Anda di halaman 1dari 13

Laporan Kasus

BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA

Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat dalam Menjalani Program Dokter
Internship Indonesia pada Bagian Rumah Sakit
RSUD Langsa
Aceh, 2021

Disusun Oleh:
dr. Aghnia Rahmi

Pembimbing:
dr. Leni Afriani M.K.T

BAGIAN/SMF BEDAH
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH LANGSA
2021
Topik: Bedah-BPH
Tanggal (kasus): 20 Juni 2021 Presenter: dr. Agnia Rahmi
Tanggal (Presentasi): 20 Juni 2021 Pendamping: dr. Leni Afriani M.KT
Tempat presentasi: Ruang Auditorium RSUD Kota Langsa
Obyektif Presentasi
 Keilmuan Keterampilan Penyelenggaraan Tujuan pustaka
 Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi: Laki-Laki 63 tahun dibawa ke IGD RSUD Langsa dengan keluhan tidak bisa BAK
sejak tadi pagi.
Tujuan: Menegakkan diagnosis dan pengobatan awal yang tepat bagi pasien dengan keluhan
tidak bisa BAK serta memberikan edukasi lanjutan pada pasien.
Bahan Bahasan Tinjauan pustaka Riset  Kasus Audit
Cara Diskusi  Presentasi dan Email pos
Membahas diskusi
Data Pasien: Nama: Laki-Laki, Inisial Tn. No. RM : 0-68-36-65
BS usia 63 tahun, Pensiunan,
Gp Jawa.
Nama Klinik: Telp: - Terdaftar sejak 20-06-2021
RSUD Langsa
Data utama untuk bahan diskusi
Diagnosis/Gambaran Klinis:
- Pasien datang dengan keluhan tidak bisa BAK sejak tadi pagi
- Pasien juga mengeluhkan nyeri perut bagian bawah
- Pasien juga mengeluhkan penuh pada perut bagian bawah
Riwayat Pengobatan:
- Pasien belum pernah berobat dan minum obat sebelumnya untuk keluhan ini
- Pasien selama ini mengkonsumsi obat darah tinggi berupa captopril 25 mg
Riwayat Penyakit Dahulu:
- Pasien memiliki riwayat penyakit darah tinggi
- Keluhan ini sebelumnya belum pernah dikeluhkan pasien
Riwayat Penyakit Keluarga:
- Tidak terdapat anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama dengan
pasien.
- Keluarga pasien tidak memiliki riwayat penyakit menular atau keturunan lainnya
Riwayat Kebiasaan Sosial:
- Pasien adalah seorang pensiunan ASN dengan aktivitas ringan sedang di rumah

Daftar Pustaka
1. Sjamsuhidajat R, De Jong W. Prostat dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. Jakarta:
penerbit buku kedokteran EGC.. 2005; 782-6.
2. Kevin T, Claus G, Andrew L, Michael J, Reginald C, Robert F, Harris E, et al. Update
on AUA Guideline on the Management of Benign Prostatic Hyperplasia. The Journal Of
Urology. 2011, 185: 1793-1803.
3. Barkin J. Benign Prostatic Hyperplasia and Lower Urinary Tract Symptoms : Evidence
and Approaches For Best Case Management. The Canadian Journal Of Urology. 2011;
18
4. Homma Y, Gotoh M, Yokoyama O, Masomori N, Kawauchi A, Yamanshi T, et al.
Outline of JUA Clinical Guidelines for Benign Prostatic Hyperplasia. International
Journal of Urology. 2011: 18: 741–756.
5. Ikatan Ahli Urologi Indonesia. Panduan Penatalaksanaan (Guidelines) Benign Prostatic
Hyperplasia (BPH) di Indonesia. Surabaya : 2003: 1-15.
Hasil Pembelajaran
- Defenisi Benign Prostatic Hyperplasia
- Diagnosa Benign Prostatic Hyperplasia
- Tatalaksana Benign Prostatic Hyperplasia

RANGKUMAN

1. Subjektif
Pasien datang diantar keluarga dengan keluhan tidak dapat kencing sejak tadi pagi
SMRS. Pasien juga mengeluhkan perut bagian bawah terasa penuh disertai nyeri di bagian
tersebut. Selama ini, pasien hanya mengeluh kencing sering terputus-putus dan dirasakan
tidak tuntas. Keluhan kencing sering terputus-putus sudah dirasakan pasien selama lebih
dari empat bulan terakhir ini dan dirasakan semakin memberat. Keluhan yang lain tidak
dikeluhkan pasien.

