MAKALAH
PRANATA SOSIAL, NORMA DAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN
STRATIFIKASI SOSIAL DAN MOBALITAS SOSIAL
KELOMPOK 4 :
ANGGUN MANSYUR
ALIYA RAMADHANI
MUH. ADY PURNANDA
ANATASYA JULNIKE M.
AHMAD SUAIB
A. Latar Belakang
Banyaknya kriminalitas yang terjadi membuat kita perlu membahas tentang
norma- norma dan lembaga sosial atau lembaga kemasyarakatan. Di dalam masyarakat
manusia selalu ada, dan selalu dimungkinkan adanya, apa yang disebut double reality. Di
satu pihak ada sistem fakta, yaitu sistem yang tersusun atas segala apa yang senjatanya
di dalam kenyataan ada, dan di lain pihak ada sistem normatif, yaitu sistem yang berada
di dalam mental yang membayangkan segala apa yang seharusnya ada.
Sistem fakta dan sistem normatif di atas itu sesungguhnya bukan realita yang
identik. Namun, meskipun tidak identik, kedua realitas itu pun sama sekali tidak saling
berpisahan. Antara keduanya ada pertalian yang erat; secara timbal balik, yang satu
amat memengaruhi yang lainnya.
Pertama- tama, sistem fakta berfungsi sebagai determinan sistem normatif.
Artinya, bahwa apa yang dibayangkan di dalam mental sebagai suatu keharusan itu
sesungguhnya adalah sesuatu yang di alam kenyataan merupakan sesuatu yang betul-
betul ada, dan atau yang mungkin ada. Norma atau keharusan selalu dipertimbangkan
dalam kenyataan dan mempertimbangkan pula segala kemungkinan- kemungkinan yang
ada dalam situasi fakta. Orang tidak akan mungkin diwajibkan melakukan tindakan yang
tidak akan dikerjakan oleh orang pada umumnya.
Sementara itu, di lain pihak sistem normatif pada gantinya balik memengaruhi
sistem fakta (kenyataan). Di dalam hal ini, wujud dan bentuk perilaku- perilaku kultural
yang di alam kenyataan ditentukan oleh pola- pola kultural[1] yang telah
diketahui apriori[2] di dalam mental sebagai keharusan- keharusan yang harus
dikerjakan. “Mengapa perilaku- perilaku pada kenyataannya berhal demikian” itu tidak
lain adalah karena “sistem dan tertib” normatifnya memang mengharuskan hal dan
keadaan yang demikian itu. Dengan jalan membebankan keharusan- keharusan yang
disebut norma- norma sosial itu, maka secara keseluruhan dapat diwujudkan suatu
aktifitas bersama yang tertib yang dapat digerakkan secara efektif ke arah pemenuhan
keperluan- keperluan dan hajat- hajat hidup masyarakat.
B. Ruang Lingkup
1. Pranata Sosial
2. Norma Dan Lembaga Kemasyarakatan
C. Pembahasan
1. Pranata Sosial
a. Pengertian Pranata Sosial
Pranata juga berasal dari bahasa latin instituere yang berarti mendirikan.
Kata bendanya adalah institution yang berarti pendirian. Dalam bahasa Indonesia
institution diartikan institusi (pranata) dan institut (lembaga). Institusi adalah
sistem norma atau aturan yang ada. Institut adalah wujud nyata dari norma-
norma.
Pranata adalah seperangkat aturan yang berkisar pada kegiatan atau
kebutuhan tertentu. Pranata termasuk kebutuhan sosial. Seperangkat aturan
yang terdapat dalam pranata termasuk kebutuhan sosial yang berpedoman
kebudayaan. Pranata merupakan seperangkat aturan, bersifat abstrak.
Menurut Koentjaraningrat, istilah pranata dan lembaga sering dikacaukan
pengertiannya. Sama halnya dengan istilah institution dengan istilah institute.
Padahal kedua istilah itu memiliki makna yang berbeda.
Menurut Horton dan Hunt (1987), pranata sosial adalah suatu sistem norma
untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang
penting. Dengan kata lain, pranata sosial adalah sistem hubungan sosial yang
terorganisir yang mengejawantahkan nilai-nilai serta prosedur umum yang
mengatur dan memenuhi kegiatan pokok warga masyarakat. Oleh karena itu,
ada tiga kata kunci di dalam setiap pembahasan mengenai pranata sosial yaitu:
1). Nilai dan norma.
2). Pola perilaku yang dibakukan atau yang disebut prosedur umum.
3). Sistem hubungan, yakni jaringan peran serta status yang menjadi wahana
untuk melaksanakan perilaku sesuai dengan prosedur umum yang berlaku.
2) Pranata Politik
Pranata Politik adalah peraturan-peraturan untuk memelihara tata tertib,
untuk mendamaikan pertentangan-pertentangan dan untuk memilih pemimpin
yang wibawa. Fungsi pranata politik yaitu :
a) Melaksanakan undang-undang yang telah disahkan,
b) Melembagakan norma melalui undang-undang yang dibuat oleh lembaga
legislatif
c) Menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi diantara warga masyarakat, dll.
Contoh Pranata politik adalah seperti sistem hukum, sistem kekuasaan,
partai,wewenang, pemerintahan.
3) Pranata Pendidikan
Tujuan pranata pendidikan ialah memberikan ilmu pengetahuan,
pendidikan sikap, dan melatih keterampilan kepada warga agar seseorang dapat
mandiri dalam mencari penghasilan. Contohnya seperti Kegiatan Belajar
Mengajar, sistem pengetahuan, aturan, kursus, pendidikan keluarga, ngaji.
4) Pranata Kepercayaan/Agama
Fungsi pokok pranata agama adalah memberikan pedoman bagi manusia
untuk berhubungan dengan Tuhannya dan memberikan dasar perilaku yang ajeg
dalam masyarakat. Contohnya seperti upacara semedi, tapa, zakat, infak, haji dan
ibadah lainnya.
5) Pranata Kesenian
Fungsi Pranata Kesenian adalah untuk memenuhi kebutuhan manusia akan
keindahan, contohnya seperti seni suara, seni lukis, seni patung, seni drama, dan
sebagainya.
6) Pranata Total
Masyarakat merupakan tatanan pranata sosial. Kehidipan dalam masyarakat
berarti adanya kesempatan berpindah dari satu pranata ke pranata lain. Warga
masyarakat mengalami perpindahan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya
kehidupan siswa SMA biasanya sejak pagi hingga malam hari ditandai oleh
perpindahan tsb. Pagi hari ketika bangun tidur siswa tsb berada dalam pranata
keluarga. Norma-norma yang mengatur, cara berpikir, bertindak, dan berperasaan
bersumber pada pranata keluarga. Kemudian pindah ke pranata pendidikan dan
rekreasi. Begitu seterusnya sampai pulang ke rumah.
7) Pranata Dominan
Pranata dominan merupakan pranata sosial yang menuntut loyalitas penuh
dari orang-orang yang berada dibawah naungannya. Contohnya militer dan pranata
sekte keagamaan.
b) Hubungan Pranata Sosial dengan Geografi
Pranata sosial merupakan sistem norma khusus yang mengatur tindakan
manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pranata sosial di setiap daerah
berbeda-beda. Hal ini disebabkan tuntutan hidup masyarakat disekitar.
2. Norma Dan Lembaga Kemasyarakatan
A. Pengertian Norma Sosial
Norma ialah “suatu petunjuk, perintah, atau anjuran untuk mengatur
kelakuan anggota kelompok. Norma dapat bersifat positif dan juga bersifat
negatif”.[3] Di dalam kenyataan sehari- hari, kehidupan sosial manusia tidaklah
hanya berwujud suatu jumlah perilaku dan hubungan- hubungan antarmanusia di
alam kenyataan ini saja, melainkan sekaligus juga berwujud suatu sistem
determinan yang disebut sistem norma. Apabila perilaku- perilaku riil warga
masyarakat dapat kita amati wujudnya yang konkret di alam fakta, norma- norma
determinan yang mendasari perilaku- perilaku riil itu dapat kita hayati di alam ide
masyarakat. Memahami perilaku dan hubungan- hubungan anatarmanusia
sebagaimana wujudnya di alam fakta yang riil saja jelas belum cukup sempurna;
begitu pula memahami bagaimana perilaku- perilaku dan hubungan- hubungan
anatarmanusia di dalam masyarakat itu seharusnya menurut norma- norma saja
belum cukup sempurna.
Norma- norma kemasyarakatan memberikan petunjuk bagi seseorang yang
hidup di dalam mayarakat.[4] Norma- norma sosial atau norma- norma
kemasyarakatan itu dalam prakteknya mempunyai lemah kuatnya mengikat
kepada anggota- anggotanya. Tingkatan lemah- kuatnya norma- norma itu
menunjukkan kekuatan yang dapat digunakan untuk memaksa kepada seseorang
(para anggota masyarakat) untuk mentaati aturan yang terkandung di dalamnya.
Ada berbagai macam jenis norma- norma sosial, yang tak selamanya dapat
mudah dibedakan satu sama lain. Oleh karena itulah usaha- usaha meangadakan
klasifikasi yang sistematis amatlah sukar. Satu diantara usaha- usaha ini mencoba
membedakan norma- norma sosial disokong oleh sanksi- sanksi yang tidak
seberapa berat serta tidak mengancamkan ancaman- ancaman fisik, sedangkan
satu golongan lagi berlaku dengan sokongan- sokongan sanksi- sanksi yang berat
serta disertai dengan ancaman- ancaman fisik.
Ada satu pembedaan lagi yang mencoba membedakan norma- norma sosial
itu atas dasar bagaimana masing- masing norma itu dilahirkan dan berlaku di
dalam masyarakat. Ditanyakan, apakah norma- norma itu dilahirkan secara sengaja
lewat perundang- undangan, ataukah lahir secara berangsur- angsur tanpa disadari
lewat kebiasaan- kebiasaan dan praktik- praktik hidup kemasyarakatan. Namun,
cara apa pun juga yang ditempuh untuk membedakan norma- norma itu satu sama
lain ialah bahwa batas pembedaan satu sama lain tidak selamanya jelas. Norma-
norma dalam masyarakat dapat diklasifikasi sebagai berikut:
a) Usage (cara)
Ialah bentuk perbuatan atau kebiasaan bertingkah laku. Usage lebih
menonjol di dalam hubungan antarindividu di dalam masyarakat. Suatu
penyimpangan terhadapnya tidak akan mengakibatkan hukuman yang berat,
paling- paling hanya celaan saja dari pribadi (individu) lain. Misalnya, tata cara
berbicara (berpendapat) di dalam musyawarah warga, ada yang berbicara
dengan penuh wibawa dan ada juga yang cara berbicaranya dengan berapi-
api. Dalam cara yang terakhir biasanya dianggap kurang sopan. Dan untuk hal
itu, tidak ada hukuman, mungkin hanya dicela saja.
b) Folkways (kebiasaan)
Diterjemahkan menurut arti kata- katanya, folkways berarti tata cara
(ways) yang lazim dikerjakan atau diikuti oleh rakyat kebanyakan (folk). Di
dalam literatur- literatur sosiologi, folkways dimaksudkan untuk menyebutkan
seluruh norma- norma sosial yang terlahir dari adanya pola- pola perilaku yang
selalu diikuti oleh orang- orang kebanyakan-di dalam hidup mereka sehari-
harinya-karena dipandang sebagai suatu hal yang lazim. Folkways juga bisa
diartikan sebagai perbuatan yang diulang- ulang dalam bentuk yang sama, yang
diakui dan diterima masyarakat.
Folkways mempunyai kekuatan mengikat yang lebih besar
daripada usage. Adalah bukti bahwa orang- orang lebih banyak
menyukai folkways karena merupakan perbuatan yang diulang- ulang dalam
bentuk yang sama. Misalnya, kebiasaan memakai celana panjang jika
seseorang pergi ke kantor, tetapi ada seseorang yang memakai sarung-contoh-
ke kantor, maka perbuatan tersebut-dia memakai sarung-akan dianggap
sebagai suatu penyimpangan.
c) Mores (tata kelakuan)
Mores bisa diartikan sebagai kebiasaan yang diterima sebagai norma
pengatur. Oleh karena itu selalu dipertahankan oleh ancaman sanksi- sanksi
yang lebih keras. Pelanggaran terhadap mores selalu disesali dengan sangat,
dan orang selalu berusaha dengan amat kerasnya agar mores tidak dilanggar.
Kesamaan mores dan folkways terletak pada kenyataan bahwa kedua-
duanya tidak jelas asal- usulnya, terjadi tidak terencana. Dasar eksistensi[5]nya
pun tidak pernah dibantah, dan kelangsungannya-karena didukung tradisi-
relatif amat besar. Kesamaan lain ialah bahwa kedua- duanya dipertahankan
oleh sanksi- sanksi yang bersifat informal[6] dan komunal[7], berupa sanksi
spontan dari kelompok sosial dimana kaidah- kaidah tersebut hidup. Walaupun
ada kesamaan- kesamaan antara folkways dan mores,
namun mores dipandang sebagai hakikat dari kebenaran. Mores adalah segala
norma yang secara moral dipandang benar. Pelanggaran terhadap mores selalu
dikutuk sebagai sesuatu hal yang secara moral tidak dibenarkan. Mores tidak
memerlukan dasar pembenaran, karena mores itu sendiri adalah sesuatu yang
sungguh- sungguh telah bernilai benar. Mores tidak bisa diganggu gugat untuk
diteliti benar-tidaknya; sedangkan folkways-di lain pihak-, benar- tidaknya
masih agak leluasa untuk diperbantahkan.
