Anda di halaman 1dari 2

ResensiBuku

Program SABUSAMI SMAN 2 Mengwi

JuduIBuku :Merasa Pintar Bodoh Saja Tak Punya :Rusdi Mathari


Penulis :Buku Mojok :Minggu ke-l/Agustus
Penerbit/link-ebook
Mingguke-/Bulan Catatan :
Buku yang dibaca boleh menggunakan e-book, di luar buku pelajaran
(Fiksidan Non Fiksi) dan di kumpulkan di KELAS LITERASI (walikelas)
setiap hari sabtu.
Resensi : (ceritakan kembali isi buku dan bagaimana pendapat mu terhadap buku yang kamu baca!)

Menceritakan suatu kehidupan di masyarakat desa selama Ramadhan. Jika dalam ilmu nahwu
terkenal dengan tokoh fiktif andalannya yakni Zaid, Mbah Zainal dalam situs sarkub.com
terkenal dengan tokoh fiktif Mbah Lalar dan Kang Bangkak, Cak Nun terkenal dengan tokoh
fiktif Markesot, maka di buku ini, Cak Rusdi menghidupkan tokoh Cak Ndlahom, Cak
Ndlahom digambarkan sebagai pribadi yang kurang waras, tidak sholat, tidak puasa dan
terkadang telanjang bulat di depan warga, suka tertawa sendiri, omongannya ngelantur,
anak-anak kecil pun tak segan meneriaki Cak Ndlahom sebagai orang gila, tidurnya di
kandang kambing. Pernah memasukkan anjing ke kandang kambing Pak Lurah sambil
bercumbu mesra. Pernah pula berhari-hari menangisi kuburan seorang Janda yang mati
karena bunuh diri.

Namun lanturan juga perilaku Cak Ndlahom mengandung selaksa mutiara hikmah.
Katakanlah Cak Ndlahom seorang Jadzab, suka bersikap nyeleneh, di luar kebiasaan makhluk
normal (khoriqul ‘adah), yang melepaskan diri dari gemerlap indahnya dunia untuk menyatu
kepada Tuhan.

Buku ini terdiri dari 2 bagian, Ramadhan pertama dan kedua. Ramadhan pertama terdiri dari
14 mutiara hikmah dari Cak Ndlahom. Ada beberapa tokoh fiktif lain di sini selain Cak
Ndlahom; Mat Piti, Romlah (anak Mat Piti), Bunali, Pak Lurah, Pak RT, Gus Mut dan Nody
(suami Romlah) yang selalu dijumpai dalam tiap ‘episode’, Saya tertarik pada ilmu tasawwuf
yang disampaikan oleh Cak Ndlahom dalam judul “Membaca Syahadat, Menyaksikan
Romlah”.

“Yakin, Mat, kamu sudah Islam? Syahadat itu menyaksikan, Mat. Lalu kapan kamu
menyaksikan Allah? Kalau aku melihat ciptaan-Nya. Aku melihat Romlah, anakmu, Mat. ”

Dialog di atas mengandung hikmah tentang bagaimana sejatinya seorang muslim? Apakah
cukup hanya bersyahadat lalu diakui sebagai orang Islam? Padahal syahadat bermakna
menyaksikan, kapan kita menyaksikan Tuhan? Lalu Cak Ndlahom menjelaskan bahwa
syahadat bisa diaplikasikan dengan menyaksikan ciptaan-Nya, mencintai Tuhan dengan
mencintai makhluk-Nya, mensyukuri Tuhan dengan mensyukuri nikmat-Nya. Bahwa, betapa
orang yang dianggap gila pun kita tidak pernah tahu ternyata melalui washilahnya, Tuhan
menyampaikan pesan-pesan-Nya yang tersembunyi, mengingatkan kita pada pepatah Arab
“Renungkanlah apa yang dikatakan, jangan melihat siapa yang mengatakan”

Ramadhan kedua terdiri dari 16 mutiara hikmah. Yang menarik pada Ramadhan kedua kisah
Cak Ndlahom adalah “Batu pun Enggan Jadi Manusia”. Pada kisah kali ini diceritakan bahwa
Cak Ndlahom pergi melewati sungai dan ketinggalan rombongan, diketahui ternyata Cak
Ndlahom ‘kecantol’ batu, Cak Ndlahom bercakap-cakap dengan batu, kata batu “maafkan
aku manusia aku tak sanggup jadi manusia. Aku tak sanggup. Aku memang batu, tapi aku
kalah keras di abnding hati mu”.
Di realita kehidupan, banyak ditemui orang-orang yang digambarkan dalam buku ini; Mat Piti
yang ‘ngrumat’, Romlah gadis desa yang bersahaja, Pak lurah yang kaya raya bolak- balik
berangkat haji dan umroh sedangkan pembantunya mati bunuh diri karena teijerat banyak
hutang untuk menafkahi anaknya semenjak jadi janda, ada juga yang penampilan serta
pembicaraannya begitu agami s tetapi tidak peka dengan adanya anak yatim yang putus
sekolah. Dan tentunya tokoh utamanya, Cak Ndlahom yang secara dzahirnya tidak waras
padahal ia sedang jadzab. Namun kita harus waspada karena saat ini banyak kita temui orang
yang menyamar jadi orang ‘gila’ biar dibilang jadzab atau Wali. Kisah Cak Ndlahom banyak
terinspirasi dari cerita yang disampaikan oleh Syeikh Maulana Hizboel Wathany Ibrahim,
Cak Nun dan beberapa kisah ke sufi an lainnya.

Buku ini bersub judul Kisah Sufi dari Madura, namun tidak sesuai dengan ekspektasi saya,
saya belum menemukan hal-hal yang berbau khas Madura, seperti latar tempat, budaya atau
dialog bahasa yang dipakai (justru banyak bahasa Jawanya). Hanya menemukan suatu nama
yang khas nama orang Madura; Mat Piti. Rupanya penulis fokus kepada kisah dan hikmah
dari tingkah laku para sufi.

Membaca buku ini bagi saya sama halnya dengan menziarahi kesufian Cak Rusdi. Ruh dari
Cak Ndlahom dalam buku ini. Sekarang lagi ngopi di surga ya, Cak? Tak traktir fatihah
buatmu. Tetaplah merasa pintar bodoh saja tak punya.

Anda mungkin juga menyukai