Penulis Irawan Sapto Adhi | Editor Resa Eka Ayu Sartika SOLO, KOMPAS.com –
Sudah lebih dari setahun Trika Mariyana, 28, tidak mengetahui secara pasti berat badan putri
keduanya yang masih berusia di bawah 5 tahun (balita). Ini karena kegiatan pos pelayanan
terpadu (posyandu) di lingkungan tempat tinggalnya masih diliburkan sejak awal pandemi Maret
2020 hingga April 2021.
Trika selama ini mengandalkan bantuan kader posyandu untuk memantau tumbuh kembang buah
hatinya setiap bulan. Tapi, kini tidak bisa demikian. Kegiatan Posyandu diputuskan ditiadakan
dulu sementara demi keamanan bersama di tengah pandemi.
Warga RT 004/RW 005 Kelurahan Nusukan, Banjarsari ini pun tak punya alat timbangan sendiri
untuk mengukur berat badan putrinya, Salsakila Henka Fristya. Di lain sisi, Trika merasa
sungkan jika harus meminjam alat timbangan ke kader Posyandu.
Sebagai ibu, dia sebenarnya khawatir dengan kondisi kesehatan putrinya yang belum juga
diketahui berat badannya. Terlebih lagi, saat terakhir kali ditimbang pada Februari 2020, berat
badan Salsakila terbilang rendah.
Untuk anak usia 1 