Anda di halaman 1dari 25

PROGRAM ELEKTIF

SEMINAR ILMIAH DAN WORKSHOP


HIPERTENSI DAN DIABETES MELITUS

Pembimbing
dr. Ardhi Bustami, SpPD

Disusun Oleh :
Roro Sri Tanjung W P K

201910401011077

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2020
DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................1

1.1 Latar Belakang...............................................................................................1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................2

2.1 Hipertensi.......................................................................................................2

2.1.1 Definisi………………………………………………………………2

2.1.2 Epidemiologi……………………….....,…………………………….2

2.1.3 Etiologi………………………………..……………………………..2

2.1.4 Patofisiologi…………………………………………………………3

2.1.6 Diagnosis……………………………………………………………4

2.1.7 Tatalaksana…………………………………………………………6

2.1.8 Komplikasi……………………………………………………….....9

2.1.9 Prognosis…………………………………………………………..10

2.2 Diabetes Mellitus.........................................................................................10

2.2.1 Definisi……………………………………………………………..10

2.2.2 Epidemiologi………………………………………………………10

2.2.3 Etiologi dan Patofisiologi………………………………………….10

2.2.4 Diagnosis…………………………………………………………..14

2.2.5 Penatalaksanaan …………………………………………………..15

2.2.6 Komplikasi………………………………………………………..18

2.2.7 Prognosis…………………………………………………………19

BAB III..............................................................................................................20

KESIMPULAN..................................................................................................20

i
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................21

i
i
BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Saat ini diperkirakan 1,13 milyar orang di seluruh dunia memiliki

hipertensi, hampir 2 per 3 dari kejadian hipertensi adalah pada negara yang

memiliki pendapatan rendah, sedangkan jarang pada negara yang maju. Pada

tahun 2015 1 dari 4 laki-laki dan 1 dari 5 perempuan memiliki hipertensi.

Sedangkan di Indonesia sendiri, prevalensinya meningkat dari 27,8% ke 34,1%

pada usia populasi lebih dari 18 tahun. Hipertensi menjadi hal yang perlu

diperhatikan karena berdasarkan data, keluhan utama pasien dating ke rumah sakit

terbanyak adalah akibat hipertensi, serta hipertensi merupakan salah satu faktor

yang berkontribusi menjadi penyebab mortalitas melalui resiko penyakit miokard

infark, stroke, dan penyakit vascular lainnya.

Jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta tahun 2000

diperkirakan akan menjadi 21,3 juta pada tahun 2030 dan akan meningkat 2-3 kali

lipar pada tahun 2035. Peran dokter umum sebagai ujung tombak di pelayanan

kesehatan primer menjadi sangat penting. Kasus DM sederhana tanpa penyulit

dapat dikelola dengan tuntas oleh dokter umum di pelayanan kesehatan primer.

1
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hipertensi

2.1.1 Definisi

Hipertensi adalah adanya abnormalitas peningkatan tekanan darah pada

individu, yang ditandai dengan tekanan darah sistolik >139 mmHg dan atau

tekanan darah diastolic >89 mHg. Pengukuran berdasarkan dari 2 atau lebih

pengukuran tensi dan tekanan darah tetap tinggi pada 2 atau lebih kunjungan ke

rumah sakit. Hipertensi merupakan sindrom kardiovaskular yang progresif yang

disertai dengan kerusakan target organ dan biasanya terjadi sebelum peningkatan

tekanan darah tinggi ditemkan. Dahulu, peningkatan tekanan diastolik adalah

tanda penting untuk hipertensi, tetapi peningkatan sistolik ternyata memiliki

resiko yang lebih tinggi dibandingkan peningkatan diastolic.

2.1.2 Epidemiologi

Prevalensi dari hipertens sendiri, dibuktikan bahwa hamper 25% dari

seluruh usia dewasa memiliki hipertensi dengan tekanan darah lebih dari sama

dengan 140/90. Dan 50% dar usia lebih dari 65 tahun memiliki hipertensi.

Hipertensi meningkay 29% pada dewasa di tahun 2025 dikarenakan perubahan

demografik, peningkatan obesitas dan adanya urbanisasi.

2.1.3 Etiologi

Lebih dari 95% kasus tidak memiliki penyebab primer dan disebut sebagai

“essential hypertension”. Pada kurang dari 5% pasien yang memiliki hipertensi,

terjadi akibat adanya kelainan pada renal atau adrenal. Pada essential hypertension

2
atau primary hypertension, hipertensi terjadi akibat interaksi dari beberapa faktor

lingkungan seperti diet, aktivitas fisik yang kurang, stress dan alcohol. Dan hal

yang penting dalam kejadian hipertensi yaitu faktor genetic.

2.1.4 Patofisiologi

Beberapa faktor dapat berkontribusi terhadap patofisiologi dari hipertensi,

seperti adanya sistemik dan local renin angiotensin (RAAS), Sistem nervus

simpatik, resistensi insulin, obesitas, kekakuan dari dingin arteri, bahan bahan

vasoaktif seperti nitrit oksida dan endotelin, lalu gangguan fungsi endothelial,

sistem kalikrein kinin, dan natriuretic peptide.

Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon

pembuluh darah terhadap rangsang vasokontriktor. Individu dengan hipertensi sangat

sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal

tersebut bisa terjadi. Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang

pembuluh darah sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang

mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi. Medula adrenal mengsekresi epinefrin

yang menyebabkan vasokontriksi. Korteks adrenal mengsekresi kortisol dan steroid

lainnya, yang dapt memperkuat respon vasokontriktor pembuluh darah. Vasokontriksi

yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal, menyebabkan pelepasan renin.

Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi

angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi

aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh

tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor tersebut

cenderung mencetus keadaan hipertensi. Perubahan struktural dan fungsional pada sistem

pembuluh darah perifer bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi

pada lanjut usia. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan

ikat, dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya

3
menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya,

aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah

yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup), mengakibatkan penurunan curah jantung

dan peningkatan tahanan perifer

2.1.5 Manifestasi Klinis

Gambaran klinis pasien hipertensi meliputi nyeri kepala saat terjaga, kadang-

kadang disertai mual dan muntah, akibat peningkatan tekanan darah intrakranial.

Penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi. Ayunan langkah yang tidak

mantap karena kerusakan susunan saraf pusat. Nokturia karena peningkatan aliran darah

ginjal dan filtrasi glomerulus. Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan

tekanan kapiler. Gejala lain yang umumnya terjadi pada penderita hipertensi yaitu pusing,

muka merah, sakit kepala, keluaran darah dari hidung secara tiba-tiba, tengkuk terasa

pegal dan lain-lain.

2.1.6 Diagnosis

1. Anamnesis

Berdasarkan anamnesis, sebagian besar pasien hipertensi bersifat

asimptomatik. Beberapa pasien mengalami keluhan berupa sakit kepala,

rasa seperti berputar, atau penglihatan kabur. Hal yang dapat menunjang

kecurigaan ke arah hipertensi sekunder antara lain penggunaan obat-

obatan seperti kontrasepsi hormonal, kortikosteroid, dekongestan maupun

NSAID, sakit kepala paroksismal, berkeringat atau takikardi serta adanya

riwayat penyakit ginjal sebelumnya. Pada anamnesis dapat pula digali

mengenai faktor resiko kardiovaskular seperti merokok, obesitas, aktivitas

fisik yang kurang, dislipidemia, diabetes milletus, mikroalbuminuria,

penurunan laju GFR, dan riwayat keluarga

4
2. Pemeriksaan Fisik

Nilai tekanan darah pasien diambil rerata dua kali pengukuran pada setiap

kali kunjungan ke dokter. Apabila tekanan darah ≥ 140/90 mmHg pada

dua atau lebih kunjungan maka hipertensi dapat ditegakkan. Pemeriksaaan

tekanan darah harus dilakukan dengan alat yang baik, ukuran dan posisi

manset yang tepat (setingkat dengan jantung) serta teknik yang benar.

3. Pemeriksaan Penunjang

Dilakukan untuk memeriksa komplikasi yang telah atau sedang terjadi

seperti pemeriksaan laboratorium seperti darah lengkap, kadar ureum,

kreatinin, gula darah, elektrolit, kalsium, asam urat dan urinalisis.

Pemeriksaan lain berupa pemeriksaan fungsi jantung berupa

elektrokardiografi, funduskopi, USG ginjal, foto thoraks dan

ekokardiografi. Pada kasus dengan kecurigaan hipertensi sekunder dapat

dilakukan pemeriksaan sesuai indikasi dan diagnosis banding yang dibuat.

Pada hiper atau hipotiroidisme dapat dilakukan fungsi tiroid (TSH, FT4,

FT3), hiperparatiroidisme (kadar PTH, Ca2+), hiperaldosteronisme primer

berupa kadar aldosteron plasma, renin plasma, CT scan abdomen,

peningkatan kadar serum Na, penurunan K, peningkatan eksresi K dalam

5
urin ditemukan alkalosis metabolik. Pada feokromositoma, dilakukan

kadar metanefrin, CT scan/MRI abdomen. Pada sindrom cushing,

dilakukan kadar kortisol urin 24 jam. Pada hipertensi renovaskular, dapat

dilakukan CT angiografi arteri renalis, USG ginjal, Doppler Sonografi.

2.1.7 Tatalaksana

Penatalaksanaan hipertensi meliputi modifikasi gaya hidup namun terapi

antihipertensi dapat langsung dimulai untuk hipertensi derajat 1 dengan penyerta dan

hipertensi derajat 2. Penggunaan antihipertensi harus tetap disertai dengan modifikasi

gaya hidup. 2 sistem mayor yang menjadi target terapi obat adalah Simpatetik nervous

sistem dan Renin angiotensin aldoseteron system yang pada akhirnya menargetkan RAAS

memiliki lebih banyak keuntungan dibandingkan SNS.

Selain pengobatan hipertensi, pengobatan terhadap faktor resiko atau

kondisi penyerta lainnya seperti diabetes mellitus atau dislipidemia juga harus

dilaksanakan hingga mencaoai target terapi masing-masing kondisi. Pengobatan

hipertensi terdiri dari terapi nonfakmakologis dan farmakologis. Terapi

nonfarmakologis harus dilaksanakan oleh semua pasien hipertensi dengan tujuan

6
menurunkan tekanan darah dan mengendalikan faktor-faktor resiko penyakit

penyerta lainnya.

Modifikasi gaya hidup berupa penurunan berat badan (target indeks massa

tubuh dalam batas normal untuk Asia-Pasifik yaitu 18,5-22,9 kg/m2), kontrol diet

berdasarkan DASH mencakup konsumsi buah-buahan, sayur-sayuran, serta

produk susu rendah lemak jenuh/lemak total, penurunan asupan garam dimana

konsumsi NaCl yang disarankan adalah < 6 g/hari. Beberapa hal lain yang

disarankan adalah target aktivitas fisik minimal 30 menit/hari dilakukan paling

tidak 3 hari dalam seminggu serta pembatasan konsumsi alkohol. Terapi

farmakologi bertujuan untuk mengontrol tekanan darah hingga mencapai tujuan

terapi pengobatan. Berdasarkan JNC VIII pilihan antihipertensi didasarkan pada

ada atau tidaknya usia, ras, serta ada atau tidaknya gagal ginjal kronik. Apabila

terapi antihipertensi sudah dimulai, pasien harus rutin kontrol dan mendapat

pengaturan dosis setiap bulan hingga target tekanan darah tercapai. Perlu

dilakukan pemantauan tekanan darah, LFG dan elektrolit. Jenis obat antihipertensi

adalah,

1. Diuretik

Obat-obatan jenis diuretic bekerja dengan mengeluarkan cairan tubuh

(lewat kencing), sehingga volume cairan tubuh berkurang mengakibatkan

daya pompa jantung menjadi lebih ringan dan berefek pada turunnya

tekanan darah. Contoh obat-obatan ini adalah: Bendroflumethiazide,

chlorthizlidone, hydrochlorothiazide, dan indapamide.

2. ACE-Inhibitor

7
Kerja obat golongan ini menghambat pembentukan zat angiotensin II (zat

yang dapat meningkatkan tekanan darah). Efek samping yang sering

timbul adalah batuk kering, pusing sakit kepala dan lemas. Contoh obat

yang tergolong jenis ini adalah Catopril, enalapril, dan lisinopril.

3. Calsium channel blocker

Golongan obat ini berkerja menurunkan menurunkan daya pompa jantung

dengan menghambat kontraksi otot jantung (kontraktilitas). Contoh obat

yang tergolong jenis obat ini adalah amlodipine, diltiazem dan

nitrendipine.

4. Angiotensin reseptor blocker

Kerja obat ini adalah dengan menghalangi penempelan zat angiotensin II

pada reseptornya yang mengakibatkan ringannya daya pompa jantung.

Obat-obatan yang termasuk golongan ini adalah eprosartan, candesartan,

dan losartan.

5. Beta blocker

Mekanisme obat antihipertensi ini adalah melalui penurunan daya pompa

jantung. Jenis obat ini tidak dianjurkan pada penderita yang telah diketahui

mengidap gangguan pernafasan seperti asma bronchial. Contoh obat yang

tergolong ke dalam beta blocker adalah atenolol, bisoprolol, dan beta

metoprolol.

8
2.1.8 Komplikasi

Beberapa komplikasi terkait organ vital antara lain,

1. Jantung

Hipertensi kronis akan menyebabkan infark miokard, infark miokard

menyebabkan kebutuhan oksigen pada miokardium tidak terpenuhi

kemudian menyebabkan iskemia jantung serta terjadilah infark.

2. Ginjal

Tekanan tinggi kapiler glomerulus ginjal akan mengakibatkan kerusakan

progresif sehingga gagal ginjal. Kerusakan pada glomerulus menyebabkan

aliran darah ke unit fungsional juga ikut terganggu sehingga tekanan

osmotik menurun kemudian hilangnya kemampuan pemekatan urin yang

menimbulkan nokturia.

3. Otak

Tekanan tinggi di otak disebabkan oleh embolus yang terlepas dari

pembuluh darah di otak, sehingga terjadi stroke. Stroke dapat terjadi

apabila terdapat penebalan pada arteri yang memperdarahi otak, hal ini

menyebabkan aliran darah yang diperdarahi otak berkurang.

9
2.1.9 Prognosis

Hipertensi dapat dikendalikan dengan baik dengan pengobatan yang tepat.

Terapi dengan kombinasi perubahan gaya hidup dan obat-obatan antihipertensi

biasanya dapat menjaga tekanan darah pada tingkat yang tidak akan menyebabkan

kerusakan pada jantung atau organ lain. Kunci untuk menghindari komplikasi

serius dari hipertensi adalah mendeteksi dan mengobati sebelum kerusakan

terjadi.

2.2 Diabetes Mellitus

2.2.1 Definisi

Diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan

karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja

insulin atau kedua-duanya.

2.2.2 Epidemiologi

Jumlah penduduk Indonesia saat ini diperkirakan mencapai 240 juta.

Menurut data RISKESDAS 2007, prevalensi nasional DM di Indonesia untuk usia

di atas 15 tahun sebesar 5,7%. Berdasar data IDF 2014, saat ini diperkiraan 9,1

juta orang penduduk didiagnosis sebagai penyandang DM. Dengan angka tersebut

Indonesia menempati peringkat ke-5 di dunia, atau naik dua peringkat

dibandingkan data IDF tahun 2013 yang menempati peringkat ke-7 di dunia

dengan 7,6 juta orang penyandang DM.

