-----------------------------------------------------------------------------------------------------RD-Collection 2002
Anatomi
Kanalis ani berasal dari invaginasi ektoderm, sedang rektum berasal dari entoderm.
Karena perbedaan asal ini, maka terdapat perbedaan pula pada epitel pelapisnya,
vaskularisasinya, inervasi dan drainase limfatiknya. (Marijata, 2000).
Lumen rektum dilapisi mukosa glanduler usus sedang kanalis ani dilapisi epitel
squamosum stratifikatum lanjutan kulit luar. Jadi tidak ada mukosa anus. Daerah
batas antara rektum dan kanalis ani disebut Anorectal Junction ditandai oleh linea
pectinea / linea dentata yang terdiri dari sel-sel transisional. Dari linea ini kearah
rectum ada kolumna rectalis (Morgagni), dengan diantaranya terdapat sinus rectalis
yang berakhir di kaudal sebagai valvula rectalis. Setinggi linea dentata ini ada
crypta analis dan muara muara analis.
Panjang kanalis ani kira kira 4 cm yang dibedakan menjadi anatomical anal canal
mulai anal verge sampai ke linea dentata dan Surgical anal canal untuk
kepentingan klinis yang dimulai dari analverge sampai cincin anorektal yang
merupakan batas paling bawah dari otot puborectalis yang dapat diraba pada waktu
Vaskularisasi kanal anal berasal dari :
RT.
A. Hemorrhoidalis superior cabang a. mesenterika inferior
Dasar panggul dibentuk oleh otot levator ani yang dibentuk oleh otot-otot
A. Hemorrhoidalis media cabang a. iliaca eksterna
pubococcygeus, ileococcygeus dan puborectalis. Otot-otot yang berfungsi mengatur
A. Hemorrhoidalis inferior cabang a. pudenda
mekanisme kontinensia adalah :
1. Pubo-rektal merupakan bagian dari otot levator ani
Aliran vena diatas anorektal junction melalui sistem porta sedang canalis ani
2. Sfingter ani eksternus (otot lurik)
langsung ke vena cava inferior.
3. Sfingter ani internus (otot polos)
V. Hemorrhoid superior
Berasaldari plexus venosus hemorrhoidalis internus bermuara ke v.mesenteruca
Batas antara spincter ani eksternus & internus disebut garis Hilton. Muskulus yang inferior v.porta
menyangga adalah m. Puborectalis. Otot yang memegang peranan terpenting dalam Vena ini tidak mempunyai valvula, sering untuk penyebaran kanker
mengatur mekanisme kontinensia adalah otot-otot puborektal. Bila m. pubo-
rektal tersebut terputus, dapat mengakibatkan terjadinya inkontinensia. V. Hemorrhoid inferior
Muskulus puborektalis yang merupakan bagian m. levator ani membentuk jerat yang Mengalirkan darah dari v.pudenda interna v.iliaca interna vena cava.
melingkari rektum sehingga berfungsi sebagai penyangga. Rektum juga ditopang Sering menimbulkan gejala hemorrhoid.
oleh fascia pelvis parietalis (fascia Waldeyer), ligamentum laterale kanan dan kiri
yang ditembus oleh a/v hemorrhoidales media dan mesorektum. Ligamentum dan Aliran limfe dari rektum mengikuti vasa hemoroidales superior ke lnn mesenterika
mesorektum memfiksasi rectum ke permukaan anterior sacrum. inferior menuju lnn para aorta, sedang dari kanalis ani menuju ke lnn inguinalis
Batas-batas kanalis ani, ke kranial berbatasan dengan rectum disebut ring anorektal, kemudian lnn illiaca ekterna dan lnn illiaci kommunis, sehingga bila ada
ke kaudal dengan permukaan kulit disebut garis anorektal, ke lateral dengan fossa keganasan dan infeksi dapat menyebar sampai inguinal.
ischiorectalis, ke posterior dengan os koksigeus, ke anterior pada laki-laki dengan Inervasi kanalis ani diatur oleh saraf somatik sehingga sangat sensitif terhadap rasa
sentral perineum, bulbus urethra dan batas posterior diafragma urogenital sakit, sedang rektum oleh saraf viseral sehingga kurang sensitif terhadap rasa sakit.
(ligamentum triangulare) sedang pada wanita korpus perineal, diafragma Rektum diinervasi oleh saraf simpatis dari pleksus mesenterika inferior dan
urogenitalis dan bagian paling bawah dari dinding vagina posterior. Ring anorektal n.presakralis (hipogastrica) yang berasal dari L2,3,4 dan saraf parasimpatis dari S2,3,4.
dibentuk oleh m.puborektalis yang merupakan bagian serabut m. levator ani
mengelilingi bagian bawah anus bersama m. spincter ani ekternus.
Pemeriksaan Anorektum ( Proktologi )
Inspeksi & Palpasi Pengobatan
Dideteksi : Fissura ani, abses perianal, fistel perianal, hemorrhoid, prolaps Medika mentosa diet berserat, laxantia ringan
Colok dubur / RT Skleroterapi injeksi pada jaringan submukosa
Anuskopi Melihat kanalis ani dan bagian bawah rektum sejauh 10 cm Ligasi dengan cincin karet
Proktoskopi : 15 cm Cryosurgery (bedah beku)
Proktosigmoideskopi : melihat rektum, colon sigmoid Intra Red Cauter / IRC menjadi fibrosis
Posisi pasien pada pemeriksaan Anorektum : Hemorrhoidectomi
1. Knee chest (menungging) Indikasi :
2. Lithotomi Derajat III & IV
3. Sims (miring kekiri dengan paha ditekuk) Perdarahan kronis dan anemia
Hemorrhoid derajat IV dengan nyeri akut dan trombosis
Metode :
Langenback tonjolan soliter
HEMORRHOID Milligan Morgan tonjolan 3 tempat utama ( 3,7, 11)
Whiteheat tonjolan sirkuler
Adalah pelebaran vena di dalam pleksus hemorrhoidalis.
Hemorrhoid Interna
Adalah varises pleksus hemorrhoidalis superior terletak diatas linea pectinea /
Abses Anorektal
linea dentata ditutupi oleh mukosa. Letak benjolan : jam 3 (lateral kiri), jam 11
(kanan depan), jam 7 (kanan belakang ) kadang sirkuler
Ada 4 derajat :
I. Perdarahan saja Etiologi : Eschericia coli, Proteus vulgaris, Streptococcus, Staphylococcus,
II. Perdarahan & prolaps di luar anus saat defekasi, kembali spontan Bacteroides
III. Prolas bisa direposisi secara manual Lokasi :
IV. Prolaps tidak dapat direposisi 1. Abses Perianal dibawah kulit anus
2. Abses Ischiorectal fossa ischiorektal
3. Abses Retrorektal posterior rektum
Hemorrhoid Externa
4. Abses Submukosa di atas kanalis ani
Adalah varises pleksus hemorrhoidalis inferior dibawah linea dentata ditutupi
5. Abses marginal pada kanalis ani , dibawah lapisan anoderm
kulit.
6. Abses Pelvirektal di atas m.levator ani dibawah peritoneum
7. Abses Intramuskular diantara m.spincter ani ekternus & internus
Kinis
Diagnosis hemorrhoid ditegakkan bila ditemukan : Prinsip pengobatan : Insisi dan Drainase serta antibiotika
Perdarahan rektal, prolaps, discomfort Abses setelah di drainase kemungkinan akan menjadi fistel sehingga perlu tindakan
Discharge mukoid dari rektum Fistulotomi atau Fistulektomi.
Anemia skunder
Anuskopi
3. Fistula Suprasfingterik
Fistula di atas m.sfingter ani ekternus dan menembus m.levator ani
1. Sederhana,
Sebagian besar disebabkan oleh abses supralevator dengan komplikasi
membentuk fistula intersfingterik menembus m.levator ani ke fossa
ischiorectalis dan didrainase keperineum.
Saluran fistula berawal dari daerah intersfingterik dan melengkung
melewati puborektalis dan sfingter ekterna (n)
2. Fistula dengan penyebaran ke suprasfingterik dengan abses. (o)
4. Fistula Ekstrasfingterik Pemeriksaan :
Sebagian besar akibat iatrogenik, keadaan ini jarang dijumpai. Dapat disebabkan Inspeksi :
abses didaerah pelvis akibat infeksi rektum atau organ ginekologi yang Tampak lubang keluar fistel yang basah dan bau. Tampak muara eksternal,
menembus diafragma pelvis dan discharge keluar kedaerah perineum. (p-q) kebanyakan lubang tunggal kadang disertai keluarnya discharge. Bentuk
muara eksternal yang irreguler kemungkinan sebagai proses tuberkulose,
sedang bentuk indurasi disertai warna indolen kemungkinan penyakit
Chron’s. Muara eksternal merupakan papula yang menonjol dan berwarna
kemerah-merahan.
Palpasi
Teraba saluran seperti benang keras, dengan bidigital diketahui arah
fistel, teraba indurasi lubang sesui hukum Salmon Goodsall .Pemeriksaan
colok dubur sangat penting untuk menentukan abses di daerah
intersfingterik, supralevator, dan letak indurasi yang merupakan muara
internal.
Sondase :
Masukan dari lubang kulit sampai lubang anorektum Membantu mencari
muara internal. Pemeriksaan ini dapat menimbulkan fistula palsu bila tidak
hati-hati dan kadang-kadang dapat merusak jalannya fistula yang sebenarnya.
Sondase tidak boleh dilakukan bila penderita kesakitan
Thomson 1962 , mengklasifikasikan berdasarkan letak muara primer : Anuskopi / Proktoskopi melihat lubang dalam anus atau rektum
a. Letak Tinggi, dimana muara primer terletak di atas ring anorektal 5% Pemeriksaan ini diperlukan untuk melihat letak internal opening, melihat
b. Letak rendah , dimana muara primer terletak dibawah ring anorektal 90% track rektum-internal spingter high anal dan melihat mukosa rektum apakah
ada inflamasi atau kelainan lain yang kadang memerlukan tindakan biopsi .
Anestesi umum diperlukan bila dirasakan sakit dengan pemeriksaan ini .
Identifikasi fistula
Klinis : Untuk mengetahui fistula dapat dilakukan dengan cara:
Anamnesa : - Irigasi salin. Dengan angiokateter dimasukan lewat eksternal opening
Keluar discharge dari lubang sekitar anus, terus menerus atau intermiten dan disemprot salin sehingga tampak cairan keluar dari internal opening
berupa pus atau cairan keruh ke anal kanal.
Ada riwayat abses berulang, perlu juga ditanyakan riwayat operasi - Methylen blue . Methylen blue disemprotkan lewat eksternal opening
sebelumnya maupun riwayat infeksi pada organ daerah panggul atau maka tampak cairan biru keluar lewat internal opening .
abdomen bawah . - Sondase (probe). Menggunakan sondase dari eksternal opening dengan
Pada fistula karena Keganasan atau Crohn’s Disease disertai perubahan jari telunjuk dalam anal kanal maka dapat ditentukan letak internal
bowel habit, faeses berdarah dan lendir, nyeri perut dan berat badan turun opening .
Pada dasarnya kondisi ini tidak menimbulkan rasa sakit, tetapi bila terbentuk
abses maka akan terasa nyeri dan akan berkurang bila abses pecah. Keluhan Radiologis
yang tersering adalah bengkak dan nyeri (bila muara ekternal tertutup) dan Fistulografi
keluar discharge. Dilakukan dengan memakai kontras, untuk mendeteksi perluasan dari
fistula perianal dan adanya muara internal. Pemeriksaan ini dilakukan
pada penderita yang tidak ditemukan muara internalnya atau penderita
yang menjalani operasi fistula perianal pertama tidak berhasil. 4,11
Kelemahan pemeriksaan ini karena tidak dilakukan anestesi sehingga Terapi
masih ada tahanan dari m. sfingter, akibatnya aliran kontras berhenti Tujuan utama terapi adalah menghilangkan tempat yang terinfeksi dengan
dan biasanya terjadi kesalahan diagnosis. Kesalahan ini baru diketahui mempertahankan fungsi anorektal. Terapi untuk fistula ani hanyalah dengan
saat operasi dimana pasien dalam stadium anestesi dimasukkan metilen pembedahan. Dasar tindakan pembedahan adalah membuang / menghilangkan
blue ke lubang luar, saat itu akan diketahui fistelnya sempurna saluran fistel beserta lobang penghubungnya tanpa menimbulkan inkontinensia.
Prinsip-prinsip tindakan pada fistel perianal
Foto thoraks a. Lubang masuk anorektum harus ditemukan dan dieksisi
Sebaiknya dilakukan untuk mengetahui penyebabnya. Untuk b. Saluran harus diidentifikasi semuanya
mendeteksi adanya faktor predisposisi akibat tuberkulosis. c. Setelah saluran dibuka tidak boleh ditutup harus tetap terbuka
d. Penyembuhan luka dari dalam ke luar
Intra anal Ultrasonografi
Ini merupakan cara diagnosis baru yang menjanjikan untuk dapat Pengelolaan fistula perianal tergantung dari jenisnya :
mengidentifikasi saluran fistel . Dengan menggunakan transducer 1. Fistula Intersfingterik
dengan gelombang 7 – 10 MHz intra anal . Dengan bantuan injeksi Park dkk menyarankan melakukan eksisi sebagian besar sfingter interna dan
hydrogen peroksida pada lubang luar dapat membantu mengetahui arah membebaskan jaringan intersfingterik untuk mengangkat seluruh kelenjar yang
dan letak saluran . Dengan bantuan alat ini memberikan akurasi 50 % potensial terinfeksi.
lebih baik daripada RT saja a. Fistula sederhana dengan saluran rendah, eksisi fistula dan m.sfingter ani
internus dipotong sebagian, selanjutnya luka operasi dirawat secara
Differensial Diagnosis terbuka
Sinus Pilonidal arah saluran ke sacrococcygeal b. Fistula dengan saluran tinggi tertutup, dilakukan pemotongan m.sfingter
Sinus pilonidalis sakrokoksigeal pada hakekatnya tidak berhubungan dengan interna sampai batas tertinggi dari alur tersebut.
anorektum. Kelainan ini disebabkan oleh rambut di garis tengah di bagian atas c. Saluran tinggi dan memasuki rektum, eksplorasi daerah intersfingterik,
lipatan gluteal terutama pada pria yang berambut banyak. Oleh gesekan, rambut sehingga saluran nampak jelas, fistula dieksisi dan dibiarkan terbuka
masuk kulit. Kelainan ini biasanya asimptomatik sampai mengalami infeksi d. Saluran tinggi tanpa perineal opening, dilakukan eksisi bagian bawah
akut. Radang menunjukkan gambaran infeksi akut sampai menjadi abses dan serabut m.sfingter ani interna sesuai letak predisposisi kekambuhan
terbentuk fistel setelah abses pecah. Fistel tidak akan sembuh karena sarang e. Saluran tinggi dengan abses supralevator, abses didrainase ke internal
rambut di dalamnya merupakan “ benda asing “. opening pada kripte Morgagni, selanjutnya dilakukan sfingterotomi interna
dan drainase ke ampula rekti
Hidradenitis supurativa f. Fistula yang disebabkan infeksi pada pelvis, dilakukan kuretase jika perlu
Merupakan radang kelenjar keringat apokrin yang biasanya membentuk fistel dipasang drain, dimana infeksinya harus diatasi terlebih dahulu.
multipel subkutan yang kadang ditemukan di perineum dan perianal. Penyakit
ini biasanya ditemukan di ketiak dan umumnya tidak meluas ke struktur yang 2. Fistula Transfingterik
lebih dalam. Saluran dieksisi dan luka dibiarkan terbuka. Dengan menggunakan seton dan
dibiarkan dalam jangka waktu tertentu sampai terjadi fibrosis, sebelum
Morbus Crohn dilakukan pemotongan bagian inferior dari m.sfingter ani internus.
Merupakan penyakit radang kronis yang menbentuk granulasi. Pada awal
penyakit ditemukan edema dinding usus disertai limfagiektasis. Pada stadium 3. Fistula Suprasfingterik
lanjut mungkin terjadi obstruksi parsial yang dapat mengalami penyulit berupa Bila tanpa abses, dilakukan eksisi saluran dan sebagian m.sfingter ani interna,
perforasi di dalam massa radang yang mengakibatkan fistel intern antar kelok saluran yang terl;etak dilateral sfingter ekterna didiseksi dan fistel yang dekat
usus, maupun ekstern yang paling sering terjadi di perianal. dengan levator ani dikonversikan pada daerah intersfingterik. Bila dengan
abses tindakannya sama tetapi abses didrainase ke dalam rektum
Koloperineal fistel dengan fistulografi, kontras naik sampai kolon sigmoid
Urethroperineal fistel akibat instrumen kateter atau businasi 4. Fistula Ekstrasfingterik
Bila disebabkan oleh infeksi anorektal biasanya dilakukan kolostomi, kemudian
jaringan kelenjar yang terinfeksi dieksisi.
Beberapa teknik pembedahan pada fistula ani yaitu : 3. Penggunaan Seton
1. Fistulotomi Diterapkan pada fistula ani tinggi komplit (mempunyai lubang dalam ). Saluran
Identifikasi muara eksternal dan internal dengan sonde, kemudian saluran fistel sebelah luar m.sfingter eksterna dilakukan laying open disertai kerokan,
diinsisi dengan pisau atau elektrokauter. Selanjutnya saluran dibuka dari lubang sedangkan bagian medial (intrasfingter ) dipasang benang katun menembus
asalnya sampai ke lubang kulit, dasar fistel dikerok dengan kuretase dikirim lubang dalam (Seton). Pemasangan seton dimaksudkan untuk drainase pus,
untuk pemeriksaan kultur dan sensitifitas, dibersihkan dari jaringan granulasi, identifikasi alur dan memotong sfingter serta merangsang terbentuknya jaringan
tepi luka dieksisi luas sampai lubang dalam kanal anal. Luka dibiarkan terbuka fibrotik di sekeliling saluran fistel
(tidak boleh dijahit), sehingga penyembuhan dimulai dari dalam / Pada hari ke-6 atau lebih, seton dilepaskan atau digunakan sebagai Guide untuk
persekundam intentionem. Luka ditutup dengan kasa. Luka biasanya akan memotong sfingter dan kemudian mengerok saluran fiste / fistulotomi. Jaringan
sembuh dalam waktu agak lama fibrotik diharapkan akan memegang sfingter pada tempatnya dengan demikian
diharapkan tidak akan tidak terjadi inkontinensia. Pada fistula anal tinggi
pembedahan tidak bisa hanya dengan laying open karena banyak memotong
m.puborektalis.
Penggunaan Seton mempunyai keuntungan :
a. Nyeri akibat jaringan iskemik dan nekrotik dapat disesuaikan oleh penderita
dengan cara dikendorkan atau dikencangkan
b. Merupakan metode satu tahap.
2. Fistulektomi
Sebelum melakukan tindakan ini anatomi fistel harus dketahui dan tidak
dianjurkan penggunaan sonde untuk mencegah salah rute akibat sondase. Pada
fistulektomi saluran fistel dieksisi seluruhnya, luka yang terjadi kemudian
ditutup lapis demi lapis. 6
5. Fibrin glue
Perkembangan terakhir dalam bidang bioteknologi ditemukan beberapa tissue
adhesive material, seperti fibrin glue yang mulai dipakai pada terapi fistel
perianal dengan angka keberhasilan 60 % dalam 1 tahun follow up. Masih
diperlukan pengamatan dalam jangka lama untuk pemakaian fibrin glue ini pada
terapi fistel perianal
Pembedahan yang baik tanpa diikuti perawatan pasca bedah yang baik dapat
menimbulkan kekambuhan. Prinsipnya penyembuhan luka harus dari dalam menuju
kearah luar. Oleh karena itu perawatan luka ditujukan pada luka sebelah dalam.
Luka bagian dalam harus diusahakan bebas dari kumpulan nanah atau serum.
Kontrol yang teratur pada minggu awal sangat penting untuk penyembuhan luka.
Yang paling penting adalah memastikan penyembuhan dari dalam.dengan
pemeriksaan rektal.
KOMPLIKASI
Hasil terapi dapat dilnilai dari lama perawatan, lama penyembuhan luka, nyeri pada
bekas luka operasi, rekurensi dan gangguan kontinensi pada daerah anorektal
Komplikasi penanganan fistula perianal adalah :
Inkontinensia
Suatau keadaan diamana material dari anus keluar tanpa disadari oleh
penderitanya, akibat kerusakan sfingter ani eksternal (Elliot et al, 1987) .
Kejadian inkontinensia berkisar 3 – 7 % pada tindakan fistulotomi.
Rekurensi
Angka rekurensi pada umumnya kurang dari 8,6 % pada fistulektomi lebih
rendah dari pada dengan tindakan fistulotomi, dan lebih rendah lagi untuk
tindakan dengan pemakaian seton .
Rekurensi terjadi apabila pada saat tindakan ( Ahmadsyah, 2003) :
o Lubang di dalam tidak dibuang
o Saluran kolateral masih tersisa
o Operasi tidak adekuat karena takut inkontinentia
o Pasca perawatan bedah tidak adekuat
.
PROLAP REKTI Philip Thorek menyebutkan bahwa prolaps rekti kemungkinan akibat hilangnya
fiksasi rektum dan cavum douglasi yang dalam.
Michel Keyghley mengajukan bebarapa teori terjadinya rektal prolaps yaitu:
Beberapa teknik pembedahan untuk prolaps rekti banyak dikenal, tetapi jenis operasi a. Invaginasi.
secara optimal masih dalam perdebatan. Terdapat tiga jalur pendekatan operasi Teori ini berdasarkan pada pemeriksaan radiologi dimana pasien diminta untuk
prolap rekti yakni: abdominal, perineal dan transsakral. mengeluarkan barium yang dimasukkan ke dalam rektumnya. Panjang dinding
Pendekatan abominal meliputi anterior reseksi dan Ripstein prosedur. Pendekatan depan dan belakang rektum yang prolaps adalah sama panjang.
perineal dikenal metode Delorme, Altemeier dan Tiers prosedur. Dedangkan
transsakral yakni prosedur pendekatan melalui insisi posterior para sacral. Masing – b. Sliding Hernia
masing pendekatan mempunyai keuntungan dan kerugian. Pendekatan abdominal Teori ini menyebutkan bahwa rektal prolaps merupakan suatu sliding hernia,
memerlukan kondisi prabedah yang optimal dengan rekurensi yang lebih rendah. dimana rektum prolaps melalui dasar pelvis yang lemah akibat dari panjangnya
Biasa dilakukan pada penderita yang lebih muda. Pendekatan perineal dilakukan atau dalamnya refleksi peritoneal yang mobil.
untuk penderita yang lebih tua, kondisi kurang kurang optimal, dengan rekurensi c. Defisiensi dasar pelvis
yang lebih tinggi. Sedangkan pendekatan transsakral mempunyai rekurensi yang Sebagian besar pasien terutama usia tua dengan komplet rektal prolaps
lebih kecil dibandingkan abdominal, baik untuk pasien yang lebih tua. mempunyai kelemahan dasar pelvis. Pendapat ini menyebutkan bahwa
defisiensi levator ani merupakan abnormalitas primer pada rektal prolaps.