2. Objektif
Status Present
- Kondisi Umum: Tampak Sakit Ringan
- Kesadaran: Compos Mentis
- Tekanan Darah; 150/80 mmHg
- Heart Rate: 98 x/menit, regular
- Pernapasan: 20 x/menit
- Suhu: 36,7 0C, suhu axial
- SpO2: 97-98% tanpa O2 nasal canul

Status General
- Kepala: Deformitas (-)
- Mata: Conj palpebral inferior pucat (-/-), kelopak udem (-/-)
- Telinga: Sekret (-), perdarahan (-), tanda peradangan (-)
- Hidung: Napas cuping hidung (-), sekret (-), perdarahan (-)
- Mulut: Bibir sianosis (-)
- Leher: KGB tidak teraba
- Pulmo Anterior
 Inspeksi: Simetris, retraksi intercostal (-)
 Palpasi: Pergerakan dinding dada simetris, stem fremitus (N/N)
 Perkusi: Sonor/Sonor
 Auskultasi: Ves (+/+), rh (-/-), wh (-/-)
- Pulmo Posterior
 Inspeksi: Simetris, retraksi intercostal (-)
 Palpasi: Pergerakan dada simetris, stem fremitus (N/N)
 Perkusi: Sonor/sonor
 Auskultasi: Ves (+/+), rh (-/-), wh (-/-)
- Jantung
 Inspeksi: Ictus cordis terlihat di ICS V Midclavicula
 Palpasi: Ictus cordis teraba di ICS V LMCS 1 jari ke lateral
 Perkusi batas batas jantung
Atas : ICS II
Kanan : 2 jari lateral Linea parasternal dextra
Kiri : Linea midclavicula sinistra 1 jari lateral
 Auskultasi: BJ1 > BJ2, regular, murmur pansistolik (-)
- Abdomen
 Inspeksi: Soepel, distensi (-)
 Auskultasi: Peristaltik (+) kesan normal
 Palpasi: NT (-), organomegali (-), ballotment (-), Buli Kesan Penuh (+)
 Perkusi: Timpani (+)
- Ektremitas
 Udem: Tidak ditemukan
 Deformitas: Tidak ditemukan
- Rectal Toucher: Teraba Pembesaran Prostat (+) Kesan BPH

3. Assasment (Penalaran klinis)


Berdasarkan hasil anamnesis pada pasien, pasien dikonsulkan dengan keluhan tidak
dapat BAK. Tidak dapat BAK merupakan suatu kondisi dimana kandung kemih sudah
terisi penuh dengan urine dan perasaan ingin kencing ada, akan tetapi kencing tidak dapat
keluar dari saluran kemih. Banyak sekali organ dan sistem organ yang memiliki keterkaitan
dengan peristiwa tersebut, seperti:
1. Prostat
2. Kandung kemih
3. Uretra
4. Ureter
5. Ginjal
Untuk keluhan pasien, untuk permasalahan pada organ ginjal, keluhan yang seharusnya
timbul selain tidak dapat BAK adalah tidak adanya BAK sejak beberapa hari ataupun bulan
disertai dengan keluhan kaki bengkak dan juga sesak nafas. Kondisi tersebut kemungkinan
mengarah kepada kerusakan fungsi glomerulus dari ginjal sehingga kencing tidak keluar
(tidak ada). Pada pasien tidak terdapat keluhan diatas, sehingga untuk penyebab dari organ
ginjal dapat disingkirkan. Kecurigaan tersebut dapat juga dipastikan dengan pemeriksaan
fungsi ginjal yakni Ureum dan Creatinin. Untuk organ uretra yang akan sering terjadi
pada pasien yakni datang dengan keluhan pada BAK adalah adanya striktur uretra. Striktur
uretra merupakan kondisi penyempitan saluran uretra akibat dari berbagai kondisi. Kondisi
striktur uretra biasanya terjadi secara akut ataupun perlahan namun tidak kronis atau
progresif. Pada pasien ini keluhannya terjadi secara kronis yakni lebih dari 3 bulan dan
dirasakan semakin memberat atau progresif. Sehingga untuk kemungkinan permasalahan di
organ uretra dapat disangkal untuk sementara ini. Untuk organ ureter keluhan yang sering
berhubungan dengan BAK adalah adanya batu pada saluran ureter, namun kondisi ini tentu
saja diikutin dengan keluhan nyeri pinggang hebat karena spasme dari ureter akibat batu
mengakibatkan nyeri yang hebat. Pada pasien keluhan ini tidak ditemukan, sehingga organ
ureter kemungkinan dapat disingkirkan. Kandung kemih merupakan tempat dimana urine
berkumpul sebelum akhirnya dibuang, terdapat batas dimana ketika urine sudah mencapai
batas tersebut maka sfingter atau penutup pada saluran kandung kemih akan terbuka dan
mengelurkan kencing. Pada kandung kemih kondisi yang sering terjadi adalah karsinoma
kandung kemih dan batu kandung kemih. Batu kandung kemih disertai nyeri pada area
suprapubis namun nyeri akan menghilang atau berkurang bila pasien bergerak atau
melakukan perubahan posisi badan dan hal ini terkait dengan posisi batu. Sementera itu,
untuk karsinoma kandung kemih tentu harus diikuti dengan BAK berdasarah tanpa disertai
nyeri dan mungkin teraba masa disekitaran suprapubis. Kemungkinan terbesar keluhan
pada pasien disebabkan oleh masalah di prostat, karena keluhan yang dirasakan oleh pasien
sering terjadi dan diawali dengan BAK terputus-putus yang sangat erat kaitannya dengan
Benign Prostatic Hyperplasia.

Benign Prostatic Hyperplasi


a. Definisi
Pada dasarnya, tidak ada definisi sama mengenai pembesaran prostat jinak. Pembesaran
prostat jinak atau disebut Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) merupakan suatu kondisi
yang ditandai dengan perubahan histopatologi berupa hiperplasia dari sel-sel stroma dan
sel epitelial kelenjar prostat. Benign prostatic hyperplasia mengacu pada pertumbuhan
daerah nodular dengan berbagai kombinasi glandular dan juga proliferasi stromal, yang
terjadi pada hampir semua pria yang memiliki testis ditambah dengan angka harapan hidup
yang semakin lama.1,2,3
Mikroskopis BPH mengacu ke bukti histologi proliferasi sel, sedangkan makroskopis
BPH mengacu pada pembeseran organ karena proliferasi sel. Benign Prostatic Hyperplasia
merupakan suatu penyakit progresif dengan disfungsi saluran kemih bagian bawah akibat
hiperplasia jinak pada kelenjar prostat, dimana kondisi ini biasanya berhubungan dengan
pembesaran prostat dan gejala saluran kemih bawah atau Lower Urinary Tract Symptoms
(LUTS) akibat dari obstruksi saluran kemih bagian bawah.1,2,3

b. Faktor Risiko
Pada dasarnya, etiologi BPH adalah multifaktor, dimana penuaan dan perubahan status
hormonal merupakan faktor resiko utama untuk terjadinya BPH. Saat ini, tidak terdapat
bukti kuat yang menyatakan bahwa merokok, konsumsi alkohol, obesitas, vasektomi
merupakan faktor resiko yang menyebabkan gejala klinis BPH. Kondisi kronis, seperti
hipertensi dan diabetes memiliki hubungan dengan terjadinya BPH, tetapi mengingat
kondisi seperti ini sering terjadi pada pria yang mengalami penuaan, besar kemungkinan
pasien mengalami kondisi seperti ini juga.2
c. Etiologi
Hingga saat ini penyebab dari BPH masih belum diketahui secara pasti, namun
demikian, diyakini ada dua faktor penting penyebab terjadinya BPH, yaitu adanya
dihidrotestosteron (DHT) dan proses aging (penuaan).2 Beberapa teori yang telah
dikemukakan adalah:
1. Teori Dehidrotestosteron
Prostat berasal dari sinus urogenital yang berkembang di bulan tiga janin,
perkembangan prostat berada dibawah pengaruh dari dehidrotestosteron yang dihasilkan
oleh testosteron janin melalui bantuan dari enzim 5α reduktase. Dehidrotestosteron yang
dihasilkan dari testosteron janin di sel stroma memiliki dua efek, yaitu efek autokrin di sel
stroma dan efek parakrin di sel epithelial. Efek ini kemudian menginduksi beberapa faktor
pertumbuhan yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat dan mengubah matrik
ekstraseluler. Prostat tidak seperti organ terikat androgen lainnya, dimana prostat sendiri
akan mampu mempertahankan kemampuannya dalam merespon androgen disepanjang
hidupnya. Reseptor androgen ini kemudian akan berikatan dengan DHT membentuk
kompelks DHT-RA.1,2,3
Penumpukan abnormal dari DHT pada kelenjar prostat merupakan hipotesis penyebab
utama dari perkembangan BPH. Bagaimanapun, Coffey dan Walsh menyatakan bahwa
BPH yang terjadi menunjukkan level DHT yang normal. Konsentrasi DHT di dalam
prostat pada dasarnya tetap dipertahankan, tetapi tidak mengalami peningkatan pada pasien
BPH. Pada beberapa penelitian, dijelaskan bahwa pada pasien BPH akan terjadi
peningkatan reseptor androgen dan peningkatan aktivitas dari enzim 5α reduktase,
sedangkan kadar DHT sendiri dalam batas yang normal. Hal tersebut menyebabkan sel
prostat lebih sensitif terhadap DHT sehingga proses pembelahan sel akan lebih banyak
apabila dibandingkan dengan prostat normal.1,2
2. Ketidakseimbangan Estrogen-Testosteron
Pada usia yang semakin tua, kadar estrogen relatif tetap atau meningkat, sedangkan
kadar hormon testosteron mengalami penurunan, hal ini akan menyebabkan perbandingan
kadar estrogen dan juga testosteron pada usia tua menjadi relatif meningkat. Peran estrogen
dalam perkembangan BPH pada manusia sendiri masih kurang jelas dan penemuan pada
hewan percobaan, menguatkan bahwa esterogen ikut berperan dalam patofisiologi untuk
terjadinya BPH. Telah diketahui bahwa setidaknya terdapat dua bentuk dari reseptor
esterogen, yaitu reseptor α yang diekspresikan oleh sel stroma prostat, dan reseptor β yang
diekspresikan oleh sel epitel prostat. Peran estrogen terhadap prostat ditentukan dari tipe
reseptor estrogen yang terdapat di dalam prostat. Estrogen berperan dalam terjadinya
proliferasi sel kelenjar prostat dengan cara peningkatan sensitivitas sel-sel prostat terhadap
rangsangan hormon androgen, peningkatan reseptor androgen, dan juga penurunan
apoptosis dari sel-sel prostat. Sehingga, meskipun terjadi penurunan kadar testosteron yang
berakibat penurunan pembentukan sel-sel baru dari prostat, tetapi sel-sel prostat yang telah
ada menjadi lebih sensitif dan menjadi lebih lama mati sehingga masa prostat menjadi
lebih besar.1,2
3. Interaksi Stroma-Epitel
Teori ini pertama sekali dikenalkan oleh Cunha dkk pada tahun 1983, yang
menunjukkan pentingnya mekanisme embrionik prostat dalam mempengaruhi differensiasi
dari epithelium sinus urogenital. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa pertumbuhan dan
diferensiasi dari sel epitel prostat secara tidak langsung dipengaruhi oleh sel stroma.
Pembentukan jaringan prostat yang mengalami hiperplasia akan menunjukkan
perkembangan seperti pada masa embriologi. Menurut Mc Neal, seperti pada embrio, lesi
primer BPH merupakan penonjolan kelenjar yang kemudian bercabang menghasilkan
kelenjar baru sekitar prostat. Sel stroma memediasi efek androgen di komponen epithelial
melalui produksi dari berbagai faktor pertumbuhan. Sel stroma kemudian mempengaruhi
sel-sel stroma itu sendiri secara intakrin dan autokrin, serta mempengaruhi sel epithelial
secara parakrin. Hal tersebut menyebabkan terjadinya proliferasi sel prostat dan sel
stroma.1
4. Berkurangnya Kematian Sel Prostat
Kematian sel terprogram (atoptosis) merupakan mekanisme fisiologi yang penting
untuk menjaga homeostasis kelenjar prostat normal. Homeostasis kelenjar prostat normal
terjadi apabila terdapat keseimbangan inhibitor faktor pertumbuhan dan mitogen, yang
masing-masingnya memiliki fungsi untuk menahan ataupun menginduksi proliferasi sel,
tetapi juga mencegah atau memodulasi kematian sel. Pada jaringan yang normal terdapat
keseimbangan antara proliferasi sel dengan kematian sel. Konsendasi dan juga fragmentasi
sel mengawali terjadinya proses atoptosis, dimana selanjutnya sel akan difagositosis dan
juga mengalami degradasi oleh enzim lisosom. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sejak
kanak-kanak sampai dengan dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat yang terbentuk
dengan yang mengalami kematian dalam keadaan yang seimbang. Berkurangnya jumlah
sel prostat yang mengalami kematian akan menyebabkan peningkatan dari jumlah sel-sel
prostat sehingga mengakibatkan penambahan massa prostat.1
5. Teori Sel Stem
Teori ini dikemukakan oleh Isaacs dkk, dimana hipotesis yang ada bahwa BPH dapat
dihasilkan dari pematangan abnormal dan regulasi dari proses pembaruhan sel. Kelenjar
prostat selain memiliki hubungan dengan stroma dan epitel, juga ada hubungannya dengan
jenis sel-sel lain yang terdapat pada kelenjar prostat.1 Di dalam kelenjar prostat dikenal
suatu sel stem, yaitu sel yang mempunyai kemampuan proliferasi ataupun replikasi yang
sangat ekstensif. Proliferasi pada sel-sel BPH akan menyebabkan produksi yang berlebihan
dari sel-sel stroma maupun sel epithelial. Sel stem ini sangat tergantung pada hormon
androgen, sehingga jika kadar hormon androgen mengalami penurunan, maka
menyebabkan terjadinya apoptosis.1,2,3

d. Prosedur Diagnostik
Berdasarkan guidlines yang dikeluarkan European Assosiation of Urology, diagnosis
dari BPH dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok: mandatory (wajib),
recommended (rekomendasi), optional, non recommended. Sedangkan pada 5 th

International Consultation on BPH (IC-BPH), diagnosis pada BPH dapat ditegakkan


berdasarkan atas berbagai macam pemeriksaan awal dan juga pemeriksaan tambahan. Jika
fasilitias tersedia, pemeriksaan awal harus dilakukan pada setiap pasien BPH, sedangkan
pemeriksaan tambahan hanya dilakukan jika ada indikasi untuk melakukan pemeriksaan
tersebut.3
1. Anamnesis
Anamnesis adalah pemeriksaan awal yang dilakukan pada pasien yang diduga
mengalami BPH dengan cara wawancara terhadap pasien mengenai keluhan yang
dirasakannya. Dari anamnesis, dapat diperoleh gejala yang dialami oleh pasien, dugaan
sementara penyebab timbulnya keluhan pada pasien, dan derajat keparahan penyakit
pasien.3 Gejala pada saluran kemih bawah (LUTS) terdiri atas gejala voiding, storage, dan
juga pasca miksi. Ketersedian sistem skor gejala yang tervaliditasi merupakan hal yang
penting untuk menilai gejala yang ada pada pasien, untuk menentukan derajat keparahan
suatu penyakit, dan untuk menentukan kapan seharusnya dilakukan intervensi, baik berupa
intervensi gaya hidup, medikamentosa, atau pembedahan, serta untuk melihat respon dari
terapi yang diberikan.4,5 Derajat keparahan dari LUTS dapat diukur dengan kuisoner yang
tervaliditasi seperti International Prostate Symptom Score, Bayarsky Score, Madsen
Iversen Score dan Danish Prostate Symptom Score (DAN-PSS).4
2. Pemeriksaan Fisik
Colok dubur atau digital rectal examination (DRE) merupakan salah satu pemeriksaan
penting yang dilakukan pada pasien dengan LUTS akibat BPH, disamping pemeriksaan
fisik pada regio suprapubik untuk mencari kemungkinan distensi buli. Digital rectal
examination direkomendasikan oleh Agency for Health Care Policy and Research
(AHCPR) guidelines dan sangat direkomendasikan juga oleh The Fourth International
Consultation, karena dua alasan. Pertama, DRE dapat membantu menemukan adanya
tanda-tanda keganasan prostat. Kedua, DRE dapat meningkatkan kapasitas untuk
memperkirakan volume prostat, dan juga dengan cara ini mungkin akan membantu dalam
pemilihan terapi yang tepat.2 Dari hasil pemeriksaan colok dubur pada BPH akan
menunjukkan konsitistensi prostat kenyal seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan
kiri simetris, dan tidak didapatkan nodul.1,5
3. Laboratorium
Pemeriksaan urinalisis perlu dilakukan untuk mengetahui apakah BPH telah mengalami
komplikasi berupa leukositoria dan hematuria. Selain pemeriksaan urinalis, pemeriksaan
laboratorium yang bermaanfaat lainnya adalah pemeriksaan faal ginjal dan serum kreatinin
untuk mengetahui adanya penyulit yang mengenai saluran kemih bagian atas.2,3 Prevalensi
gagal ginjal yang terjadi pada pasien BPH tercatat sebanyak 0.3-30% dengan rerata 13.6%.
Salah satu pemeriksaan penting lainnya yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan serum
prostate specific antigen (PSA), PSA bersifat organ specific dan bukan cancer specific.2
Serum PSA digunakan untuk memperikirakan perjalanan penyakit dari BPH.1
4. Pencitraan Traktus Urinarius
Pencitraan traktus urinarius, khususnya sebelum dilakukannya pembedahan prostat,
telah dijadikan sebagai bagian prosedur diagnosis pada pria tua dengan LUTS karena BPH
selama dekade terakhir.2 Pencitraan ini meliputi pencitraan terhadap traktus urinarius
bagian atas maupun bawah, pencitraan uretra dan juga pencitraan prostat. Dari hasil
pencitraan terhadap pasien BPH dengan memakai IVP ataupun USG, ternyata ditemukan
bahwa 70-75% tidak menunjukkan adanya kelainan pada saluran kemih bagian atas, dan
hanya sekitar 10% yang menunjukkan kelainan saluran kemih bagian atas.3 Oleh karena itu
pencitraan saluran kemih bagian atas tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan pada
BPH, kecuali jika pada pemeriksaan awal diketemukan beberapa kondisi, seperti
hematuria, ISK, insufisiensi renal, riwayat urolitiasis, dan riwayat pernah pembedahan
pada saluran urogenitalia.2,3
Pencitraan prostat dapat meniliai ukuran prostat, bentuk prostat, keganasan prostat, dan
juga karakteristik dari jaringan prostat. Terdapat beberapa pilihan teknik pencintraan yang
dapat dilakukan untuk menilai keadaan prostat, yaitu:2,3
a. Transabdominal ultrasound
b. TRUS
c. Computed tomography dan magnetic resonance imaging (MRI) ( termasuk transrectal
MRI)
5. Pemeriksaan Lain
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan untuk menilai pasien BPH adalah:2
a. Pancaran urin atau flowrate merupakan pemeriksaan yang simpel dan tidak invasif yang
dapat dilakukan pada pasien untuk menilai gejala obtruksi. Dari pemeriksaan pancaran
urin akan didapatkan volume urin yang dikemihkan, maksimum pancaran urin (Qmax),
pancaran rata-rata urin (Qave), dan juga waktu yang dibutuhkan untuk mencapai Qmax.
Derajat obstruksi berdasarkan pemeriksaan pancaran urin dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:2
- Qmax < 10 mL/s : 90% obstruksi
- Qmax 10-14 mL/s : 67%
- Qmax > 15 mL/s : 30%
b. Residual urin merupakan sisa urin yang masih ada dalam kandung kemih setelah miksi.
Pemeriksaan residual urin dapat dikerjakan melalui dua cara, yaitu teknik invasif
dengan cara katerisasi uretra, dan dengan motode non invasif dimana ultrasonografi
adalah teknik yang paling sering digunakan.2 Jumlah residual urin pada orang normal
adalah 0.09-2.24 mL dengan rata-rata 0.53 mL.1
c. Pemeriksaan urodinamika berbeda dengan pemeriksaan pancaran urin. Pada
pemeriksaan urodinamika dapat mengkategorikan derajat obstruksi dan
mengidentifikasi pasien yang mengalami kelemahan pancaran urin, sedangkan pada
pemeriksaan pancaran urin hanya dapat dinilai bahwa pasien mengalami gangguan
pancaran urin.1,2

e. Tatalaksana
Tidak semua pasien BPH memerlukan tindakan medik, berupa terapi medikamentosa,
terapi pembedahan atau tindakan medik lainnya. Terkadang pasien yang mengeluhkan
LUTS ringan dapat sembuh dengan sendirinya tanpa perlu mendapatkan terapi apapun atau
hanya dengan nasihat atau konsultasi tentang perubahan gaya hidupnya. Tujuan terapi pada
pasien BPH adalah:1
1. Memperbaiki keluhan kemih
2. Meningkatkan kualitas hidup pasien
3. Mengurangi obstruksi intravesika
4. Mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal
5. Mencegah progresivitas penyakit.
1. Modifikasi Gaya Hidup
Pada pasien yang volume prostatnya kecil dan gejala BPH yang ringan (IPSS<7), pasien
tidak mendapatkan terapi apapun dan hanya diberikan edukasi tentang modifikasi gaya
hidup. Perubahan gaya hidup yang dapat dianjurkan kepada pasien terdiri dari:1,3,5
a. Mengelola asupan cairan pada siang hari dan setelah makan malam seperti menurunkan
konsumsi minuman jenis teh, kopi, dan alkohol.
b. Berhenti merokok.
c. Menurunkan konsumsi makanan pedas, asin.
d. Menurunkan makanan yang dapat mengiritasi kandung kemih (kopi atau cokelat).
e. Menurunkan penggunaan obat-obatan yang dapat mempengaruhi kandung kemih,
seperti dekongestan, antihistamin.
f. Menghindari atau mengobati konstipasi.
g. Jangan menahan kencing terlalu lama.
h. Mengikuti latihan dasar panggung dan latihan kandung kemih.
Modifikasi gaya hidup diketahui bisa menurunkan gejala yang dialami oleh pasien
BPH, tetapi pengobatan ini tidak dapat menurunkan ukuran prostat, pertumbuhan sel-sel
prostat atau progresivitas BPH.1
2. Terapi Medikamentosa
Jika pengobatan secara konservatif seperti “watchfull waiting” dan juga modifikasi
gaya hidup pada pasien BPH tidak berhasil, terdapat beberapa jenis obat yang bisa
digunakan untuk mengobati pasien BPH: 1
a. Alpa Bloker
Penggunaan alpa bloker dalam mengobati gejala BPH telah dipakai sejak tahun 80-an,
dengan nonselektif antihipertensi, seperti phenoksibenzamin. Phenoksibenzamin diketahui
memiliki efek samping berupa peningkatan aliran urin yang dapat mempengaruhi gejala
yang dialami oleh pasien BPH.1 Alpa bloker, diketahui menurunkan elemen dinamik dari
obstruksi prostat dengan cara mengahambat reseptor alpa yang menyebabkan peningkatan
tonus otot polos. Stimulasi reseptor alpa yang ada pada serat otot polos leher kandung
kemih, uretra pars prostatika, dan juga prostat, diketahui dapat meningkatkan tonus otot
polos dan menyebabkan obstruksi fungsional dari kandung kemih, dengan gejala berupa
penurunan aliran urin, pengingkatan frekuensi, nokturia, dan urgensi. Hal inilah yang
menjadi dasar penggunaan alpa bloker dalam mengobatai BPH.1,2
Terdapat tiga reseptor utama alpa bloker yaitu alpa 1A, alpa 1B, dan alpa 1D. Reseptor
alpa 1A dapat ditemukan di otot polos leher kandung kemih dan prostat, reseptor alpa 1B
dapat ditemukan umumnya di otot polos pembuluh darah perifer, dan reseptor alpa 1D
yang ditemukan di medula spinalis. 1 Hal ini menjelaskan efek samping pemberian
nonselektif alpa bloker yang ditemukan pada tempat lain selain prostat.2 Alfuzosin,
doxazosin, tamsulosin, terazosin, dan silodosin telah disetujui oleh Food and Drug
Administration (FDA) untuk mengobati LUTS pada pria. Penggunaan antagonis
adrenoreseptor α1 dilaporkan dapat meningkatkan aliran urin sebesar 16-25% (2.0–2.5