2.2.3 Etiologi dan Patofisiologi

Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas

telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2 Belakangan

diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada

10
yang diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti:

jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel

alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan

otak (resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya

gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2.

Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal (omnious

octet) berikut :

1. Kegagalan sel beta pancreas

Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat

berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah

sulfonilurea, meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor.

2. Liver

Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu

gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh

11
liver (HGP=hepatic glucose production) meningkat. Obat yang bekerja

melalui jalur ini adalah metformin, yang menekan proses gluconeogenesis.

3. Otot

Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang

multiple di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga

timbul gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis

glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini

adalah metformin, dan tiazolidindion.

4. Sel lemak

Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,

menyebabkan peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas

(FFA=Free Fatty Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA akan merangsang

proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan

otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang

disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoxocity. Obat yang bekerja

dijalur ini adalah tiazolidindion.

5. Usus

Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding

kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin

ini diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan

GIP (glucose-dependent insulinotrophic polypeptide atau disebut juga

gastric inhibitory polypeptide). Pada penderita DM tipe-2 didapatkan

defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut

incretin segera dipecah oleh keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya

12
bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja menghambat kinerja

DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan juga

mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja ensim

alfa-glukosidase yang memecah polisakarida menjadi monosakarida yang

kemudian diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan glukosa darah

setelah makan. Obat yang bekerja untuk menghambat kinerja ensim alfa-

glukosidase adalah akarbosa.

6. Sel Alpha Pancreas

Sel alpha pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam

hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel ini berfungsi dalam

sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma

akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP dalam keadaan basal

meningkat secara signifikan dibanding individu yang normal. Obat yang

menghambat sekresi glucagon atau menghambat reseptor glukagon

meliputi GLP-1 agonis, DPP- 4 inhibitor dan amylin.

7. Ginjal

Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis DM

tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh

persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran

SGLT-2 (Sodium Glucose co- Transporter) pada bagian convulated

tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan di absorbsi melalui peran

SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada

glukosa dalam urine. Pada penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen

SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat

13
penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan

dikeluarkan lewat urine. Obat yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-2

inhibitor. Dapaglifozin adalah salah satu contoh obatnya.

8. Otak

Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang

obes baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang

merupakan mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan

ini asupan makanan justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang

juga terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 agonis,

amylin dan bromokriptin.

2.2.4 Diagnosis

1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.

Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa

secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil

pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa

darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas

14
dasar adanya glukosuria. Berbagai keluhan dapat ditemukan pada

penyandang DM. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat

keluhan seperti:

 Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan

berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

 Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan

disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

2. Pemeriksaan penunjang

Pada keadaan yang tidak memungkinkan dan tidak tersedia fasilitas

pemeriksaan TTGO, maka pemeriksaan penyaring dengan mengunakan

pemeriksaan glukosa darah kapiler, diperbolehkan untuk patokan diagnosis DM.

Dalam hal ini harus diperhatikan adanya perbedaan hasil pemeriksaan glukosa

darah plasma vena dan glukosa darah kapiler seperti pada tabel-6 di bawah ini.

15
2.2.5 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan DM dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat (terapi

nutrisi medis dan aktivitas fisik) bersamaan dengan intervensi farmakologis

dengan obat anti hiperglikemia secara oral dan/atau suntikan. Obat anti

hiperglikemia oral dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau kombinasi. Pada

keadaan emergensi dengan dekompensasi metabolik berat, misalnya: ketoasidosis,

stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, atau adanya ketonuria, harus

segera dirujuk ke Pelayanan Kesehatan Sekunder atau Tersier. Pengetahuan

tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia dan cara

mengatasinya harus diberikan kepada pasien. Pengetahuan tentang pemantauan

mandiri tersebut dapat dilakukan setelah mendapat pelatihan khusus.