Anatomi dan fisiologi Walaupun ada beberapa pasien rektal prolaps dengan dasar pelvis yang normal.
Rektum dengan mesorektumnya terletak berdempetan dengan lengkung sacrum,
sedang rektosigmoid junction terletak pada promontorium yang bergerak turun 2-3 Diagnosis
cm dengan manuver Valsava (Zinger Michel J, 1997). Rektum tetap berada di Pasien biasanya memberikan riwayat pengeluaran kotoran yang tidak tuntas disertai
pelvis oleh karena disokong atau digantung oleh muskulus levator ani yang terdiri prolaps rektum dengan keluhan utama prolap itu sendiri.
dari m. puborektalis, m. pubokoksigeus dan m. ileokoksigeus. Muskulus
puborektalis berperan dalam mempertahankan kontinensi. Muskulus ini menempel
pada margo inferior facies dorsalis simphisis pubis berjalan ke belakang dan
mengitari rectum di bagian belakang . Muskulus puborektalis bersama dengan m.
sfingter ani interna dan eksterna membentuk cincin anorektal (Skandalakis John, Terdapat gejala tekanan dan rasa sakit
1995). Kontraksi muskulus puborektalis akan menarik rectum ke depan sehingga pada anus, discharge mukosa, konstipasi,
mempertajam sudut anorektal. Relaksasi muskulus puborektalis ini akan mengejan, kadang timbul perdarahan.
mengakibatkan melebarnya sudut anorektal sehingga rectum menjadi lebih vertical Keyghley,1996 membagi prolaps rekti
(Corman Marvin, 2002). menjadi:
Gambar 1; Gambaran Prolaps Rekti
Patofisiologi
Penyebab pasti rektal prolaps tidak diketahui, tetapi ada beberapa faktor yang dapat
berpengaruh terhadap timbulnya rektal prolaps antara lain: (Corman Marvin, 2002)
Konstipasi
Penyakit neurologi
Jenis kelamin perempuan Prolaps mukosa yang disebabkan oleh
Rektosigmoid yang redundan putusnya jaringan pengikat antara
Cavum Douglasi yang dalam submukosa dengan jaringan otot rektum
Lemahnya fiksasi rektum pada sakrum di bawahnya
Invaginasi Gambar 2: Prolaps Mukosa
Prosedur operasi
intususepsi interna (occult rectal prolaps) yang dapat didiagnosis dengan Penanganan operatif
proktografi defekasi Tujuan utama penanganan operatif pada prolaps rekti adalah mengontrol
prolapsnya(Keighley, 2001). Dikenal dua macam pendekatan operasi untuk prolaps
rekti yaitu abdominal dan perineal.(Lawrence Way, 1994,2003) Disebutkan bahwa
pendekatan abdominal mempunyai tingkat kekambuhan yang lebih rendah, volume
rektum yang tetap tetapi risiko yang lebih tinggi. Pendekatan perineal menghindari
anastomosis intraabdominal dengan mengangkat rektum sehingga mengurangi
prolaps rekti komplit dengan volume rektum dan mempunyai tingkat kekambuhan yang lebih tinggi. Pendekatan
gambaran sebagai protrusi seluruh abdominal dipilih untuk penderita kurang dari 50 tahun dengan kondisi baik.
ketebalan rektum melalui anal verge. Pendekatan abdominal untuk penderita intususepsi atau prolaps rekti dengan fungsi
Gambar 3: Prolaps Komplit sfingter normal adalah reseksi sigmoid dengan atau tanpa rektopeksi dan rektopeksi
saja.
Pada operasi rektopeksi, setelah rektum dimobilisasi cukup untuk mereduksi prolaps
seluruhnya, dibuat sling untuk meresuspensi rekrum tinggi di dalam pelvis.
Nonabsorbable Mersilene mesh dijahitkan ke fascia prasakralis dengan sejumlah
jahitan terputus menggunakan benang nonabsorable yang lunak. Ujung bebas sling
yang cukup panjang dijahitkan pada rekrum. Sling rektal dibentuk sedemikian rupa
Defekografi sangat efektif dalam identifikasi kondisi praprolaps dan gangguan sehingga 1 cm bagian rektum bebas dari mesh di anterior. Mersilene mesh dipotong
defekasi yang lain. Dengan menggunakan fluroskopi proyeksi lateral, pasien posisi menjadi panjang yang tepat sehingga tidak ada pita konstriktif yang ditimbulkan
duduk dan disuruh megejan. Sudut normal anorektal saat istirahat adalah 90 o + 4,76 yang selanjutnya dapat menimbulkan obstruksi. Jahitan seromuskuler dikerjakan
dan 111o + 5,02 saat mengejan. Disamping intususepsi dan merenggangnya rektum sementara asisten menahan traksi untuk meresuspensi segmen rektosigmoid (David
dan sakrum, kelainan defekografi yang dapat ditemukan adalah: C Sabiston, 1997).
Megarektum
Abnormalitas sudut anorektal
Non relaxing puborektal
Desensus perineal
Ptrolaps mukosa
Rektokel
DIAGNOSIS BANDING
Prolaps hemoroid
Polip rekti
Prolaps mukosa
Invaginasi Sigmoidorektal
PENANGANAN
Gambar 4: Mesh dijahitkan ke fascia Gambar 5: Jahitan seromuskuler dan
Penanganan prolaps rekti meliputi nonoperatif dan operatif.
presakralis traksi oleh asisten
Penanganan prolaps rekti non operatif meliputi:
Koreksi knstipasi
Manual support defekasi Pendekatan abdominal yang lain adalah reseksi sigmoid / anterior reseksi. Operasi
Latihan otot perineum ini dikerjakan dengan menggunakan teknik standart mengangkat rektum bagian
Stimulasi elektronik tengah dan atas sampai sigmoid yang redundant. Kemudian dilanjutkan dengan
Injeksi sklerosing agent anastomosis rektum tengah atau bawah dengan kolon kiri. Kemudian rektum
Koaglasi infrared. dikembalikan sesuai dengan lengkung sakrum. Angka kejadian inkontinensi pada
teknik ini tinggi karena menurunnya kapasitas rektum. Oleh karena itu teknik ini
dipilih untuk penderita dengan konstipasi praoperasi.
