Anda di halaman 1dari 24

5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Pengetahuan


Pengetahuan adalah merupakan hasil ‘tahu’ dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu yang man penginderaan ini
terjadi melalui panca indera manusia yakni indera penlihatan, pendengaran,
penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui
mata dan telinga. (Notoatmodjo,2007)
Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan yang dicakup di dalam domain
kognitif mempunyai enam tingkatan, yaitu:
1. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai meningat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali terhadap
suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan
yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu merupakan tingkat pengetahuan
yang paling rendah. Untuk mengukur bahwa seseorang tahu tentang apa
yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan,
menyatakan dan sebagainya.
2. Memahami (Comprehention)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi
tersebut secara benar, orang yang telah paham terhadap objek atau materi
harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan,
meramalkan dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.
3. Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Aplikasi ini diartikan
dapat sebagai aplikasi atau penggunann hukum-hukum, rumus metode,
prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
6

4. Analisis (Analysis)
Adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek
kedalam komponen-komponen tetapi masih dalam suatu struktur
organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan
analisa ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja dapat menggambarkan,
membedakan, mengelompokkan dan seperti sebagainya. Analisis
merupakan kemampuan untuk mengidentifikasi, memisahkan dan
sebagainya.
5. Sintesa (Syntesis)
Adalah suatu kemampuan untuk meletakan atau menggabungkan bagian-
bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang, baru dengan kata lain
sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formasi baru dari
informasi-informasi yang ada misalnya dapat menyusun, dapat
menggunakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan terhadap suatu
teori atau rumusan yang telah ada.
6. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melalukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penelitian itu berdasarkan
suatu kriteria yang telah ada.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau anket
yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau
responder kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui dapat kita lihat sesuai
dengan tingkatan-tingkatan diatas.

2.2. Definisi Teh Hijau


Negara pertama yang menanam teh adalah Cina dan India. Teh dibuat dari
daun tanaman teh Camellia sinensis yang dipetik dan mengalami proses
pemanasan untuk mencegah oksidasi atau bisa diartikan minuman yang dihasilkan
dari seduhan daun teh tersebut. Tanaman teh tumbuh di daerah tropis dan
7

subtropis dengan curah hujan sepanjang tahun tidak kurang dari 1500 mm.
Tanaman ini memerlukan kelembapan tinggi dan temperature udara antara 13-
29,5˚C (Sutejo, 1972). Teh termasuk minuman segar yang paling banyak
dikonsumsi oleh masyarakat dan diyakini memiliki khasiat kesehatan bagi tubuh.
Terdapat penelitian yang melaporkan bahwa komponen-komponen dalam teh
tradisional ini memiliki kegunaan penting di bidang kesehatan. (American
Journal of Clinical Nutrition).
Teh digolongkan ke dalam:
Kingdom : Plantae
Diviso : Spermatophyta
Sub Divisio : Angiospermae
Class : Dicotiledonaea
Ordo : Guttiferales
Famili : Tehaceae
Genus : Camelia
Spesies : Camelia sinensis (Setyaamidjaja, 2000)
Daun tanaman Camellia sinensis memilik tiga variasi utama yaitu teh hijau, teh
hitam, dan teh oolong. Perbedaan dari variasi teh tersebut adalah pada proses
pembuatannya. Proses pembuatan teh diatur untuk membiarkan polifenol yang
terdapat dalam teh teroksidasi secara alami oleh polyphenol oxidase yang terdapat
pada daun teh. Teh hijau diproses dengan cara menginaktivasi polyphenol oxidase
pada daun yang masih segar dengan cara dipanaskan atau diuapkan, yang akan
mencegah oksidasi catechin(komponen flavonoid terbanyak pada ekstrak teh
hijau). Tahap pengolahan teh hijau terdiri dari pelayuan, penggulungan,
pengeringan, sortasi kering, serta pengemasan.
8

Gambar 2.1 Menunjukkan Jenis-jenis Teh dan Cara Pemprosesannya

2.3. Komposisi Teh Hijau


Komposisi kimia teh hijau sangat kompleks, yaitu: protein (15 - 20% berat
kering) sebagai enzim; aminoacids (1-4% berat kering), seperti teanine atau 5-
Nethylglutamine, asam glutamat, triptofan, glisin, serin, asam aspartat, tirosin,
valin, leusin, treonin, arginin, lisin; karbohidrat (5-7% berat kering) seperti
selulosa, pektin, glukosa, fruktosa, sukrosa, lipid sebagai linoleat dan asam
linolenat; sterol sebagai stigmasterol; vitamin (B, C, E); Xanthic basa seperti
kafein dan teofilin (Gambar 2.1), pigmen klorofil dan karotenoid, senyawa volatil
seperti aldehida, alkohol, ester, lakton, hidrokarbon, mineral dan elemen (5%
berat kering) seperti Kalsium(Ca), Magnesium(Mg), Cromium(Cr),
Mangnesium(Mn), Ferrous(Fe), Copper(Cu), Seng(Zn), Selenium(Se),
Natrium(Na), Plumbum(P), Nikel(Ni), Kalium(K), Ferrous(F) dan
Aluminium(Al).
9

Gambar
2.2 Menunjukan Struktur Kimiawi Kopi dan Teofilin

Karena besar pentingnya kehadiran mineral dalam teh, banyak penelitian telah
dilakukan untuk menentukan kadarnya dalam daun teh hijau. Misalnya, Costa,
(2002) diamati besar variasi kandungan mineral (Al, Ca, Mg dan Mn) dalam
warna hijau teh dari asal yang berbeda. Shu, (2003) mengamati variasi besar di
antara varietas teh yang berbeda dalam mengumpulkan fluoride dan aluminium.
Polifenol merupakan kelompok yang paling menarik dari komponen daun
teh hijau, dan karena itu, teh hijau dapat dianggap sebagai sumber polifenol,
khususnya flavonoid. Flavonoid adalah turunan fenol yang disintesis dalam
jumlah besar (0.5-1.5%) dan bervariasi (lebih dari 4000 diidentifikasi), dan
didistribusikan secara luas di antara tanaman lainnya. Departemen Pertanian
Amerika Serikat (USDA) baru-baru ini menerbitkan sebuah database untuk
kandungan flavonoid pada makanan. Flavonoid utama yang ada dalam teh hijau
meliputi katekin (flavan-3-ols). Keempat catechin utama (-) - epigallocatechin-3-
gallate (EGCG), yang mewakili sekitar 59% dari total katekin, (-)-
epigallocatechin (EGC) (kurang lebih 19%); (-)-Epicatechin-3-gallate (ECG)
(kurang lebih 13,6%), dan epikatekin (EC) (kurang lebih 6,4%). Teh hijau juga
mengandung asam galat (GA) dan asam fenolat lain seperti asam klorogenat dan
asam caffeic, dan flavonol seperti kaempferol, myricetin dan quercetin. Manfaat
yang berbeda pada teh hijau dapat diperoleh dari keunikan kandungannya yang
memberikan kapasitas antioksidan yang kuat. Teh hijau kaya dengan manfaat
polifenol yang dikenali sebagai katekins. Epigallo-catechin-gallate (EGCG)
10