Terapi Nutrisi Medis merupakan bagian penting dari penatalaksanaan

DMT2 secara komprehensif. Kunci keberhasilannya adalah keterlibatan secara

menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta

pasien dan keluarganya). Guna mencapai sasaran terapi TNM sebaiknya diberikan

sesuai dengan kebutuhan setiap penyandang DM. Prinsip pengaturan makan pada

penyandang DM hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum,

yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi

16
masing-masing individu. Penyandang DM perlu diberikan penekanan mengenai

pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah kandungan kalori,

terutama pada mereka yang menggunakan obat yang meningkatkan sekresi insulin

atau terapi insulin itu sendiri. Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori

yang dibutuhkan penyandang DM, antara lain dengan memperhitungkan

kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kal/kgBB ideal. Jumlah kebutuhan

tersebut ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa faktor yaitu: jenis

kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dan lain-lain. Latihan jasmani merupakan

salah satu pilar dalam pengelolaan DMT2 apabila tidak disertai adanya nefropati.

Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani dilakukan secara secara teratur

sebanyak 3-5 kali perminggu selama sekitar 30-45 menit, dengan total 150 menit

perminggu. Jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut. Terapi

farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani

(gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.

17
2.2.6 Komplikasi

Penyulit dari diabetes mellitus sendiri dibagi menjadi akut dan kronik,

yaitu sebagai berikut :

1. Akut

a. Hipoglikemi

b. Ketoasidosis Non ketotik hyperosmolar

c. Asidosis laktat

2. Kronik

a. Mikroangiopati

i. Retinopati

18
ii. Neuropati

iii. Nephropati

b. Makroangiopati

i. CAD

ii. PVD

iii. Stroke

2.2.7 Prognosis

Prognosis diabetes mellitus tipe 2 ditentukan oleh modifikasi gaya hidup

pasien, kontrol gula darah yang baik, dan follow up secara teratur. Komplikasi

diabetes dapat berupa komplikasi akut seperti ketoasidosis diabetik dan

komplikasi kronis, seperti neuropati dan nefropati diabetik. Penyebab utama

kematian pada diabetes mellitus tipe 2 adalah akibat kejadian kardiovaskular

19
BAB III

KESIMPULAN

Diabetes melitus merupakan penyakit metabolik yang dapat menimbulkan

berbagai komplikasi. Keadaan ini sangat memengaruhi kualitas hidup penyandang

DM sehingga perlu mendapatkan perhatian serius dari semua pihak. Sampai saat

ini memang belum ditemukan cara atau pengobatan yang dapat

menyembuhkannya diabetes secara menyeluruh. Akan tetapi DM dapat

dikendalikan dengan baik, dengan cara : diet, olahraga dan dengan menggunakan

obat antidiabetik. Pada setiap penanganan penyandang DM, harus selalu

ditetapkan target yang akan dicapai sebelum memulai pengobatan. Hal ini

bertujuan untuk mengetahui keberhasilan program pengobatan dan penyesuaian

regimen terapi sesuai kebutuhan serta menghindari hasil pengobatan yang tidak

diinginkan. Pengobatan DM sangat spesifik dan individual untuk masing-masing

pasien. Modifikasi gaya hidup sangat penting untuk dilakukan, tidak hanya untuk

mengontrol kadar glukosa darah namun bila diterapkan secara umum, diharapkan

dapat mencegah dan menurunkan prevalensi DM, baik di Indonesia maupun di

dunia di masa yang akan datang.

20
DAFTAR PUSTAKA

Perkeni, 2015, Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2

di Indonesia 2015, PB Perkeni

International Diabetes Federation (IDF). IDF Diabetes Atlas Sixth Edition,

International Diabetes Federation (IDF). 2013

American Diabetes Association, Standards of medical care in diabetes 2014,

Diabetes Care. 2014, 37 (Suppl 1), S14-80.

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, Konsensus Pengendalian dan

Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia, PB. PERKENI.

Jakarta. 2011.

WHO/ISH Guidelines. Hypertens 2003;21:1983–92.

Kearney PM, et al. Lancet 2005; Global burden of hypertension: analysis of

worldwide data 365:217–23.

Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). 2013.

21

Anda mungkin juga menyukai