Anda di halaman 1dari 78

EFEKTIVITAS KRIM EKSTRAK BIJI MIMBA 10% PADA

PENDERITA TINEA GLABROSA

EFFECTIVITY OF NEEM SEED EXTRACT 10 % CREAM ON


TINEA GLABROSA PATIENT

ERLINA ARI WINDYARESKI

KONSENTRASI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU


PROGRAM STUDI BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013

1
EFEKTIVITAS KRIM EKSTRAK BIJI MIMBA 10% PADA
PENDERITA TINEA GLABROSA

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Derajat Magister

Program Studi Biomedik

Disusun dan Diajukan Oleh

ERLINA ARI WINDYARESKI

Kepada

KONSENTRASI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU


PROGRAM STUDI BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013

2
Pembimbing karya akhir Program Pendidikan Dokter Spesialis I, program

studi Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas

Hasanuddin, sesuai dengan SK Dekan Fakultas Kedokteran Universitas

Hasanuddin nomor : 4371/UN4.7/PP.31/2012

Ketua : dr. Safruddin Amin, SpKK(K), MARS

Sekretaris : Dr. dr. Farida Tabri, SpKK(K)

Anggota : 1. Prof. Dr. Gemini Alam, MSi. Apt.

2. dr. Rizalinda Sjahril, M.Sc. PhD

3. Dr. dr. Burhanuddin Bahar, MS

Ketua Bagian : dr. Alwi A. Mappiasse, Sp.KK., PhD., FINSDV

Ketua Program Studi : Dr. dr. Khairuddin Djawad, SpKK(K)

3
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Erlina Ari Windyareski


Nomor Mahasiswa : P1507209048
Program studi : Biomedik / PPDS Terpadu (Combined Degree)
FK. UNHAS

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-benar
merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan
tulisan atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil
karya orang lain saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Makasaar, Mei 2013


Yang menyatakan

Erlina Ari Windyareski

4
DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ....................................................................................... xi

DAFTAR TABEL ............................................................................... xii

DAFTAR GAMBAR ........................................................................... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................... xiv

DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN ................................ xv

BAB I. PENDAHULUAN ................................................................... 1

I.1 Latar Belakang Masalah ....................................................... 1

I.2 Rumusan Masalah ................................................................ 5

I.3 Tujuan Penelitian .................................................................. 5

I.4 Manfaat Penelitian ................................................................ 6

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................... 7

II.1 Dermatofitosis Pada Kulit Glabrous ..................................... 7

II.2 Minyak Mimba (Azadirachta Indica) ..................................... 18

II.3 Mikonazol.............................................................................. 29

5
II.4 Kerangka Teori .................................................................... 32

II.5 Kerangka Konsep ................................................................ 33

II.6 Hipotesis .............................................................................. 34

II.7 Definisi Operasional ............................................................. 34

BAB III. METODE PENELITIAN ...................................................... 37

III.1 Rancangan Penelitian .......................................................... 37

III.2 Lokasi Dan Waktu Penelitian .............................................. 37

III.3 Populasi Dan Tekhnik Sampel Penelitian ........................... 37

III.4 Teknik Pengumpulan Data .................................................. 39

III.5 Alur Penelitian ..................................................................... 47

III.6 Analisis Data ....................................................................... 48

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ........................ 49

IV.1 Hasil Penelitian .................................................................. 49

IV.2 Pembahasan ...................................................................... 59

6
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................ 65

V.1 Kesimpulan .......................................................................... 65

V.2 Saran ................................................................................... 65

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 66

LAMPIRAN ........................................................................................ 70

7
BAB I
PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG MASALAH

Indonesia merupakan negara berkembang beriklim tropis yang panas

dan lembab, memenuhi syarat untuk menjadi tempat penyakit jamur

berkembang dengan baik, khususnya dermatomikosis. Mikosis superfisialis

cukup banyak diderita penduduk negara tropis di Indonesia, khususnya di

Makassar selama ini selalu menempati urutan kedua setelah golongan

dermatitis (Dali, 2003).

Data tiga tahun terakhir dari beberapa rumah sakit pendidikan di

Indonesia menunjukkan bahwa di antara insidens berbagai jenis mikosis

superfisialis, dermatofitosis menduduki urutan tertinggi, diikuti pytiriasis

versicolor dan kandidosis. Tinea kruris adalah jenis dermatofitosis yang

terbanyak ditemukan, diikuti oleh tinea korporis. Dibandingkan dengan

keadaan tiga dekade yang lalu, tinea kapitis mengalami penurunan insidens,

tetapi tinea unguium dan onikomikosis makin meningkat. Satu tren lain

adalah dermatofitosis yang luas atau gambaran klinis yang kurang khas pada

individu imunokompromais yang semakin banyak dilaporkan (Kusmarinah,

2009).

8
Jamur bisa menyerang semua bagian tubuh termasuk kuku jari,

rambut, jamur penyebab dermatofitosis adalah dermatofit, suatu kelompok

jamur yang berfilamen yang dikenal sebagai ringworm fungi (Howard, 1994).

Faktor-faktor yang memegang peranan penting terjadinya

dermatofitosis antara lain adalah iklim yang panas, hygiene yang kurang,

adanya sumber penularan, penggunaan obat-obatan, adanya penyakit kronis

atau sistemik lainnya (Adiguna, 2001). Selama lebih dari beberapa dekade,

terlihat peningkatan infeksi oportunistik baru termasuk dermatofitosis dan

infeksi jamur lain yang sebelumnya tidak menyerang manusia atau hewan.

Peningkatan jumlah pasien yang menerima kemoterapi, transplantasi organ

dan nutrisi parenteral menambah jumlah pasien imunosupresi. Beberapa

jamur sebelumnya dikenal kurang berbahaya sekarang menjadi patogen

sehingga dapat menginfeksi host yang mengalami perubahan status imun

(Rinaldi, 1989).

Invasi jamur dermatofit ke dermis dimulai dengan perlekatan

artrokonidia pada keratinosit diikuti dengan penetrasi melalui atau diantara

sel epidermis sehingga menimbulkan reaksi dari hospes. Proses pelekatan

artrokonidia ke keratinosit pada stratum korneum, memerlukan waktu 2 jam di

mana terjadi pertumbuhan artrokonidia dan perpanjangan hifa. Penetrasi ke

dalam epidermis disebabkan oleh karena dermatofit bersifat keratinofilik,

mempunyai enzim proteolitik keratinase yang dapat merusak keratin dari

9
kulit, rambut dan kuku (Sukanto, 2002). Dermatofitosis dapat bermanifestasi

klinik sebagai tinea kapitis, tinea fasialis, tinea korporis, tinea kruris, tinea

pedis dan tinea unguium (Dali, 2003).

Pasien dengan infeksi jamur yang terbatas pada kulit glabrous

biasanya cukup diobati dengan agen topikal (High dan Fitzpatrick, 2008).

Topikal bentuk krim merupakan campuran air dalam minyak dimana emulsi

kurang berminyak, menyebar dengan mudah pada lapisan kulit, dan

memberikan lapisan pelindung dari minyak yang tetap pada kulit berfungsi

melunakkan, sedangkan penguapan lambat dari fase air memberikan efek

pendinginan (Bergstrom dan Strober, 2008).

Pohon mimba banyak dijumpai di hampir seluruh wilayah indonesia,

terutama di Jawa Barat (Subang dan Indramayu), Jawa Timur (Malang, Asem

Bagus), Jogjakarta dan sekitarnya, Nusatenggara Barat dan Bali (Kardinan

dan Ruhnayat, 2002). Beberapa perkebunan mimba seperti PT. Intaran

Indonesia-Bali, Qolbun Salim dan Balittro-Bogor, mampu memproduksi

sendiri minyak mimba, bahkan beberapa diantaranya juga sudah membuat

sampo berbahan aktif minyak mimba (Kardinan dan Ruhnayat, 2002).

Secara tradisional di India, sudah lebih dari 4000 tahun minyak mimba

digunakan sebagai obat untuk untuk ketombe dan gangguan kulit karena

jamur (Vietmeyer, 1992, Conrick, 1996). Penelitian oleh David (1965),

10
Narayan (1965), Thind dan Dahiya (1977), Kher dan Chauraisia (1977), Khan

et al. (1987) melaporkan bahwa minyak mimba memiliki efek anti mikotik(cit.

Vietmeyer, 1992). Sifat anti mikotik minyak mimba ditentukan oleh kandungan

campuran triterpenoid : 6-deasetil nimbin, azadiradion, nimbin, salanin dan

epoksiazadiradion secara bersama. Dalam keadaan tunggal masing-masing

senyawa triterpenoid ini tidak menunjukkan efek anti mikotik yang adekuat,

tetapi bila masih dalam keadaan tercampur secara bioassay mereka

menunjukkan efek anti mikotik yang poten (Govindachari et al., 1997).

Venugopal dan Venugopal yang meneliti tentang efek anti-dermatofita ekstrak

daun mimba melaporkan bahwa komponen bioaktif yang bersifat anti-

dermatofita pada mimba adalah ‘nimbidin’, suatu triterpenoid mengandung

sulfur, yang juga banyak terdapat dalam minyak mimba (Venugopal dan

Venugopal, 1994).

Studi tentang efek anti mikotik minyak mimba telah dilakukan di

Indonesia. Minyak mimba yang diuji, berasal dari pengepresan sederhana biji

mimba yang dipanen dari perkebunan mimba Balai Penelitian Tanaman

Rempah dan Obat (Balittro) di Cimanggu Bogor. Studi invitro pertama,

memperlihatkan adanya kemampuan minyak mimba menghambat

pertumbuhan Trichophyton mentagrophytes, Epidermophyton floccosum dan

Microsporum gypseum pada kadar 6,5–12,5% (Estri et.al., 2004,

Suswardana, 2007). Studi kedua, minyak mimba juga memiliki kemampuan

11
menghambat pertumbuhan Malassezia spp. secara bermakna mulai kadar

2,5% dengan minimal fungicide concentration pada kadar 7,5% (Siswati

et.al., 2005, Suswardana, 2007).

Salep yang mengandung minyak mimba berkadar 10% pernah

dicobakan untuk terapi tinea korporis pada dua penderita dengan hasil

kesembuhan mikologis dan klinis sudah teramati sejak akhir minggu ke-2

terapi (Nafiah, 2006, Suswardana, 2007).

Penelitian ini dilakukan untuk melihat adanya efektivitas krim minyak

mimba sebagai anti mikotik pada tinea glabrosa secara klinis dan mikologis.

I.2. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian masalah di atas maka dapat dirumuskan suatu

pertanyaan penelitian yaitu, apakah krim ekstrak biji mimba 10% efektif pada

terapi tinea glabrosa sebagai anti mikotik ?

I.3 TUJUAN PENELITIAN

I.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui efektivitas krim ekstrak biji mimba 10% terhadap

infeksi dermatofit pada tinea glabrosa.

12
I.3.2. Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi spesies dermatofit pada penderita tinea glabrosa

dengan pemeriksaan kultur dekstrose suboroud agar (SDA).

2. Menguji efektivitas aplikasi krim ekstrak biji mimba 10%

menggunakan pemeriksaan KOH 10% penderita tinea glabrosa.

3. Menguji efektivitas aplikasi krim mikonazol 2% menggunakan

pemeriksaan KOH 10% penderita tinea glabrosa.

4. Membandingkan efektivitas krim ekstrak biji Mimba 10% dan krim

mikonazol 2% pada penderita tinea glabrosa.

I.4. MANFAAT PENELITIAN

1. Diharapkan dapat memberikan informasi mengenai efektivitas

penggunaan krim ekstrak biji mimba 10% untuk terapi tinea glabrosa.

2. Hasil yang diperoleh dapat menjadi panduan alternatif dalam

penatalaksanaan infeksi dermatofit khususnya tinea glabrosa.

13
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. DERMATOFITOSIS PADA KULIT GLABROUS

II.1.1 Definisi

Dermatofitosis adalah infeksi superfisial pada jaringan yang

mengandung lapisan keratin, misalnya kuku, rambut dan stratum korneum

pada epidermis yang disebabkan oleh jamur golongan dermatofita, yaitu

Microsporum, Trichophyton dan Epidermophyton (Rippon, 1988, Verma dan

Heffernan, 2008). Dermatofitosis dapat dikelompokkan ke dalam dermatofit

yang menginfeksi manusia (antropofilik), menginfeksi hewan (zoofilik) atau

dermatofit yang tumbuh di tanah (geofilik). Infeksi dermatofit dapat

berlangsung seumur hidup, kronik maupun rekuren (Hazen, 2000).

Dermatofitosis pada kulit glabrous adalah dermatofitosis yang

mengenai kulit berambut halus, yaitu tinea korporis, tinea kruris, dan tinea

pedis. Pola inflamasi karakteristik pada dermatofitosis pada kulit glabrous

adalah adanya tepi lesi yang aktif, terdapat skuama, dan adanya pola

menyembuh pada pusat lesi (Hainer,B.L., 2003).

14
II.1.2 Patogenesis Infeksi Dermatofit

Dermatofit memiliki kemampuan menggunakan keratin sebagai

sumber nutrisi dan memegang peranan dalam infeksi kutaneus. Dermatofit

jarang menginfeksi jaringan di bawah lapisan kornifikasi, hanya berkolonisasi

pada lapisan yang telah mati. Inisiasi infeksi dimulai dengan perlekatan

artrokonidia, penetrasi hifa sebelum terjadi proliferasi sel epidermal sehingga

menyebabkan deskuamasi sel yang terinfeksi. Pertumbuhan dermatofit pada

kulit nampak sebagai miselium bersepta dan bercabang dengan

pembentukan artrospora (Johnson, L., 2003). Patogenesis dermatofitosis

melalui 3 fase :

II.1.2.1 Adhesi/Perlekatan

Adhesi/perlekatan artrokonidia yang infeksius pada keratinosit di

stratum korneum. Perlekatan secara sempurna terjadi dua jam setelah kontak

pertama kali (Hay, R.J. dan Ashbee, H.R., 2010), pemanjangan struktur fibril

yang mirip bentuk jangkar kapal terjadi setelah perlekatan dan

menghubungkan artrokonidium dengan permukaan jaringan sehingga

mencegah terlepasnya artrokonidia pada stratum korneum. Selama

perlangsungan infeksi, struktur fibril pada lapisan yang lebih dalam akan

menjadi lebih halus dan memendek, menutupi permukaan jaringan, bentuk

datar ini meningkatkan perlekatan artrokonidia dan memungkinkan

15
pengambilan nutrisi bagi artrokonidia (Rossi, A.,et.al.., 2010). Germinasi dan

penetrasi artrokonidia terjadi setelah terjadi perlekatan tersebut, diikuti oleh

prolongasi hifa. Hifa yang memanjang mengadakan indentasi pada

keratinosit akibat adanya aksi enzimatik (Hay, R.J. dan Ashbee, H.R., 2010).

II.1.2.2 Penetrasi

Dermatofit bersifat keratinofilik, memiliki enzim proteolitik yang

menghasilkan proteinase (keratinase) dengan spesifik terhadap keratin,

lipases dan enzim musinolitik, yang juga menyediakan nutrisi untuk fungi

(Hay, R.J. dan Ashbee, H.R., 2010). Dermatofit menggunakan makromolekul

pada jaringan pejamu sebagai sumber karbon, nitrogen, fosfor dan sulfur.

Keratinase mengkatalisis degradasi keratin menjadi oligopeptida atau asam

amino yang dapat diasimilasi oleh fungi untuk memperkuat penetrasi ke

stratum korneum (Rossi, A.,et.al.., 2010). Trauma dan maserasi memegang

peranan penting dalam menfasilitasi penetrasi fungi. Protein mannan fungi

pada dinding sel dermatofit menurunkan proliferasi keratinosit. Semua

spesies dapat menginvasi stratum korneum kulit, namun untuk menginvasi

rambut dan kulit, tiap spesies dermatofit memiliki kemampuan invasi yang

berbeda (Hay, R.J. dan Ashbee, H.R., 2010).

16
II.1.2.3 Respon Pejamu

Kulit memiliki fungsi sebagai pembatas fisik melawan invasi fungi,

netrofil, proliferasi selular epidermal dan keratinisasi memiliki peranan penting

dalam respon pejamu, menyingkirkan mikroorganisme ke stratum superfisial

kulit dan memicu eliminasi fungi yang cepat. Setelah terjadi paparan

dermatofit ke kulit, dapat terjadi beberapa tahap, yaitu tahap presentasi

antigen yang akan ditangkap oleh sel yang mempresentasikan antigen pada

sistem imun kulit yaitu sel langerhans yang memiliki kemampuan melakukan

fagositosis sehingga terjadi degradasi antigen tersebut; tahap rekruitmen sel,

terjadi peningkatan makrofag, limfosit CD4+ dan CD8+; dan terakhir tahap

resolusi yang ditandai adanya reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Respon

pejamu terhadap kontak dengan dermatofit menyebabkan peningkatan

epidermopoiesis yang meningkatkan regenerasi sel epidermal yang

mendorong pengeluaran dermatofit dari permukaan kulit. Respon imun

selular penting dalam statis imunoprotektif terhadap infeksi dermatofit

(Blanco,J.L. dan Garcia, M.E., 2008).

Berat ringannya inflamasi akibat infeksi dermatofit dipengaruhi oleh

status imun penderita dan organisme yang terlibat dalam inflamasi tersebut.

Beberapa fungi menghasilkan faktor kemotaktik yang memiliki berat molekul

rendah seperti yang dihasilkan oleh bakteri. Beberapa fungi lainnya

mengaktifkan komplemen melalui jalur alternatif yang menghasilkan

17
komplemen oleh faktor kemotaktik lainnya. Pembentukan antibodi tidak

memberikan proteksi pada infeksi dermatofit, sebaliknya hipersensitivitas tipe

lambat (hipersensitivitas tipe IV) memegang peranan penting dalam melawan

dermatofit. Imunitas selular dipertahankan oleh sekresi interferon-gamma

oleh limfosit T-helper tipe 1 (Verma, S. dan Heffernan, M.P., 2008).

II.1.3 Faktor yang Berpengaruh terhadap Infeksi

Terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap infeksi

dermatofit, yaitu faktor usia, jenis kelamin, genetik dan ras, faktor endokrin

dan metabolik, suhu dan lingkungan, serta organisme yang berkompetitif

dengan dermatofit dan bersifat co-pathogen. Faktor usia dan jenis kelamin

berhubungan dengan produksi sebum, cara berpakaian dan fluktuasi

imunitas pada usia tua. Tidak terdapat bukti bahwa pasien diabetes bersifat

suseptibel terhadap infeksi dermatofit, walaupun terdapat banyak kasus

diabetes disertai infeksi dermatofit seperti tinea pedis hingga onikomikosis.

Pertumbuhan dermatofit tidak berkembang baik pada suhu 37ºC, sehingga

kurang dapat berpenetrasi pada epidermis dan demis. Kelembaban berperan

dalam germinasi artrokonidia pada keratinosit (Verma, S. dan Heffernan,

M.P.,2008).

18
II.1.4 Tipe Klinik Dermatofitosis pada kulit glabrous

II.1.4.1 Tinea Korporis

Tinea korporis biasa disebut sebagai ringworm of glabrous skin,

manifestasi klinis timbul akibat invasi dan proliferasi fungi penyebab pada

stratum korneum, pada daerah trunkus dan anggota gerak tubuh. Daerah

infeksi biasanya pada kulit yang sering terpapar, jarang merupakan perluasan

dari infeksi sebelumnya. Beberapa kasus infeksi merupakan penyebaran dari

skalp, turun ke leher hingga ke trunkus bagian atas, atau dari paha ke

bokong dan trunkus bagian bawah. Karakteristik lesi berupa lesi sirkular,

pinggir lesi berbatas tegas dan meninggi pada tepinya. Lesi dapat tunggal,

dapat juga multipel lesi. Pola lesi lebih bervariasi pada penderita yang

memiiki defek pada respon imun selular (Hay, R.J. dan Ashbee, H.R., 2010).

Tipe inflamasi yang biasanya disebabkan oleh dermatofit geofilik dan zoofilik,

dapat berkembang krusta, vesikel, papul atau bahkan pustul. Infeksi

dermatofit oleh T.rubrum, biasanya berlangsung sangat kronik, tanpa

inflamasi dan lesi yang meluas (Degreef,H., 2008).

Dermatofit predominan adalah T.rubrum dan T.tonsurans.

Trichophyton tonsurans dinyatakan sebagai penyebab terbanyak tinea

korporis gladiatorum yang biasanya terjadi pada pegulat. Terdapat tiga varian

tinea korporis, yaitu granuloma Majocchi yang disebabkan terutama oleh

19
T.rubrum atau T.mentagrophytes, tinea imbrikata yang disebabkan oleh

T.concentricum, dan tinea inkognito yang memiliki lesi yang atipikal akibat

pengobatan tinea menggunakan kortikosteroid topikal sehingga

mengaburkan karakteristik tinea yang khas (Keiler, S.A. dan Ghannoum,

M.A., 2010).

II.1.4.2 Tinea Kruris

Tinea kruris merupakan reaksi inflamasi akut maupun kronik pada kulit

daerah inguinal yang disebabkan oleh dermatofit, inflamasi kronik yang

paling sering disebabkan oleh T.rubrum, sebaliknya T.Interdigitale

(T.mentagrophytes var. interdigitale) juga tidak jarang dapat menginfeksi

penderita, memberikan reaksi inflamasi akut. Epidermophyton flocossum

dilaporkan menjadi spesies dermatofit yang paling sering menyebabkan tinea

kruris di masa lalu, namun sekarang jarang dilaporkan lagi. Tinea kruris lebih

sering pada orang dewasa dibanding pada anak-anak, dan memiliki

prevalensi tiga kali lebih sering pada laki-laki daripada wanita (Degreef, H.,

2008).

Infeksi ini sangat menular, biasanya ditularkan melalui handuk atau

lantai kamar mandi, atau kamar hotel.dapat juga akibat memakai baju yang

ketat. Beberapa kasus, pasien yang menderita tinea kruris juga mendapat

tinea pedis, dengan penyebab yang sama (Keiler, S.A. dan Ghannoum, M.A.,

20
2010). Lesi yang timbul bisa unilateral, namun kedua sela paha dapat segera

terinfeksi. Perluasan lesi dapat terjadi ke arah distal dan medial dari pada dan

ke arah proksimal ke arah abdomen bawah serta daerah pubis, perineum dan

bokong. Tinea kruris menyebabkan rasa gatal dan sensasi terbakar akibat

gesekan dan garukan, likenifikasi serta hiperpigmenasi pada lesi kronis

(Degreef,H., 2008).

II.1.4.3 Tinea Pedis

Tinea pedis tersering disebabkan oleh T.mentagrophytes dan

T.rubrum (Gupta, A.K. dan Tu, L.Q., 2006). Tinea pedis kronik biasanya

disebabkan oleh T.rubrum (yang memiliki periode inkubasi beberapa minggu)

sedang T.mentagrophytes memiliki lesi yang lebih inflamasi (Richardson dan

Warnock, 1993). Gambaran klinik terlihat lebih sering bilateral dibanding

infeksi unilateral, lebih sering pada laki-laki pada rentang umur 20-50 tahun.

Tinea pedis terdapat dalam tiga bentuk yaitu infeksi interdigital akut atau

kronik, infeksi hiperkeratotik kronik (moccasin atau tipe kering) dan infeksi

vesikuler (inflamasi) (Richardson,M. dan Warnock,D., 1993).

21
II.1.5 Identifikasi Dermatofit

II.1.5.1 Pemeriksaan Kerokan Kulit Langsung

Diagnosis infeksi dermatofit lebih sering ditegakkan berdasarkan

pemeriksaan mikroskopis langsung dengan larutan kalium hidroksida (KOH).

Pemeriksaan langsung kerokan kulit dapat diambil dari lesi dan diperiksa di

bawah mikroskop setelah diberikan larutan KOH 10-20% (Weeks et al.,

2003). Pemeriksaan langsung dengan KOH dari skuama yang terinfeksi,

elemen jamur dermatofit akan terlihat sebagai garis-garis yang tersusun dari

hifa diantara sel-sel epitel, bercabang dan biasanya bersepta, dan kadang

hifa mempunyai banyak septa dan yang berdekatan disebut artrospora (Hay

dan Ashbee, 2010).

II.1.5.2 Pemeriksaan Kultur Dermatofit

Pemeriksaan kultur berguna untuk identifikasi dermatofit penyebab,

tapi tes ini walaupun lebih spesifik tapi kurang sensitif dibandingkan

pemeriksaan langsung dengan KOH (Brandt dan Warnock, 2003). Untuk

pemeriksaan kultur, kerokan kulit atau rambut ditanam langsung pada media

Saboraud’s Dextrose Agar (SDA). Media SDA merupakan media standar

yang digunakan pada laboratorium mikologi dan digunakan oleh sebagian

besar ahli kulit (Nugroho dan Siregar, 2001). Pada suhu kamar (25-30C),

koloni dermatofit biasanya tumbuh dalam 7-28 hari (Verma dan Heffernan,

22
2008). Morfologi dermatofit cukup khas, sehingga secara umum organisme

ini dapat dibedakan berdasarkan gambaran makroskopik seperti warna dan

tekstnya, serta dari gambaran mikroskopiknya seperti ukuran dan bentuk

konidia (Fisher dan Cook, 1998). Dermatofit memiliki bentuk reproduksi yang

khusus yang berbentuk dengan cara aseksual yang disebut konidia. Konidia

yang besar disebut makrokonidia dan yang kecil dinamakan mikrokonidia,

dimana bentukan ini diberi nama khusus sesuai dengan bentuk strukturnya

(Elgart dan Warren, 1992).

Dermatofit memiliki tiga genus yaitu Trichophyton, Microsporum dan

Epidermophyton. Dermatofit ini menginvasi stratum korneum, kuku dan

rambut karena menggunakan keratin sebagai nutriennya. Ketiga genus ini

dapat dibedakan melalui pemeriksaan morfologi koloni dan mikroskopisnya.

II.1.5.1 Trichophyton spp

Trichophyton spp. memproduksi koloni yang berbubuk hingga

granular, atau lembut dan berminyak. Permukaan koloni berwarna putih,

kuning, terkadang pink atau ungu, sedangkan belakang koloni lebih

bervariasi warnanya, tergantung spesiesnya. Secara mikroskopis, pada

genus ini paling sering ditemukan adanya mikrokonidia dan hanya sedikit

terdapat makrokonidia. Ukuran, bentuk dan susunan mikrokonidia sepanjang

hifa membantu membedakan spesies dalam genus ini. Jika terdapat

23
makrokonidia, maka nampak tipis dan dinding halus sehingga bentuk spesies

sangat membantu identifikasi spesies. Uji penggunaan nutrisi dan uji lainnya

digunakan untuk identifikasi lebih spesifik (Larone,D.H., 1996).

II.1.5.2 Microsporum spp.

Microsporum spp. membentuk koloni yang mirip dengan Trichophyton

spp., namun terkadang memiliki permukaan kasar atau nampak berambut

atau berbulu. Permukaannya berwarna putih, abu-abu, kuning atau ke arah

merah muda. Permukaan belakangnya memiliki variasi warna dan sangat

berbeda pada tiap spesiesnya. Kebanyakan spesies menghasilkan

makrokonidia yang tebal, berdinding kasar, ukuran dan jumlah septa

makrokonidia merupakan patokan yang paling membedakan genus ini di

antara spesiesnya. Mikrokonidia yang berbentuk bulat tersebar atau

mengelompok (Larone,D.H., 1996)

II.1.5.3 Epidermophyton spp.

Epidermophyton spp. berbeda secara makroskopis dibandingkan

Trichophyton spp. dan Microsporum spp. dengan memiliki permukaan koloni

yang khas berwarna kuning kecoklatan atau kheki, permukaan belakangnya

berwarna orange hingga kecoklatan. Makrokonidia lembut, berdinding tipis

atau tebal. Tidak ditemukan mikrokonidia (Larone,D.H., 1996).

24
II.2 MINYAK MIMBA (AZADIRACHTA INDICA)

Minyak mimba merupakan minyak nabati yang dihasilkan dari

pengolahan biji mimba. Minyak mimba yang dihasilkan dengan cara

pengepresan biji mimba secara sederhana bisa mencapai 40% berat biji

(Kardinan dan Ruhnayat, 2002). Sedangkan bila biji mimba diolah dengan

proses ekstraksi, jumlah minyak yang dihasilkan berkisar antara 40%-60%

(Sukrasno dan Tim Lentera, 2003). Minyak mimba berwarna coklat gelap,

pahit dan berbau tajam seperti bawang. Minyak mimba mengandung

trigliserida asam oleat, stearat, linoleat dan palmitat seperti kebanyakan

minyak nabati lainnya (ATGA, 2001). Minyak mimba juga mengandung sulfur,

serta bahan bahan yang bersifat insektisida, fungisida, spermisida, dan anti

bakteri (Sukrasno dan Tim Lentera, 2003).

Gambar 1. Gambar 2.

Gambar 1. Biji mimba yang siap untuk dipres menjadi minyak


Gambar 2. Minyak mimba hasil pengepresan biji mimba secara sederhana
(Sukrasno dan Tim Lentera, 2003)

25
Biji dalam buah mimba merupakan bahan untuk membuat minyak

mimba. Buah mimba sendiri berbentuk bulat lonjong seperti melinjo dengan

ukuran maksimum dua sentimeter. Buah yang telah masak berwarna kuning

atau kuning kehijauan. Daging buahnya berasa manis dan menyelimuti

bijinya. Apabila daging buahnya dikupas, di dalam buah mimba akan dijumpai

biji mimba yang berkulit agak keras, dengan perbandingan berat buah dan biji

sebesar 50% : 50%. Berat satu biji mimba dapat mencapai 160 mg. Buah

mimba dapat dipanen setelah pohon mimba berumur tiga tahun (Sukrasno

dan Tim Lentera, 2003).

Pohon mimba secara umum dikenal dengan berbagai nama lain

seperti neem, Indian lilac (Inggris); nimba (Sunda); intaran (Bali dan Nusa

Tenggara); membha, mempheuh (Madura); mimbo, nimbo, imbo, mindi cina

(Jawa) (Vietmeyer et. al., 1992: Sukrasno dan Tim Lentera, 2003). Di

Indonesia, pohon mimba banyak tumbuh di Bali, Lombok, Jawa Barat

khususnya Subang dan Indramayu, Bogor, daerah pantai utara Jawa timur

seperti Asembagus (Kardinan dan Ruhnayat, 2002). Untuk wilayah

Indonesia, pohon ini paling banyak dijumpai di Bali, diperkirakan jumlahnya

sudah sekitar 500.000 pohon. Di Lombok pohon jumlahnya diperkirakan

sekitar 250-300 ribu pohon (Sukrasno dan Tim Lentera, 2003).

26
Saat ini Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) di

Bogor telah mampu memproduksi minyak mimba dan berbagai produk

kosmeutikal berbahan minyak mimba dalam skala kecil (Kardinan dan

Ruhnayat, 2002).

II.2.1 Mimba Sebagai Obat Tradisional

Ayurveda adalah suatu sistem kesehatan tradisional Hindu yang

sangat melekat dengan way of life dari bangsa India, Sri Lanka, dan

Bangladesh dan sudah ada sejak 5000 tahun yang lalu, terbukti dari adanya

penemuan situs arkeologi kota Mohenjodaro dan Harappa di barat-laut India

(Ketkar dan Ketkar, 1999; Selvester, 1999). Di kedua situs tersebut

ditemukan bukti bahwa fitofarmaka yang paling banyak digunakan oleh

seorang penyembuh ayurvedik, adalah mimba (Conrick, 1996: Selvester,

1999). Sedangkan unani tibb adalah suatu sistem kesehatan tradisional yang

banyak dipakai oleh komunitas muslim di Asia selatan, secara umum sistem

ini serupa dengan ayurveda (Ketkar dan Ketkar, 1999).

Dalam ayurveda dan unani tibb, daun atau minyak mimba digunakan

secara oral maupun topikal untuk berbagai penyakit diantaranya: diabetes

melitus, arthritis, rheumatik, penurun demam, malaria, influenza, lepra, cacar

air, gangguan gusi dan gigi. Di bidang yang berhubungan dengan

dermatologi, ayurveda dan unani tibb menggunakan mimba untuk mengobati

27
penyakit kulit yang disebabkan oleh parasit seperti kudis dan kutu rambut,

penyakit kulit karena jamur, ketombe dan gatal-gatal di kulit kepala, eksim

dan gatal kulit, psoriasis, penyakit akibat infeksi bakteri seperti borok

(Vietmeyer et. al., 1992: Conrick, 1996: Ketkar dan Ketkar, 1999:

Thornborough, 2000: Selvester, 1999). Sampai saat ini penggunaan mimba

secara tradisional sebagai obat berbagai penyakit masih secara luas dijumpai

di India dan banyak negara di Asia selatan serta Asia tenggara (Vietmeyer et.

al., 1992: Conrick, 1996:Selvester, 1999: ATGA, 2001).

Di negara-negara barat, seiring dengan makin berkembangnya terapi

herbal, homeoterapi dan terapi-terapi yang bersifat ‘kembali ke alam’, potensi

mimba sebagai ‘penyembuh’ semakin banyak diteliti (Vietmeyer et al.,1992).

United Stated Academy of Sciences menyatakan bahwa mimba saat ini

merupakan pohon yang penting dalam riset-riset medik. Bahkan Persatuan

Bangsa Bangsa (PBB) telah menyatakan bahwa mimba adalah ‘The Tree of

the 21stCentury’ (Thornborough, 2000).

II.2.2 Kandungan Zat Bioaktif dalam Mimba

Meskipun sudah lebih dari 4000 tahun dipakai sebagai obat tradisional

untuk berbagai macam penyakit oleh bangsa India dan Asia selatan, baru

pada tahun 1970-an mimba mulai diapresiasi oleh komunitas barat

(Vietmeyer et. al., 1992). Dari penelitian-penelitian fitokimiawi dilaporkan

28
bahwa komponen pokok penyusun mimba, (baik dalam daun, biji, minyak biji,

batang, kulit pohon) adalah triterpenoid. Biji mimba dan minyak yang

dihasilkan dari biji mimba memiliki kandungan triterpenoid yang paling besar

(Vietmeyer et. al., 1992: Conrick, 1996: ATGA, 2001: Duke, 2001).

Beberapa triterpenoid telah terbukti memiliki kemampuan bioaktif.

Beberapa ahli telah berhasil mengisolasi dan mengidentifikasi aktivitas

biologik triterpenoid dari mimba, diantaranya: nimbin (anti inflamasi, anti

piretik, anti histamin, anti mikotik, sitostatik), nimbidin (anti bakteri, anti

ulserasi, analgetik, anti inflamasi, anti histamin, anti aritmia, anti mikotik),

nimbidol (anti tuberkulosis, anti protozoa, anti piretik), gedunin (anti malaria,

anti mikotik), sodium nimbinate (diuretik, anti arthritis, spermisida), quercetin

(anti protozoa, anti oksidan, anti inflamasi, anti histamin, anti bakteri, anti

mikotik), salanin (repelen, anti mikotik), azadirakhtin (anti feeding, insektisida,

anti hormonal) (Conrick, 1996: Selvester, 1999: Duke, 2001: SPIC-Science

Foundation, 2004).

United States Department of Agriculture-Agriculture Research Service

(USDA-ARS) mulai meneliti mimba sejak tahun 1975, dan menerbitkan Dr.

Duke’s Constituent and Ethnobotanical Databases untuk Azadirachta indica

A. Juss pada tahun 2001, yang melaporkan hasil evaluasi kandungan masing

masing komponen pohon mimba (daun, biji, kulit pohon, buah, bunga)

beserta aktivitas biologik yang telah berhasil diidentifikasi (Duke, 2001).

29
Dari berbagai penelitian tentang kandungan bahan aktif dalam biji dan

minyak mimba yang dievaluasi oleh Australian Therapeutic Goods

Administration (ATGA), dilaporkan bahwa terdapat lebih kurang 100 macam

triterpenoid dalam biji mimba dengan tidak kurang dari 30 macam

diantaranya terkandung dalam minyak mimba (ATGA, 2001).

Kandungan triterpenoid dalam minyak mimba yang diambil dari

berbagai sampel di berbagai wilayah menunjukkan variasi kadar yang cukup

besar. Faktor yang diduga mempengaruhi diantaranya adalah lokasi

geografis, variabilitas genetik, kelembaban, cuaca, suhu, paparan sinar

matahari, cara panen dan penyimpanan biji mimba, umur biji mimba, tingkat

kekeringan biji, tehnik pembuatan minyak, pH dan tehnik ekstraksi (ATGA,

2001).

Untuk menilai secara pasti komponen triterpenoid yang mana yang

memiliki suatu aktivitas biologik tertentu secara tunggal agak sulit dilakukan

(Conrick, 1996). Penelitian Ketkar dan Ketkar justru menemukan bahwa

secara tunggal komponen triterpenoid sering tidak menunjukkan aktivitas

biologik yang adekuat, sedangkan dalam keadaan tercampur dengan

komponen lain mereka secara sinergis menunjukkan aktivitas biologik yang

adekuat (Ketkar dan Ketkar, 1999).

