Anda di halaman 1dari 21

PRESENTASI KASUS

“Epilepsi”

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Ujian Kepaniteraan Klinik


Di Bagian Ilmu Bagian Saraf

Diajukan Kepada :
dr. Milasari Dwi Sutadi, Sp.S

Disusun Oleh :
Tias Asih Subagio, S.Ked
20204010152

SMF BAGIAN SARAF


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. TJITROWORDOJO PURWOREJO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
TAHUN 2021
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

BAB 1
LAPORAN KASUS

1. Anamnesis

A. Identitas Paisen

- Nama : Tn. Timbul Budi Utomo

- Umur : 51 Tahun

- Alamat : Cokroyasan RT/RW 02/03 Ngombol

- Tanggal masuk ke RS : 06 Mei 2021

- Agama : Islam

- Pekerjaan : Tukang Kebun

- Status Perkawinan : Menikah

- No. RM : 00281199

- Tempat : Poliklinik Saraf

B. Sumber Anamnesis

- Autoanamnesis dilakukan pada tanggal 06 Mei 2021 pukul 10.00 WIB

C. Keluhan Utama

- Kontrol Rutin Epilepsi

D. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke poliklinik saraf untuk kontrol rutin. Pasien mengatakan bulan ini dia
tidak mengalami kejang. Pasien mengatakan kejang terahir dirasakan pada bulan lalu.
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Pasien mengatakan kejangnya akan timbul jika dia merasa cemas, stresss, ataupun
kelelahan, namun jika dia menjaga kondisinya dan rutin minum obat kejangnya tidak
akan kambuh. Pasien pertama kali mengalami kejang pada tahun 2015 ketika berusia 45
tahun, frekuensi bangkitan 1-2x dengan durasi 30 menit pada kejang pertama dan
setelahnya. Sedangkan untuk kejang pada bulan April kurang lebih durasinya sekitar 5
menit, interval terpanjang antar bangkitan: kurang dari 24 jam, ketika terjadi bangkitan
atau kejang kondisi pasien tidak sadar, pola bangkitan tonik seluruh badan, dan setelah
bangkitan pasien dalam kondisi sadar dengan terkadang mengeluh pusing. Pasien
mengatakan pertama kali awal mula kejang disebabkan oleh stres Psikologis, pasien
merasa kaget saat ibunya meninggal, kemudian pasien terjatuh dikamar mandi dengan
kondisi kepala bagian belakang terbentur.

E. Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat Prenatal, Perinatal, dan perkembangan : pasien lahir cukup bulan, riwayat
imunisasi tidak diketahui, pertumbuhan cukup baik sesuai dengan usia pasien
 Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya : pasien mengaku saat kejang
pertama dan setelah terbentur, pasien tidak memeriksakan diri ke dokter, baru setelah
ada kejang lagi pasien baru memeriksakannya.
 Riwayat epilepsy dan penyakit lain dalam keluarga : -
 Riwayat bangkitan neonatal : -
 Riwayat DM/ HT / Stroke / Ginjal / Jantung dll : disangkal.
 Riwayat penyakit psikiatrik/alcohol/napza : disangkal

F. Riwayat Persona Sosial

Pasien sehari hari bekerja sebagai tukang kebun di SMP Banguntapan. Waktu yang
dibutuhkan pasien untuk sampai ke lokasi kerjanya sekitar 90 menit. Pasien dirumah
tinggal bersama istrinya, sampai saat ini pasien belum memiliki anak.

2. Pemeriksaan Fisik
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

 Keadaan Umum : seorang laki-laki, berpenampilan sesuai usia, tampak sehat


dan bersemangat.
 Kesadaran : Compos mentis
 GCS : E4M6V5
 Vital Sign
- TD : 114/63 mmHg
- HR : 70x/menit
- Suhu : Afebris
- SpO2 : 98%
- RR : 22x/menit

 Status Generalis:

- Kepala
o Bentuk : Normocephal, simetris
o Kelopak Mata : normal
o Pupil pin point : (+/+)
o Konjungtiva anemis : (-/-)
o Sklera ikterik : (-/-)
o Bibir : Sianosis (-)
o Hidung : dbn
o Mulut : dbn
o Lidah : dbn

- Thoraxs (Cardio/Pulmo)
o Inspeksi : Pergerakan dada simetris, ictus cordis (-)
o Palpasi : Ictus cordis (+), SIC V Midclavicula Sinistra, NT (-)
o Perkusi : Cor redup, pulmo Sonor pada kedua lapang
o Auskultasi : Vesikuler kedua lapang paru, ronkhi (-), wheezing (-)
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

- Leher
o Pembesaran limfonodi (-)
o Pembesaran kelenjar tiroid (-)
o Nyeri tekan (-)
o JVP dalam batas normal

- Abdomen
o Inspeksi : simetris, jejas (-), ascites (-)
o Auskultasi : bising usus (+), denyut aorta abdominal (-)
o Perkusi : timpani disemua lapang abdomen
o Palpasi : Supel, distensi (-), hepatomegali (-), splenomegali (-),
nyeri tekan pada region epigastric (+)
o Ekstremitas
o Superior : akral hangat (+/+), oedema (-/-)
o Inferior : akral hangat (+/+), oedema (-/-)
o Capillary refill time : < 2 detik

3. Pemeriksaan Neurologis

- Nervus I (Olfaktorius) : dapat mencium aroma kopi dan teh


(normosomia)

- Nervus II (Optikus) :

o Ketajaman penglihatan : normal

o Lapangan penglihatan : normal

o Melihat warna : normal

o Funduskopi : tidak dinilai

- N. okulares : okulomotorius (III), Teochlearis (IV), Abdusens (VI) :


Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

o Celah Kelopak Mata :


 Ptosis : (-/-)
 Exoftalmus : (-/-)
 Nistagmus : (-/-)

o Pupil :
 Bentuk : bulat / bulat
 Ukuran : 3 mm / 3 mm
 Isokor / Anisokor : Isokor
 Reflek Cahaya : (+/+)
 Refleks Konsensuil : tidak dilakukan
 Refleks Akomodasi : tidak dilakukan
o Gerakan Bola Mata : Paresis (-/-)

- N. trigeminus (V) :
- Sensibilitas wajah : positif
- Menggigit : positif
- Mengunyah : positif
- Membuka Mulut : positif
- Refleks Kornea : (+/+)

- N. facialis (VII) :
o Kedipan mata : normal/normal
o Lipatan Nasolabial : simetris
o Sudut Mulut : Simetris
o Mengerutkatn Dahi : +/+
o Mengerutkan alis : +/+
o Menutup mata : +/+
o Meringis : simetris
o Mengembungkan pipi : +/+
o Pengecap 2/3 lidah depan : normal
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

- N. vestibulotroklearis (VIII) :
o Mendengar suara berbisik : +/+
o Tes Rinne : tidak dilakukan
o Tes Weber : tidak dilakukan
o Tes Schwabah : tidak dilakukan

- N. glossopharyngeus (IX) :
o Pengecap 1/3 lidah belakang : normal
o Sensibilitas faring : tidak dilakukan

- N. vagus (X) :
o "bicara AAAAA” : kesulitan
o Arkus faring : tidak dilakukan
o Berbicara : normal
o Menelan : normal
o Nadi : normal

- N. accesorius (XI) :
o Memalingkan kepala : normal
o Mengangkat dagu : normal
o Mengangkat bahu : normal

- N. hipoglossus (XII) :
o Menjulurkan lidah : kekanan (+), kekiri (+), kebawah (+)
o Tremor Lidah :-
o Atrofi Lidah :-
o Fasikulasi :-
o Artikulasi : normal

4. Pemeriksaan Extremitas
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

- Gerakan
B B
B B

- Kekuatan
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

5/5/5 5/5/5
5/5/5 5/5/5

- Patric test -/-


- Kontra Patric test -/-

5. Reflek Fisiologis
- refleks bisep : +2
- refleks trisep : +2
- refleks brachioradialis : +2
- refleks patella : +2
- refleks achilles : +2
Kesimpulan : Tidak ditemukan kelainan refleks fisiologis.

6. Reflek Patologis
- Reflek hofman : -/-
- Reflek tromner : -/-
- Rossolimo : -/-
- Chadok : -/-
- Openheim : -/-
- Schaeffner : -/-
- Mendel bechterew : -/-
- Klonus lutut : -/-
- Klonus kaki : -/-
- Babinsky : -/+

Kesimpulan : ditemukan reflek babinsky positif pada ekstremitas bawah kanan.

7. Tonus (normo)
N N
N N

8. Klonus (normo)

- -
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

9. Pemeriksaan Meningeal
- Kaku kuduk (-)
- Laseque (-)
- Kernig (-)

10. Tes Keseimbangan


- Romberg : normal
- Ataksia :-

11. Diagnosis
- Diagnosis Klinis : General Tonic Seizure
- Diagnosis Topis : Korteks Cerebri
- Diagnosis Etiologic : Idiopatik dd symtomatik

12. Diagnosis Banding


- Sinkop
- Bangkitan Non Epileptik Psikogenik
- Sindroma hiperventilasi atau serangan panik

13. Tatalaksana

- Farmakologi
Depaken Syr 1x100 cc
Asam Folat Tab 1x1

- Non Farmakologi
o Fisioterapi
o Psikoterapi
o Behavior Cognitive Therapy
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

14. Komplikasi
Pada wanita: kelainan endokrin yang dapat menstruasi, dan
disfungsi dan telah dikaitkan dengan polikistik sindrom ovarium.

15. Prognosis
o Ad vitam : Bonam
o Ad Sanationam : Bonam
o Ad Fungsionam : Bonam
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Definisi Konseptual
Kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan untuk menimbulkan bangkitan
epileptik yang terus menerus , dan konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis, dan
sosial
Definisi Operasional
Penyakit otak yang ditandai oleh gejala atau kondisi sebagai berikut :
1. Setidaknya ada dua kejang tanpa provokasi atau dua bangkitan refleks yang
berselang lebih dari 24 jam
2. Satu bangkitan tanpa provokasi atau satu bangkitan reflek dengan adanya
kemungkinan bangkitan berulang dengan risiko rekurensi sama dengan dua bangkitan
tanpa provokasi (setidaknya 60%), yang dapat timbul hingga 10 tahun ke depan
(Bangkitan refleks adalah bangkitan yang muncul akibat induksi oleh faktor pencetus
tertentu seperti stimulasi visual, auditorik, somatosensitif, dan somatomotorik)
3. Dapat ditegakkannya diagnosis sindrom epilepsi

B. Etiologi
Etiologi Epilepsi kemungkinan disebabkan oleh:
1. Aktivitas saraf abnormal akibat proses patologis yang mempengaruhi otak
2. Gangguan biokimia atau metabolik dan lesi mikroskopik di otak akibat trauma otak
pada saat lahir atau cedera lain.
3. Pada bayipenyebab paling sering adalah asfiksi atau hipoksia waktu lahir, trauma
intrakranial waktu lahir, gangguan metabolik, malformasi congenital pada otak, atau
infeksi
4. Pada anak-anak dan remaja  mayoritas adalah epilepsy idiopatik, pada umur 5-6
tahundisebabkan karena febril
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

5. Pada usia dewasapenyebab lebih bervariasiidiopatik, karena birth trauma, cedera


kepala, tumor otak (usia 30-50 th), penyakit serebro vaskuler (> 50 th)
Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu :
 Epilepsi idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, meliputi ±50% dari penderita
epilepsi anak dan umumnya mempunyai predisposisi genetic, awitan biasanya pada
usia >3tahun. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan alat-alat diagnostic yang
canggih kelompok ini semakin sedikit.
 Epilepsi simptomatik : disebabkan oleh kelainan / lesi pada susunan saraf pusat.
Misalnya : post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP), gangguan
metabolic, malformasi otak kongenital, asphyxia neonatorum, lesi desak ruang,
gangguan peredaran darah otak, toksik serta kelainan neurodegenerative.
 Epilepsy kriptogenik : dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui,
termasuk disini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut dan epilepsy
7
mioklonik.

C. Klasifikasi
Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut klasifikasi bangkitan epilepsi dan klasifikasi
sindroma epilepsi. Klasifikasi sindroma epilepsi berdasarkan faktor-faktor tipe
bangkitan (umum atau terlokalisasi), etiologi (simtomatik atau idiopatik), usia dan
situasi yang berhubungan dengan bangkitan. Sedangkan klasifikasi epilepsi menurut
bangkitan epilepsi berdasarkan gambaran klinis dan elektroensefalogram.
Data 1. Klasifikasi internasional bangkitan epilepsi (1981) adalah
Bangkitan parsial
1. Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
a. Dengan gejala motorik
b. Dengan gejala sensorik
c. Dengan gejala otonomik
d. Dengan gejala psikik
2. Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
a. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran
 Bangkitan parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

 Dengan automatisme
b. Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
 Dengan gangguan kesadaran saja
 Dengan automatisme
3. Bangkitan umum sekunder (tonik-klonik, tonik atau klonik)
a. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan umum
b. Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan umum
c. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks, dan
berkembang menjadi bangkitan umum
Bangkitan Umum (Konvulsi atau Non-Konvulsi)
1. Bangkitan lena
Lena ( absence ), sering di sebut petitmal. Serangan terjadi secara tiba-tiba, tanpa
di dahului aura. Kesadaran hilangselama beberapa detik, di tandai dengan
terhentinya percakapan untuk sesaat, pandangan kosong, atau mata berkedip
dengan cepat. Hampir selalu pada anak-anak, mungkin menghilang waktu remaja
atau diganti dengan serangan tonik-klonik.
2. Bangkitan mioklonik
Mioklonik, serangan-serangan ini terdiri atas kontraksi otot yang singkat dan tiba-
tiba, bisa simetris dan asimetris, sinkronis taua asinkronis. Biasanay tidak ada
kehilangan kesadaran selama serangan.
3. Bangkitan tonik
Tonik, seranagan ini terdiri atas tonus otot dengan tiba-tiba meningkat dari otot
ekstremitas, sehingga terbentuk sejumlah sikap yang khas. Biasanya kesadaran
hilang hanya beberapa menit terjadi pada anak 1-7 tahun.
4. Bangkitan atonik
Atonik, serangan atonik terdiri atas kehilangan tonus tubuh. Keadaan ini bisa di
menifestasikan oleh kepala yang terangguk-angguk, lutut lemas, atau kehilangan
total dari tonus otot dan Px bisa jatuh serta mendapatkan luka-luka.
5. Bangkitan klonik
Klonik, serangan di mulai dengan kehilangan kesadaran yang di sebebkan aoleh
hipotonia yang tiba-tiba atau spasme tonik yng singkat. Keadaan ini di ikuti
sentakan bilateralyang lamanya 1 menit samapai beberapa menit yang sering
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

asimetris dan bisa predominasi pada satu anggota tubh. Seranagan ini bisa
berfariasi lamanya, seringnya dan bagian dari sentakan ini satu saat ke satu saat
lain.
6. Bangkitan tonik-klonik
Tonik-Klonik, biasa di sebut grandmal. Merupakan jenis seranag klasik epilepsi
seranagn ini di tandai oleh suatu sensasi penglihatan taua pendengaran selama
beberapa saat yang di ikuti oleh kehilangan kesadaran secara cepat.
Bangkitan Epileptik yang Tidak Tergolongkan

Data 2. Klasifikasi epilepsi berdasarkan sindroma


Localization-related (focal, partial) epilepsies
1. Idiopatik
a. Benign childhood epilepsy with centrotemporal spikes
b. Childhood epilepsy with occipital paroxysm
2. Symptomatic
a. Subklasifikasi dalam kelompok ini ditentukan berdasarkan lokasi anatomi
yang diperkirakan berdasarkan riwayat klinis, tipe kejang predominan, EEG
interiktal dan iktal, gambaran neuroimejing.
b. Kejang parsial sederhana, kompleks atau kejang umum sekunder berasal dari
lobus frontal, parietal, temporal, oksipital, fokus multipel atau fokus tidak
diketahui.
c. Localization related tetapi tidak pasti simtomatik atau idiopatik

Epilepsi Umum
1. Idiopatik
a. Benign neonatal familial convulsions, benign neonatal convulsions
b. Benign myoclonic epilepsy in infancy
c. Childhood absence epilepsy
d. Juvenile absence epilepsy
e. Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal)
f. Epilepsy with grand mal seizures upon awakening
g. Other generalized idiopathic epilepsies
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

2. Epilepsi Umum Kriptogenik atau Simtomatik


a. West’s syndrome (infantile spasms)
b. Lennox gastaut syndrome
c. Epilepsy with myoclonic astatic seizures
d. Epilepsy with myoclonic absences
3. Simtomatik
a. Etiologi non spesifik
b. Early myoclonic encephalopathy
c. Specific disease states presenting with seizures

D. Patofisiologi
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi
pada sinaps. Tiap sel hidup, termasuk neuron-neuron otak mempunyai kegiatan listrik
yang disebabkan oleh adanya potensial membrane sel. Potensial membrane neuron
bergantung pada permeabilitas selektif membrane neuron, yakni membrane sel mudah
dilalui oleh ion K dari ruang ekstraseluler ke intraseluler dan kurang sekali oleh ion Ca,
Na dan Cl, sehingga di dalam sel terdapat kosentrasi tinggi ion K dan kosentrasi rendah
ion Ca, Na, dan Cl, sedangkan keadaan sebaliknya terdapat diruang ekstraseluler.
Perbedaan konsentrasi ion-ion inilah yang menimbulkan potensial membran.
Ujung terminal neuron-neuron berhubungan dengan dendrite-dendrit dan badan-
badan neuron yang lain, membentuk sinaps dan merubah polarisasi membran neuron
berikutnya. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi yang
memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi yang
menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah
melepaskan listrik. Diantara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat disebut
glutamate,aspartat dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah
gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas
muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Hal ini misalnya terjadi dalam
keadaan fisiologik apabila potensial aksi tiba di neuron. Dalam keadaan istirahat,
membrane neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membrane neuron dan seluruh
sel akan melepas muatan listrik.
Oleh berbagai factor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau
mengganggu fungsi membaran neuron sehingga membrane mudah dilampaui oleh ion Ca
dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan
depolarisasi membrane dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali.
Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan
dasar suatu serangan epilepsy. Suatu sifat khas serangan epilepsy ialah bahwa beberapa
saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Di duga inhibisi ini adalah
pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptic. Selain itu juga system-sistem inhibisi
pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron tidak terus-menerus
berlepasmuatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu
serangan epilepsy terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang
penting untuk fungsi otak.

Patofisiologi Epilepsi Umum


Salah satu epilepsi umum yang dapat diterangkan patofisiologinya secara lengkap
adalah epilepsi tipe absans. Absans adalah salah satu epilepsi umum, onset dimulai usia
3-8 tahun dengan karakteristik klinik yang menggambarkan pasien “bengong” dan
aktivitas normal mendadak berhenti selama beberapa detik kemudian kembali ke normal
dan tidak ingat kejadian tersebut. Terdapat beberapa hipotesis mengenai absans yaitu
antara lain absans berasal dari thalamus, hipotesis lain mengatakan berasal dari korteks
serebri. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa absans diduga terjadi akibat perubahan
pada sirkuit antara thalamus dan korteks serebri. Pada absans terjadi sirkuit abnormal
pada jaras thalamo-kortikal akibat adanya mutasi ion calsium sehingga menyebabkan
aktivasi ritmik korteks saat sadar, dimana secara normal aktivitas ritmik pada korteks
terjadi pada saat tidur non-REM.
Patofisiologi epilepsi yang lain adalah disebabkan adanya mutasi genetik. Mutasi
genetik terjadi sebagian besar pada gen yang mengkode protein kanal ion (pada tabel
berikut). Contoh: Generalized epilepsy with febrile seizure plus, benign familial neonatal
convulsions.
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Tabel 3. Mutasi kanal ion pada beberapa jenis epilepsi4-6

Kanal Gen Sindroma


Voltage-gated
Kanal Natrium SCN1A, SCN1B Generalized epilepsies with febrile
SCN2A, GABRG2 seizures plus
Kanal Kalium KCNQ2, KCNQ3 Benign familial neonatal
convulsions
Kanal Kalsium CACNA1A, Episodic ataxia tipe 2
CACNB4 Childhood absence epilepsy
ACNA1H
Kanal Klorida CLCN2 Juvenile myoclonic epilepsy
Juvenile absence epilepsy
Epilepsy with grand mal seizure on
awakening
Ligand-gated
Reseptor asetilkolin CHRNB2, CHRNA4 Autosomal dominant frontal lobe
epilepsi
Reseptor GABA GABRA1, GABRD Juvenile myoclonic epilepsy

Pada kanal ion yang normal terjadi keseimbangan antara masuknya ion natrium
(natrium influks) dan keluarnya ion kalium (kalium efluks) sehingga terjadi aktivitas
depolarisasi dan repolarisasi yang normal pada sel neuron. Jika terjadi mutasi pada kanal
Na seperti yang terdapat pada generalized epilepsy with febrile seizures plus, maka terjadi
natrium influks yang berlebihan sedangkan kalium efluks tetap seperti semula sehingga
terjadi depolarisasi dan repolarisasi yang berlangsung berkali-kali dan cepat atau terjadi
hipereksitasi pada neuron.
Hal yang sama terjadi pada benign familial neonatal convulsion dimana terdapat
mutasi kanal kalium sehingga terjadi efluks kalium yang berlebihan dan menyebabkan
hipereksitasi pada sel neuron.

Patofisiologi Anatomi Seluler


Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Secara etiopatologik, bangkitan epilepsi bisa diakibatkan oleh cedera kepala,


stroke, tumor otak, infeksi otak, keracunan, atau juga pertumbuhan jarigan saraf yang
tidak normal (neurodevelopmental problems), pengaruh genetik yang mengakibatkan
mutasi. Mutasi genetik maupun kerusakan sel secara fisik pada cedera maupun stroke
ataupun tumor akan mengakibatkan perubahan dalam mekanisme regulasi fungsi dan
struktur neuron yang mengarah pada gangguan pertumbuhan ataupun plastisitas di
sinapsis. Perubahan (fokus) inilah yang bisa menimbulkan bangkitan listrik di otak.
Bangkitan epilepsi bisa juga terjadi tanpa ditemukan kerusakan anatomi (focus) di
otak. Disisi lain epilepsi juga akan bisa mengakibatkan kelainan jaringan otak sehingga
bisa menyebabkan disfungsi fisik dan retardasi mental. Dari sudut pandang biologi
molekuler, bangkitan epilepsi disebabkan oleh ketidakseimbangan sekresi maupun fungsi
neurotransmiter eksitatorik dan inhibitorik di otak. Keadaan ini bisa disebabkan sekresi
neurotransmiter dari presinaptik tidak terkontrol ke sinaptik yang selanjutnya berperan
pada reseptor NMDA atau AMPA di post-sinaptik. Keterlibatan reseptor NMDA subtipe
dari reseptor glutamat (NMDAR) disebut-sebut sebagai patologi terjadinya kejang dan
epilepsi. Secara farmakologik, inhibisi terhadap NMDAR ini merupan prinsip kerja dari
obat antiepilepsi. Beberapa penelitian neurogenetik membuktikan adanya beberapa faktor
yang bertanggungjawab atas bangkitan epilepsi antara lain kelainan pada ligand-gate (sub
unit dari reseptor nikotinik) begitu juga halnya dengan voltage-gate (kanal natrium dan
kalium). Hal ini terbukti pada epilepsi lobus frontalis yang ternyata ada hubungannya
dengan terjadinya mutasi dari resepot nikotinik subunit alfa. Berbicara mengenai kanal
ion maka peran natrium, kalium dan kalsium merupakan ion-ion yang berperan dalam
sistem komunikasi neuron lewat reseptor. Masuk dan keluarnya ion-ion ini menghasilkan
bangkitan listrik yang dibutuhkan dalam komunikasi sesame neuron.
Jika terjadi kerusakan atau kelainan pada kanal ion-ion tersebut maka bangkitan
listrik akan juga terganggu sebagaimana pada penderita epilepsi. Kanal ion ini berperan
dalam kerja reseptor neurotransmiter tertentu. Dalam hal epilepsi dikenal beberapa
neurotransmiter seperti gamma aminobutyric acid (GABA) yang dikenal sebagai
inhibitorik, glutamat (eksitatorik), serotonin (yang sampai sekarang masih tetap dalam
penelitian kaitan dengan epilepsi, asetilkholin yang di hipokampus dikenal sebagai yang
bertanggungjawab terhadap memori dan proses belajar.
E. Penegakan Diagnosis
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

o Setidaknya ada dua kejang tanpa provokasi atau dua bangkitan refleks yang
berselang lebih dari 24 jam
o Satu bangkitan tanpa provokasi atau satu bangkitan reflek dengan adanya
kemungkinan bangkitan berulang dengan risiko rekurensi sama dengan dua
bangkitan tanpa provokasi (setidaknya 60%), yang dapat timbul hingga 10 tahun ke
depan (Bangkitan refleks adalah bangkitan yang muncul akibat induksi oleh faktor
pencetus tertentu seperti stimulasi visual, auditorik, somatosensitif, dan
somatomotorik)
o Dapat ditegakkannya diagnosis sindrom epilepsi

F. Penatalaksanaan

Terapi Medikamentosa (sesuai indikasi, tipe kejang dan sindrom epilepsi)


 Fenitoin 4-6 mg/kgBB bid
 Carbamazepin XR 15-18 mg/kgBB bid
 Asam valproate 20-60 mg/kgBB od/bid
 Levetiracetam 20-40 mg/kgBB bid Topiramat 3-9 mg/kgBB bid
 Lamotrigin 100-400 mg bid
 Oxcarbazepin 300-900 mg bid
 Zonisamid 100-300 mg tid
 Clonazepam 2-8 mg bid
 Clobazam 10-30 mg tid
 Fenobarbital 2-4mg/kgBB bid
 Gabapentin 300-900mg tid
 Pregabalin 150-600mg b/tid

Terapi Non Farmakologis


 Fisioterapi
 Psikoterapi
 Behavior Cognitive Therapy
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Tindakan Intervensi/Operatif
 Hipokampektomi, sesuai indikasi
 Amigdalohipokampektomi, sesuai indikasi
 Temporal lobektomi, sesuai indikasi
 Lesionektomi, sesuai indikasi

G. Prognosis
o Ad vitam : dubia ad bonam
o Ad Sanationam : dubia ad bonam
o Ad Fungsionam : dubia ad bonam

Anda mungkin juga menyukai