mL/s) dan 30-40% menurunkan angka IPSS pada pasien BPH.1,3
Bagaimanapun, pasien yang mendapatkan pengobatan alpa bloker hanya mungkin
untuk mempertahankan respon tersebut selama hamper 4 tahun ke depan, dan alpa bloker
tidak dapat mencegah progresivitas BPH, mengecilkan prostat, atau menurunkan nilai
serum PSA. Selain itu, penggunaan alpa bloker juga dapat menyebabkan efek samping
berupa sakit kepala, pusing, kantuk, hipotensi postural, asthenia, nasal kongesti, dan
ejakulasi retrograde.1
b. 5α Reduktase Inhibitor
Fisiologinya, hormone testosteron akan dihancurkan menjadi senyawa metabolik berupa
dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim 5α reduktase. DHT merupakan senyawa
kimia aktif yang akan diserap ke dalam sel prostat dan menstimulasi pertumbuhan baik
selular maupun glandular prostat normal. Terdapat dua tipe isoenzim dari 5α reduktase,
tipe 1 dan tipe 2, dimana keduanya dalam konsentrasi yang berbeda menyebabkan
perbedaan tipe dari jaringan prostat itu sendiri, baik yang bersifat jinak ataupun
keganasan.1 5α reduktase inhibitor bekerja dengan metode menghambat konversi dari
tesosteron menjadi senyawa metaboliknya sehingga DHT yang diserap kedalam prostat
menurun, sebagai hasilnya akan terjadi penurunan ukuran prostat dan gejala yang
disebabkan oleh pembesaran prostat.1,2
Terdapat dua jenis 5α reduktase inhibitor yang telah disetujui oleh FDA, yaitu
finasteride yang menghambat tipe 2 isoenzim dari 5α reduktase, menyebabkan penurunan
serum DHT sampai 70-90%,(24) sedangkan dutasteride mengahambat baik tipe 1 dan tipe 2
isoenzim 5α reduktase dan menyebabkan penurunan serum DHT sampai mendekati nol.
Sekitar 12% pasien yang menerima obat finasteride, dilaporkan mengalami efek samping
pemberian obat terutama terkait fungsi seksual, seperti gangguan ejakulasi, impotensi, dan
penurunan libido. Angka kejadian ini lebih besar dibandingkan dengan pemberian
placebo.2 Pada percobaan uji klinis yang telah dilakukan sebelumnya, didapatkan bahwa
pasien yang menerima pengobatan finasteride dan dutasteride mengalami peningkatan
gejala klinis yang besar setelah 6-12 bulan dan penurunan IPSS sebesar 15-30% setelah 2-4
bulan, bila dibandingkan dengan pemberiaan placebo.1
c. Kombinasi Pengobatan
Berdasarkan fakta bahwa alpa bloker dan 5α reduktase memiliki perbedaan mekanisme
aksi, jangka waktu efek samping, efisiensi, maka dilakukan uji klinis untuk
membandingkan pengobatan monoterapi dengan terapi kombinasi.1 Terapi kombinasi
finasteride dengan alpa bloker telah dilakukan di dua uji klinis, hasilnya tidak ada
penambahan manfaat dari terapi kombinasi kedua jenis obat yang dilakukan didalam studi
tersebut.2 Sementara itu, dari hasil percobaan yang menggabungkan dutasteride dengan
tamsulosin, didapatkan bahwa manfaat terapi kombinasi lebih tinggi daripada monoterapi
pasien BPH. Tapi, bagaimanapun banyak pria yang tidak membutuhkan terapi kombinasi,
karena kejadian efek samping yang semakin meningkat, dan biaya yang mahal, lebih besar
dari manfaat yang didapatkan dari pemberiaan terapi kombinasi.2
d. Fitofarmaka
Fitofarmaka merupakan salah satu dari pengobatan BPH dengan menggunakan
tumbuhan tertentu, seperti Pygeum africanum, Serenoa repens, Hypoxis rooperi, Radix
urtica dan juga masih banyak lainnya.3 Mekanisme dari fitofarmaka dalam pengobatan
BPH diduga melalui efeknya sebagai: anti estrogen, anti-androgen, anti-inflamasi,
menurunkan kadar dari sex hormone binding globulin, inhibisi basic fibroblast growth
factor dan epidermal growth factor, mengacaukan metabolisme prostaglandin, menurunkan
resistensi jalan keluar urin, dan memperkecil volume prostat. Tetapi data-data
farmakologik tentang kandungan dari zat aktif yang mendukung mekanisme kerja obat
fitoterapi sampai saat ini belum diketahui dengan pasti.1,3
e. Terapi Intervensi
Pasien BPH yang diberikan obat ataupun terapi non invasif lainnya akan membutuhkan
waktu yang lama untuk memperoleh hasil yang signifikan dari terapi yang diberikan. Oleh
sebab itu, pembedahan adalah penyelesaian jangka panjang terbaik dalam hal menangani
permasalahan yang terdapat pada pasien BPH.1 Terapi pembedahan direkomendasikan
pada pasien-pasien BPH yang:1,4,5
- Tidak ada perbaikan setelah terapi medikamentosa.
- Terdapat gejala sedang-berat.
- Terdapat penyulit lainnya, seperti batu kandung kemih, insufisiensi ginjal, hematuria
berulang, infeksi saluran kemih berulang, refluks retensi urin.
Modalitas pembedahan kemudian dikelompokkan menajdi 3 kelompok modalitas yaitu,
rekeksi/ablasi ataupun vaporization, koagulasi termal, dan teknik lainnya. Reseksi prostat
transuretra, TUIP, open prostatectomy adalah tiga jenis pilihian terapi pembedahan untuk
mengobati BPH.3 Selain itu, pembedahan terbuka, TUVP, dan laser prostatektomi juga
termasuk ke dalam terapi pembedahan.2 TUIP dikerjakan pada pasien BPH yang
mengalami pembesaran minimal prostat, sedangkan TURP dilakukan pada pasien BPH
dengan ukuran prostat sedang dan open prostatectomy dikerjakan pada pasien dengan
ukuran prostat yang berat.3 Prosedur TUIP dan juga TURP mempunyai kesamaan dampak
dalam menurunkan gejala obstruksi pada pasien BPH. Prosedur TURP merupakan 95%
dari semua tindakan pembedahan prostat pada pasien BPH. Prosedur TUIP dapat
menyebabkan komplikasi berupa ejakulasi retrograde lebih kecil sebesar 0-30% dari pada
TURP.2 Terapi instrumensi alternatif untuk pasien BPH adalah interstitial laser
coagulation, TUNA, TUMT, dilatasi balon, dan stent uretra. 3 Pemilihan teknik
pembedahan dilakukan berdasarkan karakteristik pasien BPH, ketersediaan perlatan, dan
pengalaman dokter bedah. Tindakan bedah selain dapat mengurangi gejala yang dialami
pada pasien BPH juga dapat menyebabkan komplikasi yang dialami kemudian hari oleh
pasien, seperti inkontinesia stress dan urge, striktura uretra, disfungsi ereksi, kontraktur
leher kandung kemih, dan lain-lain.2,3

4. Planning
Diagnosis :
- Retensio Urine ec BPH
Pengobatan :
- Pemasangan Kateter dan Pertahankan
- Harnal Ocast 1x0.4 mg
- Avodart 1x1
- Kontrol Ulang Poliklinik
Pendidikan :
Dilakukan pada pasien dan keluarga untuk membantu mengobati dan mencegah
dari penyakit pasien semaksimal mungkin dan juga menghindari keluhan yang sama
kambuh kembali. Memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai penyakit
pasien dan kemungkinan perkembangan penyakit serta pentingnya kerjasama dari
keluarga dalam pelaksanaan tindakan medis dan pengobatan. Disarankan untuk kontrol
rutin tiap bulan.

Mengetahui,
Pendamping

dr. Leni Afriani M.KT


NIP. 197808292006042010

Anda mungkin juga menyukai