30
II.2.3 Potensi Minyak Mimba di Bidang Dermatomikologi

Beberapa komponen triterpenoid yang telah lama diduga bersifat anti

mikotik diantaranya adalah : nimbin, nimbidin, gedunin, salanin, -sitosterol

dan quercetin. Komponen triterpenoid dalam minyak mimba ini, tanpa

azadirakhtin, secara in vitro dan in vivo telah terbukti memiliki efek anti

mikotik terhadap jamur fitofilik patogen seperti Rhizoctonia solani, Sclerotium

rolfsii, Sclerotinia sclerotium juga mampu menghambat pertumbuhan serta

produksi racun aflatoksin dari Aspergilus flavus. Dengan kadar 1-2% minyak

mimba dalam air mampu menghentikan pertumbuhan/membunuh jamur

fitofilik patogen seperti Fusarium oxysporum, Fusarium ciceri, Botrytis

cinerea, Penicillium expansum, Glomerella cingulata, Plasmopara viticola,

Helminthosporium nodulosum, Pyricularia oryzae, Diplocarpon rosae

(Vietmeyer et. al., 1992: Becker, 1994: Locke, 1999).

Terkait dengan bidang dermatologi, efek anti histamin dan efek anti

inflamasi juga dilaporkan ditunjukkan oleh nimbin, nimbidin dan quercetin

(Conrick, 1996: Selvester, 1999: Duke, 2001: SPIC-Science Foundation, 2004).

Sinergi efek anti histamin, anti inflamasi dan anti mikotik diduga yang

menyebabkan mimba efektif untuk terapi berbagai penyakit yang disebabkan

atau terkait dengan jamur pada manusia, seperti pitiriasis sika, tinea kapitis,

tinea korporis, tinea kruris, tinea pedis, kandidiasis kutan maupun mucosal

(Conrick, 1996).

31
Penelitian in vitro terhadap 14 jamur antropofilik patogen yang meliputi

kelompok dermatofita genus Trichopyton, Microsporum dan Epidermopyton,

serta yeast dengan genus Candida, membuktikan bahwa ekstrak daun dan

minyak mimba mempunyai efek anti dermatofit dan anti kandida yang adekuat

(Khan et. al., 1987).

Peneliti lain membuktikan secara in vitro mimba memiliki efek anti

dermatofit yang adekuat dengan menggunakan ekstrak aqueous dan ethanolik

daun mimba terhadap 50 spesimen Microsporum canis, 5 M.audouinii,

5 Trichopyton mentagrophytes, 6 T.rubrum, 12 T.violaceum, 5 T.simii,

5 T.verrucosum, 1 T.soudanense, 1 T.erinacei (Venugopal dan venugopal,

1994).

Usaha isolasi dan identifikasi komponen minyak mimba yang bersifat

anti mikotik dilakukan Govindachari et.al.. pada tahun 1997 berdasarkan data

penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa komponen minyak mimba

yang bersifat anti mikotik terhadap Drechslera oryzae, Fusarium oxysporium

dan Alternaria tenuis adalah tetranortriterpenoid dengan kadar 2-10%. Dengan

High performance Liquid Chromatography (HPLC) peneliti menemukan bahwa

komponen aktif dari ekstrak methanol minyak mimba yang bersifat anti mikotik

terhadap 13 fitofilik patogen adalah 6-deacethylnimbin, azadiradione, nimbin,

salannin dan epoxyazadiradione. Tetapi dalam keadaan ekstrak terisolasi yang

murni, masing-masing komponen tersebut tidak menunjukkan efek anti mikotik

32
yang adekuat. Setelah dicampur dalam suatu bioassay, baru komponen-

komponen tersebut secara sinergi menunjukkan efek anti mikotik yang adekuat

pada kadar 1% (Govindachari et al., 1998).

Penelitian pendahuluan tentang efek anti mikotik minyak mimba

terhadap Malassezia spp. in vitro yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa

minyak mimba yang berasal dari daerah Cimanggu Bogor, memiliki efek anti

Malassezia yang poten pada kadar 5% (Siswati et. al., 2004). Salep yang

mengandung minyak mimba berkadar 10% pernah dicobakan untuk terapi

tinea korporis pada dua penderita dengan hasil kesembuhan mikologis dan

klinis sudah teramati sejak akhir minggu ke-2 terapi (Nafiah, 2006).

II.2.4 Tingkat Keamanan Minyak Mimba Sebagai Obat

Pada tahun 1985, Margosan-O suatu produk biopestisida berbasis

minyak mimba, telah di-approved oleh United States Environmental

Protection Agency (US-EPA) sebagai bahan dengan klasifikasi toksisitas

“relatif tidak toksik” (cit. Vietmeyer et. al., 1992: ATGA, 2001).

Pada tes toksisitas terhadap tikus, itik, kelinci dan lebah, US-EPA

menyatakan bahwa minyak mimba tidak menunjukkan / hanya sangat terbatas

memberi efek toksik terhadap hewan coba (cit. Vietmeyer et. al., 1992). Hasil

evaluasi ATGA terhadap toksisitas minyak mimba adalah sebagai berikut: (1)

minyak mimba bersifat toksik terhadap tikus jika diberikan dengan dosis oral

33
lebih dari 4,2 gram (4,2 g = 5ml) /kg BB, dan akan menyebabkan kematian

dalam kurun waktu 24 jam pada pemberian dosis oral lebih dari 8,4 gram/kg

BB. (2) minyak mimba bersifat toksik terhadap kelinci jika diberikan pada dosis

oral lebih dari 8,4 gram/kg BB. (3) Pemberian minyak mimba topikal (30%) di

kulit tikus westar dengan dosis sampai 600 mg/kg BB/hari selama 2 minggu

tidak menyebabkan efek toksik pada tikus. Perubahan histologis yang terjadi

hanyalah skuamasi sangat ringan, hiperkeratosis stratum korneum yang

bersifat dose-dependent, dan semua itu tanpa disertai suatu reaksi

peradangan (ATGA, 2001).

II.2.5 Produk Kosmeseutikal Berbasis Minyak Mimba

Selain produk insektisida alami yang telah di approved oleh Food and

Drug Administration (FDA) Amerika, beberapa perusahaan saat ini telah

memasarkan produk-produk kosmeseutikal maupun medisinal yang berbasis

minyak mimba (Vietmeyer et. al., 1992). Karena FDA belum memberi

persetujuan penggunaan produk berbasis mimba untuk tujuan medisinal,

kebanyakan produk mimba dipasarkan sebagai makanan kesehatan,

suplemen kesehatan atau kosmeseutikal alami.

Beberapa produk yang ada di pasaran diantaranya adalah: Di Amerika

utara, Kanada, Inggris dan Jerman berupa sampo, sabun batang, gargle dan

pasta gigi. Di Amerika juga telah dipasarkan krim dan body lotion, sampo dan

34
spray untuk binatang peliharaan (Conrick, 1996: Vietmeyer et.al., 1992).

Beberapa contoh produk kosmeseutikal yang dipasarkan diantaranya: Produk

Rising Sun Health (krim mimba, hand and body lotion, sabun minyak mimba,

spray minyak mimba, ekstrak organik daun mimba, minyak mimba virgin dari

pengepresan dingin, pasta gigi minyak mimba), Desert rain nutrition (sampo

minyak mimba organik, kondisioner minyak mimba organik), Ecco-Bella

(sampo terapeutik kulit kepala mengandung minyak mimba dan teh hijau,

sampo minyak mimba), Nutraceutic.com (sampo dan kondisioner terapeutik

mengandung minyak mimba). SPIC Science Foundation bahkan

memasarkan produk mimba yang sudah diisolasi zat aktifnya secara terpisah

seperti azadirachtin-A, B, H, I dan K, salanin, nimonol, nimbin, nimbolid, dan

gedunin (SPIC-Science Foundation, 2000).

Di India, Bangladesh, Sri Lanka produk berbasis mimba telah diterima

secara luas oleh masyarakat, baik berupa produk kosmeseutikal maupun

medisinal. Bahkan organisasi sejenis FDA di India, telah meng-approved

penggunaan mimba per oral untuk kasus penyakit-penyakit degeratif

(reumatisme), metabolik (diabetes melitus) maupun infeksi (chagas dan

malaria).

Di Indonesia pemakaian mimba sebagai obat tradisional semakin

meningkat akhir-akhir ini, terutama di daerah Bandung, Tasikmalaya, Ciamis,

Yogyakarta, Klaten dan beberapa wilayah Jawa tengah lainnya (Kardinan

35
dan Ruhnayat, 2002). Ekstrak daun mimba telah dipasarkan dalam kemasan

kapsul dengan kategori ijin legal sebagai jamu (Sukrasno dan Tim Lentera,

2003). Secara sederhana beberapa balai penelitian telah membuat sampo

dan sabun berbasis minyak mimba, tetapi masih diproduksi dan dipasarkan

dalam skala yang terbatas (Kardinan dan Ruhnayat, 2002).

II.3 MIKONAZOL

II.3.1 Struktur

Mikonazol merupakan suatu turunan sintetik dari β-substituted 1-

phenethyl imidazole dengan nama kimia 1-[2,4-dichloro-β-{(2,4-

dichlorobenzyl) oxyl}phenethyl] imidazole mononitrate (Crissey JT, 1995;

Philips RM, 2001). Mikonazol sedikit larut dalam air dan sedikit larut dalam

sebagian besar pelarut organik dan diencerkan dalam asam anorganik

(Philips RM, 2001). Mikonazol tersedia dalam berbagai sediaan topikal (Odds

FC, 1996).

Gambar 3. Struktur kimia dari mikonazol

36
II.3.2 Farmakologi

Mikonazol ddapat masuk ke dalam stratum korneum dengan baik dan

masih terdeteksi disana sampai 4 hari setelah satu kali pemberian. Pada

penggunaan topikal absorpsi sistemik yang terjadi minimal yaitu kurang dari

1% dari obat yang diaplikasikan (Philips RM, 2001).

Golongan imidazol merupakan fungistatik, tapi pada konsentrasi yang

tinggi dapat bersifat fungsidal. Cara kerja mikonazol adalah dengan

menghambat enzim 14a-demetilase yang tergantung sitokrom p-450 dalam

pembentukan ergosterol, yang merupakan bahan penting untuk membran sel

jamur (High & Fitzpatrick, 2008; Philips RM, 2001).

II.3.3 Indikasi

Secara in vitro, mikonazol aktif terhadap jamur dermatofit seperti

Trichophyton rubrum, T.mentagrophytes dan Epidermophyton floccosum.

Selain itu juga memiliki efek menghambat Candida albicans dan Malassezia

furfur (Crissey JT, 1995; Philips RM, 2001).

Krim mikonazol efektif digunakan untuk pengobatan tinea pedis, tinea

korporis, tinea kruris, pitiriasis versikolor dan juga untuk pengobatan

kandidiasis kutaneus (Philips RM, 2001). Pada suatu penelitian yang

dilakukan Ongley tentang efektivitas terapi krim mikonazol pada penderita

tinea pedis, pada hari ke-14 didapatkan hasil adanya kesembuhan secara

37
klinis pada 95% yang diterapi dibandingkan dengan 40% pada kelompok

plasebo dan 100% pada kelompok yang diterapi dengan tolnaftat. Dan pada

akhir terapi secara mikologis didapatkan kesembuhan 95% pada kelompok

mikonazole, 50% pada kelompok plasebo dan 75% pada kelompok tolnaftat

(Ongley, 1978).

Pada semua kondisi kilnis krim mikonazol diberikan 2 kali sehari

kecuali pada pitiriasis versikolor cukup digunakan sekali sehari (Philips RM,

2001).

II.3.4 Efek samping

Pemberian mikonazol secara topikal biasanya dapat ditoleransi

dengan baik (Philips RM, 2001) dengan kejadian efek samping yang jarang

meliputi, iritasi, rasa terbakar, maserasi dan dermatitis alergika pada tempat

aplikasi (Philips RM, 2001; Kuswadji, 2001).

38
II.4 KERANGKA TEORI

Antifungal

Dermatofit :
- Microsporum spp Proliferasi
- Trichophyton spp Tinea Glabrosa
keratinosit
- Epidermohpyton spp

Status Imunitas Kulit

FISIK

Iklim,kelembaban,suhu

Keterangan :

= Krim ekstrak biji mimba 10 %, Mikonazole 2 %

= Hubungan

= Faktor yang mempengaruhi

39
II.5 KERANGKA KONSEP

EKSTRAK BIJI MIMBA 10 %

METABOLISME
DERMATOFIT TINEA GLABROSA
- Microsporum spp
- Trichophyton spp
- Epidermohpyton spp

MIKONAZOLE 2 %

Keterangan :

= Variabel Bebas

= Variabel Antara

= Variabel Tergantung

= Hubungan antar variable

40
II.6 HIPOTESIS

Efektivitas krim minyak mimba10% secara klinis dan mikologis untuk

terapi tinea glabrosa berbeda dibandingkan dengan krim mikonazol 2%.

II.7 DEFINISI OPERASIONAL

1. Penderita tinea glabrosa: adalah penderita yang pada pemeriksaan fisik

ditemukan adanya gatal, makula eritema dengan tepi aktif, adanya

skuama pada daerah tubuh dan didapatkan hasil positif pada

pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH 10% dan kultur.

2. Hasil pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH 10% : hasil yang didapat

dari pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH 10% setelah dilihat di bawah

mikroskop.

Penilaian dengan skor hifa :

3 = Positif (++), bila ditemukan adanya hifa panjang bercabang,

bersekat dengan adanya artospora.

2 = Positif (+), bila ditemukan adanya hifa yang telah mengalami

fragmentasi disertai ada/tidak artrospora

1 = Negatif bila tidak ditemukan adanya hifa dan artrospora.

3. Hasil pemeriksaan kultur : hasil yang didapat dari pemeriksaan kultur

dengan media Sabouraud's Dextrose Agar (SDA). Dikatakan positif bila

didapatkan adanya pertumbuhan koloni jamur yang sesuai dengan

41
dermatofit baik secara mikroskopis dan makroskopis. Sedangkan

dikatakan negatif bila tidak didapatkan adanya pertumbuhan koloni jamur

pada media kultur.

4. Krim ekstrak biji mimba 10% adalah ekstrak minyak biji mimba dalam

basis krim dengan konsentrasi 10%. Diberikan dengan cara dioles pada

daerah lesi 2 kali sehari selama 14 hari.

5. Krim mikonazol 2% adalah mikonazol dalam bentuk krim dengan

konsentrasi 2%. Diberikan dengan cara dioles pada daerah lesi 2 kali

sehari selama 14 hari.

6. Basis krim adalah krim yang terdiri dari stearic acid 3%, cetyl alcohol 2%,

white soft paraffin 2%, steryl alcohol 3%, alpha tocopherol 0,05%, water

emulsifying agent 1,5%, propylene glycol 10%, glyserin 5%, adsorben 1%,

cetomacrogol 1,5%, aqua 73,8%.

7. Sembuh secara klinis: dikatakan sembuh secara klinis apabila pada saat

follow up hari ke-15 dari pemeriksaan klinis tidak didapatkan lagi adanya

keluhan gatal dan tidak ditemukan lagi eritema dan skuama.

8. Sembuh secara mikologis: dikatakan sembuh secara mikologis apabila

pada saat follow up hari ke-15 dari pemeriksaan kerokan kulit dengan

KOH 10% dan kultur didapatkan hasil yang negatif.

9. Sembuh secara klinis dan mikologis: dikatakan sembuh secara klinis dan

mikologis apabila pada saat follow up hari ke-15 dari pemeriksaan klinis

42
tidak didapatkan lagi adanya keluhan gatal dan tidak ditemukan lagi

eritema dan skuama ditambah dengan hasil pemeriksaan kerokan kulit

dengan KOH 10% dan kultur yang negatif.

10. Tidak sembuh secara klinis: dikatakan tidak sembuh secara klinis apabila

pada saat follow up hari ke-15 dari pemeriksaan klinis masih didapatkan

adanya keluhan gatal atau masih ditemukan adanya eritema atau

skuama.

11. Tidak sembuh secara mikologis: dikatakan tidak sembuh secara mikologis

apabila pada saat follow up hari ke-15 dari pemeriksaan kerokan kulit

dengan KOH 10% atau kultur didapatkan hasil yang positif.

12. Tidak sembuh secara klinis dan mikologis: dikatakan tidak sembuh secara

klinis dan mikologis apabila pada saat follow up hari ke-15 dari

pemeriksaan klinis masih didapatkan lagi adanya keluhan gatal atau

masih ditemukan adanya eritema atau skuama, atau dari pemeriksaan

mikologis didapatkan hasil pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH 10%

yang positif.

43
BAB III

METODE PENELITIAN

III.1 RANCANGAN PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian uji klinis dengan

kontrol, maka perlu diadakan uji klinis random samar tunggal (single blind

controlled trial) untuk mengetahui efektivitas terapi krim ekstrak biji mimba

10% pada penderita tinea glabrosa dengan menggunakan krim mikonazol 2%

sebagai kontrol.

III.2 LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah Sakit

Umum Wahidin Sudirohusodo, Makassar mulai Januari sampai Februari

2013.

III.3 POPULASI DAN TEKHNIK SAMPEL PENELITIAN

III.3.1 Populasi Penelitian

Populasi penelitian ini adalah penderita tinea glabrosa, sedangkan

populasi terjangkau adalah penderita tinea glabrosa yang datang berobat ke

poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Wahidin Sudirohusodo,

Makassar.

44
III.3.2 Sampel Penelitian

III.3.2.1 Sampel dan cara pengambilan sampel

Sampel penelitian ini diambil dari populasi terjangkau yang

memenuhi kriteria inklusi dan tidak termasuk dalam kriteria eksklusi

penelitian. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara pengundian urut

dengan pemberian nomor 1 dan 2, dimana 1 untuk krim ekstrak biji mimba

10%, 2 untuk mikonazol 2 % dipilih berdasarkan pengundian.

III.3.2.2 Kriteria Inklusi dan Ekslusi

Kriteria Inklusi :

1. Penderita tinea glabrosa laki-laki atau perempuan

2. Berumur 15 – 60 tahun

3. Hasil pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH 10 % positif

menunjukkan spesies jamur dermatofit

4. Bersedia ikut serta dalam penelitian ini

Kriteria Eksklusi :

Penderita yang memenuhi kriteria inklusi, tetapi :

1. Sedang menderita penyakit kulit lainnya

2. Sedang dalam pengobatan antijamur

3. Sedang menderita penyakit sistemik

4. Untuk penderita wanita, sedang hamil atau menyusui

5. Tidak setuju untuk ikut dalam penelitian

45
III.3.2.3 Perkiraan besar sampel

Besar sampel dihitung berdasarkan kebutuhan minimum untuk uji

sebelum dan sesudah yaitu 6 (tabel penentuan Wilcoxon) pada jumlah

sampel rata-rata 16/bulan, bila dibutuhkan waktu penelitian 2 bulan maka

populasi terpilih adalah 32. Dengan menggunakan tabel penentuan Isaac

dan Michael dimana jumlah 32 pada α 5 %, maka n=30 sehingga 1 kelompok

terdiri 15 orang.

III.4. TEKNIK PENGUMPULAN DATA

Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan cara ;

III.4.1 Wawancara / anamnesis

Wawancara dan anmnesis dilakukan menggunakan kuisioner yang

telah disiapkan dan dimaksudkan untuk mengumpul data tentang identitas,

karakteristik dan riwayat penyakit dari sampel.

III.4.1.1 Pemeriksaan fisik dan pengambilan foto

Dilakukan pemeriksaan fisik untuk mendiagnosa tinea glabrosa dan

untuk menilai kesembuhan penderita secara klinis. Pada pemeriksaan ini

ditentukan lokasi, effloresensi, jumlah dan ukuran lesi.

Pada saat dimulai pengobatan dan setiap kunjungan evaluasi tanda-

tanda dan gejala-gejala seperti gatal, eritema, dan skuama diberikan skor :

46
Kategori gatal :

3 = sangat gatal

2 = kurang gatal

1 = tidak gatal

Kategori effloresensi :

4 = plak, eritem, skuama

3 = eritem, skuama

2 = skuama, eritem dan atau makula hiperpigmentasi

1 = makula hiperpigmentasi

Kondisi klinis :

3 = sangat gatal disertai plak eritem, dan skuama

2 = gatal berkurang disertai eritem dengan atau tanpa skuama

1 = tidak gatal dengan atau tanpa makula hiperpigmentasi

Pemeriksaan fisik ini dilakukan sebelum terapi, hari ke-5, hari ke-10

dan pada saat hari ke 15 setelah terapi.

Pada saat dilakukan pemeriksaan fisik juga dilakukan pengambilan

foto dengan menggunakan kamera digital merek Kodak M5230 16 megapixel

pada jarak 10 cm.

Skor pemeriksaan klinis akan dibandingkan mulai dari awal

pengobatan, evaluasi hari ke-5, hari ke-10 dan hari ke-15 sesuai dengan

penemuan secara klinis untuk menilai efektivitas pengobatan.

47
III.4.1.2 Pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH 10 %

Pemeriksaan ini langsung dilakukan sebelum terapi, hari ke-5, hari ke-

10 dan pada saat hari ke 15 setelah terapi untuk menegakkan diagnosis dan

untuk menilai kesembuhan penderita secara mikologis.

Alat dan Bahan yang diperlukan :

1. Kapas alkohol 70%

2. Kertas steril

3. Larutan KOH 10%

4. Skalpel steril

5. Jarum inokulasi

6. Lampu spiritus

7. Kaca obyek dan kaca penutup

8. Mikroskop merek Olympus® Bx41

Cara Kerja ;

1. Sebelumnya diberikan penjelasan pada pasien tentang pengambilan

kerokan kulit, tujuan dan manfaatnya

2. Semua alat dan bahan yang diperlukan disiapkan diatas meja dekat

pasien

3. Nomer kode pasien dituliskan pada bagian belakang kaca benda dan

bagian belakang lembaran skuama yang dikerok

48
4. Cuci tangan rutin dan memakai sarung tangan steril

5. Desinfeksi lesi kulit dengan alkohol 70%

6. Bagian pinggir lesi dikerok dengan skalpel steril ke arah atas dengan

kemiringan 30- 40

7. Skalpel diketokkan pada permukaan kertas steril yang telah disiapkan

sampai semua sisik-sisik dan serpihan kerokan kulit jatuh pada

permukaan kertas.

8. Teteskan 1-2 tetes KOH 10 % pada permukaan kaca benda, dan ambilah

satu jarum inokulasi, pijarkan pada lampu spiritus dan didinginkan

9. Ujung jarum inokulasi dibasahi dengan sedikit KOH 10% pada kaca

benda, lalu ambillah beberapa skuama dari atas kertas dan masukkan

pada tetesan KOH 10 % di atas kaca benda

10. Lembaran kertas yang berisi skuama hasil kerokan ditutup kembali untuk

digunakan pemeriksaan kultur

11. Tetesan KOH ditutup dengan kaca penutup yang bersih, biarkan minimal

10 menit

12. Dilakukan pemeriksaan mikroskopis dengan menggunakan mula-mula

pembesaran 10x10, kemudian 10x40, dan kondensor (bila ada)

direndahkan serendah-rendahnya, serta diafragma dikecilkan sekecil

mungkin

13. Perhatikan dan catat adanya hifa dan artrospora

49
14. Hasilnya dinyatakan dengan skor hifa :

Penilaian dengan skor hifa :

3 = Positif (++), bila ditemukan adanya hifa panjang bercabang, bersekat

dengan adanya artospora.

2 = Positif (+), bila ditemukan adanya hifa yang telah mengalami

fragmentasi disertai ada/tidak artrospora

1 = Negatif bila tidak ditemukan adanya hifa dan artrospora

III.4.1.3 Pemeriksaan Kultur

Pemeriksaan ini dilakukan sebelum terapi untuk menegakkan

diagnosis dan spesies penyebab tinea glabrosa penderita.

Alat dan Bahan yang diperlukan :

1. Kapas alkohol 70%

2. Kertas steril

3. Tabung kultur yang berisi media biakan berupa Sabouraud’s

Dextrose Agar (SDA)

Komposisi : - Dekstrose 20 gram

- Neopepton 10 gram

- Agar 20 gram

- Kloramfenikol 40 gram

- Air suling 1000 cc

50
4. Skalpel steril

5. Jarum inokulasi

6. Lampu spiritus

7. Kaca obyek dan kaca penutup

8. Mikroskop merek Olympus® Bx41

Cara Kerja ;

1. Semua alat dan bahan yang diperlukan disiapkan di atas meja

2. Nomer kode pasien ditulis dan tanggal dilakukan pembiakan pada tabung

media biakan Sabouraud’s Dextrose Agar (SDA)

3. Lakukan cuci tangan rutin dan pakailah sarung tangan steril

4. Bukalah lipatan kertas yang berisi skuama hasil kerokan kulit tadi

5. Ambillah satu jarum inokulasi, pijarkan pada lampu spiritus dan dinginkan

6. Bukalah penutup tabung media biakan SDA dan lewatkan ujung tabung

pada api lampu spiritus sebentar dan basahi ujung jarum inokulasi pada

media SDA di dalam tabung, kemudian ujung tabung dilewatkan kembali

di atas api lampu spiritus sebelum menutup tabung.

7. Kemudian ambillah beberapa skuama dari atas kertas dengan ujung

jarum inokulasi yang sudah dibasahi

8. Kemudian bukalah kembali tutup tabung media SDA, lewatkan kembali

ujung tabung pada api lampu spiritus

51
9. Masukkan skuama pada ujung jarum inokulasi tersebut untuk dilakukan

biakan dengan cara menggoreskan jarum inokulasi yang berisi serpihan

kulit tersebut pada media SDA dengan arah zig-zag dari dalam ke luar

tabung

10. Ujung tabung dilewatkan kembali di atas api lampu spiritus sebelum

menutup tabung dan jarum inokulasi, dipijarkan kembali pada api lampu

spiritus.

11. Tabung biakan SDA tersebut kemudian diletakkan pada suhu ruangan 25

- 30 C

12. Observasi dilakukan tiap minggu. Tabung biakan diamati untuk adanya

pertumbuhan koloni jamur.

13. Setelah 3 minggu dilakukan pemeriksaan koloni secara makroskopik dan

mikroskopik apabila terdapat pertumbuhan koloni jamur

14. Secara makroskopis dinilai bentuk dan tekstur permukaan koloni, selain

itu juga dilihat warna permukaan dan bagian belakang dari koloni

15. Kemudian dilakukan pemeriksaan mikroskopis

16. Dilakukan pemeriksaan mikroskopis dengan menggunakan mula-mula

pembesaran 10x10, kemudian 10x40, dan kondensor (bila ada)

direndahkan serendah-rendahnya, serta diafragma dikecilkan sekecil

mungkin

52
17. Dinilai dan dicatat adanya hifa, mikronidia dan makronidia. Dilihat juga

bentukan dari hifa, bentuk dan susunan dari mikronidia dan makronidia

yang khas untuk masing-masing spesies dermatofit.

III.4.1.4 Cara pemberian krim ekstrak biji mimba 10 % atau krim

mikonazol 2 %

Obat yang digunakan dalam penelitian ini adalah krim ekstrak biji

mimba 10 % dan krim mikonazol 2 %. Pemberian terapi kepada sampel

penelitian dilakukan secara acak sederhana atau simple random dengan

penyamaran tunggal (single blind), dimana bentuk kedua obat yang

digunakan serupa yaitu dalam bentuk krim berwarna putih dan dikemas

dengan pot yang sama (pot putih 10 gr). Pada sampel dilakukan pengundian

urut dengan pemberian nomor 1 dan 2, dimana 1 untuk krim ekstrak biji

mimba 10 %, 2 untuk mikonazol 2 % dipilih berdasarkan pengundian.

Setiap sampel penelitian diberikan salah satu dari kedua obat yang

telah disediakan secara random. Obat tersebut dipakai dengan cara

dioleskan pada lesi 2 kali sehari pagi dan sore selama 14 hari.

53
III.5 ALUR PENELITIAN

Penderita Tinea Glabrosa

Penjelasan dan minta persetujuan

 Anamnesis
 Pemeriksaan Fisik
 Pemeriksaan Kerokan (KOH 10 %)
 Pemeriksaan Kultur

Memenuhi Kriteria Inklusi Tidak Memenuhi


Kriteria Inklusi
Wawancara/Kuisioner

Randomisasi

Pelatihan aplikasi krim

Terapi Krim Ekstrak Biji Mimba 10 % Terapi Krim Mikonazol 2 %

Hari 5-15 Follow Up hasil terapi (hr ke-15) Hari 5-15


 Pemeriksaan Fisik
 Pemeriksaan Kerokan (KOH 10 %)
 Pemeriksaan Kultur

Klinis Mikologi

Sembuh Tidak

PENGUMPULAN DATA

PENGOLAHAN DATA

LAPORAN HASIL PENELITIAN


Gambar 4. Bagan alur penelitian

54
III.6 ANALISIS DATA

1. Data yang terkumpul diolah dengan menggunakan program computer

Statiscal Package for Social Science (SPSS).

2. Untuk uji hipotesis digunakan uji Man Whitney U antar kelompok dan

uji Wilcoxon untuk inter kelompok.

3. Hasil uji hipotesis dianggap bermakna jika nilai p < 0,05

4. Semua hasil analisis data disajikan dalam bentuk tabel atau grafik

yang disertai dengan penjelasannya.

55
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

IV.1 HASIL PENELITIAN

Penelitian dilakukan di RS. Wahidin Sudirohusodo dan RS. Jejaring

Makassar mulai bulan Januari sampai Februari 2013 dengan subjek

penelitian adalah penderita tinea glabrosa yang memenuhi kriteria inklusi

serta bersedia mengikuti penelitian dengan menandatangani informed

consent.

Penelitian dilakukan pada 34 pasien dengan diagnosa tinea glabrosa,

dibagi menjadi dua kelompok perlakuan yang berbeda. Kelompok A diberi

krim ekstrak biji mimba 10% sedangkan kelompok B diberi krim mikonazol

2%. Masing-masing krim dioleskan dua kali sehari hingga hari ke 14.

56
IV.1.1 Karakteristik Sampel Penelitian

Tabel 1. Distribusi jenis kelamin dan kelompok umur pasien


dermatofitosis glabrosa
Jenis kelamin sampel
Total
Kelompok Ekstrak biji mimba 10 % Mikonazol 2 %
umur ∑ ∑ ∑ ∑
% % % % n %
L P L P
0 - 15 3 8,8 2 5,9 4 11,8 0 0 9 26,5
16 - 30 4 11,8 4 11,8 2 5,9 2 5,9 12 35,3
31 - 45 1 2,9 2 5,9 0 0 4 11,8 7 20,6
46 - 60 0 0 1 2,9 2 5,9 3 8,8 6 11,6
Total 8 23,5 9 26,5 8 23,6 9 26,4 34 100
Sumber : Data primer ; Keterangan: L = Laki-laki; P = Perempuan

Tabel 1 memperlihatkan pada kelompok terapi, baik yang

menggunakan krim ekstrak biji mimba 10% atau mikonazol 2% jumlah

penderita masing-masing yaitu perempuan sebanyak 9 orang (26,5%) dan

laki-laki 8 orang (23,5%).

57
Tabel 2. Jumlah isolat koloni dermatofit berdasarkan species dan tipe

klinis glabrosa

Dermatofit Tipe klinis Glabrosa


Tinea Tinea Tinea n %
Korporis Kruris Facialis
Trichophyton spp
T. mentagrophytes 7 3 - 10 29.4
T. mentagrophytes var downy 1 1 - 2 5.9
T. mentagrophytes var granuler 1 - - 1 2.9
T. mentagrophytes var - 1 - 1 2.9
quickeanum
T. rubrum - 1 - 1 2.9
T. rubrum type downy - 1 - 1 2.9

Microsporum spp.
M. audonii 5 2 - 7 20.6
M. audonii var rivalieri 3 - - 3 8.8
M. gypseum - - 1 1 2.9
M. ferugineum var glabrous 1 - - 1 2.9

M. ferugineum ; M. audonii 1 - - 1 2.9


M. ferugineum ; T. rubrum 1 - - 1 2.9
T. rubrum ; T. yaoundei - 1 - 1 2.9
T. soudanense ; T. - 1 - 1 2.9
mentagrophytes
T. soudanense ; T. 1 - - 1 2.9
mentagrophytes var downy
T. verucosum ; T. mentagrophytes - 1 - 1 2.9
Total 34 100.0
Sumber : data primer

Penelitian ini (Tabel 2.) menumbuhkan 34 koloni dan ditemukan 14

spesies dermatofit yang terdiri dari 9 spesies genus Trichophyton spp.,

terbanyak adalah T.mentagrophytes 10 koloni (29,4 %), yang terdiri dari 7

kasus tinea korporis dan 3 kasus tinea kruris; serta 5 spesies genus

58
Microsporum spp., terbanyak adalah M.audounii 7 koloni (20,6%) yang terdiri

dari 5 kasus tinea korporis dan 2 kasus tinea kruris.

Gambar 5. Gambar 6.

Gambar 5. Makroskopis isolat jamur T. mentagrophyites

Gambar 6. Mikroskopis T. mentagrophyites

Tabel 3. Distribusi tipe klinis dari tinea glabrosa pada kelompok

pemberian terapi

Krim ekstrak Krim mikonazol 2 % Total


biji mimba 10%
Tipe klinis
n % N % n %

Tinea Korporis 12 70,6 11 64,7 23 67,6

Tinea Kruris 5 29,4 5 29,4 10 29,4

Tinea Facialis 0 0 1 5,9 1 3,0

Total 17 100 17 100 34 100

Sumber : data primer

59
Tabel 3. memperlihatkan tipe klinis dermatofitosis kulit glabrous

terbanyak pada penelitian, yaitu tinea korporis sebanyak 23 kasus (67,6%)

dari total sampel 34 kasus.

IV.1.2. Analisis Hasil Penelitian

Tabel 4. Perbandingan pemeriksaan kerokan kulit pada penderita tinea

glabrosa yang mendapat terapi krim ekstrak biji mimba 10%

Pemeriksaan Kerokan Kulit N Mean Rank p


H5 – H10 Negatif Ranks 17 9
Positif Ranks 0 0,000
Ties 0
Total 17
H5 – H15 Negatif Ranks 17 9
Positif Ranks 0 0,000
Ties 0
Total 17
H10 – H15 Negatif Ranks 8 4,5
Positif Ranks 0 0,005
Ties 9
Total 17
Uji Wilcoxon

Pemeriksaan kerokan kulit penderita dengan aplikasi krim ekstrak biji

mimba 10% pada Tabel 4 menunjukkan pada pemeriksaan KOH H10-15

negatif ranks 8 sampel dan adanya sebanyak 9 orang yang tidak mengalami

perubahan hasil KOH hingga hari ke-15 dari 17 kasus (p = 0,005).

60
Tabel 5. Perbandingan kerokan kulit pada penderita tinea glabrosa yang

mendapat terapi krim mikonazol 2 %

Pemeriksaan Kerokan Kulit n Mean Rank p


H5 – H10 Negatif Ranks 17
Positif Ranks 0 9 0,000
Ties 0
Total 17
H5 – H15 Negatif Ranks 17
Positif Ranks 0 9 0,000
Ties 0
Total 17
H10 – H15 Negatif Ranks 9
Positif Ranks 0 5 0,003
Ties 8
Total 17
Uji Wilcoxon
Pemeriksaan kerokan kulit pada penderita dengan aplikasi krim

mikonazol 2 % pada Tabel 5 menunjukkan pemeriksaan KOH H10-15 negatif

ranks 9 sampel dan adanya 8 orang yang tidak mengalami perubahan hasil

KOH hingga hari ke-15 dari 17 kasus (p = 0,003).

61
Tabel 6. Perbandingan pemeriksaan kerokan kulit pada penderita tinea

glabrosa

Pemeriksaan Kerokan kulit N Mean Rank p


H-10 mimba 17 17,5
mikonazol 17 17,5 1,000
Total 34
H -15 mimba 17 18
mikonazol 17 17 0.728
Total 34
Uji Mann Whitney U

Tabel 6 menunjukkan perbandingan kedua kelompok terapi pada

pemeriksaan KOH H10 p = 1,000 dan H15 dengan nilai p=0,728, tidak ada

perbedaan bermakna pada kondisi hifa pada pemeriksaan kerokan kulit baik

antara pemberian krim ekstrak biji mimba 10 % dan krim mikonazol 2 %.

62
Tabel 7. Perbandingan pemeriksaan klinis pada penderita tinea glabrosa

yang mendapat terapi krim ekstrak biji mimba 10 %

Pemeriksaan Kerokan Kulit n Mean Rank p


H1 – H5 Negatif Ranks 17 9
Positif Ranks 0 0,000
Ties 0
Total 17
H1 – H10 Negatif Ranks 17 9
Positif Ranks 0 0,000
Ties 0
Total 17
H1 – H15 Negatif Ranks 11 9
Positif Ranks 0 0,000
Ties 6
Total 17
H5 – H10 Negatif Ranks 12 6
Positif Ranks 0 0,001
Ties 5
Total 17
H5 – H15 Negatif Ranks 4 6,5
Positif Ranks 0 0,001
Ties 10
Total 17
H10 – H15 Negatif Ranks 9 4
Positif Ranks 0 4 0,705
Ties 8
Total 17
Uji Wilcoxon

Tabel 7 menunjukkan pada H5-10 diperoleh negatif ranks 12 kasus

dengan ties sebanyak 5 kasus yang tidak mengalami perubahan klinis dari 17

kasus (p = 0,001) signifikan, sedangkan pada H10-15 perubahan klinis

negatif ranks sebanyak 9 sampel dan adanya ties sebanyak 8 yang tidak

mengalami perubahan klinis hingga hari ke-15 dari 17 kasus (p = 0,705).

63
Tabel 8. Perbandingan pemeriksaan klinis pada penderita tinea glabrosa

yang mendapat terapi krim mikonazol 2 %

Pemeriksaan Klinis N Mean Rank p


H1 – H5 Negatif Ranks 17 9
Positif Ranks 0 0,000
Ties 0
Total 17
H1 – H10 Negatif Ranks 17 9
Positif Ranks 0 0,000
Ties 0
Total 17
H1 – H15 Negatif Ranks 17 9
Positif Ranks 0 0,000
Ties 0
Total 17
H5 – H10 Negatif Ranks 2 1,5
Positif Ranks 0 0,157
Ties 15
Total 17
H5 – H15 Negatif Ranks 12 6,5
Positif Ranks 0 0,001
Ties 5
Total 17
H10 – H15 Negatif Ranks 10 5,5
Positif Ranks 0 0,002
Ties 7
Total 17
Uji Wilcoxon

64
Pemeriksaan klinis pada penderita dengan aplikasi krim ekstrak biji

mikonazol 2% pada Tabel 8 menunjukkan pada H10-15 perubahan klinis

negatif ranks sebanyak 10 sampel dan adanya ties sebanyak 7 orang yang

tidak mengalami perubahan klinis hingga hari ke-15 dari 17 kasus (p =

0,002).

Tabel 9. Perbandingan pemeriksaan klinis pada penderita tinea glabrosa

Pemeriksaan Klinis N Mean Rank p


H-10 Mimba 17 13
Mikonazol 17 22 0,002
Total 34
H -15 Mimba 17 17,5
Mikonazol 17 17.5 1,000
Total 34
Uji Mann whitney U

Tabel 9 menunjukkan perbandingan kedua kelompok terapi pada

pemeriksaan klinis H10 dengan nilai p = 0,002, ada perbedaan bermakna dan

pada H15 dengan nilai p = 1,000 , tidak berbeda bermakna untuk kondisi

klinis antara pemberian krim ekstrak biji mimba 10 % dan krim mikonazol 2

%.

65
Tabel 10. Frekuensi pemeriksaan klinis pada aplikasi krim ekstrak biji

mimba 10 %

Skor Klinis H 10 H 15
N % n %
Tidak gatal dengan atau tanpa
makula hiperpigmemtasi 11 64.7 12 70,6

Gatal berkurang disertai eritem


dengan atau tanpa skuama 6 35.3 5 29,4

Total 17 100 17 100

Frekuensi pada pemeriksaan klinis Tabel 10 menunjukkan

pemeriksaan H-15 sebanyak 12 orang yang mengalami perubahan baik gatal

dan efloresensi sebesar 70,6 %.

Tabel 11. Frekuensi pemeriksaan klinis pada aplikasi krim mikonazol 2%

Skor Klinis H 10 H 15
N % n %
Tidak gatal dengan atau tanpa 2 11,8 12 70,6
makula hiperpigmemtasi

Gatal berkurang disertai eritem 15 88,2 5 29,4


dengan atau tanpa skuama

Total 17 100 17 100

Frekuensi pada pemeriksaan klinis Tabel 11. menunjukkan

pemeriksaan H-15 sebanyak 12 orang yang mengalami perubahan baik gatal

dan efloresensi sebesar 70,6 %.

66
IV.2. PEMBAHASAN

Tinea glabrosa dapat menyerang semua orang dan banyak ditemukan

pada usia remaja hingga dewasa. Penularan terjadi akibat kontak langsung

dengan kulit pasien atau kontak tidak langsung dengan benda yang

terkontaminasi dermatofit. Umur, jenis kelamin dan ras merupakan faktor

epidemiologi yang penting, prevalensi dermatofitosis 5 kali lebih sering pada

laki-laki dibanding wanita (Verma S. dan Hefferman M.P., 2008), sedangkan

data pasien dermatofitosis kulit glabrosa pada penelitian (Tabel 1.)

menunjukkan prevalensi kasus pada laki-laki (16 kasus) hampir sebanding

dengan perempuan (19 kasus), distribusi terbanyak kasus dermatofitosis kulit

glabrous pada kelompok umur 16-30 tahun, kasus terbanyak wanita

kelompok umur 16-30 tahun dan laki-laki kelompok umur 0-15 tahun,

Distribusi wanita pada kelompok tersebut dikarenakan kebiasaan

menggunakan pakaian berbahan yang tidak menyerap keringat dan ketat

(misalnya jeans, spandex), walaupun tidak banyak memiliki aktifitas diluar

rumah.

Mikosis superfisial terdapat di seluruh dunia, sekitar 20% hingga 25%

populasi dunia dan insidensinya semakin meningkat. Spesies penyebab

infeksi superfisial jamur bervariasi berdasarkan daerah geografis. Beberapa

spesies terdistribusi merata di seluruh dunia, seperti T.rubrum,

T.mentagrophytes var. interdigitale, M.canis dan E.floccosum (Ameen M.,

67
2010). Insiden dermatofit tersering di Asia T. mentagrophytes (Havlickova et

al., 2008), sedangkan dermatofit yang endemik di Asia dan Afrika antara lain

T.soundanense, T.violaceum dan M.audouinii (Ameen M., 2010). Penelitian

ini (Tabel 2.) memperlihatkan dermatofit terbanyak sebagai penyebab

dermatofitosis kulit glabrous di Makassar selama 2 bulan adalah

T.mentagrophytes (10 kasus), yang terdiri dari 7 kasus tinea korporis dan 3

kasus tinea kruris. Hasil ini sebanding dengan kasus-kasus mikosis

superfisialis di Unit Rawat Jalan Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr.

Soetomo Surabaya adalah sebanyak 51 kasus yang tumbuh didapatkan

spesies yang terbanyak ditemukan adalah T.mentagrophytes sebanyak

delapan kasus (15,7%) yang terdiri dari empat kasus tinea kruris, dua kasus

tinea korporis, dan dua kasus tinea unguium (Hidayati et. al., 2009).

Berdasarkan letak anatomis infeksi dermatofit pada kulit glabrous,

tinea kruris merupakan tipe klinis dermatofitosis predominan pada Iran

(Aghamirian M.R. dan Ghiasian S.A., 2007, Dehghan M., et.al., 2009), Saudi

Arabia (Abanmi A., dkk, 2008), dan Tunisia (Neji S., et.al., 2009). Tinea

korporis merupakan tipe klinis dermatofitosis terbanyak (67,6 %) yang

didapatkan pada dermatofitosis kulit glabrous di RS. Wahidin Sudirohusodo

Makassar dan jejaringnya selama 2 bulan penelitian (Tabel 3), diikuti tinea

kruris (29,4%) dan tinea fasialis (3%). Hasil ini sesuai dengan data

epidemiologi dermatofitosis pada Teheran (Falahati M., dkk, 2003), Croatia

68
(Babic-Erceg A.,dkk, 2004) dan Rajasthan(Jain N., dkk, 2008) Belum

ditemukan data epidemiologi yang menunjukkan tinea fasialis sebagai tipe

klinis dermatofitosis predominan.

Pemeriksaan kerokan kulit pada penderita tinea glabrosa dengan

aplikasi krim ekstrak biji mimba 10 % pada Tabel 4, demikian pula pada

aplikasi krim mikonazol 2% Tabel 5. menunjukkan adanya perubahan

bermakna secara mikologis untuk pengamatan H5 hingga H15, dimana nilai

p<0,005 (p=0,000). Pengamatan H10-H15 untuk masing-masing krim

menunjukkan perbedaan, dimana mimba p=0,005 dalam arti tidak berbeda

bermakna perubahan hifa selama pengaplikasian krim ekstrak biji mimba

10% (Tabel 4.), dan krim mikonazol 2% p<0,005 (p=0,003). Namun

perubahan mikologis untuk H10 – H15 antara aplikasi krim ekstrak biji mimba

10% dan kirm mikonazol 2% (Tabel 6.) p>0,005 (p=0,728) tidak ada

perbedaan bermakna antara kedua krim. Hasil yang tidak terlalu berbeda

diperkirakan karena masih rendahnya kadar ekstrak biji mimba yang

digunakan dalam penelitian ini (10%) sehingga dalam hal efektifitas dan

potensi sebagai anti mikotik yang dikandungnya tidak setara dengan kadar

anti mikotik dalam krim mikonazol 2%. Vehikulum bentuk salep yang

mengandung minyak biji mimba berkadar 10% pernah dicobakan untuk terapi

tinea korporis pada dua penderita dengan hasil terapi yang memuaskan.

69
Kesembuhan mikologis dan klinis sudah teramati sejak akhir minggu ke-2

terapi (Suswardana, 2007, Nafiah et al., 2006)

Selain pemeriksaan mikroskopis langsung, untuk menilai efektifitas

terapi pada kedua kelompok penelitian ini dilakukan penilaian kesembuhan

(perbaikan) secara klinis dengan menilai gatal dan effloresensi yang nampak.

Pengamatan perubahan klinis pada penderita tinea glabrosa dengan aplikasi

krim ekstrak biji mimba 10% pada Tabel 7., demikian pula pada aplikasi krim

mikonazol 2% Tabel 8. menunjukkan adanya perubahan bermakna secara

klinis untuk pengamatan H1-5, H1-10,H1-15, dimana nilai p<0,005 (p=0,000).

Pengamatan H10-H15 untuk masing-masing krim menunjukkan

perbedaan, dimana mimba p>0,005 (p=0,705) dalam arti tidak berbeda

bermakna perubahan klinis selama pengaplikasian krim ekstrak biji mimba

10% (Tabel 7.), dan krim mikonazol 2% (Tabel 8) p<0,005 (p=0,002)

mengalami perubahan klinis yang bermakna. Namun perubahan klinis untuk

H15 antara aplikasi krim ekstrak biji mimba 10% dan kirm mikonazol 2%

(Tabel 9.) p>0,005 (p=1,000) tidak ada perbedaan bermakna antara kedua

krim. Hal ini tentu saja sangat tergantung pada konsentrasi komponen aktif

obat yang digunakan, oleh karena optimalisasi dan potensi efektifitas terapi

topikal sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya konsentrasi zat aktif yang

terkandung dalam obat-obatan topikal. Hal ini sesuai dengan kepustakaan

yang menyebutkan bahwa beberapa faktor yang dapat mempengaruhi suatu

70
formulasi, aplikasi dan subjek terhadap penyerapan obat adalah konsentrasi

obat, dosis total, ketebalan aplikasi, pH formulasi, lipopilisitas obat, lipofilisitas

vehikulum, temperatur, hidrasi atau oklusi dan faktor pasien seperti umur,

jenis kelamin, lokasi aplikasi. (Shah VP et al, 1992)

Kandungan triterpenoid dalam mimba yang diambil dari berbagai

sampel di berbagai wilayah menunjukkan variasi kadar yang cukup besar.

Faktor yang diduga mempengaruhi diantaranya adalah lokasi geografis,

variabilitas genetik, kelembaban, cuaca, suhu, paparan sinar matahari, cara

panen dan penyimpanan biji mimba, umur biji mimba, tingkat kekeringan biji,

tehnik pembuatan minyak, pH dan tehnik ekstraksi (ATGA, 2001).

Selama terapi secara keseluruhan, krim ekstrak biji mimba 10% dan

krim mikonazol 2% dapat ditoleransi dengan baik, dimana selama terapi tidak

ada dilaporkan atau ditemukannya keluhan efek samping (iritasi, rasa

terbakar, maserasi) atau reaksi alergi dari pengobatan pada seluruh

penderita dari kedua kelompok. Dapat ditinjau dari analisis statistik hasil

penelitian dimana diperoleh nilai ties, dianggap bermakna karena ada nilai

kontans dari kasus yang mengalami perbaikan tanpa efek samping.Uji

tosisitas topikal minyak mimba yang dilakukan ATGA menunjukan bahwa

pada kadar 30% minyak mimba hanya menyebabkan penebalan stratum

korneum ringan tanpa disertai reaksi peradangan. Evaluasi yang dilakukan

71
ATGA juga menyebutkan tidak adanya laporan tentang efek tak diinginkan

selama penggunaan minyak mimba secara topikal (ATGA, 2001).

Hasil dari penelitian ini belum dapat dibandingkan dengan penelitian

lain karena sepengetahuan penulis sampai saat ini belum ada penelitian

sama yang membandingkan efektifitas krim ekstrak biji mimba dengan krim

mikonazol pada penderita tinea glabrosa dan masih sedikitnya penelitian uji

klinis terhadap minyak mimba terutama krim ekstrak biji mimba. Sedangkan

untuk hasil terapi mikonazol pada penelitian ini sesuai dengan kepustakaan

dimana dikatakan preparat golongan imidazole memberikan keberhasilan

terapi yang tinggi.

Beberapa keterbatasan dari penelitian ini, yaitu kepatuhan penderita

dengan pengobatan tidak dapat dievaluasi, sehingga tidak dapat diketahui

apakah penderita menggunakan, mengaplikasikan obatnya secara tepat

seperti yang telah dijelaskan sebelum terapi. Selain itu tidak ada penelitian

yang sama sebagai pembanding dari hasil penelitian ini untuk memperkuat

hasil penelitian ini.

Walaupun dilihat secara klinis, mikologis didapatkan efektifitas krim

ekstrak biji mimba 10% tidak berbeda dengan mikonazol 2%, tapi kalau

dilihat secara keseluruhan hasil penelitian didapatkan krim mikonazol 2%

selalu memberikan presentase kesembuhan yang lebih tinggi. Berdasarkan

hal tersebut, diperlukan penelitian lebih lanjut dengan pengamatan yang lebih

72
lama dan menggunakan konsentrasi obat yang lebih tinggi untuk dapat

memperkuat hasil penelitian ini sebelum dapat merekomendasikan

penggunaan krim ekstrak biji mimba sebagai terapi alternatif untuk tinea

glabrosa atau dermatofitosis.

73
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

V.1 KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka dapat

disimpulkan:

1. Spesies dermatofit penyebab tinea glabrosa dari 9 spesies genus

Trichophyton spp., terbanyak adalah T.mentagrophytes.

2. Efekfifitas krim ekstrak biji mimba 10% berdasarkan kesembuhan klinis

untuk terapi tinea glabrosa tidak berbeda bermakna dibandingkan

dengan krim mikonazol 2%.

3. Efektivitas krim ekstrak biji mimba 10% berdasarkan mikroskopis

untuk terapi tinea glabrosa tidak berbeda bermakna dibandingkan

dengan krim mikonazol 2%.

V.2. SARAN

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan waktu pengamatan yang

lebih lama untuk melihat kasus relaps dari pengobatan yang diberikan.

2. Perlu dilakukan penelitian dengan menggunakan vehikulum berbeda

untuk lebih mengetahui efektivitas ekstrak biji mimba yang berbentuk

minyak sebagai pengobatan alternatif.

74
DAFTAR PUSTAKA

Adiguna MS, 2001. Epidemiologi dermatomikosis di Indonesia. Jakarta, Balai


Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
ATGA-Australian Therapeutic Goods Adminstration, 2001, Evaluation of Cold-
Pressed Oil from the Seed Kernels of Azadirachtaindica (A.Juss),
Meliaceae (Neem), for Use in Listable Therapeutic Goods, Office of
Complimentary Medicines Therapeutic Goods Adminstration, Australia,
3-39.
Becker, H. 1994. Neem Oil Locks Out Spores. Agricultural Research. June. 42 (6);
20.
Bergstorm, KG. & Strober BE., 2008 Principles of Topical Therapy dalam
Wolff, K, Goldsmith LA, Katz SI., Gilchrest BA, Paller AS & Leffell DJ.
(Eds.) Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. 7th ed. New
York, Mc Graw Hill.
Blanco, J. L. & Garcia, M. E. 2008 Immune response to fungal infections.
Veterinary Immunology and Immunopathology. 125: 47–70.
Brandt, M. E. & Warnock, D. W. 2003 Laboratory aspects of medical
mycology. dalam Dismukes, W. E., Pappas, P. G. & Sobel, J. D. (Eds.)
Clinical Mycology. New York, Oxford University Press.
Charles, V. & Charles, S. 1992 The use and efficacy of Azadirachta indica
ADR ('Neem') and Curcuma longa ('Turmeric') in scabies. A pilot study.
Trop Geogr. Med. 44: 178-81.
Conrick, J. 1996 Neem: The Ultimate Herb. The Neem Association Winter
Park. Florida.
Crissey JT., Lang H., Parish LC., 1995, Manual of medical mycology,
Massachutsetts: Blackwell science.
Dali, A. 2003 Dermatofitosis, Makassar, Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Degreef, H. 2008 Clinical Forms of Dermatophytosis (Ringworm Infection).
Mycopathologia. 166: 257–265.
Duke, 2001, Dr. Duke’s Constituent and Ethnobotanical Data Bases, US
Department of Agriculture-Agricultre Research Service, Maryland,
USA, http://www.ars-grin.gov/cgi-bin/duke/farmacy-scroll3.pldiakses
16/12/2002.

75
Elgart, M. L. & Warren, N. G. 1992 The Superficial and subcutaneus
mycoses. dalam Moschella, S. L. & Hurley, H. J. (Eds.) Dermatology.
3rd ed. Philadhelpia, W B Sauders Company.
Estri, SATS., Suswardana & Siswati, A. 2004 Efek anti mikotik minyak mimba
terhadap dermatofita. Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) Perdoski. Bali
Indonesia.
Fisher, F. & Cook, N. B. 1998 Fundamental of Diagnostic Mycology,
Philadelphia, WB Saunders.
Govindachari, T.R., Suresh, G., Gopalakrisnan, G., Banumathy, B.,
Masilamani, S., 1997.Identification of Antifungal Compounds from The
Seed Oil of Azadirachtaindica.Phytoparasitica. 26 (2); 1-8.
Gupta, A. K. & Tu, L. Q. 2006 Dermatophytes: Diagnosis and treatment. J Am
Acad Dermatol. 54: 1050-5.
Hainer, B. L. 2003 Dermatophyte Infections. Am Fam Physician. 67: 101-8.
Hay, R. & Ashbee, H. 2010 Mycology. dalam Burns, T., Breathnach, S., Cox,
N. & Griffiths, C. (Eds.) Rook’s Textbook of Dermatology. Oxford,
Blackwell Publishing.
Hazen, K. 2000 Evaluation of in vitro susceptibility of dermatophytes to oral
antifungal agents. J Am AcadDermatol. 43: S125-129.
Havlickova, B., Czaika, V. A. & Friedrich, M. 2008 Epidemiological trends in
skin mycoses worldwide. Mycoses. 51 2–15.
Hidayati, A. N., Suyoso, S., P, D. H. & Sandra, E. 2009 Mikosis Superfisialis
di Divisi Mikologi Unit Rawat Jalan Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD
Dr. Soetomo Surabaya Tahun 2003–2005. Berkala Ilmu Kesehatan
Kulit & Kelamin. Surabaya, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
High, W. A. & Fitzpatrick, J. E. 2008 Topical Antifungal Agents. dalam Wolff,
K, Goldsmith LA, Katz SI., Gilchrest BA, Paller AS & Leffell DJ. (Eds.)
Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York, Mc
Graw Hill.
Howard, B. 1994 Dermatophytes. IN Howard, B., Keiser, J., Smith, T.,
Weissfeld, A. & Tilton, R. (Eds.) St Louis, MO Mosby
Johnson, L. 2003 Dermatophytes – the skin eaters. Mycologist. 17: 147-9.
Kardinan, A., Ruhnayat, A. 2002. Mimba :Budidaya dan Pemanfaatan, Bogor.
Penebar Swadaya. 1-16.
Ketkar, A.Y., Ketkar, C.M. 1999. Various usesofNeem Products.Dalam
:Norten, E., Putz, J., Straw, D., Werner, K. Editor. Neem: India’s
Miraculous Healing Plant. 519-29

76
Khan, M., Wassileuw, S.W., Scneider, B., Splaneman, V. 1987. Experimental
Study of The Effect of Raw Material from The Neem Tree, Neem Oil,
and Neem Extract on Dermatophytes, Yeasts and Molds. Z Hautkr. 63
(6); 499-502. (Abstract).
Kusmarinah, B. 2009 Tren Epidemiologi Mikosis Superfisialis di Indonesia.
Kongres Nasional IV & Temu Ilmiah Perhimpunan Mikologi Kedokteran
Manusia dan Hewan Indonesia(PMKI). Manado, Perhimpunan
Mikologi Kedokteran Manusia dan Hewan.
Kuswadji & Widaty, S. 2001 Obat Antijamur. dalam Budimulja, U., Kuswadji,
Bramono, K., Menaldi, S., Dwihastuti, P. & Widaty, S. (Eds.)
Dermatomikosis superfisialis. Jakarta, Balai Penerbit FKUI.
Larone, D. H. 1996 Culture and Identification of Dermatophytes. CMNEEJ.
18: 33-40.
Locke, J.C. 1999. Fungi.Dalam :Norten, E., Putz, J., Straw, D., Werner, K.
Editor. Neem: India’s Miraculous Healing Plant. 118-25.
Nafiah, C., Suswardana, Estri, S. & Siswati, A. 2006 Succesfull treatment of
tinea corporis with neem oil-oinment. Regional Conference of
Dermatology (RCD). Bali Indonesia.
Nugroho, S. A. & Siregar, R. S. 2001 Pemeriksaan Penunjang diagnosis
dermatoikosis superfisialis, Jakarta, Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Odds FC., 1996 Antifungal therapy. In : Kibbler CC, Mackenzie DWR, Odds
FC (Eds), Principles and practice of clinical mycology, Chicester : Jhon
Wiley & Sons.
Ongley RC., 1978. Efficacy of topical miconazole treatment of tinea pedis.
Can Med Assoc J. 119:353-4.
Philips RM, 2001, Topical antifungal agents. In : Wolverton SE, (Eds).
Comprehensive dermatologic drug therapy. Philadelphia: W.B.
Saunders company.
Richardson MD., Warnock DW., 1993 Fungal infection: diagnosis and
management. London: Blackwell Science
Rinaldi, M. 1989 Emerging opportunists.Infect Dis Clin North Am. 3: 65-76.
Rinaldi, M. 2000 Dermatophytosis: epidemiological and microbiological
update. J Am AcadDermatol. 43: S120-4.
Rossi, A., Peres, N. T. d. A., Maranhão, F. C. A. & Martinez-Rossi, N. M.
2010 Dermatophytes: host-pathogen interaction and antifungal
resistance. An Bras Dermatol. 85: 657-67.

77
Rippon, J. W. 1988 Dermatophytosis and Dermatomycosis. dalam
Wonsiewicz, M. (Ed.) Medical Mycology The Pathogenic Fungi and
The Pathogenic Actinimycetes. Philadelphia, W B Saunders Company.
Selvester, J. M. 1999. Neem “The Village Pharmacy”.
http://www.netowne.com/alt-healing/ayurveda. Diakses 16-12-2002.
Siswati, A., Estri, S. & Suswardana 2005 Daya hambat minyak Azadirachta
Indica terhadap pertumbuhan Malassezia sp. secara invitro. BKK.
SPIC-Science Foundation.Natural Products Isolated; Neem Constituents.
http://www.SPICScience.org Diakses 12/01/2004.
Sukanto, H. 2002 Imunologi Dermatofitosis. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin. Surabaya, Universitas Airlangga.
Sukrasno, Tim Lentera. 2003. MimbaTanaman Obat Multi Fungsi. Jakarta.
Agro Media Pustaka.1-30.
Suswardana 2007 Potensi minyak mimba (Azadirachta indica) untuk terapi
mikosis superfisialis. Berkala I Kes Kul Kel. 19: 202-4.
Tabassam, S., Iqbal, Z., Jabbar, A., Sindhu, Z. & Chattha, A. 2008 Efficacy of
crude neem seed kernel against infestation of Sarcoptes scabiei
var.ovis. J. Ethnopharmacol. 115(2): 284-7.
Thornborough, J. 2000. Neem : An Ancient Cure for A Modern World.
http://www.neemfoundation.org/ Diakses16-12-2002.
Venugopal, P.V., Venugopal, T.V. 1994. Antidermatophytic Activities of Neem
(Azadirachta indica) Leaves In Vitro. Indian Journal of Pharmacology. 26.
141-3
Verma, S. & Heffernan, M. P. 2008 Superficial Fungal Infection:
Dermatophytosis, Onychomycosis, Tinea Nigra, Piedra. dalam Wolff,
K., Goldsmith, L. A., Katz, S. I., Gilchrest, B. A., Paller, A. S. & Leffel,
D. J. (Eds.) Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. 7th ed. New
York, Mc Graw Hill.
Vietmeyer, N.D., Ed. 1992. Neem : A Tree for Solving Global Problems.
Report of an ad hoc Panel of the Board on Science and Technology for
International Development, Washington, DC. US National Research
Council National Academy Press.
Weeks, J., Moser, S. A. & Elewski, B. E. 2003 Superficial cutaneous fungal
infections. dalam Dismukes, W. E., Pappas, P. G. & Sobel, J. D. (Eds.)
Clinical Mycology. New York, Oxford University Press.

78

Anda mungkin juga menyukai