untuk mencegah berulangnya preeklampsia.3
II. 7 Tatalaksana
a. Manajemen Ekspektatif
Tujuan utama dari manajemen ekspektatif adalah untuk memperbaiki luaran perinatal dengan
mengurangi morbiditas neonatal serta memperpanjang usia kehamilan tanpa membahayakan ibu.
Perawatan Ekspektatif pada Preeklampsia Berat Rekomendasi:
1. Manajemen ekspektatif direkomendasikan pada kasus preeklampsia berat dengan usia
kehamilan kurang dari 34 minggu dengan syarat kondisi ibu dan janin yang stabil
2. Manajemen ekspektatif pada preeklampsia berat juga direkomendasikan untuk
melakukan perawatan di fasilitas kesehatan yang adekuat dengan tersedianya perawatan
intensif bagi maternal dan neonatal
Magnesium Sulphate(MgSO4) adalah obat pilihan pertama dalam mencegah kejang pada
kasus preeclampsia berat.
Cara pemberian magnesium sulfat adalah sebagai berikut:
Dosis Inisial
4 g MgSO440% dibuat dengan cara mengencerkan 10 ml larutan MgSO4 dalam 10ml
aquades, diberikan bolus (IV) selama 10-15 menit
Segera dilanjutkan dengan 6 g MgSO4 40% dibuat dengan cara melarutkan 15ml larutan
MgSO4 ke dalam 500 ml RL, habis dalam 6 jam
Jika kejang berulang setelah 15 menit, berikan 2 g MgSO 440% dibuat dengan cara
mengencerkan 5 ml larutan MgSO4 dalam 5 ml aquades, diberikan bolus (IV) selama 5 menit.
Dosis Rumatan
Larutan MgSO4 40% 1 g/jam dimasukkan melalui cairan infus Ringer Laktat (RL)/Ringer Asetat
(RA) yang diberikan sampai 24 jam pascapersalinan
Pemberian MgSO4 memiliki syarat-syarat pemberian yang harus terpenuhi, yaitu:
Harus tersedia antidotum MgSO4 yakni Ca Gluconas 10%. Jika terjadi tanda-tanda
intoksikasi (refleks patella menghilang, distres pernapasan), segera berikan 1g Ca Gluconas 10%
yang dibuat dengan cara mengencerkan 10 ml larutan Ca Gluconas dalam 10 ml aquades,
diberikan secara IV dalam 3-5 menit
Refleks pattela pasien normal
Frekuensi pernapasan ≥16 kali/menit dan tidak ada tanda-tanda distres pernapasan.
Produksi urin > 100 cc dalam 4 jam sebelumnya (0,5 cc/kgBB/jam)
Pemberian magnesium sulfat harus dihentikan jika terdapat tanda-tanda intoksikasi atau setelah
24 jam pascapersalinan/24 jam setelah kejang terakhir. Selain sebagai terapi untuk menghentikan
kejang, magnesium sulfat juga diberikan kepada pasien dengan tanda-tanda preeklampsia berat
sebagai profilaksis kejang. Dosis yang digunakan serupa dengan dosis terapi pada preeklampsia
dengan kejang (eklampsia).
Alternatif Antikonvulsan
Alternatif antikonvulsan lain selain magnesium sulfat yang dapat dipakai adalah diazepam.
Diazepam IV 10 mg diberikan secara perlahan kurang lebih selama 2 menit. Jika kejang berulang
dapat diulang sesuai dosis awal. Jika kejang sudah teratasi, dosis rumatan yang dipakai adalah 40
mg diazepam dilarutkan dalam 500 ml RL dihabiskan dalam 24 jam.
Pemberian diazepam harus dilakukan dengan sangat hati-hati karena risiko depresi pernapasan
(Dosis maksimal diazepam >30 mg/jam). Perlu menjadi catatan bahwa pemberian diazepam
sebagai antikonvulsan pada preeklampsia dilakukan jika memang betul-betul dalam kondisi tidak
tersedia magnesium sulfat.
c. Antihipertensi
Pada ibu hamil dengan hipertensi berat(>160/110mmHg), obat penurun tekanan
darah diberikan dengan target menurunkan tekanan darah <160/10mmHg. Pada hipertensi
berat, obat pilihan utama yaitu kapsul nifedipine short acting, hydralazine intravena atau
parenteral labetolol. Alternative lain adalah nitrogliserin, metildopa, labetalol. Nifedipine
dapat diberikan dengan dosis awal 3 x 10 mg per oral, dengan dosis maksimmal 120
mg/hari. Nifedipine tidak boleh diberikan secara sublingual.
Preeklampsia berat dapat menyebabkan komplikasi baik pada ibu maupun bayi.
Komplikasi preeclampsia berat pada ibu termasuk eklamsia, kerusakan organ seperti edema
paru, gagal ginjal, gagal hati, penyakit jantung, koagulopati, solusio plasenta, sindrom
HELLP. Komplikasi pada janin dapat berupa pertumbuhan janin terhambat, lahir premature,
BBLR, Neonatal respiratory distress syndrome (NRDS). 8
2.8 Prognosis
Prognosis preeclampsia dibedakan menjadi prognosis pada ibu dan bayi. Prognosis pada
ibu sangat tergantung pada waktu ditemukan kondisi preeclampsia pada ibu hamil, kondisi klinis
ibu, hasil laboratorium, komplikasi yang terjadi dan ketepatan pelaksanaan yang diberikan.
Apabila preeclampsia ditemukan lebih dini dan mendapatkan penatalaksanaan yang optimal,
maka prognosis cenderung baik. Bila ditemukan lebih lambat dengan kondisi ibu yang buruk,
hasil laboratorium buruk, dan terdapat komplikasi maka prognosis nya cenderung buruk.
Prognosis preeclampsia pada bayi cenderung buruk. Adapun risiko komplikasi pada bayi,
yaitu pertumbuhan janin terhambbat, kelahiran premature, bahkan intrauterine fetal death
(IUFD).
BAB III
KESIMPULAN
Preeklampsia merupakan suatu kondisi hipertensi yang baru terjadi pada kehamilan diatas usia
kehamilan 20 minggu yang dapat disertai dengan proteinuria atau disertai salah satu dari gejala-
gejala seperti: trombositopenia, gangguan ginjal, gangguan hati, edema paru, ditemukan gejala
neurologis, dan gangguan pertumbuhan janin. Pengetahuan mengenai preeclampsia menjadi
sangat penting agar dapat melakukan penanganan yang sesuai dan rujukan yang tepat dalam
penanganan preeclampsia. Melalui perawatan antenatal yang teratur dan penggunaan pendekatan
kedokteran pencegahan, yaitu dengan mengenal faktor risiko, mengenal tanda-tanda dini
preeclampsia, serta mengenal tanda-tanda munculnya komplikasi preeklampsia. Juga diharapkan
dapat menurunkan kejadian dan kematian akibat preeklampsia.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kementrian Kesehatan RI. 2019. Profil Kesehatan Indonesia 2019. Jakarta: Kemenkes RI.
2. Roberts, J.M., August, P.A., Bakris, G., et al., 2013. Hypertension in Pregnancy. American
College of Obstetricians and Gynecologist. Washington DC.
Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia dan
Himpunan Kedokteran Fetomaternal. Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran: Diagnosis dan Tatalaksana Pre-
Eklampsia. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia
(POGI) dan Himpunan Kedokteran Feto Maternal. Jakarta.
2016
Carson MP. Hypertension and Pregnancy. Medscape. 2016
Osman O, Maynard S. Proteinuria in pregnancy-Reiview.
Front Womens Healt. June 2019;(4)1-5
English FA, Kenny LC, McCarthy FP. Risk Factor and
effective of preeclampsia. Integr Blood Press Control. 2015;
(8)7-12
Cahyono I, Setyorini. Reproductive Risk Factor of
Preeclampsia. Indian Journal of Forensic Medicine &
Toxicology. 2019:13(4):1728-31
Distribution of preeclampsia Risk Factor in Pregnant Woman
with Mild preeclampsia in Banyumas District. Jurnal
Kebidanan. 2019;9(2):135-141
Rana S, Lemoine E, Granger JP, Karumanchi. Preeclampsia.
Circulation Research. 2019.124(7):1094-112
Burton GJ, Redman CW, Roberts JM, Moffett A. Pre-
eclampsia: pathophysiology and clinical implications.
BMJ.2019;366:12381