Anda di halaman 1dari 36

CASE REPORT

Ny. F dengan Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK)

Disusun Oleh :
Ulfa Titiswari Sugiardi
1102014271

Konsulen Pembimbing
dr. Evi Handayani, Sp. THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

KEPANITERAAN KLINIK ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN

RSUD DR DRADJAT PRAWIRANEGARA

MEI 2019
BAB I

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. F
Umur : 61 tahun
Agama : Kristen
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Sumur Pecung
Pekerjaan : Pensiunan Guru
Tanggal periksa : 30 April 2019

II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 30 April 2019 di
Poli THT RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang.
Keluhan utama : Telinga tersumbat
Keluhan tambahan : Keluar cairan dari telinga, pendengaran berkurang
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang ke RSUD DR. Dradjat Prawiranegara Serang dengan
keluhan telinga kiri terasa penuh dan tersumbat sejak ± 1 minggu sebelum
masuk rumah sakit. Keluhan disertai nyeri hilang timbul pada telinga kiri
diikuti dengan keluarnya cairan tidak berbau, bening ke kuningan dari telinga
kiri. Selain itu pasien juga mengeluhkan pendengarannya menurun sejak
pertama kali merasakan sakit seperti ini.
Saat ini pasien sedang pilek disertai bersin-bersin setiap kali mencium
bau menyengat seperti parfum atau pengharum ruangan. Pasien juga akan
bersin jika ada debu. Setiap kali pasien bersin, pasien mengaku merasakan
ada udara yang turut keluar dari telinga kirinya.
Pasien mengaku memiliki alergi terhadap debu. Pasien mengaku
memiliki asma sejak masih kecil namun sudah berkurang frekuensi
kejadiannya. Tidak ada keluhan seperti batuk, demam, mual, muntah, telinga
berdenging, gangguan keseimbangan ataupun nyeri kepala.
Riwayat penyakit dahulu:
Sebelumnya sejak ±2 tahun sebelum masuk rumah sakit, pasien
pernah mengalami batuk pilek berulang disertai kotoran telinga yang
jumlahnya banyak. ±6 bulan sebelum masuk rumah sakit, pasien merasakan
telinganya berdengung disertai keluar cairan berwarna kuning kental dari
telinga kiri. Saat pasien memeriksakan diri ke puskesmas terdekat, pasien
diminta untuk berobat ke poli THT karena gendang telinganya dikatakan
sudah berlubang.
Riwayat hipertensi (+) diabetes mellitus (-) alergi (+) sinusitis (-) hidung
tersumbat (-) asma (+)

Riwayat penyakit keluarga:


Riwayat hipertensi (+) pada ayah pasien, Asma (+) pada ibu pasien, Diabetes
mellitus (-)

III. PEMERIKSAAN FISIK


 Status generalis
 Keadaan umum : Sedang
 Kesadaran : Compos Mentis
 Vital Sign :
Tekanan darah: 160/100 mmHg
Suhu : 36,7 °C
Nafas : 20 x/menit
Nadi : 72 x/menit

 Status generalis
Kepala : Normocephali
Mata : conjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-
Leher : KGB tidak teraba membesar , Tiroid tidak teraba
membesar
Thorax : Tidak dilakukan pemeriksaan
Abdomen : Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas : Tidak dilakukan pemeriksaan

 Status lokalis
 Telinga
Auric
Bagian Kelainan
Dextra Sinistra
Bentuk telinga Normotia
Aurikula Kelainan kongenital - -
Peradangan - -
Massa - -
Nyeri tarik - -
Nyeri tekan tragus - -
Preaurikuler & Kelainan kongenital - -
retroaurikuler Peradangan - -
Massa - -
Edema - -
Sikatrik - -
Fistula - -
Pembesaran KGB - -
Nyeri tekan - -
Liang telinga Kelainan kongenital - -
luar Peradangan - -
Massa - -
Edema - -
Fistula - -
Kelainan kulit - -
Sekret - -
Serumen + +
Membran Kondisi Arah jam 5 Tidak dapat
timpani Cone of light dinilai

Garpu Tala
Tes Rinne Tes Weber Tes Swabach
(-) Lateralisasi ke kiri Memanjang
Kesimpulan: Pasien mengalami tuli konduktif

 Hidung
Kavum Nasi
Pemeriksaan
Dextra Sinistra
Inspeksi
Bentuk Simetris kanan dan kiri
Sikatrik - -
Hematom - -
Racoon’s eye - -
Palpasi
Nyeri tekan sinus paranasal - -
Krepitasi - -
Massa - -
Rhinoscopy anterior
Cavum nasi Lapang Lapang
Mukosa cavum nasi Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Edema (-) Edema (-)
Sekret + +
Konka inferior Hipermis (-) Hipermis (+)
Hipertrofi (-) Hipertrofi (-)
Konka media Hipermis (-) Hipermis (-)
Hipertrofi (-) Hipertrofi (-)
Meatus inferior Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Meatus media Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Massa (-) Massa (-)
Septum anterior Deviasi (-) Deviasi (-)
Rhinoscopy posterior
Nasofaring
Koana
Konka superior Tidak dapat dinilai karena
Konka media tertutup sekret
Kelenjar adenoid
Massa

 Tenggorokan
Pemeriksaan Kondisi

Faring & Rongga Mulut

Bibir Sianosis (-)

Mukosa mulut Hiperemis (-)

Lidah Normal

Gusi Normal
Gigi berlubang Normal

Palatum durum Hipermis (-)

Palatum mole Hipermis (-)

Uvula Hipermis (-), Deviasi (-)

Arkus faring Hipermis (-), Simetris

Tonsil Normal, T1 – T1

Hipofaring & Laring Tidak dilakukan pemeriksaan

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang

V. DIAGNOSIS
Dx : Otitis Media Supuratif Kronik AS Tipe Aman
DD : Otitis Media Supuratif Kronik AS Tipe Bahaya

VI. TATALAKSANA
Non Farmakoterapi:
Hindari air masuk ke liang telinga
Hindari batuk pilek berulang

Farmakoterapi:
Hidrogen Peroxida tetes telinga 2 x 5tetes (AS)
Tarivid tetes telinga 2 x 5tetes (AS)

VII. PROGNOSIS

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad bonam

Quo ad Sanationam : dubia ad bonam


BAB II

2.1. Anatomi Telinga Tengah dan Fisiologi Pendengaran


Telinga adalah indra pendengaran. Pendengaran merupakan indra
mekanoreseptor karena memberikan respon terhadap getaran mekanik gelombang
suara yang terdapat di udara. Telinga menerima gelombang suara yang
frekuensinya berbeda, kemudian menghantarkan informasi pendengaran
kesusunan saraf pusat. Telinga dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu telinga luar,
telinga tengah dan telinga dalam.
Gambar 1. Anatomi Telinga
Telinga tengah terdiri dari : membran timpani, kavum timpani, prosesus
mastoideus, dan tuba eustachius.

Gambar 2. Penampang Telinga Tengah


2.1.1 Membran Timpani
Membran timpani dibentuk dari dinding lateral kavum timpani dan
memisahkan liang telinga luar dari kavum timpani. Membrana ini panjang vertical
rata-rata 9-10 mm dan diameter antero-posterior kira -kira 8-9 mm, ketebalannya
rata-rata 0,1 mm.
Letak membrana timpani tidak tegak lurus terhadap liang telinga akan
tetapi miring yang arahnya dari belakang luar kemuka dalam dan membuat sudut
450 dari dataran sagital dan horizontal. Membrana timpani merupakan kerucut,
dimana bagian puncak dari kerucut menonjol kearah kavum timpani, puncak ini
dinamakan umbo. Dari umbo kemuka bawah tampak refleks cahaya (cone of
light).
Membran timpani mempunyai tiga lapisan yaitu :
1. Stratum kutaneum (lapisan epitel) berasal dari liang telinga.
2. Stratum mukosum (lapisan mukosa) berasal dari kavum timpani.
3. Stratum fibrosum (lamina propria) yang letaknya antara stratum kutaneum
dan mukosum.
Lamina propria yang terdiri dari dua lapisan anyaman penyabung elastic
yaitu: bagian dalam sirkuler, dan bagian luar radier.
Secara Anatomis membrana timpani dibagi dalam 2 bagian :
1. Pars tensa
Merupakan bagian terbesar dari membran timpani suatu
permukaan yang tegang dan bergetar sekeliling menebal dan melekat pada
anulus fibrosus pada sulkus timpanikus bagian tulang dari tulang temporal.
2. Pars flasida atau membran Shrapnell,
Terletak dibagian atas muka dan lebih tipis dari pars tensa dan pars
flasida dibatasi oleh 2 lipatan yaitu :
a. Plika maleolaris anterior (lipatan muka).
b. Plika maleolaris posterior (lipatan belakang).
Membran timpani terletak dalam saluran yang dibentuk oleh tulang
dinamakan sulkus timpanikus. Akan tetapi bagian atas muka tidak terdapat sulkus
ini dan bagian ini disebut insisura timpanika (Rivini).
Permukaan luar dari membrana timpani disarafi oleh cabang n.
aurikulotemporalis dari nervus mandibula dan nervus vagus. Permukaan dalam
disarafi oleh n. timpani cabang dari nervus glosofaringeal.
Aliran darah membrana timpani berasal dari permukaan luar dan dalam.
Pembuluh-pembuluh epidermal berasal dari aurikula yang dalam cabang dari
arteri maksilaris interna. Permukaan mukosa telinga tengah didarahi oleh timpani
anterior cabang dari arteri maksilaris interna dan oleh stylomastoid cabang dari
arteri aurikula posterior.
Gambar 3. Penampang Membran Timpani

2.1.2 Kavum Timpani


Kavum timpani terletak didalam pars petrosa dari tulang temporal,
bentuknya bikonkaf, atau seperti kotak korek api. Diameter anteroposterior atau
vertikal 15 mm, sedangkan diameter transversal 2-6 mm. Kavum timpani
mempunyai 6 dinding yaitu : bagian atap, lantai, dinding lateral, dinding medial,
dinding anterior, dinding posterior.

Gambar 4. Penampang Kavum Timpani


a. Atap kavum timpani.
Dibentuk oleh lempengan tulang yang tipis disebut tegmen timpani.
Tegmen timpani memisahkan telinga tengah dari fosa kranial dan lobus
temporalis dari otak. Bagian ini juga dibentuk oleh pars petrosa tulang temporal
dan sebagian lagi oleh skuama dan garis sutura petroskuama. Dinding ini hanya
dibatasi oleh tulang yang tipis atau ada kalanya tidak ada tulang sama sekali
(dehisensi).
Pada anak-anak, penulangan dari sutura petroskuamosa belum terbentuk
pada daerah tegmen timpani, sehingga memungkinkan terjadinya penyebaran
infeksi dari kavum timpani ke meningen dari fosa kranial media. Pada orang
dewasa bahkan vena-vena dari telinga tengah menembus sutura ini dan berakhir
pada sinus petroskuamosa dan sinus petrosal superior dimana hal ini dapat
menyebabkan penyebaran infeksi dari telinga tengah secara langsung ke sinus-
sinus venosus kranial.
b. Lantai kavum timpani
Dibentuk oleh tulang yang tipis memisahkan lantai kavum timpani dari
bulbus jugularis, atau tidak ada tulang sama sekali hingga infeksi dari kavum
timpani mudah merembet ke bulbus vena jugularis.
c. Dinding medial.
Dinding medial ini memisahkan kavum timpani dari telinga dalam, ini
juga merupakan dinding lateral dari telinga dalam. Dinding ini pada
mesotimpanum menonjol kearah kavum timpani, yang disebut promontorium
Tonjolan ini oleh karena didalamnya terdapat koklea. Didalam promontorium
terdapat beberapa saluran-saluran yang berisi saraf-saraf yang membentuk pleksus
timpanikus.
Dibelakang dan atas promontorium terdapat fenestra vestibuli atau
foramen ovale (oval windows), bentuknya seperti ginjal dan berhubungan pada
kavum timpani dengan vestibulum, dan ditutupi oleh telapak kaki stapes dan
diperkuat oleh ligamentum anularis. Foramen ovale berukuran 3,25 mm x 1,75
mm. Diatas fenestra vestibuli, sebagai tempat jalannya nervus fasialis. Kanalis ini
didalam kavum timpani tipis sekali atau tidak ada tulang sama sekali (dehisensi).
Fenestra koklea atau foramen rotundum (round windows), ditutupi oleh suatu
membran yang tipis yaitu membran timpani sekunder, terletak dibelakang bawah.
Foramen rotundum ini berukuran 1,5 mm x 1,3 mm pada bagian anterior dan
posterior 1,6 mm.
Kedua lekukan dari foramen ovale dan rotundum berhubungan satu sama
lain pada batas posterior mesotimpanum melalui suatu fosa yang dalam yaitu
sinus timpanikus. Suatu ruang secara klinis sangat penting ialah sinus posterior
atau resesus fasial yang didapat disebelah lateral kanalis fasial dan prosesus
piramidal.
Dibatasi sebelah lateral oleh anulus timpanikus posterosuperior, sebelah
superior oleh prosesus brevis inkus yang melekat kefosa inkudis. Lebar resesus
fasialis 4,01 mm dan tidak bertambah semenjak lahir. Resesus fasialis penting
karena sebagai pembatas antara kavum timpani dengan kavum mastoid sehingga
bila aditus asantrum tertutup karena suatu sebab maka resesus fasialis bisa dibuka
untuk menghubungkan kavum timpani dengan kavum mastoid.
d. Dinding posterior
Dinding posterior dekat keatap, mempunyai satu saluran disebut aditus,
yang menghubungkan kavum timpani dengan atrum mastoid melalui
epitimpanum. Dibawah aditus terdapat lekukan kecil yang disebut fosa inkudis
yang merupakan suatu tempat prosesus brevis dari inkus dan melekat pada serat-
serat ligamen. Dibawah fosa inkudis dan dimedial dari korda timpani adalah
piramid, tempat terdapatnya tendon muskulus stapedius, tendon yang berjalan
keatas dan masuk ke dalam stapes. Diantara piramid dan anulus timpanikus adalah
resesus fasialis.
Dibelakang dinding posterior kavum timpani adalah fosa kranii posterior
dan sinus sigmoid. Disebelah dalam dari piramid dan nervus fasialis merupakan
perluasan kearah posterior dari mesotimpani adalah sinus timpani. Perluasan sel-
sel udara kearah dinding posterior dapat meluas seperti yang dilaporkan Anson
dan Donaldson (1981), bahwa apabila diukur dari ujung piramid, sinus dapat
meluas sepanjang 9 mm kearah tulang mastoid. Dinding medial dari sinus timpani
kemudian berlanjut ke bagian posterior dari dinding medial kavum timpani
dimana berhubungan dengan dua fenestra dan promontorium.
e. Dinding anterior
Dinding anterior kavum timpani agak sempit tempat bertemunya dinding
medial dan dinding lateral kavum timpani. Dinding anterior bawah adalah lebih
besar dari bagian atas dan terdiri dari lempeng tulang yang tipis menutupi arteri
karotis pada saat memasuki tulang tengkorak dan sebelum berbelok ke anterior.
Dinding ini ditembus oleh saraf timpani karotis superior dan inferior yang
membawa serabut-serabut saraf simpatis kepleksus timpanikus dan oleh satu atau
lebih cabang timpani dari arteri karotis interna.
Dinding anterior ini terutama berperan sebagai muara tuba eustachius.
Tuba ini berhubungan dengan nasofaring dan mempunyai dua fungsi. Pertama
menyeimbangkan tekanan membran timpani pada sisi sebelah dalam, kedua
sebagai drainase sekresi dari telinga tengah, termasuk sel-sel udara mastoid.
Diatas tuba terdapat sebeuah saluran yang berisi otot tensor timpani. Dibawah
tuba, dinding anterior biasanya tipis dimana ini merupakan dinding posterior dari
saluran karotis.
f. Dinding lateral
Dinding lateral kavum timpani adalah bagian tulang dan membran. Bagian
tulang berada diatas dan bawah membran timpani.

Kavum timpani dibagi menjadi 3 bagian yaitu :


1. Epitimpanum.
Berada dibagian atas membran timpani. Merupakan bagian superior
kavum timpani, disebut juga atik karena terletak diatas membran timpani.
Sebagian besar atik diisi oleh maleus inkus. Dibagian superior epitimpanum
dibatasi oleh suatu penonjolan tipis os posterior. Dinding medial atik dibentuk
oleh kapsul atik yang ditandai oleh penonjolan kanalis semisirkularis lateral.
Pada bagian anterior terdapat ampula kanalis superior, dan lebih anterior
ada ganglion genikulatum, yang merupakan tanda ujung anterior ruang atik.
Dinding anterior terpisah dari maleus oleh suatu ruang yang sempit, disini dapat
dijumpai muara sel-sel udara yang membuat pneumatisasi pangkal tulang pipi
(zygoma). Dinding lateral atik dibentuk oleh os skuama yang berlanjut kearah
lateral sebagai dinding liang telinga luar bagian tulang sebelah atas. Diposterior,
atik menyempit menjadi jalan masuk ke antrum mastoid, yaitu aditus ad antrum.
2. Mesotimpanum
Terletak kearah medial dari membran timpani. Disebelah medial dibatasi
oleh kapsul otik, yang terletaknya lebih rendah dari pada nervus fasialis pars
timpani. Dinding anterior mesotimpani terdapat orifisium timpani tuba eustachius
pada bagian superior dan membentuk bagian tulang dinding saluran karotis
asendens pada bagian inferior. Dinding ini biasanya mengalami pneumatisasi
yang baik dan dapat dijumpai bagian-bagian tulang lemah.
3. Hipotimpanum atau resesus hipotimpanikus
Terletak dibawah membrana timpani, berhubungan dengan bulbus
jugulare.
Kavum timpani terdiri dari :
1. Tulang-tulang pendengaran
a. Malleus (hammer/martil).
Malleus adalah tulang yang paling besar diantara semua tulang-
tulang pendengaran dan terletak paling lateral, lehe r, prosesus brevis
(lateral), prosesus anterior, lengan (manubrium). panjangnya kira-kira 7,5
sampai 9,0 mm. kepala terletak pada epitimpanum atau didalam rongga
atik, sedangkan leher terletak dibelakang pars flaksida membran timpani.
Manubrium terdapat didalam membrane timpani, bertindak sebagai tempat
perlekatan serabut-serabut tunika propria. Ruang antara kepala dari maleus
dan membran Shrapnell dinamakan Ruang Prussak. Maleus ditahan oleh
ligamentum maleus anterior yang melekat ke tegmen dan juga oleh
ligamentum lateral yang terdapat diantara basis prosesus brevis dan
pinggir lekuk Rivinus.

Gambar os malleus
b. Inkus (anvil/landasan)
Inkus terdiri dari badan inkus ( corpus) dan 2 kaki yaitu : prosesus
brevis dan prosesus longus. Sudut antara prosesus brevis dan longus
membentuk sudut lebih kurang 100 derajat. Inkus berukuran 4,8 mm x 5,5
mm pada pinggir dari corpus, prosesus longus panjangnya 4,3 mm-5,5
mm.
Inkus terletak pada epitimpanum, dimana prosesus brevis menuju
antrum, prosesus longus jalannya sejajar dengan manubrium dan menuju
ke bawah. Ujung prosesus longus membengkok kemedial merupakan
suatu prosesus yaitu prosesus lentikularis. Prosesus ini berhubungan
dengan kepala dari stapes.
Maleus dan inkus bekerja sebagai satu unit, memberikan respon
rotasi terhadap gerakan membran timpani melalui suatu aksis yang
merupakan suatu garis antara ligamentum maleus anterior dan ligamentum
inkus pada ujung prosesus brevis. Gerakan-gerakan tersebut tetap
dipelihara berkesinambungan oleh inkudomaleus. Gerakan rotasi tersebut
diubah menjadi gerakan seperti piston pada stapes melalui sendi
inkudostapedius.

Gambar 5. Os incus
c. Stapes (stirrup/pelana)
Merupakan tulang pendengaran yang teringan, bentuknya seperti
sanggurdi beratnya hanya 2,5 mg, tingginya 4mm-4,5 mm. Stapes terdiri
dari kepala, leher, krura anterior dan posterior dan telapak kaki ( foot
plate), yang melekat pada foramen ovale dengan perantara ligamentum
anulare.
Tendon stapedius berinsersi pada suatu penonjolan kecil pada
permukaan posterior dari leher stapes. Kedua krura terdapat pada bagian
leher bawah yang lebar dan krura anterior lebih tipis dan kurang
melengkung dari pada posterior.
Kedua berhubungan dengan foot plate yang biasanya mempunyai
tepi superior yang melengkung, hampir lurus pada tepi posterior dan
melengkung di anterior dan ujung posterior. panjang foot plat e 3 mm dan
lebarnya 1,4 mm, dan terletak pada fenestra vestibuli dimana ini melekat
pada tepi tulang dari kapsul labirin oleh ligamentum anulare Tinggi stapes
kira-kira 3,25 mm.

Gambar 6. Os stapes
2. Dua otot.
Terdiri dari : otot tensor timpani ( muskulus tensor timpani) dan
otot stapedius ( muskulus stapedius)
Otot tensor timpani adalah otot kecil panjang yang berada 12 mm
diatas tuba eustachius. Otot ini melekat pada dinding semikanal tensor
timpani. Kanal ini terletak diatas liang telinga bagian tulang dan terbuka
kearah liang telinga sehingga disebut semikanal. Serabut -serabut otot
bergabung dan menjadi tendon pada ujung timpanisemikanal yang ditandai
oleh prosesus kohleoform. Prosesus ini membuat tendon tersebut
membelok kearah lateral kedalam telinga tengah. Tendon berinsersi pada
bagian atas leher maleus. Muskulus tensor timpani disarafi oleh cabang
saraf kranial ke 5. kerja otot ini menyebabkan membran timpani tertarik
kearah dalam sehingga menjadi lebih tegang dan meningkatkan frekuensi
resonansi sistem penghantar suara serta melemahkan suara dengan
freksuensi rendah.
Otot stapedius adalah otot yang relatif pendek. Bermula dari dalam
kanalnya didalam eminensia piramid, serabut ototnya melekat ke perios
kanal tersebut.
Serabut-serabutnya bergabung membentuk tendon stapedius yang
berinsersi pada apek posterior leher stapes. M. Stapedius disarafi oleh
salah satu cabang saraf kranial ke 7 yang timbul ketika saraf tersebut
melewati m. stapedius tersebut pada perputarannya yang kedua. Kerja
m.stapedius menarik stapes ke posterior mengelilingi suatu pasak pada tepi
posterior basis stapes. Keadaan ini stapes kaku, memperlemah transmisi
suara dan meningkatkan frekuensi resonansi tulang-tulang pendengaran.

Gambar 7. Penampang otot pada telinga bagian tengah


2.1.3 Tuba Eustachius
Tuba eustachius disebut juga tuba auditory atau tuba faringotimpani.
bentuknya seperti huruf S. Tuba ini merupakan saluran yang menghubungkan
kavum timpani dengan nasofaring. Pada orang dewasa panjang tuba sekitar 36
mm berjalan ke bawah, depan dan medial dari telinga tengah 13 dan pada anak
dibawah 9 bulan adalah 17,5 mm.

Gambar 8. Penampang Tuba Eustachius

Tuba terdiri dari 2 bagian yaitu :


1. Bagian tulang terdapat pada bagian belakang dan pendek (1/3 bagian).
2. Bagian tulang rawan terdapat pada bagian depan dan panjang (2/3 bagian).
Bagian tulang sebelah lateral berasal dari dinding depan kavum timpani,
dan bagian tulang rawan medial masuk ke nasofaring. Bagian tulang rawan ini
berjalan kearah posterior, superior dan medial sepanjang 2/3 bagian keseluruhan
panjang tuba (4 cm), kemudian bersatu dengan bagian tulang atau timpani.
Tempat pertemuan itu merupakan bagian yang sempit yang disebut ismus.
Bagian tulang tetap terbuka, sedangkan bagian tulang rawan selalu tertutup dan
berakhir pada dinding lateral nasofaring. Pada orang dewasa muara tuba pada
bagian timpani terletak kira-kira 2-2,5 cm, lebih tinggi dibanding dengan
ujungnya nasofaring. Pada anak-anak, tuba pendek, lebar dan letaknya
mendatar maka infeksi mudah menjalar dari nasofaring ke telinga tengah. Tuba
dilapisi oleh mukosa saluran nafas yang berisi sel-sel goblet dan kelenjar mucus
dan memiliki lapisan epitel bersilia didasarnya. Epitel tuba terdiri dari epitel
selinder berlapis dengan sel selinder. Disini terdapat silia dengan pergerakannya
ke arah faring. Sekitar ostium tuba terdapat jaringan limfosit yang dinamakan
tonsil tuba.
Otot yang berhubungan dengan tuba eustachius yaitu :
1. M. tensor veli palatini
2. M. elevator veli palatini
3. M. tensor timpani
4. M. salpingofaringeus
Fungsi tuba eustachius sebagai ventilasi telinga yaitu mempertahankan
keseimbangan tekanan udara didalam kavum timpani dengan tekanan udara luar,
drenase sekret dari kavum timpani ke nasofaring dan menghalangi masuknya
sekret dari nasofaring ke kavum timpani.

2.1.4 Fisiologi Pendengaran


Getaran suara ditangkap oleh daun telinga yang dialirkan keliang telinga
dan mengenai membran timpani, sehingga membran timpani bergetar. Getaran ini
diteruskan ke tulang-tulang pendengaran yang berhubungan satu sama lain.
Selanjutnya stapes menggerakkan tingkap lonjong (foramen ovale) yang juga
menggerakkan perilimf dalam skala vestibuli. Getaran diteruskan melalui
membrane Reissener yang mendorong endolimf dan membran basal kearah
bawah, perilimf dalam skala timpani akan bergerak sehingga tingkap (foramen
rotundum) terdorong ke arah luar.
Skala media yang menjadi cembung mendesak endolimf dan mendorong
membran basal, sehingga menjadi cembung kebawah dan menggerakkan perilimf
pada skala timpani. Pada waktu istirahat ujung sel rambut berkelok-kelok, dan
dengan berubahnya membran basal ujung sel rambut menjadi lurus. Rangsangan
fisik tadi diubah oleh adanya perbedaan ion Kalium dan ion Natrium menjadi
aliran listrik yang diteruskan ke cabang-cabang n.VII, yang kemudian meneruskan
rangsangan itu ke pusat sensorik pendengaran diotak ( area 39-40) melalui saraf
pusat yang ada dilobus temporalis.

Gambar 9. Fisiologi Pendengaran

2.2. Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK)


2.2.1. Definisi OMSK
Infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan
sekret yang keluar dari telinga tengah terus-menerus atau hilang timbul. Sekret
mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah ( FKUI, 2016)
OMSK di dalam masyarakat Indonesia dikenal dengan istilah
congek, teleran atau telinga berair (Nursiah, 2003).
2.2.2. Epidemiologi OMSK
Secara umum, prevalensi OMSK di Indonesia adalah 3,8 % dan pasien
OMSK merupakan 25% dari pasien-pasien yang berobat di poliklinik THT rumah
sakit di Indonesia. Kehidupan sosial ekonomi yang rendah, lingkungan kumuh
dan status kesehatan serta gizi yang jelek merupakan faktor yang menjadi dasar
untuk meningkatnya prevalensi OMSK pada negara yang sedang berkembang
(Aboet, 2007).

2.2.3. Etiologi OMSK


Terjadi OMSK hampir selalu dimulai dengan otitis media berulang pada
anak, jarang dimulai setelah dewasa. Faktor infeksi biasanya berasal dari
nasofaring (adenoiditis, tonsilitis, rinitis, sinusitis), mencapai telinga tengah
melalui tuba Eustachius. Fungsi tuba Eustachius yang abnormal merupakan faktor
predisposisi yang dijumpai pada anak dengan cleft palate dan Down’s syndrom.
Adanya tuba patulous, menyebabkan refluk isi nasofaring yang merupakan faktor
insiden OMSK yang tinggi di Amerika Serikat. Faktor Host yang berkaitan
dengan insiden OMSK yang relatif tinggi adalah defisiensi immun sistemik.
Kelainan humoral (seperti hipogammaglobulinemia) dan cell- mediated ( seperti
infeksi HIV, sindrom kemalasan leukosit) dapat manifest sebagai sekresi telinga
kronis.
Penyebab OMSK antara lain:
 Lingkungan
Hubungan penderita OMSK dan faktor sosial ekonomi belum jelas, tetapi
mempunyai hubungan erat antara penderita dengan OMSK dan sosioekonomi,
dimana kelompok sosioekonomi rendah memi liki insiden yang lebih tinggi.
Tetapi sudah hampir dipastikan hal ini berhubungan dengan kesehatan secara
umum, diet, tempat tinggal yang padat.
 Genetik
Faktor genetik masih diperdebatkan sampai saat ini, terutama apakah
insiden OMSK berhubungan dengan luasnya sel mastoid yang dikaitkan sebagai
faktor genetik. Sistem sel-sel udara mastoid lebih kecil pada penderita otitis
media, tapi belum diketahui apakah hal ini primer atau sekunder.
 Otitis media sebelumnya.
Secara umum dikatakan otitis media kronis merupakan kelanjutan dari
otitis media akut dan / atau otitis media dengan efusi, tetapi tidak diketahui
faktor apa yang menyebabkan satu telinga dan bukan yang lainnya berkembang
menjadi keadaan kronis
 Infeksi
Bakteri yang diisolasi dari mukopus atau mu kosa telinga tengah hampir
tidak bervariasi pada otitis media kronik yang aktif menunjukan bahwa metode
kultur yang digunakan adalah tepat. Organisme yang terutama dijumpai adalah
Gram- negatif, flora tipe-usus, dan beberapa organisme lainnya.

 Infeksi saluran nafas atas


Banyak penderita mengeluh sekret telinga sesudah terjadi infeksi saluran
nafas atas. Infeksi virus dapat mempengaruhi mukosa telinga tengah
menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh terhadap organisme yang secara
normal berada dalam telinga tengah, sehingga memudahkan pertumbuhan bakteri.
Organisme-organisme dari meatus auditoris eksternal termasuk
Staphylococcus, Pseudomonas aeruginosa, B.proteus, B.coli dan
Aspergillus. Organisme  dari  nasofaring  diantaranya  Streptococcus  viridians
(Streptococcus α-hemolitikus, Streptococcus β-hemolitikus dan Pneumococcus).
 Autoimun
Penderita dengan penyakit autoimun akan memiliki insiden lebih besar
terhadap otitis media kronis.
 Alergi
Penderita alergi mempunyai insiden otitis media kronis yang lebih tinggi
dibanding yang bukan alergi. Yang menarik adalah dijumpainya sebagian
penderita yang alergi terhadap antibiotik tetes telinga atau bakteria atau toksin-
toksinnya, namun hal ini belum terbukti kemungkinannya.
 Gangguan fungsi tuba eustachius.
Pada otitis kronis aktif, dimana tuba eustachius sering tersumbat oleh
edema tetapi apakah hal ini merupakan fenomen primer atau sekunder masih
belum diketahui. Pada telinga yang inaktif berbagai metode telah digunakan untuk
mengevaluasi fungsi tuba eustachius dan umumnya menyatakan bahwa tuba tidak
mungkin mengembalikan tekanan negatif menjadi normal.
Beberapa faktor-faktor yang menyebabkan perforasi membran timpani
menetap pada OMSK :
1. Infeksi yang menetap pada telinga tengah mastoid yang mengakibatkan
produksi sekret telinga purulen berlanjut.
2. Berlanjutnya obstruksi tuba eustachius yang mengurangi penutupan
spontan pada perforasi.
3. Beberapa perforasi yang besar mengalami penutupan spontan melalui
mekanisme migrasi epitel.
4. Pada pinggir perforasi dari epitel skuamous dapat mengalami pertumbuhan
yang cepat diatas sisi medial dari membran timpani. Proses ini juga
mencegah penutupan spontan dari perforasi.

2.2.4. Patogenesis OMSK


Otitis media akut dengan perforasi membran timpani menjadi otitis media
supuratif kronis apabila prosesnya sudah lebih dari 2 bulan. Bila proses infeksi
kurang dari 2 bulan, disebut otitis media supuratif subakut.
Beberapa faktor yang menyebabkan OMA menjadi OMSK ialah terapi yang
terlambat diberikan, terapi yang tidak adekuat, virulensi kuman tinggi, daya tahan
tubuh pasien rendah (gizi kurang), atau higiene buruk.

2.2.5. Klasifikasi OMSK


Letak perforasi di membran timpani penting untuk menentukan tipe/ jenis
OMSK. Perforasi pada membran timpani dapat ditemukan di daerah sentral,
marginal, atau atik. Oleh karena itu disebut perforasi sentral, marginal, atau atik.
 Perforasi sentral, perforasi terdapat di pars tensa, sedangkan di seluruh
tepi perforasi masih ada sisa membran timpani.
 Perforasi marginal, sebagian tepi perforasi langsung berhubungan
dengan anlus, atau sulkus timpanikum.
 Perforasi atik ialah perforasi yang terletak di pars flaksida.

OMSK dapat dibagi atas 2 jenis, yaitu


1. OMSK tipe aman (tipe mukosa = tipe benigna)
Proses peradangan pada OMSK tipe aman, terbatas pada mukosa saja,
dan biasanya tidak mengenai tulang. Perforasi terletak di sentral.
Umumnya OMSK tipe aman jarang menimbulkan komplikasi yang
berbahaya. Pada OMSK tipe aman tidak terdapat kolesteatoma.
2. OMSK tipe Bahaya (tipe tulang = maligna)
OMSK yang disertai dengan kolesteatoma OMSK ini dikenal juga
dengan OMSK tipe tulang. Perforasi pada OMSK tipe bahaya biasanya
letaknya di marginal atau atik, kadang-kadang terdapat juga kolesteatoma
pada OMSK dengan perforasi subtotal. Sebagian besar komplikasi yang
berbahaya atau fatal timbul pada OMSK tipe bahaya.

Berdasarkan aktivitas sekret yang keluar, OMSK dibagi menjadi:


1. OMSK aktif
OMSK dengan sekret yang keluar dari kavum timpani secara aktif
2. OMSK tenang
Tidak ada sekret yang keluar, hanya cavum timpani terlihat basah atau
kering.

2.2.5. Manifestasi Klinis OMSK


1. Telinga berair (otorrhoe)
Sekret bersifat purulen (kental, putih) atau mukoid (seperti air dan
encer) tergantung stadium peradangan. Sekret yang mukus dihasilkan oleh
aktivitas kelenjar sekretorik telinga tengah dan mastoid.
Pada OMSK tipe aman, cairan yang keluar mukopus yang tidak
berbau busuk yang sering kali sebagai reaksi iritasi mukosa telinga tengah
oleh perforasi membran timpani dan infeksi. Keluarnya secret biasanya
hilang-timbul. Meningkatnya jumlah sekret dapat disebabkan infeksi
saluran nafas atas atau kontaminasi dari liang telinga luar setelah mandi
atau berenang. Pada OMSK stadium inaktif tidak dijumpai adannya sekret
telinga. Sekret yang sangat bau, berwarna kuning abu-abu kotor memberi
kesan kolesteatoma dan produk degenerasinya. Dapat terlihat keping-
keping kecil, berwarna putih, mengkilap. Pada OMSK tipe bahaya unsur
mukoid dan sekret telinga tengah berkurang atau hilang karena rusaknya
lapisan mukosa secara luas. Sekret yang bercampur darah berhubungan
dengan adanya jaringan granulasi dan polip telinga dan merupakan tanda
adanya kolesteatom yang mendasarinya. Suatu sekret yang encer berair
tanpa nyeri mengarah kemungkinan tuberkulosis.

2. Gangguan pendengaran
Ini tergantung dari derajat kerusakan tulang-tulang
pendengaran. Biasanya dijumpai tuli konduktif namun dapat pula bersifat
campuran. Gangguan pendengaran mungkin ringan sekalipun proses
patologi sangat hebat, karena daerah yang sakit ataupun kolesteatom, dapat
menghambat bunyi dengan efektif ke fenestra ovalis. Bila tidak dijumpai
kolesteatom, tuli konduktif kurang dari 20 db ini ditandai bahwa rantai
tulang pendengaran masih baik. Kerusakan dan fiksasi dari rantai
tulang pendengaran menghasilkan penurunan pendengaran lebih dari 30
db. Beratnya ketulian tergantung dari besar dan letak perforasi membran
timpani serta keutuhan dan mobilitas sistem pengantaran suara ke
telinga tengah.
Pada OMSK tipe bahaya biasanya didapat tuli konduktif berat
karena putusnya rantai tulang pendengaran, tetapi sering kali juga
kolesteatom bertindak sebagai penghantar suara sehingga ambang
pendengaran yang didapat harus diinterpretasikan secara hati-hati.
Penurunan fungsi koklea biasanya terjadi perlahan-lahan dengan
berulangnya infeksi karena penetrasi toksin melalui jendela bulat (foramen
rotundum) atau fistel labirin tanpa terjadinya labirinitis supuratif. Bila
terjadinya labirinitis supuratif akan terjadi tuli saraf berat, hantaran tulang
dapat menggambarkan sisa fungsi koklea.

3. Otalgia ( nyeri telinga)


Nyeri tidak lazim dikeluhkan penderita OMSK, dan bila ada
merupakan suatu tanda yang serius. Pada OMSK keluhan nyeri dapat
karena terbendungnya drainase pus. Nyeri dapat berarti adanya ancaman
komplikasi akibat hambatan pengaliran sekret, terpaparnya durameter atau
dinding sinus lateralis, atau ancaman pembentukan abses otak.
Nyeri telinga mungkin ada tetapi mungkin oleh adanya otitis
eksterna sekunder. Nyeri merupakan tanda berkembang komplikasi
OMSK seperti Petrositis, subperiosteal abses atau trombosis sinus lateralis.
4. Vertigo
Vertigo pada penderita OMSK merupakan gejala yang serius
lainnya. Keluhan vertigo seringkali merupakan tanda telah terjadinya fistel
labirin akibat erosi dinding labirin oleh kolesteatom. Vertigo yang timbul
biasanya akibat perubahan tekanan udarayang mendadak atau pada
panderita yang sensitif keluhan vertigo dapat terjadi hanya karena
perforasi besar membran timpani yang akan menyebabkan labirin lebih
mudah terangsang oleh perbedaan suhu.
Penyebaran infeksi ke dalam labirin juga akan meyebabkan
keluhan vertigo. Vertigo juga bisa terjadi akibat komplikasi serebelum.
Fistula merupakan temuan yang serius, karena infeksi kemudian dapat
berlanjut dari telinga tengah dan mastoid ke telinga dalam sehingga timbul
labirinitis dan dari sana mungkin berlanjut menjadi meningitis. Uji fistula
perlu dilakukan pada kasus OMSK dengan riwayat vertigo. Uji ini
memerlukan pemberian tekanan positif dan negatif pada membran
timpani, dengan demikian dapat diteruskan melalui rongga telinga tengah.
Tanda-tanda klinis OMSK tipe maligna
 Adanya Abses atau fistel retroaurikular 
 Jaringan granulasi atau polip diliang telinga yang berasal dari kavum
timpani
 Pus yang selalu aktif atau berbau busuk ( aroma kolesteatom)
 Foto rontgen mastoid adanya gambaran kolesteatom

2.2.6. Diagnosis OMSK


Diagnosis OMSK dibuat berdasarkan gejala kliik dan pemeriksaan THT
terutama pemeriksaan otoskopi. Pemeriksaan penala merupakan pemeriksaan
sederhana untuk mengetahui adanya gangguan pendengaran. Untuk
mengetahui jenis dan derajat gangguan pendengana dapat dilakukan
pemeriksaan audiometri nada murni, audiometri tutur (speech audiometry) dan
pemeriksaan BERA (Brainstem Evoked Response Audiometry) bagi pasien/
anak yang tidak kooperatif dengan pemeriksaan audiometri nada murni.
Pemeriksaan penunjang lain berupa foto rontgen mastoid serta kultur dan
uji resistensi kuman dari sekret telinga.

Kolesteatoma
Kolesteatoma adalah suatu kista epitelial yang berisi desuamasi epitel
(keratin). Deskuamasi terbentuk terus lalu menumpuk sehingga kolesteatoma
bertambah besar.
Istilah kolesteatoma mulai diperkenalkan oleh Johans Muller pada tahun
1838 karena disangka koolesteatoma merupakan suatu tumor, yang ternyata
bukan. Beberapa istilah lain yan diperkenalkan oleh para ahli antara lain adalah
keratoma (Schucknect), squamous epiteliosis (Birrel, 1958), kolesteatosis
(Bireel, 1959), epidermoid kolesteatoma (Friedman, 1959), kista epidermoid
(Ferlito, 1970), epidermosis (Sumarkin, 1988).

 Pemeriksaan Penunjang Audiometry


Gangguan pendengaran dapat dibagi dalam ketulian ringan, sedang,
sedang berat, dan ketulian total, tergantung dari hasil pemeriksaan (audiometri
atau test berbisik). Derajat ketulian ditentukan dengan membandingkan rata-
rata kehilangan intensitas pendengaran pada frekuensi percakapan terhadap
skala ISO 1964 yang ekuivalen dengan skala ANSI 1969. Derajat ketulian dan
nilai ambang pendengaran menurut ISO 1964 dan ANSI 1969.
Derajat ketulian Nilai ambang pendengaran
• Normal : -10 dB sampai 25 Db
• Tuli ringan : 26 dB sampai 40 dB
• Tuli sedang : 41 dB sampai 55 dB
• Tuli sedang berat : 56 dB sampai 70 dB
• Tuli berat : 71 dB sampai 90 dB
• Tuli total : lebih dari 90 dB.
Evaluasi audiometri penting untuk menentukan fungsi konduktif dan
fungsi koklea. Dengan menggunakan audiometri nada murni pada hantaran
udara dan tulang serta penilaian tutur, biasanya kerusakan tulang-tulang
pendengaran dapat diperkirakan, dan bisa ditentukan manfaat operasi
rekonstruksi telinga tengah untuk perbaikan pendengaran. Untuk
melakukan evaluasi ini, observasi berikut bisa membantu:
1. Perforasi biasa umumnya menyebabkan tuli konduktif tidak lebih dari
15-20 dB
2. Kerusakan rangkaian tulang-tulang pendengaran menyebabkan tuli
konduktif 30-50 dB apabila disertai perforasi.
3. Diskontinuitas rangkaian tulang pendengaran dibelakang membran
yang masihutuh menyebabkan tuli konduktif 55-65 dB.
4. Kelemahan diskriminasi tutur yang rendah, tidak peduli
bagaimanapun keadaan hantaran tulang, menunjukan kerusakan
kohlea parah.
Pemeriksaan audiologi pada OMSK harus dimulai oleh penilaian
pendengarandengan menggunakan garpu tala dan test Barani. Audiometri
tutur dengan maskingadalah dianjurkan, terutama pada tuli konduktif
bilateral dan tuli campur.

2.2.7. Tatalaksana OMSK


Penatalaksanaan OMSK yang efektif harus didasarkan pada faktor-
faktor penyebab dan pada stadium penyakitnya. Dengan demikian haruslah
dievaluasi faktor-faktor yang menyebabkan penyakit menjadi kronis, perubahan-
perubahan anatomi yang menghalangi penyembuhan serta mengganggu fungsi,
dan proses infeksi yang terdapat ditelinga. Bila didiagnosis kolesteatom, maka
mutlak harus dilakukan operasi, tetapi obat-obatan dapat digunakan untuk
mengontrol infeksi sebelum operasi.
Prinsip  pengobatan  tergantung  dari  jenis  penyakit  dan  luasnya
infeksi,  dimana pengobatan dapat dibagi atas:
1. Konservatif
2. Operasi
Penatalaksanaan OMSK Benigna Tenang
Keadaan ini tidak memerlukan pengobatan, dan dinasehatkan untuk jangan
mengorek telinga, air jangan masuk ke telinga sewaktu mandi, dilarang berenang
dan segera berobat bila menderita infeksi saluran nafas atas. Bila fasilitas
memungkinkan sebaiknya dilakukan operasi rekonstruksi (miringoplasti,
timpanoplasti) untuk mencegah infeksi berulang serta gangguan pendengaran.

Penatalaksanaan OMSK Benigna Aktif


Prinsip pengobatan OMSK benigna aktif adalah:
1. Membersihkan liang telinga dan kavum timpani (aural toilet)
Tujuan aural toilet adalah membuat lingkungan yang tidak sesuai untuk
perkembangan mikroorganisme, karena sekret telinga merupakan media yang
baik bagi perkembangan mikroorganisme.
Bagan pengerjaan aural toilet
Cara pembersihan liang telinga (aural toilet)
a. Aural toilet secara kering ( dry mopping).
Telinga dibersihkan dengan kapas lidi steril, setelah dibersihkan
dapat di beri antibiotik berbentuk serbuk. Cara ini sebaiknya dilakukan di
klinik atau dapat juga dilakukan olehanggota keluarga. Pembersihan liang
telinga dapat dilakukan setiap hari sampai telingakering.
b. Aural toilet secara basah ( syringing)
Telinga disemprot dengan cairan untuk membuang debris dan
nanah, kemudian dengan kapas lidi steril dan diberi serbuk antibiotik.
Meskipun cara ini sangat efektif untuk membersihkan telinga tengah,
tetapi dapat mengakibatkan penyebaran infeksi ke bagian lain dan ke
mastoid. Pemberian serbuk antibiotik dalam jangka panjang dapat
menimbulkan reaksi sensitifitas pada kulit. Dalam hal ini dapat diganti
dengan serbuk antiseptik, misalnya asam boric dengan Iodine.
c. Aural toilet dengan pengisapan ( suction toilet)
Pembersihan dengan suction pada nanah, dengan bantuan
mikroskopis operasi adalah metode yang paling populer saat ini.
Kemudian dilakukan pengangkatan mukosa yangberproliferasi dan
polipoid sehingga sumber infeksi dapat dihilangkan. Akibatnya terjadi
drainase yang baik dan resorbsi mukosa. Pada orang dewasa yang
koperatif cara inidilakukan tanpa anastesi tetapi pada anak-anak diperlukan
anastesi. Pencucian telinga dengan H2O2 3% akan mencapai sasarannya
bila dilakukan dengan “displacement methode”

2. Pemberian antibiotika :
a. Antibiotika/antimikroba topikal
Terdapat perbedaan pendapat mengenai manfaat penggunaan antibiotika
topikal untuk OMSK. Pemberian antibiotik secara topikal pada telinga dengan
secret yang banyak tanpa dibersihkan dulu, adalah tidak efektif. Bila sekret
berkurang/tidak progresif lagi diberikan obat tetes yang mengandung antibiotik
dan kortikosteroid. Dianjurkan irigasi dengan garam faal agar lingkungan bersifat
asam dan merupakan media yang buruk untuk tumbuhnya kuman. Selain itu
dikatakan bahwa tempat infeksi pada OMSK sulit dicapai oleh antibiotika topikal.
Pengobatan antibiotika topikal dapat digunakan secara luas untuk
OMSK aktif, dikombinasi dengan pembersihan telinga, baik pada anak maupun
dewasa. Neomisin dapat melawan kuman Proteus dan Staphylococcus aureus
tetapi tidak aktif melawan gram negatif anaerob dan mempunyai kerja yang
terbatas melawan Pseudomonas karena meningkatnya resistensi. Polimiksin
efektif melawan Pseudomonas aeruginosa dan beberapa gram negatif tetapi tidak
efektif melawan organisme gram positif. Seperti aminoglikosida yang lain,
Gentamisin dan Framisetin sulfat aktif melawan basil gram negative. Tidak ada
satu pun aminoglikosida yang efektif melawan kuman anaerob.
Biasanya tetes telinga mengandung kombinasi neomisin, polimiksin dan
hidrokortison, bila sensitif dengan obat ini dapat digunakan sulfanilaid-steroid
tetes mata. Kloramfenikol tetes telinga tersedia dalam acid carrier dan telinga
akan sakit bila diteteskan. Kloramfenikol aktif melawan basil gram positif dan
gram negative kecuali Pseudomonas aeruginosa, tetapi juga efektif melawan
kuman anaerob, khususnya. Pemakaian jangka panjang lama obat tetes telinga
yang mengandung aminoglikosida akan merusak foramen rotundum, yang akan
menyebabkan ototoksik.

Bagan Antibiotika topikal yang sering digunakan pada pengobatan


Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK)
Antibiotika sistemik 
Pemilihan antibiotika sistemik untuk OMSK juga sebaiknya berdasarkan
kultur kuman penyebab. Pemberian antibiotika tidak lebih dari 1 minggu dan
harus disertaipembersihan sekret profus. Bila terjadi kegagalan pengobatan , perlu
diperhatikan faktor penyebab kegagalan yang ada pada penderita tersebut.
Dalam penggunaan antimikroba, perlu diketahui daya bunuh
antimikrobaterhadap masing- masing jenis kuman penyebab, kadar hambat
minimal terhadap masing-masing kuman penyebab, daya penetrasi antimikroba di
masing-masing jaringan tubuhdan toksisitas obat terhadap kondisi tubuh.
Berdasarkan konsentrasi obat dan daya bunuh terhadap mikroba, antimikroba
dapat dibagi menjadi 2 golongan. Golongan pertama antimikroba dengan daya
bunuh yang tergantung kadarnya. Makin tinggi kadar obat, makin banyak kuman
terbunuh, misalnya golongan aminoglikosida dan kuinolon. Golongan kedua
adalah antimikroba yang pada konsentrasi tertentu daya bunuhnya paling baik.
Peninggian dosis tidak menambah daya bunuh antimikroba golongan ini, misalnya
golongan beta laktam.

Terapi antibiotik sistemik yang dianjurkan pada


Otitis Media Supuratif Kronik
Antibiotika golongan kuinolon (siprofloksasin dan ofloksasin)
mempunyai aktifitas anti pseudomonas dan dapat diberikan peroral. Tetapi tidak
dianjurkan diberikan untuk anak dengan umur dibawah 16 tahun. Golongan
sefalosforin generasi III (sefotaksim, seftazidim dan seftriakson) juga aktif
terhadap Pseudomonas, tetapi harusdiberikan secara parenteral. Terapi ini sangat
baik untuk OMA sedangkan untuk OMSK belum pasti cukup, meskipun dapat
mengatasi OMSK. Metronidazol mempunyai efek bakterisid untuk kuman
anaerob. Metronidazol dapat diberikan pada OMSK aktif, dosis 400 mg per 8 jam
selama 2 minggu atau 200 mg per 8 jam selama 2-4 minggu.

Penatalaksanaan OMSK Maligna


Pengobatan yang tepat untuk OMSK maligna adalah operasi.
Pengobatan konservatif dengan medikamentosa hanyalah merupakan terapi
sementara sebelum dilakukan pembedahan. Bila terdapat abses subperiosteal,
maka insisi abses sebaiknyadilakukan tersendiri sebelum kemudian dilakukan
mastoidektomi.
Ada beberapa jenis pembedahan atau tehnik operasi yang dapat dilakukan
pada OMSK dengan mastoiditis kronis, baik tipe benigna atau maligna, antara
lain:
1. Mastoidektomi sederhana (simple mastoidectomy)
2. Mastoidektomi radikal
3. Mastoidektomi radikal dengan modifikasi
4. Miringoplasti
5. Timpanoplasti
6. Pendekatan ganda timpanoplasti ( Combined approach tympanoplasty)

Bagan pembedahan pada tatalaksana OMSK


Tujuan operasi adalah menghentikan infeksi secara permanen,
memperbaiki membrantimpani yang perforasi, mencegah terjadinya komplikasi
atau kerusakan pendengaranyang lebih berat, serta memperbaiki pendengaran.

Algoritma pedoman umum pengobatan penderita OMSK

2.2.8 Komplikasi

Di era antibiotik saat ini, komplikasi dari OMSK jarang terlihat


karena intervensi antibiotik awal. Namun, operasi memang memainkan
peran penting dalam mengelola OMSK dengan atau tanpa kolesteatoma.
OMSK tanpa penanganan cepat dan tepat dapat berkembang
menjadi berbagai komplikasi ringan hingga mengancam jiwa yang dapat
dipisahkan menjadi 2 subkelompok:
1. Komplikasi Intratemporal
 Petrositis, terjadi ketika infeksi melampaui batas telinga tengah
dan mastoid ke dalam petros apex.
 Kelumpuhan wajah, dapat terjadi dalam pengaturan OMSK
dengan atau tanpa kolesteatoma. Eksplorasi bedah dengan
pengangkatan mukosa yang sakit, jaringan granulasi, dan nanah
yang diperiksa (biasanya dengan mastoidektomi) harus segera
dilakukan dalam pengaturan kolesteatoma atau otitis media
kronis.
 Labirinitis, terjadi ketika infeksi menyebar ke telinga bagian
dalam. Ini dapat terjadi secara darurat atau dalam jangka waktu
yang lama. Infeksi mendapatkan akses ke telinga bagian dalam
melalui jendela bundar dan oval atau melalui salah satu kanal
setengah lingkaran yang terkena erosi tulang. 4 kategori
labyrinthitis telah diakui sebagai serous akut, supuratif akut,
kronis, dan labyrinthine sclerosis.
2. Komplikasi Intrakranial.
 Tromboflebitis sinus lateral, terjadi ketika infeksi meluas
melalui tulang mastoid ke sinus sigmoid. Trombus yang terinfeksi
dapat melepaskan emboli septik, menyebabkan infark distal.
Pasien mungkin mengalami perubahan status mental, sakit kepala,
nyeri retroauricular, edema postauricular, dan demam.
 Meningitis, berkembang sebagai akibat dari infeksi langsung atau
hematogen. Jika dicurigai meningitis, pungsi lumbal harus
dilakukan untuk memulihkan organisme penyebab kultur dan
sensitivitas sebelum memulai terapi antibiotik spektrum luas
empiris.
 Abses intrakranial, yang dapat terjadi dapat berupa ekstradural,
subdural, atau parenkim. Seorang pasien dengan abses ekstradural
dapat datang dengan tanda-tanda dan gejala meningitik atau
mungkin tanpa gejala. Terlepas dari klinis, pencitraan untuk
menentukan abses harus diperoleh, dan abses harus dikeringkan
dengan bantuan ahli bedah saraf sesuai kebutuhan.

Gejala sisa termasuk gangguan pendengaran, kolesteatoma yang didapat,


dan timpanosklerosis.

DAFTAR PUSTAKA

Aboet, Askarullah. 2007. Radang Telinga Tengah Menahun dalam: Pidato


Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher FK USU. Medan: FK-USU.
Adams GL,Boeis LR, Higler PA. Buku Ajar Penyakit THT BOEIS Edisi
keenam:Anatomi dan Fisiologi Telinga.Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.1997.p; 30-38.
Braunwald, Eugene et al. 2009. Harrison’s Principles of Internal Medicine. Edisi
17. Amerika Serikat: McGraw-Hill.
Buchman, C.A. (2003). Infection of The Ear. In: Lee, K.J., ed. Essential
Otolaryngology Head and Neck Surgery. 8th ed. USA: McGraw-Hill
Companies, Inc., p462-511.
Dhingra, PL., Dhingra, S., dan Dhingra, D. (2014). Disease of Ear Nose and
Throat & Head and Neck Surgery. 6th Ed. Haryana: Elsevier.
Djaafar, ZA., Helmi, dan Restuti, RD. (2012). Kelainan Telinga Tengah. In:
Soepardi, EA., Iskandar, N., and Bashiruddin, J. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. 7th Ed. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI. p58-67.
Donaldson, JD. (2015). Acute Otitis Media. Medscape reference.
Ganong, William. 2008. Pendengaran dan Keseimbangan dalam: Buku Ajar
Fisiologi Kedokteran. Edisi 22. Jakarta: EGC; 179 – 185.
Kerschner, J.E. (2007). Otitis Media. In: Kliengman, R.M., Nelson Textbook of
Pediatrics. 18th Ed. USA: Saunders Elsevier. p2632-2646.
Nursiah, Siti. 2003. Pola Kuman Aerob Penyebab OMSK dan Kepekaan Terhadap
Beberapa Antibiotika di Bagian THT FK USU/RSUP H. Adam Malik
Medan. Medan: FK-USU.
PERHATI-KL. (2015). Panduan Praktik Klinis, Panduan Praktik Klinis
Tindakan, Clinical Pathway di Bidang Telinga Hidung Tenggorok –
Kepala Leher. Jakarta: Pengurus Pusat PERHATI-KL. p9-11, 13-16.

Anda mungkin juga menyukai