Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Penelitian
Dalam dunia kedokteran, spekulum adalah suatu instrumen yang mampu menjaga

bagian tubuh tertentu untuk membuka sementara. Seperti diketahui bahwa kelopak mata

berkedip secara konstan untuk menghilangkan kekeringan pada mata pada saat kelopak

mata membuka dalam waktu yang lama, tindakan bedah ataupun prosedur diagnostik lain

lebih mudah dilakukan dengan bantuan sebuah spekulum palpebra (Kaplan et al., 1985).

Berbagai prosedur medis melibatkan sebuah spekulum, dimana banyak bagian

dari tubuh manusia memiliki orifisium atau kavitas yang terlindungi seperti pada mata

dengan mekanisme memejam, atau dinding jaringan fleksibel, seperti kanalis aurikularis.

Sebagaimana area-area tersebut memerlukan suatu alat untuk membuka kavitas lebih

lama atau untuk waktu yang lama dibandingkan biasanya, profesi kesehatan menemukan

spekulum (Kaplan et al., 1985).

Mata dan palpebra adalah organ yang sangat lembut sehingga sebuah spekulum

palpebra yang dipergunakan haruslah yang ringan dan memiliki tepi yang tumpul

sehingga tidak menimbulkan kerusakan pada area yang berada disekitarnya. Spekulum

untuk membuka kelopak mata mempunyai dua bentuk, yang dapat dipergunakan pada

beberapa kegunaan yang berbeda-beda. Yang pertama spekulum kawat (wire spekulum)

yang dibuat dengan kawat fleksibel namun mampu digunakan untuk membuka kelopak

mata. Spekulum yang lain adalah spekulum kaku (solid-blade spekulum) yang mampu

membuka kelopak dengan ukuran yang diinginkan melalui mekanisme menyerupai

sebuah sekrup (Singh et al., 1997).

11
Spekulum pada umumnya dibuat dari bahan metal seperti baja maupun titanium,

dan dapat mengakibatkan kerusakan pada area disekitar mata. Selama prosedur

dilakukan, para ahli bedah mata menginsersi spekulum pada palpebra superior dan

inferior dari pasien, yang dapat atau tanpa menggunakan anestesi umum (Singh et al.,

1997).

Risiko potensial dari penggunaan spekulum palpebra adalah palpebra superior

menjadi lemah dan posisinya lebih turun dibandingkan biasanya. Walaupun penelitian

mengenai efek spekulum terhadap kejadian ptosis belum banyak namun ditemukan hasil

yang cukup signifikan dimana terdapat kejadian ptosis pasca operasi katarak dari pasien-

pasien yang mendapat injeksi anestesi topikal, pemakaian spekulum dan pemasangan

benang kendali (Paris, 1976, Alpar, 1982, Kaplan et al., 1985, Singh et al., 1997). Dilain

sisi, dengan semakin berkembangnya pengetahuan dan informasi, pasien semakin sadar

akan kegunaan spekulum (Seibel, 2002). Etiologi dari kejadian ptosis tersebut

dikarenakan adanya gaya berlawanan yang diciptakan oleh spekulum menyebabkan

dehisensi aponeurosis levator dikarenakan kuatnya perlekatan fascia antara rektus

superior dan muskulus levator (Singh et al.,1997).

Penelitian yang dilakukan oleh Hosal et al., menemukan adanya kejadian

pergeseran posisi dari pungtum palpebra akibat ektropion pasca operasi katarak pada

sekitar 4% dari pasien yang diteliti dan salah satu penyebabnya adalah penggunaan

spekulum.

Penelitian tentang efek pemakaian spekulum palpebra terhadap kejadian ptosis

ataupun terhadap kondisi palpebra superior telah diteliti namun belum ada penelitian

yang menekankan pada pengaruh spekulum baik yang menggunakan kunci (solid-blade

12
speculum) maupun yang tidak menggunakan kunci (wire speculum) terhadap palpebra

inferior pasca operasi mata.

3. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dirumuskan suatu pertanyaan penelitian

sebagai berikut: “Apakah ada perbedaan peningkatan laksitas atau kekenduran palpebra

inferior antara pemakai spekulum palpebra berkunci (solid blade speculum) dengan

spekulum tidak berkunci (wire speculum) setelah operasi fakoemulsifikasi?”

4. Keaslian Penelitian
Pada penelusuran kepustakaan dengan menggunakan kata kunci eyelid speculum

and lower eyelid laxity melalui Journal Cataract Refractive Surgery didapatkan satu

artikel yang menyinggung malposisi palpebra, dalam hal ini ptosis, setelah bedah katarak.

