Anda di halaman 1dari 15

PARATUBERCULOSIS

Oleh :
Nur Wicaksana Putra B04140091
Fakhri Ja’far Sodiq B04140095
Laely Fatkhul H B04140128
Anastasya Carnelia B04140147
Desti Nurhayati B04140157
Ananta Gerardus P B04140175
Hianto Malehere B04140108
Faudi bagas H B04140122
Nadiy istna M B04140114
Pavitra Ratna R B04148016
Bintang mustika B B04140171
Rizqi fitriya B04130027
Navin Kumar B04148014

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT HEWAN DAN KESEHATAN


MASYARAKAT VETERINER
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2017

Etiologi
Paratuberkulosis akibat infeksi Mycobacterium avium subsp.
Paratuberkulosis, merupakan bakteri bacilus yang bersifat asam cepat yang
sebelumnya dikenal dengan Mycobacterium paratuberculosis dan M. johnei. M.
avium subsp. Paratuberkulosis adalah anggota kompleks bakteri M. avium-
Mycobacterium intracellulare (MAI) (Dohmann et al 2003). Beberapa strain M.
avium subsp. Paratuberculosis lebih sering menginfeksi inang tertentu. Dua jenis
utama yang dapat dibedakan dengan panjang polimorfisme fragmen panjang,
adalah strain Tipe II atau C, ditemukan pada sapi, dan strain tipe I atau S,
ditemukan pada domba. Strain C memiliki jangkauan inang yang luas termasuk
sapi, kambing, unta dan margasatwa ruminansia dan non-ruminansia. Strain S
tampaknya terutama menginfeksi domba dan ruminansia kecil lainnya, tapi juga
dapat ditemukan pada spesies lain termasuk rusa merah. Transmisi lintas spesies
strain S dan C dapat terjadi antara domba dan sapi, meskipun hal ini tampaknya
tidak biasa. Bukti juga ada untuk strain spesifik kambing di Norwegia dan strain
unik pada bison (Motiwala et al 2004).

Patogenesis
Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis (MAP) adalah bakteri
berbentuk batang, tahan asam atau acid fast bacilli (AFB), berukuran kecil (0,5 –
1,5 mikron) dan membentuk kelompok (3 atau lebih bacilli) (OIE, 2004). Bakteri
yang sering disingkat M. paratuberculosis atau disebut M. johnei ini, secara
genetik (99%) masih satu kelompok dengan Mycobacterium avium, tetapi berbeda
sifat filogenisitasnya (OHIO DAADDL 2007; Baumgartner dan KOH 2006)
MAP menginfeksi semua jenis sapi (potong dan perah) dan biasanya
terjadinya infeksi setelah anak sapi dilahirkan. Anak sapi menelan kotoran induk
yang terinfeksi MAP pada periode neonatal. Bakteri MAP dapat diekskresikan
lewat air susu induknya dan infeksi dapat juga terjadi sepanjang anak sapi
menyusu induk sapi yang terinfeksi MAP. MAP tahan hidup (resisten) lebih dari
satu tahun dalam kotoran hewan/pupuk kandang dan air atau pada suhu yang
rendah (-14ºC) (Smith 1998).
Pada kejadian infeksi yang menahun (kronis), bagian distal usus kecil
(ileum) merupakan tempat bersarangnya bakteri MAP, dengan demikian pada
bagian usus ini terdapat bakteri yang kepadatannya paling tinggi. Lokasi sekunder
bersarangnya MAP adalah limfo-glandula (LGL) mesenterika, sedangkan sebagai
lokasi tersier adalah hati, limpa dan LGL lainnya (Johne's information Center
2007). Secara persisten MAP menetap pada ileum dan LGL mesenterika hingga
berbulan-bulan, meskipun belum atau sedikit mengeluarkan mycobacteria dalam
fesesnya dan selama sembilan bulan pertama infeksi, respon antibodi humoral
belum dapat dideteksi (Wu et al. 2007).
Ileum merupakan target utama MAP, karena pada dinding usus ileum
terkandung Peyer’s patches, yaitu sejumlah kantong-kantong jaringan limfoid,
yang cocok untuk perkembangbiakannya. Peyer’s patches ini merupakan
kelompok makrofag dan limfosit yang dilapisi oleh selapis sel penutup yang
disebut M. cells. M. cells berfungsi mengantarkan dan mengenalkan antigen ke
makrofag dan limfosit pada tubuh hewan sapi muda dengan lingkungannya agar
selanjutnya dapat terbentuk mekanisme protektif. Ketika M-cells membawa MAP
ke Peyer’s patches, justru bakteri tersebut menemukan tempat yang ideal untuk
pertumbuhannya. Makrofag dalam Peyer’s patches menangkap MAP dengan
maksud menghancurkan benda asing tersebut, namun gagal untuk menjalankan
fungsinya. Bahkan sebaliknya, MAP dapat berkembang biak dalam makrofag
sampai akhirnya dapat membunuh sel makrofag tersebut. Kemudian bakterinya
menyebar dan menginfeksi selsel terdekatnya. Dengan demikian dimulai
perkembangan bakteri tersebut di dalam sel-sel sekitar Peyer’s patches, MAP
memperbanyak diri selama bertahun-tahun dan menimbulkan lesi granuloma
sampai terjadinya gejala klinik (Johne's information Center 2007).
Menurut Payne dan Rankin (1961), mulanya MAP menembus tonsil dan
mukosa usus, kemudian agen infeksius menyebar secara luas ke bagian tubuh
lainnya. Namun pada akhirnya, infeksi cenderung menetap dan berlokasi di
mukosa usus kecil, LGL terkait dan sangat sedikit yang berlokasi di tonsil atau
LGL lainnya. Awalnya, terjadi lesi pada usus yang secara mikroskopik terlihat
adanya Giant cells secara soliter dan sel-sel epiteloid dengan sedikit AFB.
Selanjutnya, terjadi penggabungan sel-sel epiteloid dan berakumulasi di dalam
mukosa usus kecil. Seiring dengan lamanya infeksi MAP, maka semakin lama lesi
usus juga semakin bertambah luas, sehingga memunculkan gejala klinik diare
akibat tidak berfungsinya organ usus secara normal untuk penyerapan nutrien.

