Anda di halaman 1dari 3

budaya korupsi di dalam birokrasi Indonesia, mengingat banyak orang dapat memaklumi

perilaku tersebut dan memandangnya sebagai kebenaran karena wajar seseorang melakukan
korupsi dalam rangka meningkatkan keterjaminan kesejahteraan keluarga dalam jangka panjang.
Dengan pendapatan ekstra dari korupsi, seorang abdi negara dapat membeli aset seperti tanah,
emas, dan sebagainya yang dapat mendukung kesejahteraannya setelah pensiun.

Indulgence

Skor 38 dalam dimensi ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki budaya menahan diri.
Masyarakat dengan skor rendah dalam dimensi ini memiliki kecenderungan untuk bersifat sinis
dan pesimistis. Berbeda dengan masyarakat yang senang memanjakan dirinya, masyarakat
Indonesia kurang memberi penekanan pada pemanfaatan waktu luang untuk memanjakan
dirinya, dan cenderung mengontrol pemuasan keinginan mereka.

Karakter ini juga dapat menjadi tantangan dalam proses pemberdayaan yang dilakukan
oleh social entrepreneur. Masyarakat yang sudah bersyukur dengan bagaimanapun kondisi
hidupnya, atau sudah telanjur sinis bahwa kondisi yang dialaminya merupakan takdir yang tidak
bisa diubah sehingga harus diterima saja, cenderung sulit diajak untuk bergerak dan bekerja lebih
giat demi meningkatkan kesejahteraannya.

Dibandingkan dengan negaranegara Asia Tenggara lainnya, Indonesia memiliki


persentase tertinggi dalam hal pembukaan bisnis baru. Indonesia juga memiliki tingkat
kepemilikan bisnis dengan kemapanan yang cukup tinggi dan menduduki posisi kedua setelah
Thailand. Jumlah kegiatan wirausaha dalam tahap awal atau total early-stage entrepreneurial
activity (TEA) Indonesia juga sangat tinggi (25,5%), dan merupakan angka tertinggi
dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya.

Berdasarkan hasil survei tersebut, kita berharap kewirausahaan dalam bidang sosial juga
akan meningkat pesat di Indonesia pada periodeperiode mendatang. Sementara itu, hasil analisis
dimensi budaya Geert Hofstede yang dipaparkan sebelumnya dapat menjadi wawasan untuk
meningkatkan kemampuan kita dalam berinteraksi secara lebih baik dan lebih efektif dengan
masyarakat, terlebih bagi kamu yang berani menjadi social entrepreneur atau wirausaha sosial,
dan akan akrab dengan berbagai proses pemberdayaan masyarakat.

2.5 MODAL MANUSIA

Sumber Daya Manusia

Secara umum, kualitas SDM Indonesia masih tergolong rendah. Hal ini terlihat dari rata-
rata lama pendidikan secara nasional yang masih di bawah delapan tahun. Artinya, mayoritas
orang Indonesia tidak tamat SMP.3 Hal ini tercermin dari komposisi angkatan kerja (penduduk
berusia di atas 15 tahun) yang hingga tahun 2013 masih didominasi oleh angkatan kerja dengan
tingkat pendidikan SD ke bawah (45,6%), disusul oleh yang tamat SMA/SMK (26,2%), tamat
SMP3 (18,7%), lalu tamat D3/S14 (9,4%). Hal ini semakin diperkuat oleh laporan Badan Pusat
Statistik (BPS) yang pada Agustus 2014 memublikasikan data bahwa terdapat sekitar 9,5%
(688.660 orang) penduduk dengan tingkat pendidikan diploma tiga (D3) atau sarjana strata satu
(S1) yang masih menganggur. Dari total jumlah itu, 78,19% (495.143 orang) di antaranya
bergelar sarjana.

Semua fakta di atas menunjukkan bahwa SDM Indonesia tak hanya masih didominasi
oleh yang berpendidikan rendah, tetapi yang sudah berpendidikan tinggi (sarjana) juga masih
cukup banyak yang belum mampu memberdayakan diri sendiri. Untuk itu, pengembangan
kewirausahaan pada umumnya dan kewirausahaan sosial pada khususnya merupakan sebuah
solusi untuk memecahkan masalah pengangguran tersebut.

Fenomena inilah yang mendorong lahirnya Program Mahasiswa Wirausaha (PMW) pada
tahun 2009 dan dimasukkannya mata kuliah Kewirausahaan di hampir semua perguruan tinggi
Indonesia. Tujuannya adalah untuk memberikan bekal pengetahuan (knowledge), keterampilan
(skill), dan jiwa wirausaha (entrepreneurship) berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi kepada
mahasiswa. Hal tersebut diharapkan mampu membangun pola pikir (mindset) dari pencari kerja
(job seeker) menjadi pencipta lapangan pekerjaan (job creator), serta mencetak wirausaha-
wirausaha baru yang tangguh dalam menghadapi persaingan global sehingga dapat mendukung
pertumbuhan ekonomi nasional.

Institusi Pendidikan

Peran institusi pendidikan, khususnya universitas, untuk mendorong social


entrepreneurship bisa dilihat dari tiga pilar utama utama universitas. Tiga pilar utama yang lebih
dikenal sebagai Tridharma perguruan tinggi ini terdiri dari pendidikan, penelitian, dan
pengabdian masyarakat.

a.Pendidikan

Untuk Tridharma yang pertama ini, dapat dikatakan bahwa belum banyak universitas di
Indonesia yang telah secara khusus memiliki program studi dalam bidang social
entrepreneurship. Yang sudah memulainya antara lain adalah School of Business and
Management ITB (SBM-ITB) melalui Program Social Enterprise for Economic Development
(SEED), yaitu program studi internasional yang tidak hanya mengandalkan proses belajar-
mengajar berupa diskusi di kelas, tetapi juga mengimplementasikan pengetahuan dan kepedulian
mahasiswa kepada masyarakat. Hal tersebut karena program studi ini menggunakan pendekatan
cross-cultural. Selain itu, ada program Magister ManajemenCommunity Enterprise (MM-CE) di
Universitas Trisakti yang mengambil fokus di bidang community enterprise sebagai social
enterprise yang dimiliki oleh komunitas.

b. Penelitian
Mulai banyaknya hasil penelitian di luar negeri yang mengangkat topik social
entrepreneurship telah mendorong para akademisi di Indonesia untuk meneliti fenomena ini
dalam konteks Indonesia. Namun, untuk saat ini hasil penelitian di bidang ini dapat dibilang
masih sangat langka. Salah satu hasil penelitian tentang social entrepreneurship di Indonesia
yang telah dipublikasikan di jurnal internasional adalah yang ditulis oleh Sri Rahayu Hijrah Hati,
dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia.

Tidak hanya pada para akademisi, para mahasiswa di Indonesia pun sudah mulai
mengenal konsep social entrepreneurship dan menjadikannya suatu topik kajian dalam penelitian
dan kompetisi. Hal ini seperti yang pernah dilakukan oleh AIESEC Universitas Indonesia pada
tahun 2013 melalui penyelenggaraan Social Entrepreneurship Project (SEP). Salah satu
kegiatannya adalah kompetisi esai yang mengangkat tema “The Role of Social Entrepreneur
Facing the Development Era of Indonesia”.

c. Pengabdian Masyarakat

K e g i a t a n p e n g a b d i a n masyarakat perguruan tinggi umumnya berupa bantuan


sosial, pelatihan, atau konsultasi gratis untuk masyarakat yang membutuhkan. Namun, beberapa
tahun belakangan ini bentuk kegiatan mulai bergeser ke arah kegiatan-kegiatan yang bernuansa
kewirausahaan sosial. Salah satu contoh nyata pengabdian masyarakat yang merefleksikan
konsep kewirausahaan sosial adalah program inkubator bayi yang digagas oleh Prof. Dr. Ir. Raldi
Artono Koestoer, DEA untuk para bayi yang berasal dari kalangan tidak mampu.

Anda mungkin juga menyukai