d) Custom (adat istiadat)
Ialah tata kelakuan yang kekal serta kuat integritas[8]nya dengan pola-
pola perilaku masyarakat dan dapat meningkat kekutan mengikatnya. Jika
dilanggar, maka sanksinya berwujud nestapa baginya. Misalnya, hukum adat
yang melarang terjadinya perceraian, kecuali jika salah satu dari kedua orang
itu meninggal, karena pernikahan dianggap sesuatu yang bersifat abadi.
Apabila terjadi perceraian, maka bukan hanya yang bersangkutan yang
namanya tercemar, seluruh keluarga atau ketururnannya akan ikut tercemar.
Biasanya orang yang melanggar akan dikucilkan dari masyarakat.
e) Hukum
Masih ada beberapa masyarakat agraris yang primitif, kecil, terisolasi yang
keadaan tertibnya cukup dijamin oleh adanya folkways dan mores saja.
Masyarakat- masyarakat demikian ini lazimnya kecil- kecil saja, terdiri atas
beberapa puluh jiwa, dimana para warga masyarakatnya dengan mudah dapat
mengenali dan saling berkenalan dengan eratnya. Di dalam keadaan demikian
itu maka apa yang dilakukan oleh salah satu masyarakat itu dengan segera
akan dapat pula diketahui oleh seorang warga yang lain, dan karena itu
mendapatkan sorotan perhatian.
Kenyataannya tidak semua masyarakat dapat menegakkan ketertiban
secara apa yang dilakukan oleh masyarakat- masyarakat kecil dan terisolasi
seperti itu. Pada masyarakat umumnya, diperlukan pula adanya segugus kaidah
yang lain, yang lazim disebut hukum, untuk menegakkan keadaan tertib sosial.
Berbeda halnya dengan folkways dan mores, pada hukum didapati adanya
organisasi-politik khususnya, yang secara moral dan berprosedur bertugas
memaksakan ditaatinya kaidah- kaidah sosial yang berlaku. Inilah organisasi
yang lazim dikenal nama badan peradilan. Apabila suatu mores memerlukan
kekuatan organisasi peradilan semacam itu agar penataannya bisa dijamin,
maka sesegera itu pula mores itu telah bisa dipandang sebagai hukum. Di sisi
lain, karena mores itu tak lain adalah kaidah- kaidah yang tak tertulis, maka
hukum yang dijadikan dari mores-dengan ditunjang oleh wibawa suatu struktur
kekuasaan politik-ini pun lalu merupakan hukum yang tidak tertulis (hukum
adat, costumary law).
f) Nilai
Nilai adalah gagasan mengenai apakah suatu pengamalan itu berarti
atau tidak berarti Nilai pada hakikatnya mengarahkan perilaku dan
pertimbangan seseorang, tetapi ia tidak menghakimi apakah sebuah perilaku
tertentu itu salah atau benar.
Nilai adalah suatu hal yang penting dari kebuadayaan. Suatu tindakan
dianggap sah –secara moral dapat diterima-kalau harmonis dengan nilai- nilai
yang disepakati dan dijunjung oleh masyarakat dimana tindakan itu dilakukan.
Ketika nilai yang berlaku menyatakan bahwa kesalehan beribadah adalah
sesuatu yang harus dijunjung tinggi, maka bila ada orang yang malas
beribadah tentu akan menjadi bahan pergunjingan.
1. Proses diterimanya Norma- norma ke Dalam Lembaga Sosial
Setelah norma- norma tersebut diatas tidak begitu saja menjadi
bagian dari lembaga sosial. Meskipun pada akhirnya akan menjadi
bagian tertentu dari lembaga soaial (kemasyarakatan), norma- norma
tersebut akan melalui proses tertentu. Proses tersebut dinamakan
proses pelembagaan (institutionalization process), yaitu suatu proses
yang dilewatkan oleh suatu norma yang baru untuk menjadi bagian dari
lembaga kemasyarakatan. Suatu norma tertentu dikatakan dikatakan
telah melembaga (intitutionalized) apabila:
1) Diketahui;
2) Dipahami atau dimengerti;
3) Ditaati; dan
4) Dihargai.
2. Sistem Pengendalian/Pengawasan (Sosial Control)
Agar anggota masyarakat menaati norma yang berlaku,
diciptakan sistem pengawasan sosial (sosial control), yakni sistem yang
dijalankan masyarakat agar selalu disesuaikan dengan nilai- nilai dan
norma yang berlaku di masyarakat. Pengendalian sosial dapat dilakukan
oleh individu terhadap individu lainnya (misalnya, seorang ibu mendidik
anak- anaknya untuk menyesuaikan diri pada kaidah- kaidah dan nilai-
nilai yang berlaku) atau mungkin dilakukan oleh individu terhadap suatu
kelompok sosial (misalnya, seorang dosen memimpin beberapa orang
mahasiswa di dalam kuliah- kuliah kerja).
Dengan demikian, pengendalian sosial terutama bertujuan untuk
mencapai keserasian antara stabilitas dengan perubahan- perubahan
dalam masyarakat. Atau, suatu sistem pengendalian sosial yang
bertujuan untuk mencapai keadaan damai melalui keserasian antara
kepastian dengan keadilan/kesebandingan.
Cara pengawasan/pengendalian sosial, dilakukan dengan:
1. Mempertebal keyakinan anggota masyarakat akan kebaikan nilai-
nilai dan norma- norma yang berlaku;
2. Memberikan penghargaan kepada setiap anggota masyarakat yang
taat kepada norma- norma yang berlaku;
3. Mengembangkan rasa malu dalam diri atau jiwa anggota
masyarakat apabila menyimpang dari norma yang berlaku;
4. Menimbulkan rasa takut;
5. Menciptakan sistem hukum, yaitu tata tertib dengan sanksi (pidana)
yang tegas kepada para pelanggarnya.
3. Lembaga Kemasyarakatan (Sosial Institution)
A. Pengertian Lembaga Kemasyarakatan
Lembaga kemasyarakatan mengandung pengertian adanya bentuk yang
sekaligus juga mengandung pengertian yang abstrak[11] berupa norma- norma
dan aturan- aturan tertentu yang menjadi ciri lembaga kemasyarakatan itu. Ciri-
ciri dari lembaga kemasyarakatan tersebut yaitu:
a) Suatu lembaga kemasyarakatan adalah suatu organisasi pola- pola pemikiran
dan perilaku yang terwujud melalui aktifitas- aktifitas kemasyaratakan dan
hasil- hasilnya.
b) Suatu tingkat kekekalan tertentu merupakan ciri semua lembaga
kemasyarakatan.
c) Lembaga kemasyarakatan mempunyai satu atau beberapa tujuan tertentu.
d) Lembaga kemasyarakatan mempunyai alat- alat perlengkapan yang
dipergunakan untuk mencapai tujuan lembaga yang bersangkutan.
e) Lembaga biasanya juga merupakan ciri khas lambaga kemasyarakatan.
f) Lembaga- lembaga atau institusi tidak lain adalah perwujudan dari norma-
norma dan aturan- aturan sosial yang terdapat di masyarakat dalam berbagai
segi kehidupan.
Contoh dari lembaga kemasyarakatan ialah:
1) Bidang ekonomi: lembaga hak milik, lembaga bank, lembaga koperasi
CV, dan lain- lain.
2) Bidang pendidikan: pesantren, madrasah, sekolah, akademi, universitas,
dan lain- lain.
3) Bidang agama: masjid, gereja, wakaf, dan lain- lain.
4) Bidang politik: desa, kecamatan, DPR, MPR, dan lain- lain.
5) Bidang keluarga: perkawinan, dan lain- lain.
B. Perbedaan Pranata Sosial dengan Lembaga Sosial
Institution (pranata) adalah sistem norma atau aturan yang menyangkut
suatu aktivitas masyarakat yang bersifat khusus. Sedangkan institute (lembaga)
adalah badan atau organisasi yang melaksanakannya. Lembaga sosial
merupakan wadah/tempat dari aturan-aturan khusus, wujudnya berupa
organisasi atau asosiasi. Contohnya KUA, mesjid, sekolah, partai, CV, dan
sebagainya. Sedangkan pranata sosial adalah suatu sistem tata kelakuan yang
mengatur perilaku dan hubungan antara anggota masyarakat agar hidup aman,
tenteram dan harmonis. Dengan bahasa sehari-hari kita sebut “aturan
main/cara main”. Jadi peranan pranata sosial sebagai pedoman kita
berperilaku supaya terjadi keseimbangan sosial. Pranata sosial merupakan
kesepakatan tidak tertulis namun diakui sebagai aturan tata perilaku dan sopan
santun pergaulan. Contoh: kalau makan tidak berbunyi, di Indonesia pengguna
jalan ada di kiri badan jalan, tidak boleh melanggar hak orang lain, dan
sebagainya. Jadi lembaga sosial bersifat konkret, sedangkan pranata sosial
bersifat abstrak, namun keduanya saling berkaitan.