terkaya dengan katekin dalam teh hijau. EGCG adalah komponen polifenol pada
teh hijau yang paling banyak dipelajari dan merupakan zat yang paling aktif.
(Mukhtar and Ahmad,2000). Teh hijau turut mengandung alkaloids, termasuk
kafeine, theobromine, dan theophylline. Mereka memberikan efek stimulan pada
teh hijau. L-theanine, komponen asam amino yang ditemukan pada teh hijau, telah
diteliti untuk efeknya sebagai penenang sistem saraf.(UMM, alt, Med article)

Gambar 2.3 Menunjukkan struktur kimiawi asam galat dan empat jenis katekin,
EGCG, EGC, ECG dan EC utama yang terkandung dalam teh hijau.

Isi katekin teh hijau relatif tergantung pada cara daun diproses sebelum
pengeringan (fermentasi dan pemanasan daun teh selama proses pembuatan dapat
mengakibatkan polimerisasi monopolyphenolic senyawa seperti katekin, yang
menyebabkan perubahan sifat-sifatnya). McKay dan Blumberg, (2002)
melaporkan bahwa dekafeinasi mengurangi sedikit kandungan katekin dalam teh.
Persiapan instan dan penyajian dingin dapat mengurangi kandungan katekin
dalam teh. Produksi botol minuman teh hijau telah mengalami masalah perubahan
11

warna (brownish) terutama disebabkan oleh oksidasi katekin. Wu dan Wei,


(2002) menunjukkan bahwa secangkir teh hijau (2,5 g daun teh hijau/200 mL air)
dapat mengandung 90 mg EGCG. Lin, (2003) menganalisis 31 teh komersial dan
mendeteksi bahwa tingkat katekin EGCG yang terbanyak dengan urutan yaitu teh
hijau (daun tua), teh hijau (muda daun) dan teh oolong, teh hitam. Jumlah katekin
selalu lebih tinggi di teh hijau, EGCG dan EGC adalah katekin utama dengan isi
rata-rata 7,358% dan 3,955%, masing-masing ECG disajikan nilai berkisar antara
0.910 dan 3.556%. Cabrera, (2003) melaporkan isi rata-rata dari empat katekin
utama (EGCG, EGC, ECG dan EC) dan asam galat dalam 45 sampel dari berbagai
jenis teh termasuk hitam, merah, oolong dan teh hijau, tingkat EGCG semakin
tinggi muncul pada sampel teh hijau. Hasilnya diringkas dalam Gambar. 2.3.

Gambar 2.4 Menunjukan rata-rata kandungan GA dan Katekin dalam berbagai


jenis Teh (Cabrera, C. 2006)
12

2.4. Manfaat Konsumsi Teh Hijau dalam Kesehatan Manusia


Teh hijau telah dianggap sebagai obat dan minuman sehat sejak zaman
kuno. Obat tradisional Cina telah merekomendasikan tanaman ini untuk sakit
kepala, nyeri tubuh dan sakit, pencernaan, depresi, detoksifikasi, sebagai
penambah tenaga, dan secara umum, untuk memperpanjang hidup. Daun teh hijau
mengandung tiga komponen utama yang bertindak atas kesehatan manusia yaitu
basis xanthic (kafein dan teofilin), minyak esensial, dan senyawa polifenol.
Kafein bertindak terutama pada sistem saraf pusat, merangsang keterjagaan,
meningkatkan konsentrai dan menambah semangat (Chapman & Hall, 1994).
Beberapa dari efek yang disebabkan oleh kafein dipengaruhi oleh teofilin dalam
kandungan teh. Teofilin menginduksi aktivitas psikoaktif, juga memiliki sedikit
efek inotropik dan vasodilator, dan banyak efek diuretik lebih tinggi dari kafein.
Namun, efek yang paling menarik dapat dilihat pada sistem pernapasan. Teofilin
menyebabkan relaksasi non-spesifik pada stimulasi otot polos bronkus. Teh hijau
adalah jenis teh dengan persentase yang lebih tinggi minyak esensial (Chapman
&Hall, 1994). Namun, teh hijau lebih mendapat perhatian terutama kandungan
polifenolnya sebagai antioksidan. Sejumlah penelitian juga menunjukkan bahwa
ekstrak GTP (Green Tea Polyphenol) memiliki sifat antimutagenik, antidiabetes,
antibakteri, anti-inflamasi, dan hipokolesterolemik. Efek menguntungkan pada
penyakit mulut seperti perlindungan terhadap karies gigi, periodontal penyakit,
dan tanggalnya gigi (yang secara signifikan dapat mempengaruhi kesehatan secara
keseluruhan seseorang) juga telah dijelaskan (Wu, 2002). Di antara semua GTP,
catechin, dan asam galat, dianggap menjadi pemain utama dalam manfaatnnya
pada kesehatan manusia.

2.4.1. Sebagai antioksidan.


Teh hijau dianggap sebagai makanan sumber antioksidan yang kaya akan
polifenol (terutama catechin dan asam galat), tetapi juga mengandung karotenoid,
tokoferol, asam askorbat (vitamin C), mineral seperti Cr, Mn, Zn atau Se, dan
senyawa fitokimia tertentu. Senyawa ini dapat meningkatkan efek antioksidan
GTP potensial. Mereka juga berfungsi sebagai antioksidan secara tidak langsung
13

melalui penghambatan faktor redoxsensitive transcription, penghambatan enzim


'pro-oksidan’, seperti yang diinduksi oleh nitrat oksida sintase, lipoxygenases,
cyclooxygenases dan xantin oksidase, dan induksi enzim antioksidan, seperti
glutathione-S-transferase dan superoksida dismutase. Kapasitas antioksidan GTP
telah dinilai oleh beberapa metode. Misalnya, Cao, (1996) menggunakan kapasitas
penyerapan radikal oksigen (Oxygen Resorption Assay Capacity) menemukan
bahwa teh hijau memiliki aktivitas antioksidan yang jauh lebih tinggi terhadap
radikal peroxyl dibandingkan sayuran seperti bawang putih, kangkung, bayam dan
kecambah brussels. Saffari dan Sadrzadeh, (2004) meneliti kapasitas antioksidan
EGCG menggunakan membran eritrosit terikat. ATPase sebagai model, dan
hasilnya menunjukkan bahwa EGCG adalah antioksidan kuat yang mampu
melindungi ATPase membrane bound eritrosit terhadap stres oksidatif. Beberapa
penelitian telah menunjukkan bahwa EGCG dapat bertindak secara in vitro
sebagai antioksidan dengan menghambat radikal proxyl dan peroksidasi lipid
(Zhang, 2004). Namun, kapasitas antioksidan katekin ditentukan secara in vitro
tergantung pada jenis tes yang digunakan dan tidak mencerminkan faktor-faktor
seperti bioavailabilitas dan metabolisme. Fakta mengatakan bahwa katekin
dengan cepat dan ekstensif dimetabolisme menekankan pentingnya menunjukkan
aktivitas antioksidan secara in vivo untuk mewakili dampak fisiologis konsumsi
teh hijau. Frei dan Higdon, (2003) melaporkan bahwa untuk menentukan apakah
atau tidak GTP bertindak sebagai antioksidan yang efektif dalam vivo, studi masa
depan pada hewan dan manusia harus menggunakan biomarker sensitif dan
spesifik dari kerusakan oksidatif lipid, protein dan deoxyribonucleic (DNA).
Namun demikian, sejumlah besar studi yang mengintervensi manusia dengan teh
hijau menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam kapasitas antioksidan
plasma pada manusia setelah konsumsi dengan jumlah moderat (1-6 cangkir /
hari). Ada juga indikasi awal yang menunjukkan bahwa potensi antioksidan darah
yang meningkat mengurangi kerusakan oksidatif pada makromolekul, seperti
DNA dan lipid (Rietveld, 2003). McKay dan Blumberg, (2002) melaporkan
bahwa konsumsi ulang teh hijau dan encapsulated ekstrak teh hijau selama satu
sampai empat minggu telah menunjukkan pengurangan status oksidatif. Erba,
14

(2005) menunjukkan kemampuan teh hijau yang dikonsumsi dalam jumlah yang
seimbang, meningkatkan keseluruhan status antioksidan dan melindungi tubuh
terhadap kerusakan oksidatif.

2.4.2. Sebagai antimutagenik dan antikarsinogenik


Penyakit yang berkaitan dengan gaya hidup, seperti kanker ataupun
penyakit yang berhubungan dengan penuaan, merupakan faktor utama penyebab
penyakit. Oleh karena itu, pencegahan penyakit yang berhubungan dengan gaya
hidup akan tergantung pada penundaan proses penuaan dan pencegahan
penampakan klinis penyakit. Komponen makanan yang mampu memperlambat
penuaan sel dan menghambat pertumbuhan sel-sel kanker tanpa mempengaruhi
pertumbuhan sel normal menerima perhatian yang cukup besar bagi
pengembangan pencegahan kanker (Lambert, 2003). Peran teh hijau dalam
melindungi sel terhadap kanker telah didukung oleh banyak bukti dari penelitian
dalam kultur sel dan model hewan (Chung, 2003). Penelitian pada hewan
menunjukkan bahwa teh hijau menghambat karsinogenesis pada kulit, paru-paru,
rongga mulut, kerongkongan, lambung, hati, ginjal, prostat dan organ lainnya
(Lambert , 2003). Saat ini, teh hijau diterima sebagai pencegah kanker atas dasar
banyaknya penelitian secara in vitro, in vivo, dan epidemiologi. The
Chemoprevention Cabang National Cancer Institute telah memulai rencana untuk
mengembangkan senyawa teh sebagai agen chemopreventive dalam percobaan
manusia (SiddiquiIA, 2004). Efek chemopreventive teh hijau tergantung pada
kerja antioksidan yang menginduksi enzim-enzim proses detoksifikasi. Teh hijau
juga berperan dalam pertumbuhan, perkembangan sel dan apoptosis, dan
peningkatan selektif bakteri flora dalam usus. D'Alessandro, (2003) juga
menunjukkan bahwa aspek penting dari risiko kanker berhubungan dengan
inflamasi respon, Saat ini, agen anti-inflamasi digunakan dalam strategi
kemopreventif. Respon inflamasi melibatkan produksi sitokin proinflamasi dan
oksidan, seperti sebagai asam hipoklorit dan peroksinitrit yang diproduksi oleh
neutrophil dan makrofag. Reaktor inflamasi ini bereaksi dengan residu tirosin
oksidan fenolik pada protein untuk membentuk chloro dan nitrotyrosine. Selain
15

itu, besar mekanisme aktivitas antikanker dari teh hijau pada hewan adalah
dengan menghambat interaksi dengan deoxyribonucleicacid (DNA) karsinogen
yang menyebabkan mutasi sel. Namun demikian, kerja teh hijau serta mekanisme
yang mendasarinya harus ditinjau dan peran GTP, yang dikendalilkan komponen
bioaktif dan kafein, harus dievaluasi secara kritis. EGCG dari teh hijau terutama
memberikan efek penghambatan pertumbuhan pada sel kanker (Int J Oncol,2004).
EGCG menjanjikan antikanker yang potensial karena sifat antioksidan,
antimutagenik, dan kemopreventifnya (Br J Cancer, 2004). Rosengren, (2003)
menunjukkan bahwa katekin teh hijau mengurangi proliferasi sel kanker payudara
secara in vitro dan menurunkan pertumbuhan tumor payudara pada tikus.
Selanjutnya, studi in vitro telah menunjukkan bahwa kombinasi EGCG dan
tamoxifen bersinergis memberi efek sitotoksik pada sel-sel kanker payudara.
Menurut (Wu, 2003), peminum teh hijau secara signifikan dapat mengurangi
risiko kanker payudara dibandingkan dengan wanita yang tidak minum teh hijau
secara teratur (yaitu, kurang dari sekali sebulan). Selain itu, ada kecenderungan
penurunan risiko yang signifikan dengan meningkatnya jumlah konsumsi teh
hijau. Dua penelitian pada wanita Jepang yang terdiagnosa kanker payudara
menunjukkan bahwa konsumsi teh hijau berbanding terbalik dengan tingkat
kekambuhan, terutama pada tahap awal kanker payudara (Inoue, 2001). Zhang,
(2002) melaporkan bahwa risiko kanker ovarium menurun dengan meningkatnya
frekuensi dan durasi konsumsi teh hijau. Teh hijau juga merupakan agen
kemopreventif yang efektif untuk kanker prostat pada manusia. Pada penelitian
yang sama, Yu, (2004) melaporkan bahwa EGCG menghambat pertumbuhan
kanker prostat sel adenoma dan menginduksi apoptosis. Jian, (2004) melakukan
studi kasus-kontrol di China untuk menyelidiki apakah konsumsi teh hijau
memiliki hubungan dengan penurunan kanker prostat. Risiko kanker prostat
menurun dengan meningkatnya frekuensi, durasi, dan jumlah konsumsi teh hijau.
Hubungan dosis dan respon menunjukkan bahwa teh hijau dapat melindungi sel
prostat terhadap kanker. Di satu sisi, studi epidemiologi telah menyarankan bahwa
konsumsi tinggi teh hijau mengurangi perkembangan gastritis aktif kronis dan
risiko kanker perut. Di samping itu, konsumsi teh hijau sebelum puasa melindungi
16

mukosa usus terhadap atrofi (Asfar, 2003). Dengan metode yang sama,
Hoshiyama,(2003) dan Koizumi, (2003) menemukan adanya hubungan antara
konsumsi teh hijau dan risiko kanker perut. Para penulis menunjukkan bahwa
konsumsi teh hijau tidak memiliki efek perlindungan terhadap kanker lambung,
dan lebih bergantung pada faktor-faktor lain, seperti usia, merokok, status sosial
ekonomi, infeksi Helicobacter pylori, sejarah ulkus peptik, dan riwayat keluarga
kanker perut bersama dengan komponen makanan tertentu.

2.4.3. Sebagai antihipertensi Dan Mencegah Risiko Penyakit


Kardiovaskular
Teh hijau telah lama diyakini memiliki efek hipotensi dalam pengobatan
Cina populer. Namun, hasil yang bertentangan telah menunjukkan adanya
perbedaan antara percobaan dan studi hewan, dihubungankan dengan konsumsi
teh terhadap tekanan darah. Bukti-bukti epidemiologis tentang efek jangka
panjang dari teh hijau pada risiko hipertensi juga tidak konsisten. Yang, (2004)
menyimpulkan bahwa kebiasaan konsumsi teh hijau 120 mL/ hari atau lebih
selama 1 tahun secara signifikan mengurangi risiko berkembangnya hipertensi
pada penduduk Cina. Hodgson, (2003) melaporkan bahwa konsumsi jangka
panjang teh hijau mungkin memiliki efek yang menguntungkan pada tekanan
darah pada wanita yang lebih tua. Namun, penelitian lain tidak mendukung efek
hipotensi teh hijau. Singh, (2003) dan Murakami dan Ohsato, (2003) melaporkan
bahwa asupan teh hijau pada diet mempertahankan dan meningkatkan elastisitas
arteri dan fungsi endotel. Oksidasi Low Density Lipid (LDL-cholesterol)
dikaitkan dengan risiko aterosklerosis dan penyakit jantung, dapat dihambat
dengan konsumsi teh hijau karena EC dan aktivitas antioksidan EGCG. Aktivitas
antioksidan EGCG pada Oksidasi LDL secara in vitro lebih kuat dari EC
(Gomikawa , 2002). Sesuai dengan pengamatan ini, Trevisanato dan Kim, (2000)
mengindikasikan bahwa GTP dapat memperlambat aterosklerosis dengan
mengurangi efek oksidatif dengan modifikasi peristiwa LDL-kolesterol dan juga
pembentukan sel busa, sitotoksisitas endotel, dan induksi sitokin proinflamasi.
Gomikawa dan Ishikawa, (2002) menyatakan bahwa katekin menekan kerentanan
17

LDL terhadap proses oksidasi oleh CuSO4 secara in vitro dan plasma oksidasi
secara in vivo setelah mengonsumsi teh hijau. Data lain melaporkan bahwa
katekin telah terbukti mengurangi kadar kolesterol plasma dan tingkat penyerapan
kolesterol. Trigliserida dalam plasma dan HDL tidak berubah secara signifikan.
Para penulis mengatakan bahwa salah satu mekanisme yang mendasari EGCG
mempengaruhi metabolisme lipid adalah dengan mengganggu solubilisasi misel
kolesterol dalam saluran pencernaan, yang kemudian pada gilirannya menurunkan
penyerapan kolesterol. Yokozawa, (2002) melaporkan bahwa kerja GTP efektif
menghambat LDL-kolesterol oksidasi dan peningkatan aktivitas antioksidan
serum. Selanjutnya, GTP meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL),
yang menyebabkan peningkatan dosage-dependent dari indeks aterogenik.
Dengan demikian, GTP mungkin berperan sebagai antiatherosklerotik
berdasarkan sifat antioksidan dan peningkatan tingkat HDLnya. Teh hijau
memiliki manfaat dalam aktivitas oksida nitrat yang disebabkan oleh gangguan
endothelium yang berkontribusi terhadap patogenesis aterosklerosis dalam
sirkulasi coroner yang telah dikaitkan dengan kejadian penyakit kardiovaskuler di
masa depan. Selanjutnya, disfungsi endotel ini dikaitkan dengan peningkatan stres
oksidatif dan dapat diturunkan dengan intervensi antioksidan. Kemungkinan
variasi antara studi yang berbeda mungkin juga disebabkan karena ketidaktahuan,
faktor sosial ekonomi, dan gaya hidup yang terkait dengan minum teh hijau (yaitu,
perbedaan geografis, kelas sosial, indeks massa tubuh, gaya hidup sehat,
prevalensi merokok yang tinggi, asupan lemak yang tinggi, asupan alcohol dan
kopi).

2.4.4. Menjaga Kesehatan Mulut


Penyakit mulut termasuk karies gigi, penyakit periodontal, dan kehilangan
gigi secara signifikan dapat berdampak pada kesehatan seseorang secara
keseluruhan. Di antaranya, karies gigi adalah penyakit menular multifaktorial
yang terkait dengan gizi, infeksi mikrobia, dan host respond. Laporan
sebelumnya, pada hewan percobaan dan manusia, menunjukkan bahwa konsumsi
teh hijau (tanpa tambahan gula) mengurangi karies gigi (Wu, 2002). Linke dan
18

LeGeros, (2003) menunjukkan bahwa asupan teh hijau secara rutin dapat
menurunkan pembentukan karies, bahkan dengan penambahan gula dalam diet.
Pada studi hewan secara in vivo telah menunjukkan bahwa tikus yang terinfeksi
Streptococcus mutans dan kemudian mendapat diet kariogenik yang mengandung
GTP memiliki memiliki skor karies yang lebih rendah (Otake, 1991). Penambahan
air minum tikus dengan 0,1% GTP bersama dengan diet kariogenik juga secara
signifikan mengurangi total celah lesi karies (Wu, 2002). Temuan terbaru dari
Okamoto, (2004) menunjukkan bahwa katekin teh hijau mungkin memiliki
potensi dalam mengurangi periodontalbreakdown yang dihasilkan dari aktivitas
proteinase dalam Porphyromonas gingivalis. Selain itu, teh hijau ‘decoctions’
menghambat α-amilase dalam air liur manusia yang mengurangi pelepasan
maltosa sebesar 70% dan efektif menurunkan potensi kariogenik dari makanan
yang mengandungi kanji (McKay, 2002). Demikian pula, Zhang dan Kashket,
(1998) melaporkan bahwa ekstrak teh hijau menghambat amilase dan dapat
mengurangi potensi kariogenik pada makanan yang mengandung kanji seperti
kerupuk dan kue karena mereka dapat mengurangi kecenderungan jenis makanan
tersebut sebagai sumber ‘slow release’ fermentasi karbohidrat. Sangat mungkin
bahwa kariogenik dapat dikurangi dengan kehadiran simultan teh hijau dalam
diet. Selain dari kandungan polifenol dalam teh hijau, baik yang berwarna hijau
atau hitam, merupakan sumber alami fluoride dan penghantar yang efektif
fluoride dalam rongga mulut. Menurut Simpson, (2001), setelah membersihkan
mulut dengan teh, sekitar 34% fluoride dipertahankan dan menunjukkan
kemampuan yang kuat untuk berinteraksi dengan jaringan mulut dan integumen
permukaannya. Kandungan fluoride mungkin memiliki dampak yang
menguntungkan pada karies dan dapat pula mencegah kehilangan gigi dan kanker
mulut (Sugimoto, 2004). Meskipun demikian, data menunjukkan bahwa ekstrak
GTP mungkin bertanggungjawab terhadap kesehatan mulut dan juga telah
dibuktikan GTP sebagai fluoride berkontribusi terhadap potensi antikariogenik
(Makimura, 1991) dengan menghambat pertumbuhan bakteri mulut seperti
Escherichia coli, Streptococcus salivarius, dan Streptococcus mutans. Beberapa
studi telah menunjukkan bahwa GTP menghambat pertumbuhan, produksi asam,
19

metabolisme, dan aktivitas enzim glukosiltransferase S. mutans dan bakteri plak


gigi lainnya (WU, 2002). Karena itu, teh hijau telah dianggap sebagai makanan
fungsional untuk kesehatan mulut dan secara luas digunakan dalam formulasi
pasta gigi.

2.4.5. Sebagai Pelindung dari Sinar Ultraviolet


Epidemiologi, uji klinis dan studi biologi telah menunjukkan bahwa sinar
matahari (UV) adalah karsinogen lengkap dan paparan berulang dapat
menyebabkan perkembangan berbagai gangguan kulit, termasuk melanoma dan
kanker kulit non-melanoma. EGCG dianggap agen utama pelindung terhadap
beberapa jenis radiasi, karena dapat mencegah penyakit kulit, dan masalah kanker
akibat photoaging (Singh, 2001). Tampaknya sisa katekin juga mendukung proses
ini. Katiyar, (2003) menunjukkan bahwa pengobatan topikal atau konsumsi oral
GTP menghambat karsinogen kimia terhadap kulit akibat radiasi UV
karsinogenesis pada hewan di laboratorium yang berbeda. Pengobatan topikal
GTP atau ECCG dan konsumsi oral GTP mencegah respon inflamasi akibat UVB,
imunosupresi, dan stres oksidatif, yang merupakan biomarker dari beberapa
kondisi penyakit kulit. Fakta ini dikaitkan dengan penghambatan infiltrasi
inflamasi akibat UVB oleh leukosit. Penelitian in vitro dan in vivo pada hewan
dan manusia menunjukkan bahwa GTP adalah photoprotective di alam, dan dapat
digunakan sebagai agen farmakologis untuk pencegahan paparan UVB yang
menyebabkan gangguan kulit, termasuk kanker kulit.

