Anda di halaman 1dari 3

Reksadana Syariah

Reksadana berfungsi sebagai wadah atau lembaga intermediasi yang membantu


masyarakat pemodal dalam menempatkan modalnya. Investasi melalui reksadana
memiliki berbagai kelebihan, di antaranya:

 Dana Anda dikelola oleh satu tim ekonomi yang handal nan profesional.
 Biaya yang harus Anda tanggung relatif murah.
 Adanya transaparasi informasi.
 Ada bagian dari keuntungan hasil usaha.

Selisih antara harga beli dan jual (capital gain).

Di negri kita, Dewan syariah Nasional (DSN) telah menerbitkan fatwa no: 20/DSN-
MUI/IV/2001, tentang pedoman pelaksanaan investasi untuk reksadana syariah. Fatwa
DSN ini menjadi pedoman utama bagi pelaksanaan reksadana umat.

Mekanisme Praktek Reksadana Syariah


Undang-Undang No.8 Tahun 1995 tentang pasar modal, menjelaskan bahwa reksadana
adalah wadah yang digunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal. Dan
setelah terkumpul dana tersebut, oleh manejer investasi, diinvestasikan dalam
portofolio efek.

Reksadana dapat terlaksana bila melibatkan 4 pihak berikut:

Masyarakat pemodal
Sebagai pemilik dana. Mereka berhak mendapatkan dua hal: bukti kepemilikan yang
berupa unit penyertaan reksadana syariah dan bagian dari hasil investasi.

Manajer Investasi
Mewakili masyarakat pemodal dalam pengelolaan dana mereka. Atas perannya ini,
manejer investasi berhak mendapatkan fee, dengan persentase tertentu dari nilai
aktiva bersih reksadana. Sebaliknya bila terjadi kerugian atau gagal usaha, maka
manejer investasi tidak menanggung resiko kerugian, selama bukan karena kelalaian
atau kesengajaan.

Emiten
Pihak yang menerbitkan efek dan sekaligus pengguna investasi masyarakat pemodal
dalam berbagai usaha halal yang ia jalankan. Penggunaan dana masyarakat pemodal
ini dilakukan dengan skema bagi hasil atau mudharabah.

Bank Kustodian
Pihak yang bertugas melayani penitipan, menghitung, menerima dan melakukan
pembayaran berbagai pembiayaan terkait. Dengan peran ini, bank kustodian
mendapatkan fee yang dengan persentase tertentu dari nilai aktiva bersih reksadana.

Tinjauan Hukum Syariat.


Dengan mencermati rangkuman penjelasan di atas, maka ada tiga kejanggalan yang
menurut hemat saya, mengurangi status kehalalan model investasi ini;

Pertama, Hak Masyarakat Pemodal


Masyarakat pemodal hanya mendapatkan bukti kepemilikan yang berupa unit
penyertaan modal, dan bukan kepemilikan atas unit usaha yang dikelola oleh emiten
sebagai pengguna. Padahal, akad yang mengikat mereka, yang diwakili oleh Manejer
Investasi dan emiten adalah akad mudharabah. Seharusnya masyarakat pemodal
berperan sebagai sahib al-mal (pemilik harta), berupa modal dan tentunya unit usaha
yang dijalankan dengan modal mereka.

Walau demikian, tatkala terjadi kegagalan usaha, masyarakat pemodal diminta


bertanggung jawab atas resiko kerugian sebesar persentase modal yang mereka
sertakan.

Adapun bukti unit penyertaan modal Reksadana yang diterima oleh masyarakat
pemodal, sejatinya hanyalah bukti pengakuan wakalah yang diterbitkan oleh manejer
investasi. Dan tentunya Anda memahami bedanya dengan bukti kepemilikan atas unit
usaha yang dijalankan oleh emiten dengan dana mereka.

Pada kasus Reksadana telah terjadi ketidak-adilan, karena masyarakat pemodal harus
menanggung kewajiban yang melebihi batas kewajaran. Hak kepemilikannya
dipindahkan kepada emiten, tanpa ada alasan yang dibenarkan secara syariat pula.
Dengan demikian praktek semacam ini adalah bentuk memakan harta orang lain
dengan cara-cara yang tidak benar. Allah berfirman, yang artinya,

ِ َ‫َوالَ تَأْ ُكلُوا أَ ْم َوالَ ُكم بَ ْينَ ُكم بِ ْالب‬


‫اط ِل‬

“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang batil.” (QS. Al Baqarah: 188)
Kedua, Hak Manejer Investasi
Atas jasanya, manejer investasi yang berperan ‘mewakili’ masyarakat pemodal, berhak
mendapatkan bagian dari nilai aktiva bersih yang dihitung dalam persentase. Akad ini,
dalam disiplin ilmu fiqih disebut dengan akad ijarah (jual jasa) atau
akad ju’alah (upah).

Kemudian, ulama fiqih telah menjelaskan bahwa upah dalam kedua jenis akad itu
haruslah ditentukan dalam bentuk nominal, dan bukan dalam persentase. Penentuan
hak manejer investasi dalam persentase semacam ini termasuk bentuk gharar yang
diharamkan dalam syariat.

“Bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli untung-untungan


(gharar).” (HR. Muslim)

Ketiga, Hak Bank Kustodian


Bila Anda cermati dengan seksama, tugas Bank Kustodian hanyalah sebatas
memberikan layanan, dengan demikian sejatinya akad yang mengikat bank kustodian
adalah akad ijarah. Konsekuensinya, seharusnya imbalan yang mereka terima adalah
upah yang dtentukan dalam nominal tertentu dan bukan dalam persentase dari nilai
aktiva bersih reksadana

Referensi: https://konsultasisyariah.com/10705-reksadana-syariat-dalam-sorotan.html

Anda mungkin juga menyukai