Anda di halaman 1dari 21

BAB II

ISI

2.1 RESUSITASI JANTUNG PARU


2.1.1 Definisi Resusitasi Jantung Paru
Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardiopulmonary Resusitasi (CPR) adalah
upaya mengembalikan fungsi nafas dan atau sirkulasi yang berhenti oleh berbagai
sebab dan boleh membantu memulihkan kembali kedua-dua fungsi jantung dan paru
ke keadaan normal. Bantuan hidup dasar (BHD) atau basic life support (BLS)
termasuk mengenali jika terjadinya serangan jantung, aktivasi respon sistem gawat
darurat, dan defibrilasi dengan menggunakan defibrillator. Basic life support atau
bantuan hidup dasar (BHD) adalah pendekatan sistemik untuk penilaian pertama
pasien, mengaktifkan respon gawat darurat. BHD sangat bermanfaat bagi
penyelamatan kehidupan mengingat dengan pemberian sirkulasi dan napas buatan
secara sederhana. BHD memberikan asupan oksigen dan sirkulasi darah ke sistem
tubuh terutama organ yang sangat vital dan sensitif terhadap kekurangan oksigen
seperti otak dan jantung.

Berhentinya sirkulasi beberapa detik sampai beberapa menit, asupan oksigen ke


dalam otak terhenti, terjadi hipoksia otak yang yang mengakibatkan kemampuan
koordinasi otak untuk menggerakkan organ otonom menjadi terganggu, seperti
gerakan denyut jantung dan pernapasan.Pada saat henti napas, kandungan oksigen
dalam darah masih tersedia sedikit, jantung masih mampu mensirkulasikannya ke
dalam organ penting, terutama otak, jika pada situasi diberi bantuan pernapasan,
kebutuhan jantung akan oksigen untuk metabolisme tersedia dan henti jantung dapat
dicegah. Resusitasi jantung paru (RJP) yang efektif adalah dengan menggunakan
kompresi dan dilanjutkan dengan ventilasi. Tindakan ini dapat dilakukan oleh orang
awam dan juga orang yang terlatih dalam bidang kesehatan. Keadaan yang perlu
perhatian dan dapat menyebabkan Systemic Cardiopulmonary Arrest (SCA) adalah
seperti kecelakaan, sepsis, kegagalan respiratori, dan banyak lagi. Pada saat pertama
kali menemukan pasien atau korban penilaian dini harus dilakukan. Jika dalam
penilaian ditemukan sumbat jalan nafas, tidak ditemukan adanya nafas dan tidak ada
nadi maka tindakan BHD harus dilakukan dengan segera.
2.1.2 Indikasi Melakukan Resusitasi Jantung Paru

A. Henti Nafas

Henti nafas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh banyak hal, misalnya
serangan stroke, keracunan obat, tenggelam,inhalasi asp/uap/gas, obstruksi jalan nafas
oleh benda asing, tesengat listrik, tersambar petir, serangan infrak jantung, radang
epiglottis, tercekik (suffocation), trauma dan lain-lainnya. 1 Henti nafas ditandai
dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran udara pernafasan dari korban dan ini
merupakan kasus yang harus dilakukan tindakan Bantuan Hidup Dasar (BHD). Pada
awal henti nafas, jantung masih berdenyut dan nadinya masih teraba, dimana oksigen
masih dapat masuk ke dalam darah untuk beberapa menit dan jantung masih dapat
mensirkulasikan darah ke otak dan organ-organ vital yang lainnya. Dengan
memberikan bantuan resusitasi, ia dapat membantu menjalankan sirkulasi lebih baik.

B. Henti Jantung

Henti jantung primer (cardiac arrest) adalah ketidaksanggupan curah jantung untuk
memenuhi kebutuhan oksigen keotak dan organ vital lainnya secara mendadak dan
dapat balik normal, jika dilakukan tindakan yang tepat atau akan menyebabkan
kematian atau kerusakan otak menetap kalau tindakan tidak adekuat. Henti jantung
yang terminal akibat usia lanjut atau penyakit kronis tertentu tidak termasuk henti
jantung atau cardiac arrest. Sebagian besar henti jantung disebabkan oleh fibrilasi
ventrikel atau takikardi tanpa denyut, kemudian disusun oleh ventrikel asistol dan
terakhirnya oleh disosiasi elektro-mekanik. Dua jenis henti jantung yang berakhir
lebihsulit ditanggulangi kerana akibat gangguan pacemaker jantung. Fibirilasi
ventrikel terjadi karena koordinasi aktivitas jantung menghilang. 34 Henti jantung
ditandai oleh denyut nadi besar yang tidak teraba (karotis, femoralis, radialis) disertai
kebiruan (sianosis), pernafasan berhenti atau gasping, tidak terdapat dilatasi pupil
karena bereaksi terhadap rangsang cahaya dan pasien tidak sadar. Pengiriman oxygen
ke otak tergantung pada curah jantung, kadar hemoglobin (Hb), saturasi Hb terhadap
oxygen dan fungsi pernapasan. Iskemia melebihi 3-4 menit pada suhu normal akan
menyebabkan kortek serebri rusak menetap, walaupun setelah itu dapat membuat
jantung berdenyut kembali.

2.1.3 Resusitasi Jantung Paru

Sebelum melakukan tahapan A (airway) terlebih dahulu dilakukan prosedur awal


pada korban, yaitu memastikan situasi dan keadaan pasien aman atau tidak dengan
memanggil nama atau sebutan Pak!!!, Bu!!!!, Mas!!!, Mbak!!!, dll yang umum
dengan keras disertai menyentuh atau menggoyangkan bahu dengan mantap, sambil
memanggil namanya. Prosedur ini disebut sebagai teknik “touch and talk”. Hal ini
cukup untuk membangunkan orang tidur atau merangsang seseorang untuk bereaksi.
Jika tidak ada respon, kemungkinan pasien tidak sadar. Terdapat tiga derajat tingkat
kesadaran, yaitu, sadar penuh, setengah sadar, dan tidak sadar. Sadar penuh yang
bererti pasien dalam keadaan sadar, berorientasi baik terhadap diri, waktu dan tempat,
setengah sadar yang bererti pasien mengantuk atau bingung, manakala pasien tidak
sadar bererti pasien tidak ada apa-apa respon.

Jika pasien berespon tinggalkan pada posisi dimana ditemukan dan hindari
kemungkinan resiko cedera lain yang bisa terjadi dan analisa kebutuhan tim gawat
darurat. Jika sendirian, tinggalkan pasien sementara, mencari bantuan. Observasi dan
kaji ulang secara regular. Jika pasien tidak berespon berteriak minta tolong.
Kemudian atur posisi pasien, sebaiknya pasien telentang pada permukaan keras dan
rata. Jika ditemukan tidak dalam posisi terlentang, terlentangkan pasien dengan teknik
log roll, secara bersamaan kepala, leher dan punggung digulingkan. Atur posisi untuk
penolong. Berlutut sejajar dengan bahu pasien agar secara efektif dapat memberikan
resusitasi jantung paru (RJP). Terakhirnya, nadi karotis diperiksa.

Menurut AHA Guideline 2010 tidak menekankan pemeriksaan nadi karotis sebagai
mekanisme untuk menilai henti jantung karena penolong sering mengalami kesulitan
mendeteksi nadi. Jika dalam lebih dari 10 detik nadi karotis sulit dideteksi, kompresi
dada harus dimulai. Penolong awam tidak harus memeriksa denyut nadi karotis.
Anggap cardiac arrest jika pasien tiba-tiba tidak sadar, tidak bernapas atau bernapas
tapi tidak normal (hanya gasping).
 A (Airway)
Pastikan jalan nafas terbuka dan bersih yang memungkinkan pasien dapat
bernafas.
Pemeriksaan Jalan Nafas
Untuk memastikan jalan nafas bebas dari sumbatan karena benda asing. Bila
sumbatan ada dapat dibersihkan dengan tehnik cross finger ( ibu jari diletakkan
berlawan dengan jari telunjuk pada mulut korban).

Cara melakukan tehnik cross Inge adalah pertama sekali silangkan ibu jari dan
telunjuk penolong. Kemudian, letakkan ibu jari pada gigi seri bawah korban dan
jari telinjuk pada gigi seri atas. Lakukan gerakan seperti menggunting untuk
membuka mulut korban. Periksa mulut setelah terbuka apakah ada cairan,benda
asing yang menyumbat jalan nafas.

Posisi pemulihan. Bila penderita dapat bernafas dengan baik dan tidak
ditemukan adanya cedera leher maupun tulang belakang. Posisi penderita
dimiringkan menyerupai posisi tidur miring. Dengan posisi ini diharapkan
mencegah terjadinya penyumbatan jalan nafas dan apabila terdapat cairan pada
jalur nafas maka cairan tersebut dapat mengalir keluar melalui mulut sehingga
tidak masuk ke jalan nafas.

Membuka Jalan Nafas

Pada korban yang tidak sadar tonus otot menghilang, maka lidah dan epiglotis
akan menutup faring dan laring sehingga menyebabkan sumbatan jalan nafas.
Keadaan ini dapat dibebaskan dengan tengadah kepala topang dahi (Head tild
Chin lift) dan manuver pendorongan mandibula (Jaw thrush manuver).

Cara melakukan teknik Head tilt chin lift (gambar 1a) ialah letakkan tangan
pada dahi korban,kemudian tekan dahi sedikit mengarah ke depan dengan telapak
tangan penolong. Letakkan ujung jari tangan lainnya dibawah bagian ujung
tulang rahang korban. Tengadahkan kepala dan tahan serta tekan dahi korban
secara bersamaan sampai kepala pasien/korban pada posisi ekstensi. Teknik ini
dilakukan pada penderita yang tidak mengalami cedera kepala, leher maupun
tulang belakang.
Cara untuk melakukan teknik jaw thrust manuver adalah letakkan kedua siku
penolong sejajar dengan posisi korban. Kemudian, kedua tangan memegang sisi
kepala korban. Penolong memegang kedua sisi rahang dan kedua tangan
penolong menggerakkan rahang keposisi depan secara perlahaan. Akhirnya,
pertahankan posisi mulut korban tetap terbuka. Apabila terdapat benda asing
yang mengobstruksi jalur nafas pasien,ia dikeluarkan. Kemudian cek tanda
kehidupan iaitu respon dan suara napas pasien. Jangan Mendongakkan dahi
secara berlebihan, secukupnya untuk membuka jalan napas saja, karena pasien
boleh ada cedera leher. Teknik ini digunakan pada penderita yang mengalami
cedera kepala, leher maupun tulangbelakang.
Menurut AHA Guideline 2010 merekomendasikan untuk gunakan head tilt-
chin lift untuk membuka jalan napas pada pasien tanpa ada trauma kepala dan
leher. Sekitar 0,12-3,7% mengalami cedera spinal dan risiko cedera spinal
meningkat jika pasien mengalami cedera kraniofasial dan/atau GCS <8.
Manakala, gunakan jaw thrust jika suspek cedera servikal. Pada pasien suspek
cedera spinal lebih diutamakan dilakukan restriksi manual (menempatkan 1
tangan di di tiap sisi kepala pasien) daripada menggunakan spinal immobilization
devices karena dapat mengganggu jalan napas tapi alat ini bermanfaat
mempertahankan kesejajaran spinal selama transportasi.

Sumbatan Jalan Nafas

Sumbatan jalan nafas umumnya terjadi pada saluran nafas bagian bawah yaitu
bagian bawah laring (tenggorokan) sampai lanjutannya. Umumnya sumbatan
jalan nafas pada penderita respon/sadar ialah karena makanan dan benda asing
lainnya, sedangkan pada penderita tidak respon / tidak sadar ialah lidah yang
menekuk ke belakang. Untuk mengatasinya umumnya menggunakan teknik
heimlich maneuver (hentakan perut-dada).

 Heimlich maneuver pada penderita respon / sadar. Penolong berdiri di belakang


penderita. Tangan penolong dirangkulkan tepat di antara pusar dan iga penderita.
Hentakkan rangkulan tangan ke arah belakang dan atas dan minta penderita
untuk memuntahkannya. Lakukan berulang-ulang sampai berhasil atau penderita
menjadi tidak respon / tidak sadar.

(Heimlich Maneuver Pada Penderita Respon)


 Heimlich maneuver penderita tidak respon / tidak sadar. Baringkan penderita
dengan posisi telentang. Penolong berjongkok di atas paha penderita. Posisikan
kedua tumit tangan di antara pusat dan iga kemudian lakukan hentakan perut ke
arah atas sebanyak 5 (lima) kali. Periksa mulut penderita bilamana terdapat
benda asing yang keluar dari mulut penderita. Lakukan 2-5 kali sampai jalan
nafas terbuka.

(Heimlich Maneuver Pada Penderita Tidak Respon)


 Heimlich maneuver pada penderita kegemukan atau wanita hamil yang
respon / sadar. Penolong berdiri di belakang penderita. Posisikan kedua tangan
merangkul dada penderita melalui bawah ketiak. Posisikan rangkulan tangan
tepat di pertengahan tulang dada dan lakukan hentakan dada sambil meminta
penderita memuntahkan benda asing yang menyumbat. Lakukan berulangkali
sampai berhasil atau penderita menjadi tidak respon / tidak sadar.

(Heimlich Maneuver Pada Penderita Hamil/Gemuk)


 Heimlich maneuver pada penderita kegemukan atau wanita hamil yang
tidak respon / tidak sadar. Langkahnya sama dengan heimlich maneuver pada
penderita tidak respon / tidak sadar di atas namum posisi penolong berada di
samping penderita dan posisi tumit tangan pada pertengahan tulang dada.
 B (Breathing)
Breathing terdiri dari 2 tahap iaitu :
a) Memastikan korban tidak bernafas atau tidak.
Dengan cara melihat pergerakan naik turunya dada (look), mendengar bunyi
nafas (listen) dan merasakan hembusan nafas (feel), dengan teknik penolong
mendekatkan telinga diatas mulut dan hidung korban sambil tetap
mempertahankan jalan nafas tetap terbuka. Ini dilakukan tidak lebih dari 10 detik.

(Evaluasi pernafasan)

b) Memberikan bantuan nafas


Bantuan nafas dapat dilakukan melalui mulut ke mulut, mulut ke hidung,
mulut ke stoma (lubang yang dibuat pada tenggorokan). Bantuan nafas diberika
sebanyak 2 kali, waktu tiap kali hembusan 1,5 – 2 detik.

1. Mulut ke mulut
Merupakan cara yang cepat dan efektif. Pada saat memberikan penolong tarik
nafas dan mulut penolong menutup seluruhnya mulut pasien/korban dan hidung
pasien/korban harus ditutup dengan telunjuk dan ibu jari penolong. Volume udara
yang berlebihan dapat menyebabkan udara masuk ke lambung.
(Pemberian nafas dari mulut ke mulut)

2. Mulut ke hidung
Direkomendasikan bila bantuan dari mulut korban tidak memungkinkan,misalnya
korban mengalami trismus atau luka berat. Penolong sebaiknya menutup mulut
korban pada saat memberikan bantuan nafas.

(Pernafasan dari mulut ke hidung)


3. Mulut ke stoma
Dilakukan pada korban yang terpasang trakheostomi atau mengalami
laringotomi

(Pernafasan mulut ke stoma)

4. Menggunakan alat bantu pernafasan


Di udara bebas kandungan oksigen ialah sebesar kurang lebih 21%. Dari
kandungan oksigen sebanyak 21% tersebut, sebanyak 5% digunakan manusia
dalam proses pernafasan. Sehingga terdapat sekitar 16% kandungan oksigen dari
udara pernafasan yang manusia keluarkan. Sisa oksigen sebanyak 16% inilah yang
digunakan untuk memberi bantuan nafas kepada penderita yang terdeteksi tidak
terdapat nafas. Pada manusia dewasa frekuensi pemberian nafas buatan ialah
sebanyak 10-12 kali bantuan nafas per menit dengan durasi tiap bantuan nafas
ialah 1,5-2 detik tiap hembusan bantuan nafas. Memberikan bantuan nafas kepada
penderita bagi penolong bukan tanpa resiko. Terdapat resiko yang mungkin
dialami penolong antara lain : penyebaran penyakit, kontaminasi bahan kimia dan
muntahan penderita.

Langkah-langkah dalam memberikan bantuan nafas kepada penderita terdeteksi


tidak terdapat nafas antara lain :

1. Pastikan jalan nafas terbuka pada penderita


2. Jika penolong menggunakan APD ataupun alat bantu pastikan alat tersebut
tidak bocor
3. Pastikan juga banguan nafas yang dihembuskan tidak bocor melalui hidug
penderita dengan cara mencepit lubang hidung penderita.
4. Berikan dua kali bantuan nafas awal (1,5-2 detik pada manusia dewasa).
Tiupan atau hembusan merata dan cukup (dada bergarak naik)
5. Periksa nadi penderita selama 5-10 detik dan pastikan nadi penderita masih
terdeteksi.
6. Lanjutkan pemberian nafas buatan sesuai dengan frekuensi pemberian bantuan
nafas ( dewasa: 10-12 kali bantuan per menit)
7. Apabila bantuan nafas berhasil dengan baik akan ditandai dengan bergerak
naik turunnya dada penderita.

 C ( Circulation )
Nilai sirkulasi darah korban dengan menilai denyut arteri besar (arteri karotis, arteri
femorsalis).
Berikut merupakan langkah-langkah RJP iaitu :
1. Apabila terdapat denyut nadi maka berikan pernafasan buatan 2 kali
2. Apabila tidak terdapat denyut nadi maka lakukan kompresi dada sebanyak 30 kali.

(Posisi tangan pada kompresi dada)

3. Posisi kompresi dada, dimulai dari melokasi processus xyphoideus dan tarik garis
ke kranial 2 jari diatas processus xyphoideus dan lakukan kompresi kepada tempat
tersebut

( posisi penolong pada kompresi dada )


4. Kemudain berikan 2 kali nafas buatan dan teruskan kompresi dada sebanyak 30
kali. Ulangi siklus ini sebanyak 5 kali dengan kecepatan kompresi 100 kali
permenit.

5. Kemudian check nadi dan nafas korban apabila :


a) Tidak ada nafas dan nadi: teruskan RJP sampai bantuan datang.
b) Terdapat naditetapi tidakan nafas : mulai lakukan lakukan pernafasan buatan.
c) Terdapat nadi dan nafas : korban membaik

2.1.4 Diagram Alir Resusitasi Jantung Paru


2.2 RESUSITASI JANTUNG PADA KEHAMILAN
2.2.1 Definisi
Henti jantung pada kehamilan adalah keadaan yang jarang ditemukan, terjadi
pada 1:30.000 kelahiran . Untuk menghindari terjadinya kematian karena henti
jantung pada ibu hamil, maka dilakukan persalinan sesar demi menyelamatkan ibu
dan bayinya.
Proritas untuk ibu hamil dalam kondisi serangan jantung adalah pemberian
Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardiopulmonary Resusitasi (CPR) berkualitas
tinggi dan pembebasan kompresi aortokaval. Jika tinggi fundus uteri berada pada
atau di atas tinggi pusar, pergeseran uterin ke kiri secara manual dapat bermanfaat
dalam membebaskan kompresi aortovokal saat kompresi dada berlangsung

2.2.2 Etiologi dan Diferensial Diagnosis Henti Jantung Dalam Kehamilan


Sangat penting untuk mengidentifikasi penyebab reversibel terjadinya henti
jantung. Usia kehamilan harus segera diketahui untuk mengetahui kelangsungan
hidup janin. Pemeriksaan USG abdomen digunakan untuk tujuan ini tetapi tidak
harus menunda prosedur resusitasi. Etiologi henti jantung pada kehamilan dapat
diklasifikasikan menjadi penyebab terkait anestesi dan atau penyebab yang tidak
terkait anestesi. Kadang-kadang, penyebabnya multifaktorial, sehingga membuat
diagnosis dan pengelolaannya banyak berubah.

2.2.3 Patofisiologi Henti Jantung Dalam Kehamilan

Pada wanita hamil, henti jantung adalah keadaan yang sangat rumit,
dikarenakan oleh adanya perubahan patofisiologi yang terjadi selama kehamilan,
terutama kompresi aortocaval. Selama resusitasi jantung paru dilakukan dengan
pijatan dada tertutup pada pasien yang tidak hamil, maksimal curah jantung
mendekati 30% dari normal. Pada pasien dengan kehamilan ≥ 20 minggu, berbaring
di posisi terlentang, curah jantungnya menurun, ini berarti bahwa jika pasien
menderita henti jantung ketika ditempatkan dalam posisi terlentang, secara praktis,
tidak akan ada curah jantung sama sekali meskipun telah dilakukan resusitasi
jantung paru dengan benar.
Pasien pada kehamilan lanjut juga memiliki kecenderungan terjadinya
hipoksemia dan asidosis, lebih berisiko terjadi aspirasi paru, dan meningkatnya
kejadian sulitnya intubasi dibandingkan dengan populasi yang tidak hamil.
Perubahan ini terjadi oleh banyaknya kehamilan dengan obesitas, dimana keadaan
tersebut membuat resusitasi lebih sulit.

2.2.4 Henti Jantung Dalam Kehamilan

Cara Menghindari Henti Nafas dan Jantung Pada Kehamilan

Beberapa cara yang dilakukan untuk mencegah terjadinya henti jantung dan
henti nafas pada kehamilan yaitu :

1. Penderita hamil ditempatkan pada posisi miring kiri untuk mengurangi


kemungkinn tertekannya vena kava inferior. Sumbatan pada urine dapat
menyebabkan hipotensi dan bisa memicu henti nafas dan henti jantung.
Pemindahan urine kea rah kiri dapat dilakukan dengan menggunakan teknik 1
atau 2 tangan, ini tergantung dari posisi tim resusitasi. Jika teknik tersebut tidak
berhasil,cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan menempatkan penderita
hamil dengan posisi lateral kiri dengan kemiringan 15 -30 o , gunakan alasa yang
keras untuk menjaga pelvis dan thoraks. Jika tetap tidak adekuat maka pilihan
selanjutnya adalah lakukan section ceccarea.
2. Berikan oksigen 100%
3. Pasang akses intravena diatas diafragma
4. Kaji adanya hipotensi (tekanan darah sistolik kurang dari 100 mmHg 80% dari
baseline) pada penderita hamil yang tidak mengalami henti nafas dan henti
jantung, pemberian larutan koloid dan kristaliod dapat meningkatkan preload.
5. Atasi terhadap factor yang memperburuk kondisi

kunci Intervensi untuk pengelolaan henti jantung pada ibu hamil :

1. Responden pertama atau penyelamat tunggal akan memulai resusitasi jantung


paru dengan kompresi dada (dengan CAB bukan ABC)
2. Tempatkan wanita pada posisi kiri lateral
3. Berikan ventilasi dengan pemberian oksigen 100%
4. Pemberian cairan secara intravena
5. Pertimbangkan kemungkinan penyebab henti jantung untuk kemudahan
penanganan

1. Posisi lateral kiri


Tempatkan pasien pada permukaan yang keras dengan posisi 15°- 30° miring
kiri lateral atau tempatkan uterus di bagian samping. Kemiringan kiri dapat
dicapai secara manual atau dengan selimut digulung di bawah pinggul kanan
dan daerah lumbal.
2. Pernapasan
Lakukan penekanan pada krikoid secara terus menerus selama ventilasi dan
intubasi karena terdapat risiko regurgitasi. Pertimbangkan kemungkinan edema
saluran napas terutama pada kehamilan dengan hipertensi yang dapat membuat
sulitnya intubasi. Mulai dengan pemberian napas dua kali setiap satu detik.
Ventilasi bag-mask diberikan 8-10 kali/menit dan volume tidal cukup besar
untuk mengembangkan dada selama jeda kompresi . Sinkronisasi antara
kompresi dada dan ventilasi tidak perlu menggunakan (endotrakeal tube). Harus
dicatat bahwa hiperventilasi berbahaya dan harus dihindari.
3. Sirkulasi
Lokasi kompresi dada pada pasien hamil dilakukan lebih tinggi dari pasien
yang tidak hamil, kompresi dilakukan sedikit di atas bagian tengah sternum
karena elevasi dari diafragma dan abdomen. Kompresi dada seharusnya
dilakukan dengan posisi pasien berbaring di permukaan yang keras. "lakukan
dorongan cepat dan keras". Tempatkan satu tangan di tengah dada. Tempatkan
tangan lainnya di bagian atas dengan jari-jari saling mengunci dan kompresi
dada dengan kecepatan 100 kali/min, kedalaman 4-5 cm. Disarankan operator
resusitasi jantung paru berganti setiap 2 menit. Meskipun penggunaan
vasopresor (epinefrin, vasopressin) dapat mengurangi aliran darah ke uterus,
rekomendasi tertentu menyarankan penggunaan obat standar sesuai dosis pada
ACLS. Dosis tunggal vasopressin 40 unit merupakan alternatif untuk pengganti
injeksi epinefrin. Amiodarone 300 mg IV telah menggantikan lidokain untuk
pengobatan ventrikel aritmia.
4. Rasiop Kompresi-ventilasi (C-V)
Rasio kompresi ventilasi yang dianjurkan adalah 30:2. Dengan dua atau lebih
pengganti dengan kompresi dilakukan setiap 2 menit atau setiap lima siklus.
Pada bayi baru lahir diberikan dua ventilasi setelah 15 kompresi (dengan rasio
kompresi ventilasi adalah 15:2) jika penyebabnya adalah henti jantung atau rasio
kompresi ventilasi 3:1 jika penyebabnya berasal dari sistem pernapasan.
5. Defibrilasi
Dosis standar ACLS defibrilasi seharusnya telah digunakan. Dimana tingkat
kelangsungan hidup tertinggi dengan bantuan resusitasi jantung paru dan
defibrilasi dalam 3 sampai 5 menit karena ventricular takikardia atau fibrilasi.
Defibrilasi diberikan pada dosis berikut ini:
 Monophasic - 360 joule (J)
 Biphasic - truncated exponential waveform 150-200 J
 Biphasic - rectilinear waveform : 120 J
 Bayi baru lahir - 2 J / kg untuk pertolongan pertama dan 4 J / kg untuk
pertolongan selanjutnya
 Pedoman ACLS menekankan pentingnya kemampuan defibrillator eksternal
yang bekerja secara otomatis.

2.2.5 Resusitasi Maternal


Prosedur Awal Resusitasi Maternal :
 Memastikan keamanan lingkungan
 Memastikan kesadaran pasien
 Meminta pertolongan

Berikut adalah langkah-langkah resusitasi jantung paru pada kehamilan:


 Periksa kesadaran ibu dengan memanggil atau menggoyang-goyangkan tubuh
ibu. Bila ibu tidak sadar, lakukan langkah-langkah selanjutnya.
 Panggil bantuan tenaga kesehatan lain dan bekerjalah dalam tim.
 Khusus untuk ibu dengan usia kehamilan >20 minggu (uterus di atas umbilikus),
miringkan ibu dalam posisi berbaring ke sisi kiri dengan sudut 15-30° atau bila
tidakmemungkinkan, dorong uterus ke sisi kiri (lihat gambar berikut).
 Bebaskan jalan napas. Tengadahkan kepala ibu ke belakang (head tilt) dan angkat
dagu (chin lift). Bersihkan benda asing di jalan napas.
 Bila ada sumbatan benda padat di jalan napas, sapu keluar dengan jari atau
lakukan dorongan pada dada di bagian tengah sternum (chest thrust). Hindari
menekan prosesus xifoideus

 Sambil menjaga terbukanya jalan napas, “lihat – dengar – rasakan” napas ibu
(lakukan cepat, kurang dari 10 detik) dengan cara mendekatkan kepala penolong
ke wajah ibu. Lihat pergerakan dada, dengar suara napas, dan rasakan aliran
udara dari hidung/mulut ibu.)
 Jika ibu bernapas normal, pertahankan posisi, berikan oksigen sebagai
tindakan suportif. Lanjutkan pemantauan untuk memastikan ibu tetap
bernapas normal.
 Jika ibu tidak bernapas atau bernapas tidak normal, periksa pulsasi
arteri karotis dengan cepat (tidak lebih dari 10 detik)

 Bila nadi teraba namun ibu tidak bernapas atau megap-megap (gasping), berikan
bantuan napas (ventilasi) menggunakan balon-sungkup atau melalui mulut ke
mulut dengan menggunakan alas (seperti kain, kasa) sebanyak satu kali setiap 5-6
detik. Pastikan volume napas buatan cukup sehingga pengembangan dada
terlihat. Cek nadi arteri karotis tiap 2 menit.
 Bila nadi tidak teraba, segera lakukan resusitasi kardiopulmoner.
 Resusitasi kardiopulmoner pada ibu dengan usia kehamilan >20 minggu
dilakukan dalam posisi ibu miring ke kiri sebesar 15-30 0 .
 Penekanan dada dilakukan di pertengahan sternum. Kompresi dilakukan
dengan cepat dan mantap, menekan sternum sedalam 5 cm dengan kecepatan
100- 120x/menit.
 Setelah 30 kompresi, buka kembali jalan napas lalu berikan 2 kali ventilasi
menggunakan balonsungkup atau melalui mulut ke mulut dengan alas. Tiap
ventilasi diberikan dalam waktu 1 detik. Berikan ventilasi yang cukup
sehingga pengembangan dada terlihat.
 Kemudian lanjutkan kompresi dada dan ventilasi dengan perbandingan 30:2.
 Pasang kanul intravena (2 jalur bila mungkin) menggunakan jarum ukuran
besar (no. 16 atau 18 atau ukuran terbesar yang tersedia) dan berikan cairan
sesuai kondisi ibu)
 Tindakan resusitasi kardiopulmoner diteruskan hingga:
 Tim yang lebih terlatih untuk menangani henti nafas dan henti jantung telah
datang dan mengambil alih tindakan, ATAU
 Tidak didapatkannya respon setelah 30 menit, ATAU
 Penolong kelelahan, atau Ibu menunjukkan tanda-tanda kembalinya
kesadaran, misalnya batuk, membuka mata, berbicara atau bergerak secara
sadar DAN mulai bernapas normal. Pada keadaan tersebut, lanjutkan
tatalaksana dengan:
 Berikan oksigen
 Pasang kanul intravena (bila sebelumnya tidak berhasil
dilakukan) dan berikan cairan sesuai kondisi ibu
 Lanjutkan pemantauan untuk memastikan ibu tetap bernapas
normal.
 Setelah masalah jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi teratasi, pikirkan dan
evaluasi kemungkinan penyebab hilangnya kesadaran ibu, di antaranya:
 Perdarahan hebat (paling sering)
 Penyakit tromboemboli
 Penyakit jantung
 Sepsis
 Keracunan obat (contoh: magnesium sulfat, anestesi lokal)
 Eklampsia
 Perdarahan intrakranial
 Anafilaktik
 Gangguan metabolik/elektrolit (contoh: hipoglikemia)
 Hipoksia karena gangguan jalan napas dan/atau penyakit paru
 Lakukan pemeriksaan lanjutan, misalnya USG abdomen untuk melihat
perdarahan intraabdomen tersembunyi.
 Atasi penyebab penurunan kesadaran atau rujuk bila fasilitas tidak
memungkinkan

2.2.6 Persalinan Darurat


Jika resusitasi jantung tidak segera dilakukan dalam waktu (4-5 menit) dengan
dasar dan lanjutan dukungan hidup, histeroktomi darurat (atau persalinan sesar)
harus segera dilakukan pada usia kehamilan > 20 minggu. Tingkat kelangsungan
hidup terbaik untuk bayi adalah pada usia > 24 atau 25 minggu jika lahir <5 menit
setelah henti jantung [14]. Usia kehamilan mungkin tidak selalu diketahui dan
ultrasonografi dapat digunakan jika waktu memungkinkan. Penting untuk mengenali
bahwa kelahiran sesar dengan segera dapat menyelamatkan ibu dan bayinya.
Histerekotomi yang tepat waktu dapat mengeluarkan janin, mengosongkan
uterus, mengembalikan aliran balik vena dan aliran aorta, di samping itu,
memungkinkan resusitasi pada bayi baru lahir. Persalinan caesar diperlukan agar
resusitasi berhasil walaupun janin telah meninggal. Segera setelah didiagnosis henti
jantung, tim yang telah terlatih yang terdiri dari seorang ginekolog, ahli anestesi,
neonatologi dan bidan harus aktif untuk mengetahui protokol histeroktomi, secara
paralel dengan upaya resusitasi jantung paru. Hal ini memerlukan persiapan ruang
operasi untuk keadaan darurat seperti histeroktomi, yang idealnya harus dilakukan
tidak lebih dari 4-5 menit setelah memulai resusitasi jantung paru..

Anda mungkin juga menyukai