2.4.6. Sebagai Pengendalian Berat Badan


Obesitas telah meningkat pada tingkat yang mengkhawatirkan dalam
beberapa tahun terakhir dan sekarang menjadi masalah kesehatan di seluruh
dunia. Masalah yang berlaku dalam asupan makanan fungsional dalam
mengontrol berat badan telah difokuskan pada bahan-bahan tanaman yang mampu
menghambat sistem sympathoadrenal (Dullo, 1999). Efek dari konsumsi jangka
panjang katekin telah banyak dipelajari, dan beberapa peneliti menunjukkan peran
potensial dari teh hijau dalam tubuh. Selain itu, kafein dan theanine telah
20

ditemukan mampu memperkuat efek polifenol dalam mengontrol berat badan dan
mengurangi akumulasi lemak pada tikus (Zheng, 2004). Dalam penelitian in vitro
dengan ekstrak teh hijau yang mengandung 25% katekin (dalam kondisi mirip
dengan yang fisiologis), menunjukkan secara signifikan dapat menghampat
aktivitas lipase lambung, dan dalam tingkat yang lebih rendah juga lipase
pankreas. Dengan demikian, lipolisis dari trigliserida rantai panjang berkurang
sebanyak 37% (Juhel, 2000). Studi in vitro juga telah menunjukkan bahwa ekstrak
teh hijau meningkatkan proses emulsifikasi lemak, yang terjadi sebelum enzim
berkerja, dan sangat diperlukan untuk penyerapan lipid di usus (Chantre, 2002).
Teh hijau juga menunjukkan pengaruh terhadap aktivitas lemak dalam
menghambat sintase asam (Tian, 2004). Selain itu, teh hijau mungkin memiliki
sifat thermogenik tidak hanya disebabkan oleh kandungan kafein, tetapi juga
memberi efek yang sama seperti kafein dan catechin. EGCG dapat bertindak atas
tingkat AMPc dengan meningkatkan pengeluaran energi (Juhel, 2000). Dullo,
(1999) menggunakan ekstrak teh hijau yang kaya dengan katekin dan kafein,
menyimpulkan bahwa teh hijau memiliki sifat termogenik dan mempromosikan
oksidasi lemak melampaui dari yang dijelaskan oleh kandungan kafein, di mana
ekstrak teh hijau mungkin memainkan peran dalam mengendalikan berat tubuh
melalui aktivasi simpatik thermogenesis, oksidasi lemak, atau keduanya. (Dullo,
1999) menunjukkan bahwa adanya sifat termogenik teh hijau karena terdapat
interaksi antara kadar katekin yang tinggi dan kehadiran kafein dengan
noradrenalin simpatik, karena polifenol diketahui mampu menghambat katekol-o-
metil-transferase (enzim yang mendegradasi noradrenalin), dan penghambatan
kafein oleh phosphodiesterases trancellular (enzim yang memecah noradrenalin-
induced AMPc). Interaksi sinergis antara polifenol dan kafein dapat meningkatkan
dan memperpanjang stimulasi simpatik thermogenesis yang membantu
pengelolaan obesitas. (Kovacs, 2004) melaporkan bahwa pemeliharaan berat
badan setelah 7,5% penurunan berat badan pada orang yang obesitas maupun
obesitas sedang tidak dipengaruhi oleh konsumsi teh hijau, tetapi dengan
konsumsi kafein secara teratur dan asupan teh hijau dapat memberi pengaruh
terhadap pemeliharaan berat badan. Menurut beberapa penulis, ekstrak teh hijau
21

(dengan 25% dari konten catechin) dianjurkan untuk pengobatan kelebihan berat
badan pada pasien yang IMT-nya berkisar antara 25 dan 29,9 kg/m2, hanya jika
mereka tidak alergi (sensitiveness) terhadap basis xantic (Kovacs, 2004)

2.4.7. Peningkatan Aktivitas Insulin dan Toleransi Glukosa


Pengamatan epidemiologi dan penelitian laboratorium telah menunjukkan
bahwa teh hijau memiliki efek terhadap toleransi glukosa dan sensitivitas insulin.
Anderson dan Polansky,(2002) melaporkan bahwa teh hijau meningkatkan
aktivitas insulin dan senyawa aktif dominan adalah EGCG. Penulis yang sama
menunjukkan bahwa penambahan teh lemon tidak mempengaruhi aktivitas
insulin-potentiating, tapi penambahan 50g per cangkir susu menurunkan aktivitas
potential insulin sekitar 90%. (Wu, 2004) meneliti pengaruh suplementasi teh
hijau pada toleransi glukosa dan sensitivitas insulin pada tikus. Tikus dibagi
menjadi dua kelompok yaitu kelompok control, yang diberi makan dengan standar
chow dan air suling deionisasi, sementara yang lain diberi makan dengan diet
yang sama, tapi dengan teh hijau bukan air (0,5 g bubuk teh hijau lyophilized yang
dilarutkan dalam 100 mL air suling deionisasi). Setelah 12 minggu pemberian
suplemen teh hijau, kelompok ini memiliki tingkat glukosa plasma puasa, insulin,
trigliserida, dan asam lemak bebas yang lebih rendah dari tikus kontrol. Selain itu,
GTP secara signifikan meningkatkan insulin yang dirangsang penyerapan glukosa
oleh sel basal dan adiposa (McKay, 2002). Beberapa penyelidikan juga
menunjukkan bahwa EGCG tidak hanya mengatur tingkat glukosa dalam darah,
tetapi juga dapat merehabilitasi kerusakan beta-sel, yang bertanggung jawab untuk
memproduksi insulin (Wu, 2003).

2.4.8. Efek lainnya


Katekin dalam teh hijau dilaporkan memiliki aktivitas antibakteri dan
antivirus. Efektivitas teh hijau terhadap semua jenis diare dan tipus telah dikenal
di Asia sejak zaman kuno (Wu, 2003). Teh hijau juga dikenal sebagai penghambat
reproduksi dan pertumbuhan bakteri, di antaranya seperti Salmonella,
Clostridium, atau Bacillus. Takabayashi, (2004) dan Yee, (2002), melaporkan
22