Gejala klinis
Gejala klinis paratuberculosis
1. Pada awal infeksi tidak menunjukan gejala klinis
2. Dapat terjadi diare secara intermitent namun kondisi fisik tetap sehat dan
gemuk
3. Pada kejadian infeksi ekstrim hewan mengalami edema submandibulla
( bottle jaw)
4. Kelemahan
5. Bulu kasar
6. Kulit kering
7. Feses cair
8. Tidak terjadi demam dan nafsu makan normalnya merupakan ciri khas
penyakit ini.
9. Kehilangan bobot badan
10. Enteritis
11. Pada manusia terjadi peradangan kronik pada usus (kolon dan ileum)

Epidemiologi dan Prevalensi Paratuberculosis

Bakteri Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis (MAP) adalah


bakteri gram positif, tahan asam dan alkohol serta memiliki daya tahan terhadap
panas. Pertumbuhan bakteri ini lambat namun kemampuan menimbulkan penyakit
sangat merugikan, infeksi MAP pada hewan menimbulkan penyakit Johne’s
Disease (JD) sedangkan pada manusia menyebabkan Crohn’s Disease (CD),
kedua penyakit tersebut memiliki ciri-ciri gejala dan patologis yang sama yaitu
menimbulkan randang kronis pada usus terutama ileum dan kolon yang khas
dengan bentuk granulomatosa. Gejala yang ditimbulkan tidak spesifik seperti
diare, muntah, demam, hingga diare berdarah sehingga sering tidak terdiagnosis
dengan segera.
Kasus Crohn’s Disease merupakan penyakit yang telah menjadi masalah
di negara maju (Eropa dan Amerika), dan memiliki kecenderungan meningkat
setiap tahunnya. Di Eropa diketahui insidensi kasus ini sebesar 5,6 kasus per
10.000 orang per tahun dan hingga tahun 2000 diperkirakan telah mencapai
200.000 orang penderita. Penyebaran penyakit diduga telah terjadi di Asia karena
tingginya migrasi manusia antar benua saat ini.
Hubungan antara JD dan CD masih dalam penelitian, beberapa peneliti
menyatakan tidak ada bukti yang kuat bahwa MAP ditularkan dari hewan atau
hasilnya. Tetapi beberapa peneliti menyatakan bahwa susu sapi dan produk
olahannya merupakan bahan pangan yang diduga kuat sebagai sumber penularan.
Di Amerika diketahui 68% susu mentah yang dihasilkan 61 peternakan
mengandung bakteri MAP sedangkan 7% susu pasterurisasi komersial di Inggris
dan Wales diketahui masih mengandung bakteri tersebut. Pada kajian laboratorik,
teknik pasteurisasi susu mentah yang diinokluasi bakteri MAP ternyata masih
belum mampu mematikan bakteri ini secara sempurna bahkan dengan dosis

inokulat yang rendah (101 cfu/ml). Pada pembuatan keju, dalam whey masih
dapat ditemukan bakteri dan justru MAP meningkat hingga 10 kali pada saat susu
berubah menjadi dadih namun menurun perlahan hingga masa pemeraman lebih
dari 27 minggu. Penelitian di Australia menunjukkan adanya strain MAP sapi
yang diisolasi dari penderita CD, hal ini memperkuat dugaan adanya keterkaitan
antara kasus JD pada sapi, susu, dan kasus CD.

Kejadian pada hewan


Kasus infeksi MAP pada hewan (1895) sudah lebih dahulu diketahui
dibandingkan pada manusia (1913). Kasus paratuberculosis (JD) diketahui
semakin meluas kejadiannya di wilayah Eropa, namun demikian kajian yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah baru dimulai tahun 1934 di Inggris, pada
saat itu diketahui prevalensi JD pada sapi sebesar 0,8%. Berbagai kajian
selanjutnya dilakukan di Inggris dengan mengambil sampel sapi-sapi yang
disembelih di rumah pemotongan hewan (RPH) selama tahun 1950an
memberikan angka prevalensi sebesar 11-17%, sementara di Denmark pada tahun
1965 prevalensi JD diketahui sebesar 2,3% dan menunjukkan kecenderungan
meningkat pada tahun berikutnya sehingga pada tahun 1972 didapatkan angka
prevalensi sebesar 9,8%. Di Belgia analisis ELISA terhadap 300 sampel serum
sapi mengindikasikan 12%-nya terinfeksi MAP, sedangkan di Spanyol
teridentifikasi 67% sapi pada peternakan terinfeksi. Pada tahun 1980an survei
nasional di AS dengan metode isolasi bakteri diketahui 1,6% dari 7000 ekor sapi
yang diperiksa positif terinfeksi MAP (Anonim 2000). Tingkat kejadian pada sapi
potong dan sapi perah menunjukkan perbedaan, berdasarkan kajian di Belgia dan
Belanda memperlihatkan hal tersebut, baik pada tingkat peternakan maupun pada
tingkat ternak.
Berdasarkan uji serologis, prevalensi infeksi MAP pada sapi pedaging
sebesar 17,4% pada tingkat peternakan dan 1,2% pada tingkat ternak sedangkan
pada sapi perah prevalensi tingkat peternakan sebesar 54,7% dan tingkat ternak
sebesar 2,5%. Hasil kajian tersebut menunjukan angka prevalensi sebenarnya
(true prevalence), apabila angka sensitivitas dan spesifisitas kajian ditingkatkan
menjadi 30% dan 99,5% maka prevalensi sebenarnya akan mencapai 70,6% pada
tingkat peternak dan 6,9% pada tingkat ternak (Anonim 2000). Hal ini
menggambarkan bahwa kasus JD telah menjadi masalah yang luas dengan
implikasi yang kompleks pula.

Kejadian pada Manusia


Adanya perubahan patologis pada usus kecil yang mirip antara kasus JD
dengan kasus CD diduga keduanya ditimbulkan oleh agen penyebab yang sama.
Pada awal kasus ini dikenali, kejadian penyakit banyak dialami oleh masyarakat
Eropa Utara dan etnis Anglo-saxon dibandingkan masyarakat Eropa Selatan, Asia
dan Afrika.
Kajian kasus-kontrol yang dilakukan Berstein et al. (2004) memperlihatkan
bahwa berdasarkan uji serologis (ELISA) untuk identifikasi MAP terhadap empat
kelompok observasi (pasien CD, ulcerativ colitis/UC, sehat, lain-lain)
memperlihatkan prevalensi seropositif sebesar 35% dari seluruh kelompok.
Prevalensi pada setiap kelompok tidak berbeda nyata dan rentang prevalensi
masing-masing kelompok berkisar antara 33,6-37,8%. Penelitian ini juga
menunjukkan bahwa uji seropositif MAP tidak berbeda nyata di antara jenis
kelamin, umur, sejarah radang usus (inflamatory bowel disease/IBD) dalam
keluarga, asal kelahiran dari negara berkembang, penduduk asli atau pendatang,
dan pernah tinggal di peternakan (unggas, sapi, babi) atau tidak. Penelitian
tersebut mengindikasikan bahwa tidak ada hubungan yang nyata antara kejadian
CD dengan infeksi MAP. Pendapat ini berbeda dengan Collins et al. (2000) yang
melakukan penelitian yang menggunakan beberapa alat uji untuk mengidentifikasi
adanya infeksi MAP pada pasien IBD. Hasil pengujian Collins et al. berdasarkan
pengujian IS 900 PCR, memperlihatkan bahwa MAP dideteksi pada 26,2%
penderita UC dan 19% pada pasien CD sedangkan dari kelompok kontrol (sehat)
hanya sebesar 6,3% yang dapat terdeteksi.
Hasil uji serologi menunjukkan bahwa kelompok pasien CD memiliki
seroprevalen sebesar 20,7%, penderita UC 6,1% dan kelompok kontrol hanya
3,9%. Kondisi ini memperlihatkan adanya peran MAP baik sebagai agen
penyebab utama ataupun sebagai infeksi sekunder dalam menimbulkan kasus
IBD. Pendapat tersebut dikuatkan oleh Bull et al. (2003) yang menyatakan bahwa
MAP secara spesifik menimbulkan radang klinis yang terjadi pada penderita CD
dan hal ini secara jelas membuktikan hubungan sebab akibat antara MAP dengan
CD.
Perkembangan selanjutnya keberadaan imigran Asia menjadi pembawa
penyakit ini ke daerah Asia. Kajian-kajian epidemiologi CD cukup banyak
dilakukan di Eropa dan Amerika namun sebagian besar berupa kajian retrospektif
yang mendasarkan datanya dari laporan-laporan dan kurang didukung identifikasi
etiologi agen secara akurat. Mulai tahun1991 hingga 1994 para klinikus Eropa
melakukan kajian prospektif dengan membentuk 20 pusat kajian untuk
mendapatkan gambaran dan insidensi kasus secara lebih tepat. Hasil kajian
tersebut dapat dilihat pada tabel 1, dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa jenis
kelamin tidak berpengaruh terhadap peluang kejadian (Shivananda et al. diacu
Anonim 2000).

Kejadian cemaran MAP pada susu dan penularan ke manusia


Penyebaran penyakit infeksi MAP baik pada manusia maupun hewan diduga
dapat terjadi dari air, tanaman, dan daging mentah namun hal ini belum didukung
dengan data yang cukup. Daya tahan MAP dalam lingkungan dipelajari
Whittington et al. (2004), penelitian tersebut memperlihatkan bahwa bakteri MAP
mampu bertahan dalam tanah kering yang teduh hingga 55 minggu sedangkan
pada rerumputan yang tercemar feses penderita paratuberculosis, MAP mampu
bertahan hingga 24 minggu.
Penularan pada manusia diduga kuat berkaitan dengan produk susu sapi
dan hasil olahannya. Millar et al. (1996) dengan metode PCR mendeteksi
keberadaan MAP pada susu sapi pasteurisasi yang dijual di supermarket Inggris
dan Wales. Hasil pengujian tersebut memperlihatkan 7% (22 sampel) dari 312
sampel susu pasteurisasi tersebut mengandung MAP dan 9 isolat bakteri dari 22
sampel positif itu mampu bertahan selama 13-40 bulan dalam media cair dan
bersaing dengan organisme lain. Di Amerika pengujian susu segar di tingkat
peternakan, diketahui tingkat cemaran sebesar 68% dari 61 peternakan yang diuji
(Stabel et al. 2002).
Pada pasteurisasi skala komersial dengan kapasitas 2000 lt/jam, pengaruh
pasteurisasi HTST susu sapi yang tercemar secara alami ternyata sedikit sekali
mengurangi kemampuan MAP untuk bertahan dalam susu (Grant et al. 2002a).
Grant et al. (2002b) selanjutnya menemukan 19 sampel susu segar dan 67 sampel
susu pasteurisasi dari total 241 sampel (segar dan pasteurisasi) terdeteksi
mengandung MAP.
Hasil olahan susu juga masih dapat tercemar MAP, seperti yang dilakukan
oleh Sung & Collins (2000) yang mengamati pengaruh pH, garam, dan
pemanasan terhadap daya tahan MAP pada proses pembuatan keju. Mereka
menginokluasikan bakteri MAP pada susu bahan baku yang akan diolah menjadi
keju. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa tingkat inaktivasi MAP lebih tinggi
pada pH rendah yaitu 4, 5, dan 6 sedangkan kadar garam (NaCl) hanya sedikit
mempengaruhi. Pada pemanasan yang kemudian diikuti dengan masa pemeraman
selama 60 hari akan mampu mengurangi jumlah MAP dalam keju hingga 2

log(102cfu/ml) dari susu tercemar yang dipasteurisasi sebelum diolah menjadi


keju. Donaghy et al. (2004) mendapatkan nilai D untuk keju yang susu bahan
bakunya juga diinukolasi MAP berkisar 90-107 hari tergantung jenis dan jumlah
inokulat. Inokulasi MAP yang dilakukan setelah pasteurisasi memperlihatkan
sekitar 4% bakteri tersebut didapatkan pada whey selama pembuatan keju. Jumlah
bakteri MAP meningkat hingga 10 kali pada saat susu menjadi dadih dan
selanjutnya menurun secara perlahan hingga masa pemeraman lebih dari 27
minggu. Bagian lain dari penelitian ini juga menunjukan bahwa masih ada MAP

dalam pasteruisasi pada suhu 72oC selama 15 detik.


Whittington et al. (2000) menyatakan di Australia ditemukan adanya MAP
strain sapi yang diisolasi dari penderita CD. Selain dari produk asal hewan,
peluang infeksi secara vertikal juga dapat terjadi dari ibu ke anak melalui air susu
ibu (ASI), dikemukakan Naser et al. (2000) yang berhasil mengisolasi MAP dari
air susu 2 orang ibu penderita CD sementara dari 5 orang ibu sehat tidak
didapatkan bakteri tersebut. Banyak kasus yang selalu mengaitkan antara kejadian
CD dengan susu sapi namun Collins (1997) mengingatakan bahwa fokus
penelitian sebaiknya tidak hanya pada susu dan hasil olahannya saja tetapi perlu
juga dikembangkan pada produk lainnya seperti daging baik dari sapi, domba,
atau kambing.

Kejadian Paratuberculosis di Indonesia


Paratuberkulosis termasuk salah satu dari 76 jenis penyakit hewan menular
yang terdapat di Indonesia yang perlu diwaspadai, namun tidak termasuk penyakit
hewan strategis (Supriatna 1998). Penyakit tersebut belum banyak dikenal oleh
petugas kesehatan hewan di lapangan di daerah atau oleh para peternak sapi,
karena sifat penyakitnya yang kronik, tidak nampak gejalanya pada awal infeksi
dan sulit dideteksi secara dini. Sapi (berumur lebih dua tahun) yang mengalami
diare kronik dan kekurusan, seharusnya dicurigai ke arah paratuberkulosis dan
seandainya didiagnosis paratuberkulosis, perlu konfirmasi di laboratorium.
Namun demikian, belum semua laboratorium veteriner (Balai Penyidikan dan
Pengujian Veteriner (BPPV) atau Balai Besar Veteriner (BBVET) dapat
melakukan isolasi agen penyebab paratuberkulosis tersebut. Ditinjau dari aspek
veteriner, paratuberkulosis dianggap kurang penting oleh para pemegang
kebijakan, namun dari aspek kesmavet, penyakit ini sangat penting, karena hewan
terinfeksi dapat menularkan patogen melalui produk ternak seperti susu. Dari hasil
surveilan paratuberkulosis pada sapi yang pernah dilakukan di Sumatera Utara,
Aceh dan Jawa Barat menunjukkan bahwa, secara serologik paratuberkulosis
dapat dideteksi pada sampel serum sapi (Tabel 3) (Setyowati et al. 1985/1986;
Adji 2004).

Dengan uji CFT dari 25 sampel serum darah sapi potong di Sumatera
Utara dan DI Aceh, sebanyak 4% diantaranya positif mengandung antibodi
spesifik paratuberkulosis. Disamping itu, satu sampel serum kerbau dari 25 ekor
(4%) juga menunjukkan positif mengandung antibodi spesifik paratuberkulosis.
Sedangkan pada pemeriksaan patologi anatomi (PA) terhadap organ kerbau yang
positif paratuberkulosis, ditemukan kelainan yang spesifik pada usus dan
limfoglandula mesenterika. Usus di daerah jejunum dan ileum memperlihatkan
perubahan, mukosanya berlipatlipat dan adanya nekrose. Pada pemeriksaan
histopatologik terlihat penyembulan sel-sel epiteloid pada lapisan propia maupun
submukosanya. Preparat histopatologik dengan pewarnaan Zeihl Neelsen, terlihat
bakteri berbentuk batang yang terdapat di dalam sitoplasmanya (Setyowati et al.
1985/1986). Hasil histopatologik menunjukkan bahwa usus bagian ileum sebagai
target utama infeksi MAP pada usus halus. Dinding ileumnya mengandung
sejumlah kantong-kantong jaringan limfoid yang disebut Peyer’s patches, yang
merupakan sekumpulan makrofag dan limfosit (Johne’s Information Centre
2007).
Surveilan paratuberkulosis pada sapi perah di daerah Jawa Barat pernah
dilakukan pada tahun 2004 (Adji 2004), diketahui bahwa, tiga dari 180 sampel
yang diperiksa secara ELISA antibodi, dinyatakan positif mengandung antibodi
spesifik paratuberkulosis. Sedang secara kultural terdapat satu dari tiga sampel
yang positif M. paratuberculosis. Namun demikian untuk membuktikan bahwa,
paratuberkulosis ada di Indonesia, masih perlu karakterisasi isolat lebih lanjut,
mengingat sapi perah di Indonesia diimpor dari negaranegara yang tidak bebas
paratuberkulosis. Restropektif studi tentang prevalensi paratuberkulosis pada sapi
yang pernah dilakukan terhadap hewan-hewan yang dipotong (yang kebanyakan
sapi perah) di rumah potong hewan (RPH), di negara lain dilaporkan oleh Ollis
(1997), menunjukkan prevalensinya sekitar 6 – 18% di USA, 4% di New Zealand
dan 5,5% di Ontario. Namun di Indonesia studi semacam ini belum pernah
dilakukan.
Dari data yang dikemukakan di atas menggambarkan bahwa penelitian
atau surveillance paratuberkulosis belum mendapat prioritas yang memadai
dibandingkan dengan penyakit ternak lainnya yang mempunyai dampak negatif
terhadap kesehatan masyarakat veteriner. Mengingat pula bahwa Indonesia juga
mengimpor sapi potong dan sapi perah dari negara-negara yang tidak bebas
paratuberkulosis, terbawanya penyakit tersebut ke Indonesia perlu diwaspadai.

Pengobatan Dan Pengendalian


Pengobatan terhadap penyakit ini cukup sulit karena kemampuan bakteri
yang dapat masuk ke dalam makrofag. Beberapa obat seperti Streptomycin,
Isonazid dan Rifampicin kurang dapat memberikan hasil yang memuaskan dengan
cara pengobatan tunggal sehingga untuk meningkatkan efektifitas dan mencegah
resistensi obat maka dapat dilakukan kombinasi pengobatan dengan obat-obat
tersebut (Anonim 2000). Penggunaan Benzoxazinorifamycin KRM-1648
memiliki potensi yang baik untuk pengobatan MAP secara intermiten hanya obat
ini memiliki kelarutan yang rendah dalam darah (Mor et al.1996).Linezolid juga
merupakan obat antimycobacteria alternatif, konsentrasi linezolid dalam darah
yang direkomendasikan berkisar 2-32 μg/ml didasarkan pada tingkat resistensi
bakteri yang ada. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah efek samping obat
ini yang dapat menekan aktivitas sumsum tulang (Brown-Elliott et al. 2003).
Upaya pencarian metode pengobatan juga dilakukan dengan mempelajari
mekanisme/substansi yang dapat mengangkut zat aktif obat masuk ke dalam sel
dan juga interaksi zat aktif tersebut dengan sel inang. Interaksi obat
antimikobakteria dengan aktivitas makrofag terinfeksi MAP dipelajari oleh Sano
et al. (2004), yang berhasil mengetahui aktivitas antimikobakteria seperti
rifampicin, rifobutun, isoniazid, clofozamine, dan beberapa golongan quinolon
ternyata justru mengganggu sistem antimikobakterium sel makrofoag yang
diperantari reaksi oksigen (ROIs) namun obat-obat tersebut tidak mengganggu
sistem antimikobakterium sel inang yang diperantarai reaksi nitrogen (RNIs)
maupun asam lemak bebas (FFAs). Pemahaman ini akan membantu
pengembangan obat-obat anti MAP atau bakteri lainnya yang mampu masuk ke
dalam makrofag.
Tindakan pencegahan perlu dilakukan untuk mengontrol penyebaran
penyakit ini. Secara teori manusia dapat terinfeksi melalui kontak langsung
dengan manusia ataupun hewan penderita ataupun secara tak langsung melalui
pengan tercemar. Penularan dapat melalui feses penderita sehingga harus selalu
menjaga kebersihan secara benar terutama setelah buang air besar dengan
mencuci tangan dengan air bersih dan sabun ataupun antiseptik. Tidak
mengkonsumsi pangan terutama susu dalam kondisi mentah, melakukan
pemanasan (pasteurisasi ataupun sterilisasi) untuk menginkatifkan atau
mematikan mikroorganisme yang ada didalamnya (Griffiths M. 2002).
DAFTAR PUSTAKA
Adji, RS. 2004. Isolasi dan uji serologi terhadap Mycobacterium paratuberculosis
pada sapi perah. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner. Bogor, 4 – 5 Agustus 2004. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm.
281 – 284.
Anonim, 2000, Possible Links Between Crohn’s Disease and Paratuberculosis.
Scientific Committee Health and Animal Welfare, European Commission,
Directorate-General Health & Consumer Protection
Bernstein CN, Blanchard JF, Rawsthorne P, Collins MT. 2004. Population-Based
case Control Study of Seroprevalence of Mycobacterium paratuberculosis
in Patients with Crohn’s Disease and Ulcerative Colitis. J Clin. Microbiol.
3:1129-1135
Brown-Elliott BA, Crist CJ, Mann LB, Wilson RW, Wallace Jr RJ. 2003. In Vitro
of Linezolid Against Slowly Growing Nontuberculous Mycobacteria.
Antimicrob. Agents Chemother. 5:1736-1738
Bull TJ. McMinn EJ, Sidi-Boumedine K, Skull A, Durkin D, Neild P, Rhodes G,
Pickup R, Hermon-Taylor. 2003. Detection and Verification of
Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis in Fresh Ileocolonic
Mucosal Biopsy Specimens from Individuals with and without Croh’s
Disease. J. Clin. Microbiol. 7: 2915-2923
Collins MT. 1997. Mycobacterium paratuberculosis: A Potential Food-Borne
Pathogen?. J.Dairy Sci. 80:3445-3448
Collins MT, Lisby G, Moser C, Chicks D, Christensen S, Reichelderfer M, Hoib
N, Harms BA, Thomsen OO, Skibsted U, Binder V. 2000. Results of
Multiple Diagnostic tests for Mycobacterium avium subsp.
paratuberculosis in Patients with Inflammatory Bowels Disease and in
Controls. J. Clin. Microbiol. 12:4373-4381

Collins DM, Zoete DM, & Cavaignac SM. 2002. Mycobacterium avium subsp.
paratuberculosis strains from cattle and sheep can be distinguished by a
PCR test based on a novel DNA sequence difference. Washington (USA):
J Clin Microbiol.

Dohmann K et al. 2003. Characterization of genetic differences between


Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis type I and type II isolates.
Iowa (USA): J Clin Microbiol.
Donaghy JA, Totton NL, Rowe MT. 2004. Persistence of Mycobacterium
paratuberculosis during Manufacture and Ripening of Cheddar Cheese.
Appl. Environ. Microbiol. 8:4899-4905
Doran T, Tizard M, Millar D, Ford J, Sumar N, Loughlin M, Hermon-Taylor J.
1997. IS900 Targets Translation Initiation Signals in Mycobacterium
avium subsp. paratuberculosis of Facilitate Expression of Its hed Gene.
Microbiol. 143:547-552
Grant IR, Hitchings EI, McCartney A, Ferguson F, Rowe MT. 2002a. Effect of
Commercial-Scale High-temperature, Short-Time Pasteurization on the
Viability of Mycobacterium paratuberculosis in Naturally Infected Cows’
Milk. Appl and Environ. Microbiol 2:602-607
Griffiths M. 2002. Mycobacterium paratuberciulosis. Di dalam: Food-borne
Pathogenes, 1st ed. Woodhead Pub.Ltd. and CRC press LLC. hlm. 489-
500
Johne’s Information Center. 2007. This chronic bacterial infection damages the
small intestine leading to diarrhea, weight loss and death. Infection.
Johne’s Informatian Center, University of Visconsin – School of
Veterinary Medicine. http://www.johnes.org/ general/pathology.html. (18
April 2007).
Millar D, Ford J, Sanderson J, Whitey S, Tizard M, Doran T, Taylor JH. 1996.
IS900 PCR To Detect Mycobacterium paratuberculosis in Retail Supplies
of Whole Pasteurised Cows ‘ Milk in England and Wales. Appl and
Environ. Microbiol. 9:3446-3452.
Mor N, Simon B, Heifets L. 1996. Bacteriostatic and Bactericidal Activities of
Bemzoxazinorifamycin KRM-1648 against Mycobacterium tuberculosis
and Mycobacterium avium in Human Macrophages. Antimicrob. Agents
Chemother. 6:1482-1485
Motiwala AS et al. 2004. Molecular epidemiology of Mycobacterium avium
subsp. paratuberculosis isolates recovered from wild animal species. St
Louis (USA): J Clin Microbiol.
Naser SA, Scwartz D, Shafran I. 2000. Isolation of Mycobacterium avium subsp.
paratuberculosis from breast milk of Corhn’s Disease Patients, Americ. J.
Gastro. 4:1094-095.
Office International des Epizooties (OIE). 2004. Paratuberculosis. Manual of
Diagnostic Test and Vaccines for Terrestrial Animals. 1: 347 – 359. Ohio
Departemen of Agriculture animal disease diagnostic laobatory. 2007.
Health reports: information of Johne’s disease. http://www.mycattle.
com/health/reports/johnesohaaddl.cfm. (16 November 2017).
Ollis, GW. 1997. Johne's disease: A cloud on the horizon?
http://www.cds.afns.ualberta.ca/Proceedings/1997/ ch11-97.htm. (18 April
2007).
Payne JM and Rankin JD. 1961. The pathogenesis of experimental Johne’s
disease in calves. Res Vet Sci. 2: 167 – 179. Smith R. 1998. Beef Industry
Brings Johne’s Disease Into Open in Calls for Prevention, Research to
Diarm ‘Bomb’. Feedstuffs, June 15, 1998.
http://www.dqacenter.org/university /moreinfo/rh49.htm. (16 November
2017).
Sano K, Tomioka H, Sato K, Sano C, Kawauchi H, Cai S, Shimizu T. 2004.
Interaction of Antimycrobial Drugs with the Anti-Mycobacterium avium
Complex Effects of Antimicrobial Effectors, Reactive Oxygen
Intermediates, Reactive Nitrogen Intermediates, and Free Fatty Acids
Produced by Macrophages. Antimicrob. Agents Chemother. 6:2132-2139
Setyowati R, Mudigdo E. Susanto MA. Gani TM, A Azmi. 1985/1986.
Pengkajian paratuberculosis (Johne’s disease) pada sapi dan kerbau. Bull.
Veteriner. Balai Penyidikan Penyakit Hewan Wilayah I Medan. 4: 1 – 4.
Stabel JR, Wells SJ, Wagners BA. 2002. Relationships Between Fecal Culture,
ELISA, and Bulk Tank Milk Test Results for Johne’s Disease in US Dairy
Herds. J.Dairy Sci. 85:525-531
Sung N & Collins MT. 2000. Effect of Three Factors in Cheese production (pH,
Salt, and Heat) on Mycobacterium avium subsp. Paratuberculosis
Viability. Appl. Environ.Microbiol. 4:1334-1339
Supriatna, S. 1998. Penyakit-penyakit hewan penting yang perlu diwaspadai di
masa datang. Pros. Seminar Hasil-Hasil Penelitian Veteriner. Bogor, 18 –
19 Pebruari 1998. Balai Penelitian Veteriner, Bogor. hlm. 1 – 18.
Whittington RJ, Hope AF, Marshall DJ, Taragel CA, Marsh I. 2000. Molecular
Epidemiology of Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis: IS900
Restriction Fragment Length Polymorphism and IS1311 Polymorphism
Analyses of Isolates from Animals and Human in Australia. J. Clin.
Microbiol. 9:3240-3248.

Anda mungkin juga menyukai