Anda di halaman 1dari 7

DIMANAKAH ALLAH DALAM PERSOALAN HIDUP KITA

Lagu Buka : LSL No 292/110


Ayat Bersahutan : Mazmur 42:1-6
Ayat inti : Yohanes 7:37
Lagu Tutup : LSL No 415/180

Pendahuluan
Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Itulah pribahasa yang paling
tepat untuk menggambarkan apa yang terjadi dalam kehidupan seorang ibu yang
saya akan cerita ini. Dulu suaminya adalah seorang pengusaha. Mereka hidup
bahagia dan berkecukupan. Suatu hari suaminya menyerahkan diri untuk menjadi
hamba Tuhan. Semua usahanya dilepaskan dan dia menjadi mahasiswa Sekolah
Tinggi Teologi. Setelah lulus, suaminya melayani sebuah gereja yang sederhana.
Income mereka menurun drastis, pengeluaran membengkak, bukan karena mereka
bertambah boros, melainkan karena hati mereka tidak pernah bisa tahan melihat
jemaat yang berkekurangan.
Pada suatu pagi, suaminya berpamitan untuk pergi pelayanan ke suatu
daerah. Tiga jam kemudian, ia menerima kabar bahwa suaminya mendapat
kecelakaan, tertabrak sebuah bus yang ngebut dengan kecepatan tinggi. Suaminya
terlempar dan meninggal seketika. Tragisnya, menurut beberapa saksi mata,
suamiya tertabrak saat menolong seorang pengendara sepeda motor yang menjadi
korban tabrak lari. Setelah pemakaman selesai, ibu ini masih berpikir bahwa Allah
memiliki rencana lain bagi dirinya. Ia tampak begitu tabah.
Beberapa bulan setelah suaminya meninggal, putri pertamanya, seorang
importir alat-alat rumah tangga,  mengalami masalah. Ia ditipu oleh rekan bisnisnya
sehingga hampir seluruh modalnya habis, bahkan ia harus menjual rumah dan
mobilnya untuk membayar hutang-hutang perusahaannya. Rumah tangga putrinya
pun tergoncang dan  berakhir dengan perceraian. Hati ibu pendeta ini tercabik
melihat badai kelam yang menimpa putrinya. Namun, ia merasa harus tetap tegar
agar dapat menguatkan iman putrinya.
Namun, rupanya kesusahan belum berhenti mengikuti hidup ibu pendeta ini.
Suatu hari, ia mendapati putranya yang kuliah di semester terakhir muntah-muntah
dan seluruh tubuhnya mengigil di kamarnya. Segera ia melarikan ke rumah sakit.
Betapa terkejutnya ia ketika dokter mengatakan bahwa putranya sedang sakau dan
telah menjadi pecandu berat narkoba. Hati ibu pendeta ini hancur. Demi putranya, ia
terpaksa menjual rumahnya untuk membiaya rehabilitasi putranya dan tinggal di
rumah kontrakan yang kecil. Setelah setengah tahun di pusat rehabilitasi, anaknya
dinyatakan sembuh dan diperbolehkan pulang. Namun sebulan kemudian, ia
ditangkap polisi dengan tuduhan sebagai pengedar narkoba. Pengadilan
menjatuhinya hukuman tiga tahun penjara. Hati ibu manakah yang tidak akan patah
mengalami persoalan seperti ini? Namun, ia masih berharap bahwa Tuhan akan
memulihkan keadaan anaknya.
Kehidupan ibu pendeta ini semakin susah. Perekonomiannya morat-marit.
Saudara-saudara kandungnya yang tidak seiman mencemoohkan dia sebagai orang
kurang berhikmat karena mengizinkan suaminya menjadi hamba Tuhan. Jiwanya
semakin tertekan dan kesehatannya menurun.  Keadaan ginjalnya yang sejak dulu
lemah, mulai sering kambuh. Beberapa kali ia harus ke luar masuk rumah sakit.
Sampai akhirnya, ia gagal ginjal dan harus menjalani cuci darah seminggu sekali.
Runtuhlah seluruh kekuatannya.  
Tengah malam di ranjang rumah sakit, tangisnya pecah. Ia tidak kuat lagi
menanggung beban yang terlampau berat. Ia menjerit memanggil-manggil nama
suaminya, bukan Allah. Ia sudah terlalu kecewa kepada Allah; baginya Allah tidak
dapat dipercaya. Allah kejam membiarkan semuanya terjadi, padahal Dia dapat
mencegahnya. Dalam tangisannya ia mengajukan satu pertanyaan kepada Allah, “Di
manakah Engkau, Tuhan?”  Tak ada jawaban sama sekali. Ibu pendeta itu hanya
mendengar suara tangisannya sendiri sampai ia tertidur dalam kesunyian dini hari.

Dimanakah Allah dalam Persoalan Hidup Orang Kristen Masa Kini


Apa yang dialami oleh ibu pendeta tadi merupakan kenyataan hidup yang bisa
terjadi pada setiap orang percaya. Kadang kala Tuhan tidak mudah ditemui.
Pengalaman hidup kita mengatakan demikian. Yang lebih membuat frustrasi, justru
di saat-saat kita sangat membutuhkan-Nya, dimanakah Allah kita. Sebagaimana
seorang anak yang lepas dari tangan bapaknya di tengah-tengah keramaian orang,
demikianlah kita. Kita merasa sendirian tanpa pegangan. Sepertinya Allah sama
sekali tidak peduli dengan apa yang kita alami. Tak jarang saat kita menghadapi
situasi-situasi yang sulit, kita meragukan Allah.

Pemazmur yang menulis Mazmur 42 ini juga mengalami pergumulan dimankah


Tuhan dalam kesulitan hidup yang ia alami. Jiwanya gelisah dan tertekan. Melalui
lirik-lirik yang memilukan, ia mengungkapkan perasaan hatinya.  Maka, lahirah
Mazmur Ratapan ini.  
Besar kemungkinan, saat itu ia dan orang-orang  Israel lainnya menjadi
tawanan kerajaan Babel dan hidup dalam pembuangan di sana.  Bila demikian, kita
bisa membayangkan bahwa perlakuan yang tidak manusiawi, seperti kerja paksa,
makian, dan cemoohan menjadi bagian hidup sehari-hari mereka. Jiwa mereka
tertekan. Kebanggaan bahwa mereka pernah menjadi bangsa yang besar, umat
kesayangan Allah, hanya  menjadi kenangan. Bertahun-tahun mereka hidup
menderita. Berulang-ulang mereka berseru kepada Allah, memohon kemurahan-Nya,
tetapi Allah tak menjawab seolah Dia tak lagi hadir dalam kehidupan umat-Nya.
Kerinduan untuk bertemu dengan Allah melanda hati umat Allah dan
kerinduan ini diwakili oleh sang pemazmur dalam ungkapannya, “Seperti rusa yang
merindukan sungai yang berair, demikianlah jiwaku merindukan Engkau, ya Allah”
(ay. 2). Ketika para pelukis mengambil rusa sebagai obyek lukisan, biasanya
mereka cenderung memanjakan mata orang dengan menonjolkan segi
keindahannya. Namun, dalam ayat-ayat ini, saya kira pemazmur tidak bermaksud
melukiskan rusa yang demikian; tetapi, seekor rusa yang berada di sebuah hutan
yang kering kerontang terbakar kemarau panjang. Tak ada lagi daun yang hijau, tak
ada lagi kupu-kupu yang terbang, tak ada lagi burung-burung yang berkicauan, dan
tak ada lagi rumput yang hijau, selain petak-petak tanah kering dan retak-retak.
Dalam imaginasi saya, rusa itu berjalan dengan gontai sambil menyeret
tubuhnya. Pandangan matanya sayu penuh kekecewaan; perasaannya tertekan dan
gelisah. Telah berhari-berhari ia berjuang menahan haus. Kekeringan menyengat
tenggorokan dan seluruh jaringan tubuhnya. Tidak ada kebutuhan lain yang ada di
dalam dirinya, kecuali menemukan sungai yang berair. Ia sadar, tanpa air hidupnya
akan berakhir.  Itulah pelukisan jiwa yang dilanda kerinduan untuk bertemu dengan
Allah.
Ratapan kerinduannya akan Allah diungkapkan lebih lanjut dengan berkata,
“Jiwaku haus kepada Allah, kepada Allah yang hidup. Bilakah aku boleh datang
