SISTEM IMUNITAS
OLEH
(P07120219057)
KELOMPOK 1
MATA KULIAH KMB 2
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
2020/2021
LAPORAN PEDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN SISTEM IMUNITAS
PADA PASIEN SYSTEMIC LUPUS ERITEMATOSUS (SLE)
2. ETIOLOGI
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh
kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit
yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar
termal).
Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui. Diduga faktor genetik, infeksi dan
lingkungan ikut berperan pada patofisiologi SLE. Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan
untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan reaksi
imunologi ini akan menghasilkan antibodi secara terus menerus. Antibody ini juga berperan
dalam pembentukan kompleks imun sehingga mencetuskan penyakit inflamasi imun sistemik
dengan kerusakkan multiorgan.
Dalam keadaan normal, sistem kekebalan berfungsi mengendalikan pertahanan tubuh
dalam melawan infeksi. Pada lupus dan penyakit autoimun lainnya, sistem pertahanan tubuh ini
berbalik melawan tubuh, dimana antibodi yang dihasilkan menyerang sel tubuhnya sendiri.
Antibodi ini menyerang sel darah, organ dan jaringan tubuh, sehingga terjadi penyakit
menahun.
Mekanisme maupun penyebab dari penyakit autoimun ini belum sepenuhnya dimengerti
tetapi diduga melibatkan faktor lingkungan dan keturunan. Beberapa faktor lingkungan yang
dapat memicu timbulnya lupus:
Infeksi
Antibiotik (terutama golongan sulfa dan penisilin)
Sinar ultraviolet
Stres yang berlebihan
Obat-obatan tertentu
Hormon.
Lupus seringkali disebut sebagai penyakit wanita walaupun juga bisa diderita oleh pria.
Lupus bisa menyerang usia berapapun, baik pada pria maupun wanita, meskipun 10-15 kali
lebih sering ditemukan pada wanita.
Faktor hormonal mungkin bisa menjelaskan mengapa lupus lebih sering menyerang
wanita. Meningkatnya gejala penyakit ini pada masa sebelum menstruasi dan/atau selama
kehamilan mendukung keyakinan bahwa hormon (terutama estrogen) mungkin berperan dalam
timbulnya penyakit ini. Meskipun demikian, penyebab yang pasti dari lebih tingginya angka
kejadian pada wanita dan pada masa pra-menstruasi, masih belum diketahui.
SLE
1. Pemeriksaan Autoantibodi
Prevalen Antigen yang
Antibody Clinical Utility
si % Dikenali
Antinuclear 98 Multiple nuclear Pemeriksaan skrining terbaik; hasil
antibodies negative berulang menyingkirkan SLE
(ANA)
Anti-dsDNA 70 DNA (double- Jumlah yang tinggi spesifik untuk SLE
stranded) dan pada beberapa pasien berhubungan
dengan aktivitas penyakit, nephritis, dan
vasculitis.
Anti-Sm 25 Kompleks Spesifik untuk SLE; tidak ada korelasi
protein pada 6 klinis; kebanyakan pasien juga memiliki
jenis U1 RNA RNP; umum pada African American
dan Asia dibanding Kaukasia.
Anti-RNP 40 Kompleks Tidak spesifik untuk SLE; jumlah besar
protein pada U1 berkaitan dengan gejala yang overlap
RNAγ dengan gejala rematik termasuk SLE.
Anti-Ro (SS- 30 Kompleks Tidak spesifik SLE; berkaitan dengan
A) Protein pada hY sindrom Sicca, subcutaneous lupus
RNA, terutama subakut, dan lupus neonatus disertai
60 kDa dan 52 blok jantung congenital; berkaitan
kDa dengan penurunan resiko nephritis.
Anti-La (SS- 10 47-kDa protein Biasanya terkait dengan anti-Ro;
B) pada hY RNA berkaitan dengan menurunnya resiko
nephritis
Antihistone 70 Histones terkait Lebih sering pada lupus akibat obat
dengan DNA daripada SLE.
(pada
nucleosome,
chromatin)
Antiphospholi 50 Phospholipids,β2 Tiga tes tersedia –ELISA untuk
pid glycoprotein 1 cardiolipin dan β2G1, sensitive
cofactor, prothrombin time (DRVVT);
prothrombin merupakan predisposisi pembekuan,
kematian janin, dan trombositopenia.
Antierythrocy 60 Membran Diukur sebagai tes Coombs’ langsung;
te eritrosit terbentuk pada hemolysis.
Antiplatelet 30 Permukaan dan Terkait dengan trombositopenia namun
perubahan sensitivitas dan spesifitas kurang baik;
antigen secara klinis tidak terlalu berarti untuk
sitoplasmik pada SLE
platelet.
Antineuronal 60 Neuronal dan Pada beberapa hasil positif terkait
(termasuk permukaan dengan lupus CNS aktif.
anti- antigen limfosit
glutamate
receptor)
Antiribosomal 20 Protein pada Pada beberapa hasil positif terkait
P ribosome dengan depresi atau psikosis akibat
lupus CNS
Secara diagnostic, antibody yang paling penting untuk dideteksi adalah ANA karena
pemeriksaan ini positif pada 95% pasien, biasanya pada onset gejala. Pada beberapa pasien
ANA berkembang dalam 1 tahun setelah onset gejala; sehingga pemeriksaan berulang sangat
berguna. Lupus dengan ANA negative dapat terjadi namun keadaan ini sangat jarang pada
orang dewasa dan biasanya terkait dengan kemunculan dari autoantibody lainnya (anti-Ro atau
anti-DNA). Tidak ada pemeriksaan berstandar internasional untuk ANA; variabilitas antara
pemeriksaan yang berbeda antara laboratorium sangat tinggi.
Jumlah IgG yang besar pada dsDNA (bukan single-strand DNA) spesifik untuk SLE.
ELISA dan reaksi immunofluorosensi pada sel dengan dsDNA pada flagel Crithidia luciliae
memiliki sekitar 60% sensitivitas untuk SLE; identifikasi dari aviditas tinggi untuk anti-dsDNA
pada emeriksaan Farr tidak sensitive namun terhubung lebih baik dengan nephritis
2. Pemeriksaan laboratorium untuk menentukan adanya penyakit SLE
a) Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah bisa menunjukkan adanya antibodi antinuklear, yang terdapat pada
hampir semua penderita lupus. Tetapi antibodi ini juga juga bisa ditemukan pada penyakit
lain. Karena itu jika menemukan antibodi antinuklear, harus dilakukan juga pemeriksaan
untuk antibodi terhadap DNA rantai ganda. Kadar yang tinggi dari kedua antibodi ini hampir
spesifik untuk lupus, tapi tidak semua penderita lupus memiliki antibodi ini.
Pemeriksaan darah untuk mengukur kadar komplemen (protein yang berperan dalam sistem
kekebalan) dan untuk menemukan antibodi lainnya, mungkin perlu dilakukan untuk
memperkirakan aktivitas dan lamanya penyakit.
b) Ruam kulit atau lesi yang khas
c) Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis
d) Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya gesekan pleura atau
jantung
e) Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein
f) Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel darah
g) Biopsi ginjal
h) Pemeriksaan saraf.
7. PENATALAKSANAAN
Untuk penatalaksanaan, Pasien SLE dibagi menjadi:
1. Kelompok Ringan
Gejala : Panas, artritis, perikarditis ringan, efusi pleura/perikard ringan, kelelahan, dan sakit
kepala
Penatalaksanaan untuk SLE derajat Ringan;
a) Penyakit yang ringan (ruam, sakit kepala, demam, artritis, pleuritis, perikarditis) hanya
memerlukan sedikit pengobatan.
b) Untuk mengatasi artritis dan pleurisi diberikan obat anti peradangan non-steroid
c) Untuk mengatasi ruam kulit digunakan krim kortikosteroid.
d) Untuk gejala kulit dan artritis kadang digunakan obat anti malaria (hydroxycloroquine)
e) Bila gagal, dapat ditambah prednison 2,5-5 mg/hari.
f) Dosis dapat diberikan secara bertahap tiap 1-2 minggu sesuai kebutuhan
g) Jika penderita sangat sensitif terhadap sinar matahari, sebaiknya pada saat bepergian
menggunakan tabir surya, pakaian panjang ataupun kacamata
2. Kelompok Berat
Gejala : efusi pleura perikard masif, penyakit ginjal, anemia hemolitik, trombositopenia,
lupus serebral, vaskulitis akut, miokarditis, pneumonitis lupus, dan perdarahan paru.
Penatalaksanaan untuk SLE derajat berat;
a) Penyakit yang berat atau membahayakan jiwa penderitanya (anemia hemolitik, penyakit
jantung atau paru yang meluas, penyakit ginjal, penyakit sistem saraf pusat) perlu
ditangani oleh ahlinya
b) Pemberian steroid sistemik merupakan pilihan pertama dengan dosis sesuai kelainan
organ sasaran yang terkena.
c) Untuk mengendalikan berbagai manifestasi dari penyakit yang berat bisa diberikan obat
penekan sistem kekebalan
d) Beberapa ahli memberikan obat sitotoksik (obat yang menghambat pertumbuhan sel)
pada penderita yang tidak memberikan respon yang baik terhadap kortikosteroid atau
yang tergantung kepada kortikosteroid dosis tinggi.
3. Penatalaksanaan Umum :
a) Kelelahan bisa karena sakitnya atau penyakit lain, seperti anemi, demam infeksi,
gangguan hormonal, komplikasi pengobatan, atau stres emosional. Upaya mengurangi
kelelahan disamping obat ialah cukup istirahat, pembatasan aktivitas yang berlebih, dan
mampu mengubah gaya hidup
b) Hindari Merokok
c) Hindari perubahan cuaca karena mempengaruhi proses inflamasi
d) Hindari stres dan trauma fisik
e) Diet sesuai kelainan, misalnya hyperkolestrolemia
f) Hindari pajanan sinar matahari, khususnya UV pada pukul 10.00 sampai 15.00
g) Hindari pemakaian kontrasespsi atau obat lain yang mengandung hormon estrogen
4. Pengobatan Pada Keadaan Khusus
a) Anemia Hemolitik
Prednison 60-80 mg/hari (1-1,5 mg/kg BB/hari), dapat ditingkatkan sampai 100-200
mg/hari bila dalam beberapa hari sampai 1 minggu belum ada perbaikan
b) Trombositopenia autoimun
Prednison 60-80 mg/hari (1-1,5 mg/kg BB/hari). Bila tidak ada respon dalam 4 minggu,
ditambahkan imunoglobulin intravena (IVIg) dengan dosis 0,4 mg/kg BB/hari selama 5
hari berturut-turut
c) Perikarditis Ringan
Obat antiinflamasi non steroid atau anti malaria. Bila tidak efektif dapat diberikan
prednison 20-40 mg/hari
d) Perkarditis Berat
Diberikan prednison 1 mg/kg BB/hari
e) Miokarditis
Prednison 1 mg/kg BB/hari dan bila tidak efektif dapat dapat dikombinasikan dengan
siklofosfamid
f) Efusi Pleura
Prednison 15-40 mg/hari. Bila efusi masif, dilakukan pungsi pleura/drainase
g) Lupus Pneunomitis
Prednison 1-1,5 mg/kg BB/hari selama 4-6 minggu
h) Lupus serebral
Metilprednison 2 mg/kg BB/hari untuk 3-5 hari, bila berhasil dilanjutkan dengan
pemberian oral 5-7 hari lalu diturunkan perlahan. Dapat diberikan metilprednison pulse
dosis selama 3 hari berturut-turut
8. KOMPLIKASI
a. Ginjal
Sebagaian besar penderita menunjukan adanya penimbunan protein didalam sel-sel
tetapi hanya 50% yang menderita nefritis lupus (peradangan ginjal yang menetap) pada
akhirnya bias terjadi gagal ginjal sehingga penderita perlu mengalami dialysis atau
pencangkokan ginjal.
b. Sistem saraf
Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita lupus. Komplikasi yang paling sering
ditemukan adalah dispungsi mental yang sifatnya ringan, tetapi kelainan bias terjadi
pada bagaiamanapun dari otak, korda spinalis, maupun sistem saraf. Kejang, pesikosa,
sindroma otak organic dan sekitar kepala merupakan beberapa kelainan sistem saraf
yang bias terjadi.
c. Penggumplan darah
Kelainan darah ditemukan pada 85% penderita lupus bisa terbentuk bekuan darah
didalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkan stroke dan emboli paru. Jumlah
thrombosis berkurang dan tubuh membentuk antibody yang melawan faktor pembekuan
darah yang bisa menyebabkan perdarahan yang berarti.
d. Kardiovaskuler
Perdangan berbagai bagian jantung seperti pericarditis, endocarditis maupun
miokarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi sebagai akibat keadaan tersebut.
e. Paru-paru
Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pleura (penimbunan
cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari keadaan tersebut timbul nyeri dada
dan sesak napas.
f. Otot dan kerangka tubuh
Hampir semua penderita lupus mengalami nyeri persendian dan kebanyakan menderita
arthritis. Persendian yang sering terkena adalah persendian pada jaringan tangan,
pergelangan tangan dan lutut. Kematian jaringan pada tulang panggul dan bahu sering
merupakan penyebab dari nyeri didaerah tersebut.
g. Kulit
Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu ditulang pipi dan pangkal hidung.
Ruam ini biasanya akan semakin memburuk jika terkena sinar matahari.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1) Nyeri Akut b.d agen pencedera fisik: inflamasi d.d mengeluh nyeri
2) Gangguan Integritas Kulit b.d perubahan hormonal d.d kerusakan jaringan
3) Gangguan Citra Tubuh b.d gangguan psikososial d.d mengungkapkan perasaan negatif
tentang perubahan tubuh
Price, Anderson, Sylvia. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Alih bahasa
brahm. Jakarta : EGC
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator
Diagnostik. Jakarta: DPP PPNI
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria
Hasil Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI