Anda di halaman 1dari 117

ANALISIS PERBEDAAN HUBUNGAN STATUS GIZI

DENGAN KEJADIAN ISPA BALITA DI KOTA KENDARI


DENGAN KABUPATEN BUTON UTARA

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Strata Sarjana (S1)


Pada Program Studi Sarjana Kedokteran

Oleh:

Nur Afni Manan


K1A1 15 034

PROGRAM STUDI SARJANA KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2021
PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertandatangan dibawah ini :

Nama : Nur Afni Manan.

NIM : K1A1 15 034.

Program Studi : Sarjana Kedokteran.

Judul : Analisis Perbedaan Hubungan Status Gizi dengan

Kejadian ISPA Balita Di Kota Kendari dengan Kabupaten

Buton Utara.

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa hasil penelitian yang saya tulis ini benar –
benar merupakan tulisan saya sendiri, bukan merupakan pengambilan tulisan atau
pemikiran orang lain. Apabila kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan
bahwa sebagian atau keseluruhan tulisan ini tulisan karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut. Demikian pernyataan ini dibuat
dengan sebenarnya, agar dapat dimanfaatkan sebagaimana mestinya.

Kendari, 8 Maret 2021


Yang menyatakan

Nur Afni Manan


K1A1 15 034
ABSTRAK
ANALISIS PERBEDAAN HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN
KEJADIAN ISPA BALITA DI KOTA KENDARI DENGAN KABUPATEN
BUTON UTARA
Oleh:

Nur Afni Manan

K1A1 15 034

Latar belakang . Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit infeksi akut
yang menyerang saluran pernapasan mulai dari hidung hingga paru. Balita dengan status
gizi kurang menjadi faktor risiko terjadinya ISPA. Di Sulawesi Tenggara, ISPA
merupakan penyakit yang selalu masuk dalam daftar 10 penyakit tersering. Sementara itu,
di Kota Kendari dan Kabupaten Buton Utara merupakan daerah yang penduduknya paling
banyak mengalami status gizi kurang. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis
perbedaan hubungan status gizi dengan ISPA Balita di Kota Kendari dengan Kabupaten
Buton Utara.

Metode. Desain penelitian ini menggunakan case control study dengan jumlah sampel
68 balita yang berkunjung di Puskesmas Poasia dan Abeli Kota Kendari dan 68 balita
yang berkunjung di Puskesmas Waode Buri dan Kulisusu Kabupaten Buton Utara. Data
diolah dengan menggunakan uji Chi-Square dan Mann Whitney.

Hasil. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan status gizi dengan kejadian
ISPA Balita di Kota Kendari dengan nilai p value = 0,000. Selain itu, terdapat pula
hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA Balita di Kabupaten Buton Utara
dengan nilai p value = 0,000. Sementara itu, tidak didapatkan perbedaan hubungan
antara status gizi dengan Kejadian ISPA Balita di Kota Kendari dengan di Kabupaten
Buton Utara dengan Asymp. Sig. (2-tailed) = 0,731.

Simpulan. Terdapat hubungan bermakna antara status gizi dengan kejadian ISPA Balita
di Kota Kendari dan Kabupaten Buton Utara, dan tidak terdapat perbedaan hubungan
antara status gizi dengan kejadian ISPA Balita di Kota Kendari dengan Kabupaten Buton
Utara.

Kata Kunci. ISPA, Balita , Status Gizi, Kota Kendari, Kabupaten Buton Utara.
ABSTRACT

ANALYSIS OF THE DIFFERENCES RELATIONSHIP OF RISK NUTRITION


STATUS ON THE INCIDENCE OF ARI IN CHILDREN IN KENDARI CITY
WITH NORTH BUTON REGENCY
By:
Nur Afni Manan

K1A1 15 034

Background. Acute Respiratory Infection (ARI) is an acute infectious disease that


attacks the respiratory tract from the nose to the lungs. Toddlers with poor nutritional
status are a risk factor for ARI. In Southeast Sulawesi, ARI is a disease that is always
included in the list of 10 most common diseases. Meanwhile, Kendari City and North
Buton Regency are the areas where the population has the most malnutrition status. The
purpose of this study was to analyze the differences in the relationship between the
nutritional status at risk of ARI in children under five in Kendari City and North Buton
Regency
Method. The research design used a case control study with a sample size of 68 toddlers
who visited the Puskesmas Poasia and Abeli Kendari City and 68 toddlers who visited the
Puskesmas Waode Buri and Kulisusu North Buton Regency. The data were processed
using the Chi-Square test and Mann Whitney.
Result. The results showed that there was a relationship between nutritional status and
the incidence of ARI in Kendari City with p value = 0.000. In addition, there is also a
relationship between nutritional status and the incidence of ARI in children under five in
North Buton Regency with a p value = 0,000. Meanwhile, there was no difference in the
relationship between nutritional status and the incidence of ARI under five in Kendari
City and North Buton Regency with Asymp. Sig. (2-tailed) = 0.731.
Conclusion. There is a significant relationship between risk nutritional status and the
incidence of ARI in Kendari City and North Buton Regency, and there is no difference in
the relationship between risk nutritional status and the incidence of ARI in Kendari City
and North Buton Regency.
Keywords: ISPA, Toddler, Nutritional Status, Kendari City, North Buton Regency.
.
KATA PENGANTAR

‫س ِم هَّللا ِ ال َّر ْح َم ِن ال َّر ِحيم‬


ْ ِ‫ب‬
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala

rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan hasil penelitian

yang berjudul “Analisis Perbedaan Hubungan Status Gizi dengan Kejadian

ISPA Balita di Kota Kendari dengan Kabupaten Buton Utara” untuk

memenuhi persyaratan mencapai strata sarjana (S-1) pada Program Studi Sarjana

Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Melalui kesempatan ini penulis sampaikan segala rasa hormat dan cinta

penulis sebagai wujud bakti, penghargaan dan terima kasih yang tak hingga

kepada orang tua penulis, Ibunda tercinta Nafsia, S.Pd,SD dan Ayahanda tercinta

Abdul Manan, S.Pd yang telah bersabar dalam mengasuh, mendidik,

membesarkan, memberi kasih sayang, dukungan, semangat dan motivasi serta doa

yang tiada henti kepada penulis. Tak lupa pula penulis ucapkan terima kasih

kepada nenek penulis Almarhumah Ziyna binti Lazuhiba dan kakek penulis

Almarhum Faaziu bin Ladende dari orang tua mama penulis dan penulis

mengucapkan terima kasih kepada nenek penulis Almarhumah Wa Oji binti La

Unto dan kakek penulis Almarhum La Inga bin La Bada dari orang tua bapak

penulis. Selain itu penulis mengucapkan terima kasih kepada adik-adik tercinta

Afif Manan, Fatni Manan, dan Delfi Manan, Kakak sepupu penulis Fitria M.Z

S.Kom, Suami Fitria Samiludin, S.Kom, adik sepupu penulis Nur Rahmatia

Pratama Zani, Suci Ramadhani, Putri Sauda, Mochammad Nur Salam, Ainur
Fakriyah Kopral, Indrawati, Muhammad Fahmi, Fathul Huda Mohamad, Fatimah

Mohamad, Rahayu Mohamad, serta seluruh keluarga besar atas segala kasih

sayang, bantuan dan doa yang telah diberikan kepada penulis selama ini.

Penulis juga tak lupa mengucapkan terima kasih kepada keluarga besar

paman Septu La Kasmin, Kahar, S.Pd.I, Parman Mohammad, S.Kom, Imran,

Irwan, Sahariadi, Usman Saeni, Zaharudin serta kepada keluarga besar bibi

Zalina, Sumarni, Zuhuria, S.Pd, Masriani tasiu, Nasia, Nursia, Umiati Inga,

Hariati yang telah senantiasa memberikan bantuan, nasihat serta telah

memperhatikan peneliti selama peneliti menjalani perkuliahan hingga selesai.

Semoga ALLAH SWT selalu melindungi dan melimpahkan rahmat-Nya kepada

mereka.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. dr I Putu Sudayasa, M.Kes

selaku pembimbing pertama dan pembimbing akademik selama berkuliah dan

Ida Mardhiah Afrini Kasman Arifin, SKM, M.Kes selaku pembimbing kedua

penulis yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam membimbing

penulis dengan tulus hati sejak awal penyusunan proposal sampai terselesaikannya

hasil penelitian ini.

Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-

besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Muhammad Zamrun F,S.Si, M.Si, M.Sc selaku Rektor Universitas

Halu Oleo.

2. Prof. Dr. Nur Nasry Noor, MPH selaku Konsultan Ahli Fakultas Kedokteran

Universitas Halu Oleo.


3. Dr. dr. Hj. Juminten Saimin, Sp.OG(K) selaku Dekan Fakultas Kedokteran

Universitas Halu Oleo.

4. Dr. dr. I Putu Sudayasa, M.Kes selaku Wakil Dekan I, Parawansah,

S.Farm,Apt, M.Kes selaku Dekan II, dan drg Sulastrianah, M.Kes,Sp.Perio

selaku Wakil Dekan III Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

5. dr. Wa Ode Sitti Asfiah Udu, M.Sc,Sp.A selaku Ketua Jurusan Fakultas

Kedokteran Universitas Halu Oleo dan dr Arimaswati, M.Sc selaku Ketua

Program Studi Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

6. dr. H Juriadi Paddo, M.Kes, Ns. La ode Alifariki, S.Kep, M.Kes, Ns. Waode

Syahrani Hajri, S.Kep, M.Kep selaku tim penguji atas kritik dan sarannya

yang bersifat membangun yang telah diberikan kepada penulis.

7. Dr. dr I Putu Sudayasa, M. Kes selaku penasihat akademik yang telah banyak

memberikan saran dan arahan selama perkuliahan sampai selesai.

8. Seluruh Dosen dan Staf Administrasi Fakultas Kedokteran Universitas Halu

Oleo yang telah membantu dan mengarahkan penulis selama perkuliahan.

9. Seluruh teman seperjuangan VER7EBRAE angkatan 2015 FK UHO atas ilmu,

semangat, hiburan dan motivasi yang diberikan selama menjalani perkuliahan

dan selama menyelesaikan tugas akhir penulis.

10. Sahabat-sahabat terbaik penulis Harton, S.Ked, Nurzulifa, S.Ked, Wilda

Lestari Ayu, S.Ked, Sri Arbiati, S.Ked, Usa Andriani, S.Ked, Nopianti, S.Ked,

Ahmad Syawal Wahyono, S.Ked, Rahmawati,S.Ked, Nining Milasari, S.Ked,

Fandri Rizki Andriawan, Sitti Suhaddah, atas bantuan, dukungan dan

semangatnya selama pengerjaan skripsi penulis dari awal hingga akhir.


11. Tim riset ISPA Sitti Mujahida, S.Ked, I Dewa Ayu Meyta, S.Ked ,Riski

Vinalia Agaus, S.Ked yang telah membantu dan saling menyemangati selama

mengerjakan tugas akhir.

12. Kakak-kakak senior angkatan 2009, 2010, 2011, 2012, 2013, 2014 dan adik-

adik angkatan 2016, 2017, 2018, 2019, 2020.

13. Ucapan Terima Kasih yang sebesar besarnya kepada Kepala Puskesmas Abeli,

Kepala Puskesmas Poasia di Kota Kendari dan Kepala Puskesmas Waode

Buri, Kepala Puskesmas Kulisusu di Kabupaten Buton Utara.

14. Ucapan Terima kasih yang sebesar besarnya kepada Bapak La Ode Hasan,

S.sos,Msi atas bantuan, motivasi, arahan dan bimbingannya kepada penulis

sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir.

15. Ucapan terima kasih yang sebesar besarnya kepada guru / dosen kami tercinta

Dr. dr. I Putu Sudayasa, M.Kes, Dr.dr Asriati, M.Kes, dr. Rhenislawaty,

dr. Raja Alfath Widya Iswara, MH, Sp. FM, dan dr Arimaswati, M.Sc serta

semua guru / dosen yang lainnya ,atas ilmu yang diberikan, motivasi, arahan

dan bimbingannya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir.

16. Keluarga besar MRC (Medical Research Club) yang telah memberikan

pelajaran dan pengalaman yang sangat berharga dan tidak mungkin

terlupakan.

17. Terima kasih atas motivasi, dukungannya serta doanya terkhusus buat sahabat

kecilku Riska Purwanti, S.E,dan Yati Melya Putri Dani, S.Farm.

18. Kepada Bripda Andi, Bripda Ardilan, Bripda Muh. Syukran Arsan, Muh

Safrizal, M.Nur Firman Safitra, S.Tr. Pel, Safi, Iman Pabila, Muhammad
Fiysyabilillah, S.E, Muhammad Arif Djirimu, S.H. Aris H, S.Pd, Muhammad

Ali Ode, S.Pd, terima kasih atas motivasi, serta doa yang telah diberikan

kepada penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas akhir.

19. Ucapan terima kasih buat Nurul Isra H, Uswatun, Aslia Abas, Wa

Ani,Trisnaning Maulidya, Niar, Astia Ningsih, Wa Ode Irna, S.Si, Selti

Aprilia, S.E, Ns. Rinawati Irwan, S.Kep, Rislawati Imran, S.KM, Febriana

Dian Musra, S.Pd, kak Wa Ode Nafisah Wahid, S.Ked, kak Iko, kak Nurlin

Uru, Gustiani Dian Musran, S.KM .

20. Terima kasih atas dukungan, motivasi serta doa dari teman teman ALUMNI

SDN 2 Bonebone, ALUMNI SMPN 3 Baubau, dan ALUMNI SMAN 1

Baubau.

21. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini, yang tidak

dapat penulis sebutkan satu persatu.

Akhir kata penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih banyak

kekurangan baik materi maupun teknik penulisannya. Oleh karena itu penulis

mengharapkan saran dan kritik yang bersifat konstruktif dari pembaca dalam

rangka perbaikan hasil penelitian ini. Terlepas dari kekurangan yang ada, semoga

karya ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Aamiin Yaa Rabbal ‘Aalamiin.

Kendari, 8 Maret 2021

Nur Afni Manan


DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL.....................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN......................................................................ii
PERNYATAAN KEASLIAN......................................................................iii
ABSTRAK.....................................................................................................iv
ABSTRACT..................................................................................................v
KATA PENGANTAR..................................................................................vi
DAFTAR ISI.................................................................................................xi
DAFTAR TABEL.........................................................................................xiii
DAFTAR GAMBAR....................................................................................xiv
DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN....................................xv
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................xviii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...............................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................4
C. Tujuan penelitian...........................................................................5
D. Manfaat Penelitian.........................................................................5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A.Tinjauan Umum Variabel...............................................................7
B. Kerangka Teori..............................................................................37
C. Kerangka Konsep...........................................................................38
D. Hipotesis Penelitian.......................................................................39
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian.....................................................................40
B. Waktu dan Lokasi Penelitian.........................................................41
C. Populasi dan Sampel......................................................................41
D. Teknik Pengumpulan data.............................................................44
E. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif....................................45
F. Analisis Data..................................................................................46
G. Alur Penelitian...............................................................................49
H. Etika Penelitian..............................................................................50
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian..............................................51
B. Hasil Penelitian..............................................................................60
C. Pembahasan...................................................................................69
D. Keterbatasan Penelitian..................................................................78
BAB V PENUTUP
A. Simpulan........................................................................................79
B. Saran..............................................................................................79
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................80
Lampiran........................................................................................................83
DAFTAR TABEL

Nomor Tabel Judul Tabel Halaman


Tabel 1 Indeks Status Gizi Balita 30

Tabel 2 Distribusi Penduduk wilayah kerja puskesmas 54


poasia
Tabel 3 Luas Wilayah jumlah kelurahan, jumlah 56
penduduk, jumlah rumah tangga dan kepala
keluarga UPTD Puskesmas Abeli tahun 2019
Tabel 4 Karakteristik sampel penelitian di Kota Kendari 60
Tabel 5 Karakteristik sampel penelitian di Kabupaten 62
Buton utara
Tabel 6 Karakteristik dasar subjek penelitian di Kota 64
Kendari berdasarkan status gizi
Tabel 7 Karakteristik dasar subjek penelitian di Kabupaten 65
Buton Utara berdasarkan status gizi
Tabel 8 Analisis Hubungan status gizi berisiko dengan 66
kejadian ISPA Balita di Kota Kendari
Tabel 9 Analisis Hubungan status gizi berisiko dengan 67
kejadian ISPA Balita di Kabupaten Buton Utara
Analisis Perbedaan hubungan status gizi dengan
kejadian ISPA Balita di Kota Kendari dengan
Table 10 Kabupaten Buton Utara 68

DAFTAR GAMBAR
Nomor Gambar Judul Gambar Halaman
Gambar 1 Kerangka Teori 37
Gambar 2 Kerangka Konsep 38
Gambar 3 Bagan Penelitian case control 40

Gambar 4 Alur Penelitian 49

Gambar 5 Peta Wilayah Kerja Puskesmas Poasia 52

Gambar 6 Peta Wilayah Kerja Puskesmas Abeli 55

DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN

Lambang dan Singkatan Arti dan Keterangan

ASI Air Susu Ibu


A Jumlah sampel kasus/kontrol

BB Berat Badan

BBLR Berat badan lahir rendah


BCG Bacillus Calmette Guerin

BB/TB Berat Badan terhadap Tinggi Badan

BB/U Berat Badan terhadap Umur

BT Bujur timur
B Jumlah total sampel kasus/kontrol

CI Contidense Interval

DPT Difteri, Pertusis, Tetanus


Depkes Departemen Kesehatan
Ha Hektar

Ha Hipotesis Alternatif

H0 Hipotesis nol
IMT/U Indeks Massa Tubuh menurut umur
ISPA Infeksi Saluran Pernapasan Akut
KB Keluarga berencana
KIA Kesehatan Ibu Anak
Km2 Kilometer persegi

Km Kilometer
Kemenkes Kementrian Kesehatan

LL Lower Limit

LS Lintang Selatan
m Meter

m2 Meter Persegi
N Total Sampel yang dibutuhkan/pupulasi

n Sampel
nakes Tenaga Kesehatan
n1 Jumlah subjek kelompok 1

n2 Jumlah subjek kelompok 2

Permenkes Peraturan Menteri Kesehatan

PUSTU Puskesmas pembantu


PNS Pegawai Negeri Sipil
P1 Perkiraan Proposisi kasus
P2 Perkiraan Proposisi kontrol
PPI Pencegahan, Pengendalian, Infeksi
P2 Program pemberantasan
Riskesdas Riset Kesehatan Dasar
RI Republik Indonesia
RT Rukun Tetangga
RW Rukun warga
SK Surat Keputusan
SD Standar Deviasi

SPSS Statistical Package for the social sciences


s/d Sampai dengan
TBC Tuberculosis
TB/U Tinggi Badan menurut Umur
Uji π Koefisien Kontigensi
UL Upper Limit

UPTD Unit Pelaksana Teknis Daerah


WHO World Health Organization
XX Kromosom wanita
XY Kromosom laki-laki

Zα Nilai Standart alpha

Zβ Nilai standart beta

% Persen

= sama dengan

: Banding

< kurang dari

> lebih dari


0
c Derajat Celsius

½ Seperdua

α Alfa

± Kurang lebih sama dengan

DAFTAR LAMPIRAN

No. Lampiran Judul Lampiran Halaman

Lampiran 1 Riwayat Hidup 83

Lampiran 2 Lembar Identitas Sampel Penelitian 85

Lampiran 3 Tabel analisis uji statistik 86


Lampiran 4 Dokumentasi selama penelitian 89

Lampiran 5 Surat Kelaikan Etik 91


Lampiran 6 Surat Izin Penelitian oleh Badan 92
Penelitian dan Pengembangan
Lampiran 7 Surat Izin Penelitian oleh Fakultas 94
Kedokteran
Lampiran 8 Surat Keterangan Telah Melakukan 95
Penelitian
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan salah satu masalah

kematian pada anak di negara berkembang. Namun demikian, sering juga

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) didefinisikan sebagai infeksi akut

yang melibatkan organ saluran pernafasan bagian atas dan saluran pernafasan

bagian bawah. Infeksi ini disebabkan oleh virus, jamur dan bakteri. ISPA

akan menyerang host, apabila ketahanan tubuh (imunologi) menurun.

Penyakit ISPA ini paling banyak ditemukan pada anak - anak dibawah lima

tahun yang merupakan kelompok yang memiliki sistem kekebalan tubuh

yang rentan terhadap berbagai penyakit (Sunaryanti dkk., 2019).

Saat ini Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) masih menjadi

masalah kesehatan dunia. Berdasarkan World Health Organization (WHO)

2016 kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) diseluruh dunia

sebanyak 18,8 miliar dan kematian sebanyak 4 juta orang pertahun. Kejadian

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dinegara berkembang ialah 2 - 10

kali lebih banyak dari pada negara maju. Perbedaan tersebut berhubungan

dengan etiologi dan faktor risiko (Nuraini, 2020).

Prevalensi Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) di Indonesia

berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan (nakes) tahun 2018 sebanyak 9,3% ,

pada provinsi Banten Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) mencapai lebih

dari 25% dan pada tahun 2018 mencapai lebih 10% (Nuraini, 2020).

1
2

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara

pada tahun 2017 jumlah penderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)

bukan pneumoni sebanyak 28.720 kasus (Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi

Tenggara, 2018). Pada tahun 2018 jumlah penderita Infeksi Saluran

Pernafasan Akut (ISPA) bukan pneumoni sebanyak 59.739 kasus (Dinas

Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara, 2019). Dan pada tahun 2019

sebanyak 115.331 kasus (Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara,

2020).

Profil puskesmas yang ada di Sulawesi Tenggara pada tahun 2019,

menyatakan bahwa khususnya Puskesmas yang berada di Kota Kendari yakni

Puskesmas Poasia terdata kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)

sebanyak 1.107 kasus dan Puskesmas Abeli terdata sebanyak 1.513 kasus.

Tidak hanya di Kota Kendari terjadi peningkatan kejadian Infeksi Saluran

Pernafasan Akut (ISPA), di wilayah Kabupaten Buton Utara juga kejadian

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) semakin meningkat, khususnya di

Puskesmas Waode Buri terdapat 213 kasus dan di Puskesmas Kulisusu

berjumlah 59 kasus (Profil Kesehatan Kota Kendari dan Kabupaten Buton

Utara, 2019).

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada balita ini dapat

disebabkan oleh berbagai faktor agent yakni bakteri dan virus, faktor

lingkungan, faktor perilaku dan faktor individu balita itu sendiri (imunisasi,

umur anak, berat badan lahir, jenis kelamin, status gizi dan vitamin A)

(Nasution, 2020).
3

Sementara itu, faktor lainnya seperti pendidikan dan pengetahuan ibu,

suplementasi, crowding, durasi pemberian ASI, pendapatan keluarga, pajanan

rokok serta perilaku dan sikap ibu terhadap penyakit Infeksi Saluran

Pernafasan Akut (ISPA) (Nasution, 2020).

Salah satu faktor risiko terjadinya ISPA pada Balita ini yaitu status gizi.

Balita yang mengalami status gizi kurang, sistem pertahanan tubuh dan

antibodi menurun sehingga balita akan lebih mudah terserang infeksi seperti

batuk, pilek meskipun balita sudah mendapatkan imunisasi lengkap. Anak

dengan gizi kurang akan lebih mudah terserang infeksi saluran pernapasan

akut (ISPA) bahkan serangannya lebih lama dibandingkan anak gizi normal

karena daya tahan tubuh yang kurang (Suryani dkk., 2018).

Beberapa penelitian telah membuktikan tentang adanya hubungan

antara gizi buruk dan infeksi paru, berdasarkan penelitian Retnowati

diketahui bahwa mayoritas balita yang menderita ISPA berstatus gizi kurang

dan sebanyak 40 balita sekitar 42,6% dan balita yang tidak menderita ISPA

mayoritas berstatus gizi baik 55 balita sekitar 58,5% (Retnowati, 2019).

Berdasarkan penelitian Rita Efriani pada tahun 2019 terkait hubungan

status gizi dengan kejadian ISPA pada balita di puskesmas Muara Bungo 1

Kabupaten Bungo disimpulkan terdapat hubungan yang bermakna antara

status gizi dengan kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas Muara Bungo I

tahun 2019, ini semakin memperjelas bahwa status gizi balita dapat

berpengaruh atau dapat menjadi risiko untuk kejadian ISPA pada balita

(Efriani, 2020).
4

Faktor risiko status gizi ini akan berlipat ganda pada anak usia dibawah

dua tahun yang daya tahan tubuhnya masih belum sempurna. ISPA pada anak

dibawah dua tahun harus diwaspadai oleh orang tua, ISPA pada balita dapat

menyebabkan balita mengalami gangguan status gizi akibat gangguan

metabolisme tubuh hingga dapat menyebabkan kematian. Tingkat keparahan

ISPA sangat mempengaruhi terjadinya gangguan status gizi pada balita,

semakin parah ISPA yang diderita balita maka akan dapat mengakibatkan

status gizi yang buruk pada balita dan sebaliknya balita yang mengalami gizi

buruk maka ISPA yang diderita akan semakin parah (Surnani, 2017).

Berdasarkan penjelasan yang sudah dipaparkan diatas, peneliti ingin

meneliti tentang “Analisis Perbedaan Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian

ISPA Balita di Kota Kendari dengan Kabupaten Buton Utara”.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah terdapat hubungan status gizi dengan kejadian ISPA Balita di

Kota Kendari ?

2. Apakah terdapat hubungan status gizi dengan kejadian ISPA Balita di

Kabupaten Buton Utara ?

3. Apakah terdapat perbedaan hubungan status gizi dengan kejadian ISPA

Balita di Kota Kendari dengan Kabupaten Buton Utara ?


5

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui perbedaan hubungan status gizi dengan kejadian

ISPA Balita di Kota Kendari dengan Kabupaten Buton Utara.

2. Tujuan Khusus

a. Menganalisis hubungan status gizi dengan kejadian ISPA Balita di

Kota Kendari.

b. Menganalisis hubungan status gizi dengan kejadian ISPA Balita di

Kabupaten Buton Utara.

c. Memperoleh perbedaan hubungan status gizi dengan kejadian ISPA

Balita di Kota Kendari dengan Kabupaten Buton Utara.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Untuk memberikan informasi dan pengetahuan mengenai perbedaan

hubungan status gizi dengan kejadian ISPA Balita di Kota Kendari dengan

Kabupaten Buton Utara.

2. Manfaat Aplikatif

a. Bagi Institusi

Untuk menjadi referensi tambahan yang berguna bagi mahasiswa

kesehatan khususnya yang berhubungan dengan status gizi terhadap

penderita ISPA Balita.


6

b. Bagi Masyarakat

Untuk memberikan informasi kepada masyarakat untuk

mengetahui perbedaan hubungan status gizi dengan kejadian ISPA

Balita di Kota Kendari dengan Kabupaten Buton Utara sehingga dapat

melakukan tindakan pencegahan secara dini.

3. Manfaat Metodologis

Untuk menjadi bahan pustaka bagi peneliti - peneliti selanjutnya

untuk mengkaji masalah yang belum dikaji dalam penelitian ini.


7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Variabel

1. Tinjauan Umum Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

a. Definisi ISPA

Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) adalah radang akut

saluran pernapasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh infeksi

jasad renik atau bakteri, virus, tanpa atau disertai parenkim paru.

Penyakit ISPA sering terjadi pada anak - anak, hal tersebut diketahui

dari hasil pengamatan epidemiologi bahwa angka kesakitan di kota

cenderung lebih besar dari pada di desa. Hal tersebut mungkin

disebabkan oleh tingkat kepadatan tempat tinggal dan pencemaran

lingkungan di kota yang lebih tinggi dari pada didesa. ISPA

merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan yang menyebar

melalui udara. Droplet penderita dapat disebarkan melalui batuk atau

bersin. Proses terjadinya penyakit setelah agent penyakit terhirup

berlangsung dalam masa inkubasi selama 1 sampai 4 hari untuk

berkembang dan menimbulkan ISPA. Apabila udara mengandung zat –

zat yang tidak diperlukan manusia dalam jumlah yang membahayakan

oleh karena itu kualitas lingkungan udara dapat menentukan berbagai

macam transmisi penyakit (Putra dkk., 2019).


8

b. Epidemiologi ISPA

Pendahuluan Menurut World Health Organization (WHO) tahun

2013 di dunia angka kematian anak akibat pneumonia atau infeksi

saluran pernapasan akut yang mempengaruhi paru - paru dinyatakan

menjadi penyebab kematian sekitar 1,2 juta anak setiap tahun. Dapat

dikatakan setiap jam ada 230 anak di dunia yang meninggal karena

pneumonia atau ISPA. Penyakit ISPA merupakan penyakit yang sering

terjadi pada anak. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah

penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari

saluran nafas mulai dari hidung hingga kantong paru (alveoli)

termasuk jaringan adneksanya seperti sinus / rongga di sekitar hidung,

rongga telinga tengah dan pleura (Suryani dkk., 2018).

Sebanyak 40% - 60% kunjungan berobat di Puskesmas dan 15%

- 30% kunjungan berobat di bagian rawat jalan dan rawat inap di

Rumah Sakit disebabkan oleh ISPA. Usia Balita adalah kelompok

yang paling rentan dengan infeksi saluran pernapasan. Kenyataannya

bahwa angka morbiditas dan mortalitas akibat ISPA, masih tinggi pada

balita di negara berkembang (Retnowati, 2019).

Pada umumnya tidak ada perbedaan insiden ISPA akibat virus

atau bakteri pada laki-laki dan perempuan. Akan tetapi ada yang

mengemukakan bahwa terdapat sedikit perbedaan, yaitu insidens lebih

tinggi pada anak laki-laki (Fibrila, 2015).


9

Penelitian menunjukkan bahwa proporsi balita berdasarkan jenis

kelamin terdapat perbedaan antara laki – laki dan perempuan yaitu

59% pada balita laki – laki dan 41% pada balita perempuan, dan

penelitian tersebut menyatakan bahwa, ISPA lebih sering terjadi pada

balita laki – laki dibandingkan pada balita perempuan (Fibrila, 2015).

Berdasarkan data dari Dinas kesehatan Provinsi Sulawesi

Tenggara pada tahun 2017 jumlah penderita Infeksi Saluran

Pernafasan Akut (ISPA) bukan pneumoni sebanyak 28.720 kasus

(Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara, 2018). Pada tahun 2018

jumlah penderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) bukan

pneumoni sebanyak 59.739 kasus (Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi

Tenggara, 2019).

c. Etiologi ISPA

Sebagian besar infeksi saluran pernapasan akut disebabkan oleh

virus atau campuran infeksi virus - bakteri. Infeksi pernapasan akut

yang memiliki potensi epidemi atau pandemi dan dapat menimbulkan

risiko kesehatan masyarakat memerlukan tindakan kewaspadaan dan

kesiapsiagaan khusus (WHO, 2019).

Insidensi, distribusi, dan akibat dari penyakit infeksi pernapasan

akut bervariasi berdasarkan beberapa faktor, termasuk:

1) Kondisi lingkungan, seperti pencemar udara, kepadatan rumah

tangga, kelembapan, kebersihan, musim dan suhu.


10

2) Ketersediaan dan efektivitas perawatan medis dan langkah-langkah

pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI) untuk menahan

penyebaran, seperti vaksin, akses ke fasilitas pelayanan kesehatan,

dan kapasitas isolasi.

3) Faktor individu, seperti usia, merokok, kemampuan faktor individu

untuk menularkan infeksi, status imun, status gizi, infeksi

sebelumnya atau bersamaan dengan patogen lain, dan kondisi

medis yang mendasarinya.

4) Karakteristik patogen, seperti mode penularan, transmisibilitas,

faktor virulensi (mis. Gen penyandi toksin) dan beban mikrobial

(ukuran inokulum) (WHO, 2019).

d. Faktor Risiko ISPA

Faktor-faktor penyebab ISPA terbagi dalam kelompok yaitu

intrinsik dan ekstrinsik. Faktor internal merupakan suatu keadaan

didalam diri penderita (balita) yang memudahkan untuk terpapar

dengan bibit penyakit (agent) ISPA yang meliputi jenis kelamin, usia,

berat badan lahir, status gizi, dan status imunisasi (Putriyani, 2017).

1) Faktor Intrinsik

a) Jenis kelamin

Jenis kelamin merupakan faktor risiko terhadap kejadian

ISPA yaitu laki-laki lebih berisiko di banding perempuan, hal

ini disebabkan aktivitas anak laki-laki lebih banyak dari anak

perempuan (Putriyani, 2017).


11

Penelitian yang dilakukan oleh Yusuf dan Lilis (2011),

didapatkan hasil bahwa proporsi kasus ISPA menurut jenis

kelamin tidak sama, yaitu laki-laki 59% dan perempuan 41%,

terutama pada anak usia muda (Putriyani, 2017).

b) Usia

Usia mempunyai pengaruh cukup besar untuk terjadinya

ISPA. Anak dengan usia <2 tahun merupakan faktor risiko

terjadinya ISPA. Hal ini disebabkan karena anak dibawah dua

tahun imunitasnya belum sempurna dan saluran napas lebih

sempit. Kejadian ISPA pada bayi dan balita akan memberikan

gambaran klinik yang lebih besar dan jelek, hal ini disebabkan

karena ISPA pada bayi dan balita merupakan kejadian infeksi

pertama serta belum terbentuknya secara optimal proses

kekebalan secara alamiah (Putriyani, 2017).

c) Status Gizi Balita

Dalam keadaan gizi yang baik, tubuh mempunyai cukup

kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap penyakit

infeksi. Jika keadaan gizi menjadi buruk maka reaksi kekebalan

tubuh akan menurun yang berarti kemampuan tubuh untuk

mempertahankan diri terhadap serangan infeksi menjadi turun.

Oleh karena itu, setiap bentuk gangguan gizi sekalipun dengan

gejala defisiensi yang ringan merupakan pertanda awal dari

terganggunya kekebalan tubuh terhadap penyakit. Penelitian


12

yang dilakukan di berbagai negara menunjukkan bahwa infeksi

protozoa pada anak - anak yang tingkat gizinya buruk akan

jauh lebih parah dibandingkan dengan anak - anak yang gizinya

baik (Putriyani, 2017).

d) Status Imunisasi

Imunisasi berarti memberikan kekebalan terhadap suatu

penyakit tertentu. Salah satu strategi untuk mengurangi

kesakitan dan kematian akibat ISPA pada anak adalah dengan

pemberian imunisasi. Pemberian imunisasi dapat menurunkan

angka kesakitan dan kematian pada balita terutama penyakit

yang dapat dicegah dengan imunisasi. Setiap anak harus

mendapatkan imunisasi dasar terhadap tujuh penyakit utama

sebelum usia satu tahun yaitu imunisasi BCG, DPT, hepatitis

B, polio, campak (Putriyani, 2017).

Imunisasi bermafaat untuk mencegah beberapa jenis

penyakit infeksi seperti campak, polio, TBC, difteri, pertusis,

tetanus dan hepatitis B. Bahkan imunisasi juga dapat mencegah

kematian dari akibat penyakit - penyakit tersebut. Sebagian

besar kasus ISPA merupakan penyakit yang dapat dicegah

dengan imunisasi, penyakit yang tergolong ISPA yang dapat

dicegah dengan imunisasi adalah difteri dan batuk rejan

(Putriyani, 2017).
13

2) Faktor Ekstrinsik.

a) Kepadatan Hunian

Kepadatan hunian dalam rumah menurut keputusan

menteri kesehatan nomor 829 / MENKES / SK/ VII / 1999

tentang persyaratan kesehatan rumah, satu orang minimal

menempati luas rumah 8m². Dengan kriteria tersebut

diharapkan dapat mencegah penularan penyakit dan

melancarkan aktivitas. Keadaan tempat tinggal yang padat

dapat meningkatkan faktor polusi dalam rumah yang telah ada.

Penelitian menunjukkan ada hubungan bermakna antara

kepadatan dan kematian dari bronkopneumonia pada bayi,

tetapi disebutkan bahwa polusi udara, tingkat sosial, dan

pendidikan memberi korelasi yang tinggi pada faktor ini

(Putriyani, 2017).

b) Ventilasi kurang memadai

Ventilasi yaitu proses penyediaan udara atau pengerahan

udara ke atau dari ruangan baik secara alami maupun secara

mekanis.

Fungsi dari ventilasi dapat dijabarkan sebagai berikut :

(1) Mensuplai udara bersih yaitu udara yang mengandung

kadar oksigen yang optimum bagi pernapasan.


14

(2) Membebaskan udara ruangan dari bau-bauan, asap ataupun

debu dan zat-zat pencemar lain dengan cara pengenceran

udara.

(3) Mensuplai panas agar hilangnya panas badan seimbang.

(4) Mensuplai panas akibat hilangnya panas ruangan dan

bangunan.

(5) Mengeluarkan kelebihan udara panas yang disebabkan oleh

radiasi tubuh, kondisi, evaporasi ataupun keadaan eksternal.

Mendisfungsikan suhu udara secara merata (Putriyani,

2017).

c) Asap Dalam Ruangan

Penggunaan bahan bakar biomasa untuk memasak

maupun memanaskan ruangan, asap dari sumber penerangan

yang menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakarnya, asap

rokok, penggunaan insektisida semprot maupun bakar

(Putriyani, 2017).

Disamping itu ditentukan juga oleh ventilasi, penggunaan

bahan bangunan sintetis berupa cat dan asbes. Penggunaan

bahan bakar biomasa seperti kayu bakar untuk memasak, arang

dan minyak tanah muncul sebagai faktor risiko terhadap

terjadinya infeksi saluran pernapasan. Saat ini sebagian

masyarakat pedesaan masih menggunakan bahan bakar bio

masa untuk memasak. Ditambah lagi dengan kebiasaan ibu


15

yang membawa bayi / anak balitanya di dapur yang penuh asap

sambil memasak akan mempunyai risiko yang lebih besar

untuk terkena ISPA (Putriyani, 2017).

d) Tingkat Pengetahuan Ibu

Keterbatasan kesempatan untuk memperoleh pendidikan

merupakan faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kesehatan,

serta upaya pencegahan penyakit. Pada kelompok masyarakat

dengan tingkat pendidikan yang rendah pada umumnya status

ekonominya rendah pula. Mereka sulit untuk menyerap

informasi mengenai kesehatan dalam hal penularan dan cara

pencegahannya (Putriyani, 2017).

Pendidikan yang rendah menyebabkan masyarakat tidak

tahu cara untuk memilih makanan yang bergizi dan pengadaan

sarana sanitasi yang diperlukan (Putriyani, 2017). Tingkat

pendidikan ibu yang rendah merupakan faktor risiko yang

meningkatkan kematian ISPA terutama pnemonia. Kekurang

pahaman orang tua terhadap pnemonia juga menyebabkan

keterlambatan mereka membawa anak mereka yang sakit pada

tenaga kesehatan. Mereka beranggapan bahwa bayi / anak

balita mereka hanya menderita batuk - batuk biasa, yang

sebenarnya merupakan tanda awal pnemonia. Orang tua hanya

memberikan obat batuk tradisional yang tidak memecahkan

masalah (Putriyani, 2017).


16

e) Status Imunisasi

Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan

selamat akan mendapat kekebalan alami terhadap pneumonia

sebagai komplikasi campak. Bayi dan balita yang mempunyai

status imunisasi lengkap bila menderita ISPA dapat diharapkan

perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat

(Putriyani, 2017).

Cara yang terbukti paling efektif saat ini adalah dengan

pemberian imunisasi campak dan pertusis (DPT). Dengan

imunisasi campak yang efektif sekitar 11% kematian akibat

pneumonia pada balita dapat dicegah dan dengan imunisasi

pertusis (DPT) sebanyak 6% kematian akibat pneumonia dapat

dicegah (Putriyani, 2017).

Imunisasi sangat berguna dalam menentukan ketahanan

tubuh bayi terhadap gangguan penyakit. Para ahli kesehatan

menyebutkan bahwa di banyak negara, dua penyebab utama

tingginya angka kematian anak adalah gangguan gizi dan

infeksi. Hal ini dapat dicegah dengan imunisasi yang

merupakan hal mutlak dalam memelihara kesehatan dan gizi

anak. Ada dua jenis imunisasi, yaitu imunisasi aktif dan

imunisasi pasif. Pemberian imunisasi pada anak biasanya

dilakukan dengan cara imunisasi aktif, karena imunisasi aktif

akan memberi kekebalan yang lebih lama (Putriyani, 2017).


17

Imunisasi pasif diberikan hanya dalam keadaan yang

sangat mendesak, yaitu bila diduga tubuh anak belum

mempunyai kekebalan ketika terinfeksi oleh kuman penyakit

yang ganas (Putriyani, 2017).

e. Patofisiologi ISPA

Penyakit menular seperti ISPA, disebabkan adanya interaksi

antara agen atau faktor penyebab penyakit, manusia sebagai pejamu

atau host, dan faktor lingkungan yang mendukung. Proses interaksi ini

disebabkan adanya agen penyebab penyakit kontak dengan manusia

sebagai pejamu yang rentan dan didukung oleh keadaan lingkungan.

Sumber agen penyebab sakit pada ISPA adalah bakteri, virus, dan

polutan udara. Bakteri dan virus dapat berasal dari lingkungan rumah

yang kurang sehat seperti kelembaban dan ventilasi yang buruk

ataupun adanya penderita ISPA serumah (Hayati, 2017).

Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dapat ditularkan melalui

transmisi kontak dan transmisi droplet. Transmisi kontak melibatkan

kontak langsung antar permukaan badan dan perpindahan fisik

mikroorganisme antara orang yang terinfeksi atau terkolonisasi dan

pejamu yang rentan, maupun kontak tak langsung yang melibatkan

kontak antara pejamu rentan dengan benda perantara yang

terkontaminasi (misalnya, tangan yang terkontaminasi), yang

membawa dan memindahkan organisme tersebut (Hayati, 2017).


18

Transmisi droplet ditimbulkan dari orang (sumber) yang

terinfeksi terutama selama terjadinya batuk, bersin, dan berbicara.

Penularan terjadi bila droplet yang mengandung mikroorganisme ini

tersembur dalam jarak dekat (biasanya < 1 m) melalui udara dan

terdeposit di mukosa mata, mulut, hidung, tenggorokan, atau faring

orang lain. Setelah agen penyakit terdeposit maka sudah masuk ke

dalam tubuh (Hayati, 2017).

Agen tersebut akan menimbulkan infeksi yang mengaktifkan

respons imun dan inflamasi. Reaksi inflamasi tersebut menyebabkan

peningkatan produksi mukus dan menimbulkan batuk, pilek, dan

hidung tersumbat (Hayati, 2017).

Apabila agen telah memasuki saluran pernapasan bawah, maka

agen dapat menimbulkan infeksi pada saluran tersebut dan menyerang

paru-paru (Hayati, 2017).

f. Gejala Klinis

Tanda gejala ISPA menurut depkes RI (2012) adalah:

1) Gejala ISPA ringan

Seseorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika

ditemukan satu atau lebih gejala - gejala sebagai berikut:

a) Batuk.

b) Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan

suara (misal pada waktu berbicara atau menangis).

c) Pilek, yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung.


19

d) Panas atau demam, suhu badan lebih dari 370c atau jika dahi

anak diraba.

2) Gejala ISPA sedang

Seorang anak dinyatakan menderita ispa sedang jika dijumpai

gejala dari ispa ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai

berikut:

a) Pernafasan lebih dari 50 kali per menit pada anak yang

berumur kurang dari satu tahun atau lebih dari 40 kali per

menit pada anak yang berumur satu tahun atau lebih.

b) Suhu lebih dari 39 ºC (diukur dengan thermometer).

c) Tenggorokan berwarna merah.

d) Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak

campak.

e) Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga.

f) Pernafasan berbunyi seperti mengorok (mendengkur).

g) Pernafasan berbunyi menciut-ciut.

3) Gejala ISPA Berat

Seorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai

gejala - gejala ISPA ringan atau ISPA sedang disertai satu atau

lebih gejala-gejala sebagai berikut:

a) Bibir atau kulit membiru.

b) Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada

waktu bernafas.
20

c) Anak tidak sadar atau kesadaran menurun.

d) Pernafasan berbunyi seperti orang mengorok dan anak tampak

gelisah.

e) Sela iga tertarik ke dalam pada waktu bernafas.

f) Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak teraba.

g) Tenggorokan berwarna merah (Hamidah, 2018).

g. Cara Penularan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

ISPA dapat menular melalui beberapa cara, yaitu :

1) Transmisi droplet

Droplet berasal dari orang (sumber) yang telah terinfeksi

atau yang telah menderita ISPA. Droplet dapat keluar selama

terjadinya batuk, bersin, dan berbicara. Penularan terjadi bila

droplet yang mengandung mikroorganisme ini tersembur dalam

jarak dekat ( < 1 m) melalui udara dan terdeposit di mukosa

mata, mulut, hidung, tenggorokan, atau faring orang lain. Karena

droplet tidak terus melayang di udara (Rosana, 2016).

2) Kontak langsung

Yaitu kontak langsung atau bersentuhan dengan bagian tubuh

yang terdapat pathogen, sehingga pathogen berpindah ke tubuh

yang bersentuhan (Rosana, 2016).


21

h. Diagnosis Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

Diagnosis etiologi ISPA pada bayi / balita cukup sulit ditegakkan

karena pengambilan dahak sulit dilakukan. Prosedur pemeriksaan

imunologi pun belum bisa memberikan hasil yang memuaskan untuk

menentukan penyebab ISPA. Pemeriksaan darah dan pembiakan

spesimen fungsi atau aspirasi paru bisa dilakukan untuk diagnosis

penyebab ISPA. Cara ini cukup efektif untuk menentukan etiologi

ISPA, namun cara ini dianggap merupakan prosedur yang berbahaya

dan bertentangan dengan etika. Dengan pertimbangan inilah diagnosis

etiologi penyebab ISPA di Indonesia didasarkan pada hasil penelitian

asing (melalui publikasi WHO) bahwa Streptococcus, Pnemonia dan

Haemophylus influenzae merupakan bakteri yang selalu ditemukan

pada penelitian etiologi di negara berkembang sedangkan di negara

maju sering disebabkan oleh virus (Alfarindah, 2017).

i. Penatalaksanaan ISPA

Penemuan dini penderita pneumonia dengan penatalaksanaan

kasus yang benar merupakan strategi untuk mencapai dua dari tiga

tujuan program (turunnya kematian karena pneumonia dan turunnya

penggunaan antibiotik dan obat batuk yang kurang tepat pada

pengobatan penyakit ISPA) ( Putriyani, 2017).


22

Pedoman penatalaksanaan kasus ISPA akan memberikan

petunjuk standar pengobatan penyakit ISPA yang akan berdampak

mengurangi penggunaan antibiotik untuk kasus - kasus batuk pilek

biasa, serta mengurangi penggunaan obat batuk yang kurang

bermanfaat. Strategi penatalaksanaan kasus mencakup pula petunjuk

tentang pemberian makanan dan minuman sebagai bagian dari

tindakan penunjang yang penting bagi penderita ISPA ( Putriyani,

2017).

Penatalaksanaan ISPA meliputi langkah atau tindakan sebagai

berikut :

1) Pemeriksaan

Pemeriksaan artinya memperoleh informasi tentang penyakit

anak dengan mengajukan beberapa pertanyaan kepada ibunya,

melihat dan mendengarkan anak. Hal ini penting agar selama

pemeriksaan anak tidak menangis (bila menangis akan

meningkatkan frekuensi napas), untuk ini diusahakan agar anak

tetap dipangku oleh ibunya. Menghitung napas dapat dilakukan

tanpa membuka baju anak. Bila baju anak tebal, mungkin perlu

membuka sedikit untuk melihat gerakan dada. Untuk melihat

tarikan dada bagian bawah, baju anak harus dibuka sedikit. Tanpa

pemeriksaan auskultasi dengan stetoskop penyakit pneumonia

dapat didiagnosa dan diklasifikasi.


23

2) Klasifikasi ISPA Program Pemberantasan ISPA (P2 ISPA)

mengklasifikasi ISPA sebagai berikut :

a) Pneumonia berat: ditandai secara klinis oleh adanya tarikan

dinding dada kedalam (chest indrawing).

b) Pneumonia : ditandai secara klinis oleh adanya napas

cepat.

c) Bukan pneumonia : ditandai secara klinis oleh batuk pilek, bisa

disertai demam, tanpa tarikan dinding dada kedalam, tanpa

napas cepat. Rinofaringitis, faringitis dan tonsilitis tergolong

bukan pneumonia ( Putriyani, 2017).

3) Pengobatan

a) Pneumonia berat: dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik

parenteral, oksigen dan sebagainya.

b) Pneumonia: diberi obat antibiotik kotrimoksasol peroral. Bila

penderita tidak mungkin diberi kotrimoksasol atau ternyata

dengan pemberian kontrmoksasol keadaan penderita menetap,

dapat dipakai obat antibiotik pengganti yaitu ampisilin,

amoksisilin atau penisilin prokain.

c) Bukan pneumonia : tanpa pemberian obat antibiotik. Diberikan

perawatan di rumah, untuk batuk dapat digunakan obat batuk

tradisional atau obat batuk lain yang tidak mengandung zat

yang merugikan seperti kodein, dekstrometorfan dan


24

antihistamin. Bila demam diberikan obat penurun panas yaitu

parasetamol ( Putriyani, 2017).

4) Perawatan di rumah

Beberapa hal yang perlu dikerjakan seorang ibu untuk

mengatasi anaknya yang menderita ISPA.

a) Mengatasi panas (demam)

Untuk anak usia 2 bulan sampai 5 tahun demam diatasi

dengan memberikan parasetamol atau dengan kompres, bayi

dibawah 2 bulan dengan demam harus segera dirujuk.

Parasetamol diberikan 4 kali tiap 6 jam untuk waktu 2 hari.