melihat Allah?” (ay.3). Sekarang ia melukiskan kerinduannya dengan suatu
pengontrasan yang menggugah. Jiwanya yang haus dibandingkan dengan Allah
yang hidup. Perkataan “Allah yang hidup” melukiskan bahwa Allah adalah Pribadi
yang hidup yang berbeda dengan dewa-dewa Babel yang mati, dan juga menyatakan
bahwa Allah adalah sumber kehidupan dari segala sesuatu di mana jiwa pemazmur
sendiri bergantung kepada-Nya. Tanpa Allah, ia akan binasa.
Di tengah-tengah keadaan seperti itu ia bertanya, “Bilakah aku boleh datang
melihat Allah?”  Ini merupakan suatu pertanyaan yang lahir karena kebutuhan yang
sangat besar dan mendesak. “Bilakah” atau “Kapankah” menunjukkan bahwa
kehausan pemazmur sudah berlangsung demikian lama dan permohonannya telah
diajukan berulang-ulang. Namun, respon dari Allah tak pernah ada.
Sekarang Israel, yang diwakili oleh pemazmur ini, baru bisa menghargai apa
artinya bersekutu dengan Tuhan itu. Dulu mereka mengabaikan Allah, tidak
menaruh perhatian pada kehadiran-Nya, firman-Nya, teguran-Nya, dan kasih-Nya.
Sekarang Israel tiba pada pemahaman bahwa bersekutu dengan Tuhan itu
merupakan suatu anugerah. Mereka tidak mempunyai hak apapun  untuk memaksa
Allah meresponi mereka.
Pemazmur hanya bisa  mengharap belas kasihan Allah dan meratapi
kerinduannya. Ia berkata, “Air mataku menjadi makananku siang dan malam, karena
sepanjang hari orang berkata kepadaku: “Di mana Allahmu?” Di dalam pembuangan,
menerima perlakuan yang tidak enak sudah menjadi hal yang umum, mungkin juga,
termasuk tekanan untuk menyembah dewa-dewa orang-orang Babel. Ketika
pemazmur berusaha mempertahankan imannya, mereka mencemoohkannya, “Di
mana Allahmu?” Cemoohan itu menghancurkan hatinya. Bagai anak ayam
kehilangan induknya, ia tidak punya tempat untuk berlindung. Karenanya, ia
berkata, “Air mataku menjadi makananku siang dan malam.” Sepanjang hari ia
berduka, dirundung kesedihan. Celakanya, Allah pergi entah ke mana.
Kita bisa memiliki pengalaman yang sama seperti mereka, yaitu perasaan
ditinggalkan oleh Allah. Sebagian dari kita mungkin diam-diam menyimpan
kepahitan terhadap Allah. Hanya kita merasa  tidak pantas untuk 
mengungkapkannya secara terbuka dalam doa-doa kita, ataupun menceritakannya
kepada orang-orang dekat kita. Namun, hal itu pelan-pelan membuat kita semakin
jauh dari Allah.
            Saya pikir wajar bila kita pernah merasa kecewa kepada Allah; kita merasa
ditinggalkan dan diabaikan oleh Tuhan. Juga wajar bila kita mengeluh dan meratap,
mengekspresikan secara verbal perasaan kecewa kita kepada-Nya seperti yang
dilakukan oleh pemazmur ini dan ibu pendeta tadi. Saya percaya Allah dapat
memahami sepenuhnya kekecewaan, kesakitan, kesedihan, ataupun ketakutan
yang kita rasakan. Dia bukan Allah yang mudah tersingung dan pemarah. Namun,
jangan cuma berhenti sebatas meratap, iman kita akan terpuruk,  tetapi majulah
sambil berharap. Inilah yang dilakukan oleh pemazmur ini.

Belajar dari Pemazmur, Kita mengubah Ratapan Menjadi Genderang Kemenangan

Hal Pertama; Mengingat masa-masa indah bersama dengan Allah


Setelah sekian lama pemazmur membiarkan jiwanya terpuruk, ia memutuskan
untuk tidak membiarkan  keadaannya berlarut-larut. Ia mengarahkan mata imannya
kembali kepada Allah dan menembus kegelapan di hadapannya. Karena itu ia
berkata, “Inilah yang hendak kuingat, sementara jiwaku gundah gulana; bagaimana
aku berjalan maju dalam kepadatan manusia, mendahului mereka melangkah ke
rumah Allah dengan suara sorak-sorai dan nyanyian syukur, dalam keramaian orang-
orang yang mengadakan perayaan” (ay. 5).
Apa maksud perkataannya ini? Rupanya pemazmur ingin mengingat masa-masa
indah bersama dengan Allah dulu, sebelum bangsa Israel dijajah dan dibuang ke
Babel. Pada waktu itu, mereka seringkali mengadakan perayaan atau kebaktian di
Bait Allah, di Yerusalem.  Sebagai salah satu penyanyi dari bani Korah, ia memimpin
umat Israel berjalan ke rumah Tuhan. Dalam kepadatan umat yang berduyun-duyun
datang untuk bersembahyang, ia berjalan mendahului mereka dengan sorak sorai
dan nyanyian syukur, melangkah untuk bertemu dan menyembah Allah. Di sana
Allah telah menanti mereka, seperti seorang bapak menanti kedatangan anak-
anaknya. Kehadiran dan penerimaan Allah mendatangkan sukacita besar bagi umat-
Nya. Allah bukanlah Allah yang dingin, acuh tak acuh, tak peduli pada apa yang
dialami oleh umat-Nya. Sebaliknya, Ia adalah Allah yang hangat, menikmati
persekutuan, dan penuh perhatian pada umat-Nya.  Inilah saat-saat manis bersama
dengan Allah.
Mengenang saat-saat manis bersama dengan Allah penting bagi pemazmur dan
juga bagi kita, khususnya saat jiwa kita gundah gulana dan meragukan kasih Allah.
Kenangan ini memaksa kita melihat lagi “album foto” kenangan kita dengan Allah.
Ada banyak peristiwa-peristiwa indah yang telah kita lewatkan bersama-sama
dengan-Nya. Saat-saat di mana kita merasa kagum kepada pribadi-Nya, kasih-Nya,
kebaikan-Nya. Tak ada keraguan sedikit pun bahwa Ia adalah Allah yang selalu
menepati janji-Nya. Nah, kenangan-kenangan manis inilah yang akan menjadi
starting step mengembalikan iman kita kepada-Nya.
Kenangan manis itu saya jepret dalam kamera ingatan saya. Setiap kali saya
melihatnya lagi, saya selalu berkata pada diri saya sendiri,  “Tuhan itu sangat
mengasihi saya, sampai-sampai Ia rela menjadi montir saya.”  Ini adalah salah satu
“foto” kenangan saya bersama dengan Allah. Bila saya melihat “foto-foto” kenangan
yang lain, hati saya penuh dengan rasa haru atas kebaikan Allah yang melimpah.
Hal ini sangat menolong saya untuk tetap percaya kepada Allah, khususnya saat
saya  menghadapi kelamnya kehidupan.
Pada waktu persoalan hidup yang berat dan beruntun datang dalam hidup kita,
kebanyakan kita akan cenderung terpaku pada persoalan-persoalan tersebut.
Ketika tidak mendapatkan solusinya, kita cenderung  menyalahkan Allah. Kita
kecewa kepadanya dan meragukan kasih-Nya. Kita lupa bahwa Ia adalah Allah yang
selalu mengasihi kita. Lihatlah kembali “album foto” kenangan Saudara bersama
dengan Allah! Masihkah Saudara akan menganggap Ia jahat?

Mengendalikan perasaan dengan pikiran


Hal Kedua: yang diperbuat pemazmur untuk membangkitkan imannya kembali
ialah mengendalikan perasaannya dengan pikirannya. Kepada jiwanya Pemazmur
bertanya, “Mengapa engkau tertekan hai jiwaku, dan gelisah dalam diriku?” (ay.
6a).  Dalam diri  pemazmur seolah-olah ada dua pribadi yang saling silang pendapat,
yaitu pikiran dan jiwa. Pikiran mewakili pengenalannya akan Allah; sedangkan, jiwa
mewakili perasaannya yang berespon terhadap persoalan-persoalan hidup yang
dihadapinya. Selama ini diri pemazmur dikuasai oleh perasaannya sehingga
imannya terombang-ambing.  Namun, setelah membuka kembali album kenangan
bersama Allah dan memperoleh keyakinan bahwa selama ini Allah adalah Pribadi
yang baik dan setia, ia menegur jiwanya, “Mengapa engkau tertekan hai jiwaku, dan
gelisah dalam diriku?” Tampak jelas ada nada ketidaksenangan di dalam
pertanyaan ini. Walaupun tampaknya Allah enta dimana, tidak peduli, tidak
bertindak apa-apa untuk menolong dia dan bangsanya, itu bukan berarti bahwa
Allah tidak setia. Pemazmur menyadari bahwa ia tidak boleh dikendalikan oleh
perasaannya sendiri.
Setelah Elia memperoleh kemenangan iman yang besar dengan mengalahkan
450 nabi Baal dan membunuh mereka semua, ia dikuasai oleh perasaan takut
mendengar ancaman pembunuhan yang diberikan oleh Izebel. Segera ia bangkit dan
melarikan diri ke Bersyeba, ke padang gurun. Dalam kefrustrasian menanggung
tantangan hidup yang berat, ia merasa ingin mati. Elia larut dalam perasaannya. Ia
merasa cemas, gelisah, dan sendiri. Pikirannya atau pengenalannya akan Allah
dikalahkan oleh perasaannya. Padahal, dengan mata kepala sendiri, ia baru saja
menyaksikan api Tuhan menyambar habis korban bakaran yang menandakan kuasa
Allah lebih besar daripada kuasa siapa pun. Pengalamannya bersama dengan Allah
itu seharusnya meneguhkan imannya. Tetapi sayangnya perasaaannya lebih banyak
berperan, maka terombang-ambinglah dia.
Jerry Bridges, seorang tokoh dari Navigator, berkata, “Ketika kita
menghadapi situasi-situasi yang sulit, emosi kita menguasai pikiran kita. Ketika
kita merasa Allah sangat jauh, maka Allah akan menjadi sangat jauh. Ketika kita
merasa kesepian, maka Allah tidak akan berserta dengan kita.” Tentu saja ia tidak
bermaksud mengatakan bahwa keberadaan Allah ditentukan oleh perasaan kita,
melainkan betapa riskannya apabila teologi kita ditentukan oleh perasaan kita.
Perasaan itu subyektif. Penilaiannya sering didasarkan bukan pada benar atau
salah, melainkan mana lebih menyenangkan, lebih nyaman. Lagi pula, ia mudah
berubah-ubah tergantung situasi. Oleh karena itu, bila iman kita didasarkan atas
perasaan bukan pada pikiran atau pengenalan yang kokoh, sulitlah bagi kita untuk
mempunyai iman yang stabil dalam menghadapi badai gelombang hidup kita.
Saya yakin seharusnya teologi kita dibangun atas pengetahuan  akan Allah
sebagaimana yang dinyatakan oleh Alkitab. Dari firman-Nya kita mengetahui Allah
berkata, “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak
akan meninggalkan engkau” (Ibr. 13:5). Ini adalah janji Allah.

Menaruh Harapan kepada Allah sebagai satu-satunya sumber pertolongan


Hal ketiga; yang diperbuat pemazmur untuk membangkitkan imannya kembali
ialah dengan berharap lagi kepada Allah sebagai penolong dan Allahnya. Setelah
pemazmur menegur jiwanya yang terombang-ambing, dengan mantap ia
memerintahkannya, “Berharaplah kepada Allah!” (ay. 6a). Sekarang pengenalannya
akan Allah mulai mendominasi perasaan pesimisnya. Ia bangkit dari perasaan
mengasihi diri sendiri dan kembali percaya bahwa Allah tidak pernah
meninggalkannya. Walaupun doanya belum terjawab, permohonannya belum
terpenuhi, dan keadaannya belum berubah, ia beriman bahwa Allah hadir sama
seperti ketika dulu di Yerusalem. Itulah sebabnya, ia berkata, “Sebab aku akan
bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku” (ay. 6b). Suatu komitmen telah
dibuat, komitmen untuk bersyukur kepada Tuhan seperti dulu. Eugene Peterson
menerjemahkan “Allahku, Penolongku” dengan “He Puts a smile on my face, He is
my God”  yang secara harafiah dapat diterjemahkan menjadi, “Ia menaruh sebuah
senyuman di wajahku, Ia adalah Allahku.” Wajah pemazmur yang dirundung ratapan,
kini berubah menjadi sukacita karena ia kembali berharap kepada Allah.
Menunggu 11 tahun lahirnya seorang anak dalam pernikahan bukan waktu
yang singkat dan mudah, tetapi akhirnya apa yang diharapkan pasutri ini tiba juga.
Betapa tak terkiranya kebahagiaan mereka. Sebut saja nama mereka Naomi dan
David, dua orang anak Tuhan yang setia dalam melayani Tuhan. Hati yang penuh
dengan luapan syukur mendorong mereka untuk bersaksi di mana-mana bahwa
Allah itu kasih dan mukjizat itu nyata dalam diri mereka.
Semuanya berjalan dengan baik sampai memasuki bulan kelima, suatu pagi
perut Naomi terasa sakit, pendarahan terjadi, dan suhu tubuhnya meninggi. Segera
ia menelpon suaminya dan pergi ke rumah sakit dengan taksi. Atas instruksi dokter
kandungan, ia dilarikan ke Unit Gawat Darurat.
Setelah beberapa jam melewati pemeriksaan, USG, dan diinfus, akhirnya
dokter dengan sangat hati-hati memberitahukan bahwa bayinya telah meninggal.
Melihat kondisi Naomi yang mengkuatirkan, dokter menyarankan kepada David
untuk  mengizinkan istrinya dioperasi darurat. Pasutri ini berpelukan sambil
menangis. Pengharapan akan hadirnya si kecil hilang sudah.
Paskah operasi, pasutri ini tenggelam dalam dukacita yang panjang. Mereka
sungguh tidak siap menerima kenyataan yang menimpa mereka. Hal yang lebih
buruk terjadi pada Naomi. Ia tak mampu membendung duka yang selalu bergejolak
dalam hatinya. Ada kemarahan kepada Allah dalam hatinya. Baginya sungguh tidak
masuk di akal bila Allah yang Maha Kuasa tak mampu menjaga bayinya. Yang benar
adalah Allah tak mau menjaganya.
Selama dua tahun Naomi tidak dapat berdoa kepada Tuhan. Ia pun tidak  mau
melayani lagi. Sering kali ia bermimpi menggendong bayinya, tersenyum dan
tertawa bersama dengannya. Kala ia bangun dan menemukan realita, hidupnya
kehilangan harapan.
Berharap kepada Allah di masa-masa sulit, apalagi setelah Allah  tampak
mendiamkan kita dalam pergumulan yang panjang, bukanlah hal mudah. Saya
percaya itu tidak semudah seperti kita memutuskan akan pergi ke Mall atau tidak.
Namun, menjalani masa-masa sulit tanpa harapan, ibarat sebuah sampan yang
terkatung-katung tanpa arah di tengah lautan luas dan buas. Harapan kepada Allah
adalah keyakinan bahwa apa yang Allah firmankan atau janjikan akan terjadi dalam
hidup kita. Harapan berkaitan dengan iman. Ketika kita percaya kepada Allah
dengan segala perkataan-Nya, kita mempunyai harapan.
Berharap kepada  Allah tidak berarti kesulitan-kesulitan hidup selesai,
kadang malah memberat. Namun semangat hidup berubah, kita mendapat
keyakinan.  Kita tidak lagi seperti orang yang meraba-raba dalam gelap, tetapi
berjalan dalam kepastian. Dalam kepedihan Yesus menjerit “Allahku, Allahku,
mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Suatu pertanyaan absah yang lahir dari hati
yang tersayat: digantung oleh manusia dan ditinggalkan Allah. Allah, satu-satunya
tempat perlindungan yang diharapkan dapat menaungi-Nya, malah memalingkan
wajah-Nya. Namun, beberapa saat sebelum hembusan nafas terakhirnya, Ia kembali
menyatakan iman dan pengharapan-Nya kepada Allah. Ia berkata, “Bapa, kepada-Mu
kuserahkan nyawa-Ku.” Penderitaan dan kematian tidak berlalu, tetapi
pengharapan-Nya kepada Tuhan memberi Dia keberanian dan damai sejahtera untuk
menjalani semua yang harus Dia jalani. Dalam kalimat terakhir-Nya, “Sudahlah
genap”, kita mendapati Yesus telah mengubah nada ratapan-Nya menjadi
kemenangan.
Ratapan dukacita Naomi baru berubah menjadi sukacita ketika suatu kali ia
berbicara dengan seorang gadis kecil yang baru saja kehilangan adiknya karena
penyakit Leukemia. Gadis itu berkata, “Tante Naomi tahu enggak? Saat adikku
sangat menderita dan tak ada dokter yang dapat meringankan sakitnya, Tuhan
Yesus datang memeluknya.  Begitu sayang Tuhan sama adikku, lalu digendongnya
ia ke sorga.” Tenggorokkan Naomi tersekat sampai-sampai ia tidak dapat berbicara
apa-apa. Pemahaman teologi gadis kecil itu membuka selaput mata imannya yang
selama ini tertutup dengan kepicikan. Ia tidak pernah melihat seperti gadis kecil ini
melihat Allah. Tuhan tidak jahat, Ia baik; Tuhan tidak absen, Ia selalu hadir dan
bertindak. Sepanjang perjalanan  pulang, entah bagaimana album kenangan
bersama dengan Allah tiba-tiba terbuka dalam pikirannya. Ia melihat lagi satu per
satu “foto-foto” itu. Derai air matanya mengalir, hatinya berbisik kepada Tuhan,
“Engkau baik, Tuhan!” Ajaib sekali, tiba-tiba ia merasakan pelukan Tuhan. Suatu
pelukan yang memberikan rasa damai yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.
Ada air yang mengalir dalam tubuhnya, dan ia sepenuhnya telah terhubung dengan
sumber air itu. Pengharapannya terbangun kembali.

Penutup
Pada hari puncak perayaan Pondok Daun, hari yang ke-7, Yesus berdiri di
tengah-tengah orang Yahudi dan berseru, “Barangsiapa haus, baiklah ia datang
kepada-Ku dan minum.” Orang-orang Yahudi dalam perayaan tersebut
mengharapkan air hujan untuk panen mereka, tetapi Tuhan mengetahui kebutuhan
mereka yang paling utama: air hidup yang memberikan kelegaan atas kehausan
rohani mereka. Karena itu, Ia mengundang siapa saja yang merasa dahaga dan
kekeringan akan hadirat Allah untuk datang kepada-Nya dan menerima kelegaan.
Dalam Wahyu 21:6 Yesus berkata, “Aku adalah Alfa dan Omega, Yang Awal dan
Yang Akhir. Orang-orang yang haus akan Kuberi minum dengan cuma-cuma dari
mata air kehidupan.” Yesuslah sumber air kehidupan itu sendiri.
Datanglah kepada Yesus! Berharaplah kepada-Nya! Jangan biarkan diri kita
berlarut-larut dalam kesedihan, hidup kita akan hancur! Tetaplah percaya dan
berharap  kepada Allah sebagai penolong kita meskipun kita tidak tahu dimana
Allah ketika kita berada di tengah-tengah pergumulan hidup kita yang berat. Tiba
waktunya Ia akan mengubah ratapan kita menjadi genderang kemenangan. INILAH
DOA DAN HARAPAN KITA SEMUA......

TUHAN MEMBERKATI

Anda mungkin juga menyukai