katekin dalam teh hijau memiliki efek yang menghambat infeksi Helicobacter
pylori. Selain itu, teh hijau juga mempengaruhi flora usus, yang merupakan agen
bakterisida yang baik. Mengenai efek antivirusnya, teh hijau dikenal dapat
mencegah tanaman tembakau dari serangan 'virus mosaik'. Investigasi baru telah
mengkonfirmasi bahwa katekin sangat menghambat pertumbuhan dan reproduksi
virus mosaik[3]. Pengaruh teh hijau menghambat virus influenza, terutama pada
tahap awal, serta terhadap Herpes simplex virus juga telah dibuktikan (Yam,
1997). Selanjutnya, Weber, (2003) mengamati infeksi adenovirus dapat dihambat
secara in vitro oleh katekin dalam teh hijau. Hirasawa dan Takada, (2004)
menunjukkan adanya aktivitas antijamur katekin dalam teh hijau terhadap
Candida albicans, dan kombinasi pengobatan dengan katekin dan antimycotics
dosis rendah dapat menghindari efek samping antimycotic tersebut. (Park, 2003)
mengamati efek positif ekstrak teh hijau dan GTP terhadap proliferasi dan
aktivitas sel-sel tulang. (Wu dan Wei ,2002) menunjukkan kepadatan mineral
dalam tulang mungkin dipengaruhi oleh beberapa senyawa kimia yang terkandung
dalam ekstrak teh (yaitu, kafein, phytostrogen, fluoride). Polifenol dalam teh hijau
diketahui memiliki sifat antifibrosis pada kulit dan arteri. Perkembangan sel
stellata hati berkaitan erat dengan perkembangan fibrosis hati pada penyakit hati
kronis, dan EGCG memiliki potensi menghambat proliferasi sel-sel tersebut
(Dorchies, 2003). Teh hijau memperkuat sistem kekebalan tubuh karena teh hijau
melindungi tubuh dari oksidan dan radikal. (Bayer, 2004) menunjukkan bahwa
asupan oral teh hijau dapat bertindak sebagai terapi adjuvan untuk mencegah
penolakan transplantasi pada manusia. Studi baru menunjukkan bahwa GTP dapat
melindungi tubuh dari penyakit Parkinson dan penyakit Alzheimer dan penyakit
neurodegeneratif lainnya (Weinreb, 2004). GTP menunjukkan aktivitas
neuroprotectant pada kultur sel dan hewan percobaan, seperti mencegah sel dari
neurotoksik. Efek biologis dari GTP bermanfaat bagi pasien dengan penyakit
Parkinson, tetapi penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menyelidiki keamanan
dan efektivitas teh hijau pada manusia dan menentukan perbedaan mekanisme teh
hijau sebagai pelindung saraf (Pan, 2003). Teh hijau dianggap berguna sebagai
antiinflamasi akibat sengatan serangga dan kemampuannya menghentikan
23

pendarahan (Dvorakova ,1999). Beberapa penelitian telah menunjukkan hubungan


antara konsumsi teh hijau dengan risiko pembentukan batu ginjal (Ishizuk, 2003).
Selain itu, ekstrak teh hijau memperlambat perkembangan kerabunan lensa mata
pada tikus dan katarak yang disebabkan oleh Selenite (Thiagarajan ,2001).
(Gupta, 2002) melaporkan bahwa tindakan teh hijau dengan mempertahankan
efek antioksidan pada lensa. Skrzydlewska, (2002) menunjukkan efek
menguntungkan dari teh hijau pada keracunan alkohol. Selain sebagai makanan
fungsional (Ferrari, 2003), teh hijau juga memiliki kegunaan dalam sediaan
farmasi, pembuatan pasta gigi dan kosmetik (Arburjai, 2003). Aktivitas
antioksidan teh hijau membuatnya menjadi produk yang alami, efisien, dan bebas
pengawet.

2.5. Nilai Gizi Teh Hijau


Konsumsi teh hijau berkontribusi terhadap keseluruhan asupan cairan
harian, dan jika tidak ditambahkan gula, asupan kalorinya menjadi tidak
signifikan. Di samping itu, asupan kafein dalam teh hijau lebih rendah daripada
kopi, teh hitam atau minuman ringan lainnya. Selain itu, kontribusi senyawa
antioksidan (katekin dan zat fitokimia lainnya, vitamin tertentu seperti vitamin C,
dan mineral seperti Mn, Cr, Se, Zn) sangat baik bagi kesehatan manusia, dan lebih
bernutrisi daripada minuman nonalkohol lainnya. Kandungan Mn dalam teh hijau
juga tinggi (Powel, 1998). Mangan merupakan konstituen dari tiga
metalloenzymes (yaitu, arginase, karboksilase piruvat, dan Mn-superoksida
dismutase) yang dapat mengaktifkan sejumlah besar enzim, seperti transferases
glicosil, yang terlibat dalam sintesis mukopolisakarida (Mann ,1998). Kekurangan
mangan dapat menyebabkan kelainan pada metabolisme karbohidrat,
glikosaminoglikan, dan kolesterol. Kromium, selenium, dan seng juga memainkan
peranan penting dalam metabolisme manusia, dan kebutuhan akan elemen ini
meningkat karena ada laporan yang berkaitan dengan status trace-element dan
penyakit oksidatif. Kromium terlibat dalam metabolisme karbohidrat dan lipid
yaitu tanda yang paling sering muncul pada defisiensi Cr adalah peningkatan
toleransi glukosa. Hal ini berkaitan dengan diabetes dan penyakit jantung (Mann,
24

1998). Efek menguntungkan dari suplemen Cr, khususnya pada kelompok yang
mengalami defisiensi Cr, telah dilaporkan (Shils, 1998). Fungsi Selenium melalui
selenoproteins, beberapa di antaranya adalah sebagai enzim pertahanan terhadap
oksidan. Se bertindak sebagai kofaktor enzim glutation peroksidase dalam
mengeliminasi radikal peroksida. Penelitian epidemiologi telah menunjukkan
kemungkinan efek Se terhadap pencegahan dan regresi kanker (Mann dan Shils,
1998,1994). Enzim seng berpartisipasi dalam berbagai proses metabolisme
termasuk karbohidrat, lipid, dan sintesis atau degradasi protein. Unsur ini
diperlukan untuk sintesis deoksiribonukleat dan asam ribonukleat, tetapi juga
mungkin memainkan peran dalam menstabilkan membran plasma (Shils, 1998).
Zinc telah diakui sebagai kofaktor dari enzim superoksida dismutase, yang terlibat
dalam perlindungan terhadap proses oksidatif (Mann, 1994). Selain itu, teh hijau
mengandung lebih banyak vitamin C daripada teh hitam dan teh oolong
(Hasegawa, 2002), tapi kandungan total vitamin C dalam daun teh menurun
selama proses fermentasi teh (Shimada, 1994). Namun, semua sifat-sifat di atas
menunjukkan bahwa teh hijau dapat dianggap sebagai minuman alternatif yang
memiliki kandungan energi dan/atau kafein yang lebih tinggi daripada minuman
lain yang lebih kaya gula dan alkohol.
25

Gambar 2.5 Komposisi Teh Hijau


Sumber:Afandi Dwi Harmoko,Fakultas Kedokteran UNS Solo

2.6. Efek Berbahaya Konsumsi Teh berlebihan


Efek berbahaya dari konsumsi teh hijau adalah karena tiga faktor utama
yaitu kandungan kafein, kehadiran aluminium, dan efek polifenol teh pada
bioavailabilitasnya terhadap besi. Konsumsi teh hijau dalam jangka yang panjang
dapat meningkatkan kinerja kognitif dan psikomotor pada orang dewasa yang
sehat karena cara kerjanya yang mirip dengan kopi, tapi teh hijau (yang
mengandung lebih sedikit kafein) kurang mengganggu kualitas tidur di malam
hari dibandingkan dengan kopi (McKay, 2002). Terlalu banyak teh hijau, lebih
dari lima cangkir per hari, mungkin tidak aman. Hal ini disebabkan karena efek
samping dari kafein. Efek samping ini dapat berkisar dari ringan sampai berat,
seperti sakit kepala , gugup, ganguan tidur, muntah, diare, iritasi, denyut
26

jantung tidak teratur, tremor, mulas, pusing, telinga berdenging, kejang, dan
kebingungan (Bruneton, 2001). Teh hijau tampaknya mengurangi penyerapan zat
besi dari makanan. Konsumsi teh hijau dengan dosis yang sangat tinggi dapat
berakibat fatal. Dosis fatal kafein dalam teh hijau diperkirakan 10-14 gram (150-
200 mg per kilogram). Tabel 2.2 mencakup data tentang kandungan kafein dalam
jumlah minuman yang dikonsumsi. Kandungan kafein dalam teh hijau dapat
bervariasi sesuai dengan jenis teh dan bentuk sediaan umumnya. Konsumsi teh
hijau tidak dianjurkan pada orang yang sensitive terhadap xanthic. Umumnya, teh
kantong menghasilkan persentase kafein yang lebih tinggi dari daun teh (Willson,
1999). Efek negative teofilin mirip dengan kafein, tetapi hal ini hanya terjadi
dengan asupan yang tinggi.

Tabel 2.1. Menunjukkan Kandungan Kafein dalam Makanan dan Minuman


Produk Kandungan Kafein
Kopi biasa 80-115 mg/150 mL
Kopi Espresso 108-180 mg/150 mL
Kopi Instant 65 mg/150 mL
Kopi dekafeinasi 1-3 mg/150 mL
Teh Hijau 15-25 mg/25 mL
Teh Hitam 40-70 mg/mL
Teh Oolong 18-33 mg/150 mL
Teh dekafeinasi 0.6-3 mg/150 mL
Teh es 70mg/ 360 mL
Cocoa milk shake 5 mg/250 mL
Coklat Panas 4mg/ 150 mL
Coklat biasa 15mg/20 g
Coklat Susu 5mg/20g
Minuman Ringan Cola 38-46mg/360 mL
27

Teh hijau tidak harus diambil oleh pasien yang menderita kondisi jantung
atau masalah kardiovaskular yang berat. Wanita hamil dan yang menyusui tidak
seharusnya minum teh hiaju lebih dari satu atau dua cangkir per hari. Hal ini
karena, kafein dapat menyebabkan peningkatan irama jantung dan ini
meningkatkan risiko keguguran serta efek negatif lainnya. (Brineton, 2001).
Selain itu, hal ini juga penting untuk mengendalikan konsumsi seiring teh hijau
dan beberapa obat, karena efek diuretik kafein. Beberapa penelitian
mengungkapkan kapasitas daun teh dapat mengakumulasi tingkat tinggi
aluminium. Aspek ini penting bagi pasien menderita gagal ginjal karena
aluminium dapat diakumulasikan oleh tubuh, sehingga memuci ke penyakit saraf.
Demikian, asupan makanan perlu di kontrol dengan jumlah tinggi logam ini
(Costa, 2002). Menurut beberapa penulis, asupan makanan Al tidak boleh
melebihi 6 mg / hari untuk menghindari tingkat yang berpotensi beracun (Masse,
1991). Demikian juga, katekin dalam teh hijau mungkin memiliki afinitas untuk
besi, dan infus teh hijau dapat menyebabkan penurunan yang signifikan dari
bioavailabilitas besi dari diet. (Hamdaoui, 2003)
Teh hijau dapat menimbulkan interaksi dengan obat-obatan seperti
adenosine, beta-laktam, beta-bloker, benzodiazepines, warfarin dan lithium.
Karena itu, tidak seharusnya mengambil obat-obatan bersamaan dengan minuman
teh hijau sebelum mendapatkan konsultasi daripada doktor terlebih dahulu
(Universitas of Maryland, 2011).

Pediatrik : Teh hijau belum diteliti pada anak-anak, sehingga tidak


direkomendasikan untuk penggunaan pediatrik. (Ehrlich, 2011). Dewasa :
Tergantung pada merek, 2-3 cangkir teh hijau per hari (untuk total 240-320 mg
polifenol) atau 100-750 mg per hari dari ekstrak teh hijau standar dianjurkan.
Produk bebas kafein tersedia dan direkomendasikan. (Ehrlich, 2011).
28

2.7 Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Konsumsi Teh Hijau


Teh hijau yang telah dikaji secara ekstensif di seluruh dunia yang
dianggap salah satu agen diet terbukti sebagai mencegah dan mengobati banyak
penyakit berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan. Teh hijau telah
dikonsumsi di Cina dan Jepang sejak zaman kuno untuk mempertahankan dan
meningkatkan kesehatan. Hal ini terbukti, Cina, Jepang, dan negara-negara barat
memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi mengenai manfaat konsumsi teh hijau,
berdasarkan dengan beberapa penelitian yang telah dilakukan terhadap mereka
(Functional Foods in Health and Disease, 2012). Belum ada penelitian yang
dilakukan sebelumnya mengenai tingkat pengetahuan manfaat mengkonsumsi teh
hijau di Indonesia. Oleh sebab itu, penelitian ini perlu dilakukan untuk
mengetahui tingkat pengetahuan mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara tentang manfaat konsumsi teh hijau bagi kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai