Anda di halaman 1dari 40

RESUME KASUS

Uraian Kasus : Seorang Laki-laki Tn.H usia 45 tahun dirawat di ruang penyakit dalam dengan
diagnosa SLE dengan komplikasi kerusakan ginjal stadium akhir. Hasil pemeriksaan fisik
didapatkan bengkak (odem anasarka / bengkak seluruh tubuh) dan anuria (kencing tidak keluar).
Hasil pemeriksaan laboratorium : BUN 90 mg/dl, kreatinin 7,2 mg/dl, tidak nafsu makan,
frekuensi makan habis setelah porsi, kulit teraba hangat, berat badan turun sebelum sakit 60 kg
setelah sakit 55 kg, lemas, wajah tampak pucat, merasa lemah, merasa lelah, tekanan darah
berubah, sianosis pusing, mual muntah, bising usus melemah Hb 10 g/dl, TD : 90/60 mg/dl, N :
60 x/menit, RR : 22 x/menit, Suhu : 36,5 C

Data Fokus
S : (Data Subjektif Pasien)
- Px mengatakan merasa seluruh tubuhnya bengkak, kencing tidak keluar.
- Px mengatakan tidak nafsu makan, lemas, pusing, mual-muntah
- Px mengatakan merasa lemah, tekanan darah berubah, sianosis
O : (Data Objektif Pasien
 Bengkak (odem anasarca / bengkak seluruh tubuh) dan anuria (kencing tidak
keluar).
 Tidak nafsu makan,
 Berat badan turun dari 60 kg menjadi 55 kg.
 Lemas
 Merasa lemah.
 Tekanan darah berubah.
 Sianosis.
 Pusing.
 Mual-muntah dan sangat lemas.
 Hb : 10 g/dl
 TD : 90/60 mmHg
 N : 90 x/menit
 RR : 22 x/menit
 Suhu : 36,5 C

A. Hasil Pemeriksaan Penunjang Medis :


1. Laboratorium : BUN : 90 mg/dl , Kretinin : 7,2 mg/dl
2. Rontgen : Tidak Ada
3. ECG : Tidak Ada
4. USG : Pembengkakan ginjal kanan dan kiri
a. Ginjal Kiri

b. Ginjal Kanan

5. Lain-lain :
B. Diagnosa Medis : SLE

C. Diagnosa Keperawatan Yang Muncul :


1. Prioritas 1 : Hipervolemia
2. Prioritas 2 : Defisit Nutrisi
3. Prioritas 3 :Intoleransi Aktivitas

Mengetahui Tulungagung, 06 September 2021


Pembimbing Mahasiswa

(Anis Murniati., S.Kep., Ners., M.Biomed) (.PRILA TINA RAHAYU)


NIDN. 00-2308-8506 NIM. A2R17026

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN


DENGAN KASUS SLE DI RUANG PENYAKIT DALAM
Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Praktek
Klinik Profesi Ners Dengan Metode Daring Mata Kuliah KMB I Minggu Ke-2
Dosen Pembimbing : Ibu Anis Murniati, S.Kep, Ners, M.Biomed

Oleh:

PRILA TINA RAHAYU


NIM. A2R17026

PROGRAM STUDI SARJANA ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
“HUTAMA ABDI HUSADA”
TULUNGAGUNG
2021

LAPORAN PENDAHULUAN SLE


A. Definisi
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun bersifat sistemik yang
terkait dengan adanya autoantibodi terhadap komponen inti sel (Buyon, 2008).
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) atau Lupus Eritematosus Sistemik merupakan
penyakit radang multisystem yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit
yangmungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi, disertai oleh
terdapatnya berbagai macam antibody dalam tubuh (Tjokronegoro & Utama, 1996).
Semula Lupus digambarkan sebagi suatu gangguan kulit pada sekitar tahun 1800-an , dan
diberi nama lupus karena sifat ruamnya yang berbentuk kupu-kupu, melintasi tonjolan
hidung dan meluas pada kedua pipi yang menyerupai gigitan serigala. Lupus adalah kata lain
dalam Bahasa latin yang berarti serigala. Lupus discoid adalah nama sekarang yang
diberikan pada penyakit ini apabila kelainannya hanya terbatas pada gangguan kulit ((Price
& Wilson, 2005).
SLE adalah suatu kelompok penyakit jaringan ikat difus yang etiologinya belum
diketahui secara jelas. Kelompok ini meliputi SLE, scleroderma, polimiositis, atritis
rheumatoid, dan sindrom sjogren. SLE dapat bervariasi dari suatu gangguan ringan sampai
gangguan yang bersifat fulminan dan mematikan. Namun demikian keadaan yang paling
sering ditemukan adalah keadaan eksaserbasi atau remisi yang berlangsung dalam waktu
yang lama.
Systemic Lupus Erithematosus (SLE) merupakan penyakit autoimun dengan spektrum
bervariasi dan melibatkan berbagai organ. Penyakit ini merupakan sindrom klinis yang
didasari disregulasi sistem imun dan ditandai oleh pembentukan auto-antibodi antinukleus
(ANA), terutama anti dsDNA yang selanjutnya akan membentuk kompleks imun dan terjadi
inflamasi serta kerusakan jaringan.
Pada anak, insidens SLE mencapai 10-20 kasus per 100.000 anak dan umumnya lebih
sering ditemukan pada anak perempuan di atas usia 10 tahun. Secara keseluruhan, gejala
klinis pasien SLE, 15%-17% timbul pada umur di bawah 16 tahun dengan puncak insidens
pada umur 10-14 tahunm sangat jarang muncul di bawah usia 4 tahun. Insidens pasti SLE
pada anak sulit ditentukan, (missed-diagnosis) (Sari Pediatri, 2016).

B. Etiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh
kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan
penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari,
luka bakar termal).
Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui. Diduga faktor genetik, infeksi dan
lingkungan ikut berperan pada patofisiologi SLE. Sistem imun tubuh kehilangan
kemampuan untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan
reaksi imunologi ini akan menghasilkan antibodi secara terus menerus. Antibody ini juga
berperan dalam pembentukan kompleks imun sehingga mencetuskan penyakit inflamasi
imun sistemik dengan kerusakkan multiorgan. Dalam keadaan normal, sistem kekebalan
berfungsi mengendalikan pertahanan tubuh dalam melawan infeksi.
Pada lupus dan penyakit autoimun lainnya, sistem pertahanan tubuh ini berbalik melawan
tubuh, dimana antibodi yang dihasilkan menyerang sel tubuhnya sendiri. Antibodi ini
menyerang sel darah, organ dan jaringan tubuh, sehingga terjadi penyakit menahun.
Mekanisme maupun penyebab dari penyakit autoimun ini belum sepenuhnya dimengerti
tetapi diduga melibatkan faktor lingkungan dan keturunan. Beberapa faktor lingkungan yang
dapat memicu timbulnya lupus: infeksi, antibiotik (terutama golongan sulfa dan penisilin),
sinar ultraviolet, stres yang berlebihan, obat-obatan tertentu, dan hormon.
Meskipun lupus diketahui merupakan penyakit keturunan, tetapi gen penyebabnya tidak
diketahui. Penemuan terakhir menyebutkan tentang gen dari kromosom 1. Hanya 10% dari
penderita yang memiliki kerabat (orang tua maupun saudara kandung) yang telah maupun
akan menderita lupus. Statistik menunjukkan bahwa hanya sekitar 5% anak dari penderita
lupus yang akan menderita penyakit ini. Lupus seringkali disebut sebagai penyakit wanita
walaupun juga bisa diderita oleh pria. Lupus bisa menyerang usia berapapun, baik pada pria
maupun wanita, meskipun 10-15 kali lebih sering ditemukan pada wanita. Faktor hormonal
mungkin bisa menjelaskan mengapa lupus lebih sering menyerang wanita. Meningkatnya
gejala penyakit ini pada masa sebelum menstruasi dan/atau selama kehamilan mendukung
keyakinan bahwa hormon (terutama estrogen) mungkin berperan dalam timbulnya penyakit
ini.
Faktor predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini. Diantara
beberapa faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui faktor yang paling
dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini. Berikut ini beberapa faktor predisposisi
yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE menurut Musai (2010):
a. Faktor Genetik

Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul
produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk menderita SLE telah
ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak kembar
dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko terjadinya
SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki saudara dengan
penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi umum.
Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang
memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II
khususnya HLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan
timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen komplemen merupakan
salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang
dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah
dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen reseptor 1, akan berisiko
lebih tinggi menderita SLE.
Diketahui peneliti dari Australian National University (ANU) di Canberra
berhasil mengidentifikasikan untuk pertama kalinya penyebab genetik dari penyakit
lupus. Dengan pendekatan yang digunakan melalui pemeriksaan DNA, tim peneliti
berhasil mengidentifikasi penyebab khusus penyakit lupus yang diderita pasien yang
diteliti. Penyebabnya adalah adanya peningkatan jumlah molekul tertentu yang disebut
interferon-alpha.
b. Faktor Imunologi

Pada lupus enteritis terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu:
1. Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting Cell) akan
memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa reseptor yang
berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur maupun fungsinya
sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan
reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari
sel T.
2. Kelainan intrinsik sel T dan sel B

Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan
teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk
autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit
mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan
autoantibodi menjadi tidak normal.
3. Kelainan antibodi Terdapat beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE,
seperti substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan
memicu limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya
peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah mengendap di
jaringan.
c. Faktor Hormonal

Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa studi
menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang tinggi.
Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal dapat
dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE.
d. Faktor Lingkungan

Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi dalam tubuh
dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri dari:
1. Infeksi virus dan bakteri

Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya SLE.
Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri Streptococcus
dan Clebsiella.
2. Paparan sinar ultra violet

Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi menjadi
kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat. Hal ini
menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi
inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah.
3. Stress
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan
terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan
mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada gangguan
sejak awal.
4. Obat-obatan Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat
menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang dapat
menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid,
dan isoniazid. (Musai, 2010)

C. Manifestasi Klinis
Diagnosis SLE di Indonesia mengacu pada kriteria diagnosis ACR 1997 revisi. Diagnosis
SLE dapat ditegakkan jika memenuhi minimal 4 dari 11 kriteria ACR untuk SLE
(Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011)
Tabel 1. Kriteria diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik
Kriteria Batasan
Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada
daerah malar dan
cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial.
Ruam diskoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan
sumbatan folikular. Pada SLE lanjut dapat
ditemukan parut atrofik
Fotosensitifitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal
terhadap sinar matahari, baik dari anamnesis pasien
atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa.
Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri
dan dilihat oleh dokter pemeriksa.
Artritis Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih
sendi perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak
atau efusia.
Serositis: Pleuritis atau Perikarditis Riwayat nyeri pleuritk atau pleuritc friction rub
yang didengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat
bukti efusi pleura.
Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial
friction rub atau terdapat bukti efusi perikardium.
Gangguan renal a. Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau
>3+ bila tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif
b. Silinder seluler: dapat berupa silinder eritrosit,
hemoglobin, granular, tubular atau campuran.
Gangguan neurologi a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-
obatan atau gangguan metabolic (misalnya
uremia, ketoasidosis, atau ketidakseimbangan
elektrolit).
b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-
obatan atau gangguan metabolic (misalnya
uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan
elektrolit).
Gangguan hematologik a. Anemia hemolitik dengan retikulosis
b. Lekopenia <4.000/mm3 pada dua kali
pemeriksaan atau lebih
c. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali
pemeriksaan atau lebih
d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa
disebabkan oleh obat-obatan
Gangguan imunologik a. Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA
dengan titer yang abnormal
b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap
antigen nuklear Sm
c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid
yang didasarkan atas:
1. Kadar serum antibodiantikardiolipin
abnormal baik IgG atau IgM.
2. Tes lupus antikoagulan positif
menggunakan metoda standart.
3. Hasil tes serologi positif palsu terhadap
sifilis sekurang-kurangnya selama 6 bulan
dan dikonfirmasi dengan test imobilisasi
Treponema Pallidum atau tes fluoresensi
absorbs antibody treponema.
Antibodi antinuclear positif (ANA test) Titer abnormal dari antibodi antinuklear
berdasarkan pemeriksaan imuno- fluoresensi atau
pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu
perjalan penyakit tanpa keterlibatan obat yang
diketahui berhubungan dengan sindroma lupus
yang diinduksi obat.

Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitifitas 85% dan
spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka sangat
mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif,
maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain
tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi jangka panjang diperlukan.
D. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Perhimpunan Reumatologi Indonesia dan Perhimpunan Dokter Penyakit Dalam
Indonesia (2011), selain terpenuhinya minimal 4 dari 11 kriteria pasien dengan SLE menurut
ACR, berikut pemeriksaan yang harus dilakukan dalam penegakan diagnosis SLE,
diantaranya adalah:
a. Pemeriksaan Imunologi
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis SLE adalah
tes ANA generic (ANA IF dengan Hep 2 Cell). Tes ANA dikerjakan/diperiksa hanya
pada pasien dengan tanda dan gejala mengarah pada SLE. Pada penderita SLE
ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat
positif pada beberapa penyakit lain yang mempunyai gambaran klinis menyerupai SLE
misalnya 8 infeksi kronis (tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya Mixed connective
tissue disease (MCTD), artritis rematoid, tiroiditis autoimun), keganasan atau pada orang
normal.
Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan, tetapi
perjalanan penyakit reumatik sistemik termasuk SLE seringkali dinamis dan berubah,
mungkin diperlukan pengulangan tes ANA pada waktu yang akan datang terutama jika
didapatkan gambaran klinis yang mencurigakan. Bila tes ANA dengan menggunakan
sel Hep-2 sebagai substrat; negatif, dengan gambaran klinis tidak sesuai SLE umumnya
diagnosis SLE dapat disingkirkan.
Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah tes antibody
terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk anti-dsDNA, Sm, nRNP, Ro(SSA), La
(SSB), Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan ini dikenal sebagai profil ANA/ENA. Antibodi
anti-dsDNA merupakan tes spesifik untuk SLE, jarang didapatkan pada penyakit lain
dan spesifitasnya hampir 100%. Titer anti-dsDNA yang tinggi hampir pasti
menunjukkan diagnosis SLE dibandingkan dengan titer yang rendah. Jika titernya
sangat rendah mungkin dapat terjadi pada pasien yang bukan SLE.
Kesimpulannya, pada kondisi klinik adanya anti-dsDNA positif menunjang
diagnosis SLE sementara bila anti ds-DNA negatif tidak menyingkirkan adanya SLE.
Meskipun anti-Sm didapatkan pada 15%-30% pasien SLE, tes ini jarang dijumpai pada
penyakit lain atau orang normal. Tes anti-Sm relatif spesi ik untuk SLE, dan dapat
digunakan untuk diagnosis SLE. Titer anti-Sm yang tinggi lebih spesifik untuk SLE.
Seperti anti-dsDNA, anti-Sm yang negatif tidak menyingkirkan diagnosis.
Rekomendasi:
1) Test ANA merupakan test yang sensitif, namun tidak spesifik untuk SLE
2) Test ANA dikerjakan hanya jika terdapat kecurigaan terhadap SLE
3) Test Anti dsDNA positif menunjang diagnosis SLE, namun jika negatif tidak
menyingkirkan diagnosis SLE.
Tabel 2. Jenis autoantibodi pada SLE dan makna klinisnya (Buyon, 2008)
Antibodi Frekuensi Makna Klinis
Anti Nuclear Antibody 90% Tidak spesifik untuk manifestasi
klinis tertentu; hanya digunakan
untuk tujuan diagnosis
Anti-dsDNA 40-60% Terkait manifestasi klinis nefritis;
dapat memprediksi flare atau
peningkatan aktivitas penyakit.
Anti-RNP 30%-40% Terkait manifestasi klinis
Raynaud’s, musculoskeletal; tidak
dapat menilai aktivitas penyakit.
Anti Ribosomal-P 10%-20% Terkait manifestasi klinis gangguan
SSP difus, psikosis, depresi mayor;
tidak dapat menilai aktivitas
penyakit.
Anti-SSA/ Ro 30%–45% Terkait manifestasi klinis kekeringan
konjungtiva dan mukosa mulut,
SCLE, lupus neonatal,
fotosensitivitas; tidak dapat menilai
aktivitas penyakit.
Anti-SSB/ La 10%-15% Terkait manifestasi klinis kekeringan
konjungtiva dan mukosa mulut,
SCLE, lupus neonatal,
fotosensitivitas; tidak dapat menilai
aktivitas penyakit.
Antiphospholipid 30% Terkait manifestasi klinis gangguan
pembekuan darah; tidak dapat
menilai aktivitas penyakit.

b. Pemeriksaan Darah Lengkap

Menurut ARA (1992), pemeriksaan DL bertujuan untuk melihat kadar hemoglobin,


trombosit, serta leukosit dalam darah. Pada pasien dengan SLE kemungkinan
pemeriksaan darah lengkap menunjukkan hasil sebagai berikut:
1) Anemia hemolitik
2) Leukosit <4.000/mm3
3) Limfosit <1.500/mm3
4) Trombosit <100.000/mm3
c. Pemeriksaan Urine Lengkap

Menurut ARA (1992), pada pasien dengan SLE kemungkinan pemeriksaan UL


menunjukkan hasil sebagai berikut:
1) Proteinuria > 0,5 gr/24 jam
2) Hematuria

E. Penatalaksanaan Medis

Baik untuk SLE ringan atau sedang dan berat, diperlukan gabungan strategi pengobatan atau
disebut pilar pengobatan. Pilar pengobatan SLE ini seyogyanya dilakukan secara bersamaan
dan berkesinambungan agar tujuan pengobatan tercapai. Perlu dilakukan upaya pemantauan
penyakit mulai dari dokter umum di perifer sampai ke tingkat dokter konsultan, terutama
ahli reumatologi.
a. Edukasi / Konseling

Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan dukungan dari
sekitarnya dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Perlu dijelaskan akan perjalanan
penyakit dan kompleksitasnya. Pasien memerlukan pengetahuan akan masalah aktivitas
fisik, mengurangi atau mencegah kekambuhan antara lain melindungi kulit dari paparan
sinar matahari (ultra violet) dengan memakai tabir surya, payung atau topi; melakukan
latihan secara teratur. Pasien harus memperhatikan bila mengalami infeksi. Perlu
pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan, osteoporosis atau terjadi dislipidemia.
Diperlukan informasi akan pengawasan berbagai fungsi organ, baik berkaitan dengan
aktivitas penyakit ataupun akibat pemakaian obat-obatan. Butir-butir edukasi pada
pasien SLE adalah sebagai berikut:
1) Penjelasan tentang apa itu lupus dan penyebabnya.
2) Tipe dari penyakit SLE dan perangai dari masing-masing tipe tersebut.
3) Masalah yang terkait dengan fisik: kegunaan latihan terutama yang terkait dengan
pemakaian steroid seperti osteoporosis, istirahat, pemakaian alat bantu maupun
diet, mengatasi infeksi secepatnya maupun pemakaian kontrasepsi.
4) Pengenalan masalah aspek psikologis: bagaimana pemahaman diri pasien SLE,
mengatasi rasa lelah, stres emosional, trauma psikis, masalah terkait dengan
keluarga atau tempat kerja dan pekerjaan itu sendiri, mengatasi rasa nyeri.
5) Pemakaian obat mencakup jenis, dosis, lama pemberian dan sebagainya. Perlu
tidaknya suplementasi mineral dan vitamin. Obat-obatan yang dipakai jangka
panjang contohnya obat anti tuberkulosis dan beberapa jenis lainnya termasuk
antibiotikum.
6) Dimana pasien dapat memperoleh informasi tentang SLE, adakah kelompok
pendukung, yayasan yang bergerak dalam pemasyarakatan SLE dan sebagainya.
Terkait dengan pendekatan biopsikososial dalam penatalaksanaan SLE, maka
setiap pasien SLE perlu dianalisis adanya masalah neuro-psikologik maupun sosial.
Berdasarkan data penelitian di RSCM (2010) ditemukan adanya gangguan fungsi
kognitif sebesar 86,49%.21 Pembuktian dilakukan menggunakan alat pemeriksaan yang
lebih teliti seperti TRAIL A, TRAIL B maupun Pegboard. Hal ini memperlihatkan
besarnya gangguan neuropsikiatrik yang tersembunyi pada SLE, karena secara nyata
gangguan tersebut tidak melebihi 20%. Adanya stigmata psikologik pada keluarga
pasien masih memerlukan pembuktian lebih lanjut. Namun adanya gangguan •isik dan
kognitif pada pasien SLE dapat memberikan dampak buruk bagai pasien didalam
lingkungan sosialnya baik tempat kerja atau rumah.
Edukasi keluarga diarahkan untuk memangkas dampak stigmata psikologik akibat
adanya keluarga dengan SLE, memberikan informasi perlunya dukungan keluarga
yang tidak berlebihan. Hal ini dimaksudkan agar pasien dengan SLE dapat dimengerti
oleh pihak keluarganya dan mampu mandiri dalam kehidupan kesehariannya.

b. Program Rehabilitasi
Terdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada pasien dengan SLE
tergantung maksud dan tujuan dari program ini. Salah satu hal penting adalah
pemahaman akan turunnya masa otot hingga 30% apabila pasien dengan SLE
dibiarkan dalam kondisi immobilitas selama lebih dari 2 minggu. Disamping itu
penurunan kekuatan otot akan terjadi sekitar 1-5% per hari dalam kondisi imobilitas.
Berbagai latihan diperlukan untuk mempertahankan kestabilan sendi. Modalitas fisik
seperti pemberian panas atau dingin diperlukan untuk mengurangi rasa nyeri,
menghilangkan kekakuan atau spasme otot. Demikian pula modalitas lainnya seperti
transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) memberikan manfaat yang cukup
besar pada pasien dengan nyeri atau kekakuan otot.
Secara garis besar, maka tujuan, indikasi dan tekhnis pelaksanaan program
rehabilitasi yang melibatkan beberapa maksud di bawah ini, yaitu:
1) Istirahat
2) Terapi fisik
3) Terapi dengan modalitas
4) Ortotik

c. Terapi Medikamentosa
Berikut ini adalah jenis, dosis obat yang dipakai pada SLE serta pemantauannya,
selanjutnya dapat dilihat pada tabel (Perhimpunan Reumatlogi Indonesia dan
Perhimpunan Dokter Penyakit Dalam Indonesia, 2011):

Tabel 3. Jenis dan Dosis Obat yang Dapat Dipakai pada SLE
Evaluasi Pemantauan
Jenis obat Dosis Jenis Toksisitas
Awal Klinis Labo-ratorik
Perdarahan saluan
Darah
cerna, hepatotoksi, Darah rutin,
rutin, Gejala
Tergantung sakit kepala, kreatinin,
OAINS kreatinin, gastrointesti
OAINS hipertensi, AST/ALT
urin rutin, nal
Aseptic meningitis, setiap 6 bulan
AST/ALT
nefrotoksik.
Cushingoid, Gula
hipertensi, darah,
dislipidemi, Profil
Kortiko- Tergantung Tekanan
osteonekros, lipid, Glukosa
steroid derajat SLE darah
hiperglisemi, DXA,
katarak, tekanan
oesteo-porosis darah
Retinopati, Funduskopi
Evaluasi
keluhan GIT, rash, dan
mata,
250 mg/hari mialgia, sakit lapangan
G6PD
Klorokuin (3,5-4 mg/kg kepala, anemi pandang
pada
BB/hr) hemolitik pada mata setiap 3-
pasien
pasien dengan 6
berisiko
defisiensi G6PD bulan
Darah tepi
lengkap
tiap 1-2
minggu
50-150 mg dan
Mielo-supresif, Darah tepi
per hari, dosis selanjutnya
hepatotoksi, lengkap, Gejala
Azatioprin terbagi 1-3, 1-3 bulan
gangguan kreatinin, mielosupresif
tergantung interval.
limfo-proliferatif AST/ALT
berat badan. AST  ap
tahun dan
pap smear
secara
teratur.
Darah tepi
Per oral: 50- Mielo-supresif, lengkap
150 mg per gangguan Darah tepi dan urin
Gejala
hari. limfo-proliferatif, lengkap, lengkap
mielosupresif
IV: 500-750 keganasan, hitung tiap bulan,
Siklo- ,
mg/m2 dalam imunosupres, jenis sitologi
fosfamid hematuria
Dextrose sistitis leukosit, urin dan pap
dan
250 ml, infus hemoragik, urin smear
infertilitas.
Selama 1 infertilitas lengkap. tiap tahun
jam. sekunder seumur
hidup.
Meto-treksat 7.5 – 20 mg Mielo-supresif, Darah tepi Gejala Darah tepi
/ minggu, fibrosis hepatik, lengkap, mielosupresif lengkap
dosis tunggal sirosis, infiltrat foto , terutama
toraks,
hitung
serologi
trombosit tiap
hepatitis B
4-8 minggu,
dan
atau terbagi sesak nafas, AST /
C pada
3. Dapat mual ALT dan
pulmonal dan pasien
diberikan pula dan muntah, albumin
fibrosis. Risiko
melalui ulkus tiap 4-8
tinggi,
injeksi. mulut. minggu,
AST,
urin lengkap
fungsi
dan
hati,
kreatinin.
kreatinin.
Pem-bengkakan, Gejala
nyeri gusi, hipersensitifi
2.5–5 mg/kg
peningkatan tas terhadap
BB, atau Darah tepi
tekanan darah, castor oil
sekitar 100 lengkap, Kreatinin,
peningkatan (bila obat
Siklo-sporin – 400 mg per kreatinin, LFT,
pertumbuhan diberikan
A hari dalam urin Darah tepi
rambut, injeksi),
2 dosis, lengkap, lengkap.
gangguan fungsi tekanan
tergantung LFT.
ginjal, nafsu darah, fungsi
berat badan.
makan menurun, hati dan
tremor. ginjal.
Darah tepi
Gejala
Darah tepi lengkap
1000 – 2.000 gastrointestin
Miko-fenolat Mual, diare, lengkap, terutama
mg dalam 2 al
mofetil leukopenia. fese leukosit
dosis. seperti mual,
lengkap. dan hitung
muntah.
jenisnya.
F. WOC / PHATWAY
Genetik, kuman, virus, lingkungan,
obat-obatan tertentu

Gangguan Imunoregulasi

antibody yang
berlebihan

sel T sepresor yang


abnormal

Antibodi menyerang organ-organ


tubuh (sel, jaringan)

Penumpukan kompleks imun dan


kerusakan jaringan

Penyakit SLE

Mencetus penyakit inflamasi pada


organ

Kulit Sendi Darah Paru-Paru Ginjal Hati Otak

Kerusakan Hb Efusi pleura Protein urin Suplai


Integritas Atritis O2
Kulit Ketidakefekti
Intoleransi Anemia protein
Aktivitas fan Pola tubuh Nekrosis
Nafas
Cairan dalam Pertumbuhan Resiko
tubuh Dan Kematian
berkurang Perkembanga
n Terhambat
Hipervolemia

Kerusakan
sintesa zat-zat
tubuh

Tidak nafsu
makan, mual
muntah
Defisit
Nutrisi

DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, G.M. Butcher, H.K. Dochterman, J.M. Wagner, C.M. 2016. Nursing
Interventions Classification (NIC). Singapore : Elsevier Global Rights.

Herdman, T.H. 2015-2017. NANDA Internasional Inc. Diagnosis Keperawatan: definisi


& klasifikasi 2015-2017. Jakarta : EGC

Lahita RG, Tsokos G, Buyon JP, and Koike T. Systemic Lupus Erythematosus. 4th
edition. London: Academic Press; 2004.

Moorhead, S. Johnson, M. Maas, M.L. Swanson, E. 2016. Nursing Outcomes


Classification (NOC). Singapore: Elsevier Global Rights.

Price, S.A. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Vol. 2 Edisi 6.
Jakarta: EGC

Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus


Eritematosus Sistemik. Perhimpunan Reumatologi Indonesia: Jakarta

Tjokronegoro, A. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
“HUTAMA ABDI HUSADA”
Ijin Pendirian Mendiknas RI Nomor : 113/D/O/2009

Jl. Dr. Wahidin Sudiro Husodo Telp./Fax: 0355-322738


Tulungagung 66224
Alamat E-mail : stikeshahta@yahoo.co.id

PENGKAJIAN DATA DASAR DAN FOKUS

Pengkajian diambil tgl : 08 September 2021 Jam : 10.00 WIB


Tanggal Masuk : 08 September 2021 No. reg : 030498
Ruangan / Kelas : Penyakit Dalam / 1
No. Kamar :2
Diagnosa Masuk : SLE
Diagnosa Medis : SLE

I. IDENTITAS
1. Nama : Tn. H
2. Umur : 45 Tahun
3. Jenis Kelamin : Laki-Laki
4. Agama : Islam
5. Suku / Bangsa : Jawa
6. Bahasa : Indonesia
7. Pendidikan : SLTA
8. Pekerjaan : Guru
9. Alamat : Ds. Boyolangu
10. Alamat yg mudah dihubungi : Ds. Boyolangu
11. Ditanggung oleh : Askes / Astek / Jamsostek / JPS / Sendiri

II. RIWAYAT KESEHATAN KLIEN


1. Keluhan utama / Alasan Masuk Rumah Sakit :
a. Alasan Masuk Rumah Sakit :
Pasien mengatakan merasa seluruh tubuhnya bengkak, kencing tidak keluar,
tidak nafsu makan, lemas, pusing, mual-muntah, merasa lemah, sianosis, tekadan
darah berubah.
b. Keluhan Utama :
Pasien mengatakan tubuh merasa lemas
2. Riwayat Penyakit Sekarang ( PQRST ) :
Tanggal 08 September 2021 sekitar jam 04.00 pasien mengatakan merasa seluruh
tubuhnya bengkak, kencing tidak keluar, tidak nafsu makan, lemas, pusing, mual-
muntah, lemah, sianosis, tekanan darah berubah, kemudian oleh keluarganya
dibawa ke RSUD Dr.ISKAK TULUNGAGUNG di ruang UGD dilakukan
pemeriksaan TD : 100/60 mg/dl, N : 90 x/menit, RR : 22 x/menit, Suhu : 36,5 C.
Dengan melihat keluhan yang dirasakan pasien dokter mendiaknosa SLE.

3. Riwayat Kesehatan Yang Lalu :


Pasien tidak memiliki penyakit riwayat yang lalu

4. Riwayat Kesehatan Keluarga : Tidak ada

III. POLA AKTIFITAS SEHARI-HARI

SEBELUM MASUK RS DI RUMAH SAKIT


A. Pola Tidur / Istirahat
1. Waktu Tidur 6-8 jam 7-10 jam

2. Waktu Bangun Pukul 4 pagi Pukul 4 pagi

3. Masalah Tidur Tidak ada Tidak ada

4. Hal-Hal Mendengarkan Radio Ketika sudah mengantuk


Mempermudah Tidur

5. Hal-Hal Yang Dibangunkan Saat dilakukan pemeriksaan


Mempermudah Pasien
Terbangun

B. Pola Eliminasi
1. BAB
- Warna Kuning keemasan Kuning keemasan

- Bau Khas Khas

- Konsistensi Lembek Lembek

- Jumlah Tidak terkaji Tidak terkaji

- Frekuensi 2 hari sekali 2 hari sekali

- Masalah BAB Tidak ada Tidak ada


- Upaya mengatasi Tidak ada Tidak ada

2. BAK
- Warna Kuning pekat Kuning pekat

- Bau Khas Khas

- Konsistensi Cair Cair

- Jumlah Tidak terkaji Tidak terkaji

- Frekuensi 500 ml/hari 400 ml/hari

- Masalah BAK Tidak ada Tidak ada

- Upaya mengatasi Tidak ada Tidak ada

C. Pola Makan Dan Minum


1. Makan
- Frekuensi 3x sehari 3 x sehari

- Jenis Nasi Nasi

- Diet Tidak ada Tidak ada

- Pantangan Tidak ada Tidak ada

- Yang Disukai Soto Ayam, Sate Ayam Soto Ayam, Sate Ayam

- Yang Tidak Disukai Sayur Bening Sayur Bening

- Alergi Tidak ada Tidak ada

- Masalah Makan Tidak nafsu makan Tidak nafsu makan

- Upaya Mengatasi Tidak ada Makan sedikit tapi sering

2. Minum
- Oral / NGT Oral Oral

- Frekuensi Sering Sering

- Jenis Air putih Air putih

- Diit Tidak ada Tidak ada

- Pantangan Tidak ada Tidak ada

- Yang Disukai Teh Teh

- Yang Tidak Disukai Susu Susu

- Alergi Tidak ada Tidak ada

- Masalah Minum Tidak ada Tidak ada


- Upaya Mengatasi Tidak ada Tidak ada

D. Kebersihan Diri / Personal


Hygiene :
1. Mandi 2x sehari 2x sehari

2. Keramas 2x seminggu 2x seminggu

3. Pemeliharaan gigi dan


mulut Bersih Bersih

4. Pemeliharaan kuku
Kalau panjang dipotong Kalau panjang dipotong

5. Ganti pakaian
Setelah mandi Setelah mandi

E. Pola Kegiatan / Aktivitas Bekerja Bermain Handphone

F. Kebiasaan
1. Merokok Tidak Tidak

2. Alkohol Tidak Tidak

3. Jamu, Dll Tidak Tidak

IV. DATA PSIKO SOSIAL


A. Pola Komunikasi : Komunikasi verbal

B. Orang yang paling dekat dengan klien :Istri


C. Rekreasi
Hobby : Memancing
Penggunaan Waktu Senggang :
Istirahat dirumah
D. Dampak dirawat di Rumah Sakit :
Tidak dapat beraktivitas seperti biasanya
E. Hubungan dengan orang lain / interaksi sosial :Interaksi sosial baik
F. Keluarga yang dihubungi bila diperlukan :
Istrinya

V. KONSEP DIRI
A. Gambaran Diri
Px sebagai seorang suami dan ayah
B. Harga Diri
Px memiliki rasa percaya diri tinggi untuk melakukan interaksi dengan orang lain
C. Ideal Diri
Px berharap agar sakit yang di deritanya bisa segera sembuh
D. Identitas Diri
Px mengatakan bangga menjadi seorang laki-laki dan sekarang berstatus sebagai
seorang suami dan ayah
E. Peran
Px sebagai kepala keluarga
VI. DATA SPIRITUAL
A. Ketaatan Beribadah :
Px mengatakan selama dirawat di rumah sakit tidak pernah solat
B. Keyakinan terhadap sehat / sakit : Px yakin sehat / sakit dari Tuhan Yang
Maha Esa
C. Keyakinan terhadap penyembuhan :
Px yakin akan segera sembuh

VII. PEMERIKSAAN FISIK


A. Kesan Umum / Keadaan Umum
k/u lemah, pucat, lemas
B. Tanda – tanda vital
Suhu Tubuh : 36,5 C Nadi : 60 x/menit
Tekanan darah : 90/60 mmHg Respirasi : 22 x/menit
Tinggi Badan : 170 cm Berat Badan : 55 kg
C. Pemeriksaan Kepala dan Leher
1. Kepala dan rambut
a. Bentuk Kepala : Simetris
Ubun-ubun : Tidak ada benjolan
Kulit kepala : Berminyak sedikit kotor
b. Rambut
Penyebaran dan keadaan rambut :
Penyebaran merata
Bau : Kurang sedap
Warna : Hitam
c. Wajah
Warna Kulit : Kuning langsat
Struktur Wajah : Oval
2. Mata
a. Kelengkapan dan kesimetrisan :
Lengkap dan simetris
b. Kelopak Mata ( Palpebra ) :
Cekung
c. Konjuctiva dan sklera :
Anemis dan tidak ikterus
d. Pupil :
Reflek terhadap cahaya baik, isokor
e. Kornea dan iris
Reflek terhadap sensasi kornea baik (berkedip jika diberi sentuhan dengan
kapas)
f. Ketajaman penglihatan / visus:
Tidak terkaji
g. Tekanan bola mata :
Tidak ada nyeri tekan
3. Hidung
a. Tulang hidung dan posisi septum nasi :
Normal, tidak ada kelainan
b. Lubang Hidung :
Bersih tidak ada penyumbatan
c. Cuping hidung :
Normal tidak ada pernafasan cuping hidung
4. Telinga
a. Bentuk telinga : Simetris antara kiri dan kanan
Ukuran telinga : Sedang
Ketenggangan telinga : Lentur
b. Lubang telinga :
Sedikit kotor
c. Ketajaman pendengaran :
Mampu mendengar suara bisikkan
5. Mulut dan faring
a. Keadaan bibir :
Mukosa bibir kering
b. Keadaan gusi dan gigi :
Tidak ada stomatitis
c. Keadaan lidah :
Bersih dan berwarna merah muda
d. Orofarings :
Suara nafas normal
6. Leher
a. Posisi trakhea : Tepat pada tempatnya
b. Tiroid : Tidak ada pembesaran
c. Suara : Jelas
d. Kelenjar Lymphe : Tidak ada pembesaran
e. Vena jugularis : Tidak nampak
f. Denyut nadi coratis : Teraba keras
D. Pemeriksaan Integumen ( Kulit )
a. Kebersihan : Px sudah mandi
b. Kehangatan : Hangat
c. Warna : Kuning langsat
d. Turgor : Normal, ditekan segera kembali
e. Tekstur : Halus
f. Kelembaban : Lembab
g. Kelainan pada kulit : Tidak ada
E. Pemeriksaan payudara dan ketiak
a. Ukuran dan bentuk payudara :
Tidak ada kelainan
b. Warna payudara dan areola :
Kecoklatan tidak ada kelainan
c. Kelainan-kelainan payudara dan puting :
Tidak ada
d. Axila dan clavicula :
Tidak ada pembesaran getah bening
F. Pemeriksaan Thorak / dada
1. Inspeksi Thorak
a. Bentuk Thorak : Normal
b. Pernafasan
Frekwensi : 20 x/menit
Irama : Reguler
c. Tanda-tanda kesulitan bernafas :
Tidak ada tanda-tanda kesulitan bernafas
2. Pemeriksaan Paru
a. Palpasi getaran suara ( vocal fremitus ) :
Antara paru kanan dan kiri getarannya teraba sama
b. Perkusi :
Pekak
c. Auskultasi
Suara Nafas :
Tidak ada suara tambahan
Suara Ucapan :
Jelas dan nyaring
Suara Tambahan :
Tidak ada suara tambahan
3. Pemeriksaan Jantung
a. Inspeksi dan Palpasi
- Pulsasi : Tidak ada pulsasi
- Ictus cordis : Normal ICS 5 mid clavicula sinistra
b. Perkusi
Batas-batas jantung :
-kanan atas : ics 2 parasternalis dextra, -kiri atas :ics 2 parasternalis sinistra
-kanan bawah : ics 4 parasternalis dextra, -kiri bawah : ics 5 midclavicula
sinistra
c. Auskultasi
- Bunyi jantung I : Lup
- Bunyi jantung II : Dup
- Bunyi jantung Tambahan : Tidak ada
- Bising / Murmur : Tidak ada bising atau murmur
- Frekwensi denyut jantung : 100 x/menit

G. Pemeriksaan Abdomen
a. Inspeksi
- Bentuk abdomen : Simetris
- Benjolan / Massa : Tidak ada
- Bayangan pembuluh darah pada abdomen
Tidak ada bayangan
b. Auskultasi
- Peristaltik Usus : Ada bising usus (7 x/menit)
c. Palpasi
- Tanda nyeri tekan :Tidak ada nyeri tekan
- Benjolan / massa : Tidak ada massa
- Tanda-tanda ascites : Tidak ada acites
- Hepar : Tidak ada pembesaran hepar
- Lien : Tidak ada pembesaran lien
- Titik Mc. Burne : Tidak ada nyeri tekan
d. Perkusi
- Suara Abdomen
Thympani
- Pemeriksaan Ascites
Tidak ada acites

H. Pemeriksaan Kelamin dan Daerah Sekitarnya


1. Genetalia
a. Kelainan – kelainan pada genetalia eksterna dan daerah inguinal
Normal, tidak ada kelainan
2. Anus dan Perineum
a. Lubang anus :
Ada, tidak ada lesi maupun benjolan
b. Kelainan – kelainan pada anus dan perineum :
Tidak ada

I. Pemeriksaan Muskuloskeletal ( Ekstrimitas )


a. Kesimetrisan Otot :
Simetris
b. Pemeriksaan Oedem :
Tidak ada oedem
c. Kekuatan Otot : 3 3

3 3

d. Kelainan – kelainan pada ekstrimitas dan kuku :


Tidak ada

J. Pemeriksaan Neurologi
1. Tingkat kesadaran ( secara kuantitatif ) / GCS :
GCS : 4-5-6
2. Tanda – tanda rangsangan otak ( meningeal sign ) :
Normal, tidak ada kaku kuduk
3. Syaraf otak( Nervus cranialis ) :
Normal
4. Fungsi Motorik :
Normal
5. Fungsi Sensorik :
Koping individu baik
6. Refleks :
a. Refleks Fisiologis
Koping individu baik
b. Refleks Patologis
Tidak ada

K. Pemeriksaan Status Mental


a. Kondisi Emosi / Perasaan
Tampak murung
b. Orientasi
Mampu menunjukkan orang, tempat, waktu
c. Proses berfikir ( ingatan, atensi, keputusan, perhitungan )
Mengingat kejadian sebelumnya
d. Motivasi ( Kemauan )
Ingin segera sembuh dan pulang
e. Persepsi
Dapat sembuh dan bias pulih lagi
f. Bahasa
Indonesia

PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Diagnosa Medis : SLE
B. Pemeriksaan Diagnostik / Penunjang Medis :
1. Laboratorium
- BUN : 90 mg/dl
- Kreatinin : 7,2 mg/dl
2. Rontgen
Tidak ada

3. ECG
Tidak ada

4. USG

a. Ginjal Kiri

b. Ginjal Kanan

5. CT Scan
Tidak ada

Lain-lain

PENATALAKSANAAN DAN TERAPI


1. Paracetamol 3 x 500 mg
2. Ranitidin 3 x 25 mg iv
3. Infus Nacl

Mahasiswa
Prila Tina Rahayu
NIM. A2R17026

ANALISA DATA

Nama Pasien : Tn. H

Umur : 45 Tahun

No. Register : 030498

NO KELOMPOK DATA PENYEBAB MASALAH


KEPERAWATAN

1. DS : Px mengatakan merasa Mencetus Penyakit Inflamasi Hipervolemia


seluruh tubuhnya bengkak, Pada Organ
kencing tidak keluar.
Darah
DO :
Gejala Mayor : Hb
Subjektif : -
Objektif : Anemia
- Edema anasarka dan / atau
edema perifer. Cairan Dalam Tubuh
- Berat badan meningkat Menumpuk
dalam waktu singkat.
Hipervolemia
Gejala Minor :
Subjektif : -
Objektif :
- Hb turun
: 10 g/dl

2. DS : Px mengatakan tidak nafsu Mencetus Penyakit Inflamasi Defisit Nutrisi


makan, lemas, pusing, mual-
muntah Hati

DO : Kerusakan Sintesa Zat-Zat


Gejala Mayor : Tubuh
Subjektif : -
Objektif : Tidak Nafsu Makan, Mual-
- Berat badan menurun. Muntah
- BB sebelum sakit 60 kg
- BB sesudah sakit 55 kg Defisit Nutrisi

Gejala Minor :
Subjektif :
- Nafsu
makan menurun

Objektif :
- Bising
usus hiperaktif
- Membra
n mukosa pucat

3. DS : Px mengatakan merasa Mencetus Penyakit Inflamasi Intoleransi Aktivitas


lemah, tekanan darah berubah, Pada Organ
sianosis
Sendi
DO :
Gejala Mayor : Atritis
Subjektif :
- Mengelu Intoleransi Aktivitas
h Lelah
Objektif : -

Gejala Minor :
Subjektif :
- Merasa lemah

Objektif :
- Tekanan
darah berubah : 90/60
mmHg
- Sianosis
DIAGNOSA KEPERAWATAN

Nama Pasien : Tn. H

Umur : 45 Tahun

No. Register : 030498

NO TANGGAL MUNCUL DIAGNOSA KEPERAWATAN


1. 08 September 2021 Hipervolemia Berhubungan Dengan Kelebihan Asupan Cairan
Ditandai Dengan Edema Anasarka Dan / Atau Edema Perifer,
Berat Badan Meningkat Dalam Waktu Singkat, Kadar Hb Turun.

2. 08 September 2021 Defisit Nutrisi Berhubungan Dengan Faktor Psikologis (Mis.


Keenggangan Untuk Makan) Ditandai Dengan Berat Badan
Menurun, Nafsu Makan Menurun, Bising Usus Hiperaktif,
Membran Mukosa Pucat.

3. 08 September 2021 Intoleransi Aktivitas Berhubungan Dengan Kelemahan Ditandai


Dengan Merasa Lemah, Tekanan Darah Berubah, Sianosis.
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

Nama Pasien : Tn. H

Umur : 45 Tahun

No. Register : 030498

NO DIAGNOSA LUARAN (SLKI) INTERVENSI (SIKI)


KEPERAWATAN
1. Hipervolemia Berhubungan Setelah dilakukan tindakan Manajemen Hipervolemia
Dengan Kelebihan Asupan keperawatan selama 3 x 24 Observasi :
Cairan jam diharapkan 1. Periksa tanda dan gejala
keseimbangan cairan hypervolemia (Mis. Edema).
membaik 2. Identifikasi penyebab
Kriteria Hasil : hypervolemia.
 Asupan cairan 3. Monitor status hemodinamik
meningkat (Mis. Tekanan darah).
 Haluaran urin 4. Monitor intake dan output
meningkat cairan.
 Kelembapan membrane
mukosa meningkat Terapeutik :
 Edema menurun 5. Timbang berat badan setiap
 Tekanan darah hari pada waktu yang sama.
membaik
 Berat badan membaik Edukasi :
6. Anjurkan melapor jika BB
 Turgor kulit membaik
bertambah >1 kg dalam sehari.
7. Ajarkan cara mengukur dan
mencatat asupan dan haluaran
cairan.
8. Ajarkan cara membatasi
cairan.

Kolaborasi :
9. Kolaborasi pemberian diuretik.

2. Defisit Nutrisi Berhubungan Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nutrisi


Dengan Faktor Psikologis keperawatan selama 3 x 24 Observasi :
(Mis. Keenggangan Untuk jam diharapkan status 1. Identifikasi status nutrisi.
Makan). nutrisi meningkat. 2. Identifikasi makanan yang
Kriteria Hasil : disukai.
 Porsi makanan yang 3. Monitor asupan makanan.
dihabiskan meningkat. 4. Monitor berat badan.
 Berat badan membaik.
 Frekuensi makan Terapeutik :
membaik. 5. Lakukan oral hygiene sebelum
 Nafsu makan membaik. makan, jika perlu.
 Bising usus membaik. 6. Sajikan makanan secara
 Membran mukosa menarik dan suhu yang sesuai.
membaik. 7. Berikan makanan tinggi serat
untuk mencegah konstipasi.
8. Berikan makanan tinggi kalori
dan tinggi protein.

Edukasi :
9. Ajarkan diet yang di
programkan.

Kolaborasi :
10. Kolaborasi dengan ahli gizi
untuk menentukan jumlah
kalori dan jenis nutrient yang
dibutuhkan, jika perlu.

3. Intoleransi Aktivitas Setelah dilakukan tindakan Manajemen Energi


Berhubungan Dengan keperawatan selama 3 x 24 Observasi :
Kelemahan. jam diharapkan toleransi 1. Identifikasi gangguan fungsi
aktivitas meningkat. tubuh yang mengakibatkan
Kriteria Hasil : kelelahan.
 Frekuensi nadi 2. Menitor kelelahan fisik dan
meningkat. emosional.
 Keluhan lelah 3. Monitor lokasi dan
menurun. ketidaknyamanan selama
 Perasaan lemah melakukan aktivitas.
menurun.
 Sianosis menurun. Observasi :
 Tekanan darah 4. Sediakan lingkungan nyaman
membaik. dan rendah stimulus (Mis.
ahaya, suara, kunjungan).
5. Lakukan rentang gerak pasif
dan / atau aktif.
6. Berikan aktivitas distraksi
yang menenangkan.

Edukasi :
7. Anjurkan tirah baring.
8. Anjurkan melakukan aktivitas
secara bertahap.
9. Anjurkan menghubungi
perawat juka tanda dan gejala
kelelahan tidak berkurang.

Kolaborasi :
10. Kolaborasi dengan ahli gizi
tentang cara meningkatkan
asupan makanan.
TINDAKAN KEPERAWATAN CATATAN PERKEMBANGAN

Nama Pasien : Tn. H Umur : 45 Tahun No. Register : 030498 Kasus : SLE

TANGGAL/ TANDA TANGGAL/ TANDA


NO NO. DX IMPLEMENTASI EVALUASI
JAM TANGAN JAM TANGAN
1. I 08 September Manajemen Hipervolemia 08 September S : Px megatakan kencing sudah keluar sedikit
2021 Observasi : 2021
1. Memeriksa tanda da gejala hipervolemia O:
10.00 (Mis. edema). 14.00 - k/u lemah
2. Mengidentifikasi penyebab hipervolemia. - Edema anasarka dan / atau edema perifer
3. Memonitor status hemodinamik (Mis. mulai menurun.
tekanan darah). - Berat badan meningkat dalam waktu
4. Memonitor intake dan output. singkat.
- Hb turun : 10 g/dl
Terapeutik :
5. Menimbang berat badan setiap hari pada A : Masalah hipervolemia belum teratasi.
waktu yang sama.
P : Intervensi dilanjutkan no 1-9
Edukasi :
6. Menganjurkan melapor jika BB bertambah
>1 kg dalam sehari.
7. Mengajarkan cara mengukur dan mencatat
asupan dan haluaran cairan.
8. Mengajarkan cara membatasi cairan.

Kolaborasi :
9. Mengkolaborasi pemberian diuretik.
- Klorotiazide 500 mg
- Hidrotiazide 50 mg
- Politiazide 4 mg
- Metiklotiazide 5 mg

2. II 08 September Manajemen Nutrisi 08 September


2021 Observasi : 2021 S : Px mengatakan sudah mau makan sedikit
1. Mengidentifikasi status nutrisi tapi sering.
10.00 2. Mengidentifikasi makanan disukai. 14.00
3. Memonitor asupan makanan. O:
4. Memonitor berat badan. - k/u lemah
- Berat badan menurun.
Terapeutik : - Nafsu makan menurun.
5. Melakukan oral hygiene sebelum makan. - Bissing usus hiperaktif.
6. Menyajikan makanan secara menarik dan - Membran mukosa
suhu yang sesuai. pucat.
7. Memberikan makanan tinggi serat untuk
mencegah konstipasi. A : Masalah Defisit Nutrisi Belum Teratasi.
8. Memberikan makanan tinggi kalori dan
tinggi protein. P : Intervensi Dilanjutkan No 1-10.

Edukasi :
9. Mengajarkan diet yang diprogramkan.

Kolaborasi :
10. Mengkolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah kalori dan jenis
nutrient yang dibutuhkan.

Manajemen Energi
08 September Observasi : 08 September
3. III 2021 1. Mengidentifikasi gangguan fungsi tubuh 2021 S : Px mengatakan merasa lemah, tekanan
yang mengakibatkan kelelahan. darah berubah, sianosis.
10.00 2. Memonitor kelelahan fisik dan emosional. 14.00
3. Memonitor lokasi dan ketidaknyamanan O:
selama melakukan aktivitas. - k/u lemah
- Mengeluh lelah.
Terapeutik : - Tekanan darah berubah.
4. Menyediakan lingkungan nyaman dan - Sianosis.
rendah stimulus (Mis. cahaya, suara,
kunjungan). A : Masalah Intoleransi Aktivitas Belum
5. Melakukan latihan rentang gerak pasif Teratasi.
dan/atau aktif.
6. Memberikan aktivitas distraksi yang P : Intervensi Dilanjutkan No 1-10
menenangkan.

Edukasi :
7. Menganjurkan tirah baring.
8. Menganjurkan melakukan aktivitas secara
bertahap.
9. Menganjurkan menghubungi perawat jika
tanda dan gejala kelelahan tidak
berkurang.

Kolaborasi :
10. Mengkolaborasi dengan ahli gizi tentang
cara meningkatkan asupan makanan.

Manajemen Hipervolemia
1. 09 September Observasi : 09 September
I 2021 1. Memeriksa tanda da gejala hipervolemia 2021 S : Px mengatakan seluruh tubuhnya tidak
(Mis. edema). merasa bengkak, kencing sudah bisa keluar
10.00 2. Mengidentifikasi penyebab hipervolemia. 14.00
3. Memonitor status hemodinamik (Mis. O:
tekanan darah). - k/u baik
4. Memonitor intake dan output. - Tidak ada edema anasarka dan / atau
edema perifer.
Terapeutik : - Berat badan membaik.
5. Menimbang berat badan setiap hari pada
waktu yang sama. A : Masalah hypervolemia sudah teratasi.

Edukasi : P : Intervensi dihentikan


6. Menganjurkan melapor jika BB bertambah
>1 kg dalam sehari.
7. Mengajarkan cara mengukur dan mencatat
asupan dan haluaran cairan.
8. Mengajarkan cara membatasi cairan.

Kolaborasi :
9. Mengkolaborasi pemberian diuretik.
- Klorotiazide 500 mg
- Hidrotiazide 50 mg
- Politiazide 4 mg
- Metiklotiazide 5 mg

2. II 09 September Manajemen Nutrisi 09 September


2021 Observasi : 2021 S : Px mengatakan nafsu makan membaik habis
1. Mengidentifikasi status nutrisi 1 porsi.
10.00 2. Mengidentifikasi makanan disukai. 14.00 O:
3. Memonitor asupan makanan. - k/u baik
4. Memonitor berat badan. - Berat badan meningkat
- Nafsu makan meningkat
Terapeutik : - Bissing usus normal
5. Melakukan oral hygiene sebelum makan, jika - Membran mukosa baik.
perlu.
6. Menyajikan makanan secara menarik dan A : Masalah Defisit Nutrisi Teratasi
suhu yang sesuai.
7. Memberikan makanan tinggi serat untuk P : Intervensi Dihentikan
mencegah konstipasi.
8. Memberikan makanan tinggi kalori dan
tinggi protein.

Edukasi :
9. Mengajarkan diet yang diprogramkan.

Kolaborasi :
10. Mengkolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah kalori dan jenis
nutrient yang dibutuhkan, jika perlu.

3. III 09 September Manajemen Energi 09 September


2021 Observasi : 2021
1. Mengidentifikasi gangguan fungsi tubuh S : Px mengatakan sudah tidak merasa lemah,
10.00 yang mengakibatkan kelelahan. 14.00 tekanan darah membaik, tidak sianosis
2. Memonitor kelelahan fisik dan emosional.
3. Memonitor lokasi dan ketidaknyamanan O:
selama melakukan aktivitas. - k/u baik
- Tidak ada keluhan lelah.
Terapeutik : - Tekanan darah membaik.
4. Menyediakan lingkungan nyaman dan - Tidak sianosis.
rendah stimulus (Mis. cahaya, suara,
kunjungan). A : Masalah Intoleransi Aktivitas Teratasi.
5. Melakukan latihan rentang gerak pasif
dan/atau aktif. P : Intervensi Dihentikan
6. Memberikan aktivitas distraksi yang
menenangkan.

Edukasi :
7. Menganjurkan tirah baring.
8. Menganjurkan melakukan aktivitas secara
bertahap.
9. Menganjurkan menghubungi perawat jika
tanda dan gejala kelelahan tidak
berkurang.

Kolaborasi :
10. Mengkolaborasi dengan ahli gizi tentang
cara meningkatkan asupan makanan.

Anda mungkin juga menyukai