Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

PEMERTAHANAN BAHASA IBU


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah: Pengembangan Wawasan Literasi

Dosen Pengampu : Lili Sadeli, S.Pd.,M.Pd.

Disusun Oleh :

M. Fadhlan Dulfikri ( 205030012 )


Sitta Fadla Biyadillah ( 205030019 )
Lismawati Saepudin ( 205030029 )
Fauzan Wildan Latief ( 205030036 )

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS PASUNDAN

BANDUNG

2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb

Segala puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, karena dengan berkat dan
rahmatNya kita bisa menyelesaikan makalah yang berjudul Pemertahanan Bahasa Ibu ini
dengan baik dan tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari bapak Lili Sadeli,
S.Pd.,M.Pd. pada mata kuliah Pengembangan Wawasan Literasi. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan tentang literasi bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terimakasih kepada bapak Lili Sadeli,S.Pd.,M.Pd. selaku dosen


pengampu Pengembangan Wawasan Literasi yang telah memberikan tugas ini sehingga kami
dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai bidang studi yang kami tekuni.

Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dan membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi makalah ini.

Bandung, 21 Oktober

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................i

DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii

DAFTAR TABEL...................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1

1.1. Latar Belakang........................................................................................................1


1.2. Rumusan Masalah...................................................................................................1
1.3. Tujuan Penulisan.....................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................3

2.1. Pengertian Bahasa Ibu.............................................................................................3


2.2. Bahasa Daerah dan Bahasa Indonesia.....................................................................5
2.3. Kasus Bahasa Sunda................................................................................................9
2.4. Globalisasi dan Masa Depan Bahasa Daerah........................................................11
2.5. Memberbedayakan Kearifan Lokal.......................................................................15

BAB II PENUTUP..................................................................................................................18

3.1. Kesimpulan............................................................................................................18
3.2. Saran......................................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................ix

ii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Pemertahanan Bahasa dan Pergantian Bahasa...........................................................7

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

UNESCO menetapkan tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional, dan
sejak 1951 UNESCO merekomendasikan penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa
pengantar pendidikan. Dengan kata lain, Bahasa Daerah dianggap tepat untuk dijadikan
bahasa pengantar sekolah. Ada sejumlah tafsir atas ketetapan ini. Pertama ada kesadaran
kolektif antara sejaga dan politisi dan ahli pendidikan bahwa bahasa ibu mesti
dipertahankan, jangan dibiarkan punah. Kedua ada bukti bahwa politik bahasa dibeberapa
negara selama ini mengabaikan bahasa ibu. Ketiga, ada kesadaran pada lembaga
internasional bahwa hegomoni bahasa bahasa dan imprelianse bahasa khususnya bahasa
inggris atas bahasa-bahasa dan sebagainya dalam bahasa indonesia. Karena kita tidak
memiliki fondasi kultural dalam bahasa ibu.

Banyak pihak yang memandang bahasa ibu dengan sebelah mata, karena mereka
menganggap bahasa ibu tidak memiliki potensi sebagai alat berpikir ilmiah, dan hanya
bahasa percakapan sehari-hari. Dari sejarah kita mengetahui bahasa sunda berperan
sebagai bahasa dakwah Islam. Pesantren-pesantren sejak abad 17 menggunakan bahasa
Sunda sebagai medium pembelajaran berbagai cabang ilmu agama. Jelas bahasa ibu
khususnya bahasa sunda bila diberdayakan mampu berperan sebagai media penyebrang
kebudayaan atau agama. Banyak pesantren-pesantren tradisional yang masih
menggunakan bahasa sunda sebagai media komunikasi antar sesama santri sehingga
pesantren selama ini bukan hanya berperan sebagai penyebar ilmu agama melainkan bisa
sebagai pertahanan Bahasa Derah, sehingga Bahasa Daerah khusunya bahasa sunda tetap
hidup dan terus dipergunkan hingga saat ini.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan Bahasa Ibu?
2. Apa yang menjadi faktor dan alasan Bahasa Ibu kurang berkembang bahkan dianggap
hampir punah?
3. Bagaimana caranya agar Bahasa Ibu khususnya Bahasa Sunda agar tidak dianggap
sebelah mata oleh masyarakat? Karena menurut mereka Bahasa Ibu tidak memiliki
potensi sebagai alat secara ilmiah.

1
4. Apa kontribusi yang harus kita lakukan khususnya generasi muda agar Bahasa Sunda
lebih dikenal lagi oleh dunia?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Mendeskripsikan yang di maksud Bahasa Ibu.
2. Mencari solusi agar Bahasa Ibu khususnya Bahasa Sunda tidak dianggap sebelah mata.
3. Mendeskripsikan tentang kurang berkembangnya bahasa ibu.
4. Mengajak generasi muda agar mau melestarikan Bahasa Sunda agar lebih dikenal lagi.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Bahasa Ibu

Secara psikologi, bahasa adalah alat berpikir; semakin banyak bahasa yang dikuasi
semakin banyak alat yang dapat dipergunakan untuk bernalar. Menurut KBBI bahasa
adalah kemampuan yang dimiliki manusia untuk berkomunikasi dengan manusia lainnya
menggunakan tanda, misalnya kata dan gerakan.

Bahasa adalah instrumen paling kuat untuk melestarikan dan mengembangkan warisan
budaya, baik berwujud ataupun tidak berwujud. Hari Bahasa Ibu Internasional diperingati
setiap tahunnya untuk mempromosikan sebagian dari peninggalan sejarah peradaban
manusia sehingga keberadaannya tidak punah.

Bahasa memainkan peran penting dalam pembangunan. Bahasa dapat memperkuat


kerja sama antara dua pihak serta dapat mencapai pendidikan yang berkualitas untuk
semua lapisan masyarakat. Oleh karena itu, bahasa adalah dasar dari segala jenis
komunikasi, dan komunikasilah yang memungkinkan terjadinya perubahan dan
pengembangan dalam kehidupan masyarakat.

Sedangkan Bahasa ibu merupakan bahasa pertama yang dikuasai manusia sejak lahir
melalui interaksi dengan sesama anggota masyarakat bahasanya, seperti keluarga dan
masyarakat lingkungannya. Kepandaian dalam bahasa asli sangat penting untuk proses
belajar berikutnya, karena bahasa ibu dianggap sebagai dasar cara berpikir.

Bahasa ibu juga merupakan bahasa pertama untuk bertauhid, yakni medium
bertransaksi dengan Tuhan Sang Pencipta. Manusia berdoa dan bertaubat secara alami
dengan mediasi bahasa ibu sehingga lebih khusyuk, bukan dengan bahasa kedua atau
bahasa asing.

Secara sosial dan kultural, bahasa ibu adalah bahasa yang padat - budaya. bahasa itulah
yang dipakai untuk berbahasa dengan bernalar sehingga membedakannya dari binatang.

Rasa cinta sang ibu dinyanyikan lewat bahasa ibu, dan dengan bahasa itu pula dunia
anak dibangun melalui komunikasi sesama anggota keluarga. Artinya, bahasa ibu secara
alamiah dan kodrati, lebih dulu dikuasai anak anak sebelum bahasa kedua dan bahasa
asing.

3
Ada kesan kolektif bahwa retorika atau daya ungkap dwibahasawan cenderung lebih
“memukau” dan lincah daripada retorika atau daya ungkap ekabahasawan. Artinya,
dwiretorika dan multiretorika lebih dahsyat dan mencengkram daripada ekaretorika.

Dwibahasa memiliki dwiretorika karena secara psikolinguistik, keterampilan berbahasa


(keberaksaraan) dapat ditransfer dari satu bahasa ke bahasa lain. dengan kata lain, fondasi
literasi pada bahasa ibu atau BD atau bahasa yang dipelajari lebih dulu akan menjadi
fondasi bagi pengembangan literasi pada bahasa kedua atau asing.

Dalam upaya memproses konsep, dwibahasawan secara tidak sadar bolak-balik dari
satu bahasa ke bahasa lainnya. Konsep itu bisa sederhana, misalnya sekadar kosakata, bisa
juga proposisi yang muatan budayanya sangat kental, misalnya filsafat sunda silih asih,
silih asah, silih asuh.

Mengutip dari laman resmi UNESCO, gagasan untuk merayakan Hari Bahasa Ibu
Internasional adalah inisiatif Bangladesh. UNESCO percaya akan pentingnya pengetahuan
dan pelestarian keragaman budaya dan bahasa untuk menumbuhkan rasa hormat dan
toleransi antar sesama manusia.

Hari Bahasa Ibu ini yang diperingati tanggal 21 Februari ini pertama kali diusulkan oleh
pria asal Bangladesh bernama Rafiqul Islam yang tinggal di Vancouver, Kanada. Rafiqul
mengirimkan surat kepada Sekjen PBB dan mendesak lembaga perdamaian dunia tersebut
untuk mengambil tindakan penyelamatan pada bahasa-bahasa di dunia yang jumlahnya
kian menipis.

Sayangnya banyak pihak yang melihat bahasa ibu dengan sebelah mata, karena mereka
menganggap bahasa ibu tidak memiliki potensi sebagai alat berpikir ilmiah, dan hanya
bahasa percakapan sehari-hari. Bahasa ibu atau BD (Bila Diberdayakan) mampu bertahan
sebagai media penyebaran ilmu agama dan kebudayaan. Untuk menyusun kebijakan BD,
peran pesantren - pesantren tradisional seharusnya dioptimalkan.

4
2.2 Bahasa Daerah dan Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia adalah bahasa nasional kita. Semenjak diikrarkannya Sumpah Pemuda,
bahasa Indonesia disepakati sebagai bahasa pemersatu semua suku bangsa yang ada di
wilayah pendudukan Hindia Belanda. Keberadaan berbagai suku bangsa dengan beragam
bahasa daerahnya masing-masing menjadikan bangsa kita memerlukan bahasa nasional
yang dapat menjembatani komunikasi diantara sesama anak bangsa. Bahasa Indonesia
yang berakar dari bahasa Melayu dipilih sebagai bahasa pemersatu tersebut.

Di tengah laju globalisasi dewasa ini, dunia bergerak sedemikian cepat meninggalkan
batas-batas tradisi. Bahasa Indonesia juga mengalami dinamika perkembangan sesuai
pergerakan roda jaman. Banyak pengkayaan kosa kata dalam bahasa Indonesia yang
berasal dari bahasa lokal maupun internasional. Pergaulan dan pembauran diantara anak
bangsa yang berasal dari beragam suku dan bahasa turut memperkaya khasanah kosa
kata maupun ideom dalam bahasa Indonesia.

Keberadaan sebuah bahasa lokal atau bahasa daerah sangat erat dengan eksistensi suku
bangsa yang melahirkan dan menggunakan bahasa tersebut. Bahasa menjadi unsur
pendukung utama tradisi dan adat istiadat. Bahasa juga menjadi unsur pembentuk sastra,
seni, kebudayaan, hingga peradaban sebuah suku bangsa. Bahasa daerah dipergunakan
dalam berbagai upacara adat, bahkan dalam percakapan sehari-hari.

Sebagaimana telah ditetapkan didalam Pasal 36 UUD Tahun 1945, bahasa Indonesia
merupakan bahasa nasional. Namun demikian dipenjelasan dirumuskan bahwa didaerah-
daerah yang memiliki bahasa sendiri, yang dipelihara oleh rakyatnya dengan baik-baik
(misalnya bahasa Jawa, Sunda, Madura, dsb.) bahasa-bahasa itu akan dihormati dan
dipelihara juga oleh negara.
Bahasa-bahasa daerah itupun merupakan bagian pembentuk kebudayaan Indonesia yang
hidup dengan dinamis.

Bahasa daerah adalah unsur pembentuk budaya daerah dan sekaligus budaya nasional.
Apabila satu per satu bahasa pendukung budaya nasional musnah, maka lambat laun pilar
penyangga budaya nasionalpun akan roboh dan hal ini berarti kebudayaan nasional juga
mengalami ancaman yang sangat serius.

Badan Bahasa memetakan 442 bahasa dari 2.185 daerah di Indonesia, dan belum
memetakan 304 BD dalam jumlah pengguna, wilayah pengguna, maupun struktur

5
bahasannya (Sugono, dalam Pikiran Rakyat, 14-6-2009). Berdasarkan jumlah penuturnya,
terdapat 13 bahasa daerah yang penuturnya di atas satu juta orang, yaitu bahasa Jawa
(75.200.000), Sunda (27.000.000), Melayu (20.000.000), Madura (13.694.000), Minang
(6.500.000), Batak (5.150.000), Bugis (4.000.000), Bali (3.800.000), Aceh (3.000.000),
Sasak (2.100.000), Makassar (1.600.000), Lampung (1.500.000), dan Rejang (1.000.000)
(Lauder dan Lauder, 2012).

Kajian hal-ihwal BD mencakup sejumlah isu besar, antara lain :

1. Dilihat dari variabel jumlah penutur, BD terbagi atas dua kelompok besar, yaitu BD
mayoritas atau BD utama dan BD minoritas.
2. Dilihat dari aspek geografis, semakin ke timur semakain banyak bahasa dengan jumlah
penutur sedikit, dan diperkirakan terancam kepunahan.
3. Semakin ke barat semakin banyak ditemukan BD dengan jumlah penutur besar, dan
semakin banyak pihak (lembaga atau individu) yang aktif mengkampanyekan gerakan
kesadaran BD sebagai bagian dari revitasi bahasa dan budaya.
4. Dilihat dari cost-benefit analysis, kita harus memiliki prioritas: BD mana saja yang
harus mendapat perlakuan tertentu sebagai objek dari kebijakan bahasa. Tidak semua
BD memiliki nilai jual dan potensi yang sama untuk memberikan nilai tambah bagi
kebijakan publik.

Melalui Badan Bahasa (2000), BD ini memilik fungsi sebagai terobosan,yaitu:


1. Lambang kebanggaan daerah
2. Lambnag identitas daerah
3. Alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah
4. Sarana pendukung budaya daerah dan bahasa indonesia
5. Pendukung sastra daerah dan sastra indonesia
6. Sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan seni.

Kehadiran bahasa Indonesia menjembatani perbedaan suku bangsa dan bahasa ini.
Dengan demikian, muncul tiga kelompok komunikasi ujian: (1) masyarakat buta huruf,
dan umunya ekabahasawan, yakni menguasai bahasa ibunya semata, (2) masyarakat yang
berpendidikan menengah ke bawah, dan pada umumnya dwibahasawan, yakni menguasai

6
BD bahasa Indonesia, dan (3) masyarakat yang berpendidikan menengah ke atas, dan pada
umunya multibahasawan, yakni menguasai BD, bahasa Indonesia, dan bahasa asing.

Fenomena kebahasaan pada masyarakat Indonesia menggunakan definisi Fesold (1984)


tentang pemertahanan bahasa dan pergantian bahasa, adalah sebagai :

Kelompok Komunitas Ujar Pemertahanan Bahasa Pergantian Bahasa


Ekabahsawan dalam bahasa Terhadap bahasa ibu Jarang atau tidak terjadi
ibu atau bahasa daerah hampir dalam setiap
domain
Dwibahasawan dalam Terhadap bahasa ibu dalam Terhadap bahasa Indonesia
bahasa ibu dan bahasa domain tertentu, misalnya dalam domain tertentu,
Indonesia berbicara kepada orang tua, mialnya komunikasi
upacara adat, khutbah, dsb. dengan kelompok etnis
lain, dalam situasi formal,
dsb.
Multibahasawan dalam Terhadpa bahasa ibu/ Terhadap bahsa asing
bahasa ibu, bahasa Indonesia dalam domain dalam domain tertentu:
Indonesia, dan bahasa asing tertentu: berbicara pada komunikasi dengan bangsa
orang tua, upacara adat, lain, dalam dorum ilmiah,
khutbah,dsb. dsb.

Tabel 2.1 Pemertahanan Bahasa dan Pergantian Bahasa

Fenomena hidup matinya bahasa dengan catatan sebagai berikut:

 Setiap terjadi perpindahan bahasa, maka bahasa yang ditinggalkan terancam


punah. Itupun terjadi ketika bahasa yang ditinggalkan itu tidak lagi dipergunakan.
Pada kelompok dwibahasawan terjadi berganti-gantinya bahasa (bahasa ibu dan
bahasa Indonesia) sesuai dengan tuntunan konteksnya. Dengan kata lain, BD
adalah musuh dalam selimut, yakni bahasa Indonesia.
 Semakin kecil jumlah penutur BD semakin besar kemungkinan punahnya, apalagi
bila tidak ada dokumen tertulis dalam bahasa itu, makanaka bahasa itu belum
memiliki simbol tulis. Pada beberapa masyarakat tradisional, satu-satunya yang
tersisa adalah sastra lisan, petatah-petitih, yang bila tidak segera
didokomentasikan, BD itu terancam kepunahan. Seperti yang di contohkan oleh

7
Kurniawati (2008), bahasa ibu (salah satu bahasa di Muluku Utara) dengan penutur
sekitar 50-200 orang dan itu orang terus berkurang yang sudah lanjut usia,
sementara rata-rata estimasi umur harapan hidup orang Indonesia adalah 66 tahun.
BD ini sesungguhnya sedang menanti lonceng kematian.
 Dalam konteks Indonesia sebagai masyarakat bilingual atau multilingual, akan
terjadi fenomena mirip diglosia, yaitu bahasa tertentu (ibu, indonesia, dan asing)
yang digunakan untuk domain tertentu dengan sedikit pelanggaran terhadp masing-
masing bahasa. Contoh diglosia yang murni adalah penggunaan bahasa Arab ragam
tinggi dan bahasa Arab ragam rendah yang digunakan dalam domain tertentu.

Tiga faktor utama punah nya Bahasa Daerah, yaitu :


1. Orang tua enggan menggunakan BD kepada anaknya
2. BD tak lagi memenuhi fungsi-fungsi komunikasi
3. Para penuturnya berkurang atau malah habis.

Alasan generasi muda meninggalkan BD karena:

1. BD yang bersifat lokal dan terbatas,


2. Adanya migrasi ke wilayah lain yang bersifat lokal dan terbatas, dan
3. Terjadinya kawin campur; sehingga Indonesia pada tahun 2099 nanti akan tersisa
70-an bahasa.

Dari survei yang dilakukan oleh mahasiswa bahasa dan sastra Inggris UPI, 100%
responden lebih mengenal sastra Inggris daripada bahasa sunda, padahal mayoritas
responden mengakui sebagai orang sunda. Hal ini menunjukkan bahwa sastra daerah kurang
mendapat penghargaan dijurusan-jurusan bahasa asing di fakultas sastra pada umumnya. Ini
membuat kita agar melakukan pendekatan baru dalam pengajaran sastra, yaitu pengajaran
sastra berbasis budaya lokal. Hal itu dilakukan untuk meningkatkan serta menumbuhkan
rasa bangga terhadap sastra daerah dan menjadikannya jembatan subjektif untuk mnelusuri
sastra dunia.

8
2.3 Kasus Bahasa Sunda

Di antara ratusan bahasa daerah itu, bahasa Sunda menduduki posisi kedua sebagai
bahasa daerah yang paling banyak penuturnya, yakni sebanyak 34 juta penutur. Hal
tersebut juga disambut dengan fakta bahwa penggunaan bahasa Sunda menembus batas-
batas geografis, administratif, dan genealogis. Seperti halnya pakar Kesundaan asal
Jepang, Mikihiro Moriyama. Kang Miki, sapaan akrabnya, adalah akademisi yang fokus
terhadap studi Kesundaan. Selain fasih menggunakan bahasa Sunda, Ia juga banyak
menelurkan karya tentang Sunda, salah satunya adalah buku berjudul Semangat Baru
Kolonialisme Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19 (2013).

Sebagai bahasa daerah yang penuturnya terbanyak kedua di Indonesia setelah bahasa Jawa,
bahasa Sunda tetap rentan akan kepunahan, karena angka tersebut kian menurun. Menurut
Kepala Sub Bagian Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Barat, Juanda,
pada 2015 penggunaan bahasa Sunda di kalangan mahasiswa masih kalah populer
dibandingkan penggunaan bahasa asing. Kemudian, peneliti Balai Bahasa Jawa Barat
(BBJB), Ade Mulyanah, juga mengatakan bahwa tahun 2013, hanya 40% pemuda di Jawa
Barat yang mengetahui dan bisa menggunakan bahasa Sunda dalam percakapan. Ironisnya,
angka itu didapatkan dari hasil survei anak yang memiliki orang tua asli Sunda. Fenomena
ini membuat bahasa Sunda layak disebut “bukan bahasa biasa”, karena penutur yang
banyak tidak menjamin eksistensinya akan terus bertahan.

Melihat realita yang terjadi saat ini, permasalahan bahasa Sunda terletak pada kedua
fungsi bahasa itu. Bahasa Sunda mulai jarang digunakan sebagai media komunikasi, dan
juga tidak lagi menunjukkan jati diri penuturnya dalam kehidupan sosial. Bahasa Sunda
secara perlahan-lahan mulai meninggalkan orang Sunda. Masyarakat Jawa Barat sebagai
penutur terbanyak bahasa Sunda seharusnya waspada akan eksistensi bahasa Sunda.

Langkah Strategi Kebudayaan Sunda Sebagai suku bangsa terbesar kedua setelah Jawa,
etnis Sunda dengan jumlah penutur lebih dari 21 juta di Jawa Barat dan Banten seyogianya
mampu melakukan revitalisasi bahasa Sunda. Bandingkan dengan Belanda dengan jumlah
penduduk sekitar 15 juta orang, toh bahasa Belanda memiliki vitalitas yang tinggi. Bila
bahasa Sunda dan bahasa daerah lainnya sekarang ini kurang diminati para penuturnya
sendiri, kita melihat lemahnya kesetiaan terhadap bahasa (language loyalty) dan kita
mencurigai adanya kekeliruan dalam strategi kebudayaan dan pemertahanan bahasanya.

9
Untuk memfungsikan bahasa Sunda secara maksimal, sudah ditempuh beberapa
langkah sebagai bagian dari perencanaan bahasa Sunda, antara lain sebagai berikut:

Pertama, pada tataran kebijakan makro, sudah terbit tiga peraturan daerah (Perda),
yaitu: (1) Perda Nomor 5 Tahun 2003 tentang pemeliharaan bahasa, sastra dan aksara
daerah, (2) Perda Nomor 6 Tahun 2003 tentang pemeliharaan kesenian, dan (3) Perda
Nomor 7 Tahun 2003 tentang pengelolaan kepurbakalaan, kesejarahan, nilai tradisional
dan museum. Tiga serangkai perda di atas ditandatangani Gubernur Jawa Barat pada 13
Januari 2003 dan merupakan fondasi kebijakan perencanaan bahasa yang menempatkan
bahasa daerah sebagai bagian tak terpisahkan dari strategi atau politik kebudayaan daerah.

Kedua, kini sedang dalam proses pembentukan lembaga yang (sementara) diberi nama
"Kalang Budaya Jawa Barat" yang berfungsi sebagai think tank pemerintah daerah dalam
bidang kebudayaan. Lembaga ini beranggotakan pakar-pakar kebudayaan yang
pemikirannya diharapkan menjadi rujukan pemerintah dan masyarakat dalam pembuatan
kebijakan tentang kebudayaan di Jawa Barat. Diminta atau tidak lembaga ini memiliki
tanggung jawab moral untuk memberikan fatwa-fatwa kebudayaan , baik kepada
pemerintah maupun masyarakat luas.

Ketiga, telah berdiri Pusat Studi Sunda sebagai realisasi dari rekomendasi Konferensi
Internasional Budaya Sunda (KIBS I). Pusat ini berkonsentrasi pada kajian-kajian
interdisipliner seputar budaya Sunda.

Keempat, telah diselenggarakan Konferensi Internasional Budaya Sunda ke-1 (KIBS)


pada 22-25 Agustus 2001 di Bandung dengan tema "Pewarisan Budaya Sunda di Tengah
Arus Globalisasi." KIBS dihadiri oleh 634 peserta dan menyajikan 75 makalah dari dalam
dan luar negeri serta telah menghasilkan rumusan sebagai rekomendasi strategi
kebudayaan dalam bidang-bidang berikut: (1) sastra dan bahasa, (2) sejarah, arkeologi,
dan filologi, (3) agama, kepercayaan dan pandangan hidup, (4) ekonomi, kemasyarakatan,
dan politik, (5) kesenian, dan (6) lingkungan hidup, arsitektur, makanan, dan pakaian.

Kelima, sudah berdiri beberapa penerbit yang khusus menerbitkan buku-buku bahasa
dan sastra Sunda, seperti penerbit Kiblat Buku Utama dan Geger Sunten. Kiblat Buku
Utama bersama Pusat Studi Sunda juga secara reguler menyelenggarakan diskusi sastra
Sunda pada khususnya dan kebudayaan pada umumnya.

10
Bahasa Sunda tidak hanya digunakan oleh masyarakat Sunda di Provinsi Jawa Barat
dan Banten, tetapi juga digunakan oleh sebagian orang di sebagian wilayah barat Provinsi
Jawa Tengah, lebih tepatnya Kecamatan Dayeuhluhur. Hal ini menarik karena wilayah
barat Provinsi Jawa Tengah merupakan daerah dimana mayoritas masyarakatnya
berbahasa Jawa. Menilik fenomena tersebut, penelitian ini bertujuan meneliti mengapa
Bahasa Sunda bisa bertahan di wilayah yang mayoritas penuturnya tidak hanya berbicara
Bahasa Sunda.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif untuk mendapatkan data. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa keberlangsungan Bahasa Sunda di Kecamatan
Dayeuhluhur dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor eksternal mencakup
letak geografis, historis, sosial-budaya, keluarga, aktivitas keagamaan, dan pendidikan
formal. Faktor internal berkaitan dengan sebagian masyarakat yang mengidentifikasikan
diri mereka sebagai orang Sunda. Jati diri ini dikuatkan oleh nama tempat (toponim) di
Kecamatan Dayeuhluhur yang pada umumnya menggunakan Bahasa Sunda.

Bahasa Sunda secara perlahan-lahan mulai meninggalkan orang Sunda. Masyarakat


Jawa Barat sebagai penutur terbanyak bahasa Sunda seharusnya waspada akan eksistensi
bahasa Sunda. Usaha untuk mempertahankan eksistensi bahasa Sunda tidak hanya dapat
mempertahankan bahasa Sunda itu sendiri saja, tetapi juga akan memperkuat kebudayaan
nasional. Jika budaya lokalnya lestari, maka kebudayaan nasionalnya akan kokoh.

2.4 Globalisasi dan Masa Depan Bahasa Daerah

Fenomena hilangnya bahasa daerah tengah melanda beberapa daerah di Indonesia.


Berdasarkan catatan dari Konferensi Internasional di Bidang Bahasa, Sastra dan Budaya
(ICON LATERALS) Universitas Brawijaya November tahun 2016, bahwa banyak dari
bahasa terancam punah. Total dari 719 bahasa lokal yang ada di Indonesia, sebanyak 707
masih eksis, sementara 266 terancam, 76 nyaris punah dan 12 sudah punah.

11
Dari berbagai penelitian terkait pemertahanan bahasa, tercatat di Papua dan Maluku
ditemukan kasus terjadinya pergeseran bahasa. Berdasarkan penuturan dari Prof. Prof. Dr.
Multamia Lauder, secara umum kurang lebih ada 25 bahasa berada dalam status kritis.
Dengan catatan mendekati kepunahan. Alexander Heryanto, dalam tulisannya “Bahasa-
bahasa Daerah yang Hampir Musnah,” menuliskan bahwa bahasa yang telah hilang,
punah, ada sekitar 13 bahasa daerah. Bahasa yang telah punah maupun mendekati
kepunahan kebanyakan berasal dari Maluku dan Papua. Bahkan menurut UNESCO dalam
sebuah warta nasional, menyebutkan jika setiap tahun bahasa Papua mengalami
kepunahan, dengan indikasi tidak pernah digunakan sebagai alat komunikasi.

Seperti yang dikutip oleh Kriyani-Laksono (2009), beberapa pakar, seperti Nettle dan
Romaine (2000), menduga bahwa kurang lebih separuh dari bahasa-bahasa di dunia akan
hilang pada abad mendatang. Simon Robinsin, Direktur Eksekutif First People’s Cultural
Foundation (2005), bahkan memperkirakan sekitar 90% bahsa di dunia akan punah pada
abad ke-21.

Menguatnya suatu bahasa tertentu tidak bisa dilepaskan dari penguasaan ekonomi. Bahasa
Inggris mendominasi karena didukung oleh beberapa korporasi multinasional yang
memang menguasai sektor ekonomi. Korporasi tidak berdiri sendiri, perluasan hegemoni
bahasa juga didukung oleh pemerintah setempat. Salah satunya ialah cengkraman
hegemoni linguistik pada institusi pendidikan, melalui lembaga tersebut imperialisme
bahasa semakin masif dan meluas. Mendukung pergeseran bahasa serta melanggengkan
kontruksi kelas sosial yang menjadi masalah dalam kasus pergeseran bahasa. Seperti
dalam kasus di Korea, bahwa bahasa Inggris telah menjelma sebagai salah satu syarat
pekerjaan yang prestise, serta menjadi penanda kelas sosial di masyarakat.

Bahkan bahasa nasional yang notabene bahasa resmi, juga mengalami reduksi cukup
serius. Perluasan arus globalisasi, dimana ditandai dengan beberapa perjanjian
internasional, serta mulai munculnya zonasi wilayah ekonomi. Turut menyumbang
pergeseran bahasa, bahwasanya ekspansi kapital yang rata-rata menggunakan bahasa
Inggris turut memaksa reduksi penggunaan bahasa nasional itu sendiri. Hal tersebut juga
didukung dengan stigma bahwa menggunakan bahasa asli, merupakan bentuk kemunduran
dan tidak siap dalam persaingan global. Serta munculnya pemahaman baru seseorang yang
menggunakan bahasa internasional terutama Inggris, secara kelas sosial akan terlihat lebih
tinggi dan terkesan modern.

12
Mulai bergesernya bahasa dan punahnya beberapa bahasa, tidak lepas dari faktor ekspansi
kapital. Selain itu relasi politik juga punya andil dalam menciptakan budaya sesuai dengan
kepentingan ekonomi, sehingga menjadi salah satu faktor bergesernya suatu bahasa. Di
Indonesia mayoritas pengambil keputusan terkait politik bahasa bersikap kurang positif
terhadap BD. Tidak ada pegiat BD yang berpikiran mau menggeser bahasa Indonesia
sebagai bahasa negara atau bahasa nasional. Bahkan di kalangan orang Jawa , tidak pernah
ada pikiran demikian (Rosidi 2011:10). Bahkan di Papua, yang ragam bahsannya paling
heboph menurut kemerdekaan, bahasa daerah tidak pernah menjadi isu penting. Bahasa
perlawanan mereka adalah bahasa Melayu Papua atau Papua Malay (Bowden,2011).

Ada beberapa kutipan penggarapan secara tekun oleh Bowden, yaitu sebagai berikut :

 Bagi kelompok-kelompok etnis di negara multilingual, bahasa etnis merupakan


kekayaan budaya yang melambangkan akal budi mereka. Ada kepuasan kultural
ketika derajat bahasa etnis mereka ditinggikan.

 Bahasa etnis dalah bahasa pertama dan utama untuk membangun karakter.
Karakter baik merupakan modal dasar untuk membangun karakter bangsa secara
kolektif.

 Secara linguistik penguasaan bahasa etnis merupakan landasan yang kokoh untuk
penguasaan bahasa nasional. Demikian juga penguasaan bahasa nasional
merupakan landasan yang kokoh untuk mneguasai nahasa asing.

Globalisasi telah mengkokohkan bahasa Inggris sebagai bahasa komunikasi


antarbangsa dan sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal itu mengakibatkan
adanya konsekuensi terkait dengan kebijakan bahas. Yaitu :

 Kini bahasa inggris telah dijadikan satu kriteria, bila tidak sebagai kriteria utama dari
Rintisan Sekolah Berbasis Internasiona (RSBI). Masyarakat yang memainkan peran
penting dalam masyarakat multikultural seperti ini adalah mereka yang memiliki
keberaksaraan multibahasa. Globalisasi telah memunculkan fenomena imprealisme
linguistik jika merka yang menguasai lebih dari satu bahasa memiliki kepedulian yang
memadai terhadap pengembangan literasi BD sehingga BD itu terus bertahan dan
bermartabat.

13
 Keberadaan studi pendidikan bahasa dan sastra asing –khususnya Inggris-
mengokohkan profesionalisme EFL (English is a Foreign Language) dan sejauh tertentu
antitesis terhadap perkembangan BD dan bahasa Indonesia.

Pembinaan bahasa daerah jika hanya dilakukan secara eksklusif tidak akan mengubah
keadaan apapun. Pendekatan inklusif perlu menjadi pilihan. Bahasa berjejaring dengan
segi lain dalam kehidupan manusia. Hubungan saling pengaruh antaranya menentukan
keadaan masing-masing. Mengutuk pengajaran bahasa asing yang mendapat porsi lebih
dari bahasa daerah di sekolah pun tuna guna karena dunia ekonomi Indonesia menyaratkan
demikian. Membicarakan bahasa daerah jangan sampai berujung pada peribahasa buruk
rupa cermin dibelah.

Terdapat beberapa sasaran untuk menghidupkan kembali bahasa ibu, yaitu:


1. Peningkatan kesadaran atau kebanggaan terhadap BD, melalui mobilitas dan
promosi BD.
2. Penelitian bahasa, yakni studi berbagai aspek Bd, termasuk penyusunan kamus.
3. Kegiatan kegiatan literasi, yaitu produksi bahan ajar untuk pembelajaran BD dan
penyediaan guru BD.
4. Memetakan dan mendata kosakata untuk digunakan sebagai kamus bahasa daerah.
5. Membiasakan diri berbahasa daerah dalam pergaulan sehari hari

Globalisasi juga harus dilihat dalam perpektif pencaturan politik dan ekonomi secara
utuh. Negara-negara berkembang mesti diingatkan untuk mempertahankan kebudayaan
dan jati diri, termasuk bahasa nasionalnya, dan yang lebih penting lagi menggalang strategi
untuk membangun kesadaran kolektif.

14
2.5 Memberdayakan Kearifan Lokal

Kearifan lokal adalah koleksi fakta, konsep, kepercayaan dan persepsi masyarakat ihwal
dunia sekitar. Singkatnya kearifan lokal adalah proses bagaiman pengetahuan dihasilkan,
disimpan, diterapkan, dikelola, dan diwariskan. (Alwasilah,dkk,2009:51). Kearifan lokal
memiliki 7 ciri, yaitu berdasarkan pengalaman, teruji setelah digunakan berabad-abad,
dapat diadaptasi dengan kultur, terpadu dalam praktek keseharian masyarakat dan
lembaga, lazim dilakukan oleh individu atau masyarakat secara keseluruhan, bersifat
dinamis dan terus berubah, serta sangat terkait dengan sistem kepercayaan.

Pemeratahanan bahasa ibu harus dilakukan melauli pendidikan. Agar tetap bertahan
bahasa ibu harus diberi darah segar melalui revitalisasi budaya, yaitu melalui 4 langkah
berikut :

1. Identifikasi
2. Sosialisasi
3. Reinterpretasi
4. Aplikasi nilai-nilai budaya atau kearifan lokal

Revitalisasi bahasa ibu difasilitasi oleh pendidikan dan tidak hanya dalam konteks
pendidikan formal, tapi juga pendidikan non formal dan informal. Bagaimana perlakuan
masyarakat terhadap bahasa (ibu) meunjukkan sikap terhadap bahasa itu (language
attitude). Cobarrubias (1983) mengajukan taksonomi sikap resmi terhadap bahasa, yaitu:

a. berupaya mematikan bahasa


b. membiarkan bahasa mati
c. tidak mendukung kehadirannya
d. mendukung fungsi tertentu dari bahasa
e. diadopsi sebagai bahasa resmi, seperti bahasa melayu

Identifikasi adalah pengenalan sejumlah kearifan lokal yang selama ini terabaikan
karena salah paham atau ketidaktauan ihwal sastra sunda, misalnya memperkenalkan puisi
dan fiksi sunda dalam kritik sastra di program studi bahasa asing. Sosialisasi artinya
memperkenalkan kepada khalayak luas tenang sastra sunda misalnya melalui kurikulum

15
perkuliahan menulis. Reinterpretasi adalah proses pemaknaan secara kritis terhadap karya
sastra sunda.

Pendidiakan berbasis budaya lokal membantu siswa menemukan kembali kearifan


lokal sehingga para (maha)siswa mampu mengapresiasi budaya sendiri relatif terhadap
budaya asing. Proses identifikasi dimaksudkan untuk menemukan kembali kearifan lokal.
Sebagai contoh, mahasiswa dilatih untuk mampu memberikan apresiasi pada budaya lokal
dibanding budaya asing. Khususnya untuk merevitalisasi BD, ada 6 upaya yang lazim
disebutkan, yiatu melakukan: (a) pendokumentasian, (b) penggunaan bahasa dan
pembelajaran yang komunikaif, (c) kreativitas dalam berbahasa, (d) penyerapan kosa kata
bahasa lain, dan (e) penyusunan modul BD (Krisyani-Laksono: 2009).

Revitalisasi BD adalah bagian strategi kebudayaan yang harus dilakukan secara


terencana, sistematik, dan dilakukan oleh sebuah lembaga yang mendapat dukungan
pemerintah atua lembaga swasta yang mendapat dukungan masyarakat luas. BD harus
digunakan tidak sekadar untuk kepentingan wibawanya, BD harusnya digunakan tidak
sekadar untuk kepentingan adat, kearifan lokal, ekspresi budaya, atau interaksi masyarakat
dalam komunitas yang sama.

Revitalisasi bahasa ibu seyogianya ditempatkan sebagai bagian dari strategi


kebudayaan dengan sejumlah alasan sebagai berikut. Pertama, nilai bahasa terletak pada
makna yang disimbolkan oleh bahasa. Bahasa Inggris, misalnya, dianggap simbol
modernisme dan teknologi, sementara itu bahasa Arab dianggap sebagai simbol agama
Islam. Dua contoh ini menguatkan asumsi bahwa bahasa adalah mengusung kebudayaan.
Kedua, dalam konteks Indonesia rujukan budaya nasional pada mulanya tiada lain adalah
budaya-budaya etnis yang diklaim-khususnya oleh para birokrat pemerintah atau
sekelompok elitis dalam masyarakat Indonesia-sebagai budaya nasional. Kita tidak boleh
melupakan bahwa negara kesatuan Indonesia ini terbentuk atas kesepakatan kelompok-
kelompok etnis untuk berhimpun diri dalam sebuah organisasi yang disebut negara
kesatuan. Ketiga, pada umumnya orang asing yang mempelajari bahasa Indonesia dan
bahasa daerah lebih banyak didasari oleh minat mempelajari budaya daripada bahasanya.

16
Sasaran pemeliharaan bahasa, sastra, dan aksara daerah adalah:

1. Terwujudnya kurikulum pendidikan bahasa, sastra, dan aksara daerah di sekolah


dan kurikulum pendidikan di luar sekolah.
2. Terwujudnya kehidupan berbahasa daerah yang lebih baik dan bermutu.
3. Terwujudnya apresiasi masyarakat terhadap bahasa, sastra, dan aksara daerah.
4. Terwujudnya peran serta masyarakat dalam upaya pemeliharaan bahasa, sastra,
dan aksara daerah.

17
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Bahasa ibu merupakan bahasa pertama yang dikuasai manusia sejak lahir melalui
interaksi dengan sesama anggota masyarakat. Seperti keluarga dan masyarakat lainnya.
Bahasa Ibu juga bahasa padat budaya, maksudnya bahasa bahasa yang dipakai untuk
berbahasa dan bernalar.

Seiring berjalanya zaman, bahasa ibu mulai kurang digunakan. Karena merasa kurang
modern dan kurang keren. Bahasa daerah atau bahasa lokal ini, tergantikan oleh bahasa
asing yang mulai sekarang meraja lela di indonesia. Faktor utama yang menjadikan bahasa
sunda tergantikan adalah kurangnya orang untuk melestarikan. Peran orang tua sangat
penting untuk membantu anaknya mengembangkan bahasa lokal atau bahasa daerah. Akan
tetapi dilihat faktanya, orang tua lebu senang anaknya mahir berbahasa asing.

Selain itu faktor yang menyebabkan punahnya bahasa daerah adalah nerasa bahannya
dibatasi. Dilihat dari masalah tersebut, ada beberapa solusi yang dilakukan untuk
mengembangkan bahasa lokal terlebuh khususnya bahasa sunda adalah dengan
menjadikan bahasa lokal bahasa sehari-hari.

Adapun kontribusi yang bisa diakukan khususnya generasi muda bisa dengan
memperdalam bahasa daerah,membiasakan memakai bahasa daerah dalam pergaulan
sehari-hari, menghindari penggunaan bahasa asing yang berlebihan dan meningkatkan
rasa bangga memiliki dan menggunakan bahasa daerah.

3.2 Saran

1. Bahasa daerah khususnya bahasa sunda seharusnya dianggap sebagai hal yang bisa
dibanggakan dan memperkaya budaya indonesia.
2. Bahasa daerah atau bahasa ibu lebih dihadirkan sebagai pelajaran - pelajaran yang ada
di sekolah - sekolah atau di perguruan tinggi.
3. Masyarakat indonesia seharusnya bangga memiliki bahasa ibu dan bangga
menggunakannya.

18
Tidak ada salahnya kita sebagai generasi muda tetap menjaga bahasa ibu dan
terus melestarikanya karena bahasa daerah merupakan perwujudan dari peradaban
bangsa, bahasa daerah menyimpan banyak pesan moral, nilai-nilai kemanusiaan, nilai-
nilai ketuhanan. Jadi,masih penting bahasa daerah di era sekarang dan selanjutnya.

19
DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A. Chaedar. 2012. Pokoknya Rekayasa Literasi. Bandung: PT Kiblat Buku Utama.

ix

Anda mungkin juga menyukai