1
EFEKTIVITAS KRIM EKSTRAK BIJI MIMBA 10% PADA
PENDERITA TINEA GLABROSA
Tesis
Kepada
2
Pembimbing karya akhir Program Pendidikan Dokter Spesialis I, program
3
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-benar
merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan
tulisan atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil
karya orang lain saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
4
DAFTAR ISI
Halaman
II.3 Mikonazol.............................................................................. 29
5
II.4 Kerangka Teori .................................................................... 32
6
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................ 65
LAMPIRAN ........................................................................................ 70
7
BAB I
PENDAHULUAN
keadaan tiga dekade yang lalu, tinea kapitis mengalami penurunan insidens,
tetapi tinea unguium dan onikomikosis makin meningkat. Satu tren lain
adalah dermatofitosis yang luas atau gambaran klinis yang kurang khas pada
2009).
8
Jamur bisa menyerang semua bagian tubuh termasuk kuku jari,
jamur yang berfilamen yang dikenal sebagai ringworm fungi (Howard, 1994).
dermatofitosis antara lain adalah iklim yang panas, hygiene yang kurang,
atau sistemik lainnya (Adiguna, 2001). Selama lebih dari beberapa dekade,
infeksi jamur lain yang sebelumnya tidak menyerang manusia atau hewan.
(Rinaldi, 1989).
9
kulit, rambut dan kuku (Sukanto, 2002). Dermatofitosis dapat bermanifestasi
klinik sebagai tinea kapitis, tinea fasialis, tinea korporis, tinea kruris, tinea
biasanya cukup diobati dengan agen topikal (High dan Fitzpatrick, 2008).
Topikal bentuk krim merupakan campuran air dalam minyak dimana emulsi
memberikan lapisan pelindung dari minyak yang tetap pada kulit berfungsi
terutama di Jawa Barat (Subang dan Indramayu), Jawa Timur (Malang, Asem
Secara tradisional di India, sudah lebih dari 4000 tahun minyak mimba
digunakan sebagai obat untuk untuk ketombe dan gangguan kulit karena
10
Narayan (1965), Thind dan Dahiya (1977), Kher dan Chauraisia (1977), Khan
et al. (1987) melaporkan bahwa minyak mimba memiliki efek anti mikotik(cit.
Vietmeyer, 1992). Sifat anti mikotik minyak mimba ditentukan oleh kandungan
senyawa triterpenoid ini tidak menunjukkan efek anti mikotik yang adekuat,
sulfur, yang juga banyak terdapat dalam minyak mimba (Venugopal dan
Venugopal, 1994).
Indonesia. Minyak mimba yang diuji, berasal dari pengepresan sederhana biji
11
menghambat pertumbuhan Malassezia spp. secara bermakna mulai kadar
dicobakan untuk terapi tinea korporis pada dua penderita dengan hasil
kesembuhan mikologis dan klinis sudah teramati sejak akhir minggu ke-2
mimba sebagai anti mikotik pada tinea glabrosa secara klinis dan mikologis.
pertanyaan penelitian yaitu, apakah krim ekstrak biji mimba 10% efektif pada
12
I.3.2. Tujuan Khusus
penggunaan krim ekstrak biji mimba 10% untuk terapi tinea glabrosa.
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1.1 Definisi
mengenai kulit berambut halus, yaitu tinea korporis, tinea kruris, dan tinea
adalah adanya tepi lesi yang aktif, terdapat skuama, dan adanya pola
14
II.1.2 Patogenesis Infeksi Dermatofit
pada lapisan yang telah mati. Inisiasi infeksi dimulai dengan perlekatan
melalui 3 fase :
II.1.2.1 Adhesi/Perlekatan
stratum korneum. Perlekatan secara sempurna terjadi dua jam setelah kontak
pertama kali (Hay, R.J. dan Ashbee, H.R., 2010), pemanjangan struktur fibril
perlangsungan infeksi, struktur fibril pada lapisan yang lebih dalam akan
15
pengambilan nutrisi bagi artrokonidia (Rossi, A.,et.al.., 2010). Germinasi dan
keratinosit akibat adanya aksi enzimatik (Hay, R.J. dan Ashbee, H.R., 2010).
II.1.2.2 Penetrasi
lipases dan enzim musinolitik, yang juga menyediakan nutrisi untuk fungi
pada jaringan pejamu sebagai sumber karbon, nitrogen, fosfor dan sulfur.
rambut dan kulit, tiap spesies dermatofit memiliki kemampuan invasi yang
16
II.1.2.3 Respon Pejamu
kulit dan memicu eliminasi fungi yang cepat. Setelah terjadi paparan
antigen yang akan ditangkap oleh sel yang mempresentasikan antigen pada
sistem imun kulit yaitu sel langerhans yang memiliki kemampuan melakukan
terjadi peningkatan makrofag, limfosit CD4+ dan CD8+; dan terakhir tahap
status imun penderita dan organisme yang terlibat dalam inflamasi tersebut.
17
komplemen oleh faktor kemotaktik lainnya. Pembentukan antibodi tidak
dermatofit, yaitu faktor usia, jenis kelamin, genetik dan ras, faktor endokrin
dengan dermatofit dan bersifat co-pathogen. Faktor usia dan jenis kelamin
imunitas pada usia tua. Tidak terdapat bukti bahwa pasien diabetes bersifat
M.P.,2008).
18
II.1.4 Tipe Klinik Dermatofitosis pada kulit glabrous
manifestasi klinis timbul akibat invasi dan proliferasi fungi penyebab pada
stratum korneum, pada daerah trunkus dan anggota gerak tubuh. Daerah
infeksi biasanya pada kulit yang sering terpapar, jarang merupakan perluasan
skalp, turun ke leher hingga ke trunkus bagian atas, atau dari paha ke
bokong dan trunkus bagian bawah. Karakteristik lesi berupa lesi sirkular,
pinggir lesi berbatas tegas dan meninggi pada tepinya. Lesi dapat tunggal,
dapat juga multipel lesi. Pola lesi lebih bervariasi pada penderita yang
memiiki defek pada respon imun selular (Hay, R.J. dan Ashbee, H.R., 2010).
Tipe inflamasi yang biasanya disebabkan oleh dermatofit geofilik dan zoofilik,
korporis gladiatorum yang biasanya terjadi pada pegulat. Terdapat tiga varian
19
T.rubrum atau T.mentagrophytes, tinea imbrikata yang disebabkan oleh
T.concentricum, dan tinea inkognito yang memiliki lesi yang atipikal akibat
M.A., 2010).
Tinea kruris merupakan reaksi inflamasi akut maupun kronik pada kulit
kruris di masa lalu, namun sekarang jarang dilaporkan lagi. Tinea kruris lebih
prevalensi tiga kali lebih sering pada laki-laki daripada wanita (Degreef, H.,
2008).
lantai kamar mandi, atau kamar hotel.dapat juga akibat memakai baju yang
ketat. Beberapa kasus, pasien yang menderita tinea kruris juga mendapat
tinea pedis, dengan penyebab yang sama (Keiler, S.A. dan Ghannoum, M.A.,
20
2010). Lesi yang timbul bisa unilateral, namun kedua sela paha dapat segera
terinfeksi. Perluasan lesi dapat terjadi ke arah distal dan medial dari pada dan
ke arah proksimal ke arah abdomen bawah serta daerah pubis, perineum dan
bokong. Tinea kruris menyebabkan rasa gatal dan sensasi terbakar akibat
(Degreef,H., 2008).
T.rubrum (Gupta, A.K. dan Tu, L.Q., 2006). Tinea pedis kronik biasanya
infeksi unilateral, lebih sering pada laki-laki pada rentang umur 20-50 tahun.
Tinea pedis terdapat dalam tiga bentuk yaitu infeksi interdigital akut atau
kronik, infeksi hiperkeratotik kronik (moccasin atau tipe kering) dan infeksi
21
II.1.5 Identifikasi Dermatofit
Pemeriksaan langsung kerokan kulit dapat diambil dari lesi dan diperiksa di
elemen jamur dermatofit akan terlihat sebagai garis-garis yang tersusun dari
hifa diantara sel-sel epitel, bercabang dan biasanya bersepta, dan kadang
hifa mempunyai banyak septa dan yang berdekatan disebut artrospora (Hay
tapi tes ini walaupun lebih spesifik tapi kurang sensitif dibandingkan
pemeriksaan kultur, kerokan kulit atau rambut ditanam langsung pada media
besar ahli kulit (Nugroho dan Siregar, 2001). Pada suhu kamar (25-30C),
koloni dermatofit biasanya tumbuh dalam 7-28 hari (Verma dan Heffernan,
22
2008). Morfologi dermatofit cukup khas, sehingga secara umum organisme
konidia (Fisher dan Cook, 1998). Dermatofit memiliki bentuk reproduksi yang
khusus yang berbentuk dengan cara aseksual yang disebut konidia. Konidia
dimana bentukan ini diberi nama khusus sesuai dengan bentuk strukturnya
genus ini paling sering ditemukan adanya mikrokonidia dan hanya sedikit
23
makrokonidia, maka nampak tipis dan dinding halus sehingga bentuk spesies
sangat membantu identifikasi spesies. Uji penggunaan nutrisi dan uji lainnya
24
II.2 MINYAK MIMBA (AZADIRACHTA INDICA)
pengepresan biji mimba secara sederhana bisa mencapai 40% berat biji
(Kardinan dan Ruhnayat, 2002). Sedangkan bila biji mimba diolah dengan
(Sukrasno dan Tim Lentera, 2003). Minyak mimba berwarna coklat gelap,
minyak nabati lainnya (ATGA, 2001). Minyak mimba juga mengandung sulfur,
serta bahan bahan yang bersifat insektisida, fungisida, spermisida, dan anti
Gambar 1. Gambar 2.
25
Biji dalam buah mimba merupakan bahan untuk membuat minyak
mimba. Buah mimba sendiri berbentuk bulat lonjong seperti melinjo dengan
ukuran maksimum dua sentimeter. Buah yang telah masak berwarna kuning
bijinya. Apabila daging buahnya dikupas, di dalam buah mimba akan dijumpai
biji mimba yang berkulit agak keras, dengan perbandingan berat buah dan biji
sebesar 50% : 50%. Berat satu biji mimba dapat mencapai 160 mg. Buah
mimba dapat dipanen setelah pohon mimba berumur tiga tahun (Sukrasno
seperti neem, Indian lilac (Inggris); nimba (Sunda); intaran (Bali dan Nusa
(Jawa) (Vietmeyer et. al., 1992: Sukrasno dan Tim Lentera, 2003). Di
khususnya Subang dan Indramayu, Bogor, daerah pantai utara Jawa timur
26
Saat ini Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) di
Ruhnayat, 2002).
sangat melekat dengan way of life dari bangsa India, Sri Lanka, dan
Bangladesh dan sudah ada sejak 5000 tahun yang lalu, terbukti dari adanya
1999). Sedangkan unani tibb adalah suatu sistem kesehatan tradisional yang
banyak dipakai oleh komunitas muslim di Asia selatan, secara umum sistem
Dalam ayurveda dan unani tibb, daun atau minyak mimba digunakan
27
penyakit kulit yang disebabkan oleh parasit seperti kudis dan kutu rambut,
penyakit kulit karena jamur, ketombe dan gatal-gatal di kulit kepala, eksim
dan gatal kulit, psoriasis, penyakit akibat infeksi bakteri seperti borok
(Vietmeyer et. al., 1992: Conrick, 1996: Ketkar dan Ketkar, 1999:
secara tradisional sebagai obat berbagai penyakit masih secara luas dijumpai
di India dan banyak negara di Asia selatan serta Asia tenggara (Vietmeyer et.
Bangsa Bangsa (PBB) telah menyatakan bahwa mimba adalah ‘The Tree of
Meskipun sudah lebih dari 4000 tahun dipakai sebagai obat tradisional
untuk berbagai macam penyakit oleh bangsa India dan Asia selatan, baru
28
bahwa komponen pokok penyusun mimba, (baik dalam daun, biji, minyak biji,
batang, kulit pohon) adalah triterpenoid. Biji mimba dan minyak yang
dihasilkan dari biji mimba memiliki kandungan triterpenoid yang paling besar
(Vietmeyer et. al., 1992: Conrick, 1996: ATGA, 2001: Duke, 2001).
piretik, anti histamin, anti mikotik, sitostatik), nimbidin (anti bakteri, anti
ulserasi, analgetik, anti inflamasi, anti histamin, anti aritmia, anti mikotik),
nimbidol (anti tuberkulosis, anti protozoa, anti piretik), gedunin (anti malaria,
(anti protozoa, anti oksidan, anti inflamasi, anti histamin, anti bakteri, anti
Foundation, 2004).
(USDA-ARS) mulai meneliti mimba sejak tahun 1975, dan menerbitkan Dr.
A. Juss pada tahun 2001, yang melaporkan hasil evaluasi kandungan masing
masing komponen pohon mimba (daun, biji, kulit pohon, buah, bunga)
29
Dari berbagai penelitian tentang kandungan bahan aktif dalam biji dan
matahari, cara panen dan penyimpanan biji mimba, umur biji mimba, tingkat
2001).
memiliki suatu aktivitas biologik tertentu secara tunggal agak sulit dilakukan
30
II.2.3 Potensi Minyak Mimba di Bidang Dermatomikologi
azadirakhtin, secara in vitro dan in vivo telah terbukti memiliki efek anti
produksi racun aflatoksin dari Aspergilus flavus. Dengan kadar 1-2% minyak
Terkait dengan bidang dermatologi, efek anti histamin dan efek anti
Sinergi efek anti histamin, anti inflamasi dan anti mikotik diduga yang
atau terkait dengan jamur pada manusia, seperti pitiriasis sika, tinea kapitis,
tinea korporis, tinea kruris, tinea pedis, kandidiasis kutan maupun mucosal
(Conrick, 1996).
31
Penelitian in vitro terhadap 14 jamur antropofilik patogen yang meliputi
serta yeast dengan genus Candida, membuktikan bahwa ekstrak daun dan
minyak mimba mempunyai efek anti dermatofit dan anti kandida yang adekuat
1994).
anti mikotik dilakukan Govindachari et.al.. pada tahun 1997 berdasarkan data
komponen aktif dari ekstrak methanol minyak mimba yang bersifat anti mikotik
32
yang adekuat. Setelah dicampur dalam suatu bioassay, baru komponen-
komponen tersebut secara sinergi menunjukkan efek anti mikotik yang adekuat
minyak mimba yang berasal dari daerah Cimanggu Bogor, memiliki efek anti
Malassezia yang poten pada kadar 5% (Siswati et. al., 2004). Salep yang
tinea korporis pada dua penderita dengan hasil kesembuhan mikologis dan
klinis sudah teramati sejak akhir minggu ke-2 terapi (Nafiah, 2006).
“relatif tidak toksik” (cit. Vietmeyer et. al., 1992: ATGA, 2001).
Pada tes toksisitas terhadap tikus, itik, kelinci dan lebah, US-EPA
memberi efek toksik terhadap hewan coba (cit. Vietmeyer et. al., 1992). Hasil
evaluasi ATGA terhadap toksisitas minyak mimba adalah sebagai berikut: (1)
minyak mimba bersifat toksik terhadap tikus jika diberikan dengan dosis oral
33
lebih dari 4,2 gram (4,2 g = 5ml) /kg BB, dan akan menyebabkan kematian
dalam kurun waktu 24 jam pada pemberian dosis oral lebih dari 8,4 gram/kg
BB. (2) minyak mimba bersifat toksik terhadap kelinci jika diberikan pada dosis
oral lebih dari 8,4 gram/kg BB. (3) Pemberian minyak mimba topikal (30%) di
kulit tikus westar dengan dosis sampai 600 mg/kg BB/hari selama 2 minggu
tidak menyebabkan efek toksik pada tikus. Perubahan histologis yang terjadi
Selain produk insektisida alami yang telah di approved oleh Food and
minyak mimba (Vietmeyer et. al., 1992). Karena FDA belum memberi
utara, Kanada, Inggris dan Jerman berupa sampo, sabun batang, gargle dan
pasta gigi. Di Amerika juga telah dipasarkan krim dan body lotion, sampo dan
34
spray untuk binatang peliharaan (Conrick, 1996: Vietmeyer et.al., 1992).
Rising Sun Health (krim mimba, hand and body lotion, sabun minyak mimba,
spray minyak mimba, ekstrak organik daun mimba, minyak mimba virgin dari
pengepresan dingin, pasta gigi minyak mimba), Desert rain nutrition (sampo
(sampo terapeutik kulit kepala mengandung minyak mimba dan teh hijau,
memasarkan produk mimba yang sudah diisolasi zat aktifnya secara terpisah
malaria).
35
dan Ruhnayat, 2002). Ekstrak daun mimba telah dipasarkan dalam kemasan
kapsul dengan kategori ijin legal sebagai jamu (Sukrasno dan Tim Lentera,
dan sabun berbasis minyak mimba, tetapi masih diproduksi dan dipasarkan
II.3 MIKONAZOL
II.3.1 Struktur
Philips RM, 2001). Mikonazol sedikit larut dalam air dan sedikit larut dalam
(Philips RM, 2001). Mikonazol tersedia dalam berbagai sediaan topikal (Odds
FC, 1996).
36
II.3.2 Farmakologi
masih terdeteksi disana sampai 4 hari setelah satu kali pemberian. Pada
penggunaan topikal absorpsi sistemik yang terjadi minimal yaitu kurang dari
II.3.3 Indikasi
Selain itu juga memiliki efek menghambat Candida albicans dan Malassezia
tinea pedis, pada hari ke-14 didapatkan hasil adanya kesembuhan secara
37
klinis pada 95% yang diterapi dibandingkan dengan 40% pada kelompok
plasebo dan 100% pada kelompok yang diterapi dengan tolnaftat. Dan pada
mikonazole, 50% pada kelompok plasebo dan 75% pada kelompok tolnaftat
(Ongley, 1978).
kecuali pada pitiriasis versikolor cukup digunakan sekali sehari (Philips RM,
2001).
dengan baik (Philips RM, 2001) dengan kejadian efek samping yang jarang
meliputi, iritasi, rasa terbakar, maserasi dan dermatitis alergika pada tempat
38
II.4 KERANGKA TEORI
Antifungal
Dermatofit :
- Microsporum spp Proliferasi
- Trichophyton spp Tinea Glabrosa
keratinosit
- Epidermohpyton spp
FISIK
Iklim,kelembaban,suhu
Keterangan :
= Hubungan
39
II.5 KERANGKA KONSEP
METABOLISME
DERMATOFIT TINEA GLABROSA
- Microsporum spp
- Trichophyton spp
- Epidermohpyton spp
MIKONAZOLE 2 %
Keterangan :
= Variabel Bebas
= Variabel Antara
= Variabel Tergantung
40
II.6 HIPOTESIS
2. Hasil pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH 10% : hasil yang didapat
dari pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH 10% setelah dilihat di bawah
mikroskop.
41
dermatofit baik secara mikroskopis dan makroskopis. Sedangkan
4. Krim ekstrak biji mimba 10% adalah ekstrak minyak biji mimba dalam
basis krim dengan konsentrasi 10%. Diberikan dengan cara dioles pada
konsentrasi 2%. Diberikan dengan cara dioles pada daerah lesi 2 kali
6. Basis krim adalah krim yang terdiri dari stearic acid 3%, cetyl alcohol 2%,
white soft paraffin 2%, steryl alcohol 3%, alpha tocopherol 0,05%, water
emulsifying agent 1,5%, propylene glycol 10%, glyserin 5%, adsorben 1%,
7. Sembuh secara klinis: dikatakan sembuh secara klinis apabila pada saat
follow up hari ke-15 dari pemeriksaan klinis tidak didapatkan lagi adanya
pada saat follow up hari ke-15 dari pemeriksaan kerokan kulit dengan
9. Sembuh secara klinis dan mikologis: dikatakan sembuh secara klinis dan
mikologis apabila pada saat follow up hari ke-15 dari pemeriksaan klinis
42
tidak didapatkan lagi adanya keluhan gatal dan tidak ditemukan lagi
10. Tidak sembuh secara klinis: dikatakan tidak sembuh secara klinis apabila
pada saat follow up hari ke-15 dari pemeriksaan klinis masih didapatkan
skuama.
11. Tidak sembuh secara mikologis: dikatakan tidak sembuh secara mikologis
apabila pada saat follow up hari ke-15 dari pemeriksaan kerokan kulit
12. Tidak sembuh secara klinis dan mikologis: dikatakan tidak sembuh secara
klinis dan mikologis apabila pada saat follow up hari ke-15 dari
yang positif.
43
BAB III
METODE PENELITIAN
kontrol, maka perlu diadakan uji klinis random samar tunggal (single blind
controlled trial) untuk mengetahui efektivitas terapi krim ekstrak biji mimba
sebagai kontrol.
2013.
Makassar.
44
III.3.2 Sampel Penelitian
dengan pemberian nomor 1 dan 2, dimana 1 untuk krim ekstrak biji mimba
Kriteria Inklusi :
2. Berumur 15 – 60 tahun
Kriteria Eksklusi :
45
III.3.2.3 Perkiraan besar sampel
terdiri 15 orang.
tanda dan gejala-gejala seperti gatal, eritema, dan skuama diberikan skor :
46
Kategori gatal :
3 = sangat gatal
2 = kurang gatal
1 = tidak gatal
Kategori effloresensi :
3 = eritem, skuama
1 = makula hiperpigmentasi
Kondisi klinis :
Pemeriksaan fisik ini dilakukan sebelum terapi, hari ke-5, hari ke-10
pengobatan, evaluasi hari ke-5, hari ke-10 dan hari ke-15 sesuai dengan
47
III.4.1.2 Pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH 10 %
Pemeriksaan ini langsung dilakukan sebelum terapi, hari ke-5, hari ke-
10 dan pada saat hari ke 15 setelah terapi untuk menegakkan diagnosis dan
2. Kertas steril
4. Skalpel steril
5. Jarum inokulasi
6. Lampu spiritus
Cara Kerja ;
2. Semua alat dan bahan yang diperlukan disiapkan diatas meja dekat
pasien
3. Nomer kode pasien dituliskan pada bagian belakang kaca benda dan
48
4. Cuci tangan rutin dan memakai sarung tangan steril
6. Bagian pinggir lesi dikerok dengan skalpel steril ke arah atas dengan
permukaan kertas.
8. Teteskan 1-2 tetes KOH 10 % pada permukaan kaca benda, dan ambilah
9. Ujung jarum inokulasi dibasahi dengan sedikit KOH 10% pada kaca
benda, lalu ambillah beberapa skuama dari atas kertas dan masukkan
10. Lembaran kertas yang berisi skuama hasil kerokan ditutup kembali untuk
11. Tetesan KOH ditutup dengan kaca penutup yang bersih, biarkan minimal
10 menit
mungkin
49
14. Hasilnya dinyatakan dengan skor hifa :
2. Kertas steril
- Neopepton 10 gram
- Agar 20 gram
- Kloramfenikol 40 gram
50
4. Skalpel steril
5. Jarum inokulasi
6. Lampu spiritus
Cara Kerja ;
2. Nomer kode pasien ditulis dan tanggal dilakukan pembiakan pada tabung
4. Bukalah lipatan kertas yang berisi skuama hasil kerokan kulit tadi
5. Ambillah satu jarum inokulasi, pijarkan pada lampu spiritus dan dinginkan
6. Bukalah penutup tabung media biakan SDA dan lewatkan ujung tabung
pada api lampu spiritus sebentar dan basahi ujung jarum inokulasi pada
51
9. Masukkan skuama pada ujung jarum inokulasi tersebut untuk dilakukan
kulit tersebut pada media SDA dengan arah zig-zag dari dalam ke luar
tabung
10. Ujung tabung dilewatkan kembali di atas api lampu spiritus sebelum
menutup tabung dan jarum inokulasi, dipijarkan kembali pada api lampu
spiritus.
11. Tabung biakan SDA tersebut kemudian diletakkan pada suhu ruangan 25
- 30 C
12. Observasi dilakukan tiap minggu. Tabung biakan diamati untuk adanya
14. Secara makroskopis dinilai bentuk dan tekstur permukaan koloni, selain
itu juga dilihat warna permukaan dan bagian belakang dari koloni
mungkin
52
17. Dinilai dan dicatat adanya hifa, mikronidia dan makronidia. Dilihat juga
bentukan dari hifa, bentuk dan susunan dari mikronidia dan makronidia
mikonazol 2 %
Obat yang digunakan dalam penelitian ini adalah krim ekstrak biji
digunakan serupa yaitu dalam bentuk krim berwarna putih dan dikemas
dengan pot yang sama (pot putih 10 gr). Pada sampel dilakukan pengundian
urut dengan pemberian nomor 1 dan 2, dimana 1 untuk krim ekstrak biji
Setiap sampel penelitian diberikan salah satu dari kedua obat yang
dioleskan pada lesi 2 kali sehari pagi dan sore selama 14 hari.
53
III.5 ALUR PENELITIAN
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Kerokan (KOH 10 %)
Pemeriksaan Kultur
Randomisasi
Klinis Mikologi
Sembuh Tidak
PENGUMPULAN DATA
PENGOLAHAN DATA
54
III.6 ANALISIS DATA
2. Untuk uji hipotesis digunakan uji Man Whitney U antar kelompok dan
4. Semua hasil analisis data disajikan dalam bentuk tabel atau grafik
55
BAB IV
consent.
krim ekstrak biji mimba 10% sedangkan kelompok B diberi krim mikonazol
2%. Masing-masing krim dioleskan dua kali sehari hingga hari ke 14.
56
IV.1.1 Karakteristik Sampel Penelitian
57
Tabel 2. Jumlah isolat koloni dermatofit berdasarkan species dan tipe
klinis glabrosa
Microsporum spp.
M. audonii 5 2 - 7 20.6
M. audonii var rivalieri 3 - - 3 8.8
M. gypseum - - 1 1 2.9
M. ferugineum var glabrous 1 - - 1 2.9
kasus tinea korporis dan 3 kasus tinea kruris; serta 5 spesies genus
58
Microsporum spp., terbanyak adalah M.audounii 7 koloni (20,6%) yang terdiri
Gambar 5. Gambar 6.
pemberian terapi
59
Tabel 3. memperlihatkan tipe klinis dermatofitosis kulit glabrous
negatif ranks 8 sampel dan adanya sebanyak 9 orang yang tidak mengalami
60
Tabel 5. Perbandingan kerokan kulit pada penderita tinea glabrosa yang
ranks 9 sampel dan adanya 8 orang yang tidak mengalami perubahan hasil
61
Tabel 6. Perbandingan pemeriksaan kerokan kulit pada penderita tinea
glabrosa
pemeriksaan KOH H10 p = 1,000 dan H15 dengan nilai p=0,728, tidak ada
perbedaan bermakna pada kondisi hifa pada pemeriksaan kerokan kulit baik
62
Tabel 7. Perbandingan pemeriksaan klinis pada penderita tinea glabrosa
dengan ties sebanyak 5 kasus yang tidak mengalami perubahan klinis dari 17
negatif ranks sebanyak 9 sampel dan adanya ties sebanyak 8 yang tidak
63
Tabel 8. Perbandingan pemeriksaan klinis pada penderita tinea glabrosa
64
Pemeriksaan klinis pada penderita dengan aplikasi krim ekstrak biji
negatif ranks sebanyak 10 sampel dan adanya ties sebanyak 7 orang yang
0,002).
pemeriksaan klinis H10 dengan nilai p = 0,002, ada perbedaan bermakna dan
pada H15 dengan nilai p = 1,000 , tidak berbeda bermakna untuk kondisi
klinis antara pemberian krim ekstrak biji mimba 10 % dan krim mikonazol 2
%.
65
Tabel 10. Frekuensi pemeriksaan klinis pada aplikasi krim ekstrak biji
mimba 10 %
Skor Klinis H 10 H 15
N % n %
Tidak gatal dengan atau tanpa
makula hiperpigmemtasi 11 64.7 12 70,6
Skor Klinis H 10 H 15
N % n %
Tidak gatal dengan atau tanpa 2 11,8 12 70,6
makula hiperpigmemtasi
66
IV.2. PEMBAHASAN
pada usia remaja hingga dewasa. Penularan terjadi akibat kontak langsung
dengan kulit pasien atau kontak tidak langsung dengan benda yang
kelompok umur 16-30 tahun dan laki-laki kelompok umur 0-15 tahun,
rumah.
67
2010). Insiden dermatofit tersering di Asia T. mentagrophytes (Havlickova et
al., 2008), sedangkan dermatofit yang endemik di Asia dan Afrika antara lain
T.mentagrophytes (10 kasus), yang terdiri dari 7 kasus tinea korporis dan 3
superfisialis di Unit Rawat Jalan Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr.
delapan kasus (15,7%) yang terdiri dari empat kasus tinea kruris, dua kasus
tinea korporis, dan dua kasus tinea unguium (Hidayati et. al., 2009).
(Aghamirian M.R. dan Ghiasian S.A., 2007, Dehghan M., et.al., 2009), Saudi
Arabia (Abanmi A., dkk, 2008), dan Tunisia (Neji S., et.al., 2009). Tinea
Makassar dan jejaringnya selama 2 bulan penelitian (Tabel 3), diikuti tinea
kruris (29,4%) dan tinea fasialis (3%). Hasil ini sesuai dengan data
68
(Babic-Erceg A.,dkk, 2004) dan Rajasthan(Jain N., dkk, 2008) Belum
aplikasi krim ekstrak biji mimba 10 % pada Tabel 4, demikian pula pada
perubahan mikologis untuk H10 – H15 antara aplikasi krim ekstrak biji mimba
10% dan kirm mikonazol 2% (Tabel 6.) p>0,005 (p=0,728) tidak ada
perbedaan bermakna antara kedua krim. Hasil yang tidak terlalu berbeda
digunakan dalam penelitian ini (10%) sehingga dalam hal efektifitas dan
potensi sebagai anti mikotik yang dikandungnya tidak setara dengan kadar
anti mikotik dalam krim mikonazol 2%. Vehikulum bentuk salep yang
mengandung minyak biji mimba berkadar 10% pernah dicobakan untuk terapi
tinea korporis pada dua penderita dengan hasil terapi yang memuaskan.
69
Kesembuhan mikologis dan klinis sudah teramati sejak akhir minggu ke-2
(perbaikan) secara klinis dengan menilai gatal dan effloresensi yang nampak.
krim ekstrak biji mimba 10% pada Tabel 7., demikian pula pada aplikasi krim
H15 antara aplikasi krim ekstrak biji mimba 10% dan kirm mikonazol 2%
(Tabel 9.) p>0,005 (p=1,000) tidak ada perbedaan bermakna antara kedua
krim. Hal ini tentu saja sangat tergantung pada konsentrasi komponen aktif
obat yang digunakan, oleh karena optimalisasi dan potensi efektifitas terapi
topikal sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya konsentrasi zat aktif yang
70
formulasi, aplikasi dan subjek terhadap penyerapan obat adalah konsentrasi
vehikulum, temperatur, hidrasi atau oklusi dan faktor pasien seperti umur,
panen dan penyimpanan biji mimba, umur biji mimba, tingkat kekeringan biji,
Selama terapi secara keseluruhan, krim ekstrak biji mimba 10% dan
krim mikonazol 2% dapat ditoleransi dengan baik, dimana selama terapi tidak
penderita dari kedua kelompok. Dapat ditinjau dari analisis statistik hasil
penelitian dimana diperoleh nilai ties, dianggap bermakna karena ada nilai
71
ATGA juga menyebutkan tidak adanya laporan tentang efek tak diinginkan
lain karena sepengetahuan penulis sampai saat ini belum ada penelitian
sama yang membandingkan efektifitas krim ekstrak biji mimba dengan krim
mikonazol pada penderita tinea glabrosa dan masih sedikitnya penelitian uji
klinis terhadap minyak mimba terutama krim ekstrak biji mimba. Sedangkan
untuk hasil terapi mikonazol pada penelitian ini sesuai dengan kepustakaan
seperti yang telah dijelaskan sebelum terapi. Selain itu tidak ada penelitian
yang sama sebagai pembanding dari hasil penelitian ini untuk memperkuat
ekstrak biji mimba 10% tidak berbeda dengan mikonazol 2%, tapi kalau
hal tersebut, diperlukan penelitian lebih lanjut dengan pengamatan yang lebih
72
lama dan menggunakan konsentrasi obat yang lebih tinggi untuk dapat
penggunaan krim ekstrak biji mimba sebagai terapi alternatif untuk tinea
73
BAB V
V.1 KESIMPULAN
disimpulkan:
V.2. SARAN
lebih lama untuk melihat kasus relaps dari pengobatan yang diberikan.
74
DAFTAR PUSTAKA
75
Elgart, M. L. & Warren, N. G. 1992 The Superficial and subcutaneus
mycoses. dalam Moschella, S. L. & Hurley, H. J. (Eds.) Dermatology.
3rd ed. Philadhelpia, W B Sauders Company.
Estri, SATS., Suswardana & Siswati, A. 2004 Efek anti mikotik minyak mimba
terhadap dermatofita. Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) Perdoski. Bali
Indonesia.
Fisher, F. & Cook, N. B. 1998 Fundamental of Diagnostic Mycology,
Philadelphia, WB Saunders.
Govindachari, T.R., Suresh, G., Gopalakrisnan, G., Banumathy, B.,
Masilamani, S., 1997.Identification of Antifungal Compounds from The
Seed Oil of Azadirachtaindica.Phytoparasitica. 26 (2); 1-8.
Gupta, A. K. & Tu, L. Q. 2006 Dermatophytes: Diagnosis and treatment. J Am
Acad Dermatol. 54: 1050-5.
Hainer, B. L. 2003 Dermatophyte Infections. Am Fam Physician. 67: 101-8.
Hay, R. & Ashbee, H. 2010 Mycology. dalam Burns, T., Breathnach, S., Cox,
N. & Griffiths, C. (Eds.) Rook’s Textbook of Dermatology. Oxford,
Blackwell Publishing.
Hazen, K. 2000 Evaluation of in vitro susceptibility of dermatophytes to oral
antifungal agents. J Am AcadDermatol. 43: S125-129.
Havlickova, B., Czaika, V. A. & Friedrich, M. 2008 Epidemiological trends in
skin mycoses worldwide. Mycoses. 51 2–15.
Hidayati, A. N., Suyoso, S., P, D. H. & Sandra, E. 2009 Mikosis Superfisialis
di Divisi Mikologi Unit Rawat Jalan Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD
Dr. Soetomo Surabaya Tahun 2003–2005. Berkala Ilmu Kesehatan
Kulit & Kelamin. Surabaya, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
High, W. A. & Fitzpatrick, J. E. 2008 Topical Antifungal Agents. dalam Wolff,
K, Goldsmith LA, Katz SI., Gilchrest BA, Paller AS & Leffell DJ. (Eds.)
Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York, Mc
Graw Hill.
Howard, B. 1994 Dermatophytes. IN Howard, B., Keiser, J., Smith, T.,
Weissfeld, A. & Tilton, R. (Eds.) St Louis, MO Mosby
Johnson, L. 2003 Dermatophytes – the skin eaters. Mycologist. 17: 147-9.
Kardinan, A., Ruhnayat, A. 2002. Mimba :Budidaya dan Pemanfaatan, Bogor.
Penebar Swadaya. 1-16.
Ketkar, A.Y., Ketkar, C.M. 1999. Various usesofNeem Products.Dalam
:Norten, E., Putz, J., Straw, D., Werner, K. Editor. Neem: India’s
Miraculous Healing Plant. 519-29
76
Khan, M., Wassileuw, S.W., Scneider, B., Splaneman, V. 1987. Experimental
Study of The Effect of Raw Material from The Neem Tree, Neem Oil,
and Neem Extract on Dermatophytes, Yeasts and Molds. Z Hautkr. 63
(6); 499-502. (Abstract).
Kusmarinah, B. 2009 Tren Epidemiologi Mikosis Superfisialis di Indonesia.
Kongres Nasional IV & Temu Ilmiah Perhimpunan Mikologi Kedokteran
Manusia dan Hewan Indonesia(PMKI). Manado, Perhimpunan
Mikologi Kedokteran Manusia dan Hewan.
Kuswadji & Widaty, S. 2001 Obat Antijamur. dalam Budimulja, U., Kuswadji,
Bramono, K., Menaldi, S., Dwihastuti, P. & Widaty, S. (Eds.)
Dermatomikosis superfisialis. Jakarta, Balai Penerbit FKUI.
Larone, D. H. 1996 Culture and Identification of Dermatophytes. CMNEEJ.
18: 33-40.
Locke, J.C. 1999. Fungi.Dalam :Norten, E., Putz, J., Straw, D., Werner, K.
Editor. Neem: India’s Miraculous Healing Plant. 118-25.
Nafiah, C., Suswardana, Estri, S. & Siswati, A. 2006 Succesfull treatment of
tinea corporis with neem oil-oinment. Regional Conference of
Dermatology (RCD). Bali Indonesia.
Nugroho, S. A. & Siregar, R. S. 2001 Pemeriksaan Penunjang diagnosis
dermatoikosis superfisialis, Jakarta, Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Odds FC., 1996 Antifungal therapy. In : Kibbler CC, Mackenzie DWR, Odds
FC (Eds), Principles and practice of clinical mycology, Chicester : Jhon
Wiley & Sons.
Ongley RC., 1978. Efficacy of topical miconazole treatment of tinea pedis.
Can Med Assoc J. 119:353-4.
Philips RM, 2001, Topical antifungal agents. In : Wolverton SE, (Eds).
Comprehensive dermatologic drug therapy. Philadelphia: W.B.
Saunders company.
Richardson MD., Warnock DW., 1993 Fungal infection: diagnosis and
management. London: Blackwell Science
Rinaldi, M. 1989 Emerging opportunists.Infect Dis Clin North Am. 3: 65-76.
Rinaldi, M. 2000 Dermatophytosis: epidemiological and microbiological
update. J Am AcadDermatol. 43: S120-4.
Rossi, A., Peres, N. T. d. A., Maranhão, F. C. A. & Martinez-Rossi, N. M.
2010 Dermatophytes: host-pathogen interaction and antifungal
resistance. An Bras Dermatol. 85: 657-67.
77
Rippon, J. W. 1988 Dermatophytosis and Dermatomycosis. dalam
Wonsiewicz, M. (Ed.) Medical Mycology The Pathogenic Fungi and
The Pathogenic Actinimycetes. Philadelphia, W B Saunders Company.
Selvester, J. M. 1999. Neem “The Village Pharmacy”.
http://www.netowne.com/alt-healing/ayurveda. Diakses 16-12-2002.
Siswati, A., Estri, S. & Suswardana 2005 Daya hambat minyak Azadirachta
Indica terhadap pertumbuhan Malassezia sp. secara invitro. BKK.
SPIC-Science Foundation.Natural Products Isolated; Neem Constituents.
http://www.SPICScience.org Diakses 12/01/2004.
Sukanto, H. 2002 Imunologi Dermatofitosis. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin. Surabaya, Universitas Airlangga.
Sukrasno, Tim Lentera. 2003. MimbaTanaman Obat Multi Fungsi. Jakarta.
Agro Media Pustaka.1-30.
Suswardana 2007 Potensi minyak mimba (Azadirachta indica) untuk terapi
mikosis superfisialis. Berkala I Kes Kul Kel. 19: 202-4.
Tabassam, S., Iqbal, Z., Jabbar, A., Sindhu, Z. & Chattha, A. 2008 Efficacy of
crude neem seed kernel against infestation of Sarcoptes scabiei
var.ovis. J. Ethnopharmacol. 115(2): 284-7.
Thornborough, J. 2000. Neem : An Ancient Cure for A Modern World.
http://www.neemfoundation.org/ Diakses16-12-2002.
Venugopal, P.V., Venugopal, T.V. 1994. Antidermatophytic Activities of Neem
(Azadirachta indica) Leaves In Vitro. Indian Journal of Pharmacology. 26.
141-3
Verma, S. & Heffernan, M. P. 2008 Superficial Fungal Infection:
Dermatophytosis, Onychomycosis, Tinea Nigra, Piedra. dalam Wolff,
K., Goldsmith, L. A., Katz, S. I., Gilchrest, B. A., Paller, A. S. & Leffel,
D. J. (Eds.) Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. 7th ed. New
York, Mc Graw Hill.
Vietmeyer, N.D., Ed. 1992. Neem : A Tree for Solving Global Problems.
Report of an ad hoc Panel of the Board on Science and Technology for
International Development, Washington, DC. US National Research
Council National Academy Press.
Weeks, J., Moser, S. A. & Elewski, B. E. 2003 Superficial cutaneous fungal
infections. dalam Dismukes, W. E., Pappas, P. G. & Sobel, J. D. (Eds.)
Clinical Mycology. New York, Oxford University Press.
78