Anda di halaman 1dari 114

LAPORAN

KEGIATAN PROFESI NERS STASE KEPERAWATAN JIWA

OLEH
FEBY MAULANI
NIM 200511028

STIKES ABDI NUSANTARA JAKARTA

TAHUN AKADEMIK 2020- 2021


==============================================
STIKES ABDI NUSANTARA JAKARTA
Kampus: Jl. Kubah Putih No.7 Rt.001/014 Kel,Jatibening
Kec.Pondok Gede Kota Bekasi
 : 021-8690.1352
email: stikes_abdinusantara@yahoo.com
profesinersabnus@gmail.com
LEMBAR NAMA PEMBIMBING

Kegiatan Praktek Profesi Ners Stase Keperawatan Jiwa dengan judul ASUHAN
KEPERAWATAN JIWA RISIKO PERILAKU KEKERASAN PADA NY. N
DENGAN SKIZOFRENIA PARANOID DI RUANGAN RAWAT INAP RS
JIWA ISLAM KLENDER ini telah dibimbing oleh dosen pembimbing Sekolah
Tinggi Ilmu Kesehatan Abdi Nusantara Jakarta.

Jakarta, Januari 2021

Pembimbing I

(Ns. Nana, S.Kep)

Koordinator Pj. M.A

(Ns. Mahyar Suara, SPd,S.Kp.,M.Kes)

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan rahmat-Nya sehingga kegiatan praktek Profesi Ners Stase Keperawatan Jiwa
dapat diselesaikan dengan judul Asuhan Keperawatan Jiwa Risiko Perilaku
Kekerasan Pada Ny. N dengan Skizofrenia Paranoid di Ruangan Rawat Inap RS
Jiwa Islam Klender. Dalam penyusunan laporan ini penulis mendapat bantuan dari
berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Ibu Lia Idealistiana, SKM, SST, MARS, sebagai Ketua Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Abdi Nusantara Jakarta
2. Ibu Rahayu Khairiyah, M.Keb sebagai Waket I Bid. Akademik Sekolah Tinggi
Ilmu Kesehatan Abdi Nusantara Jakarta
3. Bapak Ns. Mahyar Suara, S.Kep., M.Kes, sebagai Koordinator Mata Aja
Keperawatan Jiwa Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Abdi Nusantara Jakarta
4. Ibu Ns. Nana, S.Kep, sebagai CI RSJI Klender dan pembimbing yang telah
memberikan bimbingan, dorongan dan pengarahan kepada penulis dalam
melakukan asuhan keperawatan jiwa.
5. Rekan-rekan dan mahasiswa kelompok II stase Keperawatan Jiwa.
Penulis menyadari akan kekurangan-kekurangan yang ditemukan
dalam penyusunan laporan ini, maka dengan lapang dada penulis menerima
segala kritik dan saran yang membangun guna kemajuan bagi penulis, semoga
hasil karya ini dapat memberikan manfaat dan mohon maaf bila terdapat
banyak sekali kesalahan selama proses penyusunan laporan ini berjalan. Akhir
kata semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan rahmat dan hidayahnya
kepada kita semua, amin.
Jakarta, Februari 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER
LEMBAR NAMA PEMBIMBING .......................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................................... ii
DAFTAR ISI .............................................................................................. iii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. iv
LAPORAN PENDAHULUAN
I. Masalah Keperawatan ........................................................................ 1
II. Definisi Halusinasi ........................................................................... 1
III. Penyebab ............................................................................................ 1
1. Faktor Predisposisi ........................................................................ 1
2. Faktor Presipitasi .......................................................................... 2
IV. Proses Terjadinya Masalah ................................................................ 5
1. Faktor Predisposisi......................................................................... 5
2. Presipitasi ...................................................................................... 6
V. Tanda dan Gejala ............................................................................... 7
VI. Akibat ................................................................................................ 7
VII. Mekanisme Koping ............................................................................ 8
VIII. Penatalaksanaan.................................................................................. 9
LAPORAN KASUS
I. Identitas Klien .................................................................................... 19
II. Alasan Masuk ................................................................................... 19
III. Faktor Predisposisi ............................................................................ 19
IV. Fisik ................................................................................................... 20
V. Psikososial ......................................................................................... 21
VI. Status Mental...................................................................................... 22
VII. Kebutuhan Pulang .............................................................................. 25
VIII. Mekanisme Koping ............................................................................ 26
IX. Masalah Psikososial Dan Lingkungan ............................................... 27
X. Pengetahuan Kurang Tentang ............................................................ 27
XI. Pohon Masalah................................................................................... 28
XII. Analisa data........................................................................................ 28
XIII. Aspek Medik ...................................................................................... 30
XIV. Daftar Masalah keperawatan.............................................................. 30
XV. Daftar Diagnosis Keperawatan .......................................................... 30
XVI. Intervensi keperawatan ...................................................................... 31
XVII.............................................................................................................Implem
entasi dan Evaluasi ............................................................................ 43
DAFTAR PUSTAKA

iii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Bukti Bimbingan


Lampiran 2 Strategi Pelaksanaan (SP)
Lampiran 3 Laporan Pendahuluan Harga diri rendah
Lampiran 4 Laporan Pendahuluan Isolasi Sosial
Lampiran 5 Laporan Pendahuluan Halusinasi
Lampiran 6 Laporan Pendahuluan Perubahan Proses Pikir: Waham
Lampiran 7 Laporan Pendahuluan Defisit Perawatan Diri

iv
LAPORAN PENDAHULUAN

A. MASALAH UTAMA

Resiko Perilaku Kekerasan

B. PROSES TERJADINNYA MASALAH

1. Definisi

Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan

untuk melukai seseorang secara fisik maupun psiklogis. Berdasarkan

definisi tersebut maka perilaku kekerasan dapat dilakukakn secara verbal,

diarahkan pada diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Perilaku

kekerasan dapat terjadi dalam dua bentuk yaitu sedang berlangsung

kekerasan atau perilaku kekerasan terdahulu (riwayat perilaku

kekerasan). Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana

seorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik,

baik kepada diri sendiri maupun orang lain dan lingkungan yang

dirasakan sebagai ancaman (Kartika Sari, 2015:137).

2. Penyebab

a) Faktor Predisposisi

Menurut Yosep (2012), faktor predisposisi klien dengan perilaku

kekerasan adalah:

1) Teori Biologis

a) Neurologic Faktor

Beragam komponen dari sistem syaraf seperti sinap,


2

neurotransmitter, dendrit, akson terminalis mempunyai peran

memfasilitasi atau menghambat rangsangan dan pesan-pesan

yang mempengaruhi sifat agresif. Sistem limbik sangat terlibat

dalam menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan

respon agresif (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 100).

Lobus frontalis memegang peranan penting sebagai

penengah antara perilaku yang berarti dan pemikiran rasional,

yang merupakan bagian otak dimana terdapat interaksi antara

rasional dan emosi. Kerusakan pada lobus frontal dapat

menyebabkan tindakan agresif yang berlebihan (Nuraenah,

2012: 29).

b) Genetic Faktor

Adanya faktor gen yang diturunkan melalui orang tua,

menjadi potensi perilaku agresif. Menurut riset kazu murakami

(2007) dalam gen manusia terdapat dorman (potensi) agresif

yang sedang tidur akan bangun jika terstimulasi oleh faktor

eksternal. Menurut penelitian genetik tipe karyotype XYY,

pada umumnya dimiliki oleh penghuni pelaku tindak kriminal

serta orang-orang yang tersangkut hukum akibat perilaku

agresif (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 100).

c) Cycardian Rhytm

Irama sikardian memegang peranan individu. Menurut

penelitian pada jam sibuk seperti menjellang masuk kerja dan


3

menjelang berakhirnya kerja ataupun pada jam tertentu akan

menstimulasi orang untuk lebih mudah bersikap agresif

(Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 100).

d) Faktor Biokimia

Faktor biokimia tubuh seperti neurotransmitter di otak

contohnya epineprin, norepenieprin, dopamin dan serotonin

sangat berperan dalam penyampaian informasi melalui sistem

persyarafan dalam tubuh. Apabila ada stimulus dari luar tubuh

yang dianggap mengancam atau membahayakan akan

dihantarkan melalui impuls neurotransmitter ke otak dan

meresponnya melalui serabut efferent. Peningkatan hormon

androgen dan norepineprin serta penurunan serotonin dan

GABA (Gamma Aminobutyric Acid) pada cerebrospinal

vertebra dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya perilaku

agresif ( Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 100).

e) Brain Area Disorder

Gangguan pada sistem limbik dan lobus temporal,

siindrom otak, tumor otak, trauma otak, penyakit ensepalitis,

epilepsi ditemukan sangat berpengaruh terhadap perilaku

agresif dan tindak kekerasan (Mukripah Damaiyanti, 2012:

hal 100).
4

2) Teori Psikogis

a) Teori Psikoanalisa

Agresivitas dan kekerasan dapat dipengaruhi oleh

riwayat tumbuh kembang seseorang. Teori ini menjelaskan

bahwa adanya ketidakpuasan fase oral antara usia 0-2 tahun

dimana anak tidak mendapat kasih sayang dan pemenuhan

kebutuhan air susu yang cukup cenderung mengembangkan

sikap agresif dan bermusuhan setelah dewasa sebagai

komponen adanya ketidakpercayaan pada lingkungannya.

Tidak terpenuhinya kepuasan dan rasa aman dapat

mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat

konsep diri yang yang rendah. Perilaku agresif dan tindakan

kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap

rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri perilaku

tindak kekerasan (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 100 – 101)

b) Imitation, modelling and information processing theory

Menurut teori ini perilaku kekerasan bisa berkembang dalam

lingkungan yang mentolelir kekerasan. Adanya contoh,

model dan perilaku yang ditiru dari media atau lingkungan

sekitar memungkinkan individu meniru perilaku tersebut.

Dalam suatu penelitian beberapa anak dikumpulkan untuk

menontn tayangan pemukulan pada boneka dengan

reward positif (semakin keras pukulannya akan diberi


5

coklat). Anak lain diberikan tontonan yang sama dengan

tayangan mengasihi dan mencium boneka tersebut dengan

reward yang sama (yang baik mendapat hadiah). Setelah

anak-anak keluar dan diberi boneka ternyata masing-masing

anak berperilaku sesuai dengan tontnan yang pernah

dilihatnya (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 101).

c) Learning Theory

Perilaku kekerasan merupakan hasil belajar individu

terhadap lingkungan terdekatnya. Ia mengamati bagaimana

respon ayah saat menerima kekecewaan dan mengamati

bagaimana respon ibu saat marah ( Mukripah Damaiyanti,

2012: hal 101).

b. Faktor Presipitasi

Rentang respon
Respon adaptif Respon maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif PK

Klien mampu Klien gagal Klien merasa Klien mengek Perasaan


mengungkapkan menapai tidak dapat presikan marah dan
rasa marah tanpa tujuan mengungkap secara fisik, bermusuha
menyalahkan kepuasan saat kan tapi masih n yang kuat
orang lain dan marah, dan perasaannya, terkontrol, dan hilang
memberikan tidak dapat tidak berdaya mendorong kontrol
kelegaan. menemukan dan orang lain disertai
alternatifnya. menyerah. dengan amuk,
Ancaman merusak
lingkungan
6

1) Respon Adaptif

Respon adaprif adalah respon yang dapat diterima norma-

norma sosial budaya yang berlaku. Dengan kata lain, individu

tersebut dalam batas normal jika menghadapi suatu masalah akan

dapat memecahkan masalah tersebut, respon adaptif (Mukripah

Damaiyanti, 2012: hal 96):

a) Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan

b) Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan

c) Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang

timbul dari pengalaman

d) Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam

batas kewajaran

e) Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain

dan lingkungan

2) Respon Maladaptif

a) Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh

dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan

bertentangan dengan kenyataan social

b) Perilaku kekerasan merupakan status rentang emosi dan

ungkapan kemarahan yang dimanifestasiakn dalam bentuk fisik

c) Kerusakan proses emosi adalah perubahan status yang timbul

dari hati

d) Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu perilaku yang tidak


7

teratur (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 97).

3. Proses Terjadinya Masalah

a. Faktor Predisposisi

Faktor pengalaman yang dialami tiapmorang yang merupakan

faktor predisposis, artinya mungkin terjadi/mungkin tidak terjadi

perilaku kekerasan jika faktor berikut dialami oleh individu:

1) Psikologis

Menurut Townsend (2010) Faktor psikologi perilaku kekerasan

meliputi:

a) Teori Psikoanalitik, teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya

kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak

berkembangnya ego dan membuat konsep diri yang rendah.

Agresif dan kekerasan dapat memberikan kekuatan dan

meningkatkan citra diri (Nuraenah, 2012: 30).

b) Teori pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku

yang dipelajarai, individu yang memiliki pengaruh biologik

terhadap perilaku kekerasan lebih cenderung untuk

dipengaruhioleh peran eksternal (Nuraenah, 2012: 31).

c) Perilaku, reinforcement yang diterima pada saat melakukan

kekerasan, sering mengobservasi kekerasan dirumah atau

diluar rumah, semua aspek ini menstiumulasi individu

mengadopsi perilaku kekerasan (Eko Prabowo, 2014: hal

142).
8

d) Sosial budaya, proses globalisasi dan pesatnya kemajuan

teknologi informasi memberikan dampak terhadap nilai-niali

sosial dan budaya pada masyarakat. Di sisi lain, tidak semua

orang mempunyai kemampuan yang sama untuk mnyesuaikan

dengan berbagai perubahan, serta mengelola konflik dan

stress (Nuraenah, 2012: 31).

e) Bioneurologis, banyak bahwa kerusakan sistem limbik, lobus

frontal, lobus temporal dan ketidak seimbangan

neurotransmitter turut berperan dalam terjadinya perilaku

kekerasan (Eko Prabowo, 2014: hal 143).

b. Faktor Presipitasi

Secara umum seseorang akan marah jika dirinya merasa

terancam, baik berupa injury secara fisik, psikis atau ancaman knsep

diri. Beberapa faktor pencetus perilaku kekerasan adalah sebagai

berikut:

1) Konsis klien: kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan,

kehidupan yang penuh dengan agresif dan masa lalu yang tidak

menyenangkan.

2) Interaksi: penghinaan, kekerasan, kehilangan orang, merasa

terancam baik internal dari permasalahan diri klien sendiri

maupun eksternal dari lungkungan.

3) Lingkungan: panas, padat dan bising


9

4. Tanda dan Gejala

Perawat dapat mengidentifikasi dan mengobservasi tanda dan gejala

perilaku kkekerasan: (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 97)

a. Muka merah dan tegang

b. Mata melotot atau pandangan tajam

c. Tangan mengepal

d. Rahang mengatup

e. Wajah memerah dan tegang

f. Postur tubuh kaku

g. Pandangan tajam

h. Jalan mondar mandir

Klien dengan perilaku kekerasan seringmenunjukan adanya (Kartika

Sari, 2015: 138) :

a. Klien mengeluh perasaan terancam, marah dan dendam

b. Klien menguungkapkan perasaan tidak berguna

c. Klien mengungkapkan perasaan jengkel

d. Klien mengungkapkan adanya keluhan fisik seperti dada berdebar-

debar, rasa tercekik dan bingung

e. Klien mengatakan mendengar suara-suara yang menyuruh melukai

diri sendiri, orang lain dan lingkungan

f. Klien mengatakan semua orang ingin menyerangnya


10

5. Akibat

Menurut Townsend, perilaku kekerasan dimana seeorang

meakukan tindakan yang dapat membahayakan, baik diri sendiri

maupun orang lain. Seseorang dapat mengalami perilaku kekerasan

pada diri sendiri dan orang lain dapat menunjukan perilaku

(Kartikasari, 2015: hal 140) :

Data Subyektif :

a. Mengungkapkan mendengar atau melihat obyek yang mengancam

b. Mengungkapkan perasaan takut, cemas dan khawatir

Data Obyektif :

a. Wajah tegang merah

b. Mondar mandir

c. Mata melotot, rahang mengatup

d. Tangan mengepal

e. Keluar banyak keringat

f. Mata merah

g. Tatapan mata tajam


11

h. Muka merah

8. Mekanisme Koping

Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada pasien marah untuk

melindungi diri antara lain:

a. Sublimasi

Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia. Artinya

dimata masyarakat unutk suatu dorongan yang megalami hambatan

penyalurannya secara normal. Misalnya seseorang yang sedang

marah melampiaskan kemarahannya pada objek lain seperti meremas

remas adona kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuannya adalah

untuk mengurangi ketegangan akibat rasa amarah (Mukhripah

Damaiyanti, 2012: hal 103).

b. Proyeksi

Menyalahkan orang lain kesukarannya atau keinginannya

yang tidak baik, misalnya seorang wanita muda yang menyangkal

bahwa ia mempunyai perasaan seksual terdadap rekan sekerjanya,

berbalik menuduh bahwa temannya tersebut mencoba merayu,

mencumbunya (Mukhripah Damaiyanti, 2012: hal 103).

c. Represi

Mencegah pikiran yang menyakitkan atau bahayakan masuk

kedalam sadar. Misalnya seorang anak yang sangat benci pada orang

tuanya yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau

didikan yang diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang tua


12

merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh tuhan. Sehingga

perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakanya

(Mukhripah Damaiyanti, 2012: hal 103).

d. Reaksi formasi

Mencegah keinginan yang berbahaya bila di

ekspresika.dengan melebih lebihkan sikap dan perilaku yang

berlawanan dan menggunakan sebagai rintangan misalnya

sesorangan yang tertarik pada teman suaminya,akan memperlakukan

orang tersebut dengan kuat (Mukhripah Damaiyanti, 2012: hal 103).

e. Deplacement

Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan

pada objek yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada

mulanya yang membangkitkan emosi itu ,misalnya: timmy berusia

4 tahun marah karena ia baru saja mendapatkan hukuman dari

ibunya karena menggambar didinding kamarnya. Dia mulai

bermai perang-perangan dengan temanya (Mukhripah Damaiyanti,

2012: hal 104).

9. Penatalaksanaan

a. Farmakoterapi

Pasien dengan ekspresi marah perlu perawatan dan

pengobatan mempunyai dosis efektif tinggi contohnya: clorpromazine

HCL yang berguna untuk mengendalikan psikomotornya. Bila tidak

ada dapat bergunakan dosis efektif rendah. Contohnya


13

trifluoperasineestelasine, bila tidak ada juga maka dapat digunakan

transquilizer bukan obat anti psikotik seperti neuroleptika, tetapi

meskipun demikian keduanya mempunyai efek anti tegang,anti

cemas,dan anti agitasi (Eko Prabowo, 2014: hal 145).

b. Terapi okupasi

Terapi ini sering diterjemahkan dengan terapi kerja terapi ini

buka pemberian pekerjaan atau kegiatan itu sebagai media untuk

melakukan kegiatan dan mengembalikan kemampuan berkomunikasi,

karena itu dalam terapi ini tidak harus diberikan pekerjaan tetapi

segala bentuk kegiatan seperti membaca koran, main catur dapat pula

dijadikan media yang penting setelah mereka melakukan kegiatan itu

diajak berdialog atau berdiskusi tentang pengalaman dan arti kegiatan

uityu bagi dirinya. Terapi ni merupakan langkah awal yang harus

dilakukan oleh petugas terhadap rehabilitasi setelah dilakukannya

seleksi dan ditentukan program kegiatannya (Eko Prabowo, 2014: hal

145).

c. Peran serta keluarga

Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang

memberikan perawatan langsung pada setiap keadaan (sehat-sakit)

pasien. Perawat membantu keluarga agar dapat melakukan lima

tugas kesehatan, yaitu mengenal masalah kesehatan, membuat

keputusan tindakan kesehatan, memberi perawatan pada anggota

keluarga, menciptakan lingkungan keluarga yang sehat, dan


14

menggunakan sumber yang ada pada masyarakat. Keluarga yang

mempunyai kemampuan mengtasi masalah akan dapat mencegah

perilaku maladaptif (pencegahan primer), menanggulangi perilaku

maladaptif (pencegahan skunder) dan memulihkan perilaku

maladaptif ke perilakuadaptif (pencegahan tersier) sehinnga derajat

kesehatan pasien dan keluarga dapat ditingkatkan secara optimal

(Eko Prabowo, 2014: hal 145).

d. Terapi somatic

Menurut depkes RI 2000 hal 230 menerangkan bahwa terapi

somatic terapi yang diberikan kepada pasien dengan gangguan jiwa

dengan tujuan mengubah perilaku yang mal adaftif menjadi perilaku

adaftif dengan melakukan tindakan yang ditunjukkan pada kondisi

fisik pasien,terapi adalah perilaku pasien (Eko Prabowo, 2014: hal

146).

e. Terapi kejang listrik

Terapi kejang listrik atau electronic convulsive therapy

(ECT) adalah bentuk terapi kepada pasien dengan menimbulkan

kejang grand mall dengan mengalirkan arus listrik melalui elektroda

yang menangani skizofrenia membutuhkan 20-30 kali terapi

biasanya dilaksanakan adalah setiap 2-3 hari sekali (seminggu 2

kali) (Eko Prabowo, 2014: hal 146).


15

10. Pohon Masalah

Risiko mencederai
diri dan orang lain

RTI
RPK Core Problem

Koping individu in Isolasi


HDR
efektif Sosial

Gangguan
peran/kegagalan

11. Diagnosa Keperawatan

Diagnosis keperawatan dari pohn masalah pada gambar adalah sebagai

berikut (Mukhripah Damaiyanti, 2012: hal 106).

1. Resiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri dan orang lain

2. Harga diri rendah kronik

Intervensi Keperawatan
DX : Resiko Perilaku Kekerasan
Tujuan Umum
Klien dapat melanjutkan hubungan peran sesuai denga tanggung jawab
Tujuan Khusus
1. TUK I : Klien dapat membina hubungan saling percay
Kriteria Evaluasi
a. Klien mau membalas salam
b. Kien mau berjabat tangan
c. Klien mau menyebutkan nama
d. Klien mau kontak mata
16

e. Klien mau mengetahui nama perawat


f. Klien mau menyediakan waktu untuk kontak
Intervensi
a. Beri salam dan panggil nama kien
b. Sebutkan nama perawat sambil berjabat tangan
c. Jelaskan maksud hubungan interaksi
d. Jelaskan tentang kontrak yang akan dibuat
e. Beri rasa aman dan sikap empati
f. Lakukan kontak singkat tapi sering
2. TUK II : Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
Kriteria Evauasi
a. Klien dapat mengungkapkan perasaannya
b. Klien dapat mengungkapkan penyebab perasaan jengkel/jengkel (dari diri
sendiri, orang lain dan lingkungan)
Intervensi
a. Beri kesempatan mengungkapkan perasaannya
b. Bantu klien mengungkap perasaannya
3. TUK III : Kien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan
Kriteria Evaluasi
a. Klien dapat mengungkapkan perasaan saat marah atau jengkel
b. Klien dapat menyimpulkan tanda-tanda jengkel/kesal yang dialami
Intervensi
a. Anjurkan klien mengungkapkan yang dialami saat marah/jengke
b. Observasi tanda-tanda perilaku kekerasan pada klie
c. Simpulkan bersama klien tanda-tanda klien saat jengkel/marah yang
dialami
4. TUK IV : Klien dapat mengidentifikasi perilakuk kekerasan yang biasa
dilakukan
Kriteria Evaluasi
a. Klien dapatmengungkapkan perilaku kekerasan yang dilakukan
b. Klien dapat bermain peran dengan perilaku kekerasan yang dilakukan
17

c. Klien dapat mengetahui cara yang biasa dapat menyelesaikan masalah


atau tidak
Intervensi
a. Anjurkan klien mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan
klien
b. Bantu klien dapat bermain peran dengan perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan
c. Bicarakan dengan klien apakah dengan cara yang klien lakukan
masalahnya selesai
5. TUK V : Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan
Kriteria Evaluasi
a. Klien dapat mengungkapkan akibat dari cara yang dilakukan klien
Intervensi
a. Bicarakan akibat kerugian dari cara yang dilakukan klien
b. Bersama klien menyimpulkan akibat cara yang dilakukan oleh klien
c. Tanyakan pada klien apakah ingin mempelajari cara baru yang sehat
6. TUK VI : Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam berespon
terhadap kemarahan secara konstruktif
Kriteria Evaluasi
a. Klien dapat melakukan cara berespn terhadap kemarahan secara
konstruktif
Intervensi
a. Tanyakan pada klien apakah ingin mempelajari car baru
b. Beri pujian jika klien menemukan cara yang sehat
c. Diskusikan dengan klien mengenai cara lain
7. TUK VII : Klien dapat mengontrol perilaku kekerasan
Kriteria Evaluasi
a. Klien dapat mengontrol perilaku kekerasan
b. Fisik : olahragadan menyiram tanaman
c. Verbal : mengatakan secra langsung dan tidak menyakiti
d. Spiritual : sembahyang, berdoa/ibdah yang lain
18

Intervensi
a. Bantu klien memilih cara yang tepat untuk klien
b. Bantu klien mengidentifikasi manfaat cara yang dipilih
c. Bantu klien menstimulasi cara tersebut
d. Berikan reinforcement positif atas keberhasilan klien menstimulasi cara
tersebut
e. Anjurkan klien menggunakan cara yang telah dipilihnya jiak ia sedang
kesal/jengkel
8. TUK VIII : Klien mendapat dukungan keluarga dalam mengontrol perilaku
kekerasan
Kriteria Evaluasi
a. Keluarga klien dapat menyebutkan cara merawat klien yang berperikalu
kekerasan
b. Keluarga klien meras puas dalam merawat klien
Intervensi
a. Identifikasi kemampuan keluarga merawat klien dari sikap apa yang telah
dilakukan keluarga terhadap klien selam ini
b. Jelaskan peran serta keluarga dalam perawatan klien
c. Jelaskan cara merawat klien
d. Bantu keluarga mendemonstrasikan cara merawat kien
e. Bantu keluarga mengungkapkan perasaannya setelah melakukan
demonstrasi
9. TUK IX : Klien dapat menggunakan obat dengan benar (sesuai program
pengobatan)
Kriteria Evaluasi
a. Klien dapat meyebutkan obat-batan yang diminum dan kegunaannya\
b. Klien dapat minum obat sesuai dengan program pengobatan
Intervensi
a. Jelaskan jenis-jenis obat yang diminum klien
b. Diskusikan manfaat minum obat dan kerugian berhenti minum obat tanpa
izin dokter
FORMULIR PENGKAJIAN KEPERAWATAN KESEHATAIN JIWA
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN DAN NERS
STIKes ABDI NUSANTARA JAKARTA

RUANGAN RAWAT RSIJ Klender


TANGGAL DIRAWAT 19 Januari 2021

I. IDENTITAS KLIEN
Inisial : Ny. N
Tanggal Pengkajian : 20/01/2021
Umur : 42 Tahun
RM No. : RM 048977
Informan : Pasien, keluarga dan perawat
II. ALASAN MASUK
Pasien masuk rumah sakit pada 19/01/2021, pasien dijemput oleh petugas
karena dirumah marah-marah, mulai mengganggu lingkungan sekitar rumah,
membanting-banting barang.

III. FAKTOR PREDISPOSISI


1. Pernah mengalami gangguan jiwa di masa lalu ?
√ Ya Tidak
2. Pengobatan sebelumnya.
Berhasil √ Kurang berhasil Tidak berhasil
3. Pelaku/Usia Korban/Usia Saksi/Usia
Aniaya fisik

Aniaya seksual
Pelaku/Usia Korban/Usia Saksi/Usia
Penolakan
Kekerasan dalam keluarga
Tindakan kriminal
20

Jelaskan No. 1, 2,3 :


1. pasien pernah mengalami gangguan jiwa pada tahun
2012,
2. pengobatan sebelumnya kurang berhasil kasrena
pasien tidak teratur minum obat dan tidak teratur
kontrol pasien kambuh kembali. Saat ini pasien
masuk rumah sakit yang ke 3 kali
Masalah Keperawatan : Regiment in efektif terapi dan harga diri
rendah
4. Adakah anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa
Ya √ Tidak
Hubungan keluarga Gejala Riwayat pengobatan/perawatan
________________ _______________ _______________________
________________ _______________ _______________________
Masalah Keperawatan: Tidak ada masalah keperawatan

5. Pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan


Pengalaman yang tidak menyenangkan yaitu suami selingkuh dengan janda
anak 2 pada tahun 2015, pasien mengatakan dihianati, merasa dibohongi,
pasien mengatakan ingin bercerai dengan suami karena suami tidak beguna,
pasien mengatakan trauma menikah. Pasien mengatakan kesal dengan
suaminya, marah dengan suaminya dan pasien tampak gelisah.
Masalah Keperawatan: Risiko perilaku kekerasan dan harga diri rendah

IV. FISIK
1. Tanda vital : TD : 120/88 N : 84x/mnt S:36,6 P: 20x/mnt
2. Ukur : TB : 150 CM BB: 50 Kg
3. Keluhan fisik : Ya Tidak

Jelaskan : Tidak ada keluhan fisik


Masalah keperawatan : Tidak ada masalah kesehatan
21

V. PSIKOSOSIAL
1. Genogram

Keterangan
Laki-laki
Perempuan
Pasien
Tinggal serumah

Jelaskan : pasien adalah anak ke 3 dari 5 bersaudara, tidak


ada riwayat gangguan jiwa
Masalah keperawatan : Tidak masalah kesehatan

2. Konsep diri
a. Gambaran diri : pasien menyukai semua bagian tubuhnya, harus
disyukuri, yang paling disukai adalah bibir karena seksi. Tidak
ditemukan masakah keperawatan
b. Identitas : pasien mengatakan bangga menjadi wanita.
Tidak ditemukan masalah keperawatan
c. Peran : pasien seorang istri, pasien merasa gagal karena
tidak mempunyai keturunan. Masalah keperawatan harga diri rendah
d. Ideal diri : pasien ingin menikah lagi dan mempunyai
keturunan. Memiliki keluarga yang SAMAWAH
22

e. Harga diri : pasien merasa gagal menjadi istri karena tidak


mempunyai keturunan, pasien mengatakan tidak sempurna. Masalah
keperawatan harga diri rendah
Masalah Keperawatan: Harga diri rendah dan gangguan konsep diri

3. Hubungan Sosial
a. Orang yang berarti : yang paling berarti yaitu ibu
b. Peran serta dalam kegiatan kelompok / masyarakat : saat ini tidak
mengikuti kegiatan kelompok karena covid, namun sebelum covid
pasien mengikuti kegiatan seman dan yoga.
c. Hambatan dalam berbuhungan dengan orang lain : saat ini pasien lebih
banyak sendiri, pasien lebih banyak berdiam diri dikamar.
Masalah keperawatan : isolasi sosial

4. Spiritual
a. Nilai dan keyakinan : beragama islam
b. Kegiatan Ibadah : pasien kadang sholat dan kadang tidak sholat
Masalah Keperawatan: gangguan proses pikir

VI. STATUS MENTAL


1. Penampilan
Tidak rapih Penggunaan pakaian Cara berpakaian

Tidak sesuai seperti biasanya
Jelaskan : pakaian pasien rapi
Masalah Keperawatan : tidak ada masalah kesehatan

2. Pembicaraan
√ Cepat Keras Gagap Inkoheren
Apatis Lambat Membisu Tidak mampu menilai
pembicaraan
Jelaskan : pembicaraan pasien cepat, mudah emosi
Masalah Keperawatan : Resiko perilaku kekerasan
23

3. Aktivitas Motorik :
Lesu √ Tegang Gelisah Agitasi
Tik Grimasen Tremor Kompulsif
Jelaskan : Nada bicara pasien cepat, pasien tampak tegang saat berinteraksi
Masalah Keperawatan : Risiko Perilaku Kekerasan

4. Alam Perasaan
√ Sedih Ketakukan Putus asa KhawatirGembira
Berlebihan
Jelaskan : Pasien mengatakan sedih diselingkuhi, pasien merasa kecewa
karena dihianati, pasien merasa tidak sempurna karena tidak mempinyai
keturunan, emosi tidak terkontrol
Masalah Keperawatan : Harga diri rendah

5. Afek
Datar Tumpul √ Labil Tidak sesuai
Jelaskan : afek labil mudah berubah-rubah, kadang pasien menangis
kadang nada biacara tinggi, emosi tidak terkontrol
Masalah Keperawatan : Resiko perilaku kekerasan
6. Interaksi selama wawancara
Bermusuhan Tidak Kooperatif √ Mudah tersinggung
Kontak Mata (-) Defensif Curiga
Jelaskan : saat dilakukan wawancara pasien merasa tersinggung saat
ditanya apakah sudah mempunyai anak
Masalah Keperawatan : Risiko perilaku kekerasan

7. Persepsi
Pendengaran Penglihatan Perabaan
Pengecapan Penghidu

Jelaskan : tidak ada masalah persepsi


Masalah Keperawatan : tidak ada masalah keperawatan
24

8. Proses Pikir
Sirkumtansial Tangensial Kehilangan asosiasi
Flight of idea Blocking Pengulangan
pembicaraan/persevarasi
Jelaskan : tidak ada masalah dalam proses pikir
Masalah Keperawatan : tidak ada masalah keperawatan
9. Isi Pikir
Obsesi Fobia Hipokondria
Depersonalisasi Ide yang terkait √ Pikiran magis
Jelaskan : pasien mengatakan curiga sering dicarikan dukun sehingga
badan gatal-gatal, pasien mengatakan kesal dengan suami karena suaminya
selingkuh dengan janda anak 2
Masalah Keperawatan : gangguan proses fikir berhubungan dengan
waham curiga

10. Tingkat kesadaran


Bingung Sedasi Stupor
Disorientasi
Waktu Tempat Orang

Jelaskan : Kesadaran baik, pasien sadar jika berada dirumah sakit


Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan

11. Memori
Gangguan daya ingat Gangguan daya ingat
jangka panjang jangka pendek

gangguan daya ingat saat ini Konfabulasi

Jelaskan : tidak ada masalah dalam memori


Masalah Keperawatan : tidak ada masalah keperawatan
25

12. Tingkat konsentrasi dan berhitung


Mudah beralih Tidak mampu konsentrasi Tidak mampu
berhitung sederhana
Jelaskan : Tidak ada masalah tingkat konsentrasi dan berhitung
Masalah Keperawatan : tidak ada masalah keperawatan
13. Kemampuan penilaian
Gangguan ringan Gangguan bermakna
Jelaskan : tidak ada masalah gangguan kemampuan penilaian
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan
14. Daya tilik diri
Mengingkari penyakit yang diderita √
Menyalahkan hal-hal

diluar dirinya
Jelaskan : Pasien mengatakan suaminya selingkuh, pasien mengatakan
sering mendapat penolakan dari tempat kerja,
Masalah Keperawatan : Risiko perilaku kekerasan

VII.KEBUTUHAN PERSIAPAN PULANG


1. Makan
Bantuan minimal Bantuan total
2. BAB/BAK
Bantuan minimal Bantuan total
Jelaskan : pasien mampu melakukan sendiri
Masalah Keperawatan : tidak ada masalah keperawatan
3. Mandi
Bantuan minimal Bantuan Bantuan total
4. Berpakaian/berhias
Bantuan minimal Bantuan total
5. Istirahat dan tidur
Tidur siang lama :…..……………..…..s/d ……………
Tidur malam lama :…..……………..…..s/d ……………
Kegiatan sebelum / sesudah tidur
6. Penggunaan obat

√ Bantuan minimal Bantuan total
26

7. Pemeliharaan Kesehatan
Perawatan lanjutan √ √ Ya Tidak
Perawatan pendukung √ √ Ya Tidak

8. Kegiatan di dalam rumah


Mempersiapkan makanan √ √ Ya Tidak
Menjega kerapian rumah √ √ Ya Tidak
Mencuci pakaian √ √ Ya Tidak
Pengaturan keuangan √ √ Ya Tidak

9. Kegiatan di tuar rumah


Belanja √ √ Ya Tidak
Transportasi √ √ Ya Tidak
Lain-lain √ √ Ya Tidak
Jelaskan : pasien tampak mampu mandi, mampu berhias sendiri, pasien
mampu minum obat sendiri, pemeliharaan kesehatan perawatan lanjutan,
perawatan pendukung, melakukan kegiatan didalam rumah, pasien juga
melakukan kegiatan diluar rumah.
Masalah Keperawatan : tidak ada masalah keperawatan

VIII. MEKANISME KOPING


Adaptif Maladaptif
Bicara dengan orang lain Minum alkohol
Mampu menyelesaikan masalah Reaksi lambat/berlebih
Teknik relaksasi Bekerja berlebihan
Aktivitas konsrtruktif Menghindar
Olahraga Mencederai diri
Lainnya _____________ √ √ lainnya ketika marah pasien
membanting-banting barang
Masalah Keperawatan : Mekanisme koping individu berhubungan dengan
desplacment
27

IX. MASALAH PSIKOSOSIAL DAN LINGKUNGAN:


Masalah dengan dukungan kelompok, spesifik tidak ada masalah
dukungan kelompok
Masalah berhubungan dengan lingkungan. Spesifik tidak ada masalah
dengan lingkungan
Masalah dengan pendidikan, spesifik tidak ada masalah dengan tingkat
pendidikan, tingkat pendidikan pasien D3
Masalah dengan pekerjaan, spesifik pasien mengatakan sering mendapat
penolakan dari atasan, pasien mengatakan sering mendapat perilaku yang
tidak menyenangkan dari tempat kerja.
Masalah dengan perumahan, spesifik pasien mengatakan merasa gagal
menjadi istri karena tidak mempunyai anak, pasien merasa kecewa dan
dihianati oleh suami karena diselingkuhi,
Masalah ekonomi, spesifik, pasien tidak ada masalah ekonomi, pasien
bekerja sebagai PNS, tidak ada masalah dengan ekonomi
Masalah dengan pelayanan kesehatan, spesifik tidak ada masalah
dengan pelayanan kesehatan
Masalah lainnya, spesifik tidak ada masalah

Masalah Keperawatan: Harga diri rendah dan resiko perilaku kekerasan

X. PENGETAHUAN KURANG TENTANG:

Penyakit jiwa Sistem pendukung


Faktor presipitasi Penyakit fisik
Koping Obat-obatan
Lainnya
Masalah Keperawatan Tidak ada masalah keperawatan
28

XI. Pohon Masalah

Risiko mencederai
diri dan orang lain

RTI
RPK Core Problem

Koping individu Isolasi


HDR
in efektif Sosial

Gangguan
peran/kegagalan

Analisis Data

Data Masalah
Subjektif 1. Pasien mengatakan marah karena diselingkuhi Risiko perilaku
sejak 2015 kekerasan
2. Pasien mengatakan jika marah membanting-
banting barang
3. Pasien mengatakan marah karena tidak mau
diceraikan oleh suaminya
4. Pasien mengatakan kecewa karena gagal menjadi
istri
5. Pasien mengatakan sering mendapatkan
penolakan dari atasan
6. Pasien mengatakan mendapatkan perlakukan tidak
menyenangkan dari atasan
7. Pasien mengatakan merasa dihianati oleh suami
8. Pasien mengatakan merasa dibohongi oleh suami
29

Objektif 1. Pasien tampak tegang


2. Pasien tampak gelisah
3. Nada bicara cepat
4. Pasien memiliki Afek labil
5. Emosi tidak terkontrol
Subjektif 1. Pasien mengatakan merasa kecewa dengan suami Harga diri
2. Pasien mengatakan tidak sempurna menjadi istri rendah
karena tidak mempunyai keturunan
3. Pasien mengatakan trauma menikah dan tidak
mau menikah lagi
4. Pasien mengatakan dihianati dan dibohongi oleh
suami
5. Pasien mengatakan suami selingkuh dengan janda
anak 2
Objektif 1. Pasien tampak gelisah
2. Pasien tampak sedih karena tidak mempunyai
keturunan
3. Pasien tampak kecewa
Subjektif 1. Pasien mengatakan suaminya selingkuh, Isolasi Sosial
2. pasien mengatakan sering mendapat penolakan
dari tempat kerja,
Objektif 1. pasien lebih banyak diam,
2. menyendiri dikamar
Subjektif 1. pasien mengatakan curiga sering dicarikan dukun Gangguan
sehingga badan gatal-gatal, proses pikir
2. pasien mengatakan kesal dengan suami karena berhubungan
suaminya selingkuh dengan janda anak 2 dengan waham
Objektif 1. pasien bicara berulang-ulang
curiga
2. pasien tampak bingung
3. pasien tampak ketakutan
Subjektif - Mekanisme
Objektif Mekanisme koping pasien maladaptif yaitu ketika
koping individu
marah pasien membanting-banting barang
berhubungan
30

dengan
desplacement

I. ASPEK MEDIK
Diagnosis Medik : Shizoprenia Paranoid
______________________________________________
Terapi Medik : Respiredone 2 mg 2x1 tab
Heximer 2 Mg 2 x 1 tab
Clozapin 25 mg 1x1

II. DAFTAR MASALAH KEPERAWATAN


1. Risiko perilaku kekerasan
2. Harga diri rendah
3. Isolasi sosial
4. Gangguan proses pikir berhubungan dengan waham curiga
5. Mekanisme koping individu berhubungan dengan desplacement
III. DAFTAR DIAGNOSIS KEPERAWATAN
1. Risiko perilaku kekerasan
2. Harga diri rendah
3. Isolasi sosial
4. Gangguan proses pikir berhubungan dengan waham curiga
5. Mekanisme koping individu berhubungan dengan desplacement
20 Januari 2021
Mahasiswa,

Feby Maulani
Intervensi Keperawatan
DX : Resiko Perilaku Kekerasan
Tujuan Umum
Klien dapat melanjutkan hubungan peran sesuai denga tanggung jawab
31

Tujuan Khusus
1. TUK I : Klien dapat membina hubungan saling percay
Kriteria Evaluasi
a. Klien mau membalas salam
b. Kien mau berjabat tangan
c. Klien mau menyebutkan nama
d. Klien mau kontak mata
e. Klien mau mengetahui nama perawat
f. Klien mau menyediakan waktu untuk kontak
Intervensi
a. Beri salam dan panggil nama kien
b. Sebutkan nama perawat sambil berjabat tangan
c. Jelaskan maksud hubungan interaksi
d. Jelaskan tentang kontrak yang akan dibuat
e. Beri rasa aman dan sikap empati
f. Lakukan kontak singkat tapi sering
2. TUK II : Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
Kriteria Evauasi
b. Klien dapat mengungkapkan perasaannya
c. Klien dapat mengungkapkan penyebab perasaan jengkel/jengkel (dari diri
sendiri, orang lain dan lingkungan)
Intervensi
a. Beri kesempatan mengungkapkan perasaannya
b. Bantu klien mengungkap perasaannya
3. TUK III : Kien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan
Kriteria Evaluasi
a. Klien dapat mengungkapkan perasaan saat marah atau jengkel
b. Klien dapat menyimpulkan tanda-tanda jengkel/kesal yang dialami
Intervensi
a. Anjurkan klien mengungkapkan yang dialami saat marah/jengke
b. Observasi tanda-tanda perilaku kekerasan pada klie
32

c. Simpulkan bersama klien tanda-tanda klien saat jengkel/marah yang


dialami
4. TUK IV : Klien dapat mengidentifikasi perilakuk kekerasan yang biasa
dilakukan
Kriteria Evaluasi
a. Klien dapatmengungkapkan perilaku kekerasan yang dilakukan
b. Klien dapat bermain peran dengan perilaku kekerasan yang dilakukan
c. Klien dapat mengetahui cara yang biasa dapat menyelesaikan masalah
atau tidak
Intervensi
a. Anjurkan klien mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan
klien
b. Bantu klien dapat bermain peran dengan perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan
c. Bicarakan dengan klien apakah dengan cara yang klien lakukan
masalahnya selesai
5. TUK V : Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan
Kriteria Evaluasi
a. Klien dapat mengungkapkan akibat dari cara yang dilakukan klien
Intervensi
a. Bicarakan akibat kerugian dari cara yang dilakukan klien
b. Bersama klien menyimpulkan akibat cara yang dilakukan oleh klien
c. Tanyakan pada klien apakah ingin mempelajari cara baru yang sehat
6. TUK VI : Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam berespon
terhadap kemarahan secara konstruktif

Kriteria Evaluasi
a. Klien dapat melakukan cara berespn terhadap kemarahan secara
konstruktif
Intervensi
33

a. Tanyakan pada klien apakah ingin mempelajari car baru


b. Beri pujian jika klien menemukan cara yang sehat
c. Diskusikan dengan klien mengenai cara lain
7. TUK VII : Klien dapat mengontrol perilaku kekerasan
Kriteria Evaluasi
a. Klien dapat mengontrol perilaku kekerasan
b. Fisik : olahragadan menyiram tanaman
c. Verbal : mengatakan secra langsung dan tidak menyakiti
d. Spiritual : sembahyang, berdoa/ibdah yang lain
Intervensi
a. Bantu klien memilih cara yang tepat untuk klien
b. Bantu klien mengidentifikasi manfaat cara yang dipilih
c. Bantu klien menstimulasi cara tersebut
d. Berikan reinforcement positif atas keberhasilan klien menstimulasi cara
tersebut
e. Anjurkan klien menggunakan cara yang telah dipilihnya jiak ia sedang
kesal/jengkel
8. TUK VIII : Klien mendapat dukungan keluarga dalam mengontrol perilaku
kekerasan
Kriteria Evaluasi
a. Keluarga klien dapat menyebutkan cara merawat klien yang berperikalu
kekerasan
b. Keluarga klien meras puas dalam merawat klien
Intervensi
a. Identifikasi kemampuan keluarga merawat klien dari sikap apa yang telah
dilakukan keluarga terhadap klien selam ini
b. Jelaskan peran serta keluarga dalam perawatan klien
c. Jelaskan cara merawat klien
d. Bantu keluarga mendemonstrasikan cara merawat kien
e. Bantu keluarga mengungkapkan perasaannya setelah melakukan
demonstrasi
34

9. TUK IX : Klien dapat menggunakan obat dengan benar (sesuai program


pengobatan)
Kriteria Evaluasi
a. Klien dapat meyebutkan obat-batan yang diminum dan kegunaannya\
b. Klien dapat minum obat sesuai dengan program pengobatan
Intervensi
a. Jelaskan jenis-jenis obat yang diminum klien
b. Diskusikan manfaat minum obat dan kerugian berhenti minum obat tanpa
izin dokter
Dx 2 Harga diri rendah
TUM : Klien memiliki konsep diri yang positif
1. TUK 1. klien dapat membina hubungan saling percaya
Kriteria
Setelah interaksi selama 1 x 15 menit diharapkan: Ekspresi wajah klien
bersahabat, menunjukkan rasa senang, ada kontak mata, mau berjabat
tangan,mau menyebutkan nama, mau menjawab salam, mau duduk
berdampingan dengan perawat, mau mengutarakan masalah yang dihadapi
Intervensi
menggunakan prinsip komunikasi terapeutik :
a. Sapa klien dengan nama baik verbal maupun non verbal.
b. Perkenalkan diri dengan sopan.
c. Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien.
d. Jelaskan tujuan pertemuan.
e. Jujur dan menepati janji.
f. Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya.
g. Berikan perhatian kepada klien dan perhatikan kebutuhan dasar
2. TUK 2 :Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang
dimiliki
Kriteria
Setelah interaksi selama 1x15 menit diharapkan klien menyebutkan aspek
positif dan kemampuan yang dimiliki klien
35

Intervensi
a. Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien.
b. Bersama klien buat daftar tentang aspek positif dan kemampuan yang
dimiliki klien.
c. Beri pujian yang realistik dan hirdarkan memberi penilaian yang negatif.
3. TUK 3 : Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan
Kriteria
Setelah interaksi selama 1x15 menit diharapkan klien menilai kemampuan
yang dapat digunakan di RSJ, klien menilai kemampuan yang dapat digunakan
dirumah
Intervensi
a. Diskusikan dengan klien kemampuan yang masih dapat digunakan selama
sakit.
b. Diskusikan kemampuan yang dapat dilajutkan di rumah sakit
c. Beri reinforcement positif
4. TUK 4 : Klien dapat menetapkan dan merencanakan kegiatan sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki
Kriteria
Setelah interaksi selama 1 x 15 menit diharapkan klien memiliki kemampuan
yang akan dilatih, klien mencoba sesuai jadwal harian.
Intervensi
a. Meminta klien untuk memilih satu kegiatan yang mau dilakukan di rumah
sakit.
b. Bantu klien melakukannya jika perlu beri contoh.
c. Beri pujian atas keberhasilan klien.
d. Diskusikan jadwal kegiatan harian atas kegiatan yang telah dilatih.
5. TUK 5 : Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi sakit dan
kemampuannya.
Kriteria
Setelah interaksi selama 1x30 menit diharapkan Klien melakukan kegiatan
yang telah dilatih, mampu melakukan beberapa kegiatan secara mandiri
36

Intervensi
a. Beri kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang telah
direncanakan.
b. Beri pujian atas keberhasilan klien
c. Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah.
6. TUK 6 : Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada.
Kriteria
Setelah interaksi selama 1 x 15 menit diharapkan Keluarga memberi dukungan
dan pujian, keluarga memahami jadwal kegiatan harian klien
Intervensi
a. tentang cara merawat klien dengan harga diri rendah
b. Bantu keluarga memberikan dukungan selama klien dirawat
c. Jelaskan cara pelaksanaan jadwal kegiatan klien di rumah
d. Anjurkan keluarga memberi pujian pada klien setiap berhasil.

Dx 3 Isolasi sosial
TUM : Klien mampu berinteraksi dengan orang lain
1. TUK 1 : Klien dapat membina hubungan saling percaya
Kriteria
Setelah 2 X interaksi klien menunjukan tanda-tanda percaya kepada atau
terhadap perawat : Wajah cerah, tersenyum, Mau berkenalan, Ada kontak mata,
Bersedia menceritakan perasaan, Berseddia mengungkapkan masalahnya
Intervensi
Bina hubungan saling percaya dengan :
a. beri salam setiap berinteraksi
b. Perkenalkan nama, nama panggilan perawat, dan tujuan perawat berkrnalan
c. Tanyakan dan panggil nama kesukaan klien
d. Tunjukan sikap jujur dan menepati janji setiap kali berinteraksi
e. Tanyakan perasaan dan masalah yang dihadapi klien
f. Buat kontrak interaksi yang jelas
g. Dengarkan dengan penuh perhatian ekspresi perasaan klien
37

2. TUK 2 : Klien mampu menyebutkan penyebab  tanda dan gejala isolasi sosial
Kriteria
Setelah 2 kali interaksi klien dapat menyebutkan minimal satu penyebab
menarik diri : Diri Sendiri, Orang lain, Lingkungan
Intervensi
1. Tanyakan pada klien tentang :
a. Orang yang tinggal serumah atau dengan sekamar klien
b. Orang yang paling dekat ddengan klien dirumah atau diruangan
perawatan
c. Apa yang membuat klien dekat dengan orang tersebut
d. Orang yang tidak dekat dengan klien dirumah atau diruangan perawat
e. Apa yang membuat klien tidak dekat dengan orang tersebut
f. Upaya yang sudah dilakukan agar dekat dengan orang tersebut
2. Diskusikan dengan klien penyebab menarik diri / tidak mau bergaul dengan
orang lain
3. Beri pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaanya
3. TUK 3 : Klien mampu menyebutkan keuntungan berhubungan sosial dan
kerugian menarik diri
Kriteria
Setelah 2 X interaksi dengan klien dapat menyebutkan keuntungan
berhubungan sosial, misalnya : Banyak teman, Tidak kesepian,Saling
menolong
Intervensi
1. Tanyakan pada klien tentang :
a. Manfaat hubungan sosiial
b. Kerugian menarik diri
2. Diskusikan bersama klien tentang manfaat berhubungan sosial dan kerugian
menarik diri
3. Beri pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaannya
4. TUK 4 : Klien dapat melaksanakan hubungan sosial secara bertahap
Kriteria
38

Setelah 2 X interaksi klien dapat melaksanakan hubungan soosial secara


bertahaap dengan :Perawat, Perawat lain, Kelompok
Intervensi
a. Observasi perilaku klien tentang berhubungan sosial
b. Beri motivasi dan bantuu klien untuk berkenalan / berkomunikasi dengan
perawat lain, klien lain, kelompok
c. Libatkan klien dalam terapi aktivitas kelompok sosialisasi
d. Diskusikan jadwal harian yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan
klien bersosialisasi
e. Beri motivasi klien untuk melakukan kegiatan sesuai jadwal yang telah
dibuat
f. Beri pujian terhadap kemampuan klien memperluas pergaulanya melalui
aktifitas yang dilaksanakan
5. TUK 5 : Klien mampu menjelaskan perasaanya setelh berhubungan sosial
Kriteria
Setelah 2X interaksi klien dapat menyebutkan perasaanya setelah berhubungan
sosial dengan : Orang lain, Kelompok
Intervensi
a. Diskusikan dengan klien tentang perasaanya setelah berhbungan sosial
dengan : Orang lain, Kelompok
b. Beri pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaaanya
6. TUK : 6 Klien mendapat dukungan keluarga dalam memperluas hubungan
sosial

Kriteria
Setelah 2X kali pertemuan, keluarga dapat menjelaskan : pengertian menarik
diri, tanda dan gejala menarik diri, penyebab dan akibat menarik diri, cara
merawat klien menarik diri
Intervensi
39

1. Diskusikan pentingya peran serta keluarganay sebagai pendukung untuk


mengatasi perilaku menarik diri
2. Diskusikan potensi keluarga untuk membantu klien mengatasi perilaku
menarik diri
3. Jelaskan pada keluarga tentang :
a. pengertian menarik diri
b. tanda dan gejala menarik diri
c. penyebab dan akibat menarik diri
d. cara merawat klien menarik diri
4. Latih keluarga cara merawat klien menarik diri
5. Tanyakan perasaan keluarga setelah mencoba cara yang dilatihkan
6. Beri motivasi keluarga agar membantu klien bersosialisasi
7. Beri pujian pada keluarga atas keterlibatannya merawat klien dirumah sakit
7. TUK 7 : Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik
Kriteria
a. Setelah 2X interaksi klien menyebutkan : manfaat minum obat, kerugian
tidak meminum obat, nama, warna, dosis, efek terapi, efek samping obat
b. Setelah...kali interaksi klien mendemonstrasikan penggunaan obat dengan
benar
c. Setelah...kali interaksi klien dapt menyebutkan akibat berhenti minum obat
tanpa konsultasi dokter
Intervensi
a. Diskusikan dengan klien tentang manfaaat dan kerugian tidak minum obat,
nama, warna, dosis, cara, efek terapi, dan efek samping penggunaan obat.
b. Pantau klien saat penggunaan obat
c. Beri pujian jika klien menggunakan obat dengan benar
d. Diskusikan berhenti minum obat tanpa konsultasi dengan dokter
e. Anjurkan klien untuk konsultasi kepada dokter atau perawat jika terjadi hal-
hal yang tidak diinginkan

Dx 4 Gangguan proses pikir berhubungan dengan waham curiga


40

TUM : Klien tidak terjadi perubahan proses pikir: waham


1. TUK 1 : Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat
Tindakan :
a. Bina hubungan. saling percaya: salam terapeutik, perkenalkan diri, jelaskan
tujuan interaksi, ciptakan lingkungan yang tenang, buat kontrak yang jelas
topik, waktu, tempat).
b. Jangan membantah dan mendukung waham klien: katakan perawat
menerima keyakinan klien “saya menerima keyakinan anda” disertai
ekspresi menerima, katakan perawat tidak mendukung disertai ekspresi ragu
dan empati, tidak membicarakan isi waham klien.
c. Yakinkan klien berada dalam keadaan aman dan terlindungi: katakan
perawat akan menemani klien dan klien berada di tempat yang aman,
gunakan keterbukaan dan kejujuran jangan tinggalkan klien sendirian.
d. Observasi apakah wahamnya mengganggu aktivitas harian dan perawatan
diri.
2. TUK 2: Klien dapat mengidentifikasi kemampuan yang dimiliki
Tindakan :
a. Beri pujian pada penampilan dan kemampuan klien yang realistis.
b. Diskusikan bersama klien kemampuan yang dimiliki pada waktu lalu dan
saat ini yang realistis.
c. Tanyakan apa yang biasa dilakukan kemudian anjurkan untuk
melakukannya saat ini (kaitkan dengan aktivitas sehari hari dan perawatan
diri).
d. Jika klien selalu bicara tentang wahamnya, dengarkan sampai kebutuhan
waham tidak ada. Perlihatkan kepada klien bahwa klien sangat penting.

3. TUK 3: Klien dapat mengidentifikasikan kebutuhan yang tidak terpenuhi


Tindakan :
a. Observasi kebutuhan klien sehari-hari.
b. Diskusikan kebutuhan klien yang tidak terpenuhi baik selama di rumah
maupun di rumah sakit (rasa sakit, cemas, marah)
41

c. Hubungkan kebutuhan yang tidak terpenuhi dan timbulnya waham.


d. Tingkatkan aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan klien dan
memerlukan waktu dan tenaga (buat jadwal jika mungkin).
e. Atur situasi agar klien tidak mempunyai waktu untuk menggunakan
wahamnya.
4. TUK 4: Klien dapat berhubungan dengan realitas
Tindakan :
a. Berbicara dengan klien dalam konteks realitas (diri, orang lain, tempat dan
waktu).
b. Sertakan klien dalam terapi aktivitas kelompok : orientasi realitas.
c. Berikan pujian pada tiap kegiatan positif yang dilakukan klien
5. TUK 5 : Klien dapat menggunakan obat dengan benar
Tindakan :
a. Diskusikan dengan kiten tentang nama obat, dosis, frekuensi, efek dan efek
samping minum obat
b. Bantu klien menggunakan obat dengan priinsip 5 benar (nama pasien, obat,
dosis, cara dan waktu).
c. Anjurkan klien membicarakan efek dan efek samping obat yang dirasakan
d. Beri reinforcement bila klien minum obat yang benar.
6. TUK 6: Klien dapat dukungan dari keluarga
Tindakan :
a. Diskusikan dengan keluarga melalui pertemuan keluarga tentang: gejala
waham, cara merawat klien, lingkungan keluarga dan follow up obat.
b. Beri reinforcement atas keterlibatan keluarga.

Dx 5 Mekanisme koping individu berhubungan dengan desplacement


Tujuan Umum: Meningkatkan koping klien dan klien dapat menggunakan koping
yang adaptif.
Tujuan Khusus:
1. Klien dapat mengetahui cara untuk mengurangi depresinya.
42

2. Klien dapat mencari alternatif koping yang lebih efektif.


Kriteria
1. Menunjukkan koping yang efektif
2. Klien menunjukkan penyesuaian psikososial dengan menggunakan strategi
koping efektif dalam menghadapi permasalahan.
Intervensi
a. Membina hubungan saling percaya dengan klien
b. Mengindentifikasi penyebab koping tidak efektif (misalnya kurangnya
dukungan keluarga, krisis kehidupan, keterampilan menyelesaikan masalah
yang tidak efektif
c. Mendiskusikan dengan klien tentang koping yang biasa klien gunakan untuk
mengatasi perasaan kesal, sedih, kecewa, dan tidak menyenangkan.
d. Bersama klien mencari berbagai alternatif koping yang lebih efektif.
43

IMPLEMENTASI DAN EVALUASI TINDAKAN


KEPERAWATAN
Nama : Ny. N Ruangan : ______________ RM No. : 04 89 77
TANGGA
DX. IMPLEMENTASI EVALUASI
L
Isolasi Sosial 29 Januari 1. Membina hubungan saling Subjektif
2021 percaya 1. pasien mengatakan kesal dengan suami
2. Mengidentifikasi penyebab 2. pasien mengatakan mendapat penolakan dari
Isolasi Sosial pasien suami karena tidak sudah 15 tahun menikah
3. Berdiskusi dengan pasien belum punya keturunan
tentang keuntungan 3. pasien mengatakan lebih senang menyendiri
berinteraksi dengan orang dikamar
lain 4. pasien mengatakan sejak sakit tidak mengikuti
4. Berdiskusi dengan pasien kegiatan masyarakat
tentang kerugian berinteraksi 5. pasien mengatakan akan melakukan praktek
dengan orang lain perkenalan 2 kali dalam sehari
5. Mengajarkan pasien cara Objektif :
berkenalan dengan satu orang 1. pasien tampak tegang
6. Menganjurkan pasien 2. pasien tampak gelisah
memasukkna kegiatan latihan 3. pasien tampak lebih senang menyendiri
berbincang-bincang dengan 4. pasien tampak mampu melakukan praktik
orang lain kedalam kegiatan perkenalan dengan 1 orang
harian. A. : SP 1 teratasi
P : lanjutkan intervensi SP2
DAFTAR PUSTAKA

Damaiyanti Mukhripah,dkk. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa.Bandung: PT


Refika Aditama

Eko Prabowo. (2014). Konsep & Aplikasi ASUHAN KEPERAWATAN JIWA.


Yogyakarta: Nuha Medika.

Fitria Nita. (2010). Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan
Dan Srategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan(LP dan
SP).Jakarta:Salemba Medika.

Hoesny, Rezkiyah,. (2011). Faktor-faktor yang berhubungan dengan Defisit


Perawatan Diri diakses dari http://repositori.uin-
alauddin.ac.id/3358/1/Rezkiyah%20Hoesny.pdf pada 14 Juni 2018

Keliat, Budi Anna. (2011). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas:


CMHN(Basic Course). Jakarta: EGC

Mukhripah Damaiyanti. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Samarinda: Refka


Aditama.

Neri, Silvia,. (2018). Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan diakses dari


https://www.academia.edu/6822348/STRATEGI_PELAKSANAAN_TIN
DAKAN_KEPERAWATAN_SP-
1_Pasien_Defisit_Perawatan_Diri_Pertemuan_Ke-1 pada 14 Juni 2018

Nuraenah. (2012). Hubungan Dukungan Keluarga dan Beban Keluarga dalam


Merawat Anggota dengan Riwayat Perilaku Kekerasan di RS. Jiwa Islam
Klender Jakarta Timur, 29-37.

Sari, K. (2015). Panduan Lengkap Praktik Klinik Keperawatan Jiwa. Jakarta:


Trans Info MEdia.

Shinzu, Bekti,. (2018). Defisit Perawatan Diri LP SP diakses dari


https://www.academia.edu/35135428/Defisit_Perawatan_Diri_LP_SP
pada 14 Juni

Stuart, W. Gail. (2016). Keperawatan Kesehatan Jiwa. Singapore: Elsevier

Yusuf, Ah, Rizky Fitryasari PK dan Hanik Endang Nihayati. (2015). Buku Ajar
Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika
LAMPIRAN 1
BUKTI BIMBINGAN KEGIATAN PRAKTEK PROFESI NERS
STASE KEPERAWATAN JIWA
STIKES ABDI NUSANTARA JAKARTA

Nama Mahasiswa : Febby Maulani


NamaPembimbing : Ns. Nana, S.Kep

NO Hari/ Tgl Pukul Sarana Materi Bimbingan TANDA


Media TANGAN
PEMBIMBING
1. Sabtu, 23 13.00 Zoom Penjelasan stase
Ns. Jiwa
Elfira Sri Futriani,
Januari 2021 WIB Meeting

2. Senin, 25 14.00 Zoom Pengarahan kelompok


Ns. Elfirastase
Sri Futriani,
Januari 2021 WIB Meeting jiwa

3. Selasa, 26 11.00 WhatsApp Pengkajian stase jiwa


Januari 2021 WIB Video Call

4. Jumat, 29 11.00 WhatsApp Implementasi stase jiwa


Januari 2021 WIB Video Call

5.

6.
LAMPIRAN 2
STRATEGI PELAKSANAAN
SP-1 Pasien: Isolasi Sosial Pertemuan Ke-1

A. Proses Keperawatan
1. Kondisi Klien
Subjektif:
a. Pasien mengatakan suaminya selingkuh,
b. pasien mengatakan sering mendapat penolakan dari tempat kerja,
Objektif:
a. pasien lebih banyak diam,
b. menyendiri dikamar
2. Diagnosis Keperawatan: Isolasi Sosial
3. Tujuan
a. Klien dapat membina hubungan saling percaya
b. Klien dapat menyebutkan penyebab Isolasi Sosial
c. Klien dapat menyebutkan keuntungan dan kerugian hubungan dengan
orang lain
d. Klien dapat melaksanakan hubungan sosial secara bertahap
e. Klien dapat menjelaskan perasaan setelah berhubungan dengan orang
lain.
f. Klien mendapat dukungan keluarga dalam memperluas hubungan sosial
g. Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik
4. Tindakan Keperawatan
a. Membina hubungan saling percaya
b. Mengidentifikasi penyebab Isolasi Sosial pasien
c. Berdiskusi dengan pasien tentang keuntungan berinteraksi dengan
orang lain
d. Berdiskusi dengan pasien tentang kerugian berinteraksi dengan orang
lain
e. Mengajarkan pasien cara berkenalan dengan satu orang
f. Menganjurkan pasien memasukkna kegiatan latihan berbincang-
bincang dengan orang lain kedalam kegiatan harian.
B. Proses Pelaksanaan
1. Orientasi
a. Salam Terapeutik
“Selamat pagi, perkenalkan saya perawat Feby Maulani. Saya senang
diapnggil Feby. Saya mahasiswa Keperawatan Stikes Abdi Nusantara.
Nama ibu siapa? Senang dipanggil apa? Oh di panggil N saja ya”
b. Evaluasi/Validasi
“Bagaimana perasaan N saat ini? Oh, Jadi N merasa tidak sempurna.
Apakah N masih suka menyendiri?”
c. Kontrak
a) Topik:
“Baiklah, bagaimana kalau kita berbincang-bincang tentang
perasaan N dan kemampuan yang N miliki? Apakah N bersedia?
Tujuan nya agar N dan saya dapat saling mengenal sekaligus dapat
mengetahui keuntungan berinteraksi dengan orang lain dan kerugian
tidak berinteraksi dengan orang lain”
b) Waktu:
“Berapa lama N mau berbincang-bincang? Bagaimana kalau 10
menit saja?
c) Tempat:
“N mau berbincang-bincang dimana? Bagaimana kalau diruang
tamu saja?”
2. Kerja
“Dengan siapa N tinggal dirumah?”
“Siapa yang paling dekat dengan N?”
“Apa yang menyebabkan ibu dekat dengan orang tersebut?”
“Siapa anggota keluarga dan teman N yang tidak dekat dengan N?”
“Apa yang membuat N tidak dekat dengan orang lain?”
“Apa saja kegiatan yang N lakukan saat sedang bersama keluarga?”
“Apakah ada pengalaman yang tidak menyenangkan ketika bergaul dengan
orang lain?”
“Apa yang menghambat N dalam berteman atau berbincang-bincang
dengan orang lain?”
“Menurut N apa keuntungan jika kita mempunyai teman? Wah benar, kita
mempunyai teman untuk berbincang-bincang. Apa lagi N? (sampai pasien
dapat menyebutkan beberapa). Nah, kalau kerugian kita tidak mempunyai
teman apa ya ibu N? Apa lagi? (Sampai pasien dapat menyebutkan
beberapa) jadi banyak juga ruginya tidak memiliki teman ya bu N?”
“Kalau begitu N mau belajar berteman dengan orang lain? Nah, untuk
memulainya sekarang N latihan dengan saya terlebih dahulu. Begini N,
untuk berkenalan dengan orang lain kita sebutkan dahulu nama kita”
“Contohnya: Nama saya Feby”
“Selanjutnya ibu N menanyakan nama orang yang diajak berkenalan.
Contohnya nama ibu siapa? Senang nya dipanggil apa?”
“Ayo ibu N coba dipraktekkkan. Misalnya saya belum kenal dengan ibu N,
coba berkenalan dengan saya”
“Ya bagus sekali bu. Coba sekali lagi bu”
“Bagus sekali bu”
“Setelah berkenalan dengan bu, orang tersebut diajakn ngobrol hal-hal
menyenangkan. Misalnya tentang keluarga, tentang hobi, pekerjaan dan
sebagainya”
“Nah, bagaimana kalau sekarang kita latihan bercakap-cakap dengan
teman bu N (damping N berbincang-bincang)
3. Terminasi
a. Evaluasi Subjektif dan objektif:
“Bagaimana perasaan ibu setelah kita latihan berkenalan?”
“Nah, sekarang coba ulangi kembali dan peragakan ulang cara
berkenalan dengan orang lain”

b. Rencana tindak lanjut


“Baiklah ibu N, dalam satu hari mau berapa kali latihan berbincang-
bincang dengan orang lain? Dua kali ya S? Baiklah jam berapa ibu akan
latihan? Ini ada jadwal kegiatan, kita isi di jam 11.00 dan jam 15.00
kegiatan ibu adalah bercakap-cakap dengan teman sekamar. Jika ibu
melakukannya secara Mandiri maka ibu menuliskan nya M, Jika ibu
melakukannya dengan bantuan atau diingatkan oleh keluarga atau
teman maka ibu buat D, jika ibu tidak melakukannya maka ibu tulis T.
apakah ibu mengerti? Coba ibu ulangi? Iya bagus bu.
c. Kontrak yang akan dating
1) Topik:
“Baiklah bu, bagaimana kalau besok kita berbincang-bincang
tentang pengalaman ibu, berbincang-bincang dengan teman baru
dan latihan berbincang-bincang dengan topic tertentu. Apkaha ibu
bersedia?”
2) Waktu:
“ibu mau jam berapa? Bagaimana kalau jam 11 saja?”
3) Tempat:
“ibu maunya dimana kita berbincang-bincang? Bagaimana kalau
diruang tamu? Baiklah ibu besok saya akan kesini jam 11 ya. Saya
permisi dulu, sampai jumpa”

SP-2 Pasien: Isolasi Sosial Pertemuan Ke-2


A. Proses Keperawatan
1. Kondisi Klien
Subjektif:
Objektif:
2. Diagnosis Keperawatan: Isolasi Sosial
3. Tujuan
a. Klien dapat mempraktekkan cara berkenalan dengan orang lain
b. Membantu pasien memasukkan kegiatan berbincang-bincang dengan
orang lain.
4. Tindakan Keperawatan
a. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien
b. Memberikan kesempatan kepada pasien mempraktekkan cara
berkenalan dengan satu orang
c. Membantu pasien memasukkan kegiatan berbincang-bincang dengan
orang lain sebagai salah satu kegiatan harian
B. Proses Pelaksanaan
1. Orientasi
a. Salam Terapeutik
“Selamat pagi, APakah ibu masih ingat dengan saya?”
b. Evaluasi/VAlidasi:
“Bagaimana dengan perasaan ibu hari ini? Apakah masih ada perasaan
kesepian? Bagaimana semangat nya untuk berbincang-bincang dengan
orang lain? Apakah ibu sudah mulai berkenalan dengan orang lain dan
bagaimana perasaan ibu setelah mulai berkenalan?”
c. Kontrak
1) Topik:
“Baiklah, sesuai dengan janji kita kemarin hari ini kita akan latihan
bagaimana berkenalan dan berbincang-bincang dengan 2 orang lain
agar ibu semakin banyak teman. Apakah S bersedia?”
2) Waktu:
“Berapa lama ibu mau berbincang-bincang” Bagaimana kalau 10
menit?”
3) Tempat:
“ibu mau berbincang-bincang dimana? Bagaimana kalau diruang
tamu saja?”
2. Kerja
“Baiklah, hari ini saya datang bersama dua ornag ibu perawat yang juga
dinas diruangan ini, ibu bisa memulai berkenalan”
“Apakah ibu masih ingat dengan cara berkenalan? (Beri pujian jika pasien
masih ingat, jika pasienlupa bantu pasien mengingat kembali) Nah,
silahkan ibu mulai (fasilitasi perkenalan antara pasien dengan perawat
lain) Wah bagus sekali, selain nama, alamat, hobby, Apakah ada yang ibu
ingin ketahui lagi mengenai perawat C dan D? (Bantu pasien
mengembangkan percakapan)”
3. Terminasi
a. Evaluasi subjektif dan objektif:
“Bagaimana perasaan ibu setelah kita berkenalan dengan perawat C
dan D dan berbincang-bincang dengan teman ibu aaat menyiapkan
makan siang di ruang makan? Coba ibu sebutkan kembali bagaimana
caranya berkenalan?”
b. Rencana tindak lanjut
“Bagaimana kalau ditambah lagi jadwal kegiatan ibu yaitu jadwal
kegiatan berbincang-bincang. Mau jam berapa ibu latihan? Bagaimana
jika pagi dan siang?
c. Kontrak yang akan datang:
1) Topik:
“Baiklah ibu kalau besok kita berbincang-bincang dengan orang
yang lebih banyak dari sebelumnya?”
2) Waktu:
“ibu mau jam berapa? Bagaimana kalau jam 11 selama 15 menit
saja?”
3) Tempat:
“ibu maunya kita berbincang-bincang dimana? Bagaiman kalau di
dapur saja bu?’
LAMPIRAN 3
LAPORAN PENDAHULUAN

I. Kasus (Masalah Utama)


Harga Diri Rendah
II. Pengertian
Harga diri rendah adalah perasaan negatif terhadap diri sendiri,
hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa gagal mencapai keinginan
(Keliat, 2011). Harga diri rendah adalah perasaan seseorang bahwa dirinya
tidak diterima lingkungan dan gambaran-gambaran negatif tentang dirinya
(Yosep, 2015).
Harga diri rendah adalah evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau
kemampuan diri yang negatif dan dapat secara langsung atau tidak langsung
diekspresikan (Towsend, 2010).
Menurut Fitria (2009), harga diri rendah dibedakan menjadi 2, yaitu:
1. Harga diri rendah situasional adalah keadaan dimana individu yang
sebelumnya memiliki harga diri positif mengalami perasaan negatif
mengenai diri dalam berespon, terhadap suatu kejadian (kehilangan,
perubahan).
2. Harga diri rendah kronik adalah keadaan dimana individu mengalami
evaluasi diri yang negatif mengenai diri atau kemampuan dalam waktu
lama. 
III. Etiologi
1. Situasional, yaitu terjadi trauma yang tiba-tiba, misalnya harus operasi,
kecelakaan, dicerai suami, putus sekolah, putus hubungan kerja, perasaan
malu karena sesuatu (korban perkosaan, dituduh korupsi, dipenjara tiba-
tiba).
Pada klien yang dirawat dapat terjadi harga diri rendah, karena :
a. Privacy yang harus diperhatikan, misalnya : pemeriksaan fisik yang
sembarangan, pemasangan alat yang tidak sopan (pencukuran pubis,
pemasangan kateter, pemeriksaan perineal).
b. Harapan akan struktur bentuk dan fungsi tubuh yang tidak tercapai
karena dirawat/sakit/penyakit.
c. Perlakuan petugas kesehatan yang tidak menghargai, misalnya
berbagai pemeriksaan dilakukan tanpa penjelasan, berbagai tindakan
tanpa persetujuan.
2. Kronik yaitu perasaan negatif terhadap diri telah berlangsung lama, yaitu
sebelum sakit/dirawat. Klien ini mempunyai cara berfikir yang negatif.
Kejadian sakit dan dirawat akan menambah persepsi negatif terhadap
dirinya. Kondisi ini mengakibatkan respons yang maladaptif.
IV. Proses Terjadinya Masalah
Konsep diri didefinisikan sebagai semua pikiran, keyakinan dan
kepercayaan yang membuat seseorang mengetahui tentang dirinya dan
mempengaruhi hubungannya dengan orang lain (Stuart & Sunden, 2012).
Konsep diri terdiri atas komponen : citra diri, ideal diri, harga diri,
penampilan peran dan identitas personal. Respons individu terhadap konsep
dirinya berfluktuasi sepanjang rentang konsep diri yaitu dari adaptif sampai
maladatif.
Salah satu komponen konsep diri yaitu harga diri dimana harga diri
adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan menganalisa
seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri (Keliat, 2011). Harga diri
rendah di gambarkan sebagai perasaan yang negatif terhadap diri sendiri,
termasuk hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa gagal mencapai
keinginan, mengkritik diri sendiri, penurunan produktivitas, destruktif yang
diarahkan pada orang lain, perasaan tidak mampu, mudah tersinggung dan
menarik diri secara sosial.
Faktor yang mempegaruhi harga diri meliputi penolakan orang tua,
harapan orang tua yang tidak relistis, kegagalan yang berulang kali, kurang
mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang lain dan
ideal diri yang tidak realistis. Sedangkan stresor pencetus mungkin
ditimbulkan dari sumber internal dan eksternal seperti :
1. Trauma seperti penganiayaan seksual dan psikologis atau menaksirkan
kejadian yang mengancam.
2. Ketegangan peran berhubungan dengan peran atau posisi yang
diharapkan dimana individu mengalami frustrasi. Ada tiga jenis transisi
peran, yaitu :
a. Transisi peran perkembangan adalah perubahan normatif yang
berkaitan dengan pertumbuhan. Perubahan ini termasuk tahap
perkembangan dalam kehidupan individu atau keluarga dan norma-
norma budaya, nilai-nilai tekanan untuk peyesuaian diri.
b. Transisi peran situasi terjadi dengan bertambah atau berkurangnya
anggota keluarga melalui kelahiran atau kematian.
c. Transisi peran sehat sakit sebagai akibat pergeseran dari keadaan sehat
ke keadaan sakit. Transisi ini mungkin dicetuskan oleh kehilangan
bagian tubuh, perubahan ukuran, bentuk, penampilan dan fungsi
tubuh, perubahan fisik, prosedur medis dan keperawatan.
Sedangkan menurut hasil riset Malhi (Yosep, 2015), menyimpulkan
bahwa harga diri rendah diakibatkan oleh rendahnya cita-cita seseorang. Hal
ini mengakibatkan berkurangnya tantangan dalam mencapai tujuan.
Tantangan yang rendah menyebabkan upaya yang rendah. Selanjutnya hal
ini menyebabkan penampilan seseorang yang tidak optimal. Dalam tinjauan
Life Span Teori (Yosep, 2015), penyebab terjadinya harga diri rendah
adalah pada masa kecil sering disalahkan, jarang diberi pujian atas
keberhasilannya. Saat individu mencapai masa remaja keberadaannya
kurang dihargai, tidak diberi kesempatan dan tidak diterima. Menjelang
dewasa awal sering gagal sekolah, pekerjaan dan pergaulan. Harga diri
rendah muncul saat lingkungan cenderung mengucilkan dan menuntut lebih
dari kemampuannya.
V. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi terjadinya harga diri rendah kronik adalah
penolakan orang tua yang tidak realistis, kegagalan berulang kali, kurang
mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang lain, ideal
diri yang tidak realistis (Fitria, 2010).
VI. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah kronis adalah
hilangnya sebagian anggota tubuh, berubahnya penampilan atau bentuk
tubuh, mengalami kegagalan, serta menurunnya produktivitas (Fitria, 2010).
VII. Jenis-jenis
Menurut Fitria (2010), harga diri rendah dibedakan menjadi 2, yaitu:
1. Harga diri rendah situasional adalah keadaan dimana individu yang
sebelumnya memiliki
2. harga diri positif mengalami perasaan negatif mengenai diri dalam
berespon, terhadap suatu kejadian (kehilangan, perubahan).
3. Harga diri rendah kronik adalah keadaan dimana individu mengalami
evaluasi diri yang
4. negatif mengenai diri atau kemampuan dalam waktu lama. 
VIII. Rentang respon

Respon Adaptif
Respon Maladaftif

Aktualisasi diri konsep diri harga diri difusi identitas deperso


positif rendah nalisasi

IX. Mekanisme koping


Aktivitas lari dari krisis identitas: musik rock, berlatih fisik berat. Aktivitas
mengganti identitas sementara: kegiatan sosial, agama, politik. Aktivitas yg
memperkuat rasa diri: kompetisi olah raga, pencapaian akademik, kontes
popularitas. Membuat identitas tak bermakna: drug abuse.
X. Pohon Masalah
Isolasi Sosial

Harga Diri Rendah


Masalah Utama

Koping Individu Tidak Efektif

XI. Masalah Keperawatan dan Data Yang Perlu Dikaji


Masalah keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan harga diri
rendah (Fitria, 2010), adalah:
1. Harga diri rendah kronik
2. Koping individu tidak efektif
3. Isolasi sosial
4. Gangguan sensori persepsi: halusinasi
5. Risiko perilaku kekerasan

Sedangkan data yang perlu dikaji pada pasien dengan harga diri rendah
(Yosep, 2015), adalah:
a. Data subyektif
1) Mengungkapkan dirinya merasa tidak berguna.
2) Mengungkapkan dirinya merasa tidak mampu
3) Mengungkapkan dirinya tidak semangat untuk beraktivitas atau
bekerja.
4) Mengungkapkan dirinya malas melakukan perawatan diri (mandi,
berhias, makan atau toileting).
b. Data obyektif
1) Mengkritik diri sendiri
2) Perasaan tidak mampu
3) Pandangan hidup yang pesimistis
4) Tidak menerima pujian
5) Penurunan produktivitas
6) Penolakan terhadap kemampuan diri
7) Kurang memperhatikan perawatan diri
8) Berpakaian tidak rapi
9) Berkurang selera makan
10) Tidak berani menatap lawan bicara
11) Lebih banyak menunduk
12) Bicara lambat dengan nada suara lemah.

XII. Diagnosa Keperawatan


Harga Diri Rendah
XIII. Rencana Keperawatan
Diagnosa keperawatan
Harga diri rendah
TUM : Klien memiliki konsep diri yang positif
TUK 1 : klien dapat membina hubungan saling percaya
a. Kriteria evaluasi :
Setelah interaksi selama 1 x 15 menit diharapkan:
Ekspresi wajah klien bersahabat, menunjukkan rasa senang, ada kontak
mata, mau berjabat tangan,mau menyebutkan nama, mau menjawab salam,
mau duduk berdampingan dengan perawat, mau mengutarakan masalah
yang dihadapi
b. Tindakan keperawatan
1. Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip
komunikasi terapeutik :
a. Sapa klien dengan nama baik verbal maupun non verbal.
b. Perkenalkan diri dengan sopan.
c. Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai
klien.
d. Jelaskan tujuan pertemuan.
e. Jujur dan menepati janji.
f. Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya.
g. Berikan perhatian kepada klien dan perhatikan kebutuhan dasar
Rasional :
Hubungan saling percaya menjadi dasar keterbukaan klien kepada
perawat.
a. Memulai pertemuan dengan menyapa klien dengan sopan.
b. Saling berkenalan akan menimbulkan rasa keakraban dengan klien.
c. Menimbulkan rasa kenyamanan klien saat berinteraksi.
d. Klien mengerti maksud perawat melakukan interaksi dengannya.
e. Menambah rasa percaya klien kepada perawat.
f. Menimbulkan kenyamanan klien karena perawat menerima keadaan
mereka.
g. Dengan memberi perhatian, klien akan merasa nyaman saat
berinteraksi.

TUK 2 : Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang


dimiliki
a. Kriteria evaluasi
Setelah interaksi selama 1x15 menit diharapkan klien menyebutkan aspek
positif dan kemampuan yang dimiliki klien
b. Tindakan keperawatan
1) Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien.
2) Bersama klien buat daftar tentang aspek positif dan kemampuan yang
dimiliki klien.
3) Beri pujian yang realistik dan hirdarkan memberi penilaian yang
negatif.
Rasional
1. Mengetahui kemampuan yang dimiliki klien
2. Mengetahui berbagai macam kemampuan yang dimiliki klien.
3. Pujian akan menambah motivasi klien untuk mengungkapkan
kemampuannya.
TUK 3 : Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan
a. Kriteria evaluasi
Setelah interaksi selama 1x15 menit diharapkan klien menilai kemampuan
yang dapat digunakan di RSJ, klien menilai kemampuan yang dapat
digunakan dirumah
b. Tindakan keperawatan
1) Diskusikan dengan klien kemampuan yang masih dapat digunakan
selama sakit.
2) Diskusikan kemampuan yang dapat dilajutkan di rumah sakit
3) Beri reinforcement positif
Rasional :
1) Mengetahui kemampuan apa saja yang masih bisa dilakukan selama
dirawat.
2) Merencanakan kemampuan yang akan dilakukan di rumah
3) Pujian akan menambah notivasi klien beraktifitas.

TUK 4 : Klien dapat menetapkan dan merencanakan kegiatan sesuai dengan


kemampuan yang dimiliki.
a. Kriteria evaluasi
Setelah interaksi selama 1 x 15 menit diharapkan klien memiliki
kemampuan yang akan dilatih, klien mencoba sesuai jadwal harian.
b. Tindakan keperawatan
1. Meminta klien untuk memilih satu kegiatan yang mau dilakukan di
rumah sakit.
2. Bantu klien melakukannya jika perlu beri contoh.
3. Beri pujian atas keberhasilan klien.
4. Diskusikan jadwal kegiatan harian atas kegiatan yang telah dilatih.
Rasional :
1) Merencanakan kegiatan yang dapat dilakukan di rumah sakit.
2) Mempermudah klien dalam memahami kegiatannya.
3) Menambah motivasi klien untuk melakukan kegiatan lain
4) Membuat jadwal kegiatan sesuai kemampuan klien.

TUK 5 : Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi sakit dan


kemampuannya.
a. Kriteria evaluasi
Setelah interaksi selama 1x30 menit diharapkan Klien melakukan kegiatan
yang telah dilatih, mampu melakukan beberapa kegiatan secara mandiri
b. Rencana tindakan
1) Beri kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang telah
direncanakan.
2) Beri pujian atas keberhasilan klien.
3) Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah.
Rasional
1) Mengetahui kemampuan klien dalam melakukan suatu kegiatan.
2) Menambah motivasi klien untuk melalakuan kegiatan lain.
3) Bertukar pikiran tentang kegiatan yang akan dilakukan dirumah.

Tuk 6 : Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada.


a. Kriteria evaluasi
Setelah interaksi selama 1 x 15 menit diharapkan Keluarga memberi
dukungan dan pujian, keluarga memahami jadwal kegiatan harian klien
b. Rencana tindakan
1) Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat klien
dengan harga diri rendah
2) Bantu keluarga memberikan dukungan selama klien dirawat
3) Jelaskan cara pelaksanaan jadwal kegiatan klien di rumah
4) Anjurkan keluarga memberi pujian pada klien setiap berhasil.
Rasional
1) Menambah pengetahuan keluarga tentang cara merawat klien dengan
harga diri rendah.
2) Membantu keluarga untuk memotivasi klein selama dirawat di rumah
sakit jiwa.
3) Keluarga mengerti tentang beberapa kegiatan yang akan dilakukan
klien dirumah
4) Pujian akan menambah motivasi klien untuk melakukan berbagai
aktifitas lain.
DAFTAR PUSTAKA

Fitria, N. (2010). Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan


Dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta:
Salemba Medika.

Hawari, D. (2013). Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa: Skizofrenia.


Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Keliat, B.A. (2011). Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC.

Riyadi, S. Dan Purwanto, T. (2013). Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:


Graha Ilmu.

Stuart & Sundden. (2012). Principle & Praktice of Psychiatric Nursing, ed. Ke-5.
St Louis: Mosby Year Book.

Townsed, M. C. (2010). Diagnosa Keperawatan Psikiatri, Edisi 3. Jakarta: EGC.

Yosep, I. (2011). Keperawatan Jiwa. Jakarta: Refika Aditama.


LAMPIRAN 4
LAPORAN PENDAHULUAN
I. MASALAH UTAMA
Isolasi Sosial
II. PROSES TERJADINYA MASALAH
A. DEFINISI
Isolasi sosial adalah keadaan dimana seseorang individu
mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu
berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. Pasien mungkin merasa
ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan
yang berarti dengan orang lain (Purba, dkk. 2010).
Isolasi sosial adalah gangguan dalam berhubungan yang
merupakan mekanisme individu terhadap sesuatu yang mengancam
dirinya dengan cara menghindari interaksi dengan orang lain dan
lingkungan (Dalami, dkk. 2011).
Isolasi soaial adalah pengalaman kesendirian seorang individu
yang diterima sebagai perlakuan dari orang lain serta sebagai kondisi
yang negatif atau mengancam (Wilkinson, 2010). Suatu keadaan
dimana seseorang individu mengalami penurunan bahkan sama sekali
tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya, pasien
mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu
membina hubungan yang berarti dan tidak mampu membina hubungan
yang berarti dengan orang lain (Budi Anna Kelliat, 2011). Menarik diri
merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain,
menghindari hubungan dengan orang lain (Budi Kelliat, 2011). Faktor
perkembangan dan sosial budaya merupakan faktor predisposisi
terjadinya perilaku isolasi sosial. (Budi Anna Kelliat, 2011).
B. ETIOLOGI
1. Faktor Predisposisi
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan isolasi sosial adalah:
a. Faktor Perkembangan
Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus
dilalui individu dengan sukses, karena apabila tugas
perkembangan ini tidak dapat dipenuhi, akan menghambat masa
perkembangan selanjutnya. Keluarga adalah tempat pertama yang
memberikan pengalaman bagi individu dalam menjalin hubungan
dengan orang lain. Kurangnya stimulasi, kasih sayang, perhatian
dan kehangatan dari ibu/pengasuh pada bayi bayi akan
memberikan rasa tidak aman yang dapat menghambat
terbentuknya rasa percaya diri. Rasa ketidakpercayaan tersebut
dapat mengembangkan tingkah laku curiga pada orang lain
maupun lingkungan di kemudian hari. Komunikasi yang hangat
sangat penting dalam masa ini, agar anak tidak mersaa
diperlakukan sebagai objek.
Menurut Purba, dkk. (2010) tahap-tahap perkembangan
individu dalam berhubungan terdiri dari:
a. Masa Bayi
Bayi sepenuhnya tergantung pada orang lain untuk
memenuhi kebutuhan biologis maupun psikologisnya.
Konsistensi hubungan antara ibu dan anak, akan menghasilkan
rasa aman dan rasa percaya yang mendasar. Hal ini sangat
penting karena akan mempengaruhi hubungannya dengan
lingkungan di kemudian hari. Bayi yang mengalami hambatan
dalam mengembangkan rasa percaya pada masa ini akan
mengalami kesulitan untuk berhubungan dengan orang lain
pada masa berikutnya.
b. Masa Kanak-kanak
Anak mulai mengembangkan dirinya sebagai individu
yang mandiri, mulai mengenal lingkungannya lebih luas, anak
mulai membina hubungan dengan teman-temannya. Konflik
terjadi apabila tingkah lakunya dibatasi atau terlalu dikontrol,
hal ini dapat membuat anak frustasi. Kasih sayang yang tulus,
aturan yang konsisten dan adanya komunikasi terbuka dalam
keluarga dapat menstimulus anak tumbuh menjadi individu yang
interdependen, Orang tua harus dapat memberikan pengarahan
terhadap tingkah laku yang diadopsi dari dirinya, maupun sistem
nilai yang harus diterapkan pada anak, karena pada saat ini anak
mulai masuk sekolah dimana ia harus belajar cara berhubungan,
berkompetensi dan berkompromi dengan orang lain.
c. Masa Praremaja dan Remaja
Pada praremaja individu mengembangkan hubungan
yang intim dengan teman sejenis, yang mana hubungan ini akan
mempengaruhi individu untuk mengenal dan mempelajari
perbedaan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Selanjutnya
hubungan intim dengan teman sejenis akan berkembang menjadi
hubungan intim dengan lawan jenis. Pada masa ini hubungan
individu dengan kelompok maupun teman lebih berarti daripada
hubungannya dengan orang tua. Konflik akan terjadi apabila
remaja tidak dapat mempertahankan keseimbangan hubungan
tersebut, yang seringkali menimbulkan perasaan tertekan
maupun tergantung pada remaja.
d. Masa Dewasa Muda
Individu meningkatkan kemandiriannya serta
mempertahankan hubungan interdependen antara teman sebaya
maupun orang tua. Kematangan ditandai dengan kemampuan
mengekspresikan perasaan pada orang lain dan menerima
perasaan orang lain serta peka terhadap kebutuhan orang lain.
Individu siap untuk membentuk suatu kehidupan baru dengan
menikah dan mempunyai pekerjaan. Karakteristik hubungan
interpersonal pada dewasa muda adalah saling memberi dan
menerima (mutuality).
e. Masa Dewasa Tengah
Individu mulai terpisah dengan anak-anaknya,
ketergantungan anak-anak terhadap dirinya menurun.
Kesempatan ini dapat digunakan individu untuk
mengembangkan aktivitas baru yang dapat meningkatkan
pertumbuhan diri. Kebahagiaan akan dapat diperoleh dengan
tetap mempertahankan hubungan yang interdependen antara
orang tua dengan anak.
f. Masa Dewasa Akhir
Individu akan mengalami berbagai kehilangan baik
kehilangan keadaan fisik, kehilangan orang tua, pasangan hidup,
teman, maupun pekerjaan atau peran. Dengan adanya
kehilangan tersebut ketergantungan pada orang lain akan
meningkat, namun kemandirian yang masih dimiliki harus dapat
dipertahankan.
b. Faktor Komunikasi Dalam Keluarga
Masalah komunikasi dalam keluarga dapat menjadi kontribusi untuk
mengembangkan gangguan tingkah laku.
1) Sikap bermusuhan/hostilitas
2) Sikap mengancam, merendahkan dan menjelek-jelekkan anak
3) Selalu mengkritik, menyalahkan, anak tidak diberi kesempatan
untuk mengungkapkan pendapatnya.
4) Kurang kehangatan, kurang memperhatikan ketertarikan pada
pembicaananak, hubungan yang kaku antara anggota keluarga,
kurang tegur sapa, komunikasi kurang terbuka, terutama dalam
pemecahan masalah tidak diselesaikan secara terbuka dengan
musyawarah.
5) Ekspresi emosi yang tinggi
6) Double bind (dua pesan yang bertentangan disampaikan saat
bersamaan yang membuat bingung dan kecemasannya
meningkat)
c. Faktor Sosial Budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan
faktor pendukung terjadinya gangguan berhubungan. Dapat juga
disebabkan oleh karena norma-norma yang salah yang dianut oleh
satu keluarga.seperti anggota tidak produktif diasingkan dari
lingkungan sosial.
d. Factor Biologis
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa.
Insiden tertinggi skizofrenia ditemukan pada keluarga yang anggota
keluarga yang menderita skizofrenia. Berdasarkan hasil penelitian
pada kembar monozigot apabila salah diantaranya menderita
skizofrenia adalah 58%, sedangkan bagi kembar dizigot
persentasenya 8%. Kelainan pada struktur otak seperti atropi,
pembesaran ventrikel, penurunan berat dan volume otak serta
perubahan struktur limbik, diduga dapat menyebabkan skizofrenia
yang salah satu dianut oleh satu keluarga seperti anggota tidak
produktif diasingkan dari lingkungan.
2. Faktor Presipitasi
Stresor presipitasi terjadinya isolasi sosial dapat ditimbulkan oleh faktor
internal maupun eksternal, meliputi:
a. Stressor Sosial Budaya
Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam
berhubungan, terjadinya penurunan stabilitas keluarga seperti
perceraian, berpisah dengan orang yang dicintai, kehilangan
pasangan pada usia tua, kesepian karena ditinggal jauh, dirawat
dirumah sakit atau dipenjara. Semua ini dapat menimbulkan isolasi
sosial.
b. Stressor Biokimia
1) Teori dopamine: Kelebihan dopamin pada mesokortikal dan
mesolimbik serta tractus saraf dapat merupakan indikasi
terjadinya skizofrenia.
2) Menurunnya MAO (Mono Amino Oksidasi) didalam darah akan
meningkatkan dopamin dalam otak. Karena salah satu kegiatan
MAO adalah sebagai enzim yang menurunkan dopamin, maka
menurunnya MAO juga dapat merupakan indikasi terjadinya
skizofrenia.
3) Faktor endokrin: Jumlah FSH dan LH yang rendah ditemukan
pada pasien skizofrenia. Demikian pula prolaktin mengalami
penurunan karena dihambat oleh dopamin. Hypertiroidisme,
adanya peningkatan maupun penurunan hormon adrenocortical
seringkali dikaitkan dengan tingkah laku psikotik.
4) Viral hipotesis: Beberapa jenis virus dapat menyebabkan gejala-
gejala psikotik diantaranya adalah virus HIV yang dapat merubah
stuktur sel-sel otak.
c. Stressor Biologik dan Lingkungan Sosial
Beberapa peneliti membuktikan bahwa kasus skizofrenia sering
terjadi akibat interaksi antara individu, lingkungan maupun biologis.
d. Stressor Psikologis
Kecemasan yang tinggi akan menyebabkan menurunnya
kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain. Intesitas
kecemasan yang ekstrim dan memanjang disertai terbatasnya
kemampuan individu untuk mengatasi masalah akan menimbulkan
berbagai masalah gangguan berhubungan pada tipe psikotik.
Menurut teori psikoanalisa; perilaku skizofrenia disebabkan
karena ego tidak dapat menahan tekanan yang berasal dari id
maupun realitas yang berasal dari luar. Ego pada klien psikotik
mempunyai kemampuan terbatas untuk mengatasi stress. Hal ini
berkaitan dengan adanya masalah serius antara hubungan ibu dan
anak pada fase simbiotik sehingga perkembangan psikologis
individu terhambat.
Menurut Purba, dkk. (2010) strategi koping digunakan pasien
sebagai usaha mengatasi kecemasan yang merupakan suatu kesepian
nyata yang mengancam dirinya. Strategi koping yang sering
digunakan pada masing-masing tingkah laku adalah sebagai berikut:
1) Tingkah laku curiga: proyeksi
2) Dependency: reaksi formasi
3) Menarik diri: regrasi, depresi, dan isolasi
4) Curiga, waham, halusinasi: proyeksi, denial
5) Manipulatif: regrasi, represi, isolasi
6) Skizoprenia: displacement, projeksi, intrijeksi, kondensasi, isolasi,
represi dan regrasi.
C. POHON MASALAH

Sumber: (Keliat, 2011)

D. TANDA DAN GEJALA


Menurut Purba, dkk. (2010) tanda dan gejala isolasi sosial yang dapat
ditemukan dengan wawancara, adalah:
1. Pasien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain
2. Pasien merasa tidak aman berada dengan orang lain
3. Pasien mengatakan tidak ada hubungan yang berarti dengan orang lain
4. Pasien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu
5. Pasien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan
6. Pasien merasa tidak berguna
7. Pasien tidak yakin dapat melangsungkan hidup
E. AKIBAT YANG DITIMBULKAN
Perilaku isolasi sosial : menarik diri dapat berisiko terjadinya
perubahan persepsi sensori halusinasi. Perubahan persepsi sensori
halusinasi adalah persepsi sensori yang salah (misalnya tanpa stimulus
eksternal) atau persepsi sensori yang tidak sesuai dengan
realita/kenyataan seperti melihat bayangan atau mendengarkan suara-
suara yang sebenarnya tidak ada.
Halusinasi adalah pencerapan tanpa adanya rangsang apapun dari
panca indera, di mana orang tersebut sadar dan dalam keadaan terbangun
yang dapat disebabkan oleh psikotik, gangguan fungsional, organik atau
histerik.Halusinasi merupakan pengalaman mempersepsikan yang terjadi
tanpa adanya stimulus sensori eksternal yang meliputi lima perasaan
(pengelihatan, pendengaran, pengecapan, penciuman, perabaan), akan
tetapi yang paling umum adalah halusinasi pendengaran.
F. PENATALAKSANAAN
1. Terapi Psikofarmaka
a. Chlorpromazin
Mengatasi sindrom psikis yaitu berdaya berat dalam
kemampuan menilai realitas, kesadaran diri terganggu, daya ingat
norma sosial dan tilik diri terganggu, berdaya berat dalam fungsi-
fungsi mental: faham, halusinasi. Gangguan perasaan dan perilaku
yang aneh atau tidak terkendali, berdaya berat dalam fungsi
kehidupan sehari-hari, tidak mampu bekerja, berhubungan sosial
dan melakukan kegiatan rutin. Mempunyai efek samping
gangguan otonomi (hypotensi) antikolinergik/parasimpatik, mulut
kering, kesulitan dalam miksi, hidung tersumbat, mata kabur,
tekanan intra okuler meninggi, gangguan irama jantung.
Gangguan ekstra pyramidal (distonia akut, akathsia sindrom
parkinson). Gangguan endoktrin (amenorhe). Metabolic
(Soundiee). Hematologik, agranulosis. Biasanya untuk pemakaian
jangka panjang. Kontraindikasi terhadap penyakit hati, penyakit
darah, epilepsy, kelainan jantung (Andrey, 2010).
b. Haloperidol (HLP)
Berdaya berat dalam kemampuan menilai realita dalam
fungsi mental serta dalam fungsi kehidupan sehari-hari. Memiliki
efek samping seperti gangguan miksi dan parasimpatik, defeksi,
hidung tersumbat mata kabur , tekanan infra meninggi, gangguan
irama jantung. Kontraindikasi terhadap penyakit hati, penyakit
darah, epilepsy, kelainan jantung (Andrey, 2010).
c. Trihexyphenidil (THP)
Segala jenis penyakit Parkinson, termasuk pasca ensepalitis
dan idiopatik, sindrom Parkinson akibat obat misalnya reserpina
dan fenotiazine. Memiliki efek samping diantaranya mulut kering,
penglihatan kabur, pusing, mual, muntah, bingung, agitasi,
konstipasi, takikardia, dilatasi, ginjal, retensi urine. Kontraindikasi
terhadap hypersensitive Trihexyphenidil (THP), glaukoma sudut
sempit, psikosis berat psikoneurosis (Andrey, 2010).
2. Terapi Individu
Terapi individu pada pasien dengan masalah isolasi sosial
dapat diberikan strategi pertemuan (SP) yang terdiri dari tiga SP
dengan masing-masing strategi pertemuan yang berbeda-beda. Pada
SP satu, perawat mengidentifikasi penyebab isolasi social, berdiskusi
dengan pasien mengenai keuntungan dan kerugian apabila berinteraksi
dan tidak berinteraksi dengan orang lain, mengajarkan cara
berkenalan, dan memasukkan kegiatan latihan berbiincang-bincang
dengan orang lain ke dalam kegiatan harian. Pada SP dua, perawat
mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien, memberi kesempatan
pada pasien mempraktekkan cara berkenalan dengan satu orang, dan
membantu pasien memasukkan kegiatan berbincang-bincang dengan
orang lain sebagai salah satu kegiatan harian. Pada SP tiga, perawat
mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien, memberi kesempatan
untuk berkenalan dengan dua orang atau lebih dan menganjurkan
pasien memasukkan ke dalam jadwal kegiatan hariannya (Purba, dkk.
2010).
3. Terapi kelompok
Menurut (Purba, 2010), aktivitas pasien yang mengalami
ketidakmampuan bersosialisasi secara garis besar dapat dibedakan
menjadi dua yaitu:
a. Activity Daily Living (ADL)
Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan pemenuhan
kebutuhan sehari-hari yang meliputi:
1) Bangun tidur, yaitu semua tingkah laku/perbuatan pasien
sewaktu bangun tidur.
2) Buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK), yaitu semua
bentuk tingkah laku/perbuatan yang berhubungan dengan BAB
dan BAK.
3) Waktu mandi, yaitu tingkah laku sewaktu akan mandi, dalam
kegiatan mandi dan sesudah mandi.
4) Ganti pakaian, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan
keperluan berganti pakaian.
5) Makan dan minum, yaitu tingkah laku yang dilakukan pada
waktu, sedang dan setelah makan dan minum.
6) Menjaga kebersihan diri, yaitu perbuatan yang berhubungan
dengan kebutuhan kebersihan diri, baik yang berhubungan
dengan kebersihan pakaian, badan, rambut, kuku dan lain-lain.
7) Menjaga keselamatan diri, yaitu sejauhmana pasien mengerti
dan dapat menjaga keselamatan dirinya sendiri, seperti, tidak
menggunakan/menaruh benda tajam sembarangan, tidak
merokok sambil tiduran, memanjat ditempat yang berbahaya
tanpa tujuan yang positif.
8) Pergi tidur, yaitu perbuatan yang mengiringi seorang pasien
untuk pergi tidur. Pada pasien gangguan jiwa tingkah laku pergi
tidur ini perlu diperhatikan karena sering merupakan gejala
primer yang muncul padagangguan jiwa. Dalam hal ini yang
dinilai bukan gejala insomnia (gangguan tidur) tetapi bagaimana
pasien mau mengawali tidurnya.
b. Tingkah laku sosial
Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan kebutuhan
sosial pasien dalam kehidupan bermasyarakat yang meliputi
1) Kontak sosial terhadap teman, yaitu tingkah laku pasien untuk
melakukan hubungan sosial dengan sesama pasien, misalnya
menegur kawannya, berbicara dengan kawannya dan
sebagainya.
2) Kontak sosial terhadap petugas, yaitu tingkah laku pasien untuk
melakukan hubungan sosial dengan petugas seperti tegur sapa,
menjawab pertanyaan waktu ditanya, bertanya jika ada kesulitan
dan sebagainya.
3) Kontak mata waktu berbicara, yaitu sikap pasien sewaktu
berbicara dengan orang lain seperti memperhatikan dan saling
menatap sebagai tanda adanya kesungguhan dalam
berkomunikasi.
4) Bergaul, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan
kemampuan bergaul dengan orang lain secara kelompok (lebih
dari dua orang).
5) Mematuhi tata tertib, yaitu tingkah laku yang berhubungan
dengan ketertiban yang harus dipatuhi dalam perawatan rumah
sakit.
6) Sopan santun, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan tata
krama atau sopan santun terhadap kawannya dan petugas
maupun orang lain.
7) Menjaga kebersihan lingkungan, yaitu tingkah laku pasien yang
bersifat mengendalikan diri untuk tidak mengotori
lingkungannya, seperti tidak meludah sembarangan, tidak
membuang puntung rokok sembarangan dan sebagainya.
G. Masalah Keperawatan dan Data yang Perlu Dikaji
1. Isolasi Sosial
2. Harga Diri rendah Kronis
3. Perubahan Persepsi sensori : Halusinasi
4. Defisit Perawatan Diri
5. Koping Individu Tidak Efektif
6. Koping Keluarga Tidak efektif
7. Intoleransi aktifitas
8. Defisit perawatan diri
9. Resti mencedarai diri,orang lain dan lingkungan.

H. Data yang Perlu Dikaji


Subjektif
1. Klien mengatakan mulai bergaul dengan orang lain.
2. Klien mengatakn dirinya tidak ingin ditemani perawat dan meminta
untuk sendirian
3. Klien mengatakan tidak mau berbicara dengan orang lain.
4. Tidak mau berkomunikasi
5. Data tentang klien biasanya didapat dari keluarga yang mengetahui
keterbukaan klien
Objektif
1. Kurang spontan
2. Apatis
3. Ekspresi wajah kurang berseri
4. Todak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri
5. Tidak ada atau kurang komunikasi verbal
6. Mengisolasi diri
7. Asupan makanan dan minuman terganggu
8. Retensi urine dan feses
9. Aktivitas menurun
10. Kurang berenergi atau bertenaga
11. Rendah diri

I. Diagnosa Keperawatan
Isolasi Sosial
J. Rencana Tindakan Keperawatan
1. Tindakan Keperawatan untuk klien
a. Membina hubungan saling percaya
b. Menyadari penyebab isolasi social
c. Mengetahui keuntungan dan kerugian berinteraksi dengan orang
lain
d. Melakukan interaksi dengan orang lain
2. Tindakan Keperawatan untuk keluarga
a. Keluarga mengetahui masalah isolasi sosial dan dampaknya pada
klien
b. Keluarga mengetahui penyebab isolasi social
c. Sikap keluarga untuk membantu klien mengatasi isolasi sosialnya
d. Keluarga mengetahui pengobatan yang benar untuk klien.
e. Keluarga mengetahui tempat rujukan dan fasilitas kesehatan yang
tersedia bagi klien.

DAFTAR PUSTAKA
Fitria. (2009). Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan ( LP & SP ) untuk 7 Diagnosis
Keperawatan Jiwa Berat bagi Program S1 Keperawatan. Salemba Medika :
Jakarta

Carpenito, Lynda Juall. (2010), Handbook Of Nursing Diagnosis, (Monica Ester :


Penerjemah) Philadelphia (sumber asli diterbitkan, 1999), Buku Saku
Diagnosa Keperawatan. EGC ; Jakarta.

Stuart, Gaill Wiscare. (2010). Buku Saku Keperawatan Jiwa, Edisi 3. (Yuni. S.
hamid:penerjemah) EGC ; Jakarta.

Issacs. (2010). Panduan Bealajar keperawatn Kesehatan Jiwa dan Psikiatri, Edisi
3. (Praty Rahayuningsih, penerjemah) EGC ; Jakarta

Damaiyanti Mukhripah,dkk. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa.Bandung: PT


Refika Aditama

Eko Prabowo. (2014). Konsep & Aplikasi ASUHAN KEPERAWATAN JIWA.


Yogyakarta: Nuha Medika.

Fitria Nita. (2010). Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan
Dan Srategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan(LP dan
SP).Jakarta:Salemba Medika.

Keliat, Budi Anna. (2011). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas:


CMHN(Basic Course). Jakarta: EGC

Mukhripah Damaiyanti. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Samarinda: Refka


Aditama.

Sari, K. (2015). Panduan Lengkap Praktik Klinik Keperawatan Jiwa. Jakarta:


Trans Info MEdia.

Stuart, W. Gail. (2016). Keperawatan Kesehatan Jiwa. Singapore: Elsevier

Yusuf, Ah, Rizky Fitryasari PK dan Hanik Endang Nihayati. (2015). Buku Ajar
Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika
LAMPIRAN 5
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Masalah Keperawatan
Halusinasi
B. Definisi Halusinasi
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan sensori persepsi yang
dialami oleh pasien gangguan jiwa. Pasien merasakan sensasi berupa suara,
penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penghiduan tanpa stimulus yang
nyata (Keliat, 2011). Halusinasi adalah persepsi sensori yang salah atau
pengalaman persepsi yang tidak sesuai dengan kenyataan.
Menurut Surya, (2011) halusinasi adalah hilangnya kemampuan
manusia dalam membedakan rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan
eksternal (dunia luar). Halusinasi adalah persepsi atau tanggapan dari
pancaindera tanpa adanya rangsangan (stimulus) eksternal (Pambayun, 2015).
Halusinasi merupakan gangguan persepsi dimana pasien mempersepsikan
sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas, yang dimaksud dengan
halusinasi adalah gangguan persepsi sensori dimana klien mempersepsikan
sesuatu melalui panca indera tanpa ada stimulus eksternal. Halusinasi berbeda
dengan ilusi, dimana klien mengalami persepsi yang salah terhadap stimulus,
salah persepsi pada halusinasi terjadi tanpa adanya stimulus eksternal yang
terjadi, stimulus internal dipersepsikan sebagai sesuatu yang nyata ada oleh
klien.
C. Etiologi
Menurut Pambayun (2015), faktor-faktor yang menyebabkan klien gangguan
jiwa mengalami halusinasi adalah sebagai berikut:
1. Faktor Predisposisi
a. Faktor genetis
Secara genetis, skizofrenia diturunkan melalui kromosom-
kromosom tertentu. Namun demikian, kromosom ke berapa yang
menjadi faktor penentu gangguan ini sampai sekarang masih dalam
tahap penelitian. Anak kembar identik memiliki kemungkinan
mengalami skizofrenia sebesar 50% jika salah satunya mengalami
skizofrenia, sementara jika dizigote, peluangnya sebesar 15%. Seorang
anak yang salah satu orang tuanya mengalami skizofrenia berpeluang
15% mengalami skizofrenia, sementara bila kedua orang tuanya
skizofrenia maka peluangnya menjadi 35%.
b. Faktor neurobiologis
Klien skizofrenia mengalami penurunan volume dan fungsi otak
yang abnormal. Neurotransmitter juga ditemukan tidak normal,
khususnya dopamin, serotonin, dan glutamat.
1) Studi neurotransmitter
Skizofrenia diduga juga disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan
neurotransmitter. Dopamin berlebihan, tidak seimbang dengan kadar
serotonin.
2) Teori virus
Paparan virus influenza pada trimester ketiga kehamilan dapat
menjadi faktor predisposisi skizofrenia.
3) Psikologis
Beberapa kondisi psikologis yang menjadi faktor predisposisi
skizofrenia antara lain anak yang diperlakukan oleh ibu yang
pencemas, terlalu melindungi, dingin, dan tak berperasaan,
sementara ayah yang mengambil jarak dengan anaknya.
2. Faktor Presipitasi
a. Berlebihannya proses informasi pada sistem saraf yang menerima dan
memproses informasi di thalamus dan frontal otak.
b. Mekanisme penghantaran listrik di syaraf terganggu.
c. Kondisi kesehatan, meliputi : nutrisi kurang, kurang tidur,
ketidakseimbangan irama sirkadian, kelelahan, infeksi, obat-obat sistem
syaraf pusat, kurangnya latihan, hambatan untuk menjangkau pelayanan
kesehatan.
d. Lingkungan, meliputi : lingkungan yang memusuhi, krisis masalah di
rumah tangga, kehilangan kebebasan hidup, perubahan kebiasaan hidup,
pola aktivitas sehari-hari, kesukaran dalam hubungan dengan orang
lain, isolasi social, kurangnya dukungan sosial, tekanan kerja, kurang
ketrampilan dalam bekerja, stigmatisasi, kemiskinan, ketidakmampuan
mendapat pekerjaan.
e. Sikap/perilaku, meliputi : merasa tidak mampu, harga diri rendah, putus
asa, tidak percaya diri, merasa gagal, kehilangan kendali diri, merasa
punya kekuatan berlebihan, merasa malang, bertindak tidak seperti
orang lain dari segi usia maupun kebudayaan, rendahnya kernampuan
sosialisasi, perilaku agresif, ketidakadekuatan pengobatan,
ketidakadekuatan penanganan gejala.
D. Rentang Respon Halusinasi
Halusinasi merupakan salah satu respon maldaptive individual yang
berbeda rentang respon neurobiologi (Stuart and Laraia, 2010) dalam Yusalia
2015. Ini merupakan persepsi maladaptive. Jika klien yang sehat persepsinya
akurat, mampu mengidentifisikan dan menginterpretasikan stimulus
berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indera (pendengaran,
pengelihatan, penciuman, pengecapan dan perabaan) klien halusinasi
mempersepsikan suatu stimulus panca indera walaupun stimulus tersebut
tidak ada.Diantara kedua respon tersebut adalah respon individu yang karena
suatu hal mengalami kelainan persensif yaitu salah mempersepsikan stimulus
yang diterimanya, yang tersebut sebagai ilusi. Klien mengalami jika
interpresentasi yang dilakukan terhadap stimulus panca indera tidak sesuai
stimulus yang diterimanya,rentang respon tersebut sebagai berikut:
Respon adaptif Respon
maladaptif

Pikiran logis  Kadang-  Waham


 Persepsi akurat kadang proses  Halusinasi
 Emosi pikir terganggu  Sulit berespons
konsisten (distorsi  Perilaku
dengan pikiran disorganisasi
pengalaman  Ilusi  Isolasi sosial
 Perilaku sesuai  Menarik diri
 Hubungan  Reaksi emosi
sosial harmonis >/<
 Perilaku tidak
biasa
E. Jenis Halusinasi
Menurut  Yusalia (2015), jenis halusinasi antara lain :
1. Halusinasi pendengaran (auditorik) 70 %
Karakteristik ditandai dengan mendengar suara, teruatama suara – suara
orang, biasanya klien mendengar suara orang yang sedang membicarakan
apa yang sedang dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan
sesuatu.
2. Halusinasi penglihatan (visual) 20 %
Karakteristik dengan adanya stimulus penglihatan dalam bentuk pancaran
cahaya, gambaran geometrik, gambar kartun dan / atau panorama yang
luas dan kompleks. Penglihatan bisa menyenangkan atau menakutkan.
3. Halusinasi penghidu (olfactory)
Karakteristik ditandai dengan adanya bau busuk, amis dan bau yang
menjijikkan seperti: darah, urine atau feses. Kadang – kadang terhidu bau
harum.Biasanya berhubungan dengan stroke, tumor, kejang dan dementia.
4. Halusinasi peraba (tactile)
Karakteristik ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enak tanpa
stimulus yang terlihat. Contoh : merasakan sensasi listrik datang dari
tanah, benda mati atau orang lain.
5. Halusinasi pengecap (gustatory)
Karakteristik ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk, amis dan
menjijikkan, merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses.
6. Halusinasi cenesthetik
Karakteristik ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah
mengalir melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentukan
urine.
7. Halusinasi kinesthetic
Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.
F. Tanda Gejala
Beberapa tanda dan gejala perilaku halusinasi adalah tersenyum
atautertawa yang tidak sesuai, menggerakkan bibir tanpa suara,
bicarasendiri,pergerakan mata cepat, diam, asyik dengan pengalaman sensori,
kehilangan kemampuan membedakan halusinasi dan realitas rentangperhatian
yang menyempit hanya beberapa detik atau menit, kesukaran berhubungan
dengan orang lain, tidak mampu merawat diri,perubahan
Berikut tanda dan gejala menurut jenis halusinasi Stuart & Sudden,
(2010) dalam Yusalia (2015).
Jenis halusinasi Karakteriostik tanda dan gejala
Pendengaran Mendengar suara-suara / kebisingan, paling sering suara
kata yang jelas, berbicara dengan klien bahkan sampai
percakapan lengkap antara dua orang yang mengalami
halusinasi. Pikiran yang terdengar jelas dimana klien
mendengar perkataan bahwa pasien disuruh untuk
melakukan sesuatu kadang-kadang dapat membahayakan.

Penglihatan Stimulus penglihatan dalam kilatan cahaya, gambar


giometris, gambar karton dan atau panorama yang luas dan
komplek. Penglihatan dapat berupa sesuatu yang
menyenangkan /sesuatu yang menakutkan seperti monster.

Penciuman Membau bau-bau seperti bau darah, urine, fases umumnya


baubau yang tidak menyenangkan. Halusinasi penciuman
biasanya sering akibat stroke, tumor, kejang / dernentia.

Pengecapan Merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urine, fases.

Perabaan Mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus


yang jelas rasa tersetrum listrik yang datang dari tanah,
benda mati atau orang lain.
Sinestetik Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah divera (arteri),
pencernaan makanan.

Kinestetik Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak

G. Fase Halusinasi
Halusinasi yang dialami oleh klien bisa berbeda intensitas dan
keparahannya Stuart & Sundeen, (2010) dalam Bagus, (2014), membagi fase
halusinasi dalam 4 fase berdasarkan tingkat ansietas yang dialami dan
kemampuan klien mengendalikan dirinya. Semakin berat fase halusinasi,
klien semakin berat mengalami ansietas dan makin dikendalikan oleh
halusinasinya.
Fase halusinasi Karakteristik Perilaku pasien
1 2 3
Fase 1 : Klien mengalami keadaan Menyeringai atau
Comforting- emosi seperti ansietas, tertawa yang tidak
ansietas tingkat kesepian, rasa bersalah, dan sesuai, menggerakkan
sedang, secara takut serta mencoba untuk bibir tanpa
umum, berfokus pada penenangan menimbulkan suara,
halusinasi pikiran untuk mengurangi pergerakan mata yang
bersifat ansietas. Individu mengetahui cepat, respon verbal
menyenangkan bahwa pikiran dan yang lambat, diam dan
pengalaman sensori yang dipenuhi oleh sesuatu
dialaminya tersebut dapat yang mengasyikkan.
dikendalikan jika ansietasnya
bias diatasi (Non psikotik)
Fase II: Pengalaman sensori bersifat Peningkatan sistem
Condemning- menjijikkan dan menakutkan, syaraf otonom yang
ansietas tingkat klien mulai lepas kendali dan menunjukkan ansietas,
berat, secara mungkin mencoba untuk seperti peningkatan
umum, menjauhkan dirinya dengan nadi, pernafasan, dan
halusinasi sumber yang dipersepsikan. tekanan darah;
menjadi Klien mungkin merasa malu penyempitan
menjijikkan karena pengalaman kemampuan
sensorinya dan menarik diri konsentrasi, dipenuhi
dari orang lain. dengan pengalaman
(Psikotik ringan) sensori dan kehilangan
kemampuan
membedakan antara
halusinasi dengan
realita.
Fase III: Klien berhenti menghentikan Cenderung mengikuti
Controlling- perlawanan terhadap petunjuk yang diberikan
ansietas tingkat halusinasi dan menyerah pada halusinasinya daripada
berat, halusinasi tersebut. Isi menolaknya, kesukaran
pengalaman halusinasi menjadi menarik, berhubungan dengan
sensori menjadi dapat berupa permohonan. orang lain, rentang
berkuasa Klien mungkin mengalarni perhatian hanya
kesepian jika pengalaman beberapa detik atau
sensori tersebut berakhir. menit, adanya tanda-
(Psikotik) tanda fisik ansietas
berat : berkeringat,
tremor, tidak mampu
mengikuti petunjuk.
Fase IV: Pengalaman sensori menjadi Perilaku menyerang-
Conquering mengancam dan menakutkan teror seperti panik,
Panik, jika klien tidak mengikuti berpotensi kuat
umumnya perintah. Halusinasi bisa melakukan bunuh diri
halusinasi berlangsung dalam beberapa atau membunuh orang
menjadi lebih jam atau hari jika tidak ada lain, Aktivitas fisik
rumit, melebur intervensi terapeutik. yang merefleksikan isi
dalam (Psikotik Berat) halusinasi seperti amuk,
halusinasinya agitasi, menarik diri,
atau katatonia, tidak
mampu berespon
terhadap perintah yang
kompleks, tidak mampu
berespon terhadap lebih
dari satu orang.

