Uraian Kasus : Seorang Laki-laki Tn.H usia 45 tahun dirawat di ruang penyakit dalam dengan
diagnosa SLE dengan komplikasi kerusakan ginjal stadium akhir. Hasil pemeriksaan fisik
didapatkan bengkak (odem anasarka / bengkak seluruh tubuh) dan anuria (kencing tidak keluar).
Hasil pemeriksaan laboratorium : BUN 90 mg/dl, kreatinin 7,2 mg/dl, tidak nafsu makan,
frekuensi makan habis setelah porsi, kulit teraba hangat, berat badan turun sebelum sakit 60 kg
setelah sakit 55 kg, lemas, wajah tampak pucat, merasa lemah, merasa lelah, tekanan darah
berubah, sianosis pusing, mual muntah, bising usus melemah Hb 10 g/dl, TD : 90/60 mg/dl, N :
60 x/menit, RR : 22 x/menit, Suhu : 36,5 C
Data Fokus
S : (Data Subjektif Pasien)
- Px mengatakan merasa seluruh tubuhnya bengkak, kencing tidak keluar.
- Px mengatakan tidak nafsu makan, lemas, pusing, mual-muntah
- Px mengatakan merasa lemah, tekanan darah berubah, sianosis
O : (Data Objektif Pasien
Bengkak (odem anasarca / bengkak seluruh tubuh) dan anuria (kencing tidak
keluar).
Tidak nafsu makan,
Berat badan turun dari 60 kg menjadi 55 kg.
Lemas
Merasa lemah.
Tekanan darah berubah.
Sianosis.
Pusing.
Mual-muntah dan sangat lemas.
Hb : 10 g/dl
TD : 90/60 mmHg
N : 90 x/menit
RR : 22 x/menit
Suhu : 36,5 C
b. Ginjal Kanan
5. Lain-lain :
B. Diagnosa Medis : SLE
Oleh:
B. Etiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh
kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan
penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari,
luka bakar termal).
Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui. Diduga faktor genetik, infeksi dan
lingkungan ikut berperan pada patofisiologi SLE. Sistem imun tubuh kehilangan
kemampuan untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan
reaksi imunologi ini akan menghasilkan antibodi secara terus menerus. Antibody ini juga
berperan dalam pembentukan kompleks imun sehingga mencetuskan penyakit inflamasi
imun sistemik dengan kerusakkan multiorgan. Dalam keadaan normal, sistem kekebalan
berfungsi mengendalikan pertahanan tubuh dalam melawan infeksi.
Pada lupus dan penyakit autoimun lainnya, sistem pertahanan tubuh ini berbalik melawan
tubuh, dimana antibodi yang dihasilkan menyerang sel tubuhnya sendiri. Antibodi ini
menyerang sel darah, organ dan jaringan tubuh, sehingga terjadi penyakit menahun.
Mekanisme maupun penyebab dari penyakit autoimun ini belum sepenuhnya dimengerti
tetapi diduga melibatkan faktor lingkungan dan keturunan. Beberapa faktor lingkungan yang
dapat memicu timbulnya lupus: infeksi, antibiotik (terutama golongan sulfa dan penisilin),
sinar ultraviolet, stres yang berlebihan, obat-obatan tertentu, dan hormon.
Meskipun lupus diketahui merupakan penyakit keturunan, tetapi gen penyebabnya tidak
diketahui. Penemuan terakhir menyebutkan tentang gen dari kromosom 1. Hanya 10% dari
penderita yang memiliki kerabat (orang tua maupun saudara kandung) yang telah maupun
akan menderita lupus. Statistik menunjukkan bahwa hanya sekitar 5% anak dari penderita
lupus yang akan menderita penyakit ini. Lupus seringkali disebut sebagai penyakit wanita
walaupun juga bisa diderita oleh pria. Lupus bisa menyerang usia berapapun, baik pada pria
maupun wanita, meskipun 10-15 kali lebih sering ditemukan pada wanita. Faktor hormonal
mungkin bisa menjelaskan mengapa lupus lebih sering menyerang wanita. Meningkatnya
gejala penyakit ini pada masa sebelum menstruasi dan/atau selama kehamilan mendukung
keyakinan bahwa hormon (terutama estrogen) mungkin berperan dalam timbulnya penyakit
ini.