Pendekatan perineal yang lain adalah prosedur Delorme, berupa mukosal
proctektomi dengan plikasi dinding rektum yang prolaps. Insisi mukosa dimulai 1
cm proksimal linea dentata. Dengan elektrokauter, mukosa dipotong mlingkar.
Kemudian distiping sampai apek prolaps rektum. Usaha ini lebih mudah dengan
menyuntikkan salin ke dalam sub mukosa rektum. Kemudian kelebihan mukosa
dipotong, muskularis diplikasi secara longitudinal sedemikian rupa sehingga
menyerupai akordion yang difiksasi dengan jahitan absorbable 2-0 dilanjutkan
dengan menjahit antar mukosa rektum.
Gambar 6: Gambar 7:
Reseksi sebagian rektum dan sigmoid Anastomosis kolon kiri dengan
rektum
Untuk penderita yang lebih tua dan risiko tinggi, banyak ahli bedah memilih
pendekatan perineal berupa Thiersch prosedur. Bahkan prosedur ini dapat digunakan
Gambar 8: Mukosektomi pada metode Delorme
dengan anastesi lokal. Prosedur ini bertujuan menyempitkan anus dengan
menempatkan secara melingkar seutas benang perak. Oleh karena benang perak ini
banyak menimbulkan ulcerasi, maka saat ini banyak digunakan bahan lain sepeerti
nilon, polipropilen, mesh dan lain lain.
Dengan membuat insisi kecil di anterior dan posterior 1 cm di luar anal verge,
benang diselipkan dari insisi anterior ke posterior kiri dan kanan pada fosa
ischiorektalis. Kemudian dibuat simpul di posterior. Dilator Hegar nomor 16 atau 18
digunakan untuk mengukur lumen anus. Luka yang ada ditutup dengan benang
absorbable 3-0 atau 4-0.
Prosedur repair prolaps rekti yang lain adalah prosedur Altemeier berupa
proktektomi komplit dan sering disertai sigmoidektomi parsial. Apeks prolaps rekti
ditraksi kemudian dilakukan insisi melingkar 1 cm diatas linea dentata. Rektum
keseluruhan dieversikan, eksteriorisasi rektum dan kolon sigmoid serta repair
peritoneum. Selanjutnya rektum dan kolon sigmoid redundan dipotong dilanjutkan
dengan anastomosis kolon dengan anus dengan jahitan terputus yang penyerapannya
Gambar 7: Sirklase anal metode Thiersch lama.
Gambar 10:
Prosedur Altemeier
Insisi melingkar 1 cm diatas
linea dentata dilanjutkan
mobilisasi rektum dan kolon
sigmoid keluar.
Disamping pendekatan abdominal dan perineal seperti tersebut diatas, dikenal pula
pendekatan penanganan prolaps rekti yang lain yaitu pendekatan transakral berupa
reseksi dan rektopeksi transakral. Dengan insisi kulit kurang lebih 7 cm dimulai dari Gambar 14: Rektopeksi
titik tepat sebelah kiri sakrokoksigeal junction sampai ke perianal sepanjang sakrum,
rektum dan pararektal fat dimobilisasi secara tumpul dan tajam. Kemudian
dilakukan reseksi sigmoid ataupun rektopeksi seperti tindakan lainnya dan diakiri
dengan penutupan luka.
Pemeriksaan khusus
Selain untuk konfirmasi diagnostik etiologi disfungsi anorektal, pemeriksaan khusus
diperlukan untuk eksklusi kelainan struktural yang dapat menyebabkan keluhan
inkontinensia. Pemeriksaan feses harus dilakukan pada pasien dengan adanya
riwayat diarrhea. Visualisasi seluruh kolon dan rektum sebaiknya dilakukan baik
dengan kolonoskopi, atau pun prokto-sigmoidoskopi. Apabila pemeriksaan-
pemeriksaan tersebut tidak menunjukkan adanya kelainan struktural, maka
dilanjutkan dengan pemeriksaan fungsi kolorektal. Gambar 1. : Gambaran lapisan dinding rectum dengan otot-otot sphincter normal
pada pemeriksaan ultrasonografi endorektal.
a). Manometri anorektal
Pemeriksaan manometri anorektal dapat mengevaluasi tekanan anal maksimal
pada saat istirahat, amplitudo dan durasi squeeze pressure otot-otot sphincter,
refleks inhibisi rektoanal, batas ambang sensasi rectum volunter, rectal
compliance, serta tekanan rectum dan sphincter ani pada saat mengedan.
Parameter penting yang memiliki korelasi dengan inkontinensia adalah adanya
tekanan sphincter yang rendah pada saat istirahat menunjukkan adanya disfungsi
otot sphincter ani interna, sedangkan penurunan squeeze pressure memberi
petunjuk adanya disfungsi otot sphincter ani eksterna. Prolapsus rekti dapat
terjadi pada tekanan yang sangat rendah.
Gambar 2A, Gambar 2B.
Gambar 2. : Pencitraan oleh ultrasonografi endorektal.Gambar 2 A., menunjukkan Diagnosis Konstipasi
adanya robekan moderat pada otot sphincter externa. Gambar 2B menunjukkan
defek pada kedua lapisan otot sphincter anterior, yaitu sphincter interna dan eksterna Kriteria diagnosis konstipasi menurut konsesus internasional (Rome II) dan
sebagai akibat persalinan. rekomendasi American Gastroenterological Association adalah ditemukannya dua
atau lebih kriteria sebagai berikut paling sedikit selama 12 minggu:
d) Defekografi : a) Mengedan pada paling sedikit 25 % defekasi.
Pemeriksaan ini tidak banyak berguna, kecuali pada pasien inkontinensia yang b) Perasaan evakuasi inkomplit pada paling sedikit 25% defekasi.
disertai oleh prolapsus rekti/rektocele. c) Sensasi obstruksi anorektal pada paling sedikit 25% defekasi.
d) Membutuhkan manuver manual untuk membantu evakuasi pada paling sedikit
e). Elektromyografi: 25% defekasi
Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan menggunakan elektroda jarum atau e) Feses keras pada paling sedikit 25% defekasi.
permukaan pada otot-otot sphincter untuk mengevaluasi kemungkinan adanya f) Defekasi kurang dari 3 kali dalam seminggu.
kerusakan neurogenik atau myopathi yang menyebabkan keluhan inkontinensia.
Pemeriksaan ini dirasakan kurang nyaman, sehingga sudah banyak ditinggalkan, Menurut Wald, sebagai tambahan adalah bahwa konstipasi tidak dapat ditegakkan
serta saat ini ultrasonografi endorektal telah menggantikan pemeriksaan ini. apa bila pada defekasinya ditemukan pula feses cair atau lembek, dan seluruh
kriteria diagnosis irritable bowel syndrome terpenuhi.(lihat tabel 1.)
Ringkasan algoritma evaluasi diagnostik inkontinensia dapat dilihat pada gambar 3.:
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab pendekatan diagnosis, prosedur penegakan
diagnosis meliputi tahap-tahap sebagai berikut:
Anamnesis
Bagian penting di dalam anamnesis adalah mengetahui perjalanan keluhan
konstipasi, yaitu dengan mencatat onset dan durasi keluhan tersebut. Pengamatan
dan catatan frekuensi defekasi selama dua minggu dapat membantu menegakkan
diagnosis konstipasi, jika terdapat keraguan di dalam konsep dan persepsi pasien
tentang hal tersebut. Tidak jarang, keluhan yang dianggap sebagai konstipasi oleh
pasien, sesungguhnya masih dalam batas frekuensi defekasi pada orang normal.
Selanjutnya perlu diperhatikan riwayat yang berhubungan dengan penyebab
sekunder yang berupa etiologi ekstrakolon. Riwayat penggunaan obat-obatan yang
dapat menyebabkan konstipasi perlu diketahui dan dicatat hubungan antara saat
penggunaan obat pertama kali dengan munculnya keluhan.( tabel 2.)
Berbagai gejala yang disebabkan oleh berbagai penyakit sistemik atau neurologik
yang mungkin menyebabkan konstipasi harus ditanyakan di dalam anamnesis.
Selain itu, berbagai gejala yang mungkin berhubungan dengan adanya penyakit atau
gangguan struktural (anatomik) seperti misalnya nyeri abdomen atau perdarahan per
anum perlu juga dicari. Adanya mengedan yang berlebihan dan sensasi evakuasi
yang inkomplit setelah defekasi perlu juga ditanyakan. Keluhan anemia pun dapat
menjadi petunjuk adanya penyebab struktural pada kolon atau rectum.
Apabila pada anamnesis terdapat keluhan-keluhan dan tanda-tanda memberikan
kemungkinan adanya penyebab struktural, maka pemeriksaan selanjutnya untuk
konfirmasi ataupun menyingkirkan kemungkinan etiologi kelainan anatomic perlu
dilakukan, baik berupa pemeriksaan fisik diagnostik, maupun pemeriksaan khusus
Gambar 3.: Algoritma evaluasi diagnostik inkontinensia (Dikutip dari Stendal , C. lainnya.
Colonic and anorectal disorders, in Stendal C (Ed), Practical Guide to
Gastrointestinal Function Testing, Blackwell Science, 1997: 91 – 111.)
A. Tabel 1.: Kiriteria diagnostik Rome II untuk IBS(Irritable Bowel Syndrome) Tabel 2.; Obat-obatan yang dapat menyebabkan konstipasi
dan konstipasi fungsional kronik Analgesik
Anticholinergik Antispasmodik
IBS Konstipasi kronik Anti depessan
Antipsikotik
At least 12 weeks, which need not be Loose stools are not present and there are Agen yang mengandung Suplemen besi
consecutive, in the preceding 12 insufficient criteria for IBS. kation Alumunium (antacid, sucralfate)
months of abdominal discomfort or At least 12 weeks, which need not be Agen yang Opiat
pain that has 2 of the 3 following consecutive, in the preceding 12 months of mengaktifkan system Antihipertensi
features: 2 of the following: saraf Bloker ganglionik
Vinca alkaloid
Calcium channel blockers
5HT3 antagonist
Relieved with defecation and/or Straining > 25% of the time
Onset associated with a change in Lumpy or hard stools > 25% of defecations
frequency of stool and/or Pemeriksaan fisik:
Meskipun pemeriksaan status generalis tidak memberikan banyak informasi pada
Onset associated with a change in Sensation of incomplete evacuation > 25% penderita konstipasi kronik, tahapan ini tidak boleh dilewati, karena apabila terdapat
form (appearance) of stool. of defecations tanda-tanda gangguan atau penyakit sistemik/metabolik atau neurologik dapat
teridentifikasi. Apabila terdapat kecurigaan terhadap penyebab neurologik,
Sensation of anorectal pemeriksaan saraf autonom harus dilakukan dengan lengkap.
obstruction/blockage > 25% of defecations Pemeriksaan regio abdomen penting sekali dilakukan untuk mengidentifikasi
kemungkinan adanya tanda-tanda distensi usus, scar operasi, maupun skibala.
Symptoms that cumulatively support Manual maneuvers to facilitate > 25% of Tanda-tanda obstruksi usus mekanik juga perlu diperhatikan.
the diagnosis of IBS include: defecations Seperti halnya pada pemeriksaan anorektal untuk inkontinensia, inspeksi daerah
anorektal dan pemeriksaan colok dubur pun harus dilakukan. Pada inspeksi harus
Abnormal stool frequency diidentifikasi kemungkinan terdapatnya tanda-tanda asymetric anal opening
(> 3 per day or < 3 per (gaping), fissura ani dan hemorrhoid yang prolaps. Penilaian Anal wink reflex juga
week) harus dilakukan untuk menilai adanya gangguan neurologik. Sedangkan pada
pemeriksaan colok dubur dilakukan pemeriksaan kontraksi otot pubo-rectalis dan
Abnormal stool form sphincter externa ketika pasien mengedan untuk mengidentifikasi pasien dengan
(hard/lumpy or dyssynergia pelvic floor.
loose/watery)
Pemeriksaan khusus
Abnormal stool passage Pemeriksaan alat bantu khusus, terutama yang bersifat pencitraan bermanfaat untuk
menyingkirkan penyebab struktural pada kolon dan rectum. Sebaliknya,
Passage of mucus pemeriksaan fungsional dapat memberikan konfirmasi diagnostik adanya disfungsi
anorektal.
Bloating or feeling of
a) Endoskopi:
abdominal distension
Sigmoidoskopi fleksibel dan kolonoskopi adalah metode diagnostik terbaik
untuk mengidentifikasi lesi-lesi yang menyebabkan striktura atau obstruksi pada
< 3 defecations per week
kolon dan rectum. Kelebihan lainnya, pada keduanya dapat dilakukan biopsy
pada setiap lesi yang dicurigai dan sekaligus bisa dilakukan tindakan terapeutik,
seperti polipektomi. Kolonoskopi memberikan hasil diagnostik yang lebih baik
untuk kasus-kasus yang disertai anemia atau perdarahan per anum tersamar.
b) Radiografi Pada keadaan pelvic floor dyssynergia tekanan sphincter ani eksterna meningkat
Foto polos abdomen berguna di dalam mendeteksi adanya retensi feses di kolon manakala terjadi peningkatan intrarektal dan ekspulsi feses yang seharusnya
yang dapat menjadi petunjuk adanya megakolon, serta monitor hasil menurun ketika proses defekasi normal terjadi. Diskoordinasi kedua tekanan
pembersihan kolon pada pasien dengan skibala.Enema barium bermanfaat untuk inilah yang menyebabkan gangguan defekasi.
mengidentifikasi perubahan struktural kolon dan adanya mega kolon atau
rectum, serta memerlukan biaya yang lebih rendah dibandingkan dengan f) Balloon test (expulsion test)
kolonoskopi. Pemeriksaan inipun memberikan gambaran khas pada penyakit Ini test yang sangat sederhana, yaitu memasukkan balon yang diisi air hingga
Hirschsprung oleh adanya gambaran transisi antara bagian kolon atau rectum 150 ml ke dalam rectum, kemudian dinilai kemapuan ekspulsi balon tersebut
yang aganglionik dengan daerah usus yang berdilatasi pada bagian proksimalnya. keluar dari rectum. Pada keadaan normal tidak akan terdapat kesulitan untuk
melakukan ekspulsi balon tersebut.
c) Colon transit studies
Dengan mempergunakan zat radiofarmaka yang ditelan sebagai marka dan g) Electromyografi
dipantau perjalanannya pada kolon dan rektum melalui radiografi, maka waktu Pemeriksaan ini dapat ditambahkan pada pemeriksaan manometri untuk menilai
transit feses pada kolon dan rectum dapat dinilai, setelah pasien memperoleh diet otot puborectalis dan sphincter ani eksterna. Pada keadaan anismus terdapat
tinggi serat, serta tidak diberikan laksatif, enema dan obat-obatan yang dapat keadaan paradox yaitu peningkatan aktivitas otot-otot tersebut pada saat defekasi
mempengaruhi fungsi kolon dan rectum. Interpretasi pemeriksaan ini adalah yang seharusnya menurun pada keadaan normal.
sebagai berikut:
Jika terdapat perlambatan transit di kolon kanan, maka disimpulkan bahwa h) Pudendal nerve terminal motor latency
kolon mengalami inersia. Alat ini mengukur lama waktu yang diperlukan untuk merangsang kontraksi otot
Apabila radiofarmaka dapat menjalani transit pada kolon dengan secara sphincter ani externa setelah dirangsangnya nervus pudendus oleh elektroda
normal dan timbul stagnasi di rectum, maka terdapat perlambatan pada outlet. secara trans rektal. Jika terdapat perlambatan > 2 milidetik, terdapat kerusakan
Mayoritas pasien dengan konstipasi kronik menunjukkan transit kolon yang saraf tersebut. Kerusakan saraf tersebut terjadi pada keadaan descending
normal. perineum syndrome. Kerusakan saraf bisa disebabkan oleh persalinan per
vaginam atau mengedan hebat pada anus sempit dalam waktu lama.
d) Defekografi
Pemeriksaan ini menilai proses defekasi pasien dengan cara memasukkan barium
padat seperti feses ke dalam rectum, kemudian proses evakuasi dari rectum
dipantau melalui fluoroskopi atau pita video ketika pasien duduk di atas toilet
yang didesain khusus untuk pemeriksaan ini. Evaluasi yang dapat dilakukan
melalui teknik ini adalah struktur anorektal, sudut anorektal, baik pada keadaan
istirahat maupun ekspulsi barium dari rectum. Kelainan yang dapat diidentifikasi
adalah pelvic floor dyssyinergia, intussuscepsi, prolaps rekti, rektocele, dan
obstruksi fungsional. Dengan menggunakan videomanometri, rekaman
perubahan tekanan akan dinilai korelasinya dengan defekografi. Interpretasi hasil
pemeriksaan ini membutuhkan tingkat pengalaman yang tinggi, sehingga variasi
hasil interpretasi para ahli radiologinya dapat lebih rendah.
e) Manometri anorektal
Parameter yang berguna pada pemeriksaan konstipasi adalah sensasi rectum dan
compliancenya, relaksasi sphincter interna, dan pola manometri ketika ekspulsi
alat (pseudodefekasi). Manometri akan dapat menyingkirkan diagnosis penyakit
Hirschsprung, apabila ketika muncul distensi rectum, otot sphincter ani interna
akan mengalami relaksasi.