Cara pemberiannya, tablet dibagi sesuai dengan dosisnya,

kemudian digerus dan diminumkan. Memberikan kompres,

dengan menggunakan kain bersih, celupkan pada air (tidak

perlu air es).

b) Mengatasi batuk

Dianjurkan memberi obat batuk yang aman yaitu ramuan

tradisional yaitu jeruk nipis ½ sendok teh dicampur dengan

kecap atau madu ½ sendok teh , diberikan tiga kali sehari.

c) Pemberian makanan

Berikan makanan yang cukup gizi, sedikit - sedikit tetapi

berulang - ulang yaitu lebih sering dari biasanya, lebih - lebih

jika muntah. Pemberian ASI pada bayi yang menyusu tetap

diteruskan.
25

4) Pemberian minuman

Usahakan pemberian cairan (air putih, air buah dan

sebagainya) lebih banyak dari biasanya. Ini akan membantu

mengencerkan dahak, kekurangan cairan akan menambah parah

sakit yang diderita.

5) Lain-lain

a) Tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut yang

terlalu tebal dan rapat, lebih - lebih pada anak dengan demam.

b) Jika pilek, bersihkan hidung yang berguna untuk mempercepat

kesembuhan dan menghindari komplikasi yang lebih parah.

c) Usahakan lingkungan tempat tinggal yang sehat yaitu yang

berventilasi cukup dan tidak berasap.

d) Apabila selama perawatan dirumah keadaan anak memburuk

maka dianjurkan untuk membawa kedokter atau petugas

kesehatan.

e) Untuk penderita yang mendapat obat antibiotik, selain tindakan

diatas usahakan agar obat yang diperoleh tersebut diberikan

dengan benar selama 5 hari penuh. Dan untuk penderita yang

mendapatkan antibiotik, usahakan agar setelah 2 hari anak

dibawa kembali ke petugas kesehatan untuk pemeriksaan ulang

(Putriyani, 2017).
26

j. Pencegahan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

1) Menjaga kesehatan gizi agar tetap baik

Dengan menjaga kesehatan gizi yang baik maka itu akan

mencegah kita atau terhindar dari penyakit yang terutama antara

lain penyakit ISPA. Misalnya dengan mengkonsumsi makanan

empat sehat lima sempurna, banyak minum air putih, olahraga

dengan teratur, serta istirahat yang cukup, kesemuanya itu akan

menjaga badan kita tetap sehat. Karena dengan tubuh yang sehat

maka kekebalan tubuh kita akan semakin meningkat, sehingga

dapat mencegah virus / bakteri penyakit yang akan masuk ke tubuh

kita.

2) Imunisasi

Pemberian imunisasi sangat diperlukan baik pada anak-anak

maupun orang dewasa. Immunisasi dilakukan untuk menjaga

kekebalan tubuh kita supaya tidak mudah terserang berbagai

macam penyakit yang disebabkan oleh virus / bakteri.

3) Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan

Membuat ventilasi udara serta pencahayaan udara yang baik

akan mengurangi polusi asap dapur / asap rokok yang ada di dalam

rumah, sehingga dapat mencegah seseorang menghirup asap

tersebut yang bisa menyebabkan terkena penyakit ISPA. Ventilasi


27

yang baik dapat memelihara kondisi sirkulasi udara (atmosfer) agar

tetap segar dan sehat bagi manusia.

4) Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA

Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) ini disebabkan oleh

virus / bakteri yang ditularkan oleh seseorang yang telah terjangkit

penyakit ini melalui udara yang tercemar dan masuk ke dalam

tubuh. Bibit penyakit ini biasanya berupa virus / bakteri di udara

yang umumnya berbentuk aerosol (anatu suspensi yang melayang

di udara). Adapun bentuk aerosol yakni Droplet, Nuclei (sisa dari

sekresi saluran pernafasan yang dikeluarkan dari tubuh secara

droplet dan melayang di udara), yang kedua duet (campuran antara

bibit penyakit). Apabila tertular maka segera diobati (Alfarindah,

2017).

2. Tinjauan Umum Status Gizi

a. Definisi Status Gizi

Nutritional status (status gizi), adalah keadaan yang diakibatkan

oleh keseimbangan antara asupan zat gizi dari makanan dengan

kebutuhan zat gizi yang diperlukan untuk metabolisme tubuh. Setiap

individu membutuhkan asupan zat gizi yang berbeda antar individu,

hal ini tergantung pada usia orang tersebut, jenis kelamin, aktivitas

tubuh dalam sehari, berat badan, dan lainnya (Suryandari, 2019).

b. Penilaian status gizi


28

Menurut Supariasa dkk (2013) penilaian status gizi dibagi

menjadi 2 yaitu penilaian status gizi secara langsung dan penilaian

status gizi secara tidak langsung.

1) Penilaian Status Gizi Secara Langsung.

a) Antropometri

Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia.

Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antripometri gizi adalah

berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi

tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan gizi.

Antropomeri secara umum digunakan untuk melihat

ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Ketidak

seimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan porsi

jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh.

b) Klinis

Pemeriksaan klinis didasarkan pada perubahan

-perubahan yang terjadi yang dikaitkan dengan ketidak

cukupan gizi. Hal ini dapat dilihat dari jaringan epitel

(Supervicial Epithelial Tissues) seperti kulit, mata, rambut dan

mukosa oral atau pada organ-organ yang dekat dengan

permukaan tubuh seperti tiroid.

Penilaian ini digunakan untuk mendeteksi secara cepat

tanda - tanda klinis umum dari kekurangan gizi dan juga untuk
29

mengetahui tingkat status gizi seseorang dengan melakukan

pemeriksaan fisik yaitu tanda dan gejala penyakit.

2) Penilaian Status Gizi Secara Tidak Langsung

a) Survei Konsumsi Makan

Survei konsumsi makan adalah metode penentuan status

gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat

gizi yang dikonsumsi. Data ini memberikan gambaran tentang

konsumsi berbagai zat gizi dalam masyarakat, keluarga dan

individu. Survei ini dapat mengidentifikais kelebihan dan

kekurangan zat gizi.

b) Statistik Vital

Pengukuran status gizi dengan statistik vital adalah

dengan menganalisis data beberapa statistik kesehatan seperti

angka kematian berdasarkan usia, angka kesakitan dan

kematian akibat penyebab tertentu dan data lainnya yang

berhubungan dengan gizi.

c) Faktor Ekologi

Malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil

interaksi beberapa faktor fisik, biologis dan lingkungan budaya.

Jumlah makanan yang tersedia sangat tergantung dari keadaan

ekologi seperti iklim, tanah, irigasi dan lain-lain. Pengukuran


30

status gizi dengan faktor ekologi dipandang sangat penting

untuk mengetahui penyebab malnutrisi disuatu masyarakat

sebagai dasar untuk melakukan program intervensi gizi

(Suryandari, 2019).

c. Kategori status gizi

Kementerian Kesehatan RI (2018) menyatakan bahwa status gizi

balita dinilai menurut 3 indeks, yaitu Berat Badan Menurut Umur

(BB/U), Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U), Berat Badan Menurut

Tinggi Badan (BB/TB).

1) BB/U adalah berat badan anak yang dicapai pada umur tertentu

2) TB/U adalah Tinggi badan anak yang dicapai pada umur tertentu

3) BB/TB adalah berat badan anak dibandingkan dengan tinggi badan

yang dicapai

Tabel 1. Indeks Status Gizi Balita

Indikator Status Gizi Z-Score


Gizi Buruk <-3,0 SD
Gizi Kurang -3,0 SD s/d <-2,0 SD
BB/U
Gizi Baik -2,0 SD s/d 2,0 SD
Gizi Lebih >2,0 SD
Sangat Pendek <-3,0 SD
TB/U Pendek -3,0 SD s/d <-2,0 SD
Normal ≥-2,0 SD
Sangat Kurus <-3,0 SD
Kurus -3,0 SD s/d <-2,0 SD
BB/TB
Normal -2,0 SD s/d 2,0 SD
Gemuk >2,0 SD
Sumber : Kementerian Kesehatan RI (2011).
31

Z-score adalah nilai simpangan BB atau TB dari nilai BB atau TB

normal menurut baku pertumbuhan WHO. Sifat Indikator Status Gizi

menurut Kementerian Kesehatan RI (2018):

1) Indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U)

a) Memberikan indikasi masalah gizi secara umum karena berat

badan berkorelasi positif dengan umur dan tinggi badan.

b) Berat badan menurut umur rendah dapat disebabkan karena

pendek (masalah gizi kronis) atau menderita penyakit infeksi

(masalah gizi akut).

2) Indeks Tinggi Badan menurut Umur (TB/U)

Memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya kronis

sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama. Misalnya

kemiskinan, perilaku hidup tidak sehat, dan asupan makanan

kurang dalam waktu yang lama sehingga mengakibatkan anak

menjadi pendek.

3) Indeks Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB)

a) Memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya akut sebagai

akibat dari peristiwa yang terjadi dalam waktu yang tidak lama

(singkat). Misalnya terjadi wabah penyakit dan kekurangan

makan (kelaparan) yang menyebabkan anak menjadi kurus.

b) Indikator BB/TB dan IMT/U dapat digunakan untuk

identifikasi kurus dan gemuk. Masalah kurus dan gemuk pada


32

umur dini dapat berakibat pada risiko berbagai penyakit

degenerative pada saat dewasa (Suryandari, 2019).

3. Tinjauan Umum Balita

a. Definisi Balita

Anak bawah lima tahun atau yang biasa disingkat anak balita

adalah anak yang telah menginjak usia diatas 1 tahun atau lebih

popular usia anak dibawah 5 tahun atau biasa digunakan hitungan

bulan yaitu 12 sampai 59 bulan. Sementara itu, balita menurut

Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2009), balita merupakan

anak dengan kategori umur 0-5 tahun ( Suryandari, 2019).

4. Tinjauan Umum Hubungan Status Gizi dengan Kejadian ISPA

a. Hubungan Status Gizi dengan Kejadian ISPA

Berdasarkan penelitian dan pembahasan mengenai Hubungan

Status Gizi dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)

Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas maka dapat ditarik

kesimpulan sebagai berikut : terdapat hubungan antara status gizi

dengan kejadian infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada balita di

Wilayah Kerja Puskesmas ( Almira, 2017).


33

Dalam penelitian ini ditemukan balita yang menderita ISPA pada

status gizi baik sebanyak 70 responden (40,7%) sedangkan balita yang

tidak mengalami ISPA terdapat pada status gizi baik sebanyak 57

responden (33,1%) ( Nopita, 2016).

Menurut Domili (2013), pemenuhan gizi yang merupakan suatu

proses penggunaan makanan yang dapat menghasilkan energi adalah

cara untuk mempertahankan kehidupan, memaksimalkan pertumbuhan

dan fungsi normal dari organ - organ tubuh, sehingga memiliki

pengaruh besar terhadap perkembangan dan pertumbuhan (Nopita,

2016). Hasil perhitungan statistik bahwa nilai p - value = 0,013

sehingga p - value <0,05 maka H0 ditolak dan Ha diterima sehingga

dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara status gizi dengan

kejadian ISPA di Puskesmas Pembantu (PUSTU) Tompeyan Tegalrejo

Di Kota Yogyakarta (Nopita, 2016).

Dalam penelitian ini ditemukan balita yang berstatus gizi baik

juga terkena ISPA. Hal ini disebabkan oleh faktor lain yang dapat

menyebabkan terjadinya ISPA pada balita seperti usia, pemberian ASI,

keteraturan pemberian vitamin A, polusi udara (kebiasaan merokok

anggota keluarga di lingkungan balita tinggal), sosial ekonomi,

imunisasi, kepadatan tempat tinggal, ventilasi kurang memadai dan

BBLR (Nopita, 2016). Sebagian besar kematian ISPA berasal dari


34

jenis yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan

imunisasi seperti difteri, pertusis, campak sehingga balita yang

mempunyai status imunisasi yang lengkap bila menderita ISPA dapat

diharapkan perkembangan tidak akan menjadi lebih berat, serta

kebiasaan merokok anggota keluarga di lingkungan balita tinggal juga

berbahaya bagi balita (Nopita, 2016).

5. Tinjauan Umum Risiko ISPA yang berkaitan dengan status

gizi

a. Risiko ISPA yang berkaitan dengan status gizi

Salah satu faktor penyebab terjadinya ISPA pada balita seperti

kurangnya konsumsi makanan atau tidak terpenuhinya asupan zat gizi

yang seimbang dan bergizi akan menyebabkan permasalahan pada

kondisi tubuh. Permasalahan intake makanan pada balita akan

menyebabkan pertumbuhan terhambat, menurunnya berat badan,

turunnya daya tahan tubuh dan kerusakan mukosa yang dapat

mengalami perubahan dari sistem pernapasan pada sirkulasi paru juga

disertai turunnya kekebalan seluler sehingga memudahkan balita

terserang ISPA. Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan

oleh Ade Saputra Nasution menunjukkan bahwa ada hubungan status

gizi balita dengan kejadian ISPA dikelurahan Cibabat Cimahi. Dalam

penelitiannya menjelaskan bahwa balita yang mengalami kurang gizi

memiliki risiko terkena penyakit bahkan bisa menyebabkan mortalitas.

Teori mengemukakan faktor yang dapat menyebabkan terjadinya ISPA


35

bagi balita yaitu status gizi, dimana keadaan balita yang mengalami

status gizi kurang dapat memperlambat pertumbuhan dan

perkembangan hormonal pada balita sehingga bisa menyebabkan

mortalitas. Asupan makanan akan menghasilkan zat gizi memiliki efek

yang kuat untuk reaksi resistensi terhadap infeksi dan imunitas tubuh.

Balita yang dalam keadaan kurang energi protein, sehingga

menyebabkan menurunnya ketahanan tubuh dan virulensi patogen

lebih kuat dapat menyebabkan mudah terserang infeksi dan

terganggunya keseimbangan tubuh, untuk mempertahankan kondisi

tubuh dalam keadaan seimbang diperlukan asupan gizi yang cukup dan

seimbang untuk memenuhi status gizi yang baik ( Nasution, 2020).

Protein dikatakan sebagai sumber zat gizi utama yang dibutuhkan

tubuh dan sebagai salah satu untuk pembentukan enzim yang berfungsi

dalam metabolisme tubuh, termasuk sistem imun. Antibodi globulin

gamma yang disebut dengan istilah imunoglobilin merupakan 20%

dari seluruh energi plasma. Immunoglobulin terdiri dari rantai

polipeptida yang mengandung berbagai jenis asam amino spesifik.

Salah satu asam amino yang berfungsi dalam sistem imun yaitu asam

amino treonin yang memiliki kemampuan dapat mencegah masuknya

bakteri dan virus terutama paru - paru dan saluran nafas. Sistem imun

yang tidak baik bisa dipengaruhi oleh kekurangan protein di dalam

tubuh sehingga dapat menyebabkan tubuh lebih mudah terpapar

penyakit infeksi. Selain itu, kekurangan protein juga dapat berdampak


36

terhadap metabolisme vitamin dan mineral dimana berfungsi sebagai

anti oksidan yang tidak mampu berfungsi secara maksimal, dalam

kondisi ini mengakibatkan baik flora normal maupun bakteri dari luar

dapat dengan mudah berkembang dan meningkatnya virulensi,

sehingga dapat menyebabkan timbulnya gejala penyakit, termasuk

ISPA. Namun hasil penelitian ini juga menunjukkan balita yang status

gizi baik mengalami ISPA, hal ini dikarenakan oleh adanya faktor lain

menyebabkan terjadinya ISPA balita yaitu sosial ekonomi, kepadatan

hunian, polusi udara, asap rokok maupun faktor lingkungan rumah

yang tidak memenuhi syarat. Kondisi rumah di Kelurahan Cibabat

Cimahi Utara banyak tidak memenuhi syarat seperti kamar yang

dihuni lebih dari 2 orang, tidak memiliki ventilasi dan perilaku

merokok anggota keluarga di dalam rumah (Nasution, 2020).


37

B. Kerangka Teori

Faktor Ekstrinsik

Luas ventilasi rumahJenis


kecil lantai rumah
Bahan BakarSuhuTingkat
rendah Kepadatan penduduk yang tinggi

Kondisi Pencahayaan Rumah Yang kurang


Tingkat Kelembaban

Status Gizi
Faktor Intrinsik

Mikroorganisme ( streptokokus, haemofilus influenza, adenovirus pneumokokus) di lingkun


Penurunan diferensiasi dan proliferasi sel
Tidak Asi ekslusif

Balita
Sistem imun tubuh rendah

Status Imunisasi

Infeksi atau masuknya mikroorganisme ( streptokokus, haemofilus influenza, adenovirus pneumokokus)


Invasi dan pertumbuhan kuman cepat pada saluran pernapasan
Jenis kelamin laki-laki

ISPA

Gambar 1. Kerangka Teori


38

C. Kerangka Konsep

ISPA

STATUS GIZI

Non ISPA

Gambar 2. Kerangka Konsep

Keterangan :

: Variabel Bebas

: Variabel Terikat:

: Kontrol
39

D. Hipotesis Penelitian

1. Hipotesis Statistik

a. Hipotesis Nol (H0) :

Tidak terdapat hubungan status gizi dengan kejadian ISPA Balita di

Kota Kendari

b. Hipotesis Alternatif (Ha) : .

Terdapat hubungan status gizi dengan kejadian ISPA Balita di Kota

Kendari

2. Hipotesis Statistik

a. Hipotesis Nol (H0) :

Tidak terdapat hubungan status gizi dengan kejadian ISPA Balita di

Kabupaten Buton Utara.

b. Hipotesis Alternatif (Ha) :

Terdapat hubungan status gizi dengan kejadian ISPA Balita di

Kabupaten Buton Utara.

3. Hipotesis Statistik

a. Hipotesis Nol (H0) :

Tidak terdapat perbedaan hubungan status gizi dengan kejadian ISPA

Balita di Kota Kendari dengan Kabupaten Buton Utara.

b. Hipotesis Alternatif (Ha) :

Terdapat perbedaan hubungan status gizi dengan kejadian ISPA

Balita di Kota Kendari dengan Kabupaten Buton Utara.


40

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Metode penelitian ini adalah analitik observasional dengan pendekatan

case control. Analitik observasional merupakan penelitian untuk mengetahui

bagaimana suatu fenomena terjadi melalui sebuah analisis statistik seperti

korelasi dan komparatif antara sebab dan akibat atau faktor risiko dengan efek

serta kemudian dapat dilanjutkan untuk mengetahui seberapa besar kontribusi

dari sebab atau faktor risiko tersebut tanpa melakukan intervensi atau

perlakuan kepada variabel. Desain penelitian case control adalah suatu

penelitian analitik yang mempelajari sebab - sebab kejadian atau peristiwa

secara retrospektif. Selain menggunakan metode analitik observational dengan

pendekatan case control, penelitian ini juga melihat perbedaan hubungan

status gizi dengan kejadian ISPA Balita di Kota Kendari dengan Kabupaten

Buton Utara.

Faktor Risiko + +
Kasus : Penderita ISPA
Faktor Risiko -

Sampel

Populasi
Faktor Risiko +
Kontrol : Penderita tidak ISPA

Faktor Risiko -

Gambar 3. Bagan Penelitian case control (Praktiknya, 2010).


41

B. Waktu dan Lokasi Penelitan

1. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2020 sampai

Januari 2021.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Puskesmas Poasia, Puskesmas Abeli

di Kota Kendari serta di Puskesmas Kulisusu dan Puskesmas Waode Buri

di Kabupaten Buton Utara.

C. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi Penelitian

Populasi adalah seluruh unsur atau elemen yang menjadi objek.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien berusia 0 - 60 bulan

yang berkunjung pada tahun 2019 di Puskesmas Poasia dan Puskesmas

Abeli yang berada di Kota Kendari serta Puskesmas Kulisusu dan

Puskesmas Waode Buri yang berada di Kabupaten Buton Utara.

2. Sampel Penelitian

Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki

oleh populasi yang secara nyata diteliti dan ditarik kesimpulan. Sampel

pada penelitian ini terdiri dari sampel kasus dan sampel kontrol. Sampel

kasus merupakan pasien berusia 0 - 60 bulan yang didiagnosis ISPA oleh

dokter di Puskesmas Abeli, Puskesmas Poasia, Puskesmas Waode Buri

dan Puskesmas Kulisusu yang tercatat di dalam rekam medis dan tidak
42

terdiagnosis ISPA. Penelitian ini menggunakan perbandingan kasus dan

kontrol 1:1.

Teknik pengambilan besar sampel dalam penelitian ini menggunakan

metode purpossive sampling. Perhitungan sampel menggunakan rumus

Lemeshow (Sastroasmoro dkk., 2011).

PERKIRAAN POPULASI
2
Z∝ √ 2 PQ+ Zβ √ P1 Q1 + P2 Q2
n= ( P1−P2 )
Keterangan :

n = Besar sampel

P1 = Perkiraan proposisi keterpaparan kasus (0,67)

P2 = Perkiraan proposisi keterpaparan kontrol (0,5)

Q 1 = 1−P1= 1−0,67 = 0,33

Q 2 = 1−P2 = 1−0,5 = 0,5

P 1−¿ P 0,33+0,5
P = 2
¿= = 0,58
2 2

Q = 1−P = 1−0,58=0,42

Z = Nilai standart alpha = 1,96

Z = Nilai standart beta = 0,84

2
1,96 √ 2. 0,58 . 0,42+ 0,84 √ 0,67 . 0,33+0,5 . 0,5
n=( 0,67−0,5 )
2
1,96 √ 0,28+0,84 √ 0,37
n=( 0,17 )
2
1,96 .0,52+0,84. 0,6
n=( 0,17 )
43

2
1,01+0,5
n= ( 0,17 )
n=8,232

n=67,73

n ¿ 68

Berdasarkan rumus besar sampel di atas maka jumlah sampel kasus

dan kontrol minimal yang dibutuhkan di Kota Kendari dan Kabupaten

Buton Utara masing-masing 68 sampel.

3. Kriteria Sampel

a) Kriteria Inklusi Sampel Kasus

1) Pasien berusia 0 - 60 bulan.

2) Terdiagnosa ISPA oleh dokter dan tercatat direkam medis.

3) Bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Poasia, Puskesmas

Abeli di Kota Kendari serta Puskesmas Waode Buri dan

Puskesmas Kulisusu di Kabupaten Buton Utara.

b) Kriteria Inklusi Sampel Kontrol

1) Pasien berusia 0 - 60 bulan.

2) Tidak Terdiagnosa ISPA oleh dokter dan tercatat direkam medis.

3) Bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Poasia, Puskesmas

Abeli di Kota Kendari serta Puskesmas Waode Buri dan

Puskesmas Kulisusu di Kabupaten Buton Utara.

c) Kriteria Eksklusi Sampel Kasus

1) Penderita penyakit kronis

2) Kelainan kongenital
44

d) Kriteria Eksklusi Sampel Kontrol

1) Penderita penyakit kronis

2) Kelainan kongenital

D. Teknik Pengumpulan Data

1. Alat dan Bahan Penelitian

a. Alat Penelitian

1) Alat tulis

2) Kamera

3) Laptop

b. Bahan Penelitian

1) Rekam Medik

2. Cara Kerja

a. Pengambilan data melalui rekam medis dan data status gizi yang

tercatat di Puskesmas Poasia, Puskesmas Abeli yang berada di Kota

Kendari.

b. Pengambilan data melalui rekam medis dan data status gizi yang

tercatat di Puskesmas Waode Buri dan Puskesmas Kulisusu yang

berada di Kabupaten Buton Utara.

c. Menganalisis data yang didapatkan di Kota Kendari dengan Kabupaten

Buton Utara.

d. Menganalisis perbedaan hubungan yang ditemukan dari sampel yang

ada di Kota Kendari dengan Kabupaten Buton Utara.


45

E. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

1. Infeksi Saluran Pernapasan Akut

a. Definisi Operasional

ISPA merupakan infeksi yang menyerang salah satu bagian dari

saluran nafas mulai dari hidung sampai alveoli dengan gejala batuk,

mengeluarkan ingus, demam, dan tanpa sesak nafas yang pernah

diderita anak dalam satu bulan terakhir yang sudah di diagnosa oleh

dokter dan di lihat dari rekam medis puskesmas.

b. Kriteria Objektif

1) ISPA: Pasien 0 - 60 bulan yang terdiagnosis ISPA oleh dokter dan

tercatat direkam medis puskesmas.

2) Tidak ISPA: Pasien 0 - 60 bulan yang tidak terdiagnosis ISPA oleh

dokter dan tercatat di rekam medis puskesmas.

c. Skala Pengukuran

Skala ukur yang digunakan adalah skala nominal.

2. Status Gizi

a. Definisi Operasional

Status gizi adalah keadaan gizi balita berdasarkan hasil

penimbangan (keadaan tubuh balita yang dinilai menggunakan indeks

antropometri berat badan / tinggi badan (IMT) menurut umur yang

diambil dari catatan dalam buku KIA / buku register Posyandu (Rekam

Medik) dan di interpretasikan kedalam kurva WHO.


46

b. Kriteria Objektif

1) Tidak berisiko : Pasien 0 - 60 bulan yang memiliki status gizi -2,0

SD s/d 2,0 SD yang di ukur berdasarkan IMT/U menggunakan

charta WHO.

2) Berisiko : Pasien 0 - 60 bulan yang memiliki status gizi <-3,0

SD s/d <-2,0 SD yang di ukur berdasarkan IMT/U menggunakan

kurva WHO.

c. Skala Pengukuran

Skala ukur yang digunakan adalah skala nominal.

F. Analisis Data

1. Metode Pengelolaan Data

Data yang diambil yaitu data terkumpul dilakukan pengolahan

dengan tahap - tahap diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Editing

Tahap ini dimaksud agar data yang telah dikumpulkan dapat

diolah dengan baik dan benar sehingga dapat menghasilkan informasi

yang benar. Dilakukan dengan cara memeriksa dan mengamati

kelengkapan pengisian, sehingga apabila terjadi kesalahan dapat

ditelusuri kembali.

b. Coding

Pemberian kode dilakukan setelah kegiatan penyuntingan berupa

pemberian nilai atau angka untuk mempermudah pengolahan data.


47

c. Scoring

Tahap ini dilakukan setelah ditetapkan hasil observasi sehingga

setiap hasil observasi dapat diinterpretasikan.

d. Tabulating

Untuk mengelompokkan data sesuai denga tujuan penelitian,

membuat tabel distribusi frekuensi Entry Data (Processing) kemudian

dimasukkan kedalam tabel dengan cara menghitung frekuensi data.

2. Analisis data

Data yang terkumpul dalam penelitian ini dianalisis secara dua kali

yaitu :

a. Tahap 1 : Mencari hubungan status gizi dengan Kejadian ISPA Balita

di Kota Kendari dengan Kabupaten Buton Utara.

b. Tahap 2 : Mencari perbedaan hubungan status gizi dengan Kejadian

ISPA Balita di Kota Kendari dengan Kabupaten Buton Utara.

Analisis untuk tahap 1 :

1) Analisis Univariat sampel yang ada di Kota Kendari dengan

Kabupaten Buton Utara.

2) Analisis Bivariat untuk masing-masing variabel pada Kota Kendari

dengan Kabupaten Buton utara.

Analisis tahap 2 :

1) Menganalisis perbedaan hubungan status gizi dengan kejadian

ISPA balita di Kota Kendari dengan di Kabupaten Buton Utara.


48

a. Univariat

Merupakan penyajian data secara deskriptif dengan menghitung

distribusi frekuensi. Variabel independent adalah status gizi dengan

skala data kategorik yaitu data nominal serta dependent adalah ISPA

dengan skala data kategorik yaitu data nominal.

b. Bivariat

Tujuan analisis ini untuk menjelaskan hubungan dua variabel

yaitu antara variabel independent yang diduga mempunyai hubungan

bermakna dengan variabel dependent.

Dilakukan uji normalitas sampel dengan menggunakan uji

Kolmogoro - Smirnow untuk melihat distribusi sampel, dilanjutkan Uji

statistik yang menggunakan metode chi - square dengan uji alternative

fisher test. Selain itu juga akan dilakukan Uji statistik Mann - Whitney

Test untuk mengetahui perbedaan hubungan status gizi dengan

kejadian ISPA Balita di Kota Kendari dengan Kabupaten Buton Utara.

Interpretasi

a) Jika P>0,05 maka H0 diterima dan Ha ditolak jadi tidak terdapat

hubungan atau perbedaan yang bermakna.

b) Jika P≤ 0,05 maka H0 ditolak dan Ha diterima jadi terdapat

hubungan atau perbedaan yang bermakna.


49

G. Alur Penelitian

Adapun alur penelitian yang akan dilakukan sebagai berikut :

Studi pustaka

Survei Pendahuluan dan Pengumpulan data awal

Identifikasi Masalah

Menentukan masalah, tujuan, manfaat, dan desain penelitian

Menentukan Populasi dan Sampel Penelitian

Uji Kelayakan Etika Penelitian

Surat Izin Penelitian Diperoleh

Pasien yang Memenuhi Kriteria Inklusi

Kontrol Kasus

Sekunder : Pengambilan Data ISPA Balita

Analisis Data

Hasil dan Pembahasan Penelitian

Penyajian Hasil Akhir

Gambar 4. Alur Penelitian


50

H. Etik Penelitian

Etika merupakan hal yang sangat penting dalam melaksanakan sebuah

penelitian mengingat penelitian berhubungan langsung dengan manusia,

maka segi etika penelitian harus diperhatikan karena manusia mempunyai hak

asasi.

Penelitian ini telah mendapatkan Kelaikan Etik (Ethical Clearance) dari

Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo

dengan nomor : 088 / UN29. 17. 1. 3 / ETIK / 2020 peneliti harus melalui

beberapa tahap pengurusan perizinan seperti meminta persetujuan dari kepala

puskesmas terkait, setelah mendapat persetujuan kemudian peneliti

melakukan pengambilan data sekunder. Setelah mendapat persetujuan,

barulah melaksanakan penelitian dengan memperhatikan hal berikut:

1. Anonimity

Selama kegiatan penelitian, nama responden tidak dicantumkan dan

peneliti menggunakan nomor responden.

2. Confidentially

Peneliti juga menjaga kerahasiaan identitas responden dan informasi

yang diperoleh, disimpan sebagai dokumentasi penelitian.

3. Reward

Peneliti memberikan penghargaan sebagai rasa terima kasih dalam

melakukan kerjasama saat penelitian berlangsung.


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

1. Puskesmas Poasia

a. Letak Geografis

Puskesmas Poasia terletak di Kecamatan Poasia Kota Kendari,

sekitar 9 (sembilan) kilometer dari Kota Kendari. Sebagian besar

wilayah kerja merupakan dataran rendah dan sebagian merupakan

perbukitan sehingga sangat ideal untuk pemukiman. Di bagian utara

berbatasan dengan Teluk Kendari yang sebagian besar berupa

hamparan empang. Pada bagian barat yang mencakup 3 kelurahan

(Kelurahan Anduonohu, Rahandouna dan Kelurahan Wundumbatu)

merupakan daerah dataran yang ideal untuk pemukiman sehingga

sebagian besar penduduk bermukim di ketiga kelurahan ini. Pada

bagian timur merupakan daerah perbukitan.

1) Sebelah Utara berbatasan dengan Teluk Kendari.

2) Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Abeli.

3) Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Moramo.

4) Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Kambu.

Luas wilayah kerja Puskesmas Poasia sekitar 4.175 Ha atau

44.75 km2 atau 15,12% dari luas daratan Kota Kendari terdiri dari 4

Kelurahan definitif, yaitu Anduonohu luas 1.200 Ha, Rahandouna luas

1.275 Ha, Anggoeya luas 1.400 Ha dan Matabubu luas 300 Ha, dengan

51
52

82 RW/RK dengan jumlah penduduk 28.932 jiwa tahun 2019 serta

Wundumbatu dengan jumlah penduduk 6.411 jiwa dan dengan jumlah

rumah tangga sebanyak 8.558 Kepala Keluarga dan dengan tingkat

kepadatan penduduk 49 sampel/m2 atau 490 sampel/km2, dengan

tingkat kepadatan hunian rumah rata - rata 5 sampel / rumah.

b. Demografis

Gambar 5. Peta Wilayah Kerja Puskesmas Poasia.

Penduduk adalah sampel atau sejumlah sampel yang menempati

suatu wilayah tertentu dalam jangka waktu tertentu. Data tentang

kependudukan sangat penting artinya di dalam menghitung sebaran

jumlah penduduk, jumlah rumah tangga. Data ini bisa diperoleh dari

laporan penduduk, sensus penduduk dan survei penduduk. Jumlah

penduduk di wilayah kerja Puskesmas Poasia pada tahun 2019

sebanyak 32.872 jiwa yang tersebar di 5 (lima) wilayah Kelurahan.


53

c. Upaya Kesehatan dan Kebijakan Pembangunan Kesehatan

Puskesmas bertanggung jawab menyelenggarakan Upaya

Kesehatan Persesampelan tingkat pertama dan Upaya Kesehatan

Masyarakat tingkat pertama sesuai dengan PERMENKES nomor 74

tahun 2014 tentang Puskesmas. Upaya Kesehatan Masyarakat tingkat

pertama meliputi Upaya Kesehatan Masyarakat Esensial dan Upaya

Kesehatan Masyarakat Pengembangan. Upaya Kesehatan Masyarakat

Esensial terdiri dari:

1) Pelayanan Promosi Kesehatan.

2) Pelayanan Kesehatan Lingkungan.

3) Pelayanan Kesehatan Ibu, Anak, dan Keluarga Berencana (KIA /

KB).

4) Pelayanan Gizi .

5) Pelayanan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit.


54

d. Distribusi Penduduk Wilayah Kerja Puskesmas Poasia

Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2019

Distribusi Penduduk Wilayah Kerja Puskesmas Poasia

Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2019 dapat dilihat pada table 2

sebagai berikut.

Tabel 2. Distribusi penduduk wilayah kerja Puskesmas Poasia


Laki- Perempua
Kelurahan % % Total %
laki n
Anduonohu 6132 36,98 6017 36,29 12149 36,96
Rahandouna 3298 19,89 3098 18,69 6396 19,46
Wundumbatu 3513 21,19 3274 19,75 6787 20,65
Anggoeya 3032 18,29 2975 17,94 6007 18,27
Matabubu 774 4,67 759 4,58 1533 4,66
Total 16749 100 16123 100 32872 100
Sumber : Data Profil Puskesmas Poasia.

Data diatas menunjukkan bahwa jumlah laki - laki terbanyak

pada Kelurahan Anduonohu sebanyak 6.132 jiwa (36,98%) dan

yang terkecil terdapat pada Kelurahan Matabubu sebanyak 774 jiwa

(4,67%). Adapun jumlah perempuan terbanyak terdapat pada

Kelurahan Anduonohu sebanyak 6.017 jiwa (36,93%) dan yang

terkecil terdapat pada Kelurahan Matabubu sebanyak 759 jiwa

(4,58%).

e. Ketenagaan

Jumlah dokter yang ada di Puskesmas Poasia sebanyak 4 sampel

dengan perincian yaitu dokter umum sebanyak 2 sampel dan dokter

gigi sebanyak 2 sampel. Sedangkan jumlah tenaga keperawatan

sebanyak 18 sampel dan jumlah tenaga bidan sebanyak 14 sampel.


55

Jumlah tersebut merupakan jumlah tenaga dengan status Pegawai

Negeri Sipil (PNS).

2. Puskesmas Abeli

a. Letak Geografis

Gambar 6. Peta Wilayah Kerja Puskesmas Abeli

UPTD Puskesmas Abeli berada pada wilayah timur khatulistiwa

terbentang pada koordinat antara -3.99261333 & 3059’33,408” LS dan

membentang dari barat ke timur antara 122.583700001

-122035’1,320” BT. Memiliki luas wilayah kerja UPTD Puskesmas

Abeli ± 21.64 Km2, sebagian wilayah kerja UPTD Puskesmas Abeli

dikelilingi oleh laut. Selain itu juga, UPTD Puskesmas Abeli

merupakan salah satu Puskesmas Perawatan dari 15 Puskesmas yang

ada di Kota Abeli, terletak di Kelurahan Abeli Kecamatan Abeli. Jarak

dari ibu kota Provinsi (Kantor Walikota) ± 12 Km, yang mempunyai

batas-batas sebagai berikut :


56

1) Sebelah Utara berbatasan dengan Teluk Abeli

2) Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Moramo

3) Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Konda

4) Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Matabubu Kecamatan

Abeli.

b. Keadaan Penduduk

Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk di wilayah kerja

Puskesmas Abeli dapat dilihat pada table 3 sebagai berikut.

Tabel 3. Luas Wilayah, Jumlah Kelurahan, Jumlah Penduduk, Jumlah


Rumah Tangga dan Kepala Keluarga UPTD Puskesmas Abeli
Tahun 2019.

Sumber data : Kecamatan Abeli Tahun 2019.

Pada tahun 2019, jumlah penduduk di wilayah kerja UPTD

Puskesmas Abeli mencapai 20.690 jiwa yang terdiri dari 10.443 laki-

laki dan 10.247 perempuan. Jumlah ini mengalami peningkatan

sebesar 2% dibanding jumlah penduduk tahun 2018 sebesar 20.098

jiwa. Hal ini disebabkan adanya jumlah kelahiran dan urbanisasi

penduduk. Secara keseluruhan dari 8 Kelurahan wilayah kerja UPTD


57

Puskesmas Abeli di Kecamatan Abeli memiliki luas wilayah ± 21.64

Km2 atau 100 persen lebih dari luas Kecamatan Abeli.

3. Puskesmas Waode Buri

a. Letak Geografis Wilayah Kerja Puskesmas Waode Buri

1) Sebelah Utara berbatasan dengan desa Pebaoa.

2) Sebelah Selatan berbatasan dengan desa Tomoahi (Kecamatan

Kulisusu).

3) Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Banda.

4) Sebelah Barat berbatasan dengan Kulisusu Barat.

b. Wilayah Kerja Puskesmas Waode Buri

Wilayah Kerja Puskesmas Waode Buri: Meliputi 7 Desa yaitu :

1) Desa E’erinere

2) Desa Ulunambo

3) Desa Wamboule

4) Desa Waode Buri

5) Desa Labelete

6) Desa Lelamo

7) Desa Peteea’a

c. Luas wilayah Kerja

Luas Wilayah Kerja Puskesmas Waode Buri: 4900 Km².


58

d. Keadaan Penduduk

Berdasarkan hasil pendataan terakhir, jumlah penduduk di

Wilayah Kerja Puskesmas Waode Buri adalah 5.010 jiwa yang tersebar

di 7 (tujuh) wilayah desa.

e. Sosial Ekonomi

Mata pencaharian terbesar penduduk adalah petani pedagang /

industri (74%). Selebihnya adalah PNS (13%), pedagang (8,2%) dan

sisanya buruh, pelaut serta pekerja lainnya (4,8%).

4. Puskesmas Kulisusu

a. Letak Geografis

Puskesmas Kulisusu berada dalam wilayah administrasi

Kecamatan Kulisusu dengan wilayah kerja meliputi 7 kelurahan dan

16 desa dengan luas wilayah sebesar 172,78 km2 dengan jumlah

penduduk sebanyak 22.968 jiwa yang terdiri dari 11.352 jiwa laki-Iaki

dan 11.616 jiwa perempuan. Sebagian besar wilayah kerja Puskesmas

Kulisusu terdiri atas dataran tinggi dan dataran rendah serta rawa-rawa

yang secara administrasi berbatasan dengan :

1) Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Kulisusu Utara.

2) Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Kulisusu Barat dan

Kecamatan Bonegunu.

3) Sebelah selatan berbatasan dengan laut banda.

4) Sebelah timur berbatasan dengan laut banda.


59

b. Demografis

Tenaga kesehatan yang bekerja di Puskesmas Kulisusu berjumlah

46 sampel PNS yang terdiri dari berbagai latar belakang pendidikan.

c. Upaya Kesehatan dan Kebijakan Pembangunan Kesehatan

Puskesmas Kulisusu memiliki 1 buah gedung puskesmas sebagai

tempat pelayanan kepada masyarakat kemudian dilengkapi dengan 1

buah gedung sebagai tempat perawatan pasien rawat inap, gudang obat

yang terdiri dari 2 buah ruangan.

Adapun jenis - jenis pelayanan yang berada di Puskesmas

Kulisusu Kabupaten Buton Utara adalah sebagai berikut :

1) Unit Gawat Darurat ( l x 24 jam);

2) Unit Rawat Inap ( I x 24 jam);

3) Unit Rawat Jalan dan Poli Klinik Umum;

4) Poli Gigi dan Mulut;

5) Apotik;

6) Unit Bersalin dan Kesehatan lbu dan Anak (KIA);


60

B. Hasil Penelitian

1. Karakteristik Sampel

a. Karakteristik Sampel Penelitian di Kota Kendari

Karakteristik sampel penelitian di Kota Kendari pada penelitian

ini dapat dilihat pada Tabel 4 sebagai berikut.

Tabel 4. Karakteristik Sampel Penelitian di Kota Kendari


Kas Ko
us ntr
Karakteristik Sampel ol
n (%) n (%)
Jenis Laki – laki 41 60,3 40 59
Kelamin Perempuan 27 39,7 28 41
Total 68 100 68 100
Laki - laki berisiko 21 31 6 8,8
Laki - laki tidak berisiko 20 29,4 34 50
Status Gizi
Perempuan Berisiko 16 23,5 6 8,8
Perempuan tidak berisiko 11 16,1 22 32,4
Total 68 100 68 100
0 - 12 Bulan 18 26,5 18 26,4
13 - 24 Bulan 20 29,4 22 32,4
Usia 25 - 36 Bulan 8 11,8 10 14,7
37 - 48 Bulan 17 25 14 20,6
49 - 60 Bulan 5 7,3 4 5,9
Total 68 100 68 100
Sumber: Data Primer, 2021.

Berdasarkan Tabel 4, Data karakteristik sampel berdasarkan jenis

kelamin di Kota Kendari menunjukkan bahwa paling banyak pada

kelompok kasus adalah laki - laki yaitu sebanyak 41 sampel (60,3%),

dan perempuan sebanyak 27 sampel (39,7%). Sedangkan pada

kelompok kontrol, jenis kelamin laki-laki sebanyak 40 sampel (59%),

dan perempuan sebanyak 28 sampel (41%).


61

Karakteristik status gizi berdasarkan jenis kelamin pada

kelompok kasus menunjukkan bahwa status gizi berisiko paling tinggi

pada laki-laki berisiko dengan jumlah kasus 21 sampel (31%), dan

perempuan berisiko berjumlah 16 sampel (23,5%), sementara status

gizi tidak berisiko paling tinggi juga pada laki-laki dengan jumlah 20

sampel (29,4%), dan perempuan tidak berisiko sebanyak 11 sampel

(16,1%). Sementara pada kelompok kontrol menunjukkan bahwa

status gizi antara laki-laki berisiko dan perempuan berisiko sama yaitu

sebanyak 6 sampel (8,8%), sementara status gizi paling tinggi pada

laki-laki tidak berisiko dengan jumlah 34 sampel (50%), dan

perempuan tidak berisiko sebanyak 22 sampel (32,4%).

Karakteristik sampel berdasarkan usia menunjukkan usia yang

paling banyak pada kelompok kasus adalah 13 - 24 bulan yaitu

sebanyak 20 sampel (29,4%), diikuti usia 0 - 12 bulan sebanyak 18

sampel (26,5%), 37 - 48 bulan sebanyak 17 sampel (25%), 25 - 36

bulan sebanyak 8 sampel (11,8%), dan 49 - 60 bulan sebanyak 5

sampel (7,3%). Pada kelompok kontrol, tingkatan usia yang paling

banyak adalah 13 - 24 bulan yaitu sebanyak 22 sampel (32,4%), diikuti

usia 0 -12 bulan sebanyak 18 sampel (26,4%), 37 - 48 bulan sebanyak

14 sampel (20,6%), 25 - 36 bulan sebanyak 10 sampel (14,7%), dan 49

- 60 bulan sebanyak 4 sampel (5,9%).


62

b. Karakteristik Sampel Penelitian di Kabupaten Buton Utara

Karakteristik sampel penelitian di Kabupaten Buton Utara pada

penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 5 sebagai berikut.

Tabel 5. Karakteristik Sampel Penelitian di Kabupaten Buton Utara


Kasus Ko
nt
Karakteristik Sampel ro
l
n (%) n (%)
Jenis Laki – laki 36 53 39 57,4
Kelamin Perempuan 32 47 29 42,6
Total 68 100 68 100
Laki - laki berisiko 20 29,4 7 10,3
Laki - laki tidak berisiko 16 23,5 32 47,1
Status Gizi
Perempuan Berisiko 19 28 3 4,4
Perempuan tidak berisiko 13 19,1 26 38,2
Total 68 100 68 100
0 - 12 Bulan 16 23,6 13 19,1
13 - 24 Bulan 25 36,8 27 39,7
Usia 25 - 36 Bulan 12 17,6 15 22,1
37 - 48 Bulan 12 17,6 9 13,2
49 - 60 Bulan 3 4,4 4 5,9
Total 68 100 68 100
Sumber: Data Primer, 2021.

Berdasarkan Tabel 5, Data karakteristik sampel berdasarkan jenis

kelamin di Kabupaten Buton Utara menunjukkan bahwa paling banyak

pada kelompok kasus adalah laki-laki yaitu sebanyak 36 sampel

(53%), dan perempuan sebanyak 32 sampel (47%). Sedangkan pada

kelompok kontrol, jenis kelamin laki-laki sebanyak 39 sampel

(57,4%), dan perempuan sebanyak 29 sampel (42,6%).

Karakteristik status gizi berdasarkan jenis kelamin pada

kelompok kasus menunjukkan bahwa status gizi paling tinggi pada


63

laki-laki berisiko dengan jumlah kasus 20 sampel (29,4%), dan

perempuan berisiko berjumlah 19 sampel (28%), sementara status gizi

paling tinggi juga pada laki-laki tidak berisiko dengan jumlah 16

sampel (23,5%), dan perempuan tidak berisiko sebanyak 13 sampel

(19,1%). Sementara pada kelompok kontrol menunjukkan bahwa

status gizi paling tinggi pada laki-laki berisiko dengan jumlah kasus 7

sampel (10,3%), dan perempuan berisiko berjumlah 3 sampel (4,4%),

sementara status gizi paling tinggi juga pada laki-laki tidak berisiko

dengan jumlah 32 sampel (47,1%), dan perempuan tidak berisiko

sebanyak 26 sampel (38,2%).

Karakteristik sampel berdasarkan usia menunjukkan usia yang

paling banyak pada kelompok kasus adalah 13 - 24 bulan yaitu

sebanyak 25 sampel (36,8%), diikuti usia 0 - 12 bulan sebanyak 16

sampel (23,6%), 37 - 48 bulan sebanyak 12 sampel (17,6%), 25 - 36

bulan sebanyak 12 sampel (17,6%), dan 49 - 60 bulan sebanyak 3

sampel (4,4%). Pada kelompok kontrol, tingkatan usia yang paling

banyak adalah 13 - 24 bulan yaitu sebanyak 27 sampel (39,7%), diikuti

usia 25 - 36 bulan sebanyak 15 sampel (22,1%), 0 - 12 bulan sebanyak

13 sampel (19,1%), 37 - 48 bulan sebanyak 9 sampel (13,2%), dan 49

-60 bulan sebanyak 4 sampel (5,9%).


64

2. Analisis Univariat

Penelitian ini dilaksanakan di Kota Kendari dan di Kabupaten

Buton Utara tepatnya di Puskesmas Abeli, Puskesmas Poasia,

Puskesmas Waode Buri, dan Puskesmas Kulisusu. Penelitian ini

dilaksanakan pada Bulan Desember 2020 sampai Januari 2021. Dalam

penelitian ini didapatkan jumlah sampel pada kelompok kasus di Kota

Kendari sebanyak 68 sampel dan di Kabupaten Buton Utara sebanyak

68 sampel. Sedangkan kelompok kontrol di Kota Kendari sebanyak 68

sampel, dan di Kabupaten Buton Utara sebanyak 68 sampel.

a. Karakteristik dasar subjek penelitian di Kota Kendari

berdasarkan status gizi

Karakteristik Dasar Subjek Penelitian di Kota Kendari

berdasarkan status gizi dapat dilihat pada Tabel 6 sebagai berikut:

Tabel 6. Karakteristik Dasar Subjek Penelitian di Kota Kendari


berdasarkan status gizi
Kasus Kontrol
Karakteristik Dasar
n % n %
Berisiko 37 54,4 12 17,6
Status Gizi
Tidak Berisiko 31 45,6 56 82,4
Total 68 100 68 100
Sumber: Data Primer, 2021.

Berdasarkan Tabel 6, Data karakteristik sampel berdasarkan

status gizi yang berisiko pada kelompok kasus adalah sebanyak 37

sampel (54,4%) dan tidak berisiko sebanyak 31 sampel (45,6%).


65

Pada kelompok kontrol yang memiliki status gizi berisiko

sebanyak 12 sampel (17,6%) dan tidak berisiko sebanyak 56

sampel (82,4%).

b. Karakteristik dasar subjek penelitian di Kabupaten Buton Utara

berdasarkan status gizi

Karakteristik Dasar Subjek Penelitian di Kabupaten Buton

Utara berdasarkan status gizi dapat dilihat pada Tabel 7 sebagai

berikut:

Tabel 7. Karakteristik Dasar Subjek Penelitian di Kabupaten


Buton Utara berdasarkan status gizi.
Kasus Kontrol
Karakteristik Dasar
n % n %
Berisiko 39 57,4 10 14,7
Status Gizi
Tidak Berisiko 29 43,6 58 85,3
Total 68 100 68 100
Sumber: Data Primer, 2021.

Berdasarkan Tabel 7, Data karakteristik sampel berdasarkan

status gizi yang berisiko pada kelompok kasus adalah sebanyak 39

sampel (57,4%) dan tidak berisiko sebanyak 29 sampel (43,6%).

Pada kelompok kontrol yang memiliki status gizi berisiko

sebanyak 10 sampel (14,7%) dan tidak berisiko sebanyak 58

sampel (85,3%).

3. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan atau

perbedaan antara variabel independen dengan dependen yaitu status

gizi dengan kejadian ISPA Balita di Kota Kendari dan Kabupaten


66

Buton Utara. Hubungan status gizi berisiko dengan kejadian ISPA

Balita di Kota Kendari dan Kabupaten Buton Utara dianalisis

menggunakan program komputer SPSS dengan tingkat kemaknaan

95% (α < 5%). H0 ditolak jika p-value α < 0,05.

a. Analisis hubungan status gizi dengan kejadian ISPA Balita di

Kota Kendari

Hasil Analisis Hubungan status gizi dengan kejadian ISPA

Balita di Kota Kendari dapat dilihat pada table 8 sebagai berikut:

Tabel 8. Analisis Hubungan status gizi dengan kejadian ISPA


Balita di Kota Kendari
Sampel Penelitian
p value
Status Gizi ISPA
Ya % Tidak %
Berisiko 37 54,4 12 17,6
0,000
Tidak Berisiko 31 45,6 56 82,4
Total 68 100 68 100
Sumber: Data Primer, 2021.

Berdasarkan Tabel 8, Data karakteristik sampel berdasarkan

status gizi yang berisiko pada kelompok kasus adalah sebanyak 37

sampel (54,4%) dan tidak berisiko sebanyak 31 sampel (45,6%).

Pada kelompok kontrol yang memiliki status gizi berisiko

sebanyak 12 sampel (17,6%) dan tidak berisiko sebanyak 56

sampel (82,4%).

Dari analisis di Kota Kendari diperoleh Status Gizi berisiko

dan mengalami ISPA sebanyak 37 sampel, status gizi berisiko

tidak ISPA sebanyak 12 sampel, status gizi tidak berisiko dan


67

mengalami ISPA sebanyak 31 orang , status gizi tidak berisiko

ISPA dan tidak mengalami ISPA sebanyak 56 sampel.

Uji statistik Chi-Square dengan tingkat kemaknaan α = 0,05

diperoleh p-value = 0,000 karena p-value <0,05 (0,000 < 0,05)

maka disimpulkan hipotesis diterima atau ada hubungan kuat

antara status gizi dengan kejadian ISPA di Kota Kendari.

b. Analisis hubungan status gizi dengan kejadian ISPA Balita di

Kabupaten Buton Utara.

Hasil Analisis Hubungan status gizi dengan kejadian ISPA

Balita di Kabupaten Buton Utara dapat dilihat pada table 9 sebagai

berikut:

Tabel 9. Analisis Hubungan status gizi dengan kejadian ISPA


Balita di Kabupaten Buton Utara

Sampel Penelitian
p value
Status Gizi ISPA
Ya % Tidak %
Berisiko 39 57,4 10 14,7
0,000
Tidak Berisiko 29 42,6 58 85,3
Total 68 100 68 100
Sumber: Data Primer, 2021.

Berdasarkan Tabel 9, data karakteristik sampel berdasarkan

status gizi yang berisiko pada kelompok kasus adalah sebanyak 39

sampel (57,4%) dan tidak berisiko sebanyak 29 sampel (42,6%).

Pada kelompok kontrol yang memiliki status gizi berisiko


68

sebanyak 10 sampel (14,7%) dan tidak berisiko sebanyak 58

sampel (85,3%).

Dari analisis di Kabupaten Buton Utara diperoleh Status Gizi

berisiko dan mengalami ISPA sebanyak 39 sampel, status gizi

berisiko tidak ISPA sebanyak 10 sampel, status gizi tidak berisiko

dan mengalami ISPA sebanyak 29 orang , status gizi tidak berisiko

ISPA dan tidak mengalami ISPA sebanyak 58 sampel.

Uji statistik Chi-Square dengan tingkat kemaknaan α = 0,05

diperoleh p-value = 0,000 karena p-value <0,05 (0,000 < 0,05)

maka disimpulkan hipotesis diterima atau ada hubungan kuat

antara status gizi dengan kejadian ISPA di Kabupaten Buton Utara.

c. Analisis perbedaan hubungan status gizi dengan kejadian

ISPA Balita di Kota Kendari dengan Kabupaten Buton Utara

Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya

perbedaan hubungan status gizi dengan kejadian ISPA Balita di

Kota Kendari dengan Kabupaten Buton Utara. Uji yang digunakan

adalah analisa Mann-Whitney Tes. Dari hasil analisis Mann-

Whitney Tes dapat dilihat pada Tabel 10 sebagai berikut :

Tabel 10. Analisis perbedaan hubungan status gizi dengan


kejadian ISPA Balita di Kota Kendari dengan Kabupaten
Buton Utara
Mean Sum of Asymp. Sig. (2-
Lokasi N
Rank Ranks tailed)
Kota
68 69,50 4726
Kendari 0,731
Buton Utara 68 67.50 4590
Total 136
Sumber : Data Primer 2021.
69

Berdasarkan Tabel 10, dapat dilihat dari analisis data SPPS


menggunakan uji Mann-Whitney Tes di peroleh nilai Asymp.sig.
(2-tailed) sebesar 0,731 ( > 0,05) yang menandakan H0 di terima
yaitu tidak terdapat perbedaan hubungan status gizi dengan
kejadian ISPA di Kota Kendari dengan Kabupaten Buton Utara.

B. Pembahasan

1. Analisis Univariat

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan

status gizi dengan kejadian ISPA Balita di Kota Kendari dan Kabupaten

Buton Utara. Sampel pada penelitian ini adalah pasien berusia 0 - 60 bulan

yang didiagnosis ISPA oleh dokter di Puskesmas Abeli, Puskesmas

Poasia, Puskesmas Waode Buri dan Puskesmas Kulisusu. Jumlah sampel

kasus dan kontrol minimal yang dibutuhkan di Kota Kendari dan

Kabupaten Buton Utara masing-masing 68 sampel.

a. Karakteristik sampel penelitian di Kota Kendari berdasarkan

status gizi

Berdasarkan hasil analisis univariat, sampel dengan jenis kelamin

di Kota Kendari paling banyak adalah laki-laki yaitu sebanyak 41

sampel (60,3%), sedangkan perempuan sebanyak 27 sampel (39,7%).

Berdasarkan teori, jenis kelamin laki-laki lebih berisiko 3 kali di

bandingkan dengan jenis kelamin perempuan, hal ini disebabkan

aktivitas anak laki-laki lebih banyak di luar dibandingkan dengan anak

perempuan selain itu juga riwayat kontak anak laki-laki lebih banyak

dibandingkan dengan perempuan (Putriyani, 2017).


70

Berdasarkan hasil analisis univariat, sampel dengan usia yang

paling banyak pada kelompok kasus adalah 13 - 24 bulan yaitu

sebanyak 20 sampel (29,4%), Secara teori, usia mempunyai pengaruh

cukup besar untuk terjadinya ISPA. Anak-anak dengan usia < 2 tahun

(< 24 bulan) merupakan faktor risiko terjadinya ISPA. Hal ini

disebabkan karena anak dibawah dua tahun imunitasnya belum

sempurna dan saluran napas lebih sempit. Kejadian ISPA pada bayi

dan balita akan memberikan gambaran klinik yang lebih besar dan

jelek, hal ini disebabkan karena ISPA pada bayi dan balita merupakan

kejadian infeksi pertama serta belum terbentuknya secara optimal

proses kekebalan secara alamiah (Putriyani, 2017).

b. Karakteristik Sampel Penelitian di Kabupaten Buton Utara

Berdasarkan hasil analisis univariat, sampel dengan jenis kelamin

di Kabupaten Buton Utara, sampel dengan jenis kelamin yang paling

banyak adalah laki-laki yaitu sebanyak 36 sampel (53%), dan

perempuan sebanyak 32 sampel (47%). Berdasarkan teori, jenis

kelamin laki-laki lebih berisiko 3 kali di bandingkan dengan jenis

kelamin perempuan, hal ini disebabkan aktivitas anak laki-laki lebih

banyak di luar dibandingkan dengan anak perempuan selain itu juga

riwayat kontak anak laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan

perempuan (Putriyani, 2017).

Berdasarkan hasil analisis univariat, sampel dengan usia,

menunjukkan usia yang paling banyak adalah 13 - 24 bulan yaitu


71

sebanyak 25 sampel (36,8%). Menurut teori, usia mempunyai

pengaruh cukup besar untuk terjadinya ISPA. Anak-anak dengan usia

< 2 tahun (< 24 bulan) merupakan faktor risiko terjadinya ISPA. Hal

ini disebabkan karena anak dibawah dua tahun (< 24 bulan)

imunitasnya belum sempurna dan saluran napas lebih sempit. Kejadian

ISPA pada bayi dan balita akan memberikan gambaran klinik yang

lebih besar dan jelek, hal ini disebabkan karena ISPA pada bayi dan

balita merupakan kejadian infeksi pertama serta belum terbentuknya

secara optimal proses kekebalan secara alamiah (Putriyani, 2017).

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara

variabel independen dengan dependen yaitu status gizi dengan kejadian

ISPA di Kota Kendari dan Kabupaten Buton Utara. Hubungan status gizi

dengan kejadian ISPA di Kota Kendari dan Kabupaten Buton Utara

dianalisis menggunakan program komputer SPSS dengan tingkat

kemaknaan 95% (α <5%). H0 ditolak jika p-value α<0,05.

a. Analisis hubungan status gizi dengan kejadian ISPA Balita di

Kota Kendari

Berdasarkan tabel analisis bivariat, data 136 sampel yang terdiri

dari kelompok kasus dan kontrol diketahui bahwa yang berisiko

sebanyak 49 pasien. Status gizi berisiko dianggap berkontribusi besar

dalam kejadian ISPA. Faktor yang dapat menyebabkan terjadinya

ISPA pada balita yaitu status gizi, dimana keadaan balita yang
72

mengalami status gizi kurang dapat memperlambat pertumbuhan dan

perkembangan hormonal pada balita (Nasution, 2020).

Uji hipotesis yang digunakan adalah uji chi - square diperoleh

nilai p-value di Kota Kendari sebesar 0,000 , artinya H0 ditolak dan Ha

diterima sehingga terdapat hubungan status gizi dengan kejadian ISPA

Balita di Kota Kendari. Balita dengan status gizi kurang akan

memperlemah daya tahan tubuh dan menimbulkan penyakit terutama

yang disebabkan oleh infeksi. Hal ini sejalan dengan penelitian

sebelumnya oleh Febrianto dkk., (2015) yang menemukan 8 orang

2,4% berisiko ISPA dari 42 sampel kelompok kasus maupun kontrol.

Balita dengan status gizi kurang akan lebih rentan terhadap penyakit

infeksi dan bahkan serangannya lebih lama dibandingkan dengan anak

gizi normal (Suryani dkk., 2018). Asupan makanan akan menghasilkan

zat gizi memiliki efek yang kuat untuk reaksi resistensi terhadap

infeksi dan imunitas tubuh. Balita yang dalam keadaan kurang energi

protein, sehingga menyebabkan menurunnya ketahanan tubuh dan

virulensi patogen lebih kuat dapat menyebabkan mudah terserang

infeksi dan terganggunya keseimbangan tubuh, untuk mempertahankan

kondisi tubuh dalam keadaan seimbang diperlukan asupan gizi yang

cukup dan seimbang untuk memenuhi status gizi yang baik (Nasution,

2020).
73

Protein dikatakan sebagai sumber zat gizi utama yang dibutuhkan

tubuh dan sebagai salah satu untuk pembentukan enzim yang berfungsi

dalam metabolisme tubuh, termasuk sistem imun. Antibodi globulin

gamma yang disebut dengan istilah imunoglobilin merupakan 20%

dari seluruh energi plasma. Immunoglobulin terdiri dari rantai

polipeptida yang mengandung berbagai jenis asam amino spesifik.

Salah satu asam amino yang berfungsi dalam sistem imun yaitu asam

amino treonin yang memiliki kemampuan dapat mencegah masuknya

bakteri dan virus terutama paru - paru dan saluran nafas (Nasution,

2020).

Sistem imun yang tidak baik bisa dipengaruhi oleh kekurangan

protein di dalam tubuh sehingga dapat menyebabkan tubuh lebih

mudah terpapar penyakit infeksi. Selain itu, kekurangan protein juga

dapat berdampak terhadap metabolisme vitamin dan mineral dimana

berfungsi sebagai anti oksidan yang tidak mampu berfungsi secara

maksimal, dalam kondisi ini mengakibatkan baik flora normal maupun

bakteri dari luar dapat dengan mudah berkembang dan meningkatnya

virulensi, sehingga dapat menyebabkan timbulnya gejala penyakit,

termasuk ISPA (Nasution, 2020).

Selain status gizi ada beberapa faktor lain yang dapat

mempengaruhi kejadian ISPA Balita diantaranya usia, pemberian ASI

yang tidak memadai, imunisasi yang tidak lengkap, BBLR, polusi


74

udara, kondisi lingkungan yang kurang baik, sosial ekonomi, tingkat

pendidikan orang tua, dan kepadatan penduduk ( Retnowati, 2019).

b. Analisis hubungan status gizi dengan kejadian ISPA Balita di

Kabupaten Buton Utara

Berdasarkan tabel analisis bivariat, data 136 sampel yang terdiri

dari kelompok kasus dan kontrol diketahui bahwa yang berisiko

sebanyak 49 pasien. Salah satu faktor yang mempengaruhi angka

kejadian ISPA pada balita yaitu status gizi berisiko. Balita dengan gizi

kurang akan lebih baik mudah terserang ISPA bahkan serangannya

lebih lama dibandingkan dengan balita gizi normal karena daya tahan

tubuh yang kurang (Suryani dkk., 2018).

Uji hipotesis yang digunakan adalah uji chi - square diperoleh

nilai p-value di Kabupaten Buton Utara sebesar 0,000, artinya H0

ditolak dan Ha diterima sehingga terdapat hubungan status gizi

berisiko dengan kejadian ISPA Balita di Kabupaten Buton Utara.

Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya oleh Neli Sunarni

dkk (2017) yang menemukan balita yang mengalami ISPA sebanyak

63 balita (67%) dan sisanya 31 balita (33%) tidak mengalami ISPA.

Dan menunjukan balita dengan gizi kurang sebanyak 47 balita (50%),

gizi baik 39 balita (41,5%) sedangkan balita dengan gizi buruk

sebanyak 5 balita (5,3%) dan balita gizi lebih 3 balita (3,2%), hal ini
75

dikarenakan dimana semakin kurang status gizi balita maka akan

meningkatkan kejadian ISPA pada balita begitu juga sebaliknya.

Keadaan status gizi dipengaruhi oleh penyebab langsung dan tidak

langsung. Penyebab langsung adalah faktor makanan anak dan

penyakit infeksi yang diderita anak. Sedangkan penyebab tidak

langsung adalah ketahanan pangan dikeluarga, pola pengasuhan anak,

serta pelayanan kesehatan lingkungan (Sunarni, 2017).

Hasil penelitian yang didapatkan di Kabupaten Buton Utara

memberikan gambaran bahwa orang tua harus mengetahui pentingnya

status gizi untuk balita. Ibu sebagai orang tua yang dekat dengan

lingkungan asuh anak ikut berperan dalam proses tumbuh kembang

anak melalui makanan bergizi yang diberikan karena dengan makanan

yang bergizi menghasilkan energi menjadi kuat dan tidak rentan

terhadap penyakit. Banyak faktor lain selain status gizi berisiko yang

menyebabkan kejadian ISPA di Kabupaten Buton Utara diantaranya

daya tahan tubuh, kondisi lingkungan fisik rumah (kepadatan

penghuni, kondisi ventilasi, kondisi pencahayaan, keberadaan sekat

dapur, kondisi lubang asap dapur, kondisi kelembaban), usia, jenis

kelamin, imunisasi yang tidak lengkap, dan kurangnya pengetahuan

orang tua tentang pentingnya mengonsumsi ASI eksklusif (Sunaryanti,

2019).

c. Analisa perbedaan hubungan status gizi dengan kejadian ISPA

Balita di Kota Kendari dengan Kabupaten Buton Utara


76

Dari hasil penelitian menggunakan uji Mann - Whitney Test di

peroleh nilai Asymp.sig ( 2 – tailed ) sebesar 0.731 ( > 0,05 ) yang

menandakan tidak terdapat perbedaan hubungan status gizi dengan

kejadian ISPA di Kota Kendari dengan Kabupaten Buton Utara. Hal

tersebut jelas menunjukan bahwa balita yang memiliki status gizi yang

kurang baik di Kota Kendari maupun di Kabupaten Buton Utara akan

mudah terserang ISPA dibandingkan balita yang memiliki status gizi

yang baik. Secara teori status gizi yang kurang dapat menyebabkan

seseorang akan rentan terhadap infeksi, demikian juga sebaliknya.

Dalam keadaan gizi yang baik, tubuh mempunyai cukup kemampuan

untuk mempertahankan diri terhadap penyakit infeksi. Jika keadaan

gizi semakin buruk maka reaksi kekebalan tubuh akan melemah dan

menyebabkan penurunan kemampuan tubuh untuk mempertahankan

diri.

Berdasarkan hasil yang telah diperoleh didapatkan data status

gizi yang kurang dan mengalami ISPA tertinggi di Kabupaten Buton

Utara dibandingkan dengan di Kota Kendari. Hal ini dikarenakan

jumlah sampel yang mengalami status gizi berisiko di Kabupaten

Buton Utara lebih tinggi yaitu 39 sampel dibandingkan dengan jumlah

sampel dengan status gizi berisiko di Kota Kendari yaitu sebesar 37

sampel. Selain itu juga dari studi lapangan didapatkan bahwa orang-

orang yang tinggal di Kabupaten Buton Utara tidak memahami

pentingnya memberikan ASI secara eksklusif dan imunisasi dasar


77

lengkap kepada anak untuk meningkatkan kekebalan tubuh anak,

sehingga banyak dari mereka yang tidak memberikan ASI secara

ekslusif dan melakukan imunisasi dasar secara lengkap. Menurut teori,

Pendidikan yang rendah menyebabkan masyarakat tidak tahu cara

untuk memilih makanan yang bergizi dan pengadaan sarana sanitasi

yang diperlukan. Tingkat pendidikan ibu yang rendah merupakan

faktor risiko yang meningkatkan kematian ISPA terutama pneumonia

(Putriyani, 2017).

Imunisasi memberikan kekebalan terhadap suatu penyakit

tertentu. Salah satu strategi untuk mengurangi kesakitan dan kematian

akibat ISPA pada anak adalah dengan pemberian imunisasi. Pemberian

imunisasi dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian pada balita

terutama penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (Putriyani,

2017). Hal ini sejalan dengan penelitian Sandradevi (2021), yang

menganalisis hubungan status imunisasi dengan kejadian ISPA di Kota

Kendari dengan Kabupaten Buton Utara diperoleh nilai p-value =

0,000 yang menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara

balita yang di imunisasi dengan balita yang tidak diimunisasi terhadap

kejadian ISPA, dalam penelitiannya juga disebutkan bahwa banyak

balita yang tidak diimunisasi secara lengkap mengalami ISPA dan

begitupun juga sebaliknya (Sandradevi, 2021).

Sementara itu, ASI eksklusif juga sangat berperan peting dalam

meningkatkan kekebalan tubuh anak, karena di dalam ASI terdapat


78

banyak nutrisi dan kekebalan tubuh yang dapat memperkuat imunitas

anak. Hal ini sejalan dengan penelitian Mujahidah (2021), hubungan

faktor risiko pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ispa di Kota

Kendari dan Kabupaten Buton Utara diperoleh nilai p- value = 0,002

yang menujukkan terdapat hubungan yang signifikan antara balita

yang mendapat ASI secara ekslusif dengan balita yang tidak mendapat

ASI secara eksklusif terhadap kejadian ISPA, dalam penelitiannya juga

disebutkan bahwa banyak balita yang tidak mendapat ASI secara

eksklusif lebih tinggi mengalami risiko terkena ISPA dan begitupun

juga sebaliknya ( Mujahidah, 2021).

C. Keterbatasan Penelitian

1. Penelitian ini hanya menganalisis satu variabel saja, sehingga

memungkinkan terjadinya bias yang dapat mempengaruhi hasil dari

penelitian ini.

2. Data dalam penelitian ini hanya menggunakan data sekunder berupa rekam

medik / register, sehingga peneliti tidak dapat mewawancarai secara

langsung subjek penelitian untuk menyingkirkan bias yang lainnya.

3. Tidak dilakukan matching dalam penelitian ini.


BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

1. Terdapat hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA Balita di Kota

Kendari

2. Terdapat hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA Balita di

Kabupaten Buton Utara

3. Tidak terdapat perbedaan hubungan antara status gizi dengan kejadian

ISPA Balita di Kota Kendari dengan di Kabupaten Buton Utara.

B. Saran

1. Diharapkan kepada peneliti selanjutnya mengunakan data sekunder

sekaligus data primer sehingga dapat sekaligus meneliti variabel lain yang

tidak diteliti dalam penelitian ini.

2. Diharapkan kepada puskesmas di Kota Kendari dan di Kabupaten Buton

Utara untuk melakukan perbaikan dan pengendalian status gizi pada anak

karna mengingat tingginya kejadian status gizi berisiko yang dapat

menyebabkan kejadian ISPA.

79
80

DAFTAR PUSTAKA

Alfarindah, F. 2017. Determinan Kejadian ISPA Anak Balita Dalam Lingkungan


Keluarga Perokok Di Wilayah Kerja Puskesmas Maccini Sawah Tahun
2016. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin.
Makassar.

Almira, R. U. 2017. Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Infeksi Saluran


Pernapasan Akut (Ispa) Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Siantan
Hilir. Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura Pontianak.

Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara. 2018. Profil Kesehatan Sulawesi


Tenggara 2017. Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara. Kendari.

Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara. 2019. Profil Kesehatan Sulawesi


Tenggara 2018. Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara. Kendari.

Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara. 2020. Profil Kesehatan Sulawesi


Tenggara 2019. Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara. Kendari.

Efriani, R. 2020. Hubungan status gizi dengan kejadian ISPA pada balita di
puskesmas muara bungo 1 kabupaten bungo tahun 2019. Skripsi. Program
Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Andalas.
Padang.

Fibrila, F. 2015. Hubungan usia anak, jenis kelamin dan berat badan lahir anak
dengan kejadian Ispa. Jurnal Kesehatan Metro Sai Wawai 8(2): 8-13.

Hamidah, A. Y. 2018. Hubungan Kesehatan Lingkungan Rumah Dengan


Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada balita di desa
pulung merdiko po norogo. Skripsi. Peminatan Kesehatan Lingkungan
program studi Kesehatan masyarakat Stikes Bhakti Husada Mulia
Madiun. Madiun.

Hayati, R. Z. 2017. Hubungan konsentrasi PM10 Dan Faktor Lingkungan Dalam


Rumah Dengan Keluhan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Pada
Balita Di Puskesmas Rawa Terate Kecamatan Cakung Tahun 2017.
Skripsi. Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Dan
Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta.

Kemenkes Ri. 2018. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta : Balitbang


Kemenkes Ri.
81

Mujahidah, S. 2021. Perbedaan Hubungan Faktor Risiko Pemberian ASI eksklusif


dengan kejadian ISPA di Kota Kendari dan Kabupaten Buton Utara.
Skripsi. Program studi sarjana Kedokteran Fakultas Kedokteran
Universitas Halu Oleo. Kendari.
Nasution, A. S. 2020. Aspek individu balita dengan kejadian ispa di kelurahan
cibabat cimahi. Joinly published by IAGIKMI & Universitas Airlangga.

Nopita, W. 2016. Hubungan status gizi dengan kejadian Ispa Pada balita di
puskesmas pembantu (pustu) Tompeyan tegalrejo di kota Yogyakarta.
Skripsi. Program Studi Bidan Pendidik Jenjang Diploma IV Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Aisyiyah. Yogyakarta.

Nuraini. 2020. Sosialisasi kesehatan tentang ispa dan pemeriksaan fisik dada dan
thoraks di wilayah rw 02, kelurahan kebon besar kecamatan batuceper.
Jurnal kreativitas pengabdian kepada masyarakat (PKM) 3(1) : 80-86.

Praktiknya, A. W. 2010. Dasar – Dasar Metodologi Penelitian Kedokteran &


Kesehatan. Ed.1. Cetakan Kedelapan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Profil Kesehatan Kota Kendari dan Buton Utara. 2019. Profil Kesehatan Kota
Kendari dan Buton Utara.

Putra, Y.,Wulandari, S.S. 2019. Faktor penyebab kejadian ispa. Jurnal Kesehatan
Stikes Prima Nusantara Bukit Tinggi 10(1):37-40.

Putriyani, G. A. 2017. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit ISPA


pada balita di Desa Sidomulyo Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri
Kabupaten Madiun. Skripsi. Program Studi Kesehatan Masyarakat Stikes
Bhakti Husada Mulia Madiun. Kabupaten Madiun.

Retnowati, M. 2019. Hubungan antara status gizi balita dengan kejadian Ispa
(Infeksi Saluran Pernapasan Akut) pada balita di puskesmas Karanglewas.
Jurnal Kesehatan Kebidanan dan Keperawatan 12(1): 97-106.

Rosana, E. N. 2016. Faktor risiko kejadian Ispa pada balita ditinjau dari
lingkungan dalam rumah di wilayah kerja puskesmas blado 1. Skripsi.
Jurusan ilmu kesehatan masyarakat fakultas ilmu keolahragaan.

Sandradevi, P. M. A. I. 2021. Perbedaan pengaruh status imunisas imunisasi


terhadap kejadian ispa balita di Kota Kendari dengan Kabupaten Buton
Utara. Skripsi. Program studi sarjana Kedokteran Fakultas Kedokteran
Universitas Halu Oleo. Kendari.
Sastroasmoro, S., Ismail, S. 2011. Dasar – Dasar Metodologi Penelitian Klinis.
Ed.4. Sagung seto. Jakarta.
82

Sunarni, N., Litasari, R., Deis, L. 2017. Hubungan Status Gizi dengan Kejadian
ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Margaharja Sukadana
Ciamis. Jurnal Riset Kebidanan Indonesia 1(2):70-75.

Suryandari, A,R. 2019. Hubungan Pendidikan Ibu dan Pendapatan Keluarga


dengan Kejadian Gizi Buruk pada Balita di Daerah Pesisir Kota Kendari.
Skripsi. Program Studi Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Halu
Oleo.

Suryani, I. A. 2018. Hubungan status gizi terhadap kejadian infeksi saluran


pernapasan akut (ISPA) pada balita di wilayah kerja puskesmas paying
sekaki Kota Pekanbaru tahun 2018. Ensiklopedia of Journal 1(1): 147-
152.

Sunaryanti, S. S. A., Iswahyuni, S., Herbasuki. 2019. Hubungan antara ventilasi


dan kepadatan hunian Dengan kejadian penyakit ispa pada balita di desa
Cabean kunti, kecamatan cepogo, Kabupaten boyolali Tahun 2018.
Avicenna Journal of Health Research 2(2): 54-62.

World Health Organization. 2019. Pusat Pengobatan Infeksi Saluran Pernapasan


Akut Berat.
83

Lampiran 1. Riwayat Hidup


RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Nur Afni Manan. Penulis

dilahirkan di Kota Baubau tanggal 09 April 1997. Penulis

merupakan anak pertama dari empat bersaudara dari

pasangan Bapak Abdul Manan, S.Pd dan Ibu Nafsia

,S.Pd,SD. Penulis mempunyai seorang adik laki – laki

pertama bernama Afif Manan, adik perempuan pertama

bernama Fatni Manan dan adik perempuan kedua bernama

Delfi Manan.

Penulis mengawali pendidikan formal di TK TUNAS BAHARI Kota

Baubau tahun 2001-2003. Selanjutnya penulis melanjutkan jenjang pendidikan

Sekolah Dasar di SD Negeri 2 Bonebone pada tahun 2003 dan lulus pada tahun

2009. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Pertama di

SMP Negeri 3 Baubau dan lulus pada tahun 2012. Kemudian penulis

melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Baubau dan

lulus pada tahun 2015. Selama menempuh pendidikan di SMA Negeri 1 Baubau

mengikuti Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) dan menjabat sebagai

Bendahara OSIS, kemudian pada tahun 2015 penulis diterima di Fakultas

Kedokteran Universitas Halu Oleo melalui jalur SNMPTN ( Seleksi Nasional

Masuk Perguruan Tinggi Negeri) dan selama menempuh pendidikan di Fakultas

Kedokteran penulis mengikuti organisasi MRC (Medical Research Club) dan


84

pernah menjabat sebagai Pengurus Harian Nasional BAPIN - ISMKI pada Staff

Divisi Palapa Periode 2017/2018.

Untuk menyelesaikan studi di FK UHO, penulis melakukan penelitian

dengan judul Analisis Perbedaan Hubungan Status Gizi dengan Kejadian

ISPA Balita di Kota Kendari dengan Kabupaten Buton Utara sebagai salah

satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran.


85

Lampiran 2. Lembar Identitas Sampel Penelitian

ANALISIS PERBEDAAN HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN


KEJADIAN ISPA BALITA DI KOTA KENDARI DENGAN KABUPATEN
BUTON UTARA
Nama Puskesmas : 1. Puskesmas Poasia
2. Puskesmas Abeli
3. Puskesmas Waode Buri
4. Puskesmas Kulisusu
Nomor RM :
Nama (Inisial) :
Usia :
Jenis Kelamin : 1. Laki-laki
2. Perempuan
Status Balita : 1. Kasus (Penderita ISPA)
2. Kontrol (Bukan Penderita ISPA)

N
Status Gizi
O
1. Berapa berat badan anak/balita? ........... kg
2. Berapa tinggi badan anak/balita? ........... cm
3 Z-Score IMT berdasarkan umur
86

Lampiran 3: Tabel analisis uji statistik


1. Analisis uji statistik hubungan status gizi dengan kejadian ISPA Balita
dan uji kekuatan hubungan di Kota Kendari

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

status_gizi * ISPA 136 100.0% 0 .0% 136 100.0%

status_gizi * ISPA Crosstabulation

ISPA

Ya tidak Total

status_gizi Berisiko Count 37 12 49

% within status_gizi 75.5% 24.5% 100.0%

% within ISPA 54.4% 17.6% 36.0%

tidak berisiko Count 31 56 87

% within status_gizi 35.6% 64.4% 100.0%

% within ISPA 45.6% 82.4% 64.0%

Total Count 68 68 136

% within status_gizi 50.0% 50.0% 100.0%

% within ISPA 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value Df (2-sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 19.939a 1 .000

Continuity Correctionb 18.376 1 .000

Likelihood Ratio 20.662 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

Linear-by-Linear
19.792 1 .000
Association

N of Valid Casesb 136

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 24,50.
87

b. Computed only for a 2x2 table

2. Analisis uji statistik hubungan status gizi dengan kejadian ISPA Balita
dan uji kekuatan hubungan di Kabupaten Buton Utara

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

status_gizi * ISPA 136 100.0% 0 .0% 136 100.0%

status_gizi * ISPA Crosstabulation

ISPA

Ya Tidak Total

status_gizi Berisiko Count 39 10 49

% within status_gizi 79.6% 20.4% 100.0%

% within ISPA 57.4% 14.7% 36.0%

tidak berisiko Count 29 58 87

% within status_gizi 33.3% 66.7% 100.0%

% within ISPA 42.6% 85.3% 64.0%

Total Count 68 68 136

% within status_gizi 50.0% 50.0% 100.0%

% within ISPA 100.0% 100.0% 100.0%


88

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value Df (2-sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 26.830a 1 .000

Continuity Correctionb 25.011 1 .000

Likelihood Ratio 28.194 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

Linear-by-Linear
26.633 1 .000
Association

N of Valid Casesb 136

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 24,50.

b. Computed only for a 2x2 table

3. Analisis uji SPSS Mann-whitney perbedaan hubungan status gizi dengan


kejadian ISPA Balita di Kota Kendari dengan Kabupaten Buton Utara.

Ranks

Tempat N Mean Rank Sum of Ranks

Hasil Kota Kendari 68 69.50 4726.00

Kabupaten Bauton Utara 68 67.50 4590.00

Total 136

Test Statisticsa

Hasil

Mann-Whitney U 2.244

Wilcoxon W 4.590

Z -.344

Asymp. Sig. (2-tailed) .731

a. Grouping Variable: Tempat


89

Lampiran 4. Dokumentasi selama penelitian.

Pengambilan data penelitian Pengambilan data penelitian

Berkunjung di Puskesmas Waode Buri Berkunjung di Puskesmas Kulisusu

Pengambilan data sekunder Bersama Kepala Puskesmas Waode Buri


90

Berkunjung di Dinas Kesehatan Kota Kendari

Berkunjung di Puskesmas Abeli Pengambilan data rekam medik

Pengambilan data sekunder Pengambilan data sekunder


91

Lampiran 5. Surat Kelaikan Etik


92

Lampiran 6. Surat Izin Penelitian oleh Badan Penelitian dan Pengembangan


93
94
95

Lampiran 7. Surat Izin Penelitian oleh Fakultas Kedokteran


96

Lampiran 8. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian


97
98
99

Anda mungkin juga menyukai