Oleh:
Alyntya Melati, S. Ked.
712019091
Pembimbing:
dr.Amrizal, Sp. PD, KKV, FINASIM
ii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Allah swt, Yang Maha Esa dengan segala keindahan-Nya,
zat Yang Maha Pengasih dengan segala kasih sayang-Nya, yang terlepas dari segala
sifat lemah semua makhluk.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN........................................................ii
KATA PENGANTAR...................................................................iii
DAFTAR ISI..................................................................................iv
BAB I. PENDAHULUAN............................................................ 1
BAB II. LAPORAN KASUS........................................................ 4
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA.............................................. 17
BAB IV. ANALISA KASUS .......................................................37
BAB V. KESIMPULAN ..............................................................40
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................41
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2. Maksud dan Tujuan
Adapun maksud dan tujuan pembuatan laporan kasus ini:
1. Diharapkan pada semua sarjana kedokteran dapat memahami setiap
kasus Dyspneu ec Congetive Heart Failure dan penyebabnya secara
menyeluruh.
2. Diharapkan adanya pola berpikir kritis setelah dilakukannya
diskusi laporan kasus Dyspneu ec Congetive Heart Failure dan
penyebabnya ini dengan pembimbing klinik.
3. Diharapkan pada semua sarjana kedokteran dapat mengaplikasikan
pemahaman yang didapat mengenai kasus Dyspneu ec Congetive
Heart Failure, terkait pada kegiatan kepaniteraan.
1.3. Manfaat
1.3.1. Teoritis
Untuk meningkatkan pengetahuan dan menambah
wawasan ilmu tentang kasus Dyspneu ec Congetive Heart Failure
dan penyebabnya.
1.3.2. Praktis
Sebagai masukan guna lebih meningkatkan mutu
pelayanan yang diberikan terutama dalam memberikan informasi
(pendidikan kesehatan) kepada pasien dan keluarganya tentang
kegawatan pada pasien dengan Dyspneu ec Congetive Heart
Failure dan penyebabnya.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identifikasi
No. RM : 60.18.4
Nama lengkap : Tn. AA
Umur : 16 Juni 1953 / 62 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pendidikan Terakhir : SMA
Pekerjaan : Pensiunan
Alamat : Lorong: murni, Plaju, Palembang
Tanggal MRS : 09 Juni 2021
Tanggal Pemeriksaan : 14 Juni 2021
Dokter Pemeriksa : dr.Amrizal,Sp. PD-KKV, FINASIM
Ruangan : Ahmad Dahlan 14 bed 1
2.2 Anamnesis
Keluhan Utama:
Pasien mengeluh sesak nafas yang semakin memberat sejak 4 hari
SMRS.
4
Olahraga : Tidak
Keadaan Umum:
- Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
- Kesadaran : Compos mentis
- Tekanan darah : 130/100 mmHg
- Nadi : 95x/ menit, reguler, isi dan tegangan cukup
- Pernafasan : 25x / menit, tipe thorakoabdominal
- Temperature : 36,8oC
- Berat Badan : 43 kg
- Tinggi Badan : 152 cm
Keadaan Spesifik:
1. Pemeriksaan Kepala:
- Bentuk kepala : Normocephali
- Rambut : Tidak rontok, tidak mudah dicabut
- Muka : Simetris, Pucat (-)
2. Pemeriksaan Mata:
- Exoftalmus : Tidak ada
- Endoftalmus : Tidak ada
- Palpebra : Edema (-/-)
- Konjungtiva : Anemis (-/-)
- Sklera : Ikterik (-/-)
- Pupil :Refleks cahaya (+/+), (3mm/3mm), isokor
- Gerakan : Baik ke segala arah
- Lapang Pandang : Luas
5
3. Pemeriksaan Telinga :
- Liang telinga : Normal
- Serumen : (-/-)
- Sekret : (-/-)
- Nyeri tekan : (-/-)
- Gangguan pendengaran : (-)
4. Pemeriksaan Hidung :
- Deformitas : (-)
- Nafas cuping hidung : (-)
- Sekret : (-)
- Epistaksis : (-)
- Mukosa hiperemis : (-)
- Septum deviasi : (-)
6. Pemeriksaan Leher :
- Inspeksi : Simetris, tidak terlihat benjolan, lesi pada kulit (-)
- Palpasi : Pembesaran Tiroid (-), Pembesaran KGB (-)
- JVP : 5-2 cm H2O
7. Pemeriksaan Kulit:
- Hiperpigmentasi : (-)
- Ikterik : (-)
- Petikhie : (-)
- Sianosis : (-)
6
- Pucat pada telapak tangan dan kaki :(-)
- Turgor : CRT < 2 detik.
8. Pemeriksaan Thorax:
Paru-Paru Depan
Inspeksi : Statis : Simetris hemithorax kanan kiri, dinamis : tidak ada
yang tertinggal, sela iga melebar (-), retraksi intercostae (-),
benjolan (-)
Palpasi : Stem fremitus apex paru meningkat, tidak teraba adanya
massa atau benjolan, nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor pada ICS II sampai ICS IV, Pekak pada ICS V
Parasternalis sinistra, peranjakan paru (+)
Auskultasi :Vesikuler (+/+), rhonki basah halus (+/+), wheezing (-/-)
Paru-Paru Belakang
Inspeksi : Statis : Simetris hemithorax kanan kiri, dinamis :
pernafasan thorakoabdominal, sela iga melebar (-), retraksi
intercostae (+), benjolan (-)
Palpasi : Stem fremitus apex paru meningkat, tidak teraba adanya
massa atau benjolan, nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor pada ICS II sampai ICS IV , Pekak pada ICS V
Parasternalis sinistra, peranjakan paru (+)
Auskultasi : Vesikuler (+/+), rhonki basah halus (+/+), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba, pulsasi teraba di ICS VI linea
midclavicula sinistra, thrill (-)
Perkusi :
- Atas : ICS II linea parasternalis dextra et sinistra
- Kanan Bawah : ICS IV linea parasternalis dextra
- Kiri bawah : ICS VI linea axillarissinistra
Auskultasi : Bunyi jantung 1 dan 2 normal, Reguler, Murmur (-),
Gallop (-)
7
9. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Cekung, venektasi (-), caput medusa (-), spider nevi (-),
Benjolan (-)
Palpasi : Lemas, nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien sulit
dinilai, massa (-), ballotement (-), nyeri tekan (-)
Perkusi : Tympani (+), undulasi (-), shifting dullness (-)
Auskultasi : Bising usus (+) 3x/menit.
11.Ekstremitas :
Lengan Kiri Kanan
- Tonus Eutoni Eutoni
- Gerakan Cukup Cukup
- Kekuatan 5 5
- Otot Eutrofi Eutrofi
8
- Gordon Negatif Negatif
- Schaeffer Negatif Negatif
- Rossolimo Negatif Negatif
Interpretasi EKG:
1) Irama Sinus Rhytm
2) HR : 150 x/menit
3) Axis normal
4) Gelombang P normal
5) Kompleks QRS normal
Kesan : Sinus Rithm
9
2. Pemeriksaan Rontgen Thorax
10
Eosinofil : 1,0
Basophil : 0.7
Neutrophil : 75,2
Limfosit : 15,8
Monosit : 7,3
Ratio N/L : 4,8
LED : 49 mm/jam
Kimia Klinik
GDS : 83 mg/dL
Ureum : 37 mg/dL
Kreatinin : 1,4 mg/dL
Natrium : 135 mEq/L
Kalium : 4,7 mEq/L
Imunologi
Antigen SARS-CoV-2 : (-) Negatif
2.9 Resume
Pasien datang ke IGD RSMP mengeluh batuk darah sejak 2 hari
yang lalu SMRS. Pasien juga mengeluh batuk kering sejak ± 3 bulan yang
lalu SMRS. Pasien juga mengeluh sesak nafas memberat jika sedang batuk
dan ketika beraktivitas. Sesak nafas tidak dipengaruhi cuaca dan posisi tidur.
Pasien juga mengeluh sulit menelan. Mual ada tetapi tidak muntah, badan
terasa lemas. Nafsu makan berkurang dan ada penurunan berat badan.
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran compos mentis dengan tekanan darah : 120/80 mmHg, nadi :
73x/ menit, reguler, pernapasan : 21x/ menit, dan temperature : 36,3 oC.
Konjungtiva tidak Anemis dan tidak ikterik. Pada pemeriksaan thoraks,
paru : Statis : Simetris hemithorax kanan kiri, dinamis : pernafasan
thorakoabdominal, sela iga melebar (-), retraksi intercostae (+), benjolan
(-). Stem fremitus apex paru meningkat, tidak teraba adanya massa atau
benjolan, nyeri tekan (-). Sonor pada ICS II sampai ICS IV , Pekak pada
ICS V parasternalis sinistra, peranjakan paru (+). Vesikuler (+/+), rhonki
basah halus (+/+), wheezing (-/-)
11
Pemeriksaan penunjang dilakukan. Pada pemeriksaan darah rutin
didapatkan hemoglobin 10,4 g/dL, Hematokrit 30,4%, trombosit 240.000
u/L, leukosit 6100 u/L. Pada pemeriksaan EKG tanggal 21 mei 2021,
Irama Sinus Rhytm, pada pemeriksaan rontgen didapatkan kesan KP
Aktif. Dan pada pemeriksaan sputum BTA 3x (-) negatif.
2. 11 Tatalaksana
a. Non Farmakologi
Edukasi mengenai penyakit (definisi, penyebab, manifestasi
klinis, tatalaksana, dan prognosis) yang dialami pasien kepada
pasien dan keluarga.
Tirah baring
Kurangi aktivitas fisik
Pasien dianjurkan tidak menahan batuk jika ingin batuk
Terapi gizi (hindari makanan tinggi kolestrol, diet rendah
protein).
b. Farmakologi
1) IVFD NaCl 0,9% gtt 20 x/menit
2) Injeksi asam traneksamat 1 amp/8 jam
3) Injeksi Ranitidine 50 mg/12 jam
4) Injeksi Vit C 1 amp/8 jam
5) Injeksi Vit K 1 amp/8 jam
6) Vitamin B6 1x100 mg
7) Rifampisin 1 x 450 mg
8) Isoniazid 1 x 300 mg
9) Pirazinamid 1 x 1000 mg
12
10) Etambutol 1 x 1000 mg
2.13 Prognosis
- Quo ad vitam : Dubia ad Bonam
- Quo ad fungtionam : Dubia ad Bonam
- Quo ad Sanationam : Dubia ad Bonam
2.14 Follow Up
13
Tanggal Catatan Terapi
22 Mei S: Batuk darah sejak 2 hari yang lalu, dan IVFD NaCl 0.9% gtt 20
2021 sebelumnya mnegeluh batuk kering dan x/menit
sesak nafas terasa nyeri dada ketika Injeksi asam traneksamat
batuk, badan lemas, nafsu makan 1 amp/8 jam
berkurang Injeksi Ranitidine 50
O: KU : Tampak sakit sedang
mg/12 jam
Sensorium: compos mentis
Injeksi Vit C dan Vit K 1
TD: 120/80 mmHg; T : 36,3 0C
amp/8 jam
N : 75x/m reguler; RR: 21x/m
Vitamin B6 1x100mg
- Kepala : Normocephali
- Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera
Ikterik (-/-)
- Leher : dbn
- Thoraks: Simetris statis dan dinamis
tertinggal pada sebelah kiri
- Paru: Stem fremitus kiri melemah
dibandingkan sebelah kanan, pekak
pada parukiri di ICS II parasternalis
sinistra, vesikuler melemah di ICS II
parasternalis, ronki basah halus (-/-),
wheezing (-/-)
- Jantung : dbn
- Abdomen: Cekung (+), Lemas (+)
Tegang (-), Hipopigmentasi (-), nyeri
tekan epigastrium (-), shifting dullness
(+), redup (+), Bising usus (+)
melemah
- Genitalia: Tidak diperiksa
- Ekstremitas : Dalam batas normal
23 Mei S: masih mengeluh batuk kering dan IVFD NaCl 0.9% gtt 20
2021 masih mengeluh sesak nafas dan nyeri x/menit
dada ketika batuk Injeksi asam traneksamat
O: KU : Tampak sakit sedang 1 amp/8 jam
Sensorium: compos mentis Injeksi Ranitidine 50
0
TD: 125/87 mmHg; T : 36,7 C
mg/12 jam
N : 68x/m reguler; RR: 20x/m
Injeksi Vit C dan Vit K 1
- Kepala : Normocephali
amp/8 jam
- Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera
Vitamin B6 1x100mg
Ikterik (-/-)
14
Rifampisin 1 x 450 mg
- Leher : dbn
Isoniazid 1 x 300 mg
- Thoraks: Simetris statis dan dinamis
Pirazinamid 1 x 1000 mg
tertinggal pada sebelah kiri
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Hemoptisis
3.1.1 Definisi
Hemoptisis adalah ekspektorasi darah dari saluran napas. Darah
bervariasi dari dahak disertai bercak/lapisan darah hingga batuk berisi
darah saja.7 Hemoptisis atau batuk darah ialah darah atau dahak berdarah
yang dibatukkan, berasal dari saluran pernapasan bagian bawah (mulai
dari glottis kearah distal).6
Hemoptisis adalah Ekspektorasi darah akibat perdarahan pada
saluran nafas dibawah laring, atau perdarahan yang keluar ke saluran nafas
di bawah laring. Batuk darah lebih sering merupakan tanda atau gejala
dari penyakit dasar sehingga etiologinya harus dicari melalui pemeriksaan
yang seksama.8
3.1.2 Klasifikasi
Berdasarkan tingkat kuantitas darah hemoptosis dibagi menjadi
hemopotsis masif dan tidak masif.
Hemoptosis massif : 100 - 1000 ml dalam 24 jam3 Kriteria
hemoptisis masif yang sebagai berikut:
1. Batuk darah sedikitnya 600 ml/24 jam.
2. Batuk darah volume antara 250-600 ml/24 jam pada pasien
dengan kadar Hb<10g/dL dan masih terus berlangsung.
3. Batuk darah volume antara 250-600 ml/24 jam pada pasien
kadar Hb>10 g/dL sedangkan dalam pengamatan 48 jam
masih belum berhenti. 9
Hemoptosis non massif jika darah yang keluar kurang dari 100-200
ml per 24 jam. Termasuk didalamnya adalah bercak, atau streaking adalah
darah yang bercampur sputum, dan volume nya kurang dari 15-20 ml /
jam. Sedangkan pseudohemoptosis adalah batuk darah dari saluran
pernafasan atas (diatas laring) atau dari saluran cerna atas
(Gastrointestinal). 10
15
3.1.3 Etiologi
Etiologi dari hemoptisis bervariasi, namun secara garis besar dapat
dibagi menjadi tiga, yaitu penyakit saluran nafas, penyakit parenkimal,
dan penyakit vaskuler. Perdarahan dapat berasal dari pembuluh darah
besar maupun kecil. Perdarahan dari pemburuh darah kecil biasanya
bersifat fokal atau difus alveolar, paling sering disebabkan oleh penyakit
imunologi, vaskulitis, kardiovaskular, dan gangguan koagulasi. Penyebab
perdarahan dari pembuluh darah besar biasanya disebabkan oleh infeksi,
kardiovaskular, kongenital, neoplasma, dan penyakit vaskulitis. Namun
penyebab tersering hemoptisis adalah bronkiektasis, tuberkulosis, kanker,
dan infeksi jamur. Perdarahan bisa berasal dari arteri pulmonal maupun
arteri bronkial. Sekitar 90% dari hemoptisis masif disebabkan oleh
perdarahan dari arteri bronkial karena memiliki tekanan yang lebih tinggi
dibandingkan arteri pulmonal. Hemoptisis dari arteri pulmonal dapat
disebabkan oleh penyakit yang menyebabkan nekrosis, seperti
tuberkulosis, abses paru, aspergilosis, dan karsinoma.11
Infeksi seperti tuberkulosis, staphylococcus, klebsiella,
legionella), jamur, virus
Kelainan paru seperti bronchitis, bronkiektasis, emboli
paru, kistik fibrosis, emfisema bulosa
Neoplasma : kanker paru, adenoma bronchial, tumor
metastasis
Kelainan hematologi : disfungsi trombosit,
trombositopenia, disseminated intravascular coagulation
(DIC)
Kelainan jantung : mitral stenosis, endokarditis tricuspid
Kelainan pembuluh darah : hipertensi pulmoner,
malformasi arterivena, aneurisma aorta
Trauma : jejas toraks, rupture bronkus, emboli lemak
Iatrogenik : akibat tindakan bronkoskopi, biopsi paru,
kateterisasi swan-ganz, limfangiografi
16
Kelainan sistemik : sindrom goodpasture, idiopathic
pulmonary hemosiderosis, systemic lupus erytematosus,
vaskulitis (granulomatosis wagener, purpura henoch
schoenlein, sindrom chrug-strauss)
Obat / toksin : aspirin, antikoagulan, penisilamin, kokain
Lain-lain : endometriosis, bronkiolitiasis, fistula
bronkopleura, benda asing, hemoptysis, kriptogenik,
amyloidosis. 12
Secara umum penyebab penyebab batuk darah dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
3.1.4 Patofisiologi
Sumber perdarahan hemoptisis dapat berasal dari sirkulasi
pulmoner atau sirkulasi bronkial. Hempotisis masif sumber perdarahan
umumnya berasal dari sirkulasi bronkial (95 %). Sirkulasi pulmoner
memperdarahi alveol dan duktus alveol, sistem sirkulasi ini bertekanan
rendah dengan dinding pembuluh darah yang tipis. Sirkulasi bronkial
memperdarahi trakea, bronkus utama sampai bronkiolus dan jaringan
penunjang paru, esofagus, mediastinum posterior dan vasa vasorum arteri
pulmoner. Sirkulasi bronkial ini terdiri dari arteri bronkialis dan vena
17
12
bronkialis. Asal anatomis perdarahan berbeda tiap proses patologik
tertentu:
(a) Bronkitis: akibat pecahnya pembuluh darah superfisial di
mukosa, mukosa bronkus yang sembab akibat infeksi dan timbulnya batuk
yang keras dan menyebabkan batuk darah. 12,13
(b) TB paru: terjadi kerusakan parenkim paru dan pembuluh darah
bronkial, terjadi desktruksi inflamasi lokal, saat terjadi inflamasi
pembuluh darah mudah pecah. Timbulnya kavitas dan pneumonitis
mengakibatkan ulserasi bronkus dan nekrosis pembuluh darah di
sekitarnya dan pebulu darah bagian distal menyebabkan pembuluh darah
mudah pecah. Dapat juga terjadi karena akibat robekan atau ruptur
aneurisma arteri pulmoner (dinding kaviti “aneurisma Rassmussen”). 2,13
(c) Infeksi kronik: terdapat inflamasi pada bronkus sehingga terjadi
pembesaran & proliferasi arteri bronchial, yang menyebabkan dilatasi
pada bronkus menjadi tipis. Seperti : bronkiektasis, aspergilosis atau
fibrosis kistik.12,13
(d) Kanker paru: akibat pembuluh darah yg terbentuk rapuh
sehingga mudah berdarah.12,13
3.1.5 Diagnosis
a. Anamnesis
Petunjuk pasien sangat berguna untuk membedakan hemoptisis
dari hematemesis.14 Yang perlu ditanyakan saat anamnesis antara lain:
jumlah dan warna darah yang dibatukkan, lamanya perdarahan, bersifat
produktif atau tidak, batuk terjadi sebelum atau sesudah perdarahan,
adanya nyeri dada, nyeri substernal atau nyeri pleuritik dan riwayat
penyakit jantung.15
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengetahui perkiraan penyebab
penyakit.
1) Demam: merupakan tanda peradangan
2) Auskultasi: kemungkinan menonjolkan lokasi, ronki menetap,
wheezing lokal, kemungkinan penyumbatan oleh Ca atau bekuan darah.
3) Friction rub: emboli paru atau infark paru.
18
4) Clubbing: bronkiektasis, neoplasma.16
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Darah rutin: terutama digunakan untuk melihat kadar hemoglobin
untuk mengetahui ada tidaknya anemia akibat hemoptisis.
2) Foto polos toraks: adanya gambaran opasitas pada foto toraks posisi
PA dan lateral menunjukkan tempat perdarahannya.15
3) Bronkoskopi
Pada hemoptisis masif, bronkoskopi memungkinkan identifikasi dan
terapi lokal pada titik perdarahan.
4) Pemeriksaan dahak
Pemeriksaan dahak baik secara bakteriologi maupun sitologi
(bahan dapat diambil dari dahak dengan pemeriksaan bronkoskopi atau
dahak langsung) 15,16
3.1.6 Tatalaksana
1. Mencegah terjadinya aspirasi
- Prioritas utama adalah menjaga jalan napas tetap terbuka agar
tidak terjadi aspirasi. Karena tujuan utama tatalaksana hemoptisis adalah
menjaga keamanan dari saluran nafas. Darah dalam jumlah banyak di
bronkial dapat mengganggu fungsi paru dalam pertukaran gas. Saturasi
oksigen sebaiknya dipantau pada pasien dengan hemoptysis.
- Lakukan pemantauan hemodinamik dan oksigenasi, bila tidak
stabil segera lakukan resusitasi cairan, beri transfusi dan lakukan intubasi
- Pasang infus intravena 2 jalur untuk rute masuk cairan,
medikamentosa dan transfusi darah bila diperlukan
- Ambil sampel darah untuk pemeriksaan lab yang diperlukan lalu
koreksi bila ada kelainan
- Setelah stabil oksigen dan hemodinamik stabil dapat dilakukan
CT Scan toraks atau bronkospi setelah dipasang intubasi untuk mencari
etiologi. 1,5
2. Menghentikan Perdarahan
Double Lumen Endotracheal Intubation
19
Intubasi dengan double lumen endotracheal dapat dilakukan pada
keadaan hemoptisis masif dengan ancaman gagal nafas untuk mencegah
aspirasi. Intubasi dilakukan untuk ventilasi paru yang tidak tertutup oleh
darah dan mencegah terjadinya aspirasi darah ke paru tersebut. Setelah itu,
dapat dilakukan suction pada paru dengan perdarahan aktif. Setelah
dilakukan intubasi, bronkoskopi masih dapat dilakukan menggunakan
bronkoskop flexible. Intubasi ini bersifat life saving yang segera dilakukan
di Instalasi Gawat Darurat dan bersifat sementara sambil menunggu
prosedur lain untuk menghentikan perdarahan.
Asam Traneksamat
Obat antifibrinolitik ini sering digunakan untuk pasien dengan
perdarahan mukosa atau pasien dengan gangguan pembekuan darah.
Penelitian oleh Wong dkk melaporkan bahwa asam traneksamat ini efektif
pada pasien dengan hemoptisis akibat cystic fibrosis yang gagal dengan
Tatalaksana Intervensi
- Bronkoskopi: Bronkoskopi dilakukan dengan melakukan insersi
endotrakeal tube dengan diameter setidaknya 8 mm. Pada keadaan dengan
hemoptisis masif, sebaiknya menggunakan bronkoskopi tipe rigid karena
dapat mempertahankan patensi saluran nafas dan memiliki kemampuan
menyedot lebih kuat. Bronkoskope tipe rigid ini hanya dapat dilakukan di
ruang operasi dengan anestesi umum atau sedasi.
- Cold Saline Lavage: Dapat dilakukan dengan lavage dengan
cairan saline/NaCl dingin dengan suhu 4 ̊C dan volume sekitar 300-750
ml. Cairan saline dingin ini dapat menghentikan perdarahan pada 12 pasien
20
dengan hemoptisis masif sehingga pasien tidak perlu dilakukan terapi
pembedahan.
-Topical Vasoconstrictive Agent: Pemberian agen vasokonstriktor
topikal pada saluran nafas merupakan cara yang efektif pada perdarahan
ringan. Agen yang digunakan adalah injeksi epinefrin yang dicairkan
menjadi 1:20.000 yang diinjeksi melalui jalur fiberoptik bronkoskopi
untuk vasokonstriksi dan menghentikan perdarahan. Penggunaan epinefrin
ini tidak disarankan untuk hemoptisis masif, karena obat akan terdilusi dan
hanyut akibat darah yang banyak. Efek samping tindakan ini adalah
takiaritmia dan hipertensi. Ornipressin atau terlipresin topikal dapat
digunakan selain epinefrin untuk efek samping kardiovaskular lebih
minimal.
- Endobronkial tamponade: Teknik ini menggunakan kateter
berujung balon untuk menutup bronkus dengan perdarahan aktif. Ada
beberapa jenis kateter yang dapat digunakan, yaitu kateter Folley dan
kateter Fogarty. Kateter Folley hanya dapat masuk melalui bronkoskopi
tipe rigid , sehingga hanya dapat mencapai bronkus utama saja. Kateter
Fogarty memiliki diameter yang lebih kecil dan dapat dipasang
menggunakan bronkoskopi flexible.
3.1.7 Komplikasi
- Asfiksia
- Syok hipovolemik
- Anemia
- Atelektasis
3.2 Tuberculosis
3.2.1 Definisi
Tuberkulosis merupakan infeksi bakteri kronik yang disebabkan
oleh mycobacterium tuberculosis yang ditandai oleh pembentukan
granuloma pada jaringan yang terinfeksi dan oleh hipersensitifitas yang
diperantarai sel atau Cellmediated hypersensitivity penyakit biasanya
terletak di Paru tetapi dapat mengenai organ lain dengan tidak adanya
pengobatan yang efektif untuk penyakit yang aktif biasa terjadi perjalanan
yang kronis dan berakhir dengan kematian. Keluhan yang dirasakan
21
pasien tuberkulosis dapat bemacam-macam atau malah banyak pasien
ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan
kesehatan. Keluhan yang terbanyak adalah : 17,18
Batuk/batuk darah. Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi
karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang
produk-produk radang keluar. Karena terlibatnya bronkus pada setiap
penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit
berkembang dalam jaringan paru yakni setelah berminggu-minggu atau
berbulan-bulan peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering
(non- produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif
(menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah
karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah
pada tuberkulosis terjadi pada kavitas, tetapi dapatjuga terjadi pada ulkus
dinding bronkus.
Sesak napas. Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum
dirasakan sesak napas. Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang
sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.
Nyeri dada. Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul
bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan
pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien
menarik/melepaskan napasnya.
Malaise. Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun.
Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan,
badan makin kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot,
keringatmalam dll. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi
hilang timbul secara tidak teratur.
3.2.2 Klasifikasi
Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena :
1. Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang parenkim paru,
tidak termasuk pleura dan kelenjar pada hilus.
2. Tuberkulosis ekstra paru
22
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya
pleura, selaput otak, perikardium, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal,
saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. 19,20
3.2.3 Patofisiologi
Tuberkulosis Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran nafas akan
bersarang di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneunomi,
yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin
timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi.
Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju
hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran
kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer
bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks
24
primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai
berikut:7
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad
integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon,
garis fibrotic, sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara:
a. Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya.
Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian
penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus
yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas
bersangkutan, dengan akibat atelectasis. Kuman tuberkulosis akan
menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelectasis
dan menimbulkan peradangan pada lobus yang atelectasis tersebut, yang
dikenal seperti epituberkulosis.
b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun
ke paru sebelahnya atau tertelan.
c.Penyebaran secara hematogen dan limfogen.
Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan
virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan,
akan tetapi bila tidak terdapat imunitas yang adekuat, penyebaran ini akan
menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis
tuberkulosis, atau typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat
menimbulkan tuberculosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang,
ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin
berakhir sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan
terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis tuberkuloma)
atau meninggal.19
26
Skema perkembangan sarang tuberkulosis postprimer
dan perjalanan penyembuhannya
3.2.4 Diagnosis
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik,
pemeriksaan fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan
pemeriksaan penunjang lainnya.
A. Gejala klinik
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu
gejala lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka
gejala lokal ialah gejala respiratorik (gejala lokal sesuai organ yang
terlibat).
1. Gejala respiratorik
a. batuk-batuk lebih dari 2 minggu
b. batuk darah
c. sesak napas
d. nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala
sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien
terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat
dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk.
Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk
diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
2. Gejala sistemik
a. Demam
27
b. Gejala sistemik lain : malaise, keringat malam, anoreksia, berat
badan menurun.
3. Gejala tuberkulosis ekstra paru
Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat,
misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang
lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis
tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis
tuberkulosa terdapat gejala sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi
yang rongga pleuranya terdapat cairan.
B. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang akan dijumpai tergantung
dari organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat
tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan perkembangan
penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan
paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah
apeks dan segmen posterior (S1 & S2), serta daerah apeks lobus inferior
(S6). Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara napas
bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda
penarikan paru, diafragma & mediastinum.
Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung
dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak,
pada auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada
sisi yang terdapat cairan. Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat
pembesaran kelenjar getah bening, tersering didaerah leher (pikirkan
kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah ketiak.
Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold abscess”.
C. Pemeriksaan Bakteriologik
1.
Bahan pemeriksaan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis
mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan
untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan
pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
28
bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, feses dan jaringan
biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)
2.
Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):
a. Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
b. Pagi (keesokan harinya)
c. Sewaktu (pada saat mengantarkan dahak pagi) atau setiap pagi 3 hari
berturut-turut.
3. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain.
Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain
(cairan pleura, cairan serebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung,
kurasan bronkoalveolar/BAL, urin, feses dan jaringan biopsi, termasuk
BJH) dapat dilakukan dengan cara :
a. Pemeriksaan mikroskopik :
Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen
Mikroskopik fluoresens : pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya
untuk screening) lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali
pemeriksaan ialah bila :
1. 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif : BTA positif
2. 1 kali positif, 2 kali negatif : ulang BTA 3 kali kecuali bila ada
fasilitas foto toraks, kemudian
bila 1 kali positif, 2 kali negatif : BTA positif
bila 3 kali negatif : BTA negatif
Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala
IUATLD (rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union
Against Tuberculosis and Lung Disease):
1. Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif
2. Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman
yang ditemukan.
3. Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+).
4. Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+).
5. Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+).
Interpretasi hasil dapat juga dengan cara Skala Bronkhorst (BR):
29
1. BR I : ditemukan 3-40 batang selama 15 menit pemeriksaan.
2. BR II : ditemukan sampai 20 batang per 10 lapang pandang.
3. BR III : ditemukan 20-60 batang per 10 lapang pandang.
4. BR IV : ditemukan 60-120 batang per 10 lapang pandang.
5. BR V : ditemukan > 120 batang per 10 lapang pandang.
D. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas
indikasi: foto lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto
toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk
(multiform).
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif:
o Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas
paru dan segmen superior lobus bawah.
o Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak
berawan atau nodular.
o Bayangan bercak milier.
o Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif:
o Fibrotik
o Kalsifikasi
30
o Schwarte atau penebalan pleura
3.2.5 Tatalaksana
Terdapat 2 macam aktifitas/sifat obat terhadap TB yaitu
aktivitas bakterisid di mana obat bersifat membunuh kuman–
kuman yang sedang tumbuh (metabolismenya masih aktif) dan
aktivitas sterilisasi, obat bersifat membunuh kuman-kuman yang
pertumbuhannya lambat (metabolismenya kurang aktif). Aktivitas
bakterisid biasanya diukur dari kecepatan obat tersebut
membunuh/melenyapkan kuman sehingga pada pembiakan akan
didapatkan hasil yang negatif (2 bulan dari permulaan
pengobatan). Aktivitas sterilisasi diukur dari angka kekambuhan
setelah pengobatan dihentikan. Hampir semua OAT mempunyai
sifat bakterisid kecuali Etambutol dan Tiasetazon yang hanya
bersifat bakteriostatik dan masih berperan untuk mencegah
resistensi kuman terhadap obat. Rifampisin dan Pirazinamid
mempunyai aktivitas sterilisasi yang baik, sedangkan INH dan
Streptomisin menempati urutan lebih bawah.23,24
Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah: INH
Rifampisin, Pirazinamin, Streptomisin, Etambutol. 22,23
31
OAT Dosis
Harian 3x / minggu
Kisaran dosis Maksimal Kisaran dosis Maksimal/hari
(mg/kg bb) (mg) (mg/kg bb) (mg)
Rifampisin 10 (8 – 12) 600 10 (8 – 12) 600
Isoniazid 5 (4 – 6) 300 10 (8 – 12) 900
Pirazinamid 25 (20 – 30) 600 35 (30 – 40) 600
Etambutol 15 (12 – 18) 600 15 (12 – 18) 600
Streptomisin 15 (15 – 20) 600 30 (25 – 35) 1000
Tabel 2. Kisaran Dosis OAT Lini Pertama bagi Pasien Dewasa
Pengobatan Suportif
Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya.
Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat, pasien dapat
32
dibeikan rawat jalan. Selain OAT kadang perlu pengobatan tambahan
atau suportif/simptomatis untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau
mengatasi gejala/keluhan.
- Pasien rawat jalan
a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan
vitamin tambahan (pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk
pasien tuberkulosis, kecuali untuk penyakit komorbidnya)
b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam
c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak
napas atau keluhan lain.
- Pasien rawat inap
Indikasi rawat inap: TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :
Batuk darah massif, Keadaan umum buruk, Pneumotoraks, Empiema,
Efusi pleura masif / bilateral, Sesak napas berat (bukan karena efusi
pleura).23
33
3.2.6 Komplikasi
Penyakit tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan
benar akan menimbulkan komplikasi. Komplikasi dibagi atas
komplikasi dini dan komplikasi lanjut. Komplikasi dini: pleuritis,
efusi pleura, empiema, laringitis, usus, Poncet's arthropathy
Komplikasi lanjut: Obstruksi jalan napas ->SOPT (Sindrom
Obstruksi Pasca Tuberkulosis), kerusakan parenkim berat->
fibrosis paru, kor pulmonal , amiloidosis, karsinoma paru,
sindrom gagal napas dewasa (ARDS), sering terjadi pada TB
milier dan kavitas TB.
BAB IV
ANALISA KASUS
35
mengalami anoreksia akibat proses peradangan yang sedang terjadi,
sehingga asupan nutrisi berkurang.
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit
sedang, kesadaran compos mentis dengan tekanan darah : 120/80
mmHg, nadi : 73x/ menit, reguler, pernapasan : 21x/ menit, dan
temperature: 36,3 °C. Anemis dan sklera ikterik pada pasien tidak
dijumpai, Pada pemeriksaan thoraks, paru Statis: Statis : Simetris
hemithorax kanan kiri, dinamis : pernafasan thorakoabdominal, sela iga
melebar (-), retraksi intercostae (+), benjolan (-)
Menurut teori pada pemeriksaan fisik pasien sering tidak
menunjukkan suatu kelainan pun terutama pada kasus-kasus dini atau
yang sudah terinfiltrasi secara asimtomatik. Demikian juga bila sarang
penyakit terletak di dalam, akan sulit menemukan kelainan pada
pemeriksaan fisis, karena hantaran getaran/suara yang lebih dari 4 cm ke
dalam paru sulit dinilai secara palpasi, perkusi dan auskultasi. Secara
anamnesis dan pemeriksaan fisis, TB paru sulit dibedakan dengan
pneumonia biasa. Bila tuberkulosis mengenai pleura, sering terbentuk
efusi pleura. Paru yang sakit terlihat agak tertinggal dalam pernapasan.
Perkusi memberikan suara pekak. Auskultasi memberikan suara napas
yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali.
Pemeriksaan penunjang dilakukan. Pada pemeriksaan darah
rutin, ditemukan hemoglobin (10,4), Hematokrit 30,4%. Pada
pemeriksaan EKG tanggal 21 mei 2021, Irama Sinus Rhytm, pada
pemeriksaan rontgen didapatkan kesan KP Aktif tersangka. Dari hasil
pemeriksaan sputum SPS, dijumpai BTA negatif pada ketiga
pemeriksaan. Pada kasus ini, walaupun dijumpai hasil sputum BTA
negatif, namun diagnosis TB paru belum tentu dapat disingkirkan karena
hasil pemeriksaan klinis dan radiologi mendukung ke arah TB paru.
Sesuai dengan teori, berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB paru
dibagi atas TB paru BTA (+) dan TB paru BTA (-). Dikatakan TB paru
BTA (-) apabila hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA
negatif, gambaran klinis dan kelainan radiologi menunjukkan
36
tuberkulosis aktif atau hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan
BTA negatif dan biakan M. Tuberculosis.
Tatalaksana pada pasien ini dibagi menjadi 2 yaitu, terapi non
farmakologis dan farmakologis. Terapi non farmakologis berupa
Edukasi mengenai penyakit, tirah baring, kurangi aktivitas fisik, terapi
gizi (hindari makanan tinggi kolestrol, diet rendah protein), Sedangkan
untuk terapi farmakologis yang diberikan pada kasus ini adalah : IVFD
NaCl 0,9% gtt 20 x/menit, Injeksi asam traneksamat 1 amp/8 jam, Inj
Ranitidine 50 mg/12 jam, Inj Vit C 1 amp/8 jam, Inj Vit K 1 amp/8 jam,
Vitamin B6 1x100 mg, Rifampisin 1 x 450 mg, Isoniazid 1 x 300 mg,
Pirazinamid 1 x 1000 mg.
BAB V
KESIMPULAN
37
1. Hemoptisis atau batuk darah adalah darah atau dahak berdarah yang
dibatukkan, berasal dari saluran pernapasan bagian bawah (mulai dari
glottis kearah distal). Penderita yang mengalami batuk darah
memerlukan pertolongan segera dan pengawasan medis karena
sewaktu-waktu dapat terjadi perdarahan massif yang berakibat fatal.
2. Tuberkulosis merupakan infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh
mycobacterium tuberculosis yang ditandai oleh pembentukan
granuloma pada jaringan yang terinfeksi dan oleh hipersensitifitas
yang diperantarai sel atau Cell mediated hypersensitivity penyakit
biasanya terletak di Paru tetapi dapat mengenai organ lain dengan
tidak adanya pengobatan yang efektif untuk penyakit yang aktif biasa
terjadi perjalanan yang kronis dan berakhir dengan kematian.
3. Tatalaksana pada pasien ini dibagi menjadi 2 yaitu, terapi non
farmakologis dan farmakologis yang bertujuan untuk mengurangi
morbiditas dan sebagai preventif dan pencegahan perburukan dari
hemoptisis.
38
DAFTAR PUSTAKA
39
15. Pitoyo CW. 2006. Hemoptisis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi
I,Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam, jilid
II,edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
16. PAPDI. 2006. Hemoptisis. Dalam: Rani Aziz, Sugondo Sidartawan, Nasir Anna
U.Z., Wijaya Ika Prasetya, Nafrialdi, Mansyur Arif. Panduan pelayanan medik.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
17. Amin. Z. ManifestasiKlinis dan Pendekatan pada
PasiendenganKelainanSistemPernafasan. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 6th ed. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2015. 1585
18. Goodman & Gilman, 2012, Dasar Farmakologi Terapi, Edisi 10, Editor Joel. G.
Hardman & Lee E. Limbird, Konsultan Editor Alfred Goodman Gilman,
Diterjemahkan oleh Tim Alih Bahasa Sekolah Farmasi ITB, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta
19. Zulkifli A, Asril B. Tuberkulosis paru. Dalam: Ilmu penyakit dalam. Jilid III.
Edisi V. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2009.
20. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta, 2007
21. PDPI. Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksanaan Tuberkulosis Di Indonesia.
Perhimpuan Dokter Paru Indonesia. 2006.
22. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Kementrian Kesehatan
Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2014.
23. Bahar, A. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta :
BPFKUI; 2009; 3(5). 2230-2239.
24. World Health Organization (WHO). Global Tuberculosis Report, Switzerland.
2015.
40