PRODI NERS
PRAKTEK KLINIK KEPERAWATAN
LEMBAR PENGESAHAN
Mahasiswa :
Trauma Berulang, Riwayat Collagen Vaskular Seperti Rheumatoid Artritis, Diabetes Melitus,
Artritis Psoriatis, Amyloidosis, Hipotiroid, Sarkoidosis, Dan Pigmented Vilonodular Synovitis
TRIGGER FINGER
Impuls Ke Otak
Persepsi Nyeri
NYERI AKUT
E. Manifestasi Klinis Trigger Finger
Trigger Finger dapat mengenai lebih dari satu jari pada satu waktu, meskipun biasanya
lebih sering terjadi pada ibu jari, tengah, atau jari manis. Trigger Finger biasanya lebih
menonjol di pagi hari, atau saat memegang obyek dengan kuat (Makkouk, 2008).
Gejala ini muncul biasanya dimulai tanpa adanya cedera. Gejala-gejala ini termasuk
adanya benjolan kecil, nyeri di telapak tangan, pembengkakan, rasa tidak nyaman di jari dan
sendi. Kekakuan akan bertambah jika pasien tidak melakukan aktifitas, misalnya saat anda
bangun pagi, kadang kekakuan akan berkurang saat melakukan aktifitas. Pada kasus-kasus
yang berat jari tidak dapat diluruskan bahkan dengan bantuan. Pasien dengan diabetes
biasanya akan terkena lebih parah. Pada tingkat sendi palmaris distal, nodul bisa teraba
lembut, biasanya di atas sendi metakarpofalangealis (MCP). Jari yang terkena bisa macet
dalam posisi menekuk (Akhtar et al, 2005).
Trigger Finger dapat sangat menyakitkan bagi pasien. Dalam kasus yang parah, pasien
tidak mampu untuk menggerakkan jari yang melampaui rentang gerak. Pada ibu jari yang
macet, pada palpasi yang lembut dapat ditemukan nodul pada aspek palmar sendi MCP
pertama dari sendi palmaris distal (Akhtar et al, 2005; Makkouk, 2008).
2. Injeksi Kortikosteroid
Injeksi kortikosteroid untuk pengobatan Trigger Finger telah dilakukan sejak 1953.
Tindakan Ini harus dicoba sebelum intervensi bedah karena sangat efektif (hingga
93%), terutama pada pasien non-diabetes dengan onset baru-baru ini terkena gejala
dan satu digit dengan nodul teraba. Injeksi kortikosteroid diberikan fase akut sampai 4
bulan pertama. Injeksi diberikan secara langsung ke dalam selubung tendon. Namun,
laporan menunjukkan bahwa injeksi extra synovial mungkin efektif, sambil
mengurangi risiko tendon rupture(pecah). Pecah Tendon adalah komplikasi yang
sangat jarang, hanya satu kasus yang dilaporkan. Komplikasi lain termasuk atrofi kulit,
nekrosis lemak, hipopigmentasi kulit sementara elevasi glukosa serum pada penderita
diabetes, dan infeksi. Jika gejala tidak hilang setelah injeksi pertama, atau muncul
kembali setelah itu, suntikan kedua biasanya lebih mungkin untuk berhasil sebagai
tindakan awal (Fauzi, 2015).
b. Terapi Non Farmakologi
Terapi non farmakologi yang dapat dilakukan menurut Manurung (2013):
1) Kompreskan es selama lima sampai lima belas menit pada daerah yang bengkak
dan nyeri.
2) Hindari aktifitas yang mengakibatkan tendon mudah teriritasi, seperti latihan jari
yang berulang-ulang.
3) Splinting
Tujuan splinting adalah untuk mencegah gesekan yang disebabkan oleh pergerakan
tendon fleksor melalui katrol A1 yang sakit sampai hilangnya peradangan. Secara
umum splinting merupakan pilihan pengobatan yang tepat pada pasien yang
menolak atau ingin menghindari injeksi kortikosteroid. Sebuah studi pekerja
manual dengan interfalangealis distal (DIP) di splint dalam ekstensi penuh selama 6
minggu menunjukkan pengurangan gejala pada lebih dari 50% pasien. Studi lain,
splint sendi MCP di 15 derajat fleksi (meninggalkan sendi PIP dan DIP bebas) yang
ditampilkan untuk memberikan resolusi gejala di 65% dari pasien pada 1tahun
tindak lanjut. Untuk pasien yang paling terganggu oleh gejala mengunci di pagi
hari, splinting sendi PIP pada malam hari dapat menjadi efektif. splinting
menghasilkan tingkat keberhasilan yang lebih rendah pada pasien dengan gejala
Trigger Finger yang berat atau lama (Geso et al, 2012; Makkouk, 2008; Rasjad,
2007).
c. Pembedahan
Tindakan pembedahan dinilai sangat efektif pada trigger finger. Indikasi untuk
perawatan bedah umumnya karena kegagalan perawatan konservatif untuk mengatasi
rasa sakit dan gejala. Waktu operasi agak kontroversial dengan data yang menunjukkan
pertimbangan bedah setelah kegagalan baik tunggal maupun beberapa suntikan
kortikosteroid. Tindakan pembedahan ini pertama kali diperkenalkan oleh Lorthioir
pada tahun 1958. Fungsi operasi biasanya bertujuan melonggarkan jalan bagi tendon
yaitu dengan cara membuka selubungnya. Dalam penyembuhannya, kedua ujung
selubung yang digunting akan menyatu lagi, tetapi akan memberikan ruang yang lebih
longgar, sehingga tendon akan bisa bebas keluar masuk. Dalam prosedur ini, sendi MCP
adalah hyperextensi dengan telapak ke atas, sehingga membentang keluar katrol A-1
dan pergeseran struktur neurovaskular bagian punggung. Setelah klorida dan etil
disemprotkan lidokain disuntikkan untuk manajemen nyeri, jarum dimasukkan melalui
kulit dan ke katrol A-1. Tingkat keberhasilan telah dilaporkan lebih dari 90% dengan
prosedur ini, namun penggunaan teknik ini berisiko cedera saraf atau arteri (Fauzi,
2015).
Edukasi :
10.Jelaskan prosedur, termasuk
sensasi yang mungkin
dialami.
11.Informasikan secara faktual
mengenai diagnosis,
pengobatan, dan prognosis.
12.Anjurkan keluarga untuk
tetap bersama pasien, jika
perlu.
13.Anjurkan melakukan
kegiatan yang tidak
kompetitif, sesuai
kebutuhan.
14.Anjurkan mengungkapkan
perasaan dan persepsi.
15.Latih kegiatan pengalihan
untuk mengurangi
ketegangan.
16.Latih Teknik relaksasi.
Kolaborasi :
17.Kolaborasi pemberian obat
antlansietas.
Terapeutik :
10. Berikan Teknik non
farmakologi untuk
mengurangi rasa nyeri
11. Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri.
12. Fasilitasi istirahat dan tidur.
13. Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam
pemilihan strategi
meredakan nyeri.
Edukasi :
14. Jelaskan penyebab, periode,
dan pemicu nyeri.
15. Jelaskan strategi meredakan
nyeri.
16. Anjurkan memonitor nyeri
secara mandiri.
17. Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat.
18. Ajarkan teknik non
farmakoolgis untuk
mengurangi nyeri.
Kolaborasi :
Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
Edukasi :
7. Jelaskan tujuan dan
prosedur ambulasi.
8. Anjurkan melakukan
ambulasi dini.
9. Ajarkan ambulasi sederhana
yang harus dilakukan (mis.
berjalan dan tempat tidur ke
kursi roda, berjalan dari
tempat tidur ke kamar
mandi, berjalan sesuai
toleransi.
DAFTAR PUSTAKA
Bulechek, G.M. Butcher, H.K. Dochterman, J.M. Wagner, C.M. 2016. Nursing
Interventions Classification (NIC). Singapore : Elsevier Global Rights.
Herdman, T.H. 2015-2017. NANDA Internasional Inc. Diagnosis Keperawatan: definisi
& klasifikasi 2015-2017. Jakarta : EGC
Lahita RG, Tsokos G, Buyon JP, and Koike T. Systemic Lupus Erythematosus. 4th
edition. London: Academic Press; 2004.
Moorhead, S. Johnson, M. Maas, M.L. Swanson, E. 2016. Nursing Outcomes
Classification (NOC). Singapore: Elsevier Global Rights.
Price, S.A. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Vol. 2 Edisi 6.
Jakarta: EGC
Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus
Eritematosus Sistemik. Perhimpunan Reumatologi Indonesia: Jakarta
Tjokronegoro, A. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI