Anda di halaman 1dari 5

3.

Konsep Pendidikan Sepanjang Hayat (PSH)

Konsep ini akan dikemukakan secara rinci karena mendasari arah baru dunia pendidikan. Ide dan konsep
pendidikan sepanjang hayat (PSH) atau pendidikan seumur hidup yang secara operasional sering pula
disebut “pendidikan sepanjang raga” bukanlah sesuatu yang baru. Sebagai konsep yang lebih ilmiah dan
sekaligus sebagi gerakan global yang merambah keberbagai Negara memang baru mulai dirasakan pada
tahun 70-an. Pada zaman Nabi Muhammad saw. 14 abad yang lampau, ide dan konsep itu telah
disiarkanya dalam bentuk suatu imbauan: tuntutlah ilmu mulai sejak dibuaian hingga keliang lahat.
Dorongan belajar sepanjang hayat itu terjadi karena dirasakan sebagai kebutuhan. Setiap orang merasa
butuh untuk mmpertahankan hidup dan kehidupanya dalam menghadapi dorongan-dorongan dari
dalam dan tantangan lam sekitar, yang selalu berubah. Sepanjang hisupnya manusia memang tidak
pernah berada di dalam suatu vakum. Mereka di tuntut untuk mampu menyesuaikan diri secara aktif,
dinamis, kreatif, dan inofatif terhadap diri dan kemajuan zaman.

Kegiatan mendidik diri setiap saat sepanjang hidup itu selalu merupakan kebutuhan terlepas dari
hasilnya. Juga bukan semata-mata sebagai bekal untuk kehidupan dimasa dating. Dengan kata lain,
pendidikan itu bagian dari integral dari hidup itu sendiri. Prinsip pendidikan itu mengandung makna
baha pendidikan itu lekat dengan diri manusia, karena dengan itu manusia dapat terus-menerus
meningkatkan kemandirianya sebagai pribadi dan sebagai anggota masyrakat, meningkatkan rasa
kepenuhmaknaan dan terarah kepada aktualisasi diri.

PSH yang dalam prakteknya telah lama berlangsung secara alamiah dalam kehidupan manusia itu
dalam perjalananya menjadi pudar, disebabkan oleh semakin kukuhnya kedudukan sistem pendidikan
persekolahan di tengah-tengah masyarakat. Seoalah-olah membentuk amsyrakat khusus yang
mempersiapkan diri untuk kehidupan dihari depan, bukan kehidupan sekarang ini, dengan membekali
diri berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan menurut porsi yang telah ditetapkan dengan
keyakinan bahwa bekal tersebut pasti cocok dengan tintutan zaman.

PSH bertumpuh pada keyakinan baha pendidikan itu tidak identik dengan persekolahan, PSH
merupakan suatu proses berkesinambungan yang berlansung sepanjang hidup. Ide tentang PSH yang
hampir tenggelam, yang dicetuskan 14 abad yang lalu, kemudian dibangkitkan kembali oleh Comenuis 3
abad yang lalu (di abad 16) dan Jhon Dwey40 tahun yang lalu( yaitu tahun 50-an). Tokoh pendidikan
Johan Amos Comenius (1592-1671) mencetuskan konsep pendidikan bahwa tujuan pendidikan untuk
membuat persiapan yang berguana di akhirat nanti.

Selanjutnya PSH di defenisikan sebagi tujuan atau ide formal untuk pengorganisasian dan
penstrukturan pengalaman pendidikan. Penegorganisasianya dan penstrukturan ini diperluas mengikuti
seluruh rentangan usia, dari usia yang paling mudah smapai paling tua.( Cropley:67).

PSH bukan suatu sistem pendidikan yang berstruktur, melainkan suatu prinsip yang menjadi dasar
yang menjiwai seluruh organisasi sistem pendidikan yang ada. Dengan kata lain PSH menembus batas-
batas kelembagaan, pengelolaan, dan program yang telah berabad-abad mendesakkan diri pada sistem
pendidikan. Kemudian 40 tahun yang lalu John Dwey, ahli filsafat dan pendidikan dari Amerika (1859-
1952) menaru keyakinan bahwa yang pokok dalam pendidikan ialah kegiatan anak itu sendiri. Kegiatan
itu merupakan manivestasi dari kehidupan. Tidak ada kehidupan tanpa kegiatan. Sepanjang hidup harus
ada keaktifan. Anak wajib memperoleh pengetahuan dan usahanya sendiri. Tulisannya yang terbit pada
tahun 1938 yang berjudul “Experiece and Education” menekankan pentingnya “ mengalami” dalam
belajar (Sapta Dharma, 1955:11_12).

Sudah sejauh itu makna PSH dalam kerangka ilmiah dan dalam praktek kehidupan keseharian,
namun PSH sebagai konsep yang secara ilmiah mendasari pendidikan belum jelas. Sebagai gerakan
konseptual yang bersifat massal baru mulai pada tahun 70an, yaitu 20 tahun kemudian sesudah Dewy,
dengan munculnya laporan komisi internasional tentang perkembangan pendidikan yangdi pimpin oleh
Edegar Fauren yang berjudul “Learning To Be, The World Of Education, Today And Tomorro” yang
diterbitkan oleh UNESCO pada tahun 1972. Sejak saat itu ide tersebut terus menyebar luas keberbagai
Negara menuju kenegara maju dan Negara berkembang untuk diketahui atau dipertimbangkan. Pada
saat itu respon berbagai Negara tidak sama. Khususnya di indonesia respon terhadap konsep PSH itu
sangat positif dan dituangkan dalam kebijaksanaan Negara yaitu dalam ketetapan MPR No.IV/MPR/1973
jo. Ketetapan MPR No IV/MPR/1978 tentang GBHN yang menetapkan prinsip pembangunan nasional
antara lain: dalam bab IV bagian pendidikan , butir (d) berbunyi : pendidikan berlangsung seumur hidup
dan dilaksanakan dalam lingkungan rumah tangga/ keluarga dan masyarakat, karena itu pendidikan
menjadi tanggung jawab besama antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah.

Rasional

Mengapa PSH diperlukan?

Didalam tulisan Croplay dengan memperhatikan masukan dari sebagian pemerhati pendidikan
mengemukakan beberapa alasan, antara lain: keadilan, ekonomi ( biaya pendidikan ). Perubahan
perencanaan, perkembangan teknologi, faktor fokasional, kebutuhan orang dewasa, kebutuhan anak-
anak masa awal, (Croplay:32-34).

Alasan keadilan

Terselenggaranya PSH secara meluas dikalangan masyarakat dapat menciptakan iklim lingkungan
yang memungkinkan terwujudnya keadilan social. Selanjutnya berarti pula persamaan social, ekonomi,
dan politik. Hinsen menunjukkan konteks yang lebih luas yaitu dengan terselenggaranya PSH yang lebih
baik akan membuka peluang bagi perkembangan nasional untuk mencapai tingkat persamaan
internasional (Crplay:33). Dalam hubungan ini Bowle mengemukakan statemen bahwa PSH pada
prinsipnya dapat mengeliminasi peranan sekolah sebagai alat untuk melestarikan ketidakadilan social
(Croplay:33).

Alasan ekonomi

Persoalan PSH dikaitkan dengan biaya penyelenggaraan pendidikan, produktivitas kerja, dan
peningkatan GMP. Dinegara sedang berkembang biaya untuk perluaasan pendidikan dan meningkatkan
kualitas pendidikan hampir-hampir tak tertanggulangi. Tidak terkecuali dinegara yang sudah maju
teknologinya , yaitu munculnya kebutuhan untuk memacu kualitas pendidikan dan jenis-jenis
pendidikan. Beberapa alternative dilakukan untuk mengatasi masalah pembiayaan itu antara lain
dengan cara ,memperbesar daya serap sekolah misalnya dengan sistem Dowble eshift, memperpendek
masa pendidikan, meningkatkan pendayagunaan yeknologi pendidikan, mendiseminasikan
inovasi,inovasi pendidikan, dan sebagainya. Dalam hubungannya dengan masalah tesebut PSH yang
secara radikal mendasar diri pada konsep baru dalam pemrosesan pendidikan memiliki implikasi
pembiayaan pendidikan yang lebih luas dan lebih longgar (Croplay:35). Alasan faktor social yang
berhubungan dengan perubahan penranan keluarga, remaja, dam emansipasi wanita dalam kaitanya
dengan perkembangan iptek

Perkembangan iptek yan demikain pesat yang telah melanda Negara maju dan Negara-negara
sedang bekembang memberikan dampak yang besar terhadap terjadinya perubaha-perubahan
kehidupan sosial ekonomi dan nilai budaya. Seperti berubahnya corak pekerjaan, status dan peran
adolesen versus kelompok dewasa, hubungan sosial pekerja dengan atasanya, khusunya bertambahnya
usia harapan hidup dan menurunya jumlah kematian bayi, dan yang tidak kala penyingnya ialah
berubahnya sistem dan peranan lembaga pendidikan.

Fungsi pendidikan yang seharusnya diperangkan oleh keluarga, dan juga fungsi lainya seperti fungsi
ekonomi, rekreasi dan lain-lain, lebih banyak diambil alih oleh lembaga-lembaga, organisasi-organisasi
diluar lingkungan keluarga, khusunya oleh sekolah. Ketidaksingkronan konsep pendidikan dilingkungan
keluarga dengan pendidikan disekolah tersebut menimbulkan kesenjangan. Kesenjangan tersebut dapat
diisi melalui penyelenggaraan pendidikan sepanjang hidup(PSH) yang sifatya menembus batas-batas
pelembagaan.

Situasi demikian juga terdapat pada hubungan antara pekerja dengan pimpinan. Pola umum tentang
hubungan sosial antara pekerja dengan pimpinan yang dahulu harus dipegang ketat sudah menjadi
longgar. Pekerja dimasa mendatang mungkin harus melakukan perang sosial yang saat ini dianggap
hanya untuk atasan.

Serempak dengan itu, ada gejala sosial lain yang juga mempunyai arti penting, yaitu meningkatnya
emansipasi wanita.

Alasan pekembangan iptek

Mekipun diakui bahwa pengaruh tersebut di dalam dunia pendidikan belum sejauh yang terjadi pada
dunia pertanian, industry, transportasi, dan komunikasi, namun intervensinya didalam dunia pendidikan
telah menggejala banyak hal. Di segi lain muncul pendekatan-pendekatan baru dan perubahan orientasi
dalam proses belajar mengajar, kondep pengembangan tingkah laku, perubahan peran guru dan siswa
munculnys berbagai tenaga kependidikan non guru, pendayagunaan sumber beajar yang semakin
berfariasi, dan lain-lain.

Alasan sifat pekerjaan


Kenyataan menunjukkan bahwa perkembangan iptek disatu sisi dalam skala besar menyita pekerjaan
tanagan diganti dengan mesin, tetapi tak dapat dipungkiri di sisi yang lain juga memberikan andil kepada
munculnya pekerjaan-pekerjaan baru yang menyerap banyak tenaga kerja dan munculnya cara-cara
baru dalam memproses pekerjaan. Akibatnya pekerjaan menuntut persyaratan kerja yang selalu saja
berubah. Drastisnya banyak perubahan-perubahan dimaksud berlangsung tidak antar generasi tetapi di
dalam satu generasi pun perubahan itu banyak terjadi. Seperti yang dinyatakan oleh Dubin (Wayan
ardana, 1986:13 bahwa para insiyur ahi di Amerika dewasa ini mudah berjuang dengan masalah tidak
terpakainya keterampilan. Untuk dapat tetap menangani pekerjaan-pekerjaan yang menuntut
persyaratan-persyaratan baru seseprang harus berkemauan untuk selalu meningkatkankan
pengetahuan dan keterampilan secara terus menerus. Sistem pendidikan yang tidak sanggup
menyajikan dua macam kemungkinan bekal kerja sekaligus, yaitu bekal siap pakai ( ibatrat kunci pas )
dengan resiko cepat dilanda keusangan, atau bekal dasar yang masih harus dikembangkan sendiri oleh
lulusan ke arah yang di perlukan (ibarat kunci inggris).

Implikasi pendidikan sepanjang hayat

Dengan diterimanya konsep PSH sebagai dasar pendidikan maka berarti sifat kondrati pendidikan, yaitu
upaya memperoleh bekal untuk mengatasi masalah hidup sepanjang hidup lebih menembus dan
menjiwai penyelenggaraan semua sistem pendidikan yang ada, yang sudah melembaga maupun yang
belum.

Ciri-ciri yang dimaksud adalah:

a. PSH menghilangkan tembok pemisah antara sekolah dengan lingkungan kehidupan yang nyata
di luar sekolah.
b. PSH menepatkan kegiatan belajar sebagai bagian integral dari proses hidup yang
berkesinambungan, sedangkan bersekolah hanya merupakan sebagian ( bahkan hanya sebagian
keci ) dari keseluruhan proses belajar yang dialami oleh seseorang dalam hidupnya.
c. PSH lebih mengutamakan pemebekalan sikap dan metode daripada isi pendidikan.
d. PSH menempatkan pesrta didik sebagai individu yang menjadi pelaku utama di dalam proses
pendidikan, yang mangarah kepada pendidikan diri sendiri, autodidak yang aktif kreatif, tekun,
bebas dan bertanggung jawab, tabah, dan tahan bantingan, dan yang sejalan dengan penciptaan
masyarakat gemar belajar (learning society ).
Disamping ciri-ciri tersebut yang menjadi alasan mengapa PSH perlu digalakkan adalah juga:

a. Pada hakikatnya belajar brelangsung sepanjang hidup


b. Sekolah tradisional tidak dap memberikan bekal kerja yang coraknya semakin tidak menetu
dan cepat berubah
c. Pendidikan masa balita punya peanan penting sebagai pondasi pembentukan kepribadian
dan bagi aktualisasi diri
d. Sekolah tradisonal menganggu pemerataan keadilan untuk memperoleh kesempatan
berpendidikan.
e. Biaya penyelenggaraan sekolah tradisional sangat mahal.
Sebagai kesimpulan dapat dikemukakan bahwa:
Menuerunya posisi penting keluarga sebagai lembaga pendidikan, pergeseran peran remaja,
dan orang dewa, hubungan sosial pekerja dengan pemimpin, meningktnya emansipasi
wanita dan berubahnya konsepsi pria sebagai pencari nafkah, semuanya membawa
implikasi pada keharusan akan perlunya penyesuaian diri dari kedua belah pihak dalam
menghadapi kemajuan. Untuk itu perlu adanya model baru pelayanan yang dapat
membekali semua pihak untuk secara terus ,menerus menggalang diri guna mengatasi
tantanagan zaman. Model pelayanan yang dimaksud adlah pendidikan sepanjang hidup

4. Kemandirian dalam belajar

a. arti dan prinsip yang melandasi

kemandirian dalam belajar diartikan sebagai aktivitas belajar yang berlangsungnya lebih didorong
oleh kemauan sendiri, pilihan sendiri, dan tanggung jawab sendiri dari pembelajar

b. Alasan yang menopang

serempak dengan perkembangan iptek ada beberapa alasan yang memperkuat konsep kemandirian
dalam belajar. Conny Semiawan, dan kawana-kawan (Conny s, 1988: 14-16 ) mengemukakan alasan
sebagai berikut:

1. Perkembangan iptek berlangsung semakain pesat sehingga tidak mungkin lagi pendidik
( khususnya guru ) mengajarkan semua konsep dan fakta kepada peserta didik disamping tidak
mungkin, mungkinjuga tidak perlu karena kemampuan manusia yang terbatas untuk
menampung ilmu. Jaln keluarnya ialah peserta didik dari dini dibiasakan bersikap selektif
terhadap segala informasi yang membanjirinya, mereka harus belajar memiliki sikap mandiri.
2. Penemuan iptek tidak mutlak benar 100%, sifatnya relative. Semua teori mungkin tertolak dan
gugur setelah ditemukan data baru yang snggup membuktikan kekelituan teori tersebut.
Sebagai akibanya muncullah tori yang baru pada dasarnya kebenaranya juga bersifat relative
untuk mengahdapi kondisi seperti itu perlu ditanamkan sifat ilmiah kepada peserta didik seperti
keberanian bertanya, berfikir kritis, dan analisis dalam manentukan sebab-sebab dan
pemecahan terhadap masalah.
3. Para ahli psikologi umumnya sependapat, bahwa pesrta didik mudah memahami knose-konsep
yang rumit dan abstrak jika disertai.

Anda mungkin juga menyukai