Anda di halaman 1dari 7

II.

TAUHID DAN IMAN YANG BENAR


1. Pengertian Tauhid
Tauhid (Arab :‫)توحيد‬, adalah konsep dalam aqidah islam yang menyatakan keesaan Allah. Tauhid
diambil kata: Wahhada-Yuwahhidu-Tauhidan yang artinya mengesakan. Satu suku kata dengan kata wahid
yang berarti satu atau kata ahad yang berarti esa. Dalam ajaran Islam Tauhid itu berarti keyakinan akan
keesaan Allah. Kalimat Tauhid ialah kalimat La Illaha Illallah yang berarti tidak ada Tuhan melainkan
Allah.
Tauhid merupakan inti dan dasar dari seluruh tata nilai dan norma Islam, sehingga oleh karenanya
Islam dikenal sebagai agama tauhid yaitu agama yang mengesakan Tuhan. Bahkan gerakan-gerakan
pemurnian Islam terkenal dengan nama gerakan muwahhidin (yang memperjuangkan tauhid). Dalam
perkembangan sejarah kaum muslimin, tauhid itu telah berkembang menjadi nama salah satu cabang ilmu
Islam, yaitu ilmu Tauhid yakni ilmu yang mempelajari dan membahas masalah-masalah yang berhubungan
dengan keimanan terutama yang menyangkut masalah ke-Maha Esa-an Allah.

2. Tauhid dibagi menjadi 3 macam yaitu:


a. Tauhid Rububiyah
Tauhid Rububiyah adalah keyakinan tentang keesaan Allah taala di dalam perbuatan-perbuatan-Nya.
b. Tauhid Asma dan Sifat
Tauhid Asma dan Sifat adalah keyakinan tentang keesaan Allah subhanahu wa ta’ala dalam nama dan sifat-
Nya yang terdapat dalam Al Quran dan Al Hadits dilengkapi dengan mengimani makna-maknanya dan
hukum-hukumnya.
c. Tauhid Uluhiyah
Tauhid Uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam tujuan perbuatan-perbuatan hamba yang dilakukan dalam
rangka taqorub dan ibadah seperti berdoa, bernadzar, menyembelih kurban, bertawakal, bertaubat, dan lain-
lain.
3. Kedudukan Tauhid
Seorang muslim meyakini bahwa tauhid adalah dasar Islam yang paling agung dan hakikat Islam
yang paling besar, dan merupakan salah satu syarat diterimanya amal perbuatan disamping harus sesuai
dengan tuntunan Rasulullah.
Pada dasarnya manusia telah mengenal Allah meski secara global, maka para Rasul utusan Allah
diutus bukan untuk memperkenalkan tentang Allah semata. Namun hakikat dakwah para Rasul adalah
untuk menuntut mereka agar beribadah hanya kepada-Nya. Dengan demikian materi dakwah para rasul
adalah Tauhid Uluhiyah. Oleh karena itu istilah tauhid tatkala disebutkan secara bebas (tanpa diberi
keterangan lain) maka ia lebih mengacu kepada Tauhid Uluhiyah.

Tauhid Adalah Tujuan Penciptaan Manusia, Allah berfirman,


َ ِ ‫ت ۡٱل ِج َّن َوٱإۡل‬
٥٦ ‫نس إِاَّل لِيَ ۡعبُدُو ِن‬ ُ ‫َو َما َخلَ ۡق‬
“Dan aku tidak menciptakan Jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah kepada-Ku.” (Adz-
Dzariyat: 56)
Maksud dari kata menyembah di ayat ini adalah mentauhidkan Allah dalam segala macam bentuk
ibadah sebagaimana telah dijelaskan oleh Ibnu Abbas rodhiyallahu ‘anhu, seorang sahabat dan ahli tafsir.
Ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia di dunia ini hanya untuk
beribadah kepada Allah saja. Tidaklah mereka diciptakan untuk menghabiskan waktu kalian untuk bermain-
main dan bersenang-senang belaka. Sebagaimana firman Allah,
١٧ َ‫ لَ ۡو أَ َر ۡدنَٓا أَن نَّتَّ ِخ َذ لَ ۡه ٗوا ٱَّلتَّخ َۡذ ٰنَهُ ِمن لَّ ُدنَّٓا إِن ُكنَّا ٰفَ ِعلِين‬١٦ َ‫ض َو َما بَ ۡينَهُ َما ٰلَ ِعبِين‬ َ ‫َو َما َخلَ ۡقنَا ٱل َّس َمٓا َء َوٱأۡل َ ۡر‬
“Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan bermain-
main. Sekiranya Kami hendak membuat sesuatu permainan, tentulah Kami membuatnya dari sisi Kami. Jika
Kami menghendaki berbuat demikian.” (Al Anbiya: 16-17).
١١٥ َ‫أَفَ َح ِس ۡبتُمۡ أَنَّ َما َخلَ ۡق ٰنَ ُكمۡ َعبَ ٗثا َوأَنَّ ُكمۡ إِلَ ۡينَا اَل تُ ۡر َجعُون‬
“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main, dan bahwa
kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (Al-Mu’minun: 115)
Selain itu, tauhid juga adalah tujuan diutusnya beberapa rasul ke muka bumi, dalam hal ini Allah
berfirman:
ْ ‫ٱلض | ٰلَلَ ۚةُ فَ ِس |ير‬ ۖ ‫ٱلطَّ ُغ‬ ٰ ْ َ ۡ ‫اًل َ ۡ ْ هَّلل‬
‫ُوا‬ َّ ‫وتَ فَ ِم ۡنهُم َّم ۡن هَدَى ٱهَّلل ُ َو ِم ۡنهُم َّم ۡن َحقَّ ۡت َعلَ ۡي ِه‬ ‫َولَقَ ۡد بَ َع ۡثنَا فِي ُكلِّ أُ َّم ٖة َّر ُسو أ ِن ٱعبُدُوا ٱ َ َوٱجتنِبُوا‬
٣٦ َ‫ُوا َك ۡيفَ َكانَ ٰ َعقِبَةُ ۡٱل ُم َك ِّذبِين‬ ْ ‫ض فَٱنظُر‬ ِ ‫فِي ٱ َ ۡر‬
‫أۡل‬
“Dan sungguh Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah
Allah, dan jauhilah Thaghut itu’.” (An-Nahl: 36).
Makna dari ayat ini adalah bahwa para Rasul mulai dari Nabi Nuh sampai Nabi terakhir Nabi kita
Muhammad shollallahu alaihi wa sallam diutus oleh Allah untuk mengajak kaumnya untuk beribadah hanya
kepada Allah semata dan tidak memepersekutukanNya dengan sesuatu apapun. Maka pertanyaan bagi kita
sekarang adalah “Sudahkah kita memenuhi seruan Rasul kita Muhammad shollallahu alaihi wa sallam
untuk beribadah hanya kepada Allah semata? ataukah kita bersikap acuh tak acuh terhadap seruan
Rasulullah ini?”
Selain itu tauhid merupakan perintah Allah yang paling utama dan pertama, Allah berfirman:
ِ ُ‫ار ۡٱل ُجن‬ ۡ ۡ ۡ ۡ ٰ ۡ ۡ ۡ ۖٗ ْ ‫ُوا ٱهَّلل َ َواَل تُ ۡش ِر ُك‬
ْ ‫ٱعبُد‬
‫ب‬
ِ ‫َّاح‬
ِ ‫ب َوٱلص‬ ِ ‫ار ِذي ٱلقُ ۡربَ ٰى َوٱل َج‬ ِ ‫وا بِ ِهۦ َشۡ‍ٔيا َوبِٱل ٰ َولِد َۡي ِن إِ ۡح ٰ َس ٗنا َوبِ ِذي ٱلقُ ۡربَ ٰى َوٱليَتَ َم ٰى َوٱل َم ٰ َس ِكي ِن َوٱل َج‬ ۡ ‫َو‬
٣٦ ‫ب َو ۡٱب ِن ٱل َّسبِي ِل َو َما َملَ َك ۡت أَ ۡي ٰ َمنُ ُكمۡۗ إِ َّن ٱهَّلل َ اَل ي ُِحبُّ َمن َكانَ ُم ۡختَااٗل فَ ُخورًا‬ ِ ‫بِ ۡٱل َج ۢن‬
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat
baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang
dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (An-Nisa: 36). Dalam ayat
ini Allah menyebutkan hal-hal yang Dia perintahkan. Dan hal pertama yang Dia perintahkan adalah untuk
menyembahNya dan tidak menyekutukanNya. Perintah ini didahulukan daripada berbuat baik kepada orang
tua serta manusia-manusia pada umumnya. Maka sangatlah aneh jika seseorang bersikap sangat baik
terhadap sesama manusia, namun dia banyak menyepelekan hak-hak Tuhannya terutama hak beribadah
hanya kepada Allah semata.

4. Hakikat Tauhid
Tauhid merupakan kewajiban utama dan pertama yang diperintahkan Allah kepada setiap hamba-Nya.
Namun, sangat disayangkan kebanyakan kaum muslimin pada zaman sekarang ini tidak mengerti hakekat
dan kedudukan tauhid. Padahal tauhid inilah yang merupakan dasar agama kita yang mulia ini. Oleh karena
itu sangatlah urgen bagi kita kaum muslimin untuk mengerti hakekat dan kedudukan tauhid. Hakekat tauhid
adalah mengesakan Allah. Bentuk pengesaan ini terbagi menjadi tiga, berikut penjelasannya.
1. Mengesakan Allah dalam Rububiyah-Nya
Maksudnya adalah kita meyakini keesaan Allah dalam perbuatan-perbuatan yang hanya dapat
dilakukan oleh Allah, seperti mencipta dan mengatur seluruh alam semesta beserta isinya, memberi rezeki,
memberikan manfaat, menolak mudharat dan lainnya yang merupakan kekhususan bagi Allah. Hal yang
seperti ini diakui oleh seluruh manusia, tidak ada seorang pun yang mengingkarinya. Orang-orang yang
mengingkari hal ini, seperti kaum atheis, pada kenyataannya mereka menampakkan keingkarannya hanya
karena kesombongan mereka. Padahal, jauh di dalam lubuk hati mereka, mereka mengakui bahwa tidaklah
alam semesta ini terjadi kecuali ada yang membuat dan mengaturnya. Mereka hanyalah membohongi kata
hati mereka sendiri. Hal ini sebagaimana firman Allah:
٣٦ َ‫ض بَل اَّل يُوقِنُون‬ َ ۚ ‫ت َوٱأۡل َ ۡر‬ ْ ُ‫ أَمۡ خَ لَق‬٣٥ َ‫وا ِم ۡن غ َۡي ِر َش ۡي ٍء أَمۡ هُ ُم ۡٱل ٰ َخلِقُون‬
ِ ‫وا ٱل َّس ٰ َم ٰ َو‬ ْ ُ‫أَمۡ ُخلِق‬
“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan? Ataukah mereka
telah menciptakan langit dan bumi itu? sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan).“
(Ath-Thur: 35-36)
Namun pengakuan seseorang terhadap Tauhid Rububiyah ini tidaklah menjadikan seseorang beragama
Islam karena sesungguhnya orang-orang musyrikin Quraisy yang diperangi Rasulullah mengakui dan
meyakini jenis tauhid ini. Sebagaimana firman Allah:
ُ |‫ قُ| ۡ|ل َم ۢن بِيَ| ِد ِهۦ َملَ ُك‬٨٧ َ‫ َسيَقُولُونَ هَّلِل ۚ ِ قُ| ۡ|ل أَفَاَل تَتَّقُ||ون‬٨٦ ‫ش ۡٱل َع ِظ ِيم‬
َ |ُ‫|وت ُك||لِّ َش| ۡي ٖء َوه‬
‫|و‬ ۡ
ِ ‫ت ٱلس َّۡب ِع َو َربُّ ٱل َع ۡر‬ ِ ‫قُ ۡل َمن رَّبُّ ٱل َّس ٰ َم ٰ َو‬
٨٩ َ‫ َسيَقُولُونَ هَّلِل ۚ ِ قُ ۡل فَأَنَّ ٰى تُ ۡس َحرُون‬٨٨ َ‫ي ُِجي ُر َواَل يُ َجا ُر َعلَ ۡي ِه إِن ُكنتُمۡ ت َۡعلَ ُمون‬
“Katakanlah: ‘Siapakah Yang memiliki langit yang tujuh dan Yang memiliki ‘Arsy yang besar?’ Mereka
akan menjawab: ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah: ‘Maka apakah kamu tidak bertakwa?’ Katakanlah:
‘Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak
ada yang dapat dilindungi dari -Nya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Allah.’
Katakanlah: ‘Maka dari jalan manakah kamu ditipu?’” (Al-Mu’minun: 86-89).

2. Mengesakan Allah Dalam Uluhiyah-Nya


Maksudnya adalah kita mengesakan Allah dalam segala macam ibadah yang kita lakukan. Seperti
shalat, doa, nadzar, menyembelih, tawakkal, taubat, harap, cinta, takut dan berbagai macam ibadah lainnya.
Dimana kita harus memaksudkan tujuan dari kesemua ibadah itu hanya kepada Allah semata. Tauhid inilah
yang merupakan inti dakwah para Rasul dan merupakan tauhid yang diingkari oleh kaum musyrikin
Quraisy. Hal ini sebagaimana yang difirmankan Allah mengenai perkataan mereka itu “Mengapa ia
menjadikan sesembahan-sesembahan itu Sesembahan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu
hal yang sangat mengherankan.” (Shaad: 5). Dalam ayat ini kaum musyrikin Quraisy mengingkari jika
tujuan dari berbagai macam ibadah hanya ditujukan untuk Allah semata. Oleh karena pengingkaran inilah
maka mereka dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya walaupun mereka mengakui bahwa Allah adalah satu-
satunya Pencipta alam semesta.

3. Mengesakan Allah Dalam Nama dan Sifat-Nya


Maksudnya adalah kita beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah yang diterangkan dalam Al-Qur’an
dan Sunnah Rasulullah. Dan kita juga meyakini bahwa hanya Allah-lah yang pantas untuk memiliki nama-
nama terindah yang disebutkan di Al-Qur’an dan Hadits tersebut (yang dikenal dengan Asmaul Husna).
Sebagaimana firman-Nya “Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa,
hanya bagi Dialah Asmaaul Husna.” (Al-Hasyr: 24)
Seseorang baru dapat dikatakan seorang muslim yang tulen jika telah mengesakan Allah dan tidak
berbuat syirik dalam ketiga hal tersebut di atas. Barangsiapa yang menyekutukan Allah (berbuat syirik)
dalam salah satu saja dari ketiga hal tersebut, maka dia bukan muslim tulen tetapi dia adalah seorang
musyrik.

5. Pengertian Iman
Iman menurut pengertian sesungguhnya ialah kepercayaan yang meresap ke dalam hati, dengan
penuh keyakinan, tidak bercampur syak dan ragu serta memberi pengaruh bagi pandangan hidup, tingkah
laku dan perbuatan sehari- hari. Jadi iman itu bukanlah semata-mata ucapan lidah, buakn sekedar perbuatan,
dan bukan pula hanya merupakan pengetahuan tentang rukun iman

1. Kedudukan Iman

Kedudukan Iman lebih tinggi dari pada Islam, Iman memiliki cakupan yang lebih umum dari pada
cakupan Islam, karena ia mencakup Islam, maka seorang hamba tidaklah mencapai keImanan kecuali jika
seorang hamba telah mamapu mewujudka keislamannya. Iman juga lebih khusus dipandang dari segi
pelakunya, karena pelaku keimanan adalah kelompok dari pelaku keIslaman dan tidak semua pelaku
keIslaman menjadi pelaku keImanan, jelaslah setiap mukmin adalah muslim dan tidak setiap muslim adalah
mukmin

2. Hakikat iman
Iman adalah keyakinan yang menghujam dalam hati, kokoh penuh keyakinan tanpa dicampuri keraguan
sedikitpun. Sedangkan keimanan dalam Islam itu sendiri adalah percaya kepada Alloh, malaikat-
malaikatNya, kitab-kitabNya, Rosul-rosulNya, hari akhir dan berIman kepada takdir baik dan buruk. Iman
mencakup perbuatan, ucapan hati dan lisan, amal hati dan amal lisan serta amal anggota tubuh. Iman
bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan.
Keimanan tidak terpisah dari amal, karena amal merupakan buah keImanan dan salah satu indikasi
yang terlihat oleh manusia. Karena itu Alloh menyebut Iman dan amal soleh secara beriringan dalam
Qur’an surat Al Anfal ayat 2-4 Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:
َ‫ ٱلَّ ِذينَ يُقِي ُم||ون‬٢ َ‫إِنَّ َم||ا ۡٱل ُم ۡؤ ِمنُ||ونَ ٱلَّ ِذينَ إِ َذا ُذ ِك| َر ٱهَّلل ُ َو ِجلَ ۡت قُلُ||وبُهُمۡ َوإِ َذا تُلِيَ ۡت َعلَ ۡي ِهمۡ َءا ٰيَتُهۥُ زَ اد َۡتهُمۡ إِي ٰ َم ٗن| ا َو َعلَ ٰى َربِّ ِهمۡ يَتَ َو َّكلُ||ون‬
ٓ
٤ ‫يم‬ٞ ‫ق َك ِر‬ٞ ‫ة َو ِر ۡز‬ٞ ‫ت ِعن َد َربِّ ِهمۡ َو َم ۡغفِ َر‬ َ ِ‫ أُوْ ٰلَئ‬٣ َ‫صلَ ٰوةَ َو ِم َّما َرز َۡق ٰنَهُمۡ يُنفِقُون‬
ٌ ‫ك هُ ُم ۡٱل ُم ۡؤ ِمنُونَ َح ٗقّ ۚا لَّهُمۡ َد َر ٰ َج‬ َّ ‫ٱل‬
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang jika disebut nama Allah gemetarlah
hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, bertambahlah iman mereka (karenanya)
dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang
menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman
dengan sebenar-benar-nya.” (Al-Anfal: 2-4)
Keimanan memiliki satu ciri yang sangat khas, yaitu dinamis. Yang mayoritas ulama memandang
keImanan beriringan dengan amal soleh, sehinga mereka menganggap keImanan akan bertambah dengan
bertambahnya amal soleh. Akan tetapi ada sebagaian ulama yang melihat Iman berdasarkan sudut pandang
bahwa ia merupakan aqidah yang tidak menerima pemilahan (dikotomi). Maka seseorang hanya memiliki
dua kemungkinan saja: mukmin atau kafir, tidak ada kedudukan lain diantara keduanya. Karena itu mereka
berpendapat Iman tidak bertambah dan tidak berkurang.
Iman adakalanya bertambah dan adakalanya berkurang, maka perlu diketahui kriteria bertambahnya
Iman hingga sempurnanya Iman, yaitu:
1) Diyakini dalam hati
2) Diucapkan dengan lisan
3) Diamalkan dengan anggota tubuh.
Sedangkan dalam Islam sendiri jika membahas mengenai Iman tidak akan terlepas dari adanya rukun
Iman yang enam, yaitu:

a. Iman kepada Allah


Iman kepada Allah mempercayai wujud Allah SWT. Kepercayaan tersebut bersifat batiniah.
Keberadaan Tuhan diyakini sepenuhnya kemudian dicari dalil-dalil pembuktiannya, bukan mencari dulu
dalil itu lalu mempercayainya. Ini menandakan bahwa Iman yang ada di dalam dada merupakan fitrah.
Iman kepada Allah meliputi 3 hal yaitu: dzat, sifat dan af ‘alnya. Selain itu juga Allah memilki Al
Asma nama-nama dan sifat-sifatnya yang berjumlah 99 macam.Dan semua itu menunjukan
kemahasempurnaannya.
b. Iman kepada malaikat-malaikat Allah.
Mahluk Allah di kelelompokan menjadi 2 yang mahluk gaib dan mahluk syahadah atau nyata.
Malaikat termasuk dalam kelompok mahluk gaib, yang diciptakan dari nur atau cahaya.
Untuk mengimani mahluk yang gaib ini dapat ditempuh dengan 2 cara yaitu:
1. Melalui petunjuk Al Qur’an dan As-Sunnah
2. Melalui argument atau bukti-bukti nyata di alam semesta. Seperti adanya kematian, sebagai bukti
adanya malaikat maut.

c. Iman kepada Kitab-kitab Allah.


Kitab Allah adalah kitab suci yang di turunkan kepada para nabi dan rasul yang wajib di imani,
meliputi Al Qur’an yang diturunkan kepada nabi muhamad SAW, Kitab Injil melalui nabi Isa AS, taurat
melalui nabi Musa AS, dan kitab Zabur melalui nabi Daud AS.
d. Iman kepada Nabi dan Rasul.
Nabi adalah manusia pilihan,dalam kehidupan sehari-harinya sama dengan kehidupan manusia
pada umumnya. Makan, minum, berbudaya, berfikir, dan sebagainya.Yang membedakan Nabi menerima
wahyu dari Allah (QS.Al Kahfi :110). Apabila ia tidak di bebani untuk menyampaikan wahyu maka ia di
sebut Nabi, tetapi jika di ikuti dengan beban tanggung jawab menyampaikan wahyu maka ia disebut
Rasul.Tidak di temukan keterangan pasti tentang jumlah nabi dan rasul. Hanya saja dalam kurun waktu
tertentu di utus Nabi dan Rasul kepadanya sebagaimana di jelaskan dalam al-qur’an surah Yunus ayat 47.
Terjemahannya :
“Tiap-tiap umat mempunyai rasul, maka apabila telah datang rasul mereka, di berikanlah keputusan antara
mereka dengan adil dan mereka sedikitpun) tidak dianiaya”
Adapun Nabi dan Rasul yang di jelaskan dalam al qur’an di jelaskan dalam Surah Al-An’am : 83-86)
e. Iman kepada Hari Akhir.
Yaumil Akhir adalah suatu hari di mana kehidupan didalamnya bersifat kekal dan abadi,
berlangsung sesudah dunia yang fanah ini.
Kapan kiamat itu akan terjadi? Al Qur’an menegaskan bahwa tiadak ada seorangpun yang
mengetahinya termasuk para Nabi dan Rasul kecuali Allah. (Q.S Al-A’raf : 187).Allah hanya memberikan
tanda-tandanya baik yang kecil maupun yang besar.
f. Iman kepada Qhada dan Qadar Allah.
Iman kepada qhada dan qadar Allah berarti meyakini akan kehendak, ketetapan dan ketentuan
Allah terhadap segala sesuatu.
Demikianlah kriteria amalan hati dari pribadi yang berIman, yang jika telah tertanam dalam hati
seorang mukmin enam keImanan itu maka akan secara otomatis tercermin dalam prilakunya sehari-hari
yang sinergi dengan kriteria keImanan terhadap enam poin di atas.
Jika Iman adalah suatu keadaan yang bersifat dinamis, maka sesekali didapati kelemahan Iman,
maka yang harus kita lakukan adalah memperkuat segala lini dari hal-hal yang dapat memperkuat Iman
kembali. Hal-hal yang dapat dilakukan bisa kita mulai dengan memperkuat aqidah, serta ibadah kita karena
Iman bertambah karena taat dan berkurang karena maksiat.
Ketika Iman telah mencapai taraf yang diinginkan maka akan dirasakan oleh pemiliknya suatu
manisnya Iman, sebagaimana hadits Nabi Muhammad saw. yang artinya:
“Tiga perkara yang apabila terdapat dalam diri seseorang, maka ia akan merasakan manisnya Iman:
Menjadikan Alloh dan RosulNya lebih dicintainya melebihi dari selain keduanya, mencintai seseorang yang
tidak dicintainya melainkan karena Alloh, membenci dirinya kembali kepada kekufuran sebagaImana
bencinya ia kembali dilemparkan ke dalam api neraka.” (HR.Bukhori Muslim).

3. Kesimpulan

Aqidah, Tauhid, Iman dalam kehidupan umat muslim perlu kita pelajari dan amalkan. Akidah adalah
beberapa perkara yang wajib di yakini kebenarannya oleh hati, dapat mendatangkan ketentraman jiwa dan
menjadi keyakinan yang tidak tercampur dengan keraguan-keraguan. Tauhid adalah konsep dalam aqidah
islam yang menyatakan keesaan Allah. Sedangkan iman menurut pengertian sesungguhnya ialah
kepercayaan yang meresap ke dalam hati, dengan penuh keyakinan, tidak bercampur syak dan ragu serta
memberi pengaruh bagi pandangan hidup. Akidah yang benar merupakan landasan tegaknya agama dan
kunci diterimanya amalan. Dan seorang muslim meyakini bahwa tauhid adalah dasar Islam yang paling
agung dan hakikat Islam yang paling besar, dan merupakan salah satu syarat diterimanya amal perbuatan
disamping harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Kedudukan Iman lebih tinggi dari pada Islam, Iman
memiliki cakupan yang lebih umum dari pada cakupan Islam, karena ia mencakup Islam, maka seorang
hamba tidaklah mencapai keImanan kecuali jika seorang hamba telah mampu mewujudkan keislamannya.

Anda mungkin juga menyukai