H. Penatalaksanaan Medis
Menurut Keliat (2011) dalam Pambayun (2015), tindakan
keperawatan untuk membantu klien mengatasi halusinasinya dimulai dengan
membina hubungan saling percaya dengan klien. Hubungan saling percaya
sangat penting dijalin sebelum mengintervensi klien lebih lanjut. Pertama-
tama klien harus difasilitasi untuk merasa nyaman menceritakan pengalaman
aneh halusinasinya agar informasi tentang halusinasi yang dialami oleh klien
dapat diceritakan secara konprehensif. Untuk itu perawat harus
memperkenalkan diri, membuat kontrak asuhan dengan klien bahwa
keberadaan perawat adalah betul-betul untuk membantu klien. Perawat juga
harus sabar, memperlihatkan penerimaan yang tulus, dan aktif mendengar
ungkapan klien saat menceritakan halusinasinya. Hindarkan menyalahkan
klien atau menertawakan klien walaupun pengalaman halusinasi yang
diceritakan aneh dan menggelikan bagi perawat. Perawat harus bisa
mengendalikan diri agar tetap terapeutik.
Setelah hubungan saling percaya terjalin, intervensi keperawatan
selanjutnya adalah membantu klien mengenali halusinasinya (tentang isi
halusinasi, waktu, frekuensi terjadinya halusinasi, situasi yang menyebabkan
munculnya halusinasi, dan perasaan klien saat halusinasi muncul). Setelah
klien menyadari bahwa halusinasi yang dialaminya adalah masalah yang
harus diatasi, maka selanjutnya klien perlu dilatih bagaimana cara yang bisa
dilakukan dan terbukti efektif mengatasi halusinasi. Proses ini dimulai dengan
mengkaji pengalaman klien mengatasi halusinasi. Bila ada beberapa usaha
yang klien lakukan untuk mengatasi halusinasi, perawat perlu mendiskusikan
efektifitas cara tersebut. Apabila cara tersebut efektif, bisa diterapkan,
sementara jika cara yang dilakukan tidak efektif perawat dapat membantu
dengan cara-cara baru.
Menurut Keliat (2011) dalam Pambayun (2015), ada beberapa cara
yang bisa dilatihkan kepada klien untuk mengontrol halusinasi, meliputi :
1. Menghardik halusinasi.
Halusinasi berasal dari stimulus internal. Untuk mengatasinya,
klien harus berusaha melawan halusinasi yang dialaminya secara internal
juga. Klien dilatih untuk mengatakan, ”tidak mau dengar…, tidak mau
lihat”. Ini dianjurkan untuk dilakukan bila halusinasi muncul setiap saat.
Bantu pasien mengenal halusinasi, jelaskan cara-cara kontrol halusinasi,
ajarkan pasien mengontrol halusinasi dengan cara pertama yaitu
menghardik halusinasi:
2. Menggunakan obat.
Salah satu penyebab munculnya halusinasi adalah akibat
ketidakseimbangan neurotransmiter di syaraf (dopamin, serotonin). Untuk
itu, klien perlu diberi penjelasan bagaimana kerja obat dapat mengatasi
halusinasi, serta bagairnana mengkonsumsi obat secara tepat sehingga
tujuan pengobatan tercapai secara optimal. Pendidikan kesehatan dapat
dilakukan dengan materi yang benar dalam pemberian obat agar klien
patuh untuk menjalankan pengobatan secara tuntas dan teratur.
Keluarga klien perlu diberi penjelasan tentang bagaimana
penanganan klien yang mengalami halusinasi sesuai dengan kemampuan
keluarga. Hal ini penting dilakukan dengan dua alasan. Pertama keluarga
adalah sistem di mana klien berasal. Pengaruh sikap keluarga akan sangat
menentukan kesehatan jiwa klien. Klien mungkin sudah mampu mengatasi
masalahnya, tetapi jika tidak didukung secara kuat, klien bisa mengalami
kegagalan, dan halusinasi bisa kambuh lagi. Alasan kedua, halusinasi
sebagai salah satu gejala psikosis bisa berlangsung lama (kronis),
sekalipun klien pulang ke rumah, mungkin masih mengalarni halusinasi.
Dengan mendidik keluarga tentang cara penanganan halusinasi,
diharapkan keluarga dapat menjadi terapis begitu klien kembali ke rumah.
Latih pasien menggunakan obat secara teratur:
Jenis-jenis obat yang biasa digunakan pada pasien halusinasi adalah:
a. Clorpromazine ( CPZ, Largactile ), Warna : Orange
Indikasi:
Untuk mensupresi gejala – gejala psikosa : agitasi, ansietas, ketegangan,
kebingungan, insomnia, halusinasi, waham, dan gejala – gejala lain
yang biasanya terdapat pada penderita skizofrenia, manik depresi,
gangguan personalitas, psikosa involution, psikosa masa kecil.
Cara pemberian:
Untuk kasus psikosa dapat diberikan per oral atau suntikan
intramuskuler. Dosis permulaan adalah 25 – 100 mg dan diikuti
peningkatan dosis hingga mencapai 300 mg perhari. Dosis ini
dipertahankan selama satu minggu. Pemberian dapat dilakukan satu kali
pada malam hari atau dapat diberikan tiga kali sehari. Bila gejala
psikosa belum hilang, dosis dapat dinaikkan secara perlahan – lahan
sampai 600 – 900 mg perhari.
Kontra indikasi:
Sebaiknya tidak diberikan kepada klien dengan keadaan koma,
keracunan alkohol, barbiturat, atau narkotika, dan penderita yang
hipersensitif terhadap derifat fenothiazine.
Efek samping:
Yang sering terjadi misalnya lesu dan mengantuk, hipotensi orthostatik,
mulut kering, hidung tersumbat, konstipasi, amenore pada wanita,
hiperpireksia atau hipopireksia, gejala ekstrapiramida. Intoksikasinya
untuk penderita non psikosa dengan dosis yang tinggi menyebabkan
gejala penurunan kesadaran karena depresi susunan syaraf pusat,
hipotensi,ekstrapiramidal, agitasi, konvulsi, dan perubahan gambaran
irama EKG. Pada penderita psikosa jarang sekali menimbulkan
intoksikasi.
b. Haloperidol (Haldol, Serenace), Warna : Putih besar
Indikasi:
Yaitu manifestasi dari gangguan psikotik, sindroma gilies de la tourette
pada anak-anak dan dewasa maupun pada gangguan perilaku yang berat
pada anak-anak.
Cara pemberian:
Dosis oral untuk dewasa 1 – 6 mg sehari yang terbagi menjadi 6 – 15
mg untuk keadaan berat. Dosis parenteral untuk dewasa 2 -5 mg
intramuskuler setiap 1 – 8 jam, tergantung kebutuhan.
Kontra indikasi:
Depresi sistem syaraf pusat atau keadaan koma, penyakit parkinson,
hipersensitif terhadap haloperidol.
Efek samping:
Yang sering adalah mengantuk, kaku, tremor, lesu, letih, gelisah, gejala
ekstrapiramidal atau pseudoparkinson. Efek samping yang jarang
adalah nausea, diare, kostipasi, hipersalivasi, hipotensi, gejala gangguan
otonomik. Efek samping yang sangat jarang yaitu alergi, reaksi
hematologis. Intoksikasinya adalah bila klien memakai dalam dosis
melebihi dosis terapeutik dapat timbul kelemahan otot atau kekakuan,
tremor, hipotensi, sedasi, koma, depresi pernapasan.
c. Trihexiphenidyl (THP, Artane, Tremin), Warna: Putih kecil
Indikasi:
Untuk penatalaksanaan manifestasi psikosa khususnya gejala
skizofrenia.
Cara pemberian:
Dosis dan cara pemberian untuk dosis awal sebaiknya rendah ( 12,5
mg ) diberikan tiap 2 minggu. Bila efek samping ringan, dosis
ditingkatkan 25 mg dan interval pemberian diperpanjang 3 – 6 mg
setiap kali suntikan, tergantung dari respon klien. Bila pemberian
melebihi 50 mg sekali suntikan sebaiknya peningkatan perlahan-lahan.
Kontra indikasi:
Pada depresi susunan syaraf pusat yang hebat, hipersensitif terhadap
fluphenazine atau ada riwayat sensitif terhadap phenotiazine.
Intoksikasi biasanya terjadi gejala-gejala sesuai dengan efek samping
yang hebat. Pengobatan over dosis ; hentikan obat berikan terapi
simtomatis dan suportif, atasi hipotensi dengan levarteronol hindari
menggunakan ephineprine (Pambayun, 2015).
3. Berinteraksi dengan orang lain.
Klien dianjurkan meningkatkan keterampilan hubungan sosialnya.
Dengan meningkatkan intensitas interaksi sosialnya, kilen akan dapat
memvalidasi persepsinya pada orang lain. Klien juga mengalami
peningkatan stimulus eksternal jika berhubungan dengan orang lain. Dua
hal ini akan mengurangi fokus perhatian klien terhadap stimulus internal
yang menjadi sumber halusinasinya. Latih pasien mengontrol halusinasi
dengan cara kedua yaitu bercakap-cakap dengan orang lain:
DAFTAR PUSTAKA

Bagus. (2014). Konsep Halusinasi Dan Strategi Pelaksanaan Halusinasi.


www.academia.edu diakses Januari 2021

Darmaja. (2014). Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan Pada Tn. “S”
Dengan Perubahan Persepsi Sensori : Halusinasi Pendengaran Diruang
Kenari Rsj Dr. Radjiman Wedioningrat Lawang Malang. Program Studi
Profesi (Ners) Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Bakti Indonesia
Banyuwangi

Keliat, Budi Anna, Dkk. (2011). Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Edi.
Jakarta: EGC

Pambayun. (2015). Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Ny. S Dengan Gangguan


Persepsi Sensori Halusinasi Pendengaran Ruang 11 (Larasati) RSJD Dr.
Amino Gondohutomo Semarang. Asuhan Keperawatan Psikiatri Akademi
Keperawatan Widya Husada Semarang

Stuart & Sundeen. (2010). Keperawatan jiwa (Terjemahan), alih bahasa: Achir
Yani. Jakarta : EGC

Stuart, GW, Laraia, M.T., (2010). Principle and Practice of Pshychiatric Nursing.
Mosby, Philadelpia.

Surya. (2011). Buku Asuhan Keperawatan Jiwa. Nuha Medika,. Yogyakarta

Yusalia. (2015). Laporan Pendahuluan Dan Strategi Pelaksanaan Halusinasi.


www.academia.edu diakses Januari 2021
LAMPIRAN 6
LAPORAN PENDAHULUAN WAHAM

I. KASUS (MASALAH UTAMA)


Perubahan Proses Pikir: Waham
II. PROSES TERJADINYA MASALAH
A. Definisi
Waham adalah suatu keyakinan yang dipertahankan secara kuat
terus-menerus, tetapi tidak sesuai dengan kenyataan (Keliat, 2013).
Waham adalah keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian realitas
yang salah. Keyakinan klien tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan
latar belakang budaya klien (Aziz, 2010).
Waham adalah keyakinan tentang suatu pikiran yang kokoh, kuat,
tidak sesuai dengan kenyataan, tidak cocok dengan intelegensia dan latar
belakang budaya, selalu dikemukakan berulang-ulang dan berlebihan
biarpun telah dibuktikan kemustahilannya atau kesalahannya atau tidak
benar secara umum. (Tim Keperawatan PSIK FK UNSRI, 2012).
Waham adalah keyakinan keliru yang sangat kuat yang tidak dapat
dikurangi dengan menggunakan logika (Ann Isaac, 2014).
B. Etiologi
Keadaan yang timbul sebagai akibat dari pada proyeksi dimana
seseorang melemparkan kekurangan dan rasa tidak nyaman kedunia luar.
Individu itu biasanya peka dan mudah tersinggung, sikap dingin dan
cenderung menarik diri. Keadaan ini sering kali disebabkan karena merasa
lingkungannya tidak nyaman, merasa dibenci, kaku, cinta pada diri sendiri
yang berlebihan, angkuh dank keras kepala (Damaiyanti & Iskandar,
2014).
Ada dua factor yang menyebabkan terjadinya waham menurut
Keliat dalam buku stuart (2013) yaitu :
1. Faktor predisposisi
Meliputi perkembangan social kultural, psikologis, genetic,
biokimia, jika tugas perkembangan terhambat dan hubungan
interpersonal terganggu maka individu mengalami stress dan
kecemasan. Berbagai factor masyarakat dapat membuat seseorang
merasa terisolasi dan kesepian yang mengakibatkan kurangnya
rangsangan eksternal. Stress yang berlebihan dapat menganggu
metabolism dalam tubuh sehingga membuat tidak mampu dalam proses
stimulus internal dan eksternal.
2. Faktor presipitasi
Rangsangan lingkungan yang sering menjadi pencetus
terjadinya waham yaitu klien mengalami hubungan yang bermusuhan,
terlalu lama diajak bicara, objek yang ada dilingkungannya dan suasana
sepi (isolasi). Suasana ini dapat meningkatkan stress dan kecemasan.
C. Tanda dan Gejala
Stuart dan Sundeen (2013) menyatakan manifestasi dari wahan adalah
sebagai berikut :
1. Kognitif
a. Tidak mampu membedakan nyata dengan tidak nyata
b. Individu sangat percaya pada keyakinannya
c. Sulit berfikir realita
d. Tidak mampu mengambil keputusan
2. Afektif
a. Situasi tidak sesuai dengan kenyataan
b. Afek tumpul
c. Perilaku dan Hubungan Sosial
d. Hipersensitif
e. Hubungan interpersonal dengan orang lain dangkal
3. Depresi
a. Ragu-ragu
b. Mengancam secara verbal
c. Aktivitas tidak tepat
d. Streotif
e. Impulsive
f. Curiga
4. Fisik
a. Hygiene kurang
b. Muka pucat
c. Sering menguap
d. BB menurun
D. Klasifikasi
Stuart dan Sundeen (2013) menyebutkan beberapa klasifikasi waham
adalah sebagai berikut :
1. Waham agama
Memiliki keyakinan terhadap suatu agama secara berlebihan, diucapkan
berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan, contoh : “Tuhan telah
menunjuk saya menjadi wali, saya harus terus menerus memakai
pakaian putih setiap hari agar masuk surga”.
2. Waham kebesaran
Meyakini bahwa ia memiliki kebesaran atau kekuasaan khusus,
diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan. Contoh : “saya
ini titisan Bung Karno, punya banyak perusahaan, punya rumah
dberbagai negara dan bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit”.
3. Waham curiga
Meyakini bahwa ada seseorang atau kelompok yang berusaha
merugikan/mencederai dirinya, diucapkan berulangkali tetapi tidak
sesuai kenyataan. Contoh : “banyak polisi mengintai saya, tetangga
saya ingin menghancurkan hidup saya, suster akan meracuni hidup
saya”.
4. Waham somatik
Meyakini bahwa tubuh klien atau bagian tubuhnya terganggu,
diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan, contoh :
“sumsum tulang saya kosong, saya pasti terserang kanker, dalam tubuh
saya banyak kotoran, tubuh saya telah membusuk, tubuh saya
menghilang”
5. Waham nihilistic
Meyakini bahwa dirinya sudah tidak ada didunia atau sudah meninggal,
diucapkan berulang kali tapi tidak sesuai kenyataan, contoh : “saya
sudah menghilang dari dunia ini, semua yang ada disini adalah roh-
roh, sebenarnya saya sudah tidak ada di dunia”
E. Rentang Respon

Respon Adaptif Respon Maladaptif

 Berpikir logis
 Kadang proses  Gangguan proses
 Persepsi akurat
pikir terganggu pikir : Waham
 Emosi yang  Ilusi  Gangguan persepsi
konsisten
 Emosi sensori : halusinasi
dengan
berlebihan  Perubahan proses
pengalaman
 Tingkah laku emosi
 Tingkah laku
yang tidak  Tingkah laku yang
yang sesuai
biasa tidak terorganisasi
 Hubungan
 Menarik diri  Isolasi sosial
sosial harmonis
Data-data yang perlu dikaji untuk klien dengan waham kebesaran
adalah (Keliat, 2013): klien memiliki pikiran/isi pikir yang berulang-ulang
diungkapkan dan menetap, klien takut terhadap objek atau situasi tertentu
atau cemas secara berlebihan tentang tubuh atau kesehatannya, klien
pernah merasakan bahwa benda-benda di sekitarnya aneh dan tidak nyata,
klien pernah merasakan bahwa ia berada di luar tubuhnya, klien pernah
merasa diawasi atau dibicarakan oleh orang lain, klien berpikir bahwa
pikiran atau tindakannya dikontrol oleh orang lain atau kekuatan dari luar,
klien menyatakan bahwa ia memiliki kekuatan fisik atau kekuatan lainnya
atau yakin bahwa orang lain dapat membaca pikirannya.
F. Masalah Keperawatan Yang Sering Muncul
1. Resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan
2. Kerusakan komunikasi : verbal
3. Perubahan isi pikir : waham
G. Akibat Yang Sering Muncul
1. Gangguan fungsi kognitif (perubahan daya ingat)
Cara berpikir magis dan primitif, perhatian, isi pikir, bentuk dan
pengorganisasian bicara (tangensial, neologisme, sirkumtansial)
2. Fungsi persepsi
Depersonalisasi dan halusinasi
3. Fungsi emosi
Afek datar, afek tidak sesuai, reaksi berlebihan, ambivalen
4. Fungsi motorik
Imfulsif gerakan tiba-tiba dan spontan, manerisme, stereotopik gerakan
yang diulang-ulang, tidak bertujuan, tidak dipengaruhi stimulus yang
jelas, katatonia.
5. Fungsi sosial : kesepian
6. Isolasi sosial, menarik diri dan harga diri rendah.
H. Mekanisme Koping
Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi klien dari
pengalaman yang menakutkan dengan respon neurobiologist yang
maladaptive meliputi: regresi berhubungan dengan masalah proses
informasi dengan upaya untuk mengatasi ansietas, proyeksi sebagai upaya
untuk menjelaskan kerancuan persepsi, menarik diri, pada keluarga:
mengingkari.
I. Fase-fase
Menurut Stuart (2013) proses terjadinya waham dibagi menjadi enam
yaitu:
1. Fase Lack of Human need
Waham diawali dengan terbatasnya kebutuhn-kebutuhan klien
baik secara fisik maupun psikis. Secar fisik klien dengan waham dapat
terjadi pada orang-orang dengan status sosial dan ekonomi sangat
terbatas. Biasanya klien sangat miskin dan menderita. Keinginan ia
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mendorongnya untuk melakukan
kompensasi yang salah. Ada juga klien yang secara sosial dan ekonomi
terpenuhi tetapi kesenjangan antara Reality dengan selft ideal sangat
tinggi. Misalnya ia seorang sarjana tetapi menginginkan dipandang
sebagai seorang dianggap sangat cerdas, sangat berpengalaman dn
diperhitungkan dalam kelompoknya. Waham terjadi karena sangat
pentingnya pengakuan bahwa ia eksis di dunia ini. Dapat dipengaruhi
juga oleh rendahnya penghargaan saat tumbuh kembang (life span
history).
2. Fase lack of self esteem
Tidak ada tanda pengakuan dari lingkungan dan tingginya
kesenjangan antara self ideal dengan self reality (kenyataan dengan
harapan) serta dorongan kebutuhan yang tidak terpenuhi sedangkan
standar lingkungan sudah melampaui kemampuannya. Misalnya, saat
lingkungan sudah banyak yang kaya, menggunakan teknologi
komunikasi yang canggih, berpendidikan tinggi serta memiliki
kekuasaan yang luas, seseorang tetap memasang self ideal  yang
melebihi lingkungan tersebut. Padahal self reality-nya sangat jauh. Dari
aspek pendidikan klien, materi, pengalaman, pengaruh, support system
semuanya sangat rendah.
3. Fase control internal external
Klien mencoba berfikir rasional bahwa apa yang ia yakini atau
apa-apa yang ia katakan adalah kebohongan, menutupi kekurangan dan
tidak sesuai dengan kenyataan. Tetapi menghadapi kenyataan bagi klien
adalah sesuatu yang sangat berat, karena kebutuhannya untuk diakui,
kebutuhan untuk dianggap penting dan diterima lingkungan menjadi
prioritas dalam hidupnya, karena kebutuhan tersebut belum terpenuhi
sejak kecil secara optimal. Lingkungan sekitar klien mencoba
memberikan koreksi bahwa sesuatu yang dikatakan klien itu tidak
benar, tetapi hal ini tidak dilakukan secara adekuat karena besarnya
toleransi dan keinginan menjaga perasaan. Lingkungan hanya menjadi
pendengar pasif tetapi tidak mau konfrontatif berkepanjangan dengan
alasan pengakuan klien tidak merugikan orang lain.
4. Fase environment support
Adanya beberapa orang yang mempercayai klien dalam
lingkungannya menyebabkan klien merasa didukung, lama kelamaan
klien menganggap sesuatu yang dikatakan tersebut sebagai suatu
kebenaran karena seringnya diulang-ulang. Dari sinilah mulai terjadinya
kerusakan kontrol diri dan tidak berfungsinya norma (Super Ego) yang
ditandai dengan tidak ada lagi perasaan dosa saat berbohong.
5. Fase comforting
Klien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya
serta menganggap bahwa semua orang sama yaitu akan mempercayai
dan mendukungnya. Keyakinan sering disertai halusinasi pada saat
klien menyendiri dari lingkungannya. Selanjutnya klien lebih sering
menyendiri dan menghindar interaksi sosial (Isolasi sosial).
6. Fase improving
Apabila tidak adanya konfrontasi dan upaya-upaya koreksi,
setiap waktu keyakinan yang salah pada klien akan meningkat. Tema
waham yang muncul sering berkaitan dengan traumatik masa lalu atau
kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi (rantai yang hilang). Waham
bersifat menetap dan sulit untuk dikoreksi. Isi waham dapat
menimbulkan ancaman diri dan orang lain. Penting sekali untuk
mengguncang keyakinan klien dengan cara konfrontatif serta
memperkaya keyakinan relegiusnya bahwa apa-apa yang dilakukan
menimbulkan dosa besar serta ada konsekuensi sosial.
J. Jenis Waham
Tanda dan gejala waham berdasarkan jenisnya meliputi :
1. Waham kebesaran: individu meyakini bahwa ia memiliki kebesaran
atau kekuasaan khusus yang diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai
kenyataan. Misalnya, “Saya ini pejabat di separtemen kesehatan lho!”
atau, “Saya punya tambang emas.”
2. Waham curiga: individu meyakini bahwa ada seseorang atau kelompok
yang berusaha merugikan/mencederai dirinya dan siucapkan berulang
kali, tetapi tidak sesuai kenyataan. Contoh, “Saya tidak tahu seluruh
saudara saya ingin menghancurkan hidup saya karena mereka iri
dengan kesuksesan saya.”
3. Waham agama: individu memiliki keyakinan terhadap terhadap suatu
agama secara berlebihan dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak
sesuai kenyataan. Contoh, “Kalau saya mau masuk surga, saya harus
menggunakan pakaian putih setiap hari.”
4. Waham somatic: individu meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya
terganggu atau terserang penyakit dan diucapkan berulang kali, tetapi
tidak sesuai dengan kenyataan. Misalnya, “Saya sakit kanker.”
(Kenyataannya pada pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan tanda-
tanda kanker, tetapi pasien terus mengatakan bahwa ia sakit kanker).
5. Waham nihilistik: Individu meyakini bahwa dirinya sudah tidak ada di
dunia/meninggal dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai
kenyataan. Misalnya, ”Ini kan alam kubur ya, sewmua yang ada disini
adalah roh-roh”.
6. Waham sisip pikir : keyakinan klien bahwa ada pikiran orang lain yang
disisipkan ke dalam pikirannya.
7. Waham siar pikir : keyakinan klien bahwa orang lain mengetahui apa
yang dia pikirkan walaupun ia tidak pernah menyatakan pikirannya
kepada orang tersebut
8. Waham kontrol pikir : keyakinan klien bahwa pikirannya dikontrol oleh
kekuatan di luar dirinya.
III. A. POHON MASALAH

Resiko mencederai diri, orang lain dan


lingkungan

Perubahan Proses Pikir: Waham

Harga Diri Rendah

B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI


Masalah Keperawatan : Perubahan Isi Pikir : Waham
1. Data subjektif :
Klien mengungkapkan sesuatu yang diyakininya (tentang agama,
kebesaran, kecurigaan, keadaan dirinya) berulang kali secara
berlebihan tetapi tidak sesuai kenyataan.
2. Data objektif :
Klien tampak tidak mempunyai orang lain, curiga, bermusuhan,
merusak (diri, orang lain, lingkungan), takut, kadang panik, sangat
waspada, tidak tepat menilai lingkungan / realitas, ekspresi wajah
klien tegang, mudah tersinggung.
IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Perubahan Proses Pikir: Waham
V. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan: Perubahan Proses Pikir: Waham
1. Tujuan umum :
Klien tidak terjadi perubahan proses pikir: waham
2. Tujuan khusus :
a. Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat
Tindakan :
1) Bina hubungan. saling percaya: salam terapeutik, perkenalkan diri,
jelaskan tujuan interaksi, ciptakan lingkungan yang tenang, buat
kontrak yang jelas topik, waktu, tempat).
2) Jangan membantah dan mendukung waham klien: katakan perawat
menerima keyakinan klien “saya menerima keyakinan anda” disertai
ekspresi menerima, katakan perawat tidak mendukung disertai
ekspresi ragu dan empati, tidak membicarakan isi waham klien.
3) Yakinkan klien berada dalam keadaan aman dan terlindungi: katakan
perawat akan menemani klien dan klien berada di tempat yang aman,
gunakan keterbukaan dan kejujuran jangan tinggalkan klien
sendirian.
4) Observasi apakah wahamnya mengganggu aktivitas harian dan
perawatan diri.
b. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan yang dimiliki
Tindakan :
1) Beri pujian pada penampilan dan kemampuan klien yang realistis.
2) Diskusikan bersama klien kemampuan yang dimiliki pada waktu lalu
dan saat ini yang realistis.
3) Tanyakan apa yang biasa dilakukan kemudian anjurkan untuk
melakukannya saat ini (kaitkan dengan aktivitas sehari hari dan
perawatan diri).
4) Jika klien selalu bicara tentang wahamnya, dengarkan sampai
kebutuhan waham tidak ada. Perlihatkan kepada klien bahwa klien
sangat penting.
c. Klien dapat mengidentifikasikan kebutuhan yang tidak terpenuhi
Tindakan :
1) Observasi kebutuhan klien sehari-hari.
2) Diskusikan kebutuhan klien yang tidak terpenuhi baik selama di
rumah maupun di rumah sakit (rasa sakit, cemas, marah)
3) Hubungkan kebutuhan yang tidak terpenuhi dan timbulnya waham.
4) Tingkatkan aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan klien dan
memerlukan waktu dan tenaga (buat jadwal jika mungkin).
5) Atur situasi agar klien tidak mempunyai waktu untuk menggunakan
wahamnya.
d. Klien dapat berhubungan dengan realitas
Tindakan :
1) Berbicara dengan klien dalam konteks realitas (diri, orang lain,
tempat dan waktu).
2) Sertakan klien dalam terapi aktivitas kelompok : orientasi realitas.
3) Berikan pujian pada tiap kegiatan positif yang dilakukan klien
e. Klien dapat menggunakan obat dengan benar
Tindakan :
1) Diskusikan dengan kiten tentang nama obat, dosis, frekuensi, efek
dan efek samping minum obat
2) Bantu klien menggunakan obat dengan priinsip 5 benar (nama
pasien, obat, dosis, cara dan waktu).
3) Anjurkan klien membicarakan efek dan efek samping obat yang
dirasakan
4) Beri reinforcement bila klien minum obat yang benar.
f. Klien dapat dukungan dari keluarga
Tindakan :
c. Diskusikan dengan keluarga melalui pertemuan keluarga tentang:
gejala waham, cara merawat klien, lingkungan keluarga dan follow
up obat.
d. Beri reinforcement atas keterlibatan keluarga.
DAFTAR PUSTAKA

Keliat. (2013). Kumpulan Proses Keperawatan Masalah Jiwa. Jakarta : FIK,


Universitas Indonesia

Aziz R, dkk. (2010). Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa. Semarang: RSJD Dr.
Amino Gondoutomo.

Fitria, Nita. (2010). Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan
dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP & SP) untuk 7
Diagnosis Keperawatan Jiwa Berat bagi Program S1 Keperawatan.
Salemba Medika : Jakarta

Tim Direktorat Keswa. (2014). Standar Asuhan Keperawatan Jiwa Edisi 1.


Bandung, RSJP Bandung.

Kusumawati dan Hartono. (2010). Buku Ajar Keperawatan Jiwa . Jakarta :


Salemba Medika

Stuart dan Sundeen. (2013). Buku Keperawatan Jiwa . Jakarta : EGC.


LAMPIRAN 7
LAPORAN PENDAHULUAN

I. MASALAH UTAMA
Defisit perawatan diri
II. PROSES TERJADINYA
A. Definisi
Perawatan Diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam
memenuhi kebutuhannya guna mempertahankan kehidupannya, kesehatan
dan kesejahteraan sesuai dengan kondisi kesehatannya. (Depkes, 2016).
Poter & Perry (2012) mengemukakan bahwa Personal Higiene adalah suatu
tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk
kesejahteraan fisik dan psikis. Mubarak (2015), juga mengemukakan bahwa
higiene personal atau kebersihan diri adalah upaya seseorang dalam
memelihara kebersihan dan kesehatan dirinya untuk memperolah
kesejahteraan fisik dan psikologis.
Seseorang yang tidak dapat melakukan perawatan diri dinyatakan
mengalami defisit perawatan diri. Nurjannah (2012) mengemukakan bahwa
Defisit Perawatan Diri adalah gangguan kemampuan untuk melakukan
aktifitas perawatan diri (mandi, berhias, makan, toileting). Menurut Anonim
(2015) kurang Perawatan Diri adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu
melakukan perawatan kebersihan untuk dirinya. Pasien yang mengalami
gangguan jiwa kronik seringkali tidak memperdulikan perawatan diri. Hal
ini menyebabkan pasien dikucilkan dalam keluarga dan masyarakat (Keliat,
2013).
B. Jenis-jenis defisit perawatan diri
Menurut Nanda (2012), jenis perawatan diri terdiri dari:
1. Defisit perawatan diri: mandi
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan
mandi/beraktivitas perawatan diri untuk diri sendiri.
2. Defisit perawatan diri : berpakaian
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan
aktivitas berpakaian dan berhias untuk diri sendiri
3. Defisit perawatan diri : makan
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
makan secara mandiri
4. Defisit perawatan diri : eliminasi/toileting
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
eliminasi sendiri.
C. Tanda dan Gejala
Menurut Anonim (2016), tanda dan gejala klien dengan defisit perawatan
diri yaitu:
1. Fisik
a. Badan bau, pakaian kotor
b. Rambut dan kulit kotor
c. Kuku panjang dan kotor
d. Gigi kotor disertai mulut bau
e. Penampilan tidak rapi
2. Psikologi
a. Malas, tidak ada inisiatif
b. Menarik diri, isolasi diri
c. Merasa tak berdaya, rendah diri dan merasa hina
3. Sosial
a. Interaksi kurang
b. Kegiatan kurang
c. Tidak mampu berperilaku sesuai norma
d. Cara makan tidak teratur
e. Buang Air Besar (BAB) dan Buang Air Kecil (BAK) di sembarang
tempat
f. Gosok gigi dan mandi tidak mampu mandiri
Selain itu, tanda dan gejala tampak pada pasien yang mengalami
Defisit Perawatan Diri adalah sebagai berikut:
1. Gangguan kebersihan diri, ditandai dengan rambut kotor, gigi kotor, kulit
berdaki dan bau, serta kuku panjang dan kotor
2. Ketidakmampuan berhias/berpakaian, ditandai dengan rambut
acakacakan, pakaian kotor dan tidak rapi, pakaian tidak sesuai, pada
pasien laki-laki tidak bercukur, pada pasien perempuan tidak berdandan
3. Ketidakmampuan makan secara mandiri, ditandai oleh kemampuan
mengambil makan sendiri, makan berceceran dan makan tidak pada
tempatnya
4. Ketidak mampuan eliminasi secara mandiri, ditandai dengan BAB/BAK
tidak pada tempatnya, dan tidak membersihkan diri dengan baik setelah
BAB/BAK (Keliat, 2013).
Apabila kondisi ini dibiarkan berlanjut, maka akhirnya dapat juga
menimbulkan penyakit fisik seperti kelaparan dan kurang gizi, sakit infeksi
saluran pencernaan dan pernafasan serta adanya penyakit kulit, atau timbul
penyakit yang lainnya (Harist, 2014).
D. Predisposisi
1. Perkembangan Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien
sehingga perkembangan inisiatif terganggu
2. Biologis Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu
melakukan perawatan diri
3. Kemampuan realitas turun Klien gangguan jiwa dengan kemampuan
realitas yang kurang menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan
lingkungan termasuk perawatan diri
4. Sosial Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri
lingkungannya. Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan
dalam perawatan diri
E. Presipitasi
Yang merupakan faktor presiptasi defisit perawatan diri adalah
kurang penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas,
lelah/lemah yang dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang
mampu melakukan perawatan diri (Anonim, 2015.) Sedangkan Tarwoto dan
Wartonah (2010) meyatakan bahwa kurangnya perawatan diri disebabkan
oleh : Kelelahan fisik dan penurunan kesadaran.
Menurut Nanda (2012) ada beberapa faktor persipitasi yang dapat
menyebabkan seseorang kurang perawatan diri. Faktor-faktor tersebut dapat
berasal dari berbagai stressor antara lain:
1. Body image
Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan
diri misalnya karena adanya perubahan fisik sehingga individu tidak
peduli terhadap kebersihannya.
2. Praktik social
Pada anak-anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka kemungkinan
akan terjadi perubahan pola personal hygiene.
3. Status sosioekonomi
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi,
sikat gigi, sampo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk
menyediakannya.
4. Pengetahuan
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan
yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien penderita
diabetes mellitus dia harus menjaga kebersihan kakinya. Yang merupakan
faktor presipitasi defisit perawatan diri adalah kurang penurunan
motivasi, kerusakan kognisi atau perseptual, hambatan lingkungan,
cemas, lelah atau lemah yang dialami individu sehingga menyebabkan
individu kurang mampu melakukan perawatan diri.
F. Rentang Respon

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Pola perawatan Kadang perawatan Tidak melakukan


diri seimbang diri tidak seimbang perawatan diri
G. Pohon Masalah
Resiko Tinggi Isolasi Sosial Effect

Defisit Perawatan Diri Core Problem

Harga Diri Rendah Causa


Pohon Masalah Defisit perawatan Diri (Fitria, 2012).

H. Mekanisme Koping
Mekanisme koping mempengaruhi respon individu dalam
menanggapi stressor meliputi status sosialekonomi, keluarga, jaringan
interpersonal, organisasi yang dinaungi oleh lingkungan sosial yang lebih
luas, juga menggunakan kreativitas untuk mengekspresikan stress
interpersonal seperti kesenian, musik, atau tulisan (Stuart and Sunden, 2013).
I. Masalah Keperawatan dan data yang perlu dikaji :
Subjektif
1. Klien mengatakan dirinya malas mandi
2. Klien mengatakan dirinya malas berdandan
3. Klien mengatakan ingin disuapi makan
4. Klien mengatakan tidak pernah membersihkan alat kelaminnya habis
buang air
Objektif
1. Ketidak mampuan mandi, ditandai dengan rambut kotor, gigi kotor, kulit
berdaki, bau, serta kuku panjang dan kotor
2. Ketidakmampuan berpakaian atau berhias, ditandai dengan rambut acak-
acakan, pakaian kotor atau tidak rapi, pakaian tidak sesuai, tidak bercukur
dan tidak berdandan
3. Ketidakmampuan makan secara mandiri yang ditandai dengan tidak
mampu mengambil makan sendiri, makan berceceran, dan makan tidak
pada tempatnya.
4. Ketidakmampuan BAB/BAK secara mandiri ditandai dengan BAB/BAK
tidak pada tepatnya, tidak membersihkan diri dengan baik setelan
BAB/BAK.
J. Diagnosa keperawatan
Defisit Perawatan Diri
K. Tidakan keperawatan
1. Tindakan keperawatan untuk pasien kurang perawatan diri
Tujuan:
a. Pasien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri
b. Pasien mampu melakukan berhias/berdandan secara baik
c. Pasien mampu melakukan BAB/BAK secara mandiri
2. Tindakan keperawatan
a. Membantu klien dalam perawatan kebersihan diri
Untuk membantu klien dalam menjaga kebersihan diri Saudara dapat
melakukan tahapan tindakan yang meliputi:
1) Menjelasan pentingnya menjaga kebersihan diri.
2) Menyiapkan lat-alat untuk menjaga kebersihan diri
3) Menjelaskan cara-cara melakukan kebersihan diri
4) Membimbing klien dalam kebersihan diri
b. Membantu pasien berdandan/berhias
Untuk pasien laki-laki membantu meliputi :
1) Berpakaian
2) Menyisir rambut
3) Bercukur
Untuk pasien wanita, membantu meliputi :
1) Berpakaian
2) Menyisir rambut
3) Berhias
c. Mengajarkan pasien melakukan BAB/BAK secara mandiri
1) Menjelaskan tempat BAB/BAK yang sesuai
2) Menjelaskan cara membersihkan diri setelah BAB dan BAK
3) Menjelaskan cara membersihkan tempat BAB dan BAK
DAFTAR PUSTAKA

Stuart, W. Gail. (2016). Keperawatan Kesehatan Jiwa. Singapore: Elsevier

Yusuf, Ah, Rizky Fitryasari PK dan Hanik Endang Nihayati. (2015). Buku Ajar
Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika

Keliat, Budi Anna. (2011). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas:


CMHN(Basic Course). Jakarta: EGC

Fitria Nita. (2010). Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan
Dan Srategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan(LP dan
SP).Jakarta:Salemba Medika.

Damaiyanti Mukhripah,dkk. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa.Bandung: PT


Refika Aditama

Hoesny, Rezkiyah,. (2011). Faktor-faktor yang berhubungan dengan Defisit


Perawatan Diri diakses dari http://repositori.uin-
alauddin.ac.id/3358/1/Rezkiyah%20Hoesny.pdf pada 14 Juni 2018

Neri, Silvia,. (2018). Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan diakses dari


https://www.academia.edu/6822348/STRATEGI_PELAKSANAAN_TIN
DAKAN_KEPERAWATAN_SP-
1_Pasien_Defisit_Perawatan_Diri_Pertemuan_Ke-1 pada 14 Juni 2018

Shinzu, Bekti,. (2018). Defisit Perawatan Diri LP SP diakses dari


https://www.academia.edu/35135428/Defisit_Perawatan_Diri_LP_SP
pada 14 Juni 2018

Anda mungkin juga menyukai