Anda di halaman 1dari 57

PROPOSALPROYEK INOVASI

RUANGAN ANAK AKUT DAN KRONIK

OLEH :

KELOMPOK
MAGISTER KEPERAWATAN ANAK

1. DEVI EKA SAFITRI


2. DINI SURYANI
3. HIDAYATUL HASNI
4. MELDA SAPUTRI
5. NURHAIDA
6. PUTRI EKA SUDIARTI
7. PUTRI MINAS SARI
8. RAHMATIKA AMMELDA
9. RAHMI RAMADHAN
10.SEPTA NELLY

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


PEMINATAN KEPERAWATAN ANAK
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang maha Esa yang telah
melimpahkan karunia Nya, sehingga kelompok dapat menyelesaikan tugas Proyek
Inovasi dengan judul “Penerapan teknik pengalihan gangguan psikologi melalui
media baju bergambar terhadap kecemasan anak yang akan dilakukan tindakan invasif
di ruang anak RSUP Dr. M. Djamil Padang”.

Tugas ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan Mata
Ajar Aplikasi Keperawatan Anak Program Pasca Sarjana Peminatan Keperawatan
Anak Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Andalas. Selama penulisan proposal ini
kelompok mendapat bimbingan, arahan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu dalam kesempatan ini menyampaikan ucapan terima kasih yang tak
terhingga kepada yang terhormat:
1. Ibu Dr. Ns. Meri Neherta, M.Biomed. selaku koordinator Mata Ajar Keperawatan
Anak.
2. Ibu Ns. Hermalinda, M.Kep, Sp. Kep.An selaku pembimbing akademik
3. Ibu Ns. Deswita, M.Kep, Sp. Kep.An selaku pembimbing akademik
4. Ibu Ns. Dwi Novrianda, M.Kep selaku pembimbing akademik
5. Ibu Ns. Rahma Devita, M.Kep, Sp. Kep.An selaku pembimbing klinik
6. Ibu Ns. Yori, M.Kep selaku kepala SPF Anak
7. Ibu Dewi Anggraini Amd.Kep selaku karu kut
8. Ibu Reni Amd.Kep selaku Karu Kronik
9. Seluruh perawat ruang anak akut dan kronik
10. Teman-teman Program Magister Keperawatan Peminatan Keperawatan Anak

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Andalas angkatan 2017.


Penulis menyadari untuk kesempurnaan proposal ini masih memerlukan masukan.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan masukan berupa saran dan kritik yang
membangun.
Padang, Oktober 2018
Kelompok
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Pelaksanaan asuhan keperawatan berbasis bukti merupakan keinginan bagi

semua perawat. untuk membuat individu dan keluarganya berespon terhadap

masalah kesehatan, praktik keperawatan berbasis teori diperlukan untuk

membuat dan menerapkan intevensi keperawatan dalam mengetahui kebutuhan

klien. teori akan membantu untuk menggambarkan, menjelaskan, memprediksi,

dan memperjelas asuhan keperawatan (potter & perry, 2009). teori menghasilkan

pengetahuan keperawatan yang dapat digunakan dalam praktik. integrasi teori ke

dalam praktik merupakan dasar profesi keperawatan (Mcewen & Will, 2007

dalam Potter & Perry, 2009 ). sebagai contoh teori kolcaba yang menjelaskan

tentang kenyamanan pskiatrik, mempunyai nilai dalam membantu keperawatan

menciptakan kenyamanan secara fisik, psikospritual, sosiokultural, dan

lingkungan (Kolcaba, 2008).

Kenyamanan merupakan konsep sentral dari kiat keperawatan. berbagai teori

keperawatan menyatakan kenyamanan sebagai kebutuhan dasar klien yang

merupakan tujuan pemberian asuhan keperawatan. kolcaba (1994)

mendefinisikan kenyamanan dengan cara yang konsisten pada pengalaman

subjektif klien dan sebagai suatu keadaan telah terpenuhinya kebutuhan dasar

manusia. Teori kolcaba termasuk dalam middle range theory. Menurut kolcaba,

teori kenyamanan menjadi salah satu pilihan teori keperawatan yang dapat

diaplikasikan langsung di lapangan karena bersifat universal dan tidak terhalang

budaya yang dimiliki oleh setiap masyarakat, serta memiliki tingkat abstraksi
yang rendah (peterson & bredow, 2008). Hal ini menyebabkan teori kenyamanan

bisa dimodifikasi seluas-luasnya sesuai kebutuhan klien masing-masing (march

& mccormack, 2009). Penerapan teori kenyamanan ini juga sejalan dengan

prinsip keperawatan anak, yaitu perawatan atraumatik. Salah satunya adalah

mengurangi nyeri yang dirasakan anak saat prosedur invasif seperti saat

dilakukan pemasangan infus dan injeksi lainnya.

RSUP DR.M.Djamil Padang merupakan rumah sakit rujukan utama di Sumatera

Tengah. Berdasarkan observasi yang dilakukan di ruang perawatan anak akut dan

kronis RSUP Dr. M.Djamil Padang, anak yang dilakukan tindakan invasif seperti

pemasangan infus dimana anak memberikan respon yang hampir sama setiap

anaknya. Anak merasa takut, berusaha menolak perawat, meronta, menangis,

memegang erat tangan orang tuanya, memukul perawat, sehingga pelaksanaan

tindakan invasif seperti pemasangan infus sulit untuk dilakukan dan

membutuhkan waktu yang lama. Akibatnya anak dipaksa seperti orang tua dan

perawat memegangi tangan dan kaki anak agar anak bisa diam, hal ini

berdampak pada trauma yang dalam pada anak.

Saat dilakukan pemasangan infus prinsip kenyamanan dan perawatan atraumatik

belum dilaksanakan secara efektif. Bila diizinkan keluarga pemaksaan tindakan

masih dilakukan bila anak sulit untuk diajak kerjasama. Hal ini menyebabkan

peningkatan ekspresi nyeri, kecemasan, ketakutan, dan stress baik melalui respon

verbal ataupun nonverbal anak. Serta belum efektifnya penerapan discharge

planning terhadap pasien yang dilakukan oleh perawat dikarenakan oleh

beberapa hal.
Menurut Hockenberry, M.J. & Wilson (2009) perawat memiliki peranan penting

dalam memberikan dukungan bagi anak dan keluarga guna mengurangi respon

stress terhadap hospitalisasi. Tindakan dan sikap perawat serta kelas rumah sakit

akan mempengaruhi tingkat kecemasan anak saat proses hospitalisasi, sehingga

dalam memberikan asuhan keperawatan perawat dapat menggunakan teknik

atraumatic care. Atraumatic care merupakan perawatan teraupetik untuk

meminimalkan dan menghilangkan penderitaan psikologis dan fisik yang dialami

anak-anak dan keluarga dalam perawatan kesehatan. Atraumatic care tidak

menimbulkan adanya trauma pada anak dan keluarga, atraumatic care

difokuskan dalam pencegahan terhadap trauma yang merupakan bagian dalam

keperawatan anak. Perhatian khusus pada anak sebagai individu yang masih

dalam usia tumbuh kembang sangat penting karena masa anak-anak merupakan

proses menuju kematangan (Kyle & Carman, 2013).

Prinsip perawatan atraumatic care yang harus dimiliki oleh tim kesehatan dalam

merawat pasien anak adalah mencegah atau meminimalisir stresor fisik dan

psikis, mencegah dampak perpisahan orangtua dan anggota keluarga lainnya,

intervensi meningkatkan kemampuan orang tua dalam mengontrol perawatan

anak intervensi mencegah atau menurunkan cedera fisik maupun psikologis

(nyeri) intervensi modifikasi lingkungan fisik ruangan perawatan anak.

Mencegah atau meminimalisir stresor fisik dan psikis dapat dilakukan dengan

cara pemberian permainan terlebih dahulu sebelum melakukan persiapan fisik

anak, misalnya dengan bercerita, menggambar, menonton video kaset dengan

cerita yang berkaitan dengan tindakan prosedur yang dilakujan pada anak,
memakai pakaian bermotif kartun oleh perawat. Penelitian (Lilik Lestari, Wanda,

& Hayati, 2017), hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan pakaian

bermotif kartun saat venipuncture efektif mengurangi kecemasan dan rasa sakit.

Pakaian bermotif kartun dapat mengalihkan perhatian anak dari rasa sakit dan

kecemasan. Pakaian bermotif kartun merupakan terapi yang sederhana, mudah

untuk dipraktekkan, tidak mahal dan tidak memiliki efek samping.

Penelitian yang dilakukan oleh Kaur, Sarin, & Kumar (2014), hasil penelitian ini

distraksi film kartun merupakan strategi pengalihan perhatian yang efektif untuk

mengurangi rasa nyeri dan kecemasan anak-anak selama injeksi intravena. Tetapi

hal ini sulit untuk diterapkan di RSUP M.Djamil mengingat belum tersedianya

sarana dan prasarana untuk memutar film kartun yang akan diberikan kepada

anak.

Masih menyangkut hospitalisasi yaitu penerapan discharge planning secara

berkesinambungan sejak pasien dirawat pertama kali di ruang rawat inap sampai

pasien rencana pulang (abdullah, 2015). Dikutip dalam national council of social

service (ncss) tahun 2006 bahwa perencanaan pulang merupakan suatu lembar

pencatatan perencanaan pulang yang disusun oleh perawat meliputi intervensi

keperawatan pasien yang melibatkan pasien dan keluarga serta lingkungan

masyarakat.

Dalam pemberian discharge planning peran perawat sangat berpengaruh dimana

proses pengobatan dan perawatan pasien secara berkesinambungan

membutuhkan tingkat pengetahuan dan keterampilan perawat yang baik

(rondhianto, 2008). Penelitian lain oleh baghae, et.al (2016) menunjukkan bahwa
melalui penerapan discharge planning berkesinambungan sejak pasien masuk di

ruang rawat inap hingga persiapan pulang secara signifikan mampu mengurangi

kecemasan pasien selama masa hospitalisasi dan meningkatkan pengetahuan

pasien dan keluarga terkait kondisi kesehatan pasien dengan masalah jantung

sehingga mampu mempercepat masa perawatan di rumah sakit.

Kedua fenomena ini dapat menurunkan angka mutu pelayanan keperawatan dan

meningkatkan kecemasan serta tekanan psikologis bagi anak dan keluarga.

Tekanan psikologis yang dialami anak dan keluarga memberi dampak negatif

pada proses penyembuhan pasien. Dalam kondisi stress terjadi pelepasan

hormon-hormon stress, antara lain kortisol yang dapat menyebabkan penekanan

pada sistem imun anak (guyton & hall, 2007), sehingga anak mudah terkena

infeksi sekunder yang akan memperlama hari perawatan di rumah sakit. Pada

kondisi stress juga dapat menganggu kualitas tidur anak sehingga energi untuk

penyembuhan tubuh juga berkurang. Meningkatnya lama hari perawatan anak,

menyebabkan munculnya perasaan cemas, takut, rasa bersalah, tidak mampu,

kehilangan kontrol, tidak berdaya, putus asa dari orang tua, bahkan muncul

perubahan fungsi peran orang tua yang mengakibatkan ketidakefektifan

manajemen terapeutik kepada pasien, seperti halnya keinginan untuk pulang

paksa, atau menolak terapi yang direkomendasikan.

Besarnya dampak dari stress hospitalisasi menuntut perawat untuk

mengembangkan inovasi-inovasi dalam memberikan asuhan keperawatan yang

berkualitas dan memberikan rasa nyaman bagi anak dan keluarga. Salah satu

intervensi yang dapat dikembangkan dalam menerapkan perawatan atraumatik


saat pemasangan infus pada anak adalah terapi mendekap dan discharge

planning melalui diseminasi ilmu dan role play.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Brock, metaferia, & sumner (2010)

bahwa setelah anak diberikan gambar pilihan baju seragam perawat, ternyata

anak lebih memilih baju bermotif. Seragam yang didesain dengan kesan resmi

sebagai tuntutan institusional tempat kerja tetapi juga menyenangkan perlu

diperhatikan mengingat pentingnya seragam perawat dalam penerapan prinsip

perawatan atraumatik di ruang rawat anak. Pilihan desain seragam warna-warni

yang dimodifikasi dengan seragam yang saat ini digunakan di rumah sakit perlu

dikembangkan. Hasil penelitian menjelaskan bahwa seragam warna-warni

terkesan lebih dekat, kooperaif, dan perhatian (brock, metaferia, & sumner,

2010). Untuk discharge planning Riset kesehatan dasar (riskesdas) (2013)

mengatakan apabila discharge planning tidak dilakukan secara optimal maka

dapat beresiko terhadap beratnya penyakit (severity) pasien akibat kecemasan

masa hospitalisasi, ancaman hidup dan disfungsi fisik. Hal ini saling

berkesinambungan satu sama lain, dapat disimpulkan bahwa baju bergambar dan

discharge planning sama-sama berpengaruh dan sangat diperlukan terhadap

kecemasan anak yang menjalani masa hospitalisasi di rumah sakit

Penelitian tentang atraumatic care dan dischard planning yang telah dibuktikan

secara ilmiah di atas, menunjukkan keharusan bagi seorang perawat untuk

diterapkan. Kelompok memandang sangat dirasa perlu untuk dilakukan dalam


melakukan pelayan keperawatan pada anak untuk menurunkan distress yang

dialami anak selama tindakan invasif dan selama proses perawatan pasien.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan umum

Mengidentifikasi masalah dalam pelayanan keperawatan di ruang

keperawatan anak serta menetapkan rencana tindakan trategis untuk

mengatasi masalah yang ditemukan.

1.2.2 Tujuan khusus

a. Melakukan pengkajian dan analisis ruangan menggunakan format swot

(strength, weakness, opportunity, and threat).

b. Menyusun perencanaan strategis untuk menerapkan intervensi

c. Menerapkan intervensi

d. Melaporkan, melakukan analisis, dan membahas hasil observasi dari

intervensi yang telah dilakukan.


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

1. Atraumatic care
1.1 Definisi atraumatic care
Atraumatic care adalah penyediaan asuhan terapeutik dalam
lingkungan, oleh personel, dan melalui penggunaan intervensi yang
menghapuskan atau memperkecil distres psikologis dan fisik yang diderita
oleh anak-anak dan keluarganya dalam sistem pelayanan kesehatan (wong, et
al., 2009).
Atraumatic care adalah bentuk perawatan terapeutik yang diberikan
oleh tenaga kesehatan dalam tatanan pelayanan kesehatan anak, melalui
penggunaan tindakan yang dapat mengurangi distres fisik maupun distres
psikologis yang dialami anak maupun orang tua (supartini, 2014).
Asuhan terapeutik tersebut mencakup pencegahan, diagnosis, atau
penyembuhan kondisi akut atau kronis. Intervensi berkisar dari pendekatan
psikologis berupa menyiapkan anak-anak untuk prosedur pemeriksaaan,
sampai pada intervensi fisik seperti menyediakan ruangan untuk orang tua
tinggal bersama anak dalam satu kamar (rooming in). Distres psikologis
meliputi kecemasan, ketakutan, kemarahan, kekecewaaan, kesedihan, malu,
atau rasa bersalah. Sedangkan distres fisik dapat berkisar dari kesulitan tidur
dan immobilisasi sampai pengalaman stimulus sensori yang mengganggu
seperti rasa sakit (nyeri), temperatur ekstrem, bunyi keras, cahaya yang dapat
menyilaukan atau kegelapan (wong, et al., 2009).

1.2 Manfaat atraumatic care


Anak sebagai individu yang masih dalamusia tumbuh kembang perlu
perhatian lebih, karena masa anak merupakan proses menuju kematangan.
Berbagai peristiwa yang dialami anak, seperti sakit atau hospitalisasi akan
menimbulkan trauma pada anak seperti cemas, marah, nyeri, dan lain-lain.
Kondisi tersebut jika tidak ditangani dengan baik, akan menimbulkan masalah
psikologis pada anak yang akan mengganggu perkembangan anak. Oleh
karena itu, manfaat atraumatic care adalah mencegah masalah psikologis
(kecemasan) pada anak, serta mengoptimalkan pertumbuhan dan
perkembangan anak (hidayat, 2012). Beberapa penelitian juga telah
membuktikan bahwa penerapan atraumatic carememiliki pengaruh atau
hubungan terhadap penurunan respon kecemasan pada anak yang di
hospitalisasi (bolin, 2011 & breving, et al., 2015).

1.3 Tujuan atraumatic care


Atraumatic care sebagai asuhan terapeutik memiliki beberapa tujuan,
yaitu:
a. Jangan melukai, hal tersebut dinyatakan wong dan koleganya (2009)
sebagai tujuan utama dari atraumatic care
b. Mencegah dan mengurangi stres fisik (supartini, 2014).
c. Mencegah dan mengurangi stres psikologis (supartini, 2014).
Untuk mencapai tujuan tersebut, terdapat beberapa prinsip atraumatic
care sebagai kerangka kerjanya (wong, et al., 2009).

1.4 Prinsip atraumatic care


Supartini (2014) menyatakan bahwa prinsip atraumaticcare dibedakan menjadi
empat, yaitu: mencegah atau menurunkan dampak perpisahan antara orang tua
dan anak dengan menggunakan pendekatan family centered, meningkatkan
kemampuan orang tua dalam mengontrol perawatan anaknya, mencegah atau
meminimalkan cedera fisik maupun psikologis (nyeri) serta memodifikasi
lingkungan fisik ruang perawatan anak.
a. Menurunkan atau mencegah dampak perpisahan dari keluarga
Dampak perpisahan bagi keluarga, anak mengalami gangguan psikologis
seperti kecemasan, ketakutan, dan kurangnya kasih sayang. Gangguan
ini akan menghambat proses penyembuhan anak dan dapat mengganggu
pertumbuhan dan perkembangan anak (hidayat, 2012).
b. Meningkatkan kemampuan orang tua dalam mengontrol perawatan anak
Perawat berperan penting dalam meningkatkan kemampuan orang tua
dalam merawat anaknya. Beberapa bukti ilmiah menunjukkan
pentingnya keterlibatan orang tua dalam perawatan anaknya di rumah
sakit. Orang tua dipandang sebagai subjek yang mempunyai potensi
untuk melaksanakan perawatan pada anaknya (darbyshire, 1992 dan
carter & dearmun, 1995, dalam wong, et al., 2009).
c. Mencegah atau menurunkan cedera fisik maupun psikologis (nyeri)
Nyeri sering dihubungkan dengan rasa takut, cemas, dan stres.
Mengurangi nyeri merupakan tindakan yang harus dilakukan dalam
keperawatan anak. Proses pengurangan nyeri sering tidak dapat
dihilangkan tetapi dapat dikurangi melalui teknik farmakologi dan teknik
nonfarmakologi (wong, et al., 2009).
d. Modifikasi lingkungan fisik
Modifikasi lingkungan fisik yang bernuansa anak dapat meningkatkan
keceriaan, perasaan aman, dan nyaman bagi lingkungan anak sehingga
anak selalu berkembang dan merasa nyaman di lingkungannya (hidayat,
2012).

1.5 Intervensi atraumatic care


Perawat sebagai salah satu anggota tim kesehatan, memegang posisi
kunci untuk membantu orang tua menghadapi permasalahan yang berkaitan
dengan perawatan anaknya di rumah sakit karena perawat berada di samping
pasien selama 24 jam dan fokus asuhan adalah peningkatan kesehatan anak.
Asuhan yang berpusat pada keluarga dan atraumatic care merupakan falsafah
utama dalam pelaksanaan asuhan keperawatan anak. Oleh karena itu, upaya
dalam mengatasi masalah yang timbul baik pada anak maupun orang tuanya
selama dalammasa perawatan berfokus pada intervensi atraumatic careyang
berlandaskan pada prinsip atraumatic care (supartini, 2014).
a. Intervensi menurunkan atau mencegah dampak perpisahan dari
keluarga.
Mencegah atau meminimalkan dampak perpisahan pada anak dapat
dilakukan dengancara melibatkan orang tua berperan aktif dalam
perawatan anak (supartini, 2014), yaitu:
1) Memperbolehkan orang tua untuk tinggal bersama anak selama 24 jam
(rooming in) atau jika tidak memungkinkan untuk rooming inmaka
berikan kesempatan orangtua untuk melihat anak setiap saat dengan
maksud untuk mempertahankan kontak antara mereka.
2) Modifikasi ruang perawatan dengan cara membuat situasi ruang rawat
seperti di rumah.
3) Mempertahankan kontak dengan memfasilitasi pertemuan dengan
guru, teman sekolah dan berhubungan dengan siapa saja yang anak
inginkan.
4) Libatkan orang tua untuk berpartisipasi dalam merawat anak yang sakit
(susilaningrum, et al., 2013).
b. Intervensi meningkatkan kemampuan orang tua dalam mengontrol
perawatan anak
Perawat dapat mendiskusikan dengan keluarga tentang kebutuhan
anak untukmembantu orang tua dengan cara memberikan informasi
sehubungan dengan penyakit, prosedur pengobatan, prognosis serta
perawatan yang dapat dilakukan orang tua, dan reaksi emosional anak
terhadap sakit dan hospitalisasi (wong, et al., 2009).
Perawat dapat juga menginformasikan kepada orang tua mainan
yang boleh dibawa ke rumah sakit, membuatkan keluarga jadwal untuk
anak, serta penting untuk perawat mempersiapkan anak dan orang tuanya
sebelum dirawat di rumah sakit melalui kegiatan pendidikan kesehatan
pada orang tua. Sehingga selama perawatan di rumah sakit orang tua
diharapkan dapat belajar dalam hal peningkatan pengetahuan maupun
keterampilan yang berhubungan dengan keadaan sakit anaknya (supartini,
2014).
c. Intervensi mencegah atau menurunkan cedera fisik maupun
psikologis (nyeri)
Pengkajian nyeri merupakan komponen penting dalam proses
keperawatan terkait mengurangi atau mencegah dampak nyeri. Dalam
pengkajian nyeri penting bagi perawat menggunakan definisi operasional
nyeri yang diungkapkan oleh mccaffery dan pasero (1999) dalam wong
dan koleganya (2009) yaitu nyeri adalah apapun yang dikatakan oleh
orang yang mengalaminya, ada pada saat orang tersebut mengatakan itu
terjadi.
Wong dan koleganya (2009) juga menyatakan bahwa prinsip
pengkajian nyeri pada anak-anak adalah questt yaitu question the
child(tanyakan pada anak), use a pain rating scale (gunakan skala nyeri),
evaluate behavioral and physiologic changes (evaluasi perubahan-
perubahan sikap dan fisiologis), secure parent’s involvement (pastikan
keterlibatan orang tua), take the cause of pain into account
(pertimbangkan penyebab nyeri), dan take action and evaluate
results(lakukan tindakan dan evaluasi hasilnya).
Penatalaksanaan nyeri dapat dilakukan dengan dua teknik
1) Teknik nonfarmakologi dapat dilaksanakan melalui distraksi,
relaksasi, imajinasi terbimbing, stimulasi kutaneus, memberikan
strategi koping yang dapat mengurangi persepsi nyeri dengan cara
bicara hal yang positif pada diri, berhenti berfikir tentang hal
menyakitkan, dan kontrak perilaku (wong, et al., 2009).
2) Teknik farmakologis dilakukan dengan cara meningkatkan
efektivitas dari pemberian obat melalui penggunaan prinsip enam
benar, meliputi: benar klien, benar obat, benar dosis, benar cara,
benar waktu, benar dokumentasi (rusy dan weisman, 2000 dalam
utami, 2012). Untuk prosedur yang menimbulkan nyeri, anak harus
menerima analgesik dan sedasi yang cukup untuk meminimalkan
nyeri dan kebutuhan restrein yang berlebihan. Untuk anestesi lokal
gunakan lidokain yang dibufer untuk mengurangi sensasi sakit atau
berikan emla (extectic mixture of local anesthetics) secara topikal
sebelum dilakukan injeksi parenteral (wong, 2013). Apabila tindakan
pencegahan tidak dilakukan maka cedera dan nyeri akan berlangsung
lama pada anak sehingga dapat mengganggu pertumbuhan dan
perkembangan (hidayat, 2012)
supartini (2014) menyatakan bahwa meminimalkan rasa takut
terhadap cedera tubuh dan rasa nyeri dapat dilakukan dengan beberapa
cara, yaitu:
1. Mempersiapkan psikologis anak dan orang tua untuk tindakan
prosedur yang menimbulkan rasa nyeri
Persiapan ini dilakukan perawat dengan cara menjelaskan apa
yang akan dilakukan dan memberikan dukungan psikologis pada
orang tua (supartini, 2014). Persiapan anak-anak untuk menghadapi
prosedur yang menakutkan dapat menurunkan ketakutan mereka, serta
memanipulasi teknik prosedural untuk anak-anak di setiap kelompok
umur juga meminimalkan ketakutan akan cedera tubuh (wong, et al.,
2009).
2. Lakukan permainan terlebih dahulu sebelum melakukan persiapan
fisik anak
Permainan yang bisa dilakukan diantaranya bercerita,
menggambar, menonton video kaset dengan cerita yang berkaitan
dengan tindakan atau prosedur yang akan dilakukan pada anak
(supartini, 2014). Bermain adalah salah satu aspek penting dari
kehidupan anak dan salah satu alat paling efektif untuk
penatalaksanaan stres, serta bermain juga sangat penting bagi mental,
emosional dan kesejahteraan sosial anak (wong, et al., 2009).
Kebutuhan bermain bagi anak sama halnya dengan kebutuhan
perkembangan anak, tidak berhenti saat anak sakit atau di
hospitalisasi. Bermain di rumah sakit memberikan banyak manfaat
pada anak yaitu memberikan pengalihan dan menyebabkan relaksasi,
membantu anak merasa lebih nyaman di lingkungan yang asing,
membantu mengurangi stres akibat perpisahan dan perasaan rindu
rumah, sebagai alat untuk melepas ketegangan dan ungkapan
perasaan, meningkatkan interaksi dan perkembangan sikap yang
positif terhadap orang lain, sebagai alat ekspresi ide-ide dan minat,
sebagai alat untuk mencapai tujuan terapeutik, dan menempatkan
anak pada peran aktif dan memberi kesempatan pada anak untuk
menentukan pilihan dan merasa mengendalikannya (wong, et al.,
2009).
Supartini (2014) mengemukakan bahwa dalam melakukan
aktivitas bermain perawat hendaknya memperhatikan prinsip
permainan pada anak di rumah sakit, yaitu:
a) Permainan tidak boleh bertentangan dengan pengobatan yang
sedang dijalankan pada anak
Apabila anak harus tirah baring, harus dipilih permainan yang
dapat dilakukan di tempat tidur, dan anak tidak boleh diajak
bermain dengan kelompoknya di tempat bermain khusus yang ada
di ruang rawat. Misalnya, sambil tiduran di tempat tidurnya anak
dapat dibacakan buku cerita atau diberi buku komik anak-anak,
mobil-mobilan yang tidak menggunakan remote control, robot-
robotan, dan permainan lain yang dapat dimainkan anak sambil
tiduran.
b) Permainan yang tidak membutuhkan banyak energi, singkat, dan
sederhana
Pilih jenis permainan yang tidak melelahkan anak,
menggunakan alat permainan yang ada pada anak atau yang
tersedia di ruangan. Kalaupun akan membuat suatu alat permainan,
pilih yang sederhana agar tidak melelahkan anak. Misalnya,
menggambar atau mewarnai, bermain boneka, dan membaca buku
cerita.
c) Permainan yang harus mempertimbangkan keamanan anak
Pilih alat permainan yang aman untuk anak, tidak tajam, tidak
merangsang anak untuk berlari-lari, dan bergerak secara berlebihan
d) Permainan harus melibatkan kelompok umur yang sama
Apabila permainan dilakukan khusus di kamar bermain secara
berkelompok, permainan harus dilakukan pada kelompok umur
yang sama. Misalnya, permainan mewarnai pada kelompok usia
prasekolah.
e) Melibatkan orang tua
Satu hal yang harus diingat bahwa orang tua mempunyai
kewajiban untuk tetap melangsungkan upaya stimulasi tumbuh-
kembang pada anak walaupun sedang dirawat di rumah sakit,
termasuk dalam aktivitas bermain anaknya. Perawat hanya
bertindak sebagai fasilitator sehingga apabila permainan diinisiasi
oleh perawat, orang tua harus terlibat secara aktif dan
mendampingi anak mulai dari awal permainan sampai
mengevaluasi hasil permainan anak bersama dengan perawat dan
orang tua anak lainnya
3. Pertimbangkan untuk menghadirkan orang tua
Pada saat anak dilakukan tindakan atau prosedur yang
menimbulkan rasa nyeri apabila orang tua tidak dapat menahan diri,
bahkan menangis bila melihatnya. Maka, perlu dipertimbangkan untuk
menghadirkan orang tua. Sebaiknya dalam kondisi ini tawarkan pada
anak dan orang tua untuk mempercayakan kepada perawat sebagai
pendamping anak selama prosedur tindakan (supartini, 2014).
4. Tunjukkan sikap empati
Menunjukkan sikap empati sebagai pendekatan utama dalam
mengurangi rasa takut akibat prosedur yang menyakitkan. Empati
merupakan kemampuan untuk memahami dan menerima realita
seseorang, merasakan perasaan dengan tepat, dan mengkomunikasikan
pengertiankepada pihak lain. Untuk mengekspresikan empati, perawat
memperlihatkan pengertian atas kepentingan pesan berdasarkan tingkat
perasaan. Teknik ini mengharuskan perawat untuk sensitif dan
imajinatif, terutama jika perawat tidak memiliki pengalaman terdahulu.
Empati merupakan tujuan yang penting, kunci untuk menyelesaikan
masalah, dan mendukung komunikasi. Pernyataan yang menunjukkan
empati sangat efektif karena memperlihatkan perhatian perawat atas
kandungan perasaan dan fakta dari komunikasi. Pernyataan empati
bersifat netral, tidak menuduh, dan membantu pembentukan
kepercayaan dalam situasi yang sulit (potter & perry, 2009).
5. Lakukan persiapan khusus jauh hari sebelumnya pada tindakan
pembedahan elektif (apabila memungkinkan)
Persiapan khusus yang dapat dilakukan misalnya, dengan
mengorientasikan kamar bedah, tindakan yang akan dilakukan, dan
petugas yang akan menangani anak melalui cerita, gambar, atau
menonton film video yang menggambarkan kegiatan operasi tersebut.
Terlebih dahulu lakukan pengkajian yang akurat tentang kemampuan
psikologis anak dan orang tua untuk menerima informasi ini dengan
terbuka. Lakukan pula relaksasi pada fase sebelum operasi sebagai
persiapan untuk perawatan pasca operasi (supartini, 2014).
Berdasarkan beberapa penelitian dengan adanya orientasi maka
dapat menambah informasi kepada anak tentang kondisi lingkungan
perawatan dan petugas kesehatan. Orientasi yang baik dan jelas dapat
mempengaruhi persepsi seseorang terhadap lingkungan yang baru, jika
seserang mengetahui dengan jelas tentang apa yang ada di lingkungan
sekitarnya maka seseorang tersebut akan lebih percaya diri dan dapat
mengurangi rasa cemas. Hal ini sesuai dengan pendapat stuat dan
laraia (2005), yang menyatakan bahwa kecemasan merupakan respon
emosi tanpa objek yang spesifik yang secara sujektif dialami dan
dikomunikasikan secara interpersonal. Kecemasan adalah
kebingungan, kekhawatiran pada sesuatu yang akan terjadi dengan
penyebab yang tidak jelas dan dihubungkan dengan perasaan yang
tidak menentu dan tidak berdaya, untuk itu jika seseorang
mendapatkan orientasi dengan baik dan jelas.
Menurut wong (2009), bahwa orientasi dapat mengurangi
kecemasan seseorang dibandingkan dengan yang belum diberikan
orientasi. Disini dapat kita lihat bahwa tingkat kecemasan pasien antara
sebelum dan sesudah diberikan orientasi tentu saja memiliki tingkat
kecemasan yang berbeda. Menurut stevens (2013), kecemasan dapat
dikurangi dengan pemberian orientasi pada pasien dengan jelas.
Informasi yang tepat pada saat orientasi yang dilakukan oleh perawat
atau dokter telah terbukti menurunkan tingkat kecemasan pada anak
dan berdampak positif untuk penyembuhan.
d. Intervensi modifikasi lingkungan fisik
Modifikasi lingkungan bernuansa anak dapat dilakukan dengan
penataan atau dekorasi menggunakan alat tenun dan tirai bergambar
bunga atau binatang lucu, hiasan dinding bergambar dunia binatang atau
fauna, papan nama pasien bergambar lucu, dinding berwarna dan
penggunaan warna yang cerah di ruangan, serta tangga dicat warna-warni
(supartini, 2014).
Penggunaan pakaian seragam tim kesehatan yang berwarna putih
pun bisa menjadi stresor bagi anak, layaknya lingkungan rumah sakit
yang asing bagi anak dan orang tua (supartini, 2014). Sehingga
penggunaan pakaian multi warna nonkonvensional pada perawat lebih
disukai oleh anak-anak dan orang tua yang anaknya dirawat di rumah
sakit. Selain itu, seragam perawat yang berwarna mampu meningkatkan
persepsi orang tua tentang keandalan perawat dimana penggunaan
pakaian perawat nonkonvensional dapat berkontribusi untuk
meningkatkan hubungan anak dan perawat (festini, et al., 2008 dalam
utami, 2012).
Seragam perawat merupakan salah satu obyek yang dapat
menimbulkan kecemasan. Anak mempersepsikan seragam perawat
sebagai sesuatu yang membuat cemas karena image yang melekat bahwa
perawat dengan baju putih sering membuat anak takut dan fobia (velotis,
2015). Berdasarkan penelitian yang ada anak lebih menyukai baju
perawat yang berwarna-warni sehingga menampilkan kesan lebih
bersahabat dan tidak membuat anak semakin cemas dengan lingkungan
yang asing atau situasi baru.
Berikut ini adalah gambaran dari cara kerja system limbik
terhadap obyek yang di tangkap dari panca indera sampai pada
pembentukan perilaku dari respon hipotalamus.
NERVUS
OBJEK RETINA OPTICUS

AMIGDAL TALAMUS
HIPOTALA
A
MUSS

HIPOKAMP AREA
US PENGLIHATAN

AREA AREA
PREFRONTA WERNICKE
L

GAMBAR 2.1 SKEMA KERJA SYSTEM LIMBIK TERHADAP


STIMULUS OBYEK VISUAL

Baju perawat yang berwarna warni akan dipersepsikan sebagai


obyek yang menyenangkan sehingga di tangkap oleh panca indra dan
dilanjutkan ke sistem syaraf melalui nervus opticus. Selanjutnya
diteruskan oleh thalamus untuk diproses di lobus temporalis pada area
brodman. Impuls di lanjutkan ke area wernicke yang mempunyai fungsi
pemaknaan sinyal-sinyal. Setelah itu dilanjutkan ke system limbik yang
merupakan jaras otak yang bertanggung jawab terhadap emosi dan
perilaku. Dalam sistem limbik yang berperan selanjutnya adalah amigdala
dan dilanjutkan ke hipokampus. Menurut ahli neurologi hipokampus lebih
berkaitan dalam penekanan dan pemaknaan pola persepsi daripada reaksi
emosional. Hipokampus berfungsi dalam penyediaan detail ingatan akan
korteks dan pemahaman emosional serta membantu otak dalam
penyimpanan ingatan baru. Rangsang dari hipokampus dilanjutkan ke
amigdala yang mempunyai fungsi respon perilaku pada fungsi bawah
sadar terhadap emosi. Perasaan senang atau suka akan baju perawat akan
di lanjutkan ke hipotalamus yang akan berhubungan dengan system
syaraf simpatik dan parasimpatik serta pengeluaran hormone anti stess.
Dari perjalanan tersebut karena persepsi perasaan senang yang diterima
hipotalamus sehingga syaraf dan otot relaksasi dan kecemasan atau
ketegangan berkurang (tower, 2012)

1.6 Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan atraumatic care di


rumah sakit
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perawat dalam
melaksanakan atraumatic caredi rumah sakit. Notoadmodjo (2010)
menyatakan bahwa ada dua factor yang mempengaruhi pelaksanaan
atraumatic care di rumah sakit, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
1) Faktor internal
Faktor internal yaitu faktor yang berasal dari dalam diri seseorang
yang menjadi rasional untuk seseorang berperilaku terdiri dari persepsi,
pengetahuan, keyakinan, keinginan, motivasi, niat, dan sikap.
1) Pengetahuan
Pengetahuan (knowledge) merupakan hasil tahu, dan ini terjadi
setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.
Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra
penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar
pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting
dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior). Sebelum
seseorang mengadopsi perilaku, ia harus tahu terlebih dahulu apa arti
atau manfaat perilaku tersebut. Perawat akan melaksanakan
atraumatic care apabila ia tahu apa definisi, tujuan, manfaat,prinsip
dan intervensi atraumatic caretersebut.
2) Sikap
Sikap (attitude) merupakan reaksi atau respon yang masih
tertutup dari seseorangterhadap suatu stimulus atau objek
(notoatmodjo, 2012). Sikap seseorang terhadap objek adalah perasaan
mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak
mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut
(berkowits, 1972 dalam azwar, 2007). Notoatmodjo (2012) juga
menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap
objek di lingkungan tertentu sebagai penghayatan terhadap objek.
Secara lebih sederhana sikap dapat dianggap sebagai suatu predisposisi
umum untuk berespon atau bertindak secara positif atau negatif
terhadap suatu objek atau orang disertai emosi positif atau negatif.
Sikap membutuhkan penilaian, ada penilaian positif, negatif atau netral
tanpa reaksiafektif apapun (maramis, 2006). Sikap positif merupakan
sikap yang menunjukkan atau mempertahankan, menerima, mengakui,
menyetujui, serta melaksanakan norma-norma yang berlaku dimana
individu itu berada. Sikap negatif merupakan sikap yang menunjukkan,
memperlihatkan penolakan atau tidak menyetujui terhadap norma-
norma yang berlaku dimana individu itu berada (niven, 2002).
2) Faktor eksternal
Faktor eksternal yaitu faktor yang berasal dari luar diri seseorang
yang mendukung seseorang untuk bertindak (berperilaku) atau mencapai
tujuan yang diinginkan, seperti pengalaman, fasilitas, dan sosiobudaya
(notoadmodjo, 2010). Fasilitas atau sarana di rumah sakit sangat
diperlukan untuk mewujudkan sikap perawat agar menjadi tindakan,
seperti tersedianya ruang bermain atau alat-alat permainan untuk
melakukan intervensi bermain pada anak, tersedianya tirai bergambar
bunga atau binatang lucu, hiasan dinding bergambar dunia binatang atau
fauna, papan nama pasien bergambar lucu, dan tersedianya pakaian
berwarna warni untuk perawat di ruang anak (supartini, 2014)

2. Teori keperawatan comfort kolcaba


Kenyamanan menjadi suatu hal yang perlu dicapai dalam pemenuhan pemberian
asuhan keperawatan, kolcaba mengemukakan teori kenyamanan ini.teori comfort
kolcaba dikembangkan pada tahun 1990-an yang merupakan middle range theory
untuk praktik, pendidikan dan penelitian di bidang kesehatan (tomey & alligood,
2006). Katharine kolcaba merupakan tokoh keperawatan yang kemudian
membawa kembali konsep kenyamanan sebagai landasan utama dalam
memberikan pelayanan kesehatan dalam sebuah teori yaitu “comfort theory and
practice: a vision for holistic health care and research”. (march, a. &
mccormack, d., 2009).
2.1 Konsep teori comfort kolcaba
definisi comfort atau kenyamanan adalah pengalaman yang diterima oleh
seseorang dari suatu intervensi. Hal ini merupakan pengalaman langsung dan
menyeluruh ketika kebutuhan terpenuhi (peterson & bredow, 2010).

Gambar 2. Skema hubungan antar konsep dalam teori kenyamanan

Hubungan antar konsep dari teori kenyamanan bisa dideskripsikan sebagai


berikut : (1) perawat mengidentifikasi kebutuhan kenyamanan klien dan anggota
keluarga, khususnya kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi oleh support system
eksternal, (2) perawat menyusun rencana keperawatan untuk memenuhi
kebutuhan kenyamanan, (3) intervening variables diperhitungkan dalam
merancang intervensi dan menentukan keberhasilan intervensi, (4) intervensi
yang efektif dan dilakukan dengan caring yang hasilnya akan langsung terlihat
sebagai peningkatan rasa nyaman. Intervensi ini disebut comfort measures.
Sedangkan comfort care akan mengkaitkan semua komponen, (5) pasien dan
perawat sepakat tentang hsbs (health seeking behavior) yang diinginkan, (6) bila
kenyamanan tercapai, pasien dan anggota keluarga terikat oleh hsbs yang akan
meningkatkan kenyamanan lebih lanjut, (7) bila pasien dan keluarga telah
memiliki hsbs yang kuat sebagai hasil dari comfort care, perawat dan keluarga
akan lebih puas dengan pelayanan kesehatan, dan (8) bila perawat dan klien puas
terhadap institusi pelayanan, masyarakat akan mengetahui kontribusi institusi
tersebut terhadap program kesehatan pemerintah.
Teori kenyamanan memiliki tiga unsur, yaitu :
1. Relief
Relief didefinisikan sebagai keadaan dimana rasa tidak nyaman berkurang
dengan latar belakang teoritikal ini dalam teori orlando (1961) yaitu filosofi
keperawatan berdasarkan kebutuhan
2. Ease
Ease didefinisikan sebagai hilangnya rasa tidak nyaman yang spesifik dengan
latar belakang teoritikal henderson (1966) tentang 13 kebutuhan dasar
manusia. Untuk berada dalam tingkat ease, pasien atau keluarga tidak harus
mempunyai pengalaman ketidaknyamanan spesifik sebelumnya (misalnya
kecenderungan nafas pendek pada anak dengan asthma atau kecemasan akut
pada anggota keluarga)
3. Transcendence
Transcendence didefinisikan sebagai keadaan dimana seseorang bangkit dari
ketidaknyamanan tersebut tidak dapat dihindari (misalnya anak merasa
percaya diri terhadap ambulasi walaupun dia tahu hal tersebut akan
memperparah nyeri). Transcendence merupakan turunan dari teori yang
dikembangkan oleh peterson dan zderad, 1975 dalam tomey & alligood,
2006).

Terdapat empat aspek pengalaman holistik/menyeluruh berdasarkan teori comfort


kolcaba meliputi kenyamanan fisik, psikospiritual, sosiokultural, lingkungan.
Pengkajian terhadap kebutuhan kenyamanan fisik, psikospiritual, sosiokultural
dan lingkungan dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Kebutuhan kenyamanan fisik
Kebutuhan kenyamanan fisik berhubungan dengan mekanisme sensasi tubuh
dan homeostasis, meliputi penurunan mekanisme fisiologis beresiko karena
suatu penyakit atau prosedur invasif. Terdapat dua kebutuhan fisik yaitu
kebutuhan fisik yang tak terlihat dimana pasien atau keluarga tidak waspada
(keseimbangan cairan dan elektrolit, oksigenasi dan termoregulasi) dan
kebutuhan fisik yang terlihat (nyeri, mual, muntah, gestur tubuh, menangis).
Beberapa cara untuk memenuhi kebutuhan fisik diantaranya: (a) memberikan
obat (anti cemas, analgesik) sesuai order; (b) merubah posisi; (c) backrub; (d)
menggunakan kompres (panas/ dingin); dan (e) sentuhan terapeutik.
2. Kebutuhan kenyamanan psikospiritual
Kebutuhan kenyamanan psikospiritual berhubungan dengan kewaspadaan diri
secara internal seperti harga diri,meliputi kebutuhan terhadap kepercayaan
diri, motivasi. Kebutuhan ini seringkali dipenuhi dengan ketenangan jiwa
yang berfokus pada transcendence seperti pijatan, kebersihan mulut,
pengunjung, sentuhan dan memfasilitasi kenyamanan personal.
Beberapa cara untuk memenuhi kebutuhan psikospiritual diantaranya:
a. Mengenali kebutuhan akan interaksi
b. Tingkatkan sosialisasi dengan menyediakan tempat dan waktu dengan
orang lain
c. Libatkan keluarga dan orang lain pada rencana keperawatan
pengkajian aspek psikospritual pada bayi dapat dilakukan dengan
melibatkan orangtua (family centered care). Orangtua dapat memberikan
pendekatan spritual pada bayi sesuai dengan agama yang dianut, misal
beragama islam maka orangtua dapat memberikan terapi murottal
sebagai bentuk perkenalan spritual pada bayi. Sedangkan aspek
psikologis, pengkajian pada bayi dapat dilakukan dengan menilai
temperamen bayi, perilaku bayi serta kemampuan beradaptasi dengan
menggunakan skala ukur temperamen.
1. Kebutuhan kenyamanan sosiokultural
Kebutuhan kenyamanan sosiospiritual berhubungan dengan hubungan
interpersonal, keluarga dan masyarakat, meliputi kebutuhan terhadap
ketenangan hati, dukungan, bahasa tubuh yang positif, dan perawatan dari
sudut pandang budaya. Kebutuhan ini termasuk perilaku dapat melakukan (a
can do attitude), pesan kesejahteraan (message of wellness) dan jaminan
tentang “anda melakukan dengan baik’ (you’re doing great) yang dilakukan
oleh perawat selama bertugas. Kebutuhan sosial juga termasuk kebutuhan
pendampingan finansial keluarga, pendampingan tugas pekerjaan dan
hubungan selama hospitalisasi jika dukungan keluarga mempunyai
keterbatasan. Discharge planning dapat membantu memenuhi kebutuhan
sosial transisi sebelum ke rumah.
2. Lingkungan
Kebutuhan kenyamanan lingkungan berhubungan dengan latar belakang
eksternal berdasarkan pengalaman manusia seperti sinar, suara, tempat
tinggal, warna, suhu dan elemen sintesis alam. Kebutuhan ini meliputi
kerapian, lingkungan yang tenang, perabotan yang nyaman, bau lingkungan
yang minimal, keamanan, perhatian dan saran terhadap adaptasi lingkungan
di ruangan rumah sakit dan rumah pasien atau keluarga. Perawat semestinya
melakukan upaya
Beberapa cara untuk memenuhi kebutuhan lingkungn di antaranya :
a. Menurunkan kegaduhan
b. Mengurangi pencahayaan pada saat tidur
c. Memfasilitasi promosi kesehatan lingkungan lainnya.

Struktur taksonomi merupakan hubungan tiga tipe kenyamanan dengan empat


aspek pengalaman holistik berdasarkan teori kenyamanan. Struktur ini
menggambarkan elemen kenyamanan dan membantu dalam memperoleh
pengertian kenyamanan secara teknik. Pengalaman kenyamanan merupakan
pemenuhan kebutuhan terhadap relief, ease dan transcendence dalam empat
aspek kenyamanan (fisik, psikospiritual, sosiokultural dan lingungan (kolcaba
dan dimarco, 2005).
Baris 1

HEALTH
HEALTH NURSING INTERVEN ENCHANC HEALTH INSTITUSI
CARE INTERVEN TIONVARIA EDCOMFO SEEKIN ONALINTE
NEED TION BLE RT G GRITY
BEHAVI

BARIS 2
KEPUASAN
KEBUTUHA INTERVENSI USIA KENYAMAN INTERNAL, KELUARGA
N RASA KENYAMAN PERKEMBA AN FISIK, EKSTERNA , LAMA
NYAMAN AN NGAN, PSIKOPSIRI L, RAWAT
ANAK DAN DUKUNGAN TUAL, MENINGGA BERKURA
KELUARGA SOSIAL, LINGKUNGA L DENGAN NG,
DIAGNOSIS N, TENANG TINDAKAN
SES
BARIS 3
PERAWAT
KEBUTUHA PROTOKO COMFORT PERCAYA LOS
N L BEHAVIOU ANAK MINIMAL,
KENYAMAN PROSEDU RAL MENDAPA KEBUTUHA
AN PADA R CATATAN CHECKLIS N SEDASSI
USIA ANAK T
PROSEDUR T (CBC) KENYAMA BERKURA
INVASIF DAN NG,
KEHADIRA KEPUASAN
KELUARGA
MENINGKA

Gambar 3. Kerangka kerja konseptual pada comfort teori pada pasien anak
(kolcaba dan dimarco, 2005)

2.2. Proses keperawatan berdasarkan teori kenyamanan


A. Pengkajian keperawatan berdasarkan teori kenyamanan kolcaba
Teori comfort dapat digunakan sebagai kerangka kerja untuk melakukan
pengkajian pada pasien. Hasil pengkajian dapat diperoleh secara verbal (klinis)
atau dengan menggunakan kuesioner kenyamanan (penelitian), dengan
menggunakan instrumen pengkajian yang dikembangkan oleh kolcaba.
Kolcaba mengenalkan struktur taksonomi dari kenyamanan sebagai panduan
yang dapat digunakan untuk mengembangkan kuesioner kenyamanan secara
umum untuk mengukur kenyamanan secara holistik dalam konteks rumah sakit
dan komunitas.

Untuk memahami teori kenyamanan kolcaba, kita perlu melihat dua dimensi.
Dalam dimensi pertama, yaitu berupa bentuk kenyamanan yang telah
dirumuskan oleh kolcaba, yaitu bantuan (relief) dapat dipahami sebagai
pengalaman memiliki kebutuhan tertentu dan belum terpenuhi. Kemudahan
(ease) adalah istilah untuk kepuasan sementara, transendensi (transendence)
merupakan pengembangan dari kekuatan biasa. Pada dimensi kedua, yaitu
faktor-faktor yang mempengaruhi kenyamanan itu sendiri, dimana fisik akan
berhubungan dengan sensasi yang dirasakan oleh pasien. Psychospiritual
mengacu pada kesadaran diri. Kesadaran ini dapat mencakup hal-hal seperti
seksualitas, tujuan hidup sebagai serta hubungan ke tatanan yang lebih tinggi.
Aspek lain dari dimensi kedua (fisik dan psikospiritual) akan berhubungan
dengan kenyamanan sosial dan lingkungan. Hubungan interpersonal, keluarga
dan budaya termasuk dalam kenyamanan sosial sedangkan cahaya, kebisingan,
suhu dan seperti semua unsur-unsur lingkungan. Ketika dua dimensi
kenyamanan disejajarkan, hasilnya adalah grid dua dimensi dengan 12 aspek
kenyamanan (kolcaba, 2010). Grid ini dikenal sebagai struktur taksonomi.

b. Diagnosa keperawatan berdasarkan teori kenyamanan kolcaba


Teori kolcaba mengambil kenyamanan sebagai fokus garapannya. Saat ini
kolcaba hanya mengembangkan kuesioner pengkajian sebagai alat untuk
menilai kenyamanan klien, namun untuk diagnosa keperawatan secara khusus
belum disebutkan. Namun demikian, diagnosa keperawatan yang saat ini
digunakan yaitu menurut nanda dimana kenyamanan disebutkan dalam domain
ke-12 yang terdiri atas beberapa kelas, yaitu kelas 1: kenyamanan fisik:
gangguan rasa nyaman, kesiapan peningkatan rasa nyaman, mual, nyeri akut
dan nyeri kronis, kelas 2: kenyaman lingkungan, kelas 3: kenyamanan sosial:
isolasi social.

c. Intervensi keperawatan berdasarkan teori kenyamanan kolcaba


Intervensi keperawatan bertujuan meningkatkan rasa nyaman. Intervensi
kenyamanan memiliki tiga kategori: (a) standard comfort: intervensi
kenyamanan standar untuk mempertahankan homeostasis dan mengontrol rasa
sakit, (b) coaching: intervensi berupa pelatihan / coaching untuk meredakan
kecemasan, memberikan jaminan dan informasi, menanamkan harapan,
mendengarkan, dan membantu merencanakan pemulihan, dan (c) comfort food
for the soul: tindakan yang menenangkan bagi jiwa (kolcaba & dimarco, 2005).
Intervensi holistik yang sesuai dengan teori kenyamanan antara lain: guided
imagery, progressive muscle relaxation, meditasi, terapi musik atau seni,
pijatan dan sentuhan terapeutik (peterson & bredow, 2004). Intervensi yang
dapat memberikan kenyamanan pada bayi yaitu nesting, dengan pemberian
nesting rasa nyaman akan didapatkan, bayi menjadi tenang, kualitas tidur dapat
meningkat dan akhirnya pertumbuhan dan perkembangan bayi berkembang
dengan baik.
d. Evaluasi berdasarkan teori kenyamanan kolcaba
Tujuan dan kriteria hasil yang telah ditentukan selama pemberian proses
keperawatan, evaluasi tidak hanya dilakukan padaa saat pasien akan kembali ke
rumah, namun juga dilaksanakan selama pemberian asuhan keperawatan.
Beberapa instrumen untuk mengukur kenyamanan pasien telah terpenuhi atau
tercapai sudah dikembangkan pula oleh kolcaba, hal ini dapat dibuktikan
dengan adanya nursing outcome classification.

3. discharge planning
3.1 Pengertian discharge planning
Discharge planning adalah suatu proses yang digunakan untuk
memutuskan apa yang perlu pasien lakukan untuk dapat meningkatkan
kesehatannya. Dahulu, disharge planning sebagai suatu layanan untuk
membantu pasien dalam mengatur perawatan yang diperlukan setelah tinggal di
rumah sakit. Ini termasuk layanan untuk perawatan di rumah, perawatan
rehabilitatif, perawatan medis rawat jalan, dan bantuan lainnya. Sekarang
discharge planning dianggap sebagai proses yang dimulai saat pasien masuk
dan tidak berakhir sampai pasien dipulangkan. Keluar dari rumah sakit tidak
berarti bahwa pasien telah sembuh total. Ini hanya berarti bahwa dokter telah
menetapkan bahwa kondisi pasien cukup stabil untuk melakukan perawatan
dirumah. (ali birjandi, 2008) 
Kozier (2004) mendefinisikan discharge planning sebagai proses
mempersiapkan pasien untuk meninggalkan satu unit pelayanan kepada unit
yang lain di dalam atau di luar suatu agen pelayanan kesehatan umum.
Discharge planning yang efektif seharusnya mencakup pengkajian
berkelanjutan untuk mendapatkan informasi yang komprehensif tentang
kebutuhan pasien yang berubah-ubah, pernyataan diagnosa keperawatan,
perencanaan untuk memastikan kebutuhan pasien sesuai dengan apa yang
dilakukan oleh pemberi pelayanan kesehatan.
Sedangkan definisi discharge planning menurut bull (2010) merupakan
suatu proses interdisiplin yang menilai perlunya sebuah perawatan tindak lanjut
dan seseorang untuk mengatur perawatan tindak lanjut tersebut kepada pasien,
baik perawatan diri yang diberikan oleh anggota keluarga, perawatan dari tim
profesional kesehatan atau kombinasi dari keduanya untuk meningkatkan dan
mempercepat kesembuhan pasien.

3.2. Tujuan discharge planning


Tujuan dari dilakukannya discharge planning sangat baik untuk
kesembuhan dan pemulihan pasien pasca pulang dari rumah sakit. Menurut
nursalam (2011) tujuan discharge planning/perencanaan pulang antara lain
sebagai berikut:
1. Menyiapkan pasien dan keluarga secara fisik, psikologis, dan sosial.
2. Meningkatkan kemandirian pasien dan keluarga.
3. Meningkatkan keperawatan yang berkelanjutan pada pasien.
4. Membantu rujukan pasien pada sistem pelayanan yang lain
5. Membantu pasien dan keluarga memiliki pengetahuan dan keterampilan
serta sikap dalam memperbaiki serta mempertahankan status kesehatan
pasien
6. Melaksanakan rentang keperawatan antara rumah sakit dan masyarakat.
Di dalam perencanaan pulang, terdapat pemberian edukasi atau  discharge
teaching dari tim kesehatan. Menurut william & wilkins (2009) discharge
teaching harus melibatkan keluarga pasien atau perawat lainnya untuk
memastikan bahwa pasien mendapatkan home care yang tepat. Discharge
teaching bertujuan agar pasien :
1. Memahami mengenai penyakitnya
2. Melakukan terapi obat secara efektif
3. Mengikuti aturan diet secara hati-hati
4. Mengatur level aktivitasnya
5. Mengetahui tentang perawatan yang dilakukan
6. Mengenali kebutuhan istirahatnya
7. Mengetahui komplikasi yang mungkin dialami
8. Mengetahui kapan mencari follow up care

3.3. Manfaat discharge planning


Perencanaan pulang mempunyai manfaat antara lain sebagai berikut (nursalam,
2011) :
1. Memberi kesempatan kepada pasien untuk mendapat panjaran selama di
rumah sakit sehingga bisa dimanfaatkan sewaktu di rumah.
2. Tindak lanjut yang sistematis yang digunakan untuk menjamin kontinutas
keperawatan pasien.
3. Mengevaluasi pengaruh dari intervensi yang terencana pada penyembuhan
pasien dan mengidentifikasi kekambuhan atau kebutuhan keperawatan
baru.
4. Membantu  kemandirian pasien dalam kesiapan melakukan keperawatan
rumah.
Sedangkan menurut doengoes, moorhouse & murr (2007) banyak sekali
manfaat yang didapatkan dari discharge planning, diantaranya adalah:
1. Menurunkan jumlah kekambuhan
2. Penurunan perawatan kembali ke rumah sakit dan kunjungan ke ruangan
kedaruratan yang tidak perlu kecuali untuk beberapa diagnosa
3. Membantu pasien untuk memahami kebutuhan setelah perawatan dan biaya
pengobatan
4. Setelah pasien dipulangkan, pasien dan keluarga dapat mengetahui apa
yang telah dilaksanakan, apa yang harus dan tidak boleh dilakukan dan
bagaimana mereka dapat meneruskan untuk meningkatkan status kesehatan
pasien
5. Ringkasan pulang dapat disampaikan oleh perawat praktisi atau perawat
home care dan mungkin dapat dikirim ke dokter yang terlibat untuk
dimasukkan dalam catatan institusi untuk meningkatkan kesinambungan
perawatan dengan kerja yang kontinu ke arah tujuan dan pemantauan
kebutuhan.

3.4. Prinsip discharge planning


Tingkat keberhasilan dari discharge planning serta penyembuhan
pasien harus didukung terhadap adanya prinsi-prinsip yang mendasari, yang
juga merupakan tahapan dari proses yang nantinya akan mengarah terhadap
hasil yang diinginkan. Menurut department of health (2004) dalam buku karya
liz lees (2012) disebutkan ada beberapa prinsip dalam discharge planning,
diantaranya adalah:
1. Mempunyai pengetahuan yang spesifik terhadap suatu proses penyakit dan
kondisinya
2. Dapat memperkirakan berapa lama recovery pasien, serta perbaikan
kondisi yang muncul dari proses penyembuhan tersebut
3. Melibatkan serta selalu berkomunikasi dengan pasien, keluarga atau
pengasuh dalam proses discharge planning
4. Turut serta dalam menangani masalah dan kesulitan yang mungkin akan
muncul terhadap pasien
5. Melibatkan suatu proses dalam tim multidisiplin
6. Selalu mengkomunikasikan rencana yang akan dilakukan dengan tim
multidisiplin untuk menghindari adanya kesalahan
7. Membuat suatu arahan yang tepat dan tindak lanjut yang sesuai dengan
hasil
8. Memiliki suatu koordinasi tim untuk tindak lanjut rencana perawatan
berkelanjutan dan memiliki informasi tentang nama tim kesehatan yang
bertanggung jawab untuk setiap tindakan, serta dalam kasusu yang
kompleks dilakukan identifikasi satu pemimpin kasus
9. Disiplin, tegas serta selalu melaksanakan aktivitas dari discharge planning
10. Meninjau dan selalu memperbarui rencana untuk progress yang lebih baik
11. Selalu memberikan informasi yang akurat terhadap semua yang terlibat.
Sedangkan beberapa prinsip pada pelaksanaan discharge planning
menurut nursalam (2011), yaitu:
1. Pasien merupakan fokus dalam perencanaan pulang. Nilai keinginan dan
kebutuhan dari pasien perlu dikaji dan dievaluasi.
2. Kebutuhan dari pasien diidentifikasi. Kebutuhan ini dikaitkan dengan
masalah yang mungkin timbul pada saat pasien pulang nanti, sehingga
kemungkinan masalah yang mungkin timbul di rumah dapat segera
diantisipasi.
3. Perencanaa pulang dilakukan secara kolaboratif. Perencanaan pulang
merupakan pelayanan multidisiplin dan setiap tim harus saling bekerja
sama.
4. Perencanaan pulang disesuaikan dengan sumber daya dan fasilitas yang
ada. Tindakan atau rencana yang akan dilakukan setelah pulang
disesuaikan dengan pengetahuan dari tenaga yang tersedia atau fasilitas
yang tersedia di masyarakat.
5. Perencanaan pulang dilakukan pada setiap sistem pelayanan kesehatan.
Setiap pasien masuk tatanan pelayanan maka perencanaan pulang harus
dilakukan.

3.5. Jenis discharge planning


Chesca (1982) dalam nursalam (2011) mengklasifikasikan jenis
pemulangan pasien sebagai berikut:
1. Conditioning discharge (pulang sementara atau cuti), keadaan pulang ini
dilakukan apabila kondisi pasien baik dan tidak terdapat komplikasi.
Pasien untuk sementara dirawat di rumah namun harus ada pengawasan
dari pihak rumah sakit atau puskesmas terdekat.
2. Absolute discharge (pulang mutlak atau selamanya), cara ini merupakan
akhir dari hubungan pasien dengan rumah sakit. Namun apabila pasien
perlu dirawat kembali, maka prosedur perawatan dapat dilakukan kembali.
3. Judicial discharge (pulang paksa), kondisi ini pasien diperbolehkan pulang
walaupun kondisi kesehatan tidak memungkinkan untuk pulang, tetapi
pasien harus dipantau dengan melakukan kerja sama dengan perawat
puskesmas terdekat.

3.6. Komponen discharge planning


Ada beberapa komponen spesifik dari discharge planning yang harus
didokumentasikan menurut kowalski (2008), meliputi:
1. Peralatan atau barang yang diperlukan dirumah; pastikan bahwa keluarga
dapat memperoleh atau mengetahuinya dimana keluarga dapat
mendapatkan segala peralatan atau barang yang dibutuhkan pasien
2. Perkenalkan cara penggunaan peralatan atau barang yang diperlukan
pasien, termasuk ajarkan dan demonstrasikan cara perawatan pasien
kepada keluarga
3. Untuk diet, sarankan pada ahli nutrisi untuk mengajarkan pasien dan
keluarga agar memahami makanan yang seharusnya dikonsumsi maupun
tidak.
4. Obat-obatan selalu dipastikan selalu tersedia di rumah
5. Untuk prosedur tertentu, seperti penggantian dresssing, dapat dilakukan
dirumah. Pada kondisi awal, prosedur harus didampingi oleh perawat
supervisi dan klien atau keluarga dapat mengikuti untuk mempraktekkan
dibawah pengawasan perawat supervisi
6. Pada setiap kunjungan, perawat selalu mendokumentasikan apakah pasien
dan keluarga mendapatkan atau menyediakan obat atau alat yang
dibutuhkan pasien dirumah
7. Membuat janji untuk kunjungan rumah selanjutnya
8. Ajarkan mengenai aktivitas yang dianjurkan dan boleh dilakukan serta
yang tidak diperbolehkan
9. Dokumentasikan setiap edukasi yang telah diajarkan pada pasien dan
keluarga
Menurut cadpacc (1995) dalam gielen (2015) ada beberapa komponen
sebelum dilakukannya discharge planning, yaitu:
1. Identifikasi dan kaji apa yang kebutuhan pasien yang harus dibantu pada
discharge planning
2. Kolaborasikan bersama pasien, keluarga dan tim kesehatan lainnya untuk
memfasilitasi dilakukannya discharge planning
3. Mengajarkan kepada pasien dan keluarga tentang strategi pencegahan
agar tidak terjadi kekambuhan atau komplikasi
4. Rekomendasikan beberapa pelayanan rawat jalan atau rehabilitasi pada
pasien dengan penyakit kronis
5. Komunikasi dan koordinasikan dengan tim kesehatan lainnya tentang
langkah atau rencana dari discharge planning yang akan dilakukan
3.7. Mekanisme discharge planning
Discharge planning mencakup kebutuhan seluruh pasien, mulai dari
fisik,  psikologis, sosial, budaya, dan ekonomi. Proses ini tiga fase, yaitu
akut, transisional, dan pelayanan berkelanjutan. Pada fase akut, diutamakan
upaya medis untuk segera melaksanakan discharge planning. Pada fase
transisional, ditahap ini semua cangkupan pada fase akut dilaksankan tetapi
urgensinya berkurang. Dan pada fase pelayanan berkelanjutan, pasien
mampu untuk berpartisipasi dalam perencanaan dan pelaksanaan aktivitas
perawatan berkelanjutan yang dibutuhkan setelah pemulangan. (perry &
potter, 2005).

Perry dan potter (2005), menyusun format discharge planning  sebagai


berikut:
a. Pengkajian
1. Sejak pasien masuk kaji kebutuhkan discharge planning pasien, focus
pada terhadap kesehatan  fisik, status fungsional, sistem pendukung
sosial, finansial, nilai kesehatan, latar belakang budaya dan etnis,
pendidikan, serta tintangam terhadap keperawatan.
2. Kaji pasien dan keluarga terhadap pendidikan kesehatan berhubunga
dengan kondisi yang akan diciptakan di rumah tempat tinggal pasien
setelah keluar dari rumah sakit sehingga terhindar dari komplikasi
3. Kaji cara pembelajaran yang disukai oleh pasien agar pendidikan
kesehatan yang diberikan bermanfaat dan dapat ditangkap oleh pasien
maupun keluarga. Tipe materi pendidikan yang berbeda- beda dapat
mengefektifkan cara pembelajaran yang berbeda pada  pasien.
4. Kaji bersama-sama dengan pasien dan keluarga terhadap setiap  faktor
lingkungan di dalam rumah yang mungkin menghalangi dalam
perawatan diri seperti ukuran ruangan, kebersihan jalan menuju pintu,
lebar jalan, fasilitas kamar mandi, ketersediaan alat-alat yang berguna
(seorang perawat perawatan di rumah dapat  dirujuk untuk membantu
dalam pengkajian).
5. Melakukan kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain dalam mengkaji
kebutuhan untuk rujukan pelayanan kesehatan rumah maupun fasilitas
lain.
6. Kaji persepsi pasien dan keluarga terhadap keberlanjutan  perawatan
kesehatan di luar rumah sakit. Mencakup pengkajian  terhadap
kemampuan keluarga untuk mengamati care giver dalam memberikan
perawatan kepada pasien. Dalam hal ini sebelum  mengambil keputusan,
mungkin perlu berbicara secara terpisah dengan pasien dan keluarga
untuk mengetahui kekhawatiran yang sebenarnya atau keragu-raguan
diantara keduanya.
7. Kaji penerimaan pasien terhadap penyakit yang sedang diderita
berhubungan dengan pembatasan.
8. Konsultasikan tim pemberi layanan kesehatan yang lain tentang 
kebutuhan setelah pemulangan (seperti ahli gizi, pekerja sosial, perawat
klinik spesialis, perawat pemberi perawatan kesehatan di rumah).
Tentukan kebutuhan rujukan pada waktu yang berbeda.
b. Diagnosa keperawatan
Perry dan potter (2005) adapun diagnosa keperawatan yang dapat
ditegakkan antara lain:
1. Kecemasan, hal ini dapat menginterupsi proses keluarga.
2. Tekanan terhadap care giver, hal yang menyebabkannya adalah
ketakutan.
3. Kurang pengetahuan terhadap pembatasan perawatan di rumah, pasien
mengalami defisit perawatan diri
4. Stres sindrom akibat perpindahan, hal ini berhubungan dengan upaya
meningkatkan  pertahanan/pemeliharaan di rumah.
c. Perencanaan
Perry dan potter (2005) hasil yang diharapkan jika seluruh prosedur
telah dilaksanakan adalah sebagai berikut:
1. Pasien atau keluarga sebagai caregiver mengerti akan keberlangsungan
pelayanan kesehatan di rumah (atau fasilitas lain), penatalaksanaan atau
pengobatan apa yang  dibutuhkan, dan .
2. Pasien dan keluarga mampu mendemonstrasikan aktivitas perawatan
diri. 
3. Rintangan kepada pergerakan pasien dan ambulasi telah diubah  dalam
setting rumah.
d. Penatalaksanaan
Perry dan potter (2005) penatalaksanaan dapat dibedakan dalam dua
bagian, yaitu  penatalaksanaan yang dilakukan sebelum hari
pemulangan, dan  penatalaksanaan yang dilakukan pada hari
pemulangan.
a. Persiapan sebelum hari pemulangan pasien
1. Menganjurkan cara untuk merubah keadaan rumah demi memenuhi
kebutuhan pasien.
2. Mempersiapkan pasien dan keluarga dengan memberikan informasi
tentang sumber-sumber pelayanan kesehatan komunitas. Rujukan dapat
dilakukan sekalipun pasien masih  di rumah.
3. Setelah menentukan segala hambatan untuk belajar serta  kemauan
untuk belajar, mengadakan sesi pengajaran dengan  pasien dan keluarga
secepat mungkin selama dirawat di rumah  sakit. Pamflet, buku-buku,
atau rekaman video dapat diberikan kepada pasien muapun sumber
yang yang dapat diakses di internet.
4. Komunikasikan respon pasien dan keluarga terhadap  penyuluhan dan
usulan perencanaan pulang kepada anggota  tim kesehatan lain yang
terlibat dalam perawatan pasien.
b. Penatalaksanaan pada hari pemulangan
Perry dan potter (2005) berpendapat apabila beberapa aktivitas berikut
ini dapat dilakukan sebelum  hari pemulangan, maka perencanaan yang
dilakukan akan lebih efektif.  Adapun aktivitas yang dilakukan yaitu:
1. Biarkan pasien dan keluarga bertanya dan diskusikan isu-isu yang
berhubungan dengan perawatan di rumah. Kesempatan terakhir untuk
mendemonstrasikan kemampuan juga  bermanfaat.
2. Periksa instruksi pemulangan dokter, masukkan dalam terapi,  atau
kebutuhan akan alat-alat medis yang khusus. (instruksi harus dituliskan
sedini mungkin). Persiapkan kebutuhan yang mungkin diperlukan
pasien selama perjalanan pulang (seperti tempat tidur rumah sakit, 
oksigen,  feeding pump).
3. Pastikan pasien dan keluarga telah dipersiapkan dalam  kebutuhan
transportasi menuju ke rumah.
4. Tawarkan bantuan untuk memakaikan baju pasien dan semua barang
milik pasien. Jaga privasi pasien  sesuai kebutuhan.
5. Periksa seluruh ruangan dan laci untuk memastikan barang-barang
pasien. Dapatkan daftar pertinggal barang-barang  berharga yang telah
ditandatangani oleh pasien, dan  instruksikan penjaga atau administrator
yang tersedia untuk  menyampaikan barang-barang berharga kepada
pasien.
6. Persiapkan pasien dengan prescription atau resep pengobatan  pasien
sesuai dengan yang diinstruksikan oleh dokter.  Lakukan pemeriksaan
terakhir untuk kebutuhan informasi atau  fasilitas pengobatan yang
aman untuk administrasi diri.
7. Berikan informasi tentang petunjuk untuk janji follow upke  kantor
dokter.
8. Hubungi kantor agen bisnis untuk menentukan apakah pasien 
membutuhkan daftar pengeluaran untuk kebutuhan  pembayaran.
Anjurkan pasien dan keluarga mengunjungi  kantornya.
9. Dapatkan kotak untuk memindahkan barang-barang pasien.  Kursi roda
untuk pasien yang tidak mampu ke mobil  ambulans. Pasien yang
pulang dengan menggunakan  ambulans diantarkan oleh usungan
ambulans.
10. Bantu pasien menuju kursi roda atau usungan dan gunakan  sikap tubuh
dan teknik  pemindahan yang sopan. Dampingi pasien memasuki unit
dimana transportasi yang dibutuhkan  sedang menunggu. Kunci roda
dari kursi roda. Bantu pasien  pindah ke mobil pribadi atau kendaraan
untuk transportasi.  Bantu keluarga menempatkan barang-barang
pribadi pasien ke  dalam kendaraan.
11. Kembali ke bagian, dan laporkan waktu pemulangan kepada
departemen pendaftaran/penerimaan. Ingatkan bagian kebersihan untuk
membersihkan ruangan pasien.
e. Evaluasi
1. Minta pasien dan anggota keluarga menjelaskan tentang penyakit, 
pengobatan yang dibutuhkan, tanda-tanda fisik atau gejala yang  harus
dilaporkan kepada dokter.
2. Minta pasien atau anggota keluarga mendemonstrasikan setiap 
pengobatan yang akan dilanjutkan di rumah.
3. Perawat yang melakukan perawatan rumah memperhatikan keadaan
rumah, mengidentifikasi rintangan yang dapat  membahayakan bagi
pasien, dan menganjurkan perbaikan.

3.7.1. Alur discharge planning

Sumber : nursalam, 2011


Keterangan :
1.  tugas keperawatan primer
1) Membuat rencana discharge planning.
2) Membuat leaflet.
3) Memberikan konseling.
4) Memberikan pendidikan kesehatan.
5) Menyediakan format discharge planning.
6) Mendokumentasikan discharge planning.
2.  tugas keperawatan associate 
Melaksanakan agenda discharge planning (pada saat keperawatan dan diakhiri
ners).
Contoh form pasien
No. Reg : 121 3111456
Discharge planning nama : ny.n
jenis kelamin : perempuan
Tanggal mrs : 20-11-2015 Tanggal krs : 27-11-2015
bagian : bagian :
Dipulangkan dari rsua dengan keadaan
sembuh
 pulang paksa
meneruskan dengan obat jalan  lari
pindah ke rs lain  meninggal

A. Kontrol :
Waktu : -
Tempat : -
Lanjutan keperawatan di rumah (luka operasi, pemasangan gift,
pengobatan, dan lain-lain
Melakukan diet teratur dan stres control sebagai pencegahan kekambuhan

C. Aturan diet/nutrisi :
Dianjurkan makan 3x sehari, makan tepat waktu, menghindari makanan pedas,
menghindari makanan setengah matang.

D. Obat-obat yang masih diminum dan jumlahnya :


Obat analgesik @10
Obat mual @10

Aktivitas dan istirahat :


Istirahat yang teratur, menghindari stress

Hal yang dibawa pulang (hasil laboratorium, foto, ekg, obat, lainnya) :
hasil lab, obat analgesik dan anti mual serta leaflet tentang gea
Lain-lain :

Surabaya, 27 november 2015


Pasien/keluarga Ners

(ny.n) (ners jaya)


BAB 3
PENGKAJIAN DAN ANALISIS RUANGAN

3.1 pengkajian
Kegiatan pengkajian dilakukan untuk mengidentifikasi kebutuhan atau masalah
yang terjadi di ruangan. Mahasiswa melakukan pengkajian dengan mengamati
kondisi ruangan rawat, melihat data sekunder, wawancara serta kuesioner
terhadap perawat dan keluarga. Pelaksanaan pengkajian dilakukan pada minggu
pertama. Hasil dari pengkajian tersebut yaitu:

3.1.1 Pengkajian ruangan


1. Kriteria ruang perawatan
a. Kriteria ruang kronis
Ruang kronis merupakan ruang kelas 3 yang terdiri 5 ruangan dengan
kapasitas 30 tempat tidur. Masing-masing ruangan terdiri dari 6
tempat tidur. Masing-masing ruangan dilengkapi dengan 1 kamar
mandi untuk pasien.
b. Kriteria ruang akut
Ruang akut terdiri atas 31 tempat tidur untuk anak. Ruang isolasi
terdiri dari 4 ruang masing ruangan memiliki 2 tempat tidur, ruang
rawat a1 terdiri dari 4 tempat tidur, dan a2 terdiri dari 8 tempat tidur,
ruang a3 dan a6 terdiri dari 6 tempat tidur dengan 8 kamar mandi
untuk pasien.
2. Ketenagaan
a. Tenaga perawat ruang kronis
Tenaga perawat di ruang rawat kronis anak terdiri atas 12 orang
perawat dengan klasifikasi jenjang sarjana (s1) sejumlah 2 orang,
diploma (d3) berjumlah 10 orang.
b. Tenaga perawat
Tenaga perawat di ruang akut ada 10 orang dengan tingkat
pendidikan s1 sejumlah 2 orang, dan d3 keperawatan berjumlah 8
orang

3. Struktur organisasi ruangan

KEPALA KEPALA
RUANGAN RUANGAN

KETUA TIM RUANG KETUA TIM RUANG


AKUT KRONIS

PP PP PP PP PP PP

ADMINISTRASI DAN
PEKARYA

1. Model asuhan keperawatan


1) Model asuhan keperawatan professional yang sekarang di gunakan di ruang
akut &kronis rsup dr.m.jamil padang adalah model tim modifikasi.
Pembagian tugas per tim dilakukan berdasarkan pembagian jadwal dinas
tiap shift.
2) Di ruang akut &kronis rsup dr.m.jamil padang sudah ada tugas, peran dan
wewenang yang jelas pada setiap anggota tim.
3) Perawat menyatakan bahwa penerapan model praktek keperawatan di ruang
akut kronis rsup dr.m.jamil padang belum optimal
4) Alasan pelaksanaan model asuhan keperawatan yang kurang efektif atau
tidak efektif menurut perawat adalah karena ketidakseimbangan jumlah
perawat dengan pasien dan perawat tidak dapat memantau keadaan pasien
secara menyeluruh.
5) Model praktek asuhan keperawatan yang dapat efektif diaplikasikan di
ruangan akut kronis rsup dr.m.jamil padang adalah metode perawat primer.
2. Lingkungan
1) Lokasi ruangan akut kronis rsup dr.m.jamil padang berada pada sisi bagian
2 di belakang dari gedung rsup dr.m.jamil padang.
2) Lingkungan sangatkondusif untuk kondisi pasien anak dengan pencahayaan
yang kurang dari jendela kaca di setiap ruangan, sirkulasi udara yang cukup
dengan pengaturan pendingin udara (ac) di setiap ruangan.
3) Setiap ruangan kebersihannya terjaga dan di bersihkan 3 kali sehari oleh
cleaning service.
4) Lokasi nurse station ada di dalam ruangan perawatan yang memudahkan
keluarga untuk meminta bantuan perawat.
5) Penataan ruangan disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi pasien.
6) Waktu kunjungan disesuaikan dengan peraturan di rumah sakit yaitu siang:
11.00-13.00 dan sore: 16.00-18.00 wib.

3. Sarana dan prasarana


1) Tersedianya sarana untuk mencuci tangan yaitu wastafel di masing-masing
toilet ruangan perawatan, dan setiap tempat tidur ada tersedia handrub.
Wastafel juga terlihat di nurse stasion yang dilengkapi dengan cairan
sabun pencuci tangan.
2) Pengelolaan sampah sudah dipisahkan antara sampah medis dan non
medis, untuk sampah medis diletakkan di dalam plastik kuning dan
sampah non medis plastik hitam.
3) Tersedianya ruang tindakan yang terpisah dengan ruang rawat, untuk
melakukan tindakan-tindakan tertentu.
4) Kurang tersedianya alat tenun yang memadai yang sesuai dengan jumlah
pasien yang dirawat.
5) Tersedianya alat pelindung diri dan memadai namun tidak digunakan
secara optimal.
6) Belum adanya ruang khusus untuk melakukan terapi bermain
7) Tidak tersedia strerilisator di ruangan karena sistem sterilasi alat dilakukan
secara sentralisasi.
8) 65:% keluarga menyatakan bahwa fasilitas perawatan anak diruangan
cukup bersih dan nyaman.
9) 100% keluarga menyatakan bahwa peralatan dan fasilitas bermain di
ruangan perawatan anak belum ada.

4. Pelayanan keperawatan
Dalam pemberian pelayanan pada pasien yang dirawat dengan kasus –kasus
infeksi dan non infeksi harus memperhatikan prinsip pencegahan penularan
infeksi silang maupun infeksi nasokomial yang terjadi selama masa perawatan
pasien dirumah sakit. Oleh sebab itu peranan perawat dalam pencegahan
infeksi sangatlah penting, sehingga perawat dituntut untuk mengerti,
memahami dan mampu melaksanakan” universal precaution”. Dari hasil
observasi dan analisa semua perawat yang ada di ruang akut kronis rsup
dr.m.jamil padang telah mengikuti pelatihan universal precaution, dan
tersedianya protap universal precaution. Alat pelindung diri (apd) seperti
masker, sarung tangan tersedia di ruangan namun gaun (barakshort) digunakan
untuk kasus-kasus tertentu saja seperti ketika menangani pasien kemoterapi
atau pasien dengan penyakit menular.

5. Dokumentasi keperawatan
Berdasarkan hasil kuesioner dari perawat (n=10) didapatkan data sebagai
berikut:
a. Asuhan keperawatan
1) Ruang akut &kronis rsup dr.m.jamil padang sudah mempunyai format
pendokumentasian keperawatan yang terdiri dari format pengkajian,
diagnosa keperawatan, dan rencana keperawatan. Untuk implementasi
dan eveluasi perawat mendokumentasikannya pada format catatan
perkembangan. Berdasarkan hasil observasi pelaksaan pencatatan
asuhan keperawatan sudah dilakukan dengan baik.
2) Implementasi dan evaluasi sudah didokumentasikan belom optimal.
Pencatatan implementasi keperawatan berfokus pada kebutuhan dasar
dan instruksi medis. Implementasi yang ditulis, tidakberdasarkan
masalah/diagnosa keperawatan yang diangkat, sedangkan di
pendokumentasian evaluasi juga tidak menggambarkan perubahan
kondisi pasien berdasarkan diagnosa keperawatan walaupun sudah
berbentuk soap.
3) Perawat menyatakan bahwa pelaksanaan pencatatan asuhan
keperawatan telah terlaksana dengan optimal karena format asuhan
keperawatan sudah tersedia dan mudah dipahami namun masih kurang
lengkap.

b. Discharge planning (rencana pasien pulang)


1) Pengetahuan perawat tentang discharge planning tinggi yaitu 100%
2) Pelaksanaan perencanaan pasien pulang belum terlaksana dengan
cukup baik oleh perawat, namun ada terdapat format discharge
planning yang disediakan.
3) Pemberian informasi kesehatan dan penjelasan penyakit pasien telah
dilakukan oleh perawat sebesar 70% dalam discharge planing.
4) Pemberian edukasi perawatan mandiri di rumah masih belum
optimalkan dilaksakan. Tindakan edukasi perawatan mandiri di rumah
baru dilaksakan sebesar 58% saat discharge planning.
5) Penjelasan informasi mengenai kesehatan pasien menggunakan lembar
balik hanya sekitar 24% telah dilaksanakan oleh perawat saat
discharge planning.

c. Pendidikan kesehatan
1) Perawat belum mempunyai daftar informasi kesehatan dan satuan
acara pembelajaran (sap) yang disampaikan kepada pasien dan
keluarga. Ketersediaan materi ini akan mempermudah perawat dalam
memberikan informasi pasien dan keluarga.
2) Pada awalnya di ruangan akut kronis sudah tersedia media pendidikan
kesehatan seperti leaflet, namun penyediaan media tersebut pada saat
ini terhambat karena masalah penggandaan yang tidak difasilitasi oleh
rumah sakit. Leaflet yang disediakan kurang menarik dan tidak sesuai
untuk anak-anak
3) Pemberian pendidikan kesehatan hanya dilakukan secara individu
kepada pasien dan keluarga, terkait permasalahan klien saja tanpa
menggunkan alat dan media.
4) Pendidikan kesehatan yang dibutuhkan oleh keluarga dalam perawatan
anak di rumah sakit adalah tentang pemenuhan kebutuhan nutrisi pada
anak selama dirawat di rumah sakit, perawatan demam, mengatasi
nyeri, mengatasi kecemasan dan kelelahan pada anak selama dirawat di
rumah sakit, penyakit dan prognosis serta kemajuan pengobatan.

6. Universal precaution
a. Tersedianya alat pelindung diri (apd ) diruangan seperti; masker, sarung
tangan, gaun dan lain-lain). Namun dalam penyediaannya ada keterbatasan
b. 50% perawat menyatakan bahwa penggunaan alat steril pada setiap
tindakan invasive sudah optimal.
c. 50% perawat melakukan tindakan pencegahan infeksi nosokomial dengan
baik seperti mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan,
menggunakan sarung tangan dan lai-lain.
d. Menurut perawat, kendala belum optimal tindakan asepsis dalam setiap
invasive karena alat tidak tersedia di ruangan, membutuhkan waktu yang
lama, anak sulit ditenangkan dan sibuk serta tenaga yang kurang.
e. Sop pencegahan infeksi nosokomial sudah ada di ruangan dan sudah
tersosialisasi kepada perawat ruangan.
f. 50% tindakan cuci tangan oleh keluarga belum optimal.
g. Semua perawat telah mendapatkan pelatihan tentang universal precaution.

7. Pelaksanaan atraumatic care


a. Memberikan kesempatan pada keluarga (orang tua) untuk menemani anak
selama dirawat dirumah sakit.
b. Untuk tindakan –tindakan yang menimbulkan trauma pada anak sudah
dilakukan diruangan khusus tindakan, sehingga meminimalkan dampak
trauma pada anak itu sendiri maupun anak yang lain.
c. Ruangan anak belum mencirikan seting ruang perawatan anak.
d. Perawat sering menenangkan atau membujuk anak dengan, bercanda atau
menyentuh anak ketika anak menolak saat dilakukan tindakan keperawatan
sebesar 50%.
e. Dalam pelaksanaan atraumatic care perawat menyapa pasien sebelum
tindakan sebesar 97%
f. Perawat selalu melibatkan keluarga dalam memberikan askep sebesar
88%.
G. Sekitar 67% perawat telah melakukan pengalihan kecemasan pada anak.
h. Menurut keluarga, tindakan yang sering dilakukan oleh perawat ketika
menghadapi anak yang menolak untuk dilakukan tindakan keperawatan
adalah menenangkan anak dan membujuknya, memberikan sentuhan,
bercanda dengan anak. Perawat mengajak anak bermain sebelum
melakukan tindakan sebesar 48%

3.1.2 Analisa hasil pengkajian


Data pengkajian yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan
analisis swot (strength, weakness, opportunity and threat). Hasil analisis
swot adalah sebagai berikut:

a. kekuatan (strength)
1. Sumber daya manusia
a) Perawat memiliki pengetahuan dan keterampilan yang baik
terhadap perawatan anak, yang diperoleh melalui pendidikan dan
pelatihan di rumah sakit dan di luar rumah sakit.
b) Perawat memiliki keterbukaan terhadap hal baru terkait pemberian
keperawatan
c) Perawat memperhatikan kebutuhan aman dan nyaman pasien.
2. Pelayanan keperawatan
a) Tindakan invasif menggunakan teknik steril seperti pemasangan
infus
b) Tersedianya sop tindakan keperawatan yang dilakukan di ruangan.
c) Perawat mendokumentasikan hasil pengkajian dan implementasi
keperawatan yang telah dilakukan

3. Sarana dan prasarana


Setiap ruangan di perinatologi mempunyai:
a) Peralatan tindakan invasif berada pada kondisi siap pakai seperti
alat pemasangan infus, ngt, dll
b) Fasilitas pencegah infeksi di setiap ruangan: tempat cuci tangan,
sabun antiseptik, handrub (setiap bed pasien), tisu pengering dan
panduan teknik cuci tangan yang benar
c) Pemeliharaan sarana dan prasarana dengan baik

4. lingkungan
a) Pengaturan dengan baik mengenai kebersihan, suhu, dan
pencahayaan ruangan dan diusahakan memenuhi standar
kebutuhan para bayi.
b) Letak peralatan yang dibutuhkan mudah dijangkau.

b. Kelemahan (weakness)
1. Sumber daya manusia
Rasio perawat dan pasien yang tidak sesuai. Setiap shift perawat yang
bertugas berjumlah 3 orang sedangkan rata-rata pasien setiap harinya
berjumlah lebih dari 20 pasien, sehingga rasio perawat dan pasien
tidak ideal yaitu 1 perawat merawat 6-7 pasien.
2. Tingkat ketergantungan anak tinggi
1. Format discharge planning telah tersedia, namun dalam
pelaksanaanya masih belum optimal dan tidak tersedianya media
yang sesuai dengan diagnosa pasien anak.
2. Belum tersedianya fasilitas bermain untuk pasien anak.
3. Media untuk pelaksanaan rencana pemulangan pasien seperti poster,
lembar balik dan leafleat kurang memadai dan penggunaannya belum
optimal.
4. Anak yang dirawat dengan kasus infeksi, setting ruangan masih
seperti setting perawatan dewasa yang kurang mencirikan ruang
perawatan bagi anak.
5. Anak kurang termotivasi untuk bermain (terutama pada pasien
infeksi) karena hari rawat yang singkat, kondisi pasien dan sosialisasi
yang belum optimal.
6. Pengalihan kecemasan stress psikologis pasien anak saat melakukan
tindakan keperawtan belum terlaksana secara optimal.

c. Peluang (opportunity)
1. Adanya mahasiswa s2 yang praktik aplikasi dan residensi di ruang
perawatan anak akut kronis rsup m.djamil.
2. Adanya mahasiswa keperawatan (d3 dan s1 keperawatan) yang
praktik di ruang perawatan anak akut kronis rsup m.djamil.
3. Sudah tersedianya pojok edukasi
4. Rsup dr. M. Djamil adalah rumah sakit rujukan untuk wilayah
sumatera bagian tengah.

d. Ancaman (threat)
1. Masyakarat semakin kritis menyebabkan tuntutan terhadap kualitas
pelayanan keperawatan semakin meningkat
2. Undang-undang perlindungan konsumen menuntut adanya
peningkatan kualitas pelayanan keperawatan.
3. Design ruang tindakan masih sangat standar, belum ideal untuk ruang
tindakan anak.
4. Kurangnya dukungan keluarga terhadap penerapan family centered
care karena asumsi pelayanan kesehatan dan perawatan pada anak
dirumah sakit menjadi tanggung jawab tenaga kesehatan.
5. Kurangnya kegiatan monitoring dan evaluasi lanjut terhadap
keberhasilan dari pelaksanaan kegiatan discharge planing.

3.2 Bentuk kegiatan


Hari/ tanggal
Kegiatan 03/ 04/ 05/ 08/ 09/ 10/ 11/ 15/ 16/ 17/ 18/ 22/ 23/ 24/
10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
Pengkajian
Pembuatan
proposal
Konsultasi
proposal
Revisi
proposal
Sosialisasi
proyek
inovasi
Implementasi,
monitoring, &
evaluasi
Penyusunan
laporan akhir
Seminar hasil
Tabel 4. Bentuk dan jadwal pelaksanaan kegiatan

3.3 Sasaran
sasaran kegiatan ini adalah orang tua (keluarga) dan anak yang dipasang infus
dan tindakan invasif berusia 1-7 tahun di ruang tindakan bougenville atas rsup
persahabatan.
3.4 Strategi pelaksanaan
a. Prioritas kebutuhan inovasi

N Kebutuhan inovasi Capability Accesability Readiness Leverage Tota


O (kemampuan) (kemudahan) (kesiapan) (pengaruh) l
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
1 Upaya perlindungan diri V V V V 17
perawat, pasien dan
keluarga masih perlu
ditingkatkan.
2 Optimalisasi pelaksanaan V V V V 19
discharge planing.
3 Peningkatan kualitas asuhan V V V V 20
keperawatan melalui sharing
atau lokakarya mini
mengenai evidence based
practice terutama tentang
penurunan stress psikologis
pada anak
4 Potensial peningkatan V V V V 14
tindakan pencegahan trauma
pada anak
Jadi berdasarkan perhitungan di atas, maka prioritas kebutuhan inovasi ruang akut dan kronis
rsup. Dr. M. Djamil adalah sebagai berikut:
1. Peningkatan kualitas asuhan keperawatan melalui sharing atau lokakarya mini mengenai
evidence based practice terutama tentang penurunan stress psikologis pada anak
2. Optimalisasi pelaksanaan discharge planning secara optimal.
3. Upaya perlindungan diri perawat, pasien dan keluarga masin perlu ditingkatkan.
4. Potensial peningkatan tindakan pencegahan trauma pada anak, seperti; modifikasi
lingkungan yang mencirikan setting perawatan anak, menggunakan peralatan yang dapat
meminimalkan trauma pada anak seperti spalk dan plester bermotif dan lain-lain

b. Alternatif rencana kegiatan inovasi di ruang akut dan kronis rsup dr. M. Djamil
1. Modifikasi penggunaan skort berkarakter untuk pengalihan stress psikologis yang
dialami anak saat dilakukan tindakan.
2. Perlu dilakukan sosialisasi pelaksanaan discharge planning dan penyediaan media
seperti format discharge planning dan media pembelajaran seperti leaflet, lembar
balik dan booklet.
3. Perlu dilakukan penyegaran dan sosialisasi upaya perlindungan diri perawat, pasien
dan keluarga.
4. Penyediaan sarana ruang bermain dalam mengurangi stress psikologis anak selam
hospitalisasi
Strategi pelaksanaan
Plan (perencanaan)
N0 Kegiatan Tujuan Metode Pelaksana Output Waktu
1. Identifikasi masalah dan Penentuan masalah Observasi Tim Temuan masalah
kesepakatan tema dengan dan mencari trend ruangan dan tema proyek
pembimbing issue/ebp untuk inovasi
penyelesaian Wawancara
masalah
Konsultasi
dengan
pembimbing
2. Menentukan instrumen Menentukan latar Observasi di Tim Instrumen untuk
pengukuran, mengumpulkan belakang dan ruang tindakan mengkaji masalah
data untuk studi pendahuluan urgensi masalah yang ada di
yang akan dicari Pencatatan skor ruangan.
solusi distress
penyelesaiannya menggunakan
instrumen yang
telah disepakati
3. Menyusun proposal Penuangan ide dan Studi literatur Tim Proposal
gagasan
3. Sosialisasi masalah yang Penyampaian ide Diskusi dan Tim Kesepakatan
ditemukan dan gagasan ke tanya jawab mimilih masalah
kepala ruangan dan prioritas yang
perawat ruangan ditemukan di
ruangan.
Daftar pustaka

Azimatunnisa & kirnantoro. 2011. Hubungan discharge planning dengan tingkat


kesiapan klien dalam menghadapi pemulangan di rs pku muhammadiyah
yogyakarta. Yogyakarta

Birjandi, ali & lisa m. Bragg. 2008. Discharge planning handbook  for healthcare: top
10 secrets to unlocking a new revenue pipeline. London: crc press.

Bull, m.j. 2000. Discharge planning for older people: a review of current research.
British journal of community nursing, 5(2), pp 70

Ernita, dewi, rahmalia & riri. 2015. Pengaruh perencanaan pasien pulang (discharge
planning) yang dilakukan oleh perawat terhadap kesiapan pasien tb paru
menghadapi pemulangan. Jom vol 2 no 1, februari 2015. Riau

Kolcaba (2008). Comfort theory kolcaba. Diakses dari http.currentursing.com

Kozier, b., et al. 2004. Fundamentals of nursing concepts process and practice. 1 st
volume, 6 th edition. New jersey : pearson/prentice hall.

Lees, liz. 2012. Timely discharge from hospital. M&k publishing: england nhs
foundation trust, birmingham

Nursalam. 2009. Manajemen keperawatan aplikasi dalam praktek keperawatan


profesional. Edisi 3. Jakarta: salemba medika
Nursalam. 2011. Manajemen keperawatan aplikasi dalam praktek keperawatan
profesional. Edisi 3. Jakarta: salemba medika

Potter p.a & perry a.g. (2005). Buku ajar fundamental keperawatan konsep, proses, dan
praktik volume 1. Alih bahasa: yasmin asih et al. Edisi 4. Jakarta: egc.

Purnamasari, liliana dewi & chandra bagus ropyanto. 2012. Evaluasi pelaksanaan
perencanaan pulang. Jurnal nursing studies, volume 1, nomor 1 tahun 2012,
hal.213-218.

Williams, lippincot., wilkins. 2009. Lippincott’s nursing procedures 5th edition. London:
williams & wilkins inc.

Anda mungkin juga menyukai