PADA
OPERASI
MATA
PENDAHULUAN
Persyarafan :
◘ N. okulomotorius (N III) : m. rektus medialis, m.rektus
superior, m. rektus inferior, m. oblikus inferior dan m.
levator palpebra superior
◘ N. troklearis (N IV) bersifat motorik : m. oblikus superior
◘ N. abdusens (N VI) bersifat motorik : m. rektus lateralis
PATOFISIOLOGI
(Donlon, 2005)
Pengaruh Obat Anestesi Pada TIO
Penatalaksanaan OCR :
◘ Penghentian manipulasi pada mata sampai denyut nadi
meningkat
◘ Konfirmasi ventilasi yang adekuat, oksigenasi, dan
kedalaman anestesi
◘ Pemberian atropin 10 g/kg iv jika denyut nadi masih belum
meningkat setelah manipulasi dihentikan
◘ Pada periode yang sulit dikendalikan, infiltrasi m. rectus
dengan anestesi lokal
◘ Refleks akan melemah dengan sendirinya dengan penarikan
otot ekstraokuler berulang
(Morgan, 2002)
GENERAL ANESTESI PADA OPERASI MATA
Premedikasi
◘ Premedikasi yang ideal harus bisa mengendalikan ansietas
dan PONV tanpa mempengaruhi TIO. Midazolam 2-4 mg
i.m.30 menit preoperatif atau 1-2 mg i.v. segera sebelum
retrobulber blok atau sebagai alternatif diazepam 5-10 mg
p.o. 1 jam preoperatif bisa digunakan dan sangat efektif
digunakan
(Acquadro, 1993)
◘ Narkotik dikombinasi dg antiemetik seperti promethazine
(phenergan), hidroksizin (vistaril), atau droperidol.
Barbiturat memberikan tingkat sedasi yang bervariasi
dengan durasi yang panjang tetapi tidak memberikan
analgesia, amnesia, atau pengendalian ansietas
(Acquadro, 1993)
GENERAL ANESTESI PADA OPERASI MATA
Induksi
◘ Pemilihan tehnik induksi untuk operasi mata biasanya
tergantung lebih ke arah kondisi medis pasien daripada
penyakit matanya atau tipe pembedahannya. Pengecualian
pada pasien ruptur bola mata kuncinya adalah menjaga TIO
dengan induksi yang smooth
(Morgan, 2002)
ANESTESI UNTUK PEMBEDAHAN
INTRAOKULER
Glaukoma
◘ Penggunaan obat topikal obat tetes mata yang mengandung
antikolinesterase (mis. ecothiopate) yang biasanya dipakai
pada pasien glaukoma mempermudah terjadinya bradikardi
dan aritmia. Karena itu premedikasi dengan sulfas atropin
10 g/kg i.m. 1 jam sebelumnya sangat berguna untuk
pencegahan. Pada dosis tersebut sulfas atropin tidak
menimbulkan midriasis
(Nunn et al, 1989)
Retinopati prematuritas
◘ Tekanan kapiler oksigen harus dijaga 35-40 mmHg dan
tekanan oksigen arterial dijaga pada 50-70 mmHg pada bayi
prematur. Problem pada anestesiologis adalah imbangan
antara resiko kerusakan akibat hipoksia dan problem
respirasi
(Donlon, 2005)
Dacryocystorhinostomy
◘ Operasi ini berhubungan dengan perdarahan dan beberapa
ahli anestesiologi lebih memilih tehnik hipotensi.
◘ Posisi head up pada operasi ini harus diwaspadai, pada
tehnik anestesi terutama untuk menjaga peningkatan CVP
atau PaCO2 dan infiltrasi daerah operasi dengan
vasokonstriktor.
◘ Resiko sepsis bisa terjadi bila terdapat kontaminasi dari
aparatus lakrimalis yang terinfeksi. Penyusutan mukosa
dengan menggunakan coccain (100-200 mg) sangat
disarankan.
◘ Penggunaan pack pada tenggorokan juga berguna untuk
menyerap darah, tetapi harus dicek ulang pada akhir operasi
dan ujung dari pack harus berada di luar atau ditandai
dengan forcep
(Nunn et al, 1989)
ANESTESI PADA PEMBEDAHAN NON INTRAOKULER
Ablasio retina
◘ Operasi untuk ablasio retina menyebabkan banyak retraksi
pada mata dan terdapat bahaya bradikardi dan aritmia
jantung akibat OCR.
(Nunn et al, 1989)
Strabismus
◘ Kardiak arrest (asistole) dapat terjadi akibat OCR
dilaporkan terjadi 1 kardiak arrest dalam 2200 operasi
strabismus dengan GA
(Nunn et al, 1989; Donlon, 2005)
◘ Dosis atropin 1-2 mg dibutuhkan untuk henti sinus. Dengan
dosis konvensional frekuensi kejadian OCR tinggi sekitar
90% pada pasien yang tidak menerima premedikasi
antikolinergik dan 70% pada pasien yang menerima
premedikasi atropin i.m. atau glikopirolat
(Nunn et al, 1989; Donlon, 2005)
◘ Aritmia yang terjadi biasanya junctional rhytm dan henti
sinus dengan nodal escape yang diikuti oleh denyut
ventrikuler ektopik. Atropin 15 mg/kg i.v. atau glikopirolat
7,5 mg/kg i.v. efektif pada penelitian 160 kasus operasi
strabismus pada anak. Glikopirolat memerlukan waktu 3-4
menit untuk berefek
(Mirakhur et al, 1982)
ANESTESI PADA PEMBEDAHAN NON INTRAOKULER