Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN KASUS

“Anastesi Umum pada Akut Iskemik


Limb Tungkai Kanan R/ Amputasi”

Pembimbing :
dr. Edwin Haposan Martua, Sp. An, M.Kes, AIFO

Disusun oleh :
Hafizhah Triana Sakinah Mulyadi

KEPANITERAAN KLINIK STASE ANASTESI


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SEKARWANGI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya pada
penulis sehingga dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul “Anastesi Umum pada
Akut Iskemik Limb Tungkai Kanan R/ Amputasi” ini tepat pada waktunya. Shalawat serta
salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, serta para pengikutnya
hingga akhir zaman.
Laporan kasus ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas untuk penilaian kegiatan
Kepaniteraan klinik stase Anestesi. Dan juga untuk memperdalam pemahaman tinjauan
pustaka yang telah dipelajari sebelumnya.
Penulis menyadari ketidaksempurnaan laporan kasus ini. Untuk itu penulis sangat
mengharapkan saran dan kritik untuk perbaikan penyusunan laporan selanjutnya.
Terimakasih penulis ucapkan kepada pembimbing laporan kasus ini dr. Edwin Haposan
Martua, Sp. An yang telah membimbing dalam penyusunan laporan kasus. Terima kasih juga
pada semua pihak yang telah membantu dalam tahap pengumpulan referensi, analisis materi
dan penyusunan laporan kasus ini.
Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi instansi
Kepaniteraan Klinik Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta
dan Rumah Sakit Umum Daerah Sekarwangi.

Sekarwangi, Agustus 2021

Penulis

2
BAB I
LAPORAN KASUS
I. Identitas Pasien
 Nama : Ny. N
 Jenis kelamin : Perempuan
 Umur : 71 tahun
 Agama : Islam
 Pekerjaan : Tidak bekerja
 Alamat : Bantargadung
 No. Rekam Medis : 022***
 Ruangan : NAS Lt. 1
 Tanggal masuk RS : 19 Juli 2021
 Tanggal operasi : 29 Juli 2021

II. Anamnesis
a. Keluhan Utama
Nyeri pada luka di kaki kanan.

b. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke RSUD Sekarwangi dengan keluhan nyeri pada luka kaki
kanan sejak 7 hari yang lalu. Luka tersebut sudah ada kurang lebih 8 bulan,
yang semakin lama semakin nyeri dan menghitam. Nyeri dirasakan terus
menerus. Pasien pernah positif Covid-19 di bulan Januari 2021 dan sudah
sembuh.

c. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat Hipertensi : sejak 3 tahun lalu
Riwayat Asma : disangkal
Riwayat Tuberkulosis : disangkal
Riwayat Diabetes Mellitus : disangkal
Riwayat Penyakit kardiovaskuler : disangkal
Riwayat operasi : disangkal
3
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien menyangkal ada riwayat penyakit yang sama pada keluarga.
e. Riwayat Pengobatan
Pasien mengaku sering mengkonsumsi obat warung (nama tidak tau) untuk
menghilangkan rasa sakit.
f. Riwayat Alergi
Pasien tidak memiliki riwayat alergi makanan, obat – obatan maupun terhadap
suhu tertentu.
g. Riwayat Psikososial
Pasien seorang ibu rumah tangga yang tinggal bersama suami dan anaknya.
Sebelum luka pasien lebih suka bergerak atau bekerja dirumah dari pada
berdiam.

III. Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum : Tampak sakit sedang.
Kesadaran : Composmentis.
BB/TB : 50 kg/ 155 cm
IMT : 22,91 (Normoweight)
a. Tanda – tanda vital
Tekanan darah : 111/ 80 mmHg
Pernapasan : 20 x/menit
Nadi : 88 x/menit
Suhu : 36,6 °C
b. Status Generalis
Kepala : normocephal, simetris, rambut berwarna hitam, distribusi rambut
merata
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-) pupil bulat, isokor
(3mm/3mm)
Hidung : deviasi septum (-), sekret (-), darah
Telinga : normotia, membrane timpani intak, nyeri tekan (-/-), serumen (-/-)
Mulut : bibir lembab, sianosis (-)
Leher : pemeriksaan KGB atau kelenjar tiroid (-)
Tenggorokan : Faring hiperemis (-)
Thoraks
Paru – paru
4
Inspeksi : Normochest, simetris dextra-sinistra, retraksi (-)
Palpasi : vocal fremitus teraba di kedua lapang
Perkusi : sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : vesikuler +/+
Jantung
Inspeksi :ictus cordis (-)
Palpasi : ictus cordis tidak dapat diraba
Perkusi : Batas kanan ICS V linea parasternal dextra
Batas kiri : ICS V linea midclavicular sinistra
Auskultasi : BJ I-II murni regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : datar, distensi abdomen (-)
Auskultasi : bising usus 6 x/menit.
Palpasi : nyeri tekan (+), Mcburney sign (+), hepar tidak teraba, spleen tidak
teraba
Perkusi :timpani di empat kuadran region abdomen.

Ekstremitas

Atas Bawah
Akral hangat hangat
Edema -/- -/-
Sianosis -/- +/-
CRT < 2 detik +/+ -/+

IV. Pemeriksaan Penunjang


a. Laboratorium

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal


Hematologi
Hemoglobin (Hb) 9,8 g/dL 12-14
Leukosit 19,400 /uL 4000-11000
Trombosit 500,000 /uL 150.000-400.000
Hematokrit 22 % 34-36
Kimia Darah
Gula Darah Sewaktu 47 mg / dL < 180
Ureum 48 mg/dL 10-50

5
Kreatinin 1 mg/dL 0.5-0.9
SGOT 13 U/l < 21
SGPT 18 Ul > 22
Natrium 139 mmol/L 135- 155
Kalium 4.2 mmol/L 3.6 – 5.5
SARS-COV-2 Antigen Negatif Negatif

b. Radiologi : Cor normal dan Paru pneumonia


V. Status Anestesi
a. ASA : II
b. Tanggal Operasi : 29 Juni 2021
c. Ahli anestesi : dr. Edwin Haposan Martua, Sp.An
d. Ahli bedah : dr. Danny Pratama, SpB(K)V
e. Diagnosis pra bedah : Akut Iskemik Limb kanan
f. Puasa : 6 jam
g. IMT : 22,91 kg/m2
h. TTV
i. Tekanan darah : 130/80 mmHg
ii. Nadi : 83 x/menit
iii. Frekuensi pernapasan : 20 x/menit
iv. Suhu : 36,5°C
i. SpO2 : 98%

j. B1 (breathing) : Airway bebas, nafas spontan, RR: 20x/ menit.


Mallapati score : 1
Hidung: pendarahan (-), deviasi
septum (-). Leher: trakea
ditengah.

Paru: suara paru vesikuler, rh(-/-), wh(-/-).


B2 (Blood) : Akral hangat, merah,
dan kering Nadi
79x/menit, regular dan
kuat,.

TD : 130/80 mmHg, JVP tidak meningkat.

6
B3 (Brain) : Kesadaran Compos Mentis, GCS: 15(E4V5M6),
riwayat kejang (-), riwayat pingsan (-),
pupil bulat isokor Ø 3mm | 3mm, refleks cahaya +|+
B4 (Bladder) : Tidak terpasang kateter urin operasi +50 cc,
warna kuning jernih.
B5 (Bowel) :Nyeri tekan epigastik (-), perkusi : tympani (+), BU
(+).
B6 (Bone) : Fraktur (-)
k. Pre operasi
i. Persiapan pre operasi
1. Surat persetujuan operasi dan anestesi
2. Puasa 6 jam
3. Pre-medikasi ondansentron 4 mg IV
ii. Tindakan anestesi, persiapan
1. Menyiapkan meja operasi
2. Menyiapkan mesin dan alat anestesi
3. Meyiapkan komponen STATICS dan general anesthesia
4. Menyiapkan obat anestesi yang diperlukan
5. Meyiapkan obat – obatan resusitasi, seperti atropine sulfat 0,25 mg,
ephedrine 50 mg/ml, adrenalin.
iii. Jenis pembedahan : Amputasi
iv. Teknik anestesi
Pada kasus ini digunakan Anestesi Umum
Anestesi umum : Fentanyl 100 mcg IV, Propofol 150 mg IV,
Rocuronium Br 10 mg/ml IV
Pernafasan : O2 : N2O = 50:50
Lama operasi : 1 jam 18 menit (9.41 – 10.53 WIB)
Kateter infus : vena dorsum manus sinistra, IV line abocath 18
G, cairan RL 500 ml
v. Pemberian cairan
1. Kebutuhan maintenance
BB : 50 kg
 Kebutuhan cairan maintenance (M):
10 kg pertama : 10 x 4 cc/kg/jam = 40 cc.

7
10 kg kedua : 10 x 2 cc/kg/jam = 20 cc.
30 kg ketiga : 30 x 1 cc/kg/jam = 30 cc.
Total kebutuhan cairan : 90 cc/jam.
 Cairan pengganti puasa/ Fasting (F)
Pasien puasa 6 jam preoperatif = 6 x 90 = 540 cc.
 Cairan yang hilang intraoperatif (E): besar
6 – 8 cc/kg x 50 = 400 cc.
 Total kebutuhan cairan intraoperatif:
o I : M + ( ½ x F) + E
 90 ml + 270 ml + 400 ml = 760 ml/jam
o II : M + (¼ x F) + E
 90 ml + 135 ml + 400 ml = 625 ml/jam
o III : M + (¼ x F) + E
 90 ml + 135 ml + 400 ml = 625 ml/jam
o IV : M + E
 90 ml + 400 ml = 490 ml/jam
o Selanjutnya : Maintenace = 490 ml /jam

VI. Tanda Vital Intraoperatif

Waktu Tekanan Darah Nadi/menit SpO2 (%)


09.25 132/80 80 98
09.40 109/70 78 99
09.55 112/72 78 99
10.10 101/70 80 99
10.25 100/70 83 98
10.40 98/67 88 98

VII. Post-Operatif

Keadaan umum : tampak sakit ringan


Kesadaran : Sadar
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Nadi : 80 x/menit

8
Respirasi : 22 x/menit
SpO2 : 98%

Aldrette Score
Aktifitas 1
Pernafasan 2
Sirkulasi 2
Warna Kulit 2
Kesadaran 2
Total 9
Jika jumlahnya ≥ 8, maka pasien dapat pindah ke ruangan

VIII. Terapi Pasca Bedah


a. Tirah baring.
b. Observasi KU, TTV, Perdarahan Luka Operasi.
c. Bila mual / muntah, Ondansetron 8 mg
d. Bila sakit PCT 1 gr IV
e. Infus RL 1500 cc/24 jam
f. Puasa sampai BU (+) normal
g. O2 3L/mnt NC
h. Terapi Lain-lain sesuai terapi T.S dr. Danny, Sp.B(K)V

IX. Follow Up Post Operasi


Hari/Tanggal : Jumat, 30 Juni 2021
S : Keluhan nyeri di luka bekas operasi
O : Keadaan umum : tampak sakit ringan
Kesadaran : komposmentis
Tekanan darah : 104/63 mmHg
Nadi : 88 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 36,6 °C
A : akut iskemik limb tungkai kanan R/ amputasi
P :
 Bed rest

9
 Observasi TTV dan nyeri
 IVFD RL 500 cc / 24 jam
 Monitor tekanan darah
 Ceftriaxon 2 x 1 gr
 PCT 3 x 1 gr

10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anestesi Umum
 Definisi
Anastesi berasal dari bahasa Yunani yaitu An berati tidak, dan Aesthesis berarti
rasa atau sensasi. Sehingga anestesi berarti suatu keadaan hilangnya rasa atau sensasi
tanpa atau disertai dengan hilangnya kesadaran. Anestesi adalah keadaan tanpa rasa
(without sensation) tetapi bersifat sementara dan dapat kembali kepada keadaan
semula. Anestesi adalah hilangnya sensasi nyeri (rasa sakit) yang disertai maupun
tidak disertai hilangnya kesadaran, diperkenalkan oleh Oliver W. Holmes pada tahun
1846. Obat yang digunakan dalam menimbulkan anesthesia disebut sebagai
anaestetik dan kelompok obat ini dibagi menjadi dua, anestetik umum dan anestetik
regional.
Anestesi umum adalah keadaan hilangnya nyeri di seluruh tubuh dan
hilangnya kesadaran yang bersifat sementara, dihasilkan melalui penekanan sistem
syaraf pusat karena adanya induksi secara farmakologi atau penekanan sensori pada
syaraf. Agen anestesi umum bekerja dengan cara menekan sistem syaraf pusat (SSP)
secara reversibel. Anestesi umum merupakan kondisi yang dikendalikan dengan
ketidaksadaran reversibel dan diperoleh melalui penggunaan obat-obatan secara
injeksi dan atau inhalasi yang ditandai dengan hilangnya respon rasa nyeri
(analgesia), hilangnya ingatan (amnesia), hilangnya respon terhadap rangsangan
atau refleks dan hilangnya gerak spontan (immobility), serta hilangnya kesadaran
(unconsciousness). Obat anestesi yang diberikan akan masuk ke dalam sirkulasi
darah yang selanjutnya menyebar ke jaringan, yang pertama kali terpengaruh adalah
jaringan yang banyak vaskularisasinya seperti otak, yang mengakibatkan kesadaran
dan rasa sakit hilang. Kecepatan dan kekuatan anestesi dipengaruhi oleh faktor
respirasi, sirkulasi, dan sifat fisik obat itu sendiri.

 Tujuan Anestesi Umum


Dalam pratek anestesi saat ini, tidak ada agen anestesi tunggal yang ideal.
Anestesi yang ideal dapat dicapai dengan menggunakan kombinasi obat yang
berbeda. Konsep menggabungkan beberapa obat dengan efek yang berbeda seperti
amnesia, analgesia, atau berkurangnya refleks otot otonom pertama kalo
diungkapkan oleh George W. Crile tahun 1910 dengan teori yang disebut anoci-

11
association. Istilah balanced-anasthesia diperkenalkan oleh John S. Lundy pada
tahun 1940. Ide Lundy adalah untuk menyeimbangkan agen dan Teknik (misalkan
premedikasi, anestesi regional, anestesi umum) untuk mencapai tujuan yang berbeda
selama anestesi yaitu analgesia, amnesia, relaksasi otot, dan reduksi atau hilangnya
refleks otonom namun tetap mempertahankan homeostatis.
Konsep balanced-anasthesia yang digunakan saat ini adalah kombinasi obat
anestesi yang diharapkan memberi efek yang diinginkan seperti hipnosis atau
analgesia dengan penekanan efek samping yang tidak diharapkan. Dengan demikian
target anestesi dapat tercapai, dengan efek samping ynag minim, pemulihan yang
baik, serta memiliki efisiensi harga yang baik
Anestesi memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut:
1. Hipnotik/sedasi: hilangnya kesadaran
2. Analgesia: hilangnya respon terhadap nyeri
3. Muscle relaxant: relaksasi otot rangka

 Persiapan Untuk Anestesi Umum


Kunjungan pre-anestesi dilakukan untuk mempersiapkan pasien sebelum pasien
menjalani suatu tindakan operasi. Identitas setiap pasien harus lengkap dan harus
dicocokan dengan gelang identitas yang dikenakan pasien. Pasien ditanya lagi
mengenai hari dan jenis bagian tubuh yang akan dioperasi.
Pada saat kunjungan, dilakukan wawancara atau anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan perhatikan pula hasil pemeriksaan laboratorium atas indikasi sesuai dengan
penyakit yang sedang dicurigai.
 Anamnesis
 Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, alamat, dll.
 Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.
 Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat menjadi penyulit
anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit paru kronis (asma bronkhial,
pneumonia, bronkhitis), penyakit jantung, hipertensi, dan penyakit ginjal.
 Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat, dan obat yang
sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi dengan obat anestetik seperti
kortikosteroid, obat antihipertensi, antidiabetik, antibiotik, golongan
aminoglikosid, dan lain lain.

12
 Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari tanggal, jenis
pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif pasca bedah.
 Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tindakan anestesi seperti
merokok, minum alkohol, obat penenang, narkotik
 Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti hipertensi maligna.
 Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum, pernafasan,
kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi, neurologi, endokrin,
psikiatrik, ortopedi dan dermatologi. Hal ini sangatlah penting untuk
mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian khusus,
misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak napas pasca
bedah, sehingga kita dapat merancang anesthesia berikutnya dengan lebih
baik.
 Pemeriksaan Fisik
 Keadaan psikis : gelisah,takut, kesakitan
 Keadaan gizi : malnutrisi atau obesitas
 Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi cairan yang
diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah pembedahan.
 Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta suhu tubuh.
 Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung
 Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi
 Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia, atau tanda
regurgitasi.
 Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis, adanya jari
tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat pungsi vena atau daerah blok
saraf regional
 Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk mengetahui adanya trismus,
keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, gangguan fleksi ekstensi leher, deviasi
ortopedi dan dermatologi. Ada pula pemeriksaan mallampati, yang dinilai dari
visualisasi pembukaan mulut maksimal dan posisi protusi lidah. Pemeriksaan
mallampati sangat penting untuk menentukan kesulitan atau tidaknya dalam
melakukan intubasi. Penilaiannya yaitu:
- Mallampati I : palatum molle, uvula, dinding posterior oropharynk, tonsilla
palatina dan tonsilla pharingeal
- Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula, dinding posterior uvula

13
- Mallampati III : palatum molle, dasar uvula
- Mallampati IV : palatum durum saja

Pemeriksaan jalan napas meliputi keadaan gigi-geligi, tindakan buka


mulut, lidah relatif besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan
tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan
laringoskopi intubasi.
c) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan rutin tidak dianjurkan ketika pasien dalam kondisi prima dan
tidak ada keluhan. Tes diagnostik dapat membantu dalam penilaian risiko anestesi
dan operasi, memandu intervensi medis untuk menurunkan risiko ini, dan
memberikan hasil awal untuk mengarahkan keputusan intra dan pasca operasi.
Uji laboratorium harus didasarkan pada ada atau tidak adanya penyakit yang
mendasari dan terapi obat seperti yang dideteksi oleh riwayat dan pemeriksaan
fisik. Sifat operasi atau prosedur yang diusulkan juga harus dipertimbangkan.
 Lab rutin :
a. Pemeriksaan lab. Darah
b. Urine : protein, sedimen, reduksi
c. Foto rongten ( thoraks )
d. EKG
Dari hasil kunjungan ini dapat diketahui kondisi pasien dan dinyatakan dengan
status anestesi menurut The American Society Of Anesthesiologist (ASA).

14
 Masukan Oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anesthesia. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama
pada pasien-pasien yang mengalami anesthesia. Untuk meminimalkan risiko
tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anesthesia
harus dipantangkan diri masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum
induksi anesthesia.
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada
bayi 3-4 jam. Air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat
air putih dan dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anesthesia.
 Premedikasi

15
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan
tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia
diantaranya:
a. Meredakan kecemasan dan ketakutan.
b. Memperlancar induksi anesthesia.
c. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus.
d. Meminimalkan jumlah obat anestetik.
e. Mengurangi mual-muntah pasca bedah.
f. Menciptakan amnesia.
g. Mengurangi isi cairan lambung.
h. Mengurangi reflex yang membahayakan.

Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seseorang dihadapkan pada situasi


yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapan membangun
kepercayaan dan menentramkan hati pasien. Obat pereda kecemasan bisa
digunakan gol. transquilizer, diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam sebelum
induksi anestesi.. Merupakan golongan benzodiazepin. Pemberian dosis rendah
bersifat sedatif sedangkan dosis besar hipnotik. Dosis premedikasi dewasa 0,2
mg/kgBB IM.
Jika disertai nyeri karena penyakitnya dapat diberikan opioid misalnya
petidin 50 mg intramuscular. Dapat juga diberikan fentanyl 1-2 mcg/kgbb
intravena karena dapat menurunkan kecemasan, mengurangi nyeri pra dan pasca
bedah, serta menurunkan dosis obat anestesi yang dibutuhkan. Untuk mengurangi
mual-muntah pasca bedah sering ditambahkan premedikasi berupa ondansetron 4
mg. Gol. Antikolinergik berupa Atropin, diberikan untuk mencegah hipersekresi
kelenjar ludah, antimual dan muntah, melemaskan tonus otot polos organ – organ
dan menurunkan spasme gastrointestinal. Dosis 0,4 – 0,6 mg IM bekerja setelah
10 – 15 menit.
 Metode Pemberian Anestesi Umum
a. Induksi Anestesi Umum
Induksi adalah tindakan untuk membuat kondisi pasien dari sadar menjadi
tidak sadar. Induksi anestesi dapat dikerjakan dengan secara intravena,
inhalasi, intramuskuler atau rektal. Setelah pasien tidur akibat induksi anestesi
langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesi sampai tindakan

16
pembedahan selesai. Untuk persiapan induksi anesthesia sebaiknya kita ingat
kata STATICS:
Induksi anestesi umum dapat dikerjakan melalui rute:
 Induksi Intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi
sudah terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Obat induksi
bolus disuntikan dalam kecepatan 30-60 detik. Selama induksi anesthesia,
pernapasan pasien, nadi, dan tekanan darah harus diawasi dan selalu
diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif.

Tiopental (tiopenton, pentotal) diberikan secara intravena dengan


kepekatan 2,5% dan dosis antara 3-7 mg/kgBB. Keluar vena menyebabkan
nyeri. Pada anak dan manula digunakan dosis rendah dan dewasa muda sehat
dosis tinggi
Propofol (recofol, diprivan) intravena dengan kepekatan 1% menggunakan
dosis 2-3 mg/kgBB. Suntikan propofol intravena serirrg menyebabkan nyeri,
sehilrgga satu menit sebelumnya sering diberikar-r lidokain 1 mg/kgbb secara
intravena
Ketamin (Ketatar; intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB. Pasca anestesia
dengan ketamin sering menimbulkan halusinasi, karena itu sebelumnya
dianjurkan menggunakan sedativa seperti midazolam (dormikum). Ketamin
tidak dianjurkan pada pasien dengan tekanan darah tinggi (tekanan darah > 160
mmHg). Ketamin menyebabkan pasien tidak sadar, tetapi dengan mata terbuka

17
 Induksi intramuskular
Induksi intramuskular biasanya menggunakan injeksi ketamin (ketalar)
yang dapat diberikan secara intramuscular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan
setelah 3-5 menit pasien tidur.
 Induksi Inhalasi
Induksi inhalasi bisa dikerjakan dengan halotan (fluotan), sevoflurane
atau isoflurane. Cara induksi ini dikerjakan pada bayi atau anak yang belum
terpasang jalur vena atau pasien yang tidak kooperatif.
Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk.
Walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol %.
Seperti dengan halotan konsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan.
Induksi dengan enfluran (etran), isofluran (foran, aeran) atau desfluran
jarang dilakukan, karena pasien sering batuk dan waktu induksi menjadi
lama. Obat yang digunakan untuk induksi inhalasi adalah obat-obat yang
memiliki sifat-sifat: tidak berbau menyengat/merangsang, baunya enak,
cepat membuat pasien tertidur
 Induksi per rectal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi yang menggunakan tiopental atau
midazolam. Tanda-tanda induksi berhasil adalah hilangnya refleks bulu
mata. Jika bulu mata disentuh, tidak ada gerakan pada kelopak mata.
 Induksi Mencuri
Induksi mencuri (steal induction) dilakukan pada anak atau bayi yang
sedang tidur. Untuk yang sudah ada jalur vena tidak ada masalah, tetapi
pada yang belum terpasang jalur vena, harus dikerjakan hati-hati supaya
pasien tidak terbangun. Induksi mencuri inhalasi seperti induksi inhalasi
biasa hanya sungkup muka tidak kita tempelkan pada muka pasien, tetapi
kita berikan jarak berapa sentimeter, sampai pasien tertidur baru sungkup
muka kita tempelkan.

 Tatalaksana Jalan Napas

- Triple manuver airway dengan head tilt, chin lift, dan jaw trust.
- Sungkup Muka (Face Mask) dengan napas spontan
Sungkup muka mengantarkan udara atau gas anestesi dari alat resusitasi
atau sistem anestesi ke jalan napas pasien. Bentuknya dibuat sedemikian rupa
sehingga ketika digunakan untuk bernapas spontan atau dengan ventilasi

18
positif tidak bocor dan gas masuk ke trakea lewat mulut atau hidung.
Bentuknya sangat beragam bergantung usia.

Ventilasi yang efektif memerlukan jalan nafas yang bebas dan face mask
yang rapat/tidak bocor. Teknik pemasangan face mask yang tidak tepat dapat
menyebabkan reservoir bag kempis walaupun klepnya ditutup, hal ini
menunjukkan adanya kebocoran sekeliling face mask.
Prosedur:
- Siapkan peralatan dan kelengkapan obat anestetik
- Pasang infus (untuk memasukan obat anestesi)
- Premedikasi +/- (apabila pasien tidak tenang bisa diberikan obat
penenang) efek sedasi/anti-ansietas: benzodiazepine; analgesia: opioid,
non opioid, dll
- Induksi
- Pemeliharaan
a. Sungkup laring (laryngeal mask airway)
LMA memiliki kelebihan istimewa dalam menentukan penanganan
kesulitan jalan nafas dibandingkan combitube. Ada 4 tipe LMA yang biasa
digunakan: LMA yang dapat dipakai ulang, LMA yang tidak dapat dipakai
ulang, ProSeal LMA yang memiliki lubang untuk memasukkan pipa
nasogastrik dan dapat digunakan ventilasi tekanan positif, dan Fastrach LMA
yang dapat memfasilitasi intubasi bagi pasien dengan jalan nafas yang sulit
LMA melindungi laring dari sekresi faring (tapi tidak terhadap regurgitasi
lambung) dan LMA harus tetap dipertahankan pada tempatnya sampai reflek
jalan nafas pasien pulih kembali. Ini biasanya ditandai dengan batuk atau
membuka mulut sesuai dengan perintah.
b. Intubasi endotrakeal dengan pipa trakeal dan laringoskop

19
Pipa trakeal digunakan untuk mengalirkan gas anestesi langsung ke dalam
trachea dan mengijinkan untuk kontrol ventilasi dan oksigenasi. Intubasi
endotrakea adalah memasukkan pipa (tube) endotrakea (ET= endotrakeal tube)
ke dalam trakea via oral atau nasal. Indikasi; operasi lama, sulit
mempertahankan airway (operasi di bagian leher dan kepala).

Laringoskop adalah instrumen untuk pemeriksaan laring dan untuk fasilitas


intubasi trachea. Handle biasanya berisi batre untuk cahaya bola lampu pada
ujung blade, atau untuk energi fiberoptic bundle yang berakhir pada ujung
blade.

Secara umum, intubasi adalah indikasi untuk pasien yang memiliki resiko
untuk aspirasi dan untuk prosedur operasi meliputi rongga perut atau kepala
dan leher. Ventilasi dengan face mask atau LMA biasanya digunakan untuk
prosedur operasi pendek seperti cytoskopi, pemeriksaan dibawah anestesi,
perbaikan hernia inguinal dan lain lain.

20
Keberhasilan intubasi tergantung dari posisi pasien yang benar. Kepala
pasien harus sejajar atau lebih tinggi dengan pinggang dokter anestesi untuk
mencegah ketegangan bagian belakang yang tidak perlu selama laringoskopi.
Rigid laringoskop memindahkan jaringan lunak faring untuk membentuk garis
langsung untuk melihat dari mulut ke glotis yang terbuka. Elevasi kepala
sedang (sekitar 5-10 cm diatas meja operasi) dan ekstensi dari atlantoocipito
joint menempatkan pasien pada posisi sniffing yang diinginkan. Bagian bawah
dari tulang leher adalah fleksi dengan menepatkan kepala diatas bantal.
Persiapan untuk induksi dan intubasi juga meliputi preoksigenasi rutin.

Setelah induksi anestesi umum, dokter anestesi menjadi pelindung pasien.


Karena anestesi umum menghilangkan reflek proteksi cornea, perlindungan harus
dilakukan selama periode ini, tidak boleh ada cedera pada mata pasien dengan
terjadi abrasi kornea tanpa disengaja. Oleh karena itu mata rutin direkat dengan
plester, walaupun telah diberi petrolum atau salep mata.
 Prosedur intubasi adalah sebagai berikut:
Pastikan semua persiapan dan alat sudah lengkap. Induksi sampai tidur,
berikan rocuronium sebagai muscle relaxant. Cek refleks bulu mata (-) maka
ventilasi dengan O2 100% selama kira - kira 3 menit.
Laringoskop dipegang oleh tangan kiri. Dengan mulut pasien terbuka
lebar, blade dimasukan pada sisi kanan dari orofaring dengan hati-hati untuk
menghindari gigi. Geserkan lidah ke kiri dan masuk menuju dasar dari faring
dengan pinggir blade. Puncak dari lengkung blade biasanya di masukan ke
dalam vallecula, dan ujung blade lurus menutupi epiglotis. Dengan blade lain,
handle diangkat dan jauh dari pasien secara tegak lurus dari mandibula pasien

21
untuk melihat pita suara. Terperangkapnya lidah antara gigi dan blade dan
pengungkitan dari gigi harus dihindari. TT diambil dengan tangan kanan, dan
ujungnya dilewatkan melalui pita suara yang terbuka (abduksi). Balon TT
harus berada dalam trachea bagian atas tapi diluar laring. Langingoskop
ditarik dengan hati- hati untuk menghindari kerusakan gigi. Balon
dikembungkan dengan sedikit udara yang dibutuhkan untuk tidak adanya
kebocoran selama ventilasi tekanan positif, untuk meminimalkan tekanan yang
ditransmisikan pada mukosa trachea. Lalu hubungkan pangkal ET dengan
mesin anestesi dan atau alat bantu napas (alat resusitasi).

 Klasifikasi Obat-obat Anestesi Umum


Keadaan anesthesia umum dapat dibedakan menjadi tiga fase: (1) induksi (2)
maintenance dan (3) emergensi.

1. Anestesi Inhalasi
Anestesi inhalasi yang umum digunakan adalah N2O, halotan, enfluran,
isofluran, sevofluran, desflurane, dan methoxyflurane merupakan cairan yang
mudah menguap.
Zat anestesi diserap oleh sirkulasi pulmonal selama induksi. Semakin besar
penyerapan zat anestesi (daya larut), maka semakin rendah laju induksi (lebih
lama). Tiga faktor yang mempengaruhi penyerapan zat anestesi adalah daya
larut di dalam darah, aliran pembuluh darah alveolar, dan perbedaan tekanan
partial antara gas alveolar dan darah vena.

Halothane
 Bau dan rasa tidak menyengat

22
 Khasiat anestetisnya sangat kuat tetapi khasiat analgetisnya dan daya
relaksasi ototnya ringan, yang baru adekuat pada anestesi dalam
 Halotan digunakan dalam dosis rendah dan dikombinasi dengan suatu
relaksans otot, seperti galamin atau suksametonium.
 Kelarutannya dalam darah relative rendah induksi lambat, mudah
digunakan, tidak merangsang mukosa saluran napas
 Bersifat menekan refleks dari faring dan laring, melebarkan bronkioli
dan mengurangi sekresi ludah dan sekresi bronchi
 Efek samping: menekan pernapasan dan aktivitas jantung, hipotensi, jika
penggunaan berulang, maka dapat menimbulkan kerusakan hati.
 Dosis: tracheal 0,5-3 v%.
Enfluran
 Anestesi inhalasi kuat yang digunakan pada berbagai jenis pembedahan,
juga sebagai analget pada persalinan.
 Memiliki daya relaksasi otot dan analgetis yang baik, melemaskan otot
uterus
 Tidak begitu menekan SSP
 Resorpsinya setelah inhalasi, cepat dengan waktu induksi 2-3 menit
 Sebagian besar diekskresikan melalui paru-paru dalam keadaan utuh,
dan sisanya diubah menjadi ion fluoride bebas
 Efek samping: hipotensi, menekan pernapasan, aritmia, dan merangsang
SSP. Pasca bedah dapat timbul hipotermi (menggigil), serta mual dan
muntah, dapat meningkatkan perdarahan pada saat persalinan, SC, dan
abortus.
Isofluran (Forane)
 Bau tidak enak
 Termasuk anestesi inhalasi kuat dengan sifat analgetis dan relaksasi otot
baik
 Daya kerja dan penekanannya terhadap SSP = enfluran
 Efek samping: hipotensi, aritmi, menggigil, konstriksi bronkhi,
meningkatnya jumlah leukosit. Pasca bedah dapat timbul mual, muntah,
dan keadaan tegang
 Sediaan: isofluran 3-3,5% dlm O2; + NO2-O2 = induksi; maintenance :
0,5%-3%
23
Desfluran
 Desfluran merupakan halogenasi eter yang rumus bangun dan efek
klinisnya mirip isofluran. 
 Desfluran sangat mudah menguap dibandingkan anestesi volatil lain,
sehingga perlu menggunakan vaporizer khusus (TEC-6).
 Titik didihnya mendekati suhu ruangan (23.5C).
 Potensinya rendah
 Bersifat simpatomimetik menyebabkan takikardia dan hipertensi
 Efek depresi napasnya seperti isofluran dan etran
 Merangsang jalan napas atas, sehingga tidak digunakan untuk induksi
anestesi
Sevofluran
 Merupakan halogenasi eter
 Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan dengan
isofluran
 Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas
 Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebabkan aritmia
 Efek terhadap sistem saraf pusat seperti isofluran dan belum ada laporan
toksik terhadap hepar
 Setelah pemberian dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan

2. Anestesi Intravena
Termasuk golongan ini adalah: barbiturate (thiopental, methothexital);
benzodiazepine (midazolam, diazepam); opioid analgesic (morphine, fentanyl,
sufentanil, alfentanil, remifentanil); propofol; ketamin dan suatu senyawa

24
arylcylohexylamine yang dapat menyebabkan keadaan anestesi disosiatif dan
obat-obat lain (droperianol, etomidate, dexmedetomidine).
Barbiturat
 Barbiturat lebih banyak bekerja pada sinaps dan menghambat transmisi
dari neurotransmitter eksitasi (mis. Asetilkolin) dan meningkatkan
transmisi neurotransmitter inhibisi (mis. GABA).
 Induksi secara intravena akan menyebabkan turunnya tekanan darah dan
takhikardia. Hambat kontraksi otot jantung, tidak menimbulkan
sensitisasi jantung terhadap ketekolamin.
 Depresi pusat pernapasan di medula oblongata

Ketamin
 sifat analgesik, anestetik, kataleptik dg kerja singkat
 analgesik kuat utk sistem somatik, lemah utk sistem viseral
 relaksasi otot polos lurik (-), tonus meninggi
 tingkatkan TD, nadi, curah jantung
 Ketamin sering menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi, nyeri
kepala, pasca anestesi dapat menimbulkan mual-muntah, pandangan
kabur, dan mimpi buruk.
 Kalau harus diberikan sebaiknya sebelumnya diberikan sedasi mdasolam
(dormikum) atau diazepam (valium) dengan dosis 0.1 mg/kg intravena
dan untuk mengurangi salivasi diberikan sulfas atropin 0.001 mg/kg.
 Dosis bolus untuk induksi intravena adalah 1-2 mg/kg dan untuk
intramuskular 3-10 mg. 
 Ketamin dikemas dalam cairan bening dengan kepekatan 1%
(1ml=10mg), 5% (1ml=50 mg) dan 10 % (1ml=100 mg)
Propofol

25
 Propofol dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu
bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1 ml=10 mg).
 Mekanisme kerja propofol dengan meningkatkan inhibisi transmisi saraf
melalui GABA.
 Propofol menurunkan refleks di saluran napas atas sehingga bergunan
saat intubasi atau pemasangan LMA.
 Propofol mempunyai efek depresi pernapasan yang cukup besar yang
sering menyebabkan apnea setelah pemberian dosis induksi.
 Propofol mengurangi aliran darah otak dan tekanan intrakranial.

Benzodiazepin

 Benzodiazepine berinteraksi dengan reseptor spesifik SSP terutama di


korteks cerebri. Ikatan benzodiazepin meningkatkan efek inhibisi dari
bermacam-macam neurotransmitter. Keadaan ini menimbulkan
perubahan polarisasi membran sehingga menghambat fungsi normal
neuron.
 Diazepam dan lorazepam diabsorbsi dari saluran pencernaan dengan
baik. Midazolam memberikan efek sedasi premedikasi yang baik pada
pemberian per oral, intranasal, bukal, dan sublingual.

26
 Benzodiazepin menunjukan efek depresi kardiovaskular minimal bahkan
pada dosis induksi. Tekanan darah arteral, curah jantung, dan resistensi
vascular biasanya sedikit turun sementara denyut jantung sedikit naik.

 Benzodiazepin tidak mempunyai efek analgesik langsung.

 Bila dibandingkan thiopental, benzodiazepin menunjukkan lambatnya


pemulihan.

Opioid
 Empat tipe reseptor opioid telah dapat diidentifiksi, yaitu mu (-1 dan -
2), kappa (), delta (), dan sigma (). Opioid tidak mengganggu
kardiovaskular, sehingga banyak digunakan untuk induksi pasien dengan
kelainan jantung. 
 Selain mempunyai efek sedasi, opioid juga dapat memberikan efek
analgesik. Efek farmakodinamik yang ditimbulkan tergantung dari
reseptor mana yang diikat.
 Aktivasi dari reseptor opioid menghambat neurotransmitter eksitasi (mis.
Asetilkolin, substansi P) pada presinaps maupun post sinaps serabut
saraf nyeri.
 Kombinasi opioid dengan obat anestesi lain (mis. N 2O, benzodiazepin,
barbiturat, dan anestesi inhalasi dapat menyebabkan depresi miokard
yang signifikan).
 Opioid menurunkan frekuensi pernapasan
 Secara umum opioid mengurangi konsumsi oksigen otak, aliran darah
otak, dan tekanan intrakranial.
 Opioid memperlambat waktu pengosongan lambung dengan mengurangi
peristaltik.

27
 Stadium Anestesi

Guedel (1920) membagi anestesia umum dengan eter dalam 4 stadia sedangkan
stadium lll dibagi lagi dalam 4 tingkat.

1. STADIUM I (Analgesta) Stadium anatgesia di_ mulai dari saat


pemberian zat anestetik sampai hilangnya kesadaran. pada stadium ini
penderita masih dapat mengikuti perintah, dan rasa sakit hilang
(analgesia). pada stadium ini dapat di_ lakukan tindakan pembedahan
ringan seperti men_ cabut gigi, biopsi kelenjar dan sebagainya.
2. STADIUM ll (Delirium/Eksitasi). Stadium il dimulai dari hilangnya
kesadaran sampai permula_ an stadium pembedahan. pada stadium ini
terlihat jelas adanya eksitasi dan gerakan yang tidak menurut kehendak,
penderita tertawa, berteriak, menangis, menyanyi, pernapasan tidak
teratur, kadang-kadang apnea dan hiperpnea, tonus otot rangka
meninggi, inkontinesia urin dan alvi, muntah, midriasis, hipertensi,
takikardi; hal ini terutama ter_ jadi karena adanya hambatan pada pusat
ham_ batan. Pada stadium ini dapat terjadi kematian, karena itu stadium
ini harus cepat dilewati.2
3. STADIUM lll (Pembedahan). Stadium ilt dimutai dengan teraturnya
pernapasan sampai pernapasan spontan hilang. Terdapat tanda yang
harus dikenal: (1) pernapasan yang tidak teratur pada stadium ll
menghilang; pernapasan menjadi spontan dan teratur oleh karena tidak
ada pengaruh psikis sedangkan pengontrolan kehendak hilang; (2)
refleks kelopak mata dan konyungtiva hilang, bila kelopak mata atas
diangkat dengan perlahan dan dilepaskan tidak akan menutup lagi,

28
kelopak mata tidak berkedip bila bulu mata disentuh; (3) kepala dapat
digerakkan ke kanan dan ke kiri dengan bebas. Bila lengan diangkat lalu
dilepaskan akan jatuh bebas tanpa tahanan; dan (4) gerakan bola mata
yang tidak menurut kehendak merupakan tanda spesifik untuk
permulaan stadium lll. Stadium lll dibagi menjadi 4 tingkat berdasarkan
tanda-tanda berikut: 2
a. Tingkat 1 : pernapasan teratur, spontan, terjadi gerakan bola mata
yang tidak menurut kehendak, miosis, pernapasan dada dan perut
seimbang, belum tercapai relaksasi otot lurik yang sempurna.
b. Tingkat 2: pernapasan teratur tetapi kurang dalam dibandingkan
tingkat 1, bola mata tidak bergerak, pupil mulai melebar,
relaksasi otot sedang, refleks laring hilang sehingga dapat
dikerjakan intubasi.
c. Tingkat 3: pernapasan perut lebih nyata daripada pernapasan
dada karena otot interkostal mulai mengalami paralisis, relaksasi
otot lurik sempurna, pupil lebih lebar tetapi belum maksimal.
d. Tingkat 4: pernapasan perut sempurna karena kelumpuhan otot
interkostal sempurna, tekanan darah mulai menurun, pupil sangat
lebar dan relleks cahaya hilang,

Bila stadium lll lingkat 4 sudah tercapai, harus hati-hati jangan


sampai penderita masuk dalam stadium lV; untuk mengenal keadaan
ini, harus diperhatikan silat dan dalamnya pernapasan, lebar pupil
dibandingkan dengan keadaan normal, dan mulai menurunnya
tekanan darah.
4. STADIUM lV (Paralisis Medula Oblongata). Stadium lV ini dimulai
dengan melemahnya pernapasan perut dibanding stadium lll tingkat 4,
tekanan darah tak dapat diukur karena kolaps pembuluh darah,
berhentinya denyutjantung dan dapat disusul kematian. Pada stadium ini
kelumpuhan pernapasan tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan

 Pemeliharaan Anestesi (Maintainance)


Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total) atau dengan
inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anestesi mengacu
pada trias anestesi yaitu tidur rinan (hypnosis) sekedar tidak sadar, analgesia

29
cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan
relaksasi otot lurik yang cukup. Rumatan intravena biasanya menggunakan
opioid dosis tinggi, fentanil 10-50 μg/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan
pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi
pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa,
tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama
dengan anestesi total intravena, pelumpuh otot dan ventilator. Untuk
mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2.
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 dengan
perbandingan 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4% atau
isofluran 2-4 vol% atau sevofluran 2-4% bergantung apakah pasien bernapas
spontan, dibantu atau dikendalikan.
 Pemulihan Anestesi
Pada akhir operasi atau setelah operasi selesai, maka anestesi diakhiri
dengan menghentikan pemberian obat anestesi. Pada penderita yang
mendapatkan anestesi intravena, kesadaran akan kembali berangsurangsur
dengan turunnya kadar obat anestesi akibat metabolisme atau ekskresi setelah
obat dihentikan. Selanjutnya bagi penderita yang dianestesi dengan pernafasan
spontan tanpa menggunakan pipa endotrakeal maka hanya tinggal menunggu
sadarnya penderita. Sedangkan untuk pasien yang menggunakan pipa
endotrakheal, maka perlu dilakukan pelepasan atau ekstubasi. Ekstubasi dapat
dilakukan ketika penderita masih teranestesi maupun setelah penderita sadar.
Ekstubasi dalam keadaan setengah sadar dapat membahayakan penderita karena
dapat menyebabkan spasme jalan nafas, batuk, muntah, gangguan
kardiovaskuler, naiknya tekanan intraokuli dan intrakranial.
- Skor Pemulihan Pasca Anestesi
Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi terutama yang
menggunakan general anestesi, maka perlu melakukan penilaian terlebih dahulu
untuk menentukan apakah pasien sudah dapat dipindahkan ke ruangan atau masih
perlu di observasi di ruang Recovery room (RR).
Aldrete Score

30
31
AKUT LIMB ISKEMIK
A. Definisi
Akut Limb Iskemik merupakan suatu kondisi dimana terjadi penurunan ke ekstremitas
secara tiba-tiba yang menyebabkan gangguan pada  kemampuan pergerakkan, rasa nyeri
atau tanda-tanda iskemik berat dalam jangka waktu dua minggu.
B. Etiologi
1. Embolus
a. Penyebab tersering adalah bifurkasio aorta (kebanyakan arterial emboli 80%
terbentuk disini).
b. Sumber lain emboli dari jantung: jendalan pada otot yang mati setelah infark
miokard; endocarditis; myxoma.
c. Sumber lain: aneurisma, plak atheromatous. 
2. In situ thrombosis dari penyakit aterosklerotik oklusif yang telah ada
3. Trombosis dari aneurisma arteri yang telah ada
4. Trauma vaskuler
Sulit untuk membedakan sebab karena  embolus atau trombus, tetapi akut limb
iskemik kita curigai pada keadaan : ada riwayat emboli, ada riwayat aritmia (AF),
riwayat klaudikasio
C. Patofisiologi
Penyebab dari iskemia tungkai akut ini biasanya adalah emboli atau insitu trombosis
yang sebagian besar berasal dari jantung dan menetap dilokasi percabangan pembuluh
darah seperti di daerah iliaka, ujung arteri femoralis komunis dan ujung dari arteri
politea. Selain itu emboli juga bisa lepas dari pembuluh darah yang mengalami plak
aterosklerosis.
Emboli bisa juga diakibatkan oleh gangguan hemostasis pada penderita yang darahnya
mudah mengalami pembekuan seperti pada penderita sindroma anti fosfolipid.
Emboli akut bisa dibedakan dengan  dengan peristiwa trombosis melalui
1.       Peristiwanya mendadak sehingga penderita bisa menetapkan waktu mulainya sakit
2.       Kadang kadang penderita sudah mempunyai riwayat mengalami emboli sebelumya
3.       Penderita gangguan katup atau gangguan irama jantung
4.       Tidak ada riwayat klaudikasio sebelumnya
5.       Pulsasi pada tungkai yang tidak terkena normal
Thrombosis bisa juga terjadi pada pintasan pembuluh darah pada penderita yang sudah
menjalani operasi sebelumnya.

32
Iskemia tungkai akut dibedakan dengan iskemia tungkai kritis yang disebabkan oleh
gangguan kronis pada pembuluh darah dengan onset yang melebihi dua minggu seperti
pada penderita aterosklerosis berat, tromboangiitis obliteran, vaskulitis lain dan penyakit
jaringan ikat lainnya.

D. Diagnosis
Iskemia tungkai akut adalah diagnosis klinis. Pasien mengeluhkan mati rasa dan nyeri
di ekstremitas, pada kasus yang berat hilangnya fungsi motorik dan kekakuan otot .
Terdapat gejala,pain (nyeri), parasthesia (tidak mampu merasakan sentuhan pada
ekstremitas), paralysis (kehilangan sensasi motorik pada ekstremitas), pallor (pucat),
pulseless (menurunnya/tidak adanya denyut nadi), dan perishingly cold/poikilothermia
(dingin pada ekstremitas) yang menunjukkan iskemia tungkai akut,. Proses ini kadang-
kadang sulit dibedakan dengan trombosis vena dalam.
Meskipun trombosis vena dalam dapat bermanifestasi sebagai iskemia tungkai yang
berat (phlegmasia cerulea dolens), Edema ekstremitas bawah jarang disebabkan oleh
iskemia arteri murni. Nyeri dapat berupa konstan atau ditimbulkan oleh gerakan pasif
ekstremitas yang terlibat. Oklusi emboli biasanya tiba-tiba dan dengan intensitas yang
besar, sehingga onset timbul dalam beberapa jam. Riwayat penyakit dahulu yang
mempengaruhi seperti klaudikasio intermiten, bypass kaki, aritmia jantung dan
aneurisma aorta. Faktor risiko aterosklerosis seperti merokok, hipertensi, diabetes,
hiperlipidemia, riwayat keluarga yang memiliki penyakit jantung atau pembuluh darah.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat mengidentifikasi letak obstruksi,
kemungkinan penyebab dan derajat iskmia. Informasi tersebut diperlukan untuk
pengobatan yang tepat. Anamnesis melihat durasi dan progresi, riwayat penyakit jantung
sebelumnya bisa menyulitkan pengobatan. Pada klaudikasio menandakan sebelumnya
mendapat penyakit aterosklerotif oklusi.
Pemeriksaan fisik mendapatkan kemungkianan sumber dari emboli. Tanda-tanda
iskemia kronis tungkai bawah, hipertropic kuku, atrofi kulit, rambut rontok pada kaki
menandakan sebelumnya mempunyai penyakit oklusi. Adanya insufisiensi arteri akut
biasanya ditandai dengan perubahan suhu pada ekstremitas distal pada level obstruksi.
Kemampuan untuk dorsifleksi dan plantarfleksi dari jari-jari kaki menunjukkan viabilitas
dari otot-otot betis, ketidak mampuan menggerakkan dari jari-jari kaki menandakan
impending nekrosis pada otot otot betis.

E. Penatalaksanaan
1. Kecepatan adalah penanganan yang utama pada pasien dengan Acute Limb
Ischaemia, dalam 6 jam kondisi ini akan menuju kerusakan jaringan secara
menetap, kecuali bila segera direvaskularisasi
2. Akut Limb Iskemik yang disebabkan oleh emboli dilakukan pengobatan dengan
warparin atau embolektomi sedangkan yang disebabkan oleh trombus angiografi
dan dilakukan tindakan bypass atau pemberian obat-obatan seperti fibrinolitik.

33
3. Pasien dengan ALI umumnya dalam klinis yang tidak stabil. Perhatikan saat kritis,
saat yang tepat untuk melakukan prosedur CPR. Berikan oksigen 100%, pasang
akses intravena, berikan terapi cairan dalam dosis minimal (1 liter NaCl untuk 8
jam, kecuali bila pasien dehidrasi, pemberian sebaiknya sedikit lebih cepat).
Ambil sampel laboratorium untuk pemeriksaan hitung jenis sel, ureum, kreatinin,
elektrolit, GDS (bila disertai dengan DM), enzim jantung, bekuan darah dan
proses pembekuan, dan penanganannya. Bila memungkinkan pemeriksaan
trombofilia, dan profil lipid juga dibutuhkan.
4. Lakukan foto thoraks dan rekam irama jantung. Dan jika ditemukan pasien dalam
kondisi aritmia, segera bantu dengan monitor fungsi kerja jantung. Lakukan
pemasangan kateter urin jika pasien dalam kondisi dehidrasi dan perlu untuk
dimonitor nilai keseimbangan cairannya. Kolabarasi pemberian opium untuk
anastesi jika keluhan nyeri hebat ada.
Terapi :
a. Preoperative antikoagulan dengan IV heparin
b. Resusitasi cairan, koreksi asidosis sistemik, inotropik support
c. Terapi pembedahan diindikasikan untuk iskemia yang mengancam
ekstremitas
d. Thrombolektomi/embolektomi (dapat dilakukan dengan Fogarty baloon
catheter, dimana alat tersebut dimasukkan melewati sisi oklusi, dipompa,
dan dicabut sehingga membawa trombus/embolus bersamanya).
Trombolektomi juga dapat dilakukan distal dari sisi teroklusi, dimana
hampir 1/3 penderita dengan oklusi arteri mempunyai oklusi di tempat
lain, kebanyakan trombus distal.
e. Melindungi vascular bed distal terhadap obstruksi proksimal merupakan
hal yang sangat penting dan dapat dipenuhi oleh antikoagulan sistemik
yang diberikan segera dengan heparin melalui intravena. Heparinisasi
sistemik menawarkan suatu perlindungan dapat melawan perkembangan
trombosis distal dan biasanya tidak menyebabkan masalah yang bermakna
sepanjang prosedur operasi, beberapa keuntungan pheologic telah di klaim
untuk pemberian larutan hipertonik seperti manitol.
f. Potasium mungkin dilepaskan ketika integritas terganggu oleh iskemia.
Keadaan yang hiperkalemia seringkali menjadi respon terhadap pemberian
terapi glukosa, insulin dan cairan pengganti ion. Lactic academia dapat
diterapi dengan pemberian sodium bicarbonate secara bijaksana.
g. Terapi utama akut iskemia adalah pembedahan dalam bentuk embolektomi
atau tindakan rekonstruksi pembedahan vaskuler yang sesuai. Terapi non
pembedahan pada iskemia akut dari episode emboli atau trombolitik dapat
dilakukan dengan streptokinase atau urokinase.
h. Terapi ALI merupakan suatu keadaan yang darurat untuk
meminimalisasikan penundaan dalam melepaskan oklusi merupakan hal

34
yang penting, karena resiko kehilangan anggota gerak meningkat sejalan
dengan durasi iskemia akut yang lama. Pada suatu penelitian angka
amputasi ditemukan meningkat terhadap interval antara onset dari akut
limb iskemia dan eksplorasi (6 % dalam 12 jam, 12% dalam 13-24 jam, 20
% setelah >24 jam). Hal inilah yang menyebabkan untuk mengeliminer
segala pemeriksaan yang tidak esensial terhadap kebutuhan intervensi.
i. Preintervensi anti koagulan dengan kadar terapeutik heparin mengurangi
tingkat morbiditas dan mortalitas (bila dibandingkan dengan tidak
menggunakan antikoagulan) dan merupakan bagian dari keseluruhan
strategi terapi pada pasien. Hal ini bukan hanya membantu mencegah
terbentuknya bekuan darah. Namun, pada kasus embolisme arterial juga
amitigasi melawan embolus lain

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Mangku G, Senapathi TGA. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan reanimasi. Jakarta:
Indeks.2017.
2. Latie SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi Kedua.
Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif KUI. 2009.
3. Soenarto RF, Chandra S. Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta: Departemen Anestesiologi
dan Intensive Care FKUI. 2012.
4. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhail’s Clinical Anesthesiology.
Fifth Edition. New York: Mc. Graw Hill. 2013.
5. Kasirajan K, Ouriel K. Acute Limb Ischemia. In Rutherford RB et al (eds).Rutherford
vascular Surgery 6th ed. Elseviers Saunders. 2005. Pgs 59–71.

Anda mungkin juga menyukai