Faktor predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini. Diantara
beberapa faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui faktor yang paling
dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini. Berikut ini beberapa faktor predisposisi
yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE menurut Musai (2010):
a. Faktor Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul
produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk menderita SLE telah
ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak kembar
dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko terjadinya
SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki saudara dengan
penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi umum.
Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang
memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II
khususnya HLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan
timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen komplemen merupakan
salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang
dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah
dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen reseptor 1, akan berisiko
lebih tinggi menderita SLE.
Diketahui peneliti dari Australian National University (ANU) di Canberra
berhasil mengidentifikasikan untuk pertama kalinya penyebab genetik dari penyakit
lupus. Dengan pendekatan yang digunakan melalui pemeriksaan DNA, tim peneliti
berhasil mengidentifikasi penyebab khusus penyakit lupus yang diderita pasien yang
diteliti. Penyebabnya adalah adanya peningkatan jumlah molekul tertentu yang disebut
interferon-alpha.
b. Faktor Imunologi
Pada lupus enteritis terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu:
1. Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting Cell) akan
memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa reseptor yang
berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur maupun fungsinya
sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan
reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari
sel T.
2. Kelainan intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan
teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk
autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit
mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan
autoantibodi menjadi tidak normal.
3. Kelainan antibodi Terdapat beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE,
seperti substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan
memicu limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya
peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah mengendap di
jaringan.
c. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa studi
menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang tinggi.
Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal dapat
dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE.
d. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi dalam tubuh
dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri dari:
1. Infeksi virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya SLE.
Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri Streptococcus
dan Clebsiella.
2. Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi menjadi
kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat. Hal ini
menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi
inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah.
3. Stress
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan
terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan
mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada gangguan
sejak awal.
4. Obat-obatan Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat
menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang dapat
menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid,
dan isoniazid. (Musai, 2010)
C. Manifestasi Klinis
Diagnosis SLE di Indonesia mengacu pada kriteria diagnosis ACR 1997 revisi. Diagnosis
SLE dapat ditegakkan jika memenuhi minimal 4 dari 11 kriteria ACR untuk SLE
(Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011)
Tabel 1. Kriteria diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik
Kriteria Batasan
Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada
daerah malar dan
cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial.
Ruam diskoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan
sumbatan folikular. Pada SLE lanjut dapat
ditemukan parut atrofik
Fotosensitifitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal
terhadap sinar matahari, baik dari anamnesis pasien
atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa.
Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri
dan dilihat oleh dokter pemeriksa.
Artritis Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih
sendi perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak
atau efusia.
Serositis: Pleuritis atau Perikarditis Riwayat nyeri pleuritk atau pleuritc friction rub
yang didengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat
bukti efusi pleura.
Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial
friction rub atau terdapat bukti efusi perikardium.
Gangguan renal a. Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau
>3+ bila tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif
b. Silinder seluler: dapat berupa silinder eritrosit,
hemoglobin, granular, tubular atau campuran.
Gangguan neurologi a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-
obatan atau gangguan metabolic (misalnya
uremia, ketoasidosis, atau ketidakseimbangan
elektrolit).
b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-
obatan atau gangguan metabolic (misalnya
uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan
elektrolit).
Gangguan hematologik a. Anemia hemolitik dengan retikulosis
b. Lekopenia <4.000/mm3 pada dua kali
pemeriksaan atau lebih
c. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali
pemeriksaan atau lebih
d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa
disebabkan oleh obat-obatan
Gangguan imunologik a. Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA
dengan titer yang abnormal
b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap
antigen nuklear Sm
c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid
yang didasarkan atas:
1. Kadar serum antibodiantikardiolipin
abnormal baik IgG atau IgM.
2. Tes lupus antikoagulan positif
menggunakan metoda standart.
3. Hasil tes serologi positif palsu terhadap
sifilis sekurang-kurangnya selama 6 bulan
dan dikonfirmasi dengan test imobilisasi
Treponema Pallidum atau tes fluoresensi
absorbs antibody treponema.
Antibodi antinuclear positif (ANA test) Titer abnormal dari antibodi antinuklear
berdasarkan pemeriksaan imuno- fluoresensi atau
pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu
perjalan penyakit tanpa keterlibatan obat yang
diketahui berhubungan dengan sindroma lupus
yang diinduksi obat.
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitifitas 85% dan
spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka sangat
mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif,
maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain
tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi jangka panjang diperlukan.
D. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Perhimpunan Reumatologi Indonesia dan Perhimpunan Dokter Penyakit Dalam
Indonesia (2011), selain terpenuhinya minimal 4 dari 11 kriteria pasien dengan SLE menurut
ACR, berikut pemeriksaan yang harus dilakukan dalam penegakan diagnosis SLE,
diantaranya adalah:
a. Pemeriksaan Imunologi
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis SLE adalah
tes ANA generic (ANA IF dengan Hep 2 Cell). Tes ANA dikerjakan/diperiksa hanya
pada pasien dengan tanda dan gejala mengarah pada SLE. Pada penderita SLE
ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat
positif pada beberapa penyakit lain yang mempunyai gambaran klinis menyerupai SLE
misalnya 8 infeksi kronis (tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya Mixed connective
tissue disease (MCTD), artritis rematoid, tiroiditis autoimun), keganasan atau pada orang
normal.
Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan, tetapi
perjalanan penyakit reumatik sistemik termasuk SLE seringkali dinamis dan berubah,
mungkin diperlukan pengulangan tes ANA pada waktu yang akan datang terutama jika
didapatkan gambaran klinis yang mencurigakan. Bila tes ANA dengan menggunakan
sel Hep-2 sebagai substrat; negatif, dengan gambaran klinis tidak sesuai SLE umumnya
diagnosis SLE dapat disingkirkan.
Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah tes antibody
terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk anti-dsDNA, Sm, nRNP, Ro(SSA), La
(SSB), Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan ini dikenal sebagai profil ANA/ENA. Antibodi
anti-dsDNA merupakan tes spesifik untuk SLE, jarang didapatkan pada penyakit lain
dan spesifitasnya hampir 100%. Titer anti-dsDNA yang tinggi hampir pasti
menunjukkan diagnosis SLE dibandingkan dengan titer yang rendah. Jika titernya
sangat rendah mungkin dapat terjadi pada pasien yang bukan SLE.
Kesimpulannya, pada kondisi klinik adanya anti-dsDNA positif menunjang
diagnosis SLE sementara bila anti ds-DNA negatif tidak menyingkirkan adanya SLE.
Meskipun anti-Sm didapatkan pada 15%-30% pasien SLE, tes ini jarang dijumpai pada
penyakit lain atau orang normal. Tes anti-Sm relatif spesi ik untuk SLE, dan dapat
digunakan untuk diagnosis SLE. Titer anti-Sm yang tinggi lebih spesifik untuk SLE.
Seperti anti-dsDNA, anti-Sm yang negatif tidak menyingkirkan diagnosis.
Rekomendasi:
1) Test ANA merupakan test yang sensitif, namun tidak spesifik untuk SLE
2) Test ANA dikerjakan hanya jika terdapat kecurigaan terhadap SLE
3) Test Anti dsDNA positif menunjang diagnosis SLE, namun jika negatif tidak
menyingkirkan diagnosis SLE.
Tabel 2. Jenis autoantibodi pada SLE dan makna klinisnya (Buyon, 2008)
Antibodi Frekuensi Makna Klinis
Anti Nuclear Antibody 90% Tidak spesifik untuk manifestasi
klinis tertentu; hanya digunakan
untuk tujuan diagnosis
Anti-dsDNA 40-60% Terkait manifestasi klinis nefritis;
dapat memprediksi flare atau
peningkatan aktivitas penyakit.
Anti-RNP 30%-40% Terkait manifestasi klinis
Raynaud’s, musculoskeletal; tidak
dapat menilai aktivitas penyakit.
Anti Ribosomal-P 10%-20% Terkait manifestasi klinis gangguan
SSP difus, psikosis, depresi mayor;
tidak dapat menilai aktivitas
penyakit.
Anti-SSA/ Ro 30%–45% Terkait manifestasi klinis kekeringan
konjungtiva dan mukosa mulut,
SCLE, lupus neonatal,
fotosensitivitas; tidak dapat menilai
aktivitas penyakit.
Anti-SSB/ La 10%-15% Terkait manifestasi klinis kekeringan
konjungtiva dan mukosa mulut,
SCLE, lupus neonatal,
fotosensitivitas; tidak dapat menilai
aktivitas penyakit.
Antiphospholipid 30% Terkait manifestasi klinis gangguan
pembekuan darah; tidak dapat
menilai aktivitas penyakit.
E. Penatalaksanaan Medis
Baik untuk SLE ringan atau sedang dan berat, diperlukan gabungan strategi pengobatan atau
disebut pilar pengobatan. Pilar pengobatan SLE ini seyogyanya dilakukan secara bersamaan
dan berkesinambungan agar tujuan pengobatan tercapai. Perlu dilakukan upaya pemantauan
penyakit mulai dari dokter umum di perifer sampai ke tingkat dokter konsultan, terutama
ahli reumatologi.
a. Edukasi / Konseling
Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan dukungan dari
sekitarnya dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Perlu dijelaskan akan perjalanan
penyakit dan kompleksitasnya. Pasien memerlukan pengetahuan akan masalah aktivitas
fisik, mengurangi atau mencegah kekambuhan antara lain melindungi kulit dari paparan
sinar matahari (ultra violet) dengan memakai tabir surya, payung atau topi; melakukan
latihan secara teratur. Pasien harus memperhatikan bila mengalami infeksi. Perlu
pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan, osteoporosis atau terjadi dislipidemia.
Diperlukan informasi akan pengawasan berbagai fungsi organ, baik berkaitan dengan
aktivitas penyakit ataupun akibat pemakaian obat-obatan. Butir-butir edukasi pada
pasien SLE adalah sebagai berikut:
1) Penjelasan tentang apa itu lupus dan penyebabnya.
2) Tipe dari penyakit SLE dan perangai dari masing-masing tipe tersebut.
3) Masalah yang terkait dengan fisik: kegunaan latihan terutama yang terkait dengan
pemakaian steroid seperti osteoporosis, istirahat, pemakaian alat bantu maupun
diet, mengatasi infeksi secepatnya maupun pemakaian kontrasepsi.
4) Pengenalan masalah aspek psikologis: bagaimana pemahaman diri pasien SLE,
mengatasi rasa lelah, stres emosional, trauma psikis, masalah terkait dengan
keluarga atau tempat kerja dan pekerjaan itu sendiri, mengatasi rasa nyeri.
5) Pemakaian obat mencakup jenis, dosis, lama pemberian dan sebagainya. Perlu
tidaknya suplementasi mineral dan vitamin. Obat-obatan yang dipakai jangka
panjang contohnya obat anti tuberkulosis dan beberapa jenis lainnya termasuk
antibiotikum.
6) Dimana pasien dapat memperoleh informasi tentang SLE, adakah kelompok
pendukung, yayasan yang bergerak dalam pemasyarakatan SLE dan sebagainya.
Terkait dengan pendekatan biopsikososial dalam penatalaksanaan SLE, maka
setiap pasien SLE perlu dianalisis adanya masalah neuro-psikologik maupun sosial.
Berdasarkan data penelitian di RSCM (2010) ditemukan adanya gangguan fungsi
kognitif sebesar 86,49%.21 Pembuktian dilakukan menggunakan alat pemeriksaan yang
lebih teliti seperti TRAIL A, TRAIL B maupun Pegboard. Hal ini memperlihatkan
besarnya gangguan neuropsikiatrik yang tersembunyi pada SLE, karena secara nyata
gangguan tersebut tidak melebihi 20%. Adanya stigmata psikologik pada keluarga
pasien masih memerlukan pembuktian lebih lanjut. Namun adanya gangguan •isik dan
kognitif pada pasien SLE dapat memberikan dampak buruk bagai pasien didalam
lingkungan sosialnya baik tempat kerja atau rumah.
Edukasi keluarga diarahkan untuk memangkas dampak stigmata psikologik akibat
adanya keluarga dengan SLE, memberikan informasi perlunya dukungan keluarga
yang tidak berlebihan. Hal ini dimaksudkan agar pasien dengan SLE dapat dimengerti
oleh pihak keluarganya dan mampu mandiri dalam kehidupan kesehariannya.
b. Program Rehabilitasi
Terdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada pasien dengan SLE
tergantung maksud dan tujuan dari program ini. Salah satu hal penting adalah
pemahaman akan turunnya masa otot hingga 30% apabila pasien dengan SLE
dibiarkan dalam kondisi immobilitas selama lebih dari 2 minggu. Disamping itu
penurunan kekuatan otot akan terjadi sekitar 1-5% per hari dalam kondisi imobilitas.
Berbagai latihan diperlukan untuk mempertahankan kestabilan sendi. Modalitas fisik
seperti pemberian panas atau dingin diperlukan untuk mengurangi rasa nyeri,
menghilangkan kekakuan atau spasme otot. Demikian pula modalitas lainnya seperti
transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) memberikan manfaat yang cukup
besar pada pasien dengan nyeri atau kekakuan otot.
Secara garis besar, maka tujuan, indikasi dan tekhnis pelaksanaan program
rehabilitasi yang melibatkan beberapa maksud di bawah ini, yaitu:
1) Istirahat
2) Terapi fisik
3) Terapi dengan modalitas
4) Ortotik
c. Terapi Medikamentosa
Berikut ini adalah jenis, dosis obat yang dipakai pada SLE serta pemantauannya,
selanjutnya dapat dilihat pada tabel (Perhimpunan Reumatlogi Indonesia dan
Perhimpunan Dokter Penyakit Dalam Indonesia, 2011):
Tabel 3. Jenis dan Dosis Obat yang Dapat Dipakai pada SLE
Evaluasi Pemantauan
Jenis obat Dosis Jenis Toksisitas
Awal Klinis Labo-ratorik
Perdarahan saluan
Darah
cerna, hepatotoksi, Darah rutin,
rutin, Gejala
Tergantung sakit kepala, kreatinin,
OAINS kreatinin, gastrointesti
OAINS hipertensi, AST/ALT
urin rutin, nal
Aseptic meningitis, setiap 6 bulan
AST/ALT
nefrotoksik.
Cushingoid, Gula
hipertensi, darah,
dislipidemi, Profil
Kortiko- Tergantung Tekanan
osteonekros, lipid, Glukosa
steroid derajat SLE darah
hiperglisemi, DXA,
katarak, tekanan
oesteo-porosis darah
Retinopati, Funduskopi
Evaluasi
keluhan GIT, rash, dan
mata,
250 mg/hari mialgia, sakit lapangan
G6PD
Klorokuin (3,5-4 mg/kg kepala, anemi pandang
pada
BB/hr) hemolitik pada mata setiap 3-
pasien
pasien dengan 6
berisiko
defisiensi G6PD bulan
Darah tepi
lengkap
tiap 1-2
minggu
50-150 mg dan
Mielo-supresif, Darah tepi
per hari, dosis selanjutnya
hepatotoksi, lengkap, Gejala
Azatioprin terbagi 1-3, 1-3 bulan
gangguan kreatinin, mielosupresif
tergantung interval.
limfo-proliferatif AST/ALT
berat badan. AST ap
tahun dan
pap smear
secara
teratur.
Darah tepi
Per oral: 50- Mielo-supresif, lengkap
150 mg per gangguan Darah tepi dan urin
Gejala
hari. limfo-proliferatif, lengkap, lengkap
mielosupresif
IV: 500-750 keganasan, hitung tiap bulan,
Siklo- ,
mg/m2 dalam imunosupres, jenis sitologi
fosfamid hematuria
Dextrose sistitis leukosit, urin dan pap
dan
250 ml, infus hemoragik, urin smear
infertilitas.
Selama 1 infertilitas lengkap. tiap tahun
jam. sekunder seumur
hidup.
Meto-treksat 7.5 – 20 mg Mielo-supresif, Darah tepi Gejala Darah tepi
/ minggu, fibrosis hepatik, lengkap, mielosupresif lengkap
dosis tunggal sirosis, infiltrat foto , terutama
toraks,
hitung
serologi
trombosit tiap
hepatitis B
4-8 minggu,
dan
atau terbagi sesak nafas, AST /
C pada
3. Dapat mual ALT dan
pulmonal dan pasien
diberikan pula dan muntah, albumin
fibrosis. Risiko
melalui ulkus tiap 4-8
tinggi,
injeksi. mulut. minggu,
AST,
urin lengkap
fungsi
dan
hati,
kreatinin.
kreatinin.
Pem-bengkakan, Gejala
nyeri gusi, hipersensitifi
2.5–5 mg/kg
peningkatan tas terhadap
BB, atau Darah tepi
tekanan darah, castor oil
sekitar 100 lengkap, Kreatinin,
peningkatan (bila obat
Siklo-sporin – 400 mg per kreatinin, LFT,
pertumbuhan diberikan
A hari dalam urin Darah tepi
rambut, injeksi),
2 dosis, lengkap, lengkap.
gangguan fungsi tekanan
tergantung LFT.
ginjal, nafsu darah, fungsi
berat badan.
makan menurun, hati dan
tremor. ginjal.
Darah tepi
Gejala
Darah tepi lengkap
1000 – 2.000 gastrointestin
Miko-fenolat Mual, diare, lengkap, terutama
mg dalam 2 al
mofetil leukopenia. fese leukosit
dosis. seperti mual,
lengkap. dan hitung
muntah.
jenisnya.
F. WOC / PHATWAY
Genetik, kuman, virus, lingkungan,
obat-obatan tertentu
Gangguan Imunoregulasi
antibody yang
berlebihan
Penyakit SLE
Kerusakan
sintesa zat-zat
tubuh
Tidak nafsu
makan, mual
muntah
Defisit
Nutrisi
DAFTAR PUSTAKA
Bulechek, G.M. Butcher, H.K. Dochterman, J.M. Wagner, C.M. 2016. Nursing
Interventions Classification (NIC). Singapore : Elsevier Global Rights.
Lahita RG, Tsokos G, Buyon JP, and Koike T. Systemic Lupus Erythematosus. 4th
edition. London: Academic Press; 2004.
Price, S.A. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Vol. 2 Edisi 6.
Jakarta: EGC
Tjokronegoro, A. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
“HUTAMA ABDI HUSADA”
Ijin Pendirian Mendiknas RI Nomor : 113/D/O/2009
I. IDENTITAS
1. Nama : Tn. H
2. Umur : 45 Tahun
3. Jenis Kelamin : Laki-Laki
4. Agama : Islam
5. Suku / Bangsa : Jawa
6. Bahasa : Indonesia
7. Pendidikan : SLTA
8. Pekerjaan : Guru
9. Alamat : Ds. Boyolangu
10. Alamat yg mudah dihubungi : Ds. Boyolangu
11. Ditanggung oleh : Askes / Astek / Jamsostek / JPS / Sendiri
B. Pola Eliminasi
1. BAB
- Warna Kuning keemasan Kuning keemasan
2. BAK
- Warna Kuning pekat Kuning pekat
- Yang Disukai Soto Ayam, Sate Ayam Soto Ayam, Sate Ayam
2. Minum
- Oral / NGT Oral Oral
4. Pemeliharaan kuku
Kalau panjang dipotong Kalau panjang dipotong
5. Ganti pakaian
Setelah mandi Setelah mandi
F. Kebiasaan
1. Merokok Tidak Tidak
V. KONSEP DIRI
A. Gambaran Diri
Px sebagai seorang suami dan ayah
B. Harga Diri
Px memiliki rasa percaya diri tinggi untuk melakukan interaksi dengan orang lain
C. Ideal Diri
Px berharap agar sakit yang di deritanya bisa segera sembuh
D. Identitas Diri
Px mengatakan bangga menjadi seorang laki-laki dan sekarang berstatus sebagai
seorang suami dan ayah
E. Peran
Px sebagai kepala keluarga
VI. DATA SPIRITUAL
A. Ketaatan Beribadah :
Px mengatakan selama dirawat di rumah sakit tidak pernah solat
B. Keyakinan terhadap sehat / sakit : Px yakin sehat / sakit dari Tuhan Yang
Maha Esa
C. Keyakinan terhadap penyembuhan :
Px yakin akan segera sembuh
G. Pemeriksaan Abdomen
a. Inspeksi
- Bentuk abdomen : Simetris
- Benjolan / Massa : Tidak ada
- Bayangan pembuluh darah pada abdomen
Tidak ada bayangan
b. Auskultasi
- Peristaltik Usus : Ada bising usus (7 x/menit)
c. Palpasi
- Tanda nyeri tekan :Tidak ada nyeri tekan
- Benjolan / massa : Tidak ada massa
- Tanda-tanda ascites : Tidak ada acites
- Hepar : Tidak ada pembesaran hepar
- Lien : Tidak ada pembesaran lien
- Titik Mc. Burne : Tidak ada nyeri tekan
d. Perkusi
- Suara Abdomen
Thympani
- Pemeriksaan Ascites
Tidak ada acites
3 3
J. Pemeriksaan Neurologi
1. Tingkat kesadaran ( secara kuantitatif ) / GCS :
GCS : 4-5-6
2. Tanda – tanda rangsangan otak ( meningeal sign ) :
Normal, tidak ada kaku kuduk
3. Syaraf otak( Nervus cranialis ) :
Normal
4. Fungsi Motorik :
Normal
5. Fungsi Sensorik :
Koping individu baik
6. Refleks :
a. Refleks Fisiologis
Koping individu baik
b. Refleks Patologis
Tidak ada
PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Diagnosa Medis : SLE
B. Pemeriksaan Diagnostik / Penunjang Medis :
1. Laboratorium
- BUN : 90 mg/dl
- Kreatinin : 7,2 mg/dl
2. Rontgen
Tidak ada
3. ECG
Tidak ada
4. USG
a. Ginjal Kiri
b. Ginjal Kanan
5. CT Scan
Tidak ada
Lain-lain
Mahasiswa
Prila Tina Rahayu
NIM. A2R17026
ANALISA DATA
Umur : 45 Tahun
Gejala Minor :
Subjektif :
- Nafsu
makan menurun
Objektif :
- Bising
usus hiperaktif
- Membra
n mukosa pucat
Gejala Minor :
Subjektif :
- Merasa lemah
Objektif :
- Tekanan
darah berubah : 90/60
mmHg
- Sianosis
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Umur : 45 Tahun
Umur : 45 Tahun
Kolaborasi :
9. Kolaborasi pemberian diuretik.
Edukasi :
9. Ajarkan diet yang di
programkan.
Kolaborasi :
10. Kolaborasi dengan ahli gizi
untuk menentukan jumlah
kalori dan jenis nutrient yang
dibutuhkan, jika perlu.
Edukasi :
7. Anjurkan tirah baring.
8. Anjurkan melakukan aktivitas
secara bertahap.
9. Anjurkan menghubungi
perawat juka tanda dan gejala
kelelahan tidak berkurang.
Kolaborasi :
10. Kolaborasi dengan ahli gizi
tentang cara meningkatkan
asupan makanan.
TINDAKAN KEPERAWATAN CATATAN PERKEMBANGAN
Nama Pasien : Tn. H Umur : 45 Tahun No. Register : 030498 Kasus : SLE
Kolaborasi :
9. Mengkolaborasi pemberian diuretik.
- Klorotiazide 500 mg
- Hidrotiazide 50 mg
- Politiazide 4 mg
- Metiklotiazide 5 mg
Edukasi :
9. Mengajarkan diet yang diprogramkan.
Kolaborasi :
10. Mengkolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah kalori dan jenis
nutrient yang dibutuhkan.
Manajemen Energi
08 September Observasi : 08 September
3. III 2021 1. Mengidentifikasi gangguan fungsi tubuh 2021 S : Px mengatakan merasa lemah, tekanan
yang mengakibatkan kelelahan. darah berubah, sianosis.
10.00 2. Memonitor kelelahan fisik dan emosional. 14.00
3. Memonitor lokasi dan ketidaknyamanan O:
selama melakukan aktivitas. - k/u lemah
- Mengeluh lelah.
Terapeutik : - Tekanan darah berubah.
4. Menyediakan lingkungan nyaman dan - Sianosis.
rendah stimulus (Mis. cahaya, suara,
kunjungan). A : Masalah Intoleransi Aktivitas Belum
5. Melakukan latihan rentang gerak pasif Teratasi.
dan/atau aktif.
6. Memberikan aktivitas distraksi yang P : Intervensi Dilanjutkan No 1-10
menenangkan.
Edukasi :
7. Menganjurkan tirah baring.
8. Menganjurkan melakukan aktivitas secara
bertahap.
9. Menganjurkan menghubungi perawat jika
tanda dan gejala kelelahan tidak
berkurang.
Kolaborasi :
10. Mengkolaborasi dengan ahli gizi tentang
cara meningkatkan asupan makanan.
Manajemen Hipervolemia
1. 09 September Observasi : 09 September
I 2021 1. Memeriksa tanda da gejala hipervolemia 2021 S : Px mengatakan seluruh tubuhnya tidak
(Mis. edema). merasa bengkak, kencing sudah bisa keluar
10.00 2. Mengidentifikasi penyebab hipervolemia. 14.00
3. Memonitor status hemodinamik (Mis. O:
tekanan darah). - k/u baik
4. Memonitor intake dan output. - Tidak ada edema anasarka dan / atau
edema perifer.
Terapeutik : - Berat badan membaik.
5. Menimbang berat badan setiap hari pada
waktu yang sama. A : Masalah hypervolemia sudah teratasi.
Kolaborasi :
9. Mengkolaborasi pemberian diuretik.
- Klorotiazide 500 mg
- Hidrotiazide 50 mg
- Politiazide 4 mg
- Metiklotiazide 5 mg
Edukasi :
9. Mengajarkan diet yang diprogramkan.
Kolaborasi :
10. Mengkolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah kalori dan jenis
nutrient yang dibutuhkan, jika perlu.
Edukasi :
7. Menganjurkan tirah baring.
8. Menganjurkan melakukan aktivitas secara
bertahap.
9. Menganjurkan menghubungi perawat jika
tanda dan gejala kelelahan tidak
berkurang.
Kolaborasi :
10. Mengkolaborasi dengan ahli gizi tentang
cara meningkatkan asupan makanan.