Pranata adalah seperangkat aturan yang berkisar pada kegiatan atau
kebutuhan tertentu. Pranata termasuk kebutuhan sosial. Seperangkat aturan
yang terdapat dalam pranata termasuk kebutuhan sosial yang berpedoman
kebudayaan. Pranata merupakan seperangkat aturan, bersifat abstrak. Wujud
nyata dari pranata adalah lembaga. Untuk jelasnya lihat tabel berikut ini :
No. Kegiatan dan Kebutuhan Pranata Lembaga
D. Kesimpulan
Pranata juga berasal dari bahasa latin instituere yang berarti mendirikan. Kata
bendanya adalah institution yang berarti pendirian. Dalam bahasa Indonesia institution
diartikan institusi (pranata) dan institut (lembaga). Institusi adalah sistem norma atau
aturan yang ada. Institut adalah wujud nyata dari norma-norma.
Norma ialah “suatu petunjuk, perintah, atau anjuran untuk mengatur kelakuan
anggota kelompok. Norma dapat bersifat positif dan juga bersifat negatif”.[3] Di dalam
kenyataan sehari- hari, kehidupan sosial manusia tidaklah hanya berwujud suatu jumlah
perilaku dan hubungan- hubungan antarmanusia di alam kenyataan ini saja, melainkan
sekaligus juga berwujud suatu sistem determinan yang disebut sistem norma.
8. Stratifikasi Sosial Dan Mobalitas Sosial
A. Latar Belakang
Setiap masyarakat senantiasa mempunyai penghargaan tertentu terhadap hal-hal
tertentu dalam masyarakat yang bersangkutan. Penghargaan yang tinggi terhadap hal-hal
tertentu, akan menempatkan hal tersebut pada kedudukan yang lebih tinggi dari hal-hal
lainnya. Misalnya jika masyarakat menghargai kekayaan material daripada kehormatan
maka mereka yang memiliki kekayaan tinggi akan menempati kedudukan yang tinggi
dibandingkan pihak-pihak lainnya. Gejala tersebut akan menimbulkan lapisan masyarakat
yang merupakan pembedaan posisi seseorang atau suatu kelompok dalam kedudukan
berbeda-beda secara vertikal.
Sebagaimana filosof Aristoteles (Soekanto, 2003:227) mengatakan bahwa zaman
dahulu di dalam negara terdapat tiga unsur yaitu mereka yang kaya sekali, yang melarat
dan yang berada di tengah-tengah. Membuktikan bahwa zaman itu dan sebelumnya
orang telah mengakui adanya lapisan masyarakat yang mempunyai kedudukan
bertingkat-tingkat dari bawah ke atas. Barang siapa yang mempunyai sesuatu yang
berharga dalam jumlah yang banyak, dianggap masyarakat berkedudukan dalam lapisan
atas. Mereka yang hanya sedikit sekali atau tidak memiliki sesuatu berharga dalam
pandangan masyarakat mempunyai kedudukan yang rendah.
Sistem lapisan dalam masyarakat dalam sosiologi dikenal dengan sebutan stratifikasi
sosial (social stratification). Ini merupakan pembedaan masyarakat ke dalam kelas-kelas
secara bertingkat. Kelas sosial tersebut dibagi dalam tiga kelas yaitu kelas atas (upper
class), kelas menengah (middle class) dan kelas bawah (lower class).
Adanya lapisan masyarakat sangat berperan penting dalam aktivitas sosial individu
atau kelompok dalam suatu organisasi sosial. Tanpa lapisan sosial dalam masyarakat
maka masyarakat itu akan menarik untuk dilihat, dikenal, dan dipelajari.
Lapisan masyarakat sudah ada sejak dulu, dimulai sejak manusia itu mengenal
adanya kehidupan bersama dalam suatu organisasi sosial. Lapisan masyarakat mula-mula
didasarkan pada perbedaan seks, perbedaan antara yang pemimpin dan yang dipimpin,
golongan budak dan bukan budak, pembagian kerja bahkan pada pembedaan kekayaan.
Semakin maju dan rumit teknologi suatu masyarakat, maka semakin kompleks sistem
lapisan masyarakat.
Bentuk-bentuk kongkrit lapisan masyarkat berbeda-beda dan sangat banyak.
Namun secara prinsipil bentuk-bentuk lapisan sosial tersebut dapat diklasifikasikan ke
dalam tiga kelas yaitu ekonomi, politis, dan didasarkan pada jabatan-jabatan tertentu
dalam masyarakat. Ketiga bentuk pokok tadi memiliki keterkaitan yang erat satu sama
lainnya, dimana ketiganya saling mempengaruhi.
Secara teoritis, semua manusia dapat dianggap sederajat, namun dalam realitanya
hal tersebut tidak demikian adanya. Pembedaan atas lapisan merupakan gejala
universal yang merupakan bagian sistem sosial setiap masyarakat. Sistem lapisan
dengan sengaja dibentuk dan disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama. Sehingga
suatu organisasi masyarakat tidak akan pernah lepas dari terbentuknya lapisan sosial
dalam masyarakat tersebut.
i. Ruang Lingkup
1. Stratifikasi Sosial
2. Mobalitas Sosial
ii. Pembahasan
1. Stratifikasi Sosial
a. Pengertian Stratifikasi Sosial
Stratifikasi sosial merupakan suatu konsep dalam sosiologi yang melihat
bagaimana anggota masyarakat dibedakan berdasarkan status yang dimilikinya.
Stratifikasi berasal dari kata stratum yang berarti strata atau lapisan dalam
bentuk jamak.Sebagaimana Pitirin A. Sorokin mendefinisikan stratifikasi sebagai
pembedaan penduduk atau anggota masyarakat ke dalam kelas-kelas secara
hierarkis. Sedangkan menurut Bruce J. Cohen sistem stratifikasi akan
menempatkan setiap individu pada kelas sosial yang sesuai berdasarkan kualitas
yang dimiliki. Sementara Max Weber mendefinisikan stratifikasi sosial sebagai
penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu sistem sosial tertentu ke
dalam lapisan-lapisan hierarki menurut dimensi kekuasaan, previllege dan
prestise.
Menurut Para Ahli :
Pengertian : Stratifikasi sosial atau pelapisan sosial adalah pembedaan penduduk
atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (vertikal).
1. Aristoteles : Pada jaman kuno di dalam setiap negara terdapat tiga unsur,
yaitu mereka yang kaya sekali, mereka yang melarat dan mereka yang
berada di tengah-tengahnya.
2. Adam Smith : Masyarakat di bagi menjadi tiga, yaitu orang-orang yang hidup
dari penyewaan tanah, orang-orang yang hidup dari upah kerja, dan orang-
orang yang hidup dari keuntungan perdagangan.
3. Thorstein Veblen : Membagi masyarakat dalam dua golongan yaitu
golongan pekerja yang berjuang mempertahankan hidup dan golongan yang
banyak mempunyai waktu luang karena kekayaannya.
4. Prof. Selo Soemardjan : Pelapisan sosial akan selalu ada selama dalam
masyarakat terdapat sesuatu yang dihargai.
5. Robert M.Z. Lawang : Pelapisan sosial merupakan penggolongan orang-
orang dalam suatu sistem sosial tertentu secara hierarkhis menurut dimensi
kekuasaan, privelese, dan prestise
2) Stratifikasi Politik
Persoalan kekuasaan yang terjadi dikalangan politik, dibagi 2 kelas, yaitu:
a) Kelas penguasa.
b) Kelas yang dikuasai.
c) Stratifikasi Status Sosial.
d) Terjadi karena adanya perbedaan status berdasaran kehormatan.
e) Stratifikasi Usia (age stratificasion).
f) Orang yang lebih muda selayaknya menghormati orang yang lebih
tua.
d. Ciri-Ciri Stratifikasi
2. Mobalitas Sosial
d. Mobilitas struktural
Menurut Bassis, mobilitas ini disebabkan oleh inovasi teknologi,
urbanisasi, pertumbuhan ekonomi, peperangan, dan kejadian-kejadian
lainnya yang mengubah struktur dan jenis kelompok-kelompok dalam
masyarakat.
Contoh : berubahnya pekerjaan suatu masyarakat dari masyarakat
agraris ke masyarakat industri.
2) Mobilitas sosial berdasarkan ruang lingkup
a. Mobilitas intragenerasi
Mengacu pada mobilitas sosial yang dialami seseorang selama masa
hidupnya. Mobilitas intragenerasi merupakan mobilitas vertikal dalam
generasi itu sendiri. Dengan kata lain, mobilitas intragenerasi terjadi
pada diri seseorang. Dalam tipe mobilitas intragenerasi terjadi pula
mobilitas ke atas dan bawah. Oleh karena itu, mobilitas tipe ini dapat
terjadi dalam dua bentuk sebagai berikut.
1). Mobilitas intragenerasi ke atas, misalnya pangkat naik dari
golongan IVA ke golongan IVB.
2). Mobilitas intragenerasi ke bawah, misalnya pangkat seorang
prajurit yang diturunkan karena ia melaukan tindakan indisiplinier.
b. Mobilitas antargenerasi
Mobilitas antargenerasi adalah perbedaan status yang dicapai
seseorang dari status orang tuanya. Mobilitas antargenerasi
merupakan mobilitas vertikal yang tidak hanya melibatkan dari
individu, tetapi terjadi dalam dua generasi. Dalam tipe mobilitas
antargenerasi, terjadi pula mobilitas yang naik dan turun sehingga
mobilitas antargenerasi dapat terjadi dalam dua bentuk berikut.
1). Mobiitas antargenersi ke atas, misalnya seorang anak menjadi
dokter, sementara ayahnya dahulu hanyalah petani miskin.
2). Mobilitas antargenerasi kebawah, misalnya seorang anak menjadi
karyawan biasa, sementara ayahnya dahulu adalah seorang
pengusaha yang memiliki banyak karyawan.
c. Faktor-Faktor Mobalitas Sosial
Faktor-faktor yang mendorong mobilitas sosial adalah :
1) status sosial
2) situasi politik
3) pembagian kerja
4) komunikasi yang bebas
5) perubahan kondisi sosial
6) pertumbuhan penduduk
7) tingkat fertilitas
8) ekspansi teritorial gerak populasi
Cara-cara yang dilakukan untuk melakukan mobilitas sosial, khususnya mobilitas
sosial vertikal ke atas adalah :
1) perubahan standar hidup
2) perubahan tempat tinggal
3) perubahan tingkah laku
4) perkawinan bergabung dengan organisasi tertentu
Faktor-faktor yang menhgambat mobilitas sosial adalah :
1) perbedaan ras dan kepercayaan
2) diskriminasi kelas
3) kemiskinan
4) pengaruh sosialisasi yang sangat kuat
5) perbedaan jenis kelamin
d. Saluran-Saluran Mobalitas Sosial
Saluran-saluran mobilitas sosial adalah :
1) angkatan bersenjata
2) lembaga-lembaga keagamaan
3) lembaga pendidikan sekolah
4) organisasi atau perserikatan ekonomi
5) organisasi keahlian
e. Dampak Mobalitas Sosial
Akibat-akibat mobilitas sosial :
1) mendorong seseorang untuk maju
2) mempercepat perubahan sosial
3) menimbulakn kecemasan dan ketegangan
4) keretakan hubungan dalam kelompok
5) menimbulkan pertentangan atau konflik seperti:
antarpribadi, antarkelas, antar kelompok dan antargenerasi
D. Kesimpulan
Stratifikasi sosial merupakan suatu konsep dalam sosiologi yang melihat bagaimana
anggota masyarakat dibedakan berdasarkan status yang dimilikinya. Stratifikasi berasal
dari kata stratum yang berarti strata atau lapisan dalam bentuk jamak.Sebagaimana
Pitirin A. Sorokin mendefinisikan stratifikasi sebagai pembedaan penduduk atau anggota
masyarakat ke dalam kelas-kelas secara hierarkis.
Secara etimologis, kata mobilitas sosial berasal dari bahasa Latin, yaitu
mobilis yang artinya mudah dipindahkan atau banyak bergerak. Mobilitas terjadi ketika
seseorang berpindah dari suatu posisi ke posisi lain, baik antarlapisan sosial berbeda
maupun dalam lapisan sosial yang sama.
Terjadinya mobilitas sosial berkaitan dengan hal-hal yang dianggap berharga dalam
masyarakat. Oleh karena itu, kepemilikan atas hal-hal tersebut akan menjadikan
seseorang menempati posisi atau kedudukan yang lebih tinggi. Akibatnya, dalam
masyarakat terdapat penggolongan yang memengaruhi struktur sosial. Hal-hal tersebut
antara lain kekuasaan, kehormatanm ilmu pengetahuan, dan kekayaan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulwahid, Idat, dkk. 2003. Pranata Sosial Dalam Masyarakat Sunda. Jakarta : Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.