Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH KAJIAN RESEP FARMAKOTERAPI PENYAKIT

RESPIRASI: ASMA

Dosen pengampu:
Miski Aghnia Khairinisa, M.Biomed.Sc.,Ph.D., Apt

Disusun oleh:
Atiqoturrohmaniyyah (10060318166)
Siti Roisah (10060318181)
Nabilah Azka (10060318182)
Bella Triana (10060318183)
Gery Umami (10060318184)
Melati Salsabila (10060318185)
Muhammad Adril Maulana (10060318186)
Farmasi D

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2021 M/1442 H
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah ‫ﷻ‬, Tuhan semesta
alam yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang begitu besar telah memberikan
nikmat kepada hamba-Nya. Atas berkat rahmat, taufik dan hidayah-Nya tugas tgas
makalah ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan
kepada baginda Nabi Muhammad ‫ﷺ‬, keluarganya, para sahabatnya, dan semoga
sampai kepada umatnya yang senantiasa mengikuti ajarannya hingga akhir zaman.

Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini tidak akan terwujud tanpa
adanya bantuan, bimbingan, dan dorongan dari Ibu Miski Aghnia Khairinisa,
M.Biomed.Sc.,Ph.D., Apt sebagai dosen pengampu mata kuliah Farmakoterapi.
Sehingga penulis dapat mengerjakan dan menyelesaikan makalah ini. Oleh karena
itu, penulis menyampaikan terima kasih banyak kepada Ibu Miski.

Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan


pengalaman bagi para pembaca. Makalah ini kami sadari masih banyak kekurangan.
Oleh karena itu, saya harapkan kepada pembaca untuk memberikan masukan yang
bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Bandung, 20 Maret 2021

Penulis
I. Patofisiologi Asma
Asma adalah gangguan inflamasi kronik pada saluran napas dengan berbagai sel
yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil dan limfosit T. Pada individu yang
rentan inflamasi, mengakibatkan gejala episode mengi yang berulang, sesak napas,
dada terasa tertekan, dan batuk khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini
berhubungan dengan obstruksi saluran napas yang luas dan bervariasi dengan sifat
sebagian reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan (Padila, 2015)
Penyakit asma merupakan proses inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas
yang akan mempermudah terjadinya obstruksi jalan napas. Kerusakan epitel saluran
napas, gangguan saraf otonom, dan adanya perubahan pada otot polos bronkus juga
diduga berperan pada proses hipereaktivitas saluran napas. Peningkatan reaktivitas
saluran nafas terjadi karena adanya inflamasi kronik yang khas dan melibatkan
dinding saluran nafas, sehingga aliran udara menjadi sangat terbatas tetapi dapat
kembali secara spontan atau setelah pengobatan. Hipereaktivitas tersebut terjadi
sebagai respon terhadap berbagai macam rangsang (Soedarto. 2012).
Ketika suatu alergen atau pencetus asma masuk ke saluran napas, sel mast dan
Th2 akan teraktivasi. Sel sel tersebut akan menginduksi produksi beberapa mediator
seperti histamin, leukotrien, dan sitokin. Mediator mediator tersebut akan
memberikan tanda bahaya kepada sistem imun dan meminta bantuan untuk melawan
alergen yang datang dengan cara bekerja langsung pada otot polos atau dengan
rangsangan reseptor sensoris vagus. Selain itu, aktivitas sitokin menyebabkan
inflamasi berupa pembengkakan dinding bronkus serta peningkatan sekresi bronkus
(Zullies, 2011)
Gangguan fungsi tubuh akibat asma mayoritas disebabkan oleh penyempitan
jalan napas yang akan mempengaruhi seluruh struktur trakeobronkial. Penyebab
utama terjadinya obstruksi jalan napas adalah kontraksi otot polos bronkus
(bronkokonstriksi) yang disebabkan oleh pelepasan mediator agonis dari sel sel
inflamasi. Akibat obstruksi jalan napas ini, maka aliran udara menjadi sempit dan
menimbulkan bunyi “mengi”. Kontraksi otot polos jalan napas makin menguat
apabila terjadi penebalan dinding jalan napas akibat edema akut, deskuamasi sel
epitel serta sel radang, remodelling jalan napas dan peningkatan proliferasi pembuluh
darah (Zullies, 2011)
Ada 3 jenis asma menurut Somantri (2007) antara lain:
1. Asma alergenik atau ekstrinsik
Merupakan asma yang disebabkan karena terpapar oleh alergen seperti debu,
bulu, makanan, dan sebagainya. Asma jenis ini biasanya muncul sejak anak-anak.
2. Idiopatik atau non alergenik/intrinsik
Tipe asma ini merupakan jenis asma yang ditandai dengan adanya reaksi non
alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui,
seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran 10
pernapasan, emosi dan aktivitas. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering
sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkitis kronik dan
emfisema. Pada beberapa pasien, asma jenis ini dapat berkembang menjadi asma
gabungan. Bentuk asma ini biasanya dimulai pada saat dewasa (usia> 35 tahun).
3. Asma campuran
Asma campuran merupakan gabungan dari dua jenis asma yang telah
disebutkan sebelumnya dan asma ini paling umum terjadi.
Menurut Soedarto (2012) banyak faktor yang terlibat dalam terjadinya kejadian
asma, faktor faktor tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Jenis Kelamin
Beberapa penelitian didapatkan prevalensi kejadian dan derajat keparahan asma
pada anak laki laki lebih tinggi dibandingkan dengan anak perempuan dengan
perbandingan 2:1.20 Beberapa studi mendapatkan hasil bahwa prevalensi asma pada
anak laki laki dengan anak perempuan menunjukkan rasio 3:2 pada kelompok usia 6-
11 tahun dan mengalami peningkatan menjadi 8:5 pada kelompok usia 12-17
tahun.16 Sedangkan, pada saat dewasa prevalensi perempuan lebih tinggi mengidap
asma daripada laki laki.
2. Usia
Beberapa kasus asma persisten, menunjukkan bahwa gejala asma mulai muncul
pada usia muda, yaitu beberapa tahun pertama kehidupan. Penelitian Peat JK, dkk
mendapatkan hasil bahwa 25% anak dengan asma persisten mendapat serangan
mengi pada usia < 6 bulan, dan 75 % mendapat serangan mengi pada usia < 3 tahun.
Kemudian, 5% anak dengan asma persisten terbebas dari gejala asma pada usia 28-35
tahun, 60% tetap mendapatkan gejala yang sama seperti saat masa kanak, dan sisanya
mendapatkan serangan namun intensitasnya lebih ringan dibandingkan saat anak
anak.
3. Infeksi virus saluran pernapasan
Infeksi virus saluran pernapasan terutama oleh respiratory syncytial virus
(RSV) dan rhinovirus menjadi faktor risiko utama onset wheezing pada anak.25
Infeksi virus mengakibatkan terjadinya kerusakan epitel jalan napas. Infeksi RSV
berpengaruh terhadap produksi IgE, inflamasi jalan napas dan meningkatkan respon
jalan napas.24 Infeksi rhinovirus mempunyai hubungan dengan tingkat risiko
eksaserbasi asma, hal ini dapat terjadi akibat obstruksi saluran napas bawah, dan
pengobatan antiviral yang tidak adekuat.
4. Riwayat atopic
Atopik berpengaruh terhadap terjadinya asma persisten dan beratnya asma. 16
Penelitian oleh Platss-Mills TA, dkk menunjukkan bahwa pada anak usia 16 tahun
dengan riwayat asma atau mengi, akan mengalami serangan mengi dua kali lebih
banyak jika anak mempunyai riwayat rinitis alergi, hay fever, dan eksema.27 Riwayat
atopik orang tua juga berhubungan dengan besarnya risiko anak untuk menderita
penyakit alergi yang sama. Prevalensi asma pada anak yang tidak memiliki riwayat
atopik pada kedua orang tuanya sebesar 6%, sedangkan pada anak yang memilki
riwayat atopik orang tua didapatkan prevalensi 16%
5. Paparan allergen
Adanya alergen di lingkungan hidup anak berpengaruh terhadap risiko penyakit
asma.16 Alergen adalah setiap substansi yang dapat mencetuskan reaksi atopik
(diperantai IgE) di dalam tubuh. Alergen yang sering mencetuskan penyakit asma
antara lain serpihan kulit atau bulu binatang peliharaan, tungau debu rumah, serbuk
bunga, jamur dan partikel kecoa.
6. Obesitas
Pengaruh mekanik obesitas terhadap sistem pernapasan adalah gangguan
restriksi dengan penurunan volume paru tertentu serta penyempitan diameter saluran
napas perifer. Gangguan restriksi atau pengembangan paru dikarenakan penekanan
dan infiltrasi jaringan lemak didinding dada serta peningkatan volume darah paru.
Penurunan volume paru yang banyak pada penderita obesitas adalah menurunnya
nilai kapasitas residu fungsional (KRF) dan volume cadangan ekspirasi (VCE).
Penurunan KRF berhubungan dengan gangguan pengembangan paru yang
disebabkan oleh peningkatan tekanan intraabdominal terhadap difragma dan massa
lemak yang terdapat pada dinding dada. Selain itu penyempitan jalan napas akibat
tekanan mekanik dapat menimbulkan hiperesponif saluran napas.
Menurut McPhee & Ganong (2007) terapi obat bagi penderita asma didasarkan
pada intensitas penyakitnya, pentalaksanaan asma meliputi:
1. Pencegahan dengan mengenali dan menghindari faktor-faktor presipitasi,
seperti alergen, atau iritan untuk mencegah serangan asma.
2. Penilaian dan pengawasan intensif keparahan asma dan kontrol asma.
3. Desensitisasi terhadap antigen tertentu untuk mengurangi keparahan serangan
asma selama pajanan selanjutnya terhadap alergen.
4. Pemberian obat jenis bronkodilator untuk mengurangi bronkokonstriksi,
mengurangi edema pada jalan nafas bronkial, dan meningkatkan ventilasi
pulmonal. Obat-obat golongan metilxantin (teofilin serta aminofilin) dan agonis
adrenergik-beta2 (albuterol dan terbutalin).
5. Pemberian kortikosteroid (seperti hidrokortison sodium suksinat, prednison,
metil prednisolon dan beklometason) untuk memberikan efek anti-inflamasi
dan imunosupresi yang akan mengurangi edema pada jalan nafas.
6. Pemberian obat stabilisator sel mast (natrium kromolin dan natrium
nedokromil) yang efektif bagi penderita asma atopik dengan serangan musiman
(diberikan sebagai terapi profilaksis, obat ini menyekat efek obstruksi akut yang
terjadi karena pajanan antigen). Penyekatan efek obstruksi yang akut ini
berlangsung lewat penghambatan degranulasi sel mast dengan demikian dapat
mencegah pelepasan mediator kimia yang menjadi penyebab reaksi anafilaktik.
7. Pemberian obat-obat yang mengubah leukotrien seperti zileuton (Zyflo) dan
antagonis reseptor leukotrien (LTRAs) seperti montelukas (Singulair) serta
zafirlukas (Accolate) akan menghambat efek bronkokonstriksi dan inflamasi
yang ditimbulkan oleh leukotrien sisteinil. LTRAs dapat digunakan sebagai
terapi tambahan untuk menghindari pemberian kortikosteroid inhalasi dosis
tinggi. Obat ini tidak menggantikan kortikosteroid inhalasi sebagai anti-
inflamasi yang pertama, LTRAs dapat dipakai pada kasus-kasus ketika
kepatuhan dalam menggunakan kortikosteroid inhalasi diragukan.

II. Guidline Terapi Asma

Tinggi Ics Atau Dosis Rendah Ics-Laba)


 Penderita dengan gejala asma hampir setiap hari atau terbangun karena asma
1/> dalam seminggu
 Pada asma tidak terkontrol atau eksaserbasi akut
 Pertimbangkan untuk menurunkan perlahan dosisnya setelah asma terkontrol
dengan baik selama 3 bulan
1. Controller medication Merupakan obat yang digunakan untuk mengontrol
munculnya gejala asma secara regular. Obat ini menurunkan inflamasi jalan napas,
mengendalikan gejala, menurunkan risiko eksaserbasi, dan mencegah penurunan
fungsi paru
2. Reliever (rescue) medication Merupakan obat yang digunakan untuk meredakan
gejala pada saat serangan asma, misalnya saat perburukan atau eksaserbasi, atau saat
terjadinya bronkhokontriksi pada saat berolahraga
3. Add-ontherapy Digunakan pada pasien dengan asma berat , mulai dipertimbangkan
jika pasien mengalami gejala asma persisten dan eksaserbasi yang terus menerus
walaupun sudah diberikan terapi secara optimal

III. Pembahasan

3.1 Jenis Obat


3.1.1 Azithromycin
Azithromycin merupakan antibiotik golongan makrolida yang diberikan
secara oral. Mekanisme kerja dari azithromycin adalah dengan berikatan pada
ribosom subunit 50 S sehingga mengganggu sintesis protein bakteri. Apabila
dibandingkan dengan eritromisin maka azitromisin memiliki aktivitas yang lebih baik
untuk melawan bakteri gram negatif seperti Haemophilus Influenzae, Moraxella
Catarrhalis, E.Coli, Salmonella, Toxoplasma gondii dan Shigella (AHFS, 2011).
Azithromycin diindikasikan pada infeksi ringan sampai sedang yang
disebabkan mikroorganisme yang sensitif terhadap azithromycin yaitu infeksi saluran
napas atas (tonsilitis, faringitis), infeksi saluran napas bawah (bronkitis, pneumonia),
infeksi kulit dan jaringan lunak, penyakit menular seksual (uretritis, servisitis yang
berkaitan dengan Chlamydia trachomatis, Ureaplasma urealyticum, dan Neisseria
gonorrhoeae) (AHFS, 2011).
Efek samping azitromisin yang muncul adalah mual, muntah, diare, kembung,
flatulensi, palpitasi, nyeri dada, dispepsia, dan nyeri pada perut. Gugup, ruam kulit,
melena dan jaundice kolestatik, monilia, vaginitis dan nefritis, pusing, sakit kepala,
vertigo, somnolence, letih, fotosensitifitas dan shock anafilaksis juga dilaporkan
terjadi pada pemakaian azitromisin. (AHFS, 2011).
Dosis tablet azitromisin untuk dewasa yaitu 500 mg 1x/hari selama 3 hari.
untuk anak 5-20 mg/Kg BB 1x/hari selama 3-5 hari (Ikatan Apoteker Indonesia,
2014: 123).

3.1.2 Salbutamol
Salbutamol merupakan obat bronkodilator pada asma yaitu golongan β 2-
agonis yang memberikan efek relaksasi otot polos saluran pernafasan untuk
mengurangi gejala asma (Boulet, 2004). Obat golongan β-agonis merupakan
bronkodilator yang paling efektif digunakan dalam terapi asma (Kim and Story,
2008). Bronkodilator β2-agonis digunakan pada semua step dalam guideline terapi
asma karena dapat digunakan sebagai terapi kontrol maupun terapi serangan asma
akut (Global Initiative for Asthma, 2015).
Salbutamol mempunyai OOA (Onset of Action) cepat dan DOA (Duration of
Action) pendek atau biasa disebut sebagai Short Acting β2-Agonist (SABA) (Sears et
al., 2004). Mekanisme kerja dari obat golongan β2-agonis adalah dengan berikatan
dengan reseptor β2-adrenergik pada otot bronkus yang kemudian akan berpasangan
dengan protein G. Sinyal yang dihasilkan dari ikatan reseptor tersebut akan
menghasilkan siklik adenosin monofosfat (cAMP) intraseluler yang kemudian akan
menurunkan aktivitas dari efektor seperti protein kinase A (PKA) atau Epac. Aktivasi
dari siklik tersebut akan menurunkan kadar Ca2+ intraseluler dan mengaktivasi kanal
K+ dengan konsekuensi hiperpolarisasi dari membran sel otot polos saluran nafas
yang kemudian menimbulkan relaksasi otot (Ricciardolo et al., 2015).
Bentuk sediaan oral salbutamol adalah tablet 2 mg dan 4 mg (Cathomas et al.,
2006):
a. Dewasa dan anak (usia 12 tahun lebih): dosis awal 2-4 mg 3-4 kali sehari dan
tidak lebih dari 32 mg dalam sehari (Depkes RI, 2007).
b. Anak-anak 6-12 tahun: 2 mg sebanyak 3 atau 4 kali sehari (Depkes RI, 2007).
c. Pasien lanjut usia dan sensitif terhadap stimulan β adrenergik: dosis awal 2 mg, 3
atau 4 kali sehari. Jika bronkodilatasi tidak tercapai, dosis dapat ditingkatkan
menjadi 8 mg, 3 atau 4 kali sehari (Depkes RI, 2007).
Salbutamol memiliki efek seperti agonis beta lainnya, dapat menyebabkan
tremor otot rangka (terutama tangan), palpitasi, takikardia, ketegangan saraf, sakit
kepala, vasodilatasi perifer, dan jarang terjadi kram otot (Sweetman, 2009).

3.1.3 Dexamethasone
Kortikosteroid seperti deksametason bekerja dengan cara mempengaruhi
kecepatan sintesis protein. Molekul hormon memasuki sel jaringan melalui membran
plasma secara difusi pasif di jaringan target, kemudian bereaksi dengan reseptor
protein yang spesifik dalam sitoplasma sel jaringan dan membentuk kompleks
reseptor steroid. Kompleks ini mengalami perubahan konformasi, lalu bergerak
menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi
RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini merupakan perantara
efek fisiologik steroid (Suherman, 2007).
Efek terapeutik glukokortikoid seperti deksametason yang paling penting
adalah kemampuannya untuk mengurangi respons peradangan secara dramatis dan
untuk menekan imunitas. Telah diketahui bahwa penurunan dan penghambatan
limfosit dan makrofag perifer memegang peranan. Juga penghambatan fosfolipase A2
secara tidak langsung yang menghambat pelepasan asam arakidonat, prekursor
prostaglandin dan leukotrien, dari fosfolipid yang terikat pada membran (Mycek,
2001).
Kortikosteroid merupakan pengobatan jangka panjang yang paling efektif
untuk mengontrol asma dan memiliki efek utama mengurangi proses inflamasi pada
dinding saluran nafas, menekan ekspresi berbagai gen inflamasi pada saluran nafas
dan memperbaiki hiperresponsif bronkus (Rozaliyani dkk, 2011).
Indikasi deksametason adalah peradangan, asma bronkial, artritis reumatoid,
rinitis alergi, dan gelaja alergi lainnya. Dosis tablet deksametason yang digunakan
untuk dewasa: sehari 0,5- 10 mg (rata-rata sehari 1,5-3 mg) untuk anak-anak: 0,08-3
mg/Kg BB/hari dibagi dalam 3-4 dosis (Ikatan Apoteker Indonesia, 2014: 280)
Efek samping pemberian deksametason antara lain terjadinya insomnia,
osteoporosis, retensi cairan tubuh, glaukoma dan lain-lain (Suherman, 2007).

3.1.4 N-Asetilsistein
Mekanisme mukolitik asetilsistein berhubungan dengan kelompok sulfhidril
pada molekul, yang bekerja langsung untuk memecahkan ikatan disulfide antara
ikatan molekuler mukoprotein, menghasilkan depolimerisasi dan menurunkan
viskositas mucus. Aktivitas mukolitik pada asetilsistein meningkat seiring dengan
peningkatan pH (Muchid et al., 2007).
Indikasi N-Asetilsistein (NAC) yaitu mukolitik pada bronkial akut dan kronik,
paru dengan mukus yang tebal. Dosis yang digunakan untuk dewasa dan anak >14
tahun: dalam 2-3x sehari 1 kapsul 200 mg. untuk anak 6-14 tahun: sehari 2 kali 1
kapsul 200 mg. Efek samping untuk n-asetilsistein yaitu adema, pusing, sakit kepala,
diare (Ikatan Apoteker Indonesia, 2014: 476).
NAC telah digunakan secara klinis selama lebih dari 30 tahun dan bekerja
secara primer sebagai mukolitik dan memiliki efektivitas tambahan sebagai
pengurangan GSH atau stres oksidatif. NAC memiliki efek antioksidan baik secara
langsung maupun tidak langsung melalui fungsinya sebagai prekursor antioksidan
GSH. NAC dimetabolisme oleh tubuh dengan cepat menjadi sistein yang merupakan
prekursor sintesis GSH intraseluler, sehingga kebutuhan GSH intraseluler dapat
dipenuhi oleh NAC. NAC juga dapat menurunkan sekresi mukosa sehingga dapat
memperbaiki transpor mukosiliar serta menghambat pertumbuhan biofilm (Depkes
RI, 2007).
3.3 Ketepatan Pengobatan
Dalam resep ini pasien diberikan 4 obat yaitu antibiotik azitromisin,
salbutamol, dexamethasone dan N-asetil sistein. Pemberian antibiotik diduga karena
pasien mengidap asma akibat terjadi infeksi bakteri pada saluran pernapasan sehingga
menyebabkan inflamasi dan diberikan antibiotik berupa azitromisin. Pada resep
diberikan 1 kali sehari 1 tablet 500 mg telah sesuai dengan pedoman dosis azitromisin
untuk indikasi infeksi saluran pernapasan.

(Global Strategy for Asthma Management and Prevention, Global Initiative for Asthma Pocket Guide Updated
2020)

Untuk tatalaksana asma telah sesuai dengan guideline terapi asma dari GINA
(2020) pada step 5 pada pilihan alternatif yaitu penggunaan obat-obatan OCS
(kortikosteroid oral) dan SABA (Short-Acting β2 Agonist). Tatalaksana asma
ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan napas digunakan 2
jenis obat asma berupa controller medications dan reliever medications.
Pelega (Reliever medication) yang berfungsi untuk dilatasi jalan napas
melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang
berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak
memperbaiki inflamasi jalan napas. Salah satu golongan pelega adalah agonis beta 2
kerja singkat (SABA) pada resep ini digunakan salbutamol. Dari resep yang
diberikan, salbutamol diberikan dalam bentuk tablet dengan pemakaian 2 kali dalam
sehari sebanyak 2 mg. Hal tersebut telah sesuai dengan pedoman pemberian dosis
salbutamol yaitu dewasa dan anak (usia 12 tahun lebih): dosis awal 2-4 mg tidak
lebih dari 32 mg dalam sehari (Depkes RI, 2007).
Pengontrol (Controllers medication) adalah medikasi asma jangka panjang
untuk mengontrol asma, mengurangi peradangan saluran napas, mengendalikan
gejala, dan mengurangi risiko eksaserbasi dan penurunan fungsi paru. Pengontrol ini
bekerja sebagai antiinflamasi, yang termasuk obat pengontrol adalah kortikosteroid
sistemik dalam resep ini digunakan dexamethason oral dosis kecil. Berdasarkan
resep, dexamethason diberikan dalam bentuk tablet dengan pemakaian tablet 0,5 mg 2
kali sehari. Hal tersebut telah sesuai dengan pedoman pemberian dosis dexamethason
yaitu untuk dewasa: sehari 0,5- 10 mg (rata-rata sehari 1,5-3 mg) (Ikatan Apoteker
Indonesia, 2014: 280). Selain itu deksametason merupakan salah satu kortikosteroid
sintetis terampuh, kemampuannya dalam menanggulangi peradangan dan alergi
kurang lebih sepuluh kali lebih hebat daripada yang dimiliki prednisone (Katzung,
1998).
NAC adalah obat penunjang untuk terapi asma Muchid et al (2007).
Asetilsistein merupakan terapi tambahan pada pasien untuk sekresi mukus yang tidak
normal, kental pada penyakit bronko pulmonari kronik (emfisema kronik, emfisema
pada bronchitis, bronchitis asma kronik, tuberculosis, amyloidosis paru-paru) dan
penyakit bronko pulmonari akut (pneumonia, bronchitis, trakeobronkitis). Fluimucil
merupakan nama dagang dr N - asetilsistein diresepkan juga sebagai obat tambahan
untuk sekresi mukus yang tidak normal dan kental. Pada resep diberikan asetilsistein
kapsul 200 mg untuk 3x sehari, dimana resep ini telah sesuai dengan pedoman yaitu
untuk dewasa dan anak >14 tahun: dalam 2-3x sehari 1 kapsul 200 mg (Ikatan
Apoteker Indonesia, 2014: 280).
IV. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa resep, azitromisin digunakan sebagai antibiotik
golongan makrolida. Salbutamol digunakan sebagai bronkodilator pada asma
golongan β2-agonis, kortikosterid (deksametason) sebagai pengontrol untuk
antiinflamasi dan N-asetilsitein sebagai mukolitik pada bronkial akut dan kronik. Dari
kajian obat dan hasil ketepatan dosis, sudah sesuai dengan terapi guidline untuk
pengobatan asma, dimana pasien diduga mengalami infeksi pada saluran pernafasan
yang menimbulkan inflamasi sehingga menyebabkan asma.
V. Daftar Pustaka
American Society of Health System Pharmacists. 2011. AHFS Drug Information.
United States of America.
Boulet, L.P., 2004. Q & A on Asthma Control. CME Workshop.
Cathomas, R., Hartmann, K., Havryk, A., Joerger, M., Kuhn, M., Paterson, J.W.,
Robinson, T.D., and Seale, J.P., 2005. In: Aronson, J.K. Meyler’s Side Effect
of Drugs: The International Encyclopedia of Adverse Drug Reaction an
Interaction, Ed. 15th, Oxford: Elsevier.
Departemen Kesehatan RI. 2007. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Asma. Jakarta:
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan
Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI.
Departemen Kesehatan RI. 2007. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Asma.
Departemen Kesehatan RI.
Global Initiative for Asthma. 2015. Pocket Guide for Asthma Management and
Prevention. Global Initiative for Asthma.
Ikatan Apoteker Indonesia. 2014. ISO Informasi Spesialite Obat Indonesia, Volume
49, 2014 s/d 2015. Jakarta: PT ISFI Penerbitan.
Katzung, B.G. (1998). Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi VIII. Alih Bahasa: Dripa
Sjabana dkk
McPhee, G. 2007. Patofiologi Penyakit 5th ed. Jakarta: EGC

McPhee, G. 2007. Patofisiologi Penyakit 5th ed. Jakarta: EGC


Muchid, A., Wurjati, R., Chususn, Komar, Z., Purnama., NR., Masrul, dkk, 2007,
Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Asma, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta
Mycek, M. J, Harvey, R.A. dan Champe, P.C. 2001. Farmakologi Ulasan
Bergambar 2nd ed. H. Hartanto, ed. Jakarta: Widya Medika.
Padila. 2015. Asuhan Keperawata Maternitas II. Yogyakarta: Nuha Medika

Padila. 2015. Asuhan Keperawatan Maternitas II. Yogyakarta: Nuha Medika


Ricciardolo, F.L.M., Blasi, F., Centanni, S., and Rogliani, P., 2015. Therapeutic
novelties of inhaled corticosteroid and bronchodilators in asthma. Pulmonary
Pharmacology & Therapeutics, xxx.
Rozaliyani A., Susanto A.D., Swidarmoko B. and Yunus F. 2011. Mekanisme
Resistens Kortikosteroid Pada Asma. Jakarta: Departemen Pulmonologi dan
Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI-RS Persahabatan.
Sears, M.R., and Lotvall, J., 2005. Past, present and future-β2-adrenoceptor agonist
in asthma management. Respiratory Medicine, 99, pp.152-170.
Soedarto. 2012. Alergi dan penyakit sistem imun. Jakarta: Sagung Seto.

Soedarto. 2012. Alergi dan penyakit sistem imun. Jakarta: Sagung Seto.
Somantri I. 2007. Keperawatan medikal bedah: Asuhan Keperawatan pada pasien
gangguan sistem pernafasan. Jakarta: Salemba Medika
Somantri I. 2007. Keperawatan medikal bedah: Asuhan Keperawatan pada
pasien gangguan sistem pernafasan. Jakarta: Salemba Medika
Suherman, SK, Ascobat P. 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Gaya
Baru
Sweetman, S.C., 2009. Martindale: The Complete Drug Reference. 36th Ed. London:
Pharmaceutical Press.
Zullies, Ikawati. 2011. Pengantar Farmakologi Molekuler. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press:
Zullies, Ikawati. 2011. Pengantar Farmakologi Molekuler. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.

Anda mungkin juga menyukai