Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PENDAHULUAN

BPH

Oleh :
MARLANO

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEPERAWATAN
PURWOKERTO
2016
A. Latar Belakang
Kelenjar prostat adalah organ tubuh pria yang terletak di sebelah inferior buli-buli
dan membungkus uretra posterior. Kelenjar ini mengelilingi uretra dan dipotong
melintang oleh duktus ejakulatorius, yang merupakan kelanjutan dari vas deferen.
Kelenjar prostat, dapat mengalami beberapa gangguan, dimana salah satu gangguan yang
cukup sering ditemukan adalah Benigna Prostat Hiperplasia (BPH). Gangguan ini
banyak menyerang pria yang telah berusia lanjut. Oleh karena cukup banyaknya kasus
penderita BPH, maka dari itu sebagai tenaga kesehatan perlu mengetahui lebih lanjut
mengenai penyakit BPH. Tujuannya adalah untuk mengetahui penyebab, tanda dan
gejala, pemeriksaan penunjang, serta proses keperawatan BPH dan penatalaksanaan
medisnya.

B. Pengertian
Benign prostate hyperplasia (BPH) adalah sejenis keadaan di mana kelenjar prostat
membesar dengan cepat (Amalia, 2007). BPH merupakan pertumbuham berlebihan prostat
yang bersifat jinak dan bukan kanker (Tan & Rahardja, 2010). BPH adalah kondisi
patologis yang paling sering terjadi pada pasien dengan usia diatas 50 tahun (Smeltzer &
Bare, 2005).

C. Etiologi
Penyebab BPH belum jelas. Beberapa teori telah dikemukakan berdasarkan faktor
histologi dan hormon menurut Mansjoer (2009), diantaranya:
1. Teori DHT (dihidrotestosteron)
Testosteron dengan bantuan enzim 5- α reduktase dikonversi menjadi DHT yang
merangsang pertumbuhan kelenjar prostat.
2. Teori kebangkitan kembali (Reawakening)
Teori ini berdasarkan kemampuan stroma untuk merangsang pertumbuhan epitel.
Menurut Mc Neal, lesi primer BPH adalah penonjolan kelenjar yang kemudian
bercabang.
3. Teori hormon
Estrogen berperan pada insiasi dan maintenance pada prostat manusia.
4. Faktor interaksi stroma dan epitel
Hal ini banyak dipengaruhi oleh growth factor. Basic Fibroblast Growth Factor (b-
FGF) dapat menstimulasi sel stoma dan ditemukan dengan konsentrasi yang lebih
besar pada pasien dengan pembesaran prostat jinak. b-FGF dapat dicetuskan oleh
mikrotrauma karena miksi, ejakulasi atau infeksi.
5. Penuaan
kadar testosteron serum menurun disertai meningkatnya konversi testosterone menjadi
estrogen pada jaringan peripheral (Amalia, 2007).
Namun demikian, diyakini ada 2 faktor penting untuk terjadinya BPH, yaitu
adanya dihidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Pada pasien dengan kelainan
kongenital berupa defisiensi 5- α reduktase, yaitu enzim yang mengkonversi testosteron
ke DHT. Kadar serum DHT-nya rendah, sehingga prostat tidak membesar. Begitupun
sebaliknya pada BPH. Sedangkan pada proses penuaan, kadar testosteron serum menurun
disertai meningkatnya konversi testosterone menjadi estrogen pada jaringan peripheral
(Amalia, 2007).

D. Tanda dan Gejala


Menurut Amalia (2007) gejala BPH dapat digolongkan menjadi dua kelompok
yaitu gejala obstruktif dan gejala iritatif. Tanda gejala BPH antara lain:
1. Tanda BPH
Tanda klinis terpenting BPH adalah ditemukannya pembesaran konsistensi kenyal
pada pemeriksaan colok dubur / digital rectal examination (DRE).
2. Gejala BPH
a. Gejala obstruktif meliputi hesitancy, pancaran buang air kecil lemah (loss of
force), pancaran kencing terputus-putus (intermitency), kandung kemih tidak
kosong saat selesai berkemih (sense of residual urine), rasa ingin kencing lagi
sesudah kencing (double voiding) dan keluarnya sisa kencing pada akhir berkemih
(terminal dribbling).
b. Gejala iritatif adalah frekuensi kencing yang tidak normal (polakisuria), terbangun
di tengah malam karena sering kencing (nocturia), sulit menahan kencing
(urgency), dan rasa sakit waktu kencing (disuria), kadang juga terjadi kencing
berdarah (hematuria).

E. Patofisiologi
Pembesaran prostat menyebabkan terjadinya penyempitan lumen uretra pars
prostatika dan menghambat aliran urin sehingga menyebabkan tingginya tekanan
intravesika. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna
melawan tahanan, menyebabkan terjadinya perubahan anatomik buli-buli, yakni:
hipertropi otot destrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli.
Perubahan struktur pada buli-buli tersebut dirasakan sebagai keluhan pada saluran kemih
bagian bawah atau Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS). Adapun patofisiologi dari
masing-masing gejala menuut Citra (2009) yaitu :
1. Penurunan kekuatan dan aliran yang disebabkan resistensi uretra adalah gambaran
awal dan menetap dari BPH. Retensi akut disebabkan oleh edema yang terjadi pada
prostat yang membesar.
2. Hesitancy (kalau mau miksi harus menunggu lama), terjadi karena detrusor
membutuhkan waktu yang lama untuk dapat melawan resistensi uretra.
3. Intermittency (kencing terputus-putus), terjadi karena detrusor tidak dapat mengatasi
resistensi uretra sampai akhir miksi. Terminal dribbling dan rasa belum puas sehabis
miksi terjadi karena jumlah residu urin yang banyak dalam buli-buli.
4. Nocturia (miksi pada malam hari) dan frekuensi terjadi karena pengosongan yang
tidak lengkap pada tiap miksi sehingga interval antar miksi lebih pendek. Frekuensi
terutama terjadi pada malam hari (nokturia) karena hambatan normal dari korteks
berkurang dan tonus sfingter dan uretra berkurang selama tidur.
5. Urgensi (perasaan ingin miksi sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat miksi)
jarang terjadi. Jika ada disebabkan oleh ketidak stabilan detrusor sehingga terjadi
kontraksi involunter,
6. Inkontinensia bukan gejala yang khas, walaupun dengan berkembangnya penyakit
urin keluar sedikit-sedikit secara berkala karena setelah buli-buli mencapai
complience maksimum, tekanan dalam buli-buli akan cepat naik melebihi tekanan
spingter.
7. Hematuri disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah submukosa pada prostat yang
membesar.
8.  Lobus yang mengalami hipertropi dapat menyumbat kolum vesikal atau uretra
prostatik, sehingga menyebabkan pengosongan urin inkomplit atau retensi urin.
Akibatnya terjadi dilatasi ureter (hidroureter) dan ginjal (hidronefrosis) secara
bertahap, serta gagal ginjal.
9. Infeksi saluran kemih dapat terjadi akibat stasis urin, di mana sebagian urin tetap
berada dalam saluran kemih dan berfungsi sebagai media untuk organisme infektif.
10. Karena selalu terdapat sisa urin dapat terbentuk batu endapan dalam buli-buli, Batu
ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuri. Batu tersebut dapat
pula menimbulkan sistiitis dan bila terjadi refluks dapat terjadi pielonefritis.

F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan menurut Mansjoer (2009) yaitu:
1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting untuk melihat
adanya sel leukosit, bakteri, dan infeksi saluran kemih, walaupun BPH sendiri dapat
menyebabkan hematuria. Elektrolit, kadar ureum, dan kreatinin darah merupakan
informasi dasar dari fungsi ginjal dan status metabolik. Pemeriksaan Prostate Specific
Antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan perlunya biopsi tau sebagai deteksi
dini keganasan. Bila nilai PSA < 4 ng/ml tidak perlu biopsy. Sedangkan bila nilai
PSA 4-10 ng/ml, hitunglah Prostate Specific Antigen Density (PSAD) yaitu PSA
serum dibagi dengan volume prostat. Bila PSAD ≥ 0,15 maka sebaiknya dilakukan
biopsi prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10 ng/ml.
2. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah foto polos abdomen, pielografi
intraven, USG, dan sistoskopi. Tujuan pemeriksaan pencitraan ini adalah untuk
memperkirakan volume BPH, menetukan derajat disfungsi buli-buli dan volume
residu urin, dan mencari kelainan patologi lain, baik yang berhubungan maupuntidak
berhubungan dengan BPH. Dari foto polos dapat dilihat adanya batu pada traktus
urinarius, pembesaran ginjal atau buli-buli. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai
tanda metastasis dari kegnasan prostat serta osteoporosis akibat kegagalan ginjal.
Dari pielografi intravena dapat dilihat supresi dari fungsi renal, hidronefrosis
dan hidroureter, fish hook appearance (gambaran ureter berbelok-belok di vesika),
indentasi pada dasar buli-buli, divertikel, residu urin, atau filling defect di vesika.
Sedangkan dari USG dapat diperkirakan besarnya prostat, memeriksa massa ginjal,
mendeteksi residu urin, batu ginjal, divertikulum atau tumor buli-buli.

G. Pengkajian
1. Sirkulasi :
Peningkatan tekanan darah (efek lebih lanjut pada ginjal )
2. Eliminasi :
a. Penurunan kekuatan / kateter berkemih.
b. Ketidakmampuan pengosongan kandung kemih.
c. Nokturia, disuria, hematuria.
d. Duduk dalam mengosongkan kandung kemih.
e. Kekambuhan UTI, riwayat batu (urinary stasis).
f. Konstipasi (penonjolan prostat ke rektum)
g. Masa abdomen bagian bawah, hernia inguinal, hemoroid (akibat peningkatan
tekanan abdomen pada saat pengosongan kandung kemih)
3. Makanan / cairan:
a. Anoreksia, nausea, vomiting.
b. Kehilangan BB mendadak.
4. Nyeri :
Suprapubis, panggul, nyeri belakang, nyeri pinggang belakang, intens (pada
prostatitis akut).
5. Rasa nyaman :  demam
6. Seksualitas :
a. Perhatikan pada efek dari kondisinya/tetapi kemampuan seksual.
b. Takut beser kencing selama kegiatan intim.
c. Penurunan kontraksi ejakulasi.
d. Pembesaran prostat.
7. Pengetahuan / pendidikan :
a. Riwayat adanya kanker dalam keluarga, hipertensi, penyakit gula.
b. Penggunaan obat antihipertensi atau antidepresan, antibiotika/ antibakterial untuk
saluran kencing, obat alergi.
8. Pemeriksaan fisik : colok dubur

H. Diagnosa
a. Gangguan eliminasi urin b.d. obstruksi anatomic (BPH)
b. Retensi urin b.d. sumbatan (BPH)
c. Resiko infeksi
d. Nyeri akut b.d. agen cidera biologis (BPH)
I. Intervensi Keperawatan
Menurut Smelzer & Bare (2005), intervensi keperawatan yang dilakukan pada
pasien dengan BPH dibagi menjadi 2 tahap, yakni intervensi preoperatif dan
pascaoperatif.
1. Intervensi preoperatif :
a. Menurunkan ansietas
b. Menghilangkan ketidaknyamanan
Jika tanda ketidaknyamanan tampak, pasien diinstruksikan untuk tirah baring,
memberikan analgesik, dan tindakan penurunan ansietas dilakukan. Perawat juga
dapat memantau pola berkemih pasien, mengawasi terhadap distensi kandung
kemih, dan membantu saat kateterisasi. Kateter dapat membantu mendekompresi
kandung kemih selama beberapa hari.
c. Pendidikan pasien
Perawat dapat memberikan informasi mengenai penyakit yang dialami pasien,
tindakan dan prosedur operasi yang akan dilakukan, dan tindakan yang dilakukan
setelah operasi.
d. Persiapan praoperatif
2. Intervensi pascaoperatif :
a. Menghilangkan nyeri
b. Penyuluhan pasien dan pemeliharaan kesehatan
Jika psien dapat bergerak bebas, pasien didorong untuk berjalan-jalan, namun tidak
duduk dalam waktu yang lama, karena hal ini dapat meningkatkan tekanan
abdomen dan kemungkinan ketidaknyamanan serta perdarahan. Pelunak feses
dapat diberikan untuk menghindari mengejan yang berlebihan, namun pemberian
enema juga perlu berhati-hati untuk menghindari kemungkinan perforasi rektal.
Latihan perineal perlu dilakukan agar pasien dapat mengontrol berkemih.
c. Memantau dan mengatasi komplikasi potensial
Setelah operasi, amati pasien terhadap komplikasi utama seperti hemoragi, infeksi
dan obstruksi kateter.

J. Penatalaksanaan medis
1. Reseksi Transuretral Prostat (TUR atau TURP)
TUR atau TURP adalah prosedur yang paling umum dan dapat dilakukan
melalui endoskopi. Instrument bedah dan optikal dimasukkan secara langsung melalui
uretra ke dalam prostat, yang kemudian dapat dilihat secara langsung. Kelenjar
diangkat dalam irisan kecil dengan loop pemotong listrik. Prosedur ini tidak
memerlukan insisi, dan digunakan untuk kelenjar dalam ukuran yang beragam dan
ideal bagi pasien yang mempunyai kelenjar kecil dan yang dipertimbangkan memiliki
risiko bedah yang buruk.
2. Prostatektomi suprapubik
Merupakan salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen.
Suatu insisi dibuat ke dalam kandung kemih, dan kelenjar prostat diangkat dari atas.
Pendekatan ini dapat digunakan untuk segala ukuran kelenjar, namun kelemahan
tindakan ini adalah kehilangan darah mungkin akan lebih banyak dibandingkan
dengan prosedur lainnya.
3. Prostatektomi perineal
Merupakan suatu metode untuk mengangkat kelenjar melalui suatu insisi
dalam perineum. Pendekatan ini lebih praktis ketika pendekatan lainnya tidak
memungkinkan, dan sangat berguna untuk biopsy terbuka.
4. Prostatektomi retropubik
Merupakan suatu teknik lain dan lebih umum disbanding pendekatan
suprapubik. Dokter bedah akan membuat insisi abdomen rendah mendekati kelenjar
prostat, yaitu antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih.
Prosedur ini cocok untuk kelenjar besar yang terletak tinggi dalam pubis.
5. Insisi Prostat Transuretral (TUIP)
TUIP adalah prosedur lain untuk menangani BPH dengan cara memasukkan
instrument melalui uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan kapsul
prostat untuk mengurangi tekanan prostat pada uretra dan mengurangi konstriksi
uretral. TUIP diindikasikan saat kelenjar prostat berukuran kecil (30 gr atau kurang)
dan akan efektif dalam mengobati banyak kasus BPH.
Daftar Pustaka

Amalia, R. (2007). Faktor-faktor risiko terjadinya pembesaran prostat jinak. semarang:


Universitas Diponegoro.

Citra, B. D. (2009). Benign prostate hyperplasia (BPH). Riau: Universitas Riau.

Mansjoer, A. (2009). Kapita selekta kedokteran. Jakarta: Media Eusculapius.

Purnomo. (2007). Dasar-dasar urologi, edisi kedua. Jakrta: CV. Agung Seto.

Tan, T. & Rahardja, K. (2010). Obat-obat sederhana untuk ganghuan sehari-hari. Jakarta :
PT. Elex Media Komputindo.

Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2005). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
EGC.

Anda mungkin juga menyukai