Artikel ini berupa penelitian klinis dengan 2 studi grup, dimana pada grup pertama yang

menggunakan spekulum dalam bedah katarak mempunyai sampel sejumlah 108, dan grup

kedua, tanpa menggunakan spekulum, mempunyai jumlah sampel 112, dimana pada grup

ini spekulum diganti dengan menggunakan benang kendali (bridle suture) pada rektus

superior. Analisis dilakukan oleh observer yang tidak dilibatkan dalam proses tindakan

bedah yang dilakukan. Ternyata insiden ptosis secara signifikan ditemukan pada grup

yang menggunakan spekulum yaitu sebesar 44,4% dan pada grup yang tidak

menggunakan spekulum ditemukan sebesar 23,3% (Singh et al, 1997). Namun secara

garis besar tidak ada penelitian sebelumnya yang menyebutkan adanya keterkaitan

penggunaan spekulum dengan peningkatan kejadian kendurnya palpebra inferior.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Ahuero dalam International Ophthalmology

Clinics, ditemukan artikel yang juga menyinggung malposisi palpebra setelah bedah

refraktif dan katarak. Deteksi malposisi palpebra dijelaskan secara bersamaan dengan

13
gambaran yang terkait dengan peningkatan risiko ptosis. Dalam artikel disebutkan bahwa

faktor-faktor yang dispekulasikan mengakibatkan ptosis persisten adalah faktor benang

kendali dan penggunaan spekulum palpebra (Ahuero et al, 2010). Sama seperti penelitian

sebelumnya, artikel ini tidak menyinggung tentang peningkatan laksitas palpebra inferior

pasca penggunaan spekulum.

Satu artikel berupa penelitian prospektif terhadap palpebra inferior dengan

menggunakan tensometry pada subyek normal. Peneliti beranggapan bahwa pasien-

pasien dengan keluhan mata berair terkait pada penurunan tegangan palpebra inferior.

Penelitian dilakukan pada 32 subyek dewasa, 12 subyek orang muda, dan 20 obyek lanjut

usia, dimana semuanya menjalani pemeriksaan dengan lower eyelid tensometry (LET)

untuk menilai pergeseran posteroanterior, nasal dan temporal dari palpebra inferior. Dari

hasil penelitian didapatkan bahwa LET adalah alat yang dapat diterima, dapat dilakukan

dengan mudah, dapat diulang dan dapat dilakukan dalam waktu singkat. Tekanan

posteroanterior merupakan pengukuran yang paling mungkin dapat diulang. Dan tidak

ada reduksi yang signifikan dalam tekanan posteroanterior terkait dengan usia (Francis et

al, 2006). Artikel yang kedua dalam Academy for Eyecare Excellence dinyatakan bahwa

retraktor palpebra inferior dapat mengalami peningkatan kekenduran sehingga palpebra

menjadi kurang stabil secara vertikal. Pada saat palpebra berputar ke arah luar, pasien

akan mengeluhkan mata berair sebagai akibat aliran yang berlebihan dari air mata

(Reuser, 2012).

14
Tabel 1. Ringkasan Data Penunjang Teori
No. Sumber Peneliti Tahun Desain Hasil
1 J Cataract Refract Singh et al 1997 Randomized Ptosis pada grup spekulum
Surg. control trial 44,4%, non spekulum 23,3%
2 Ebscohost Francis et al 2006 Prospective LET lebih singkat, dapat
consecutive diulang, dapat dilakukan, dan
observational dapat diterima. Tidak ada
reduksi yang signifikan pada
tekanan PA dengan usia
3 Int Ophthalmol Ahuero et al 2010 Retrospektif Ptosis terkait dengan faktor
Clin. pemakaian benang kendali
dan spekulum palpebra
4 Ebscohost Reuser 2012 Retrospektif Saat palpebra inferior
berputar ke arah luar, pasien
mengeluhkan mata berair.

5. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada perbedaan hasil

pengukuran laxity palpebra inferior sebelum dan sesudah pemakaian spekulum palpebra,

wire speculum maupun solid blade speculum, pada operasi fakoemulsifikasi.

6. Manfaat Penelitian
1. Bagi perkembangan oftalmologi

Membuktikan kebenaran bahwa pemakaian spekulum dapat mengakibatkan

peningkatan laxity pasca bedah refraktif (fakoemulsifikasi) dan memperoleh

informasi mengenai efektivitas waktu operasi yang harus dilakukan untuk mencegah

kejadian peningkatan laxity palpebra inferior.

2. Bagi penderita dan masyarakat umum

Masyarakat memperoleh kenyamanan dan keamanan pada saat dilakukan tindakan

bedah refraktif ataupun bedah okular pada umumnya.

15

Anda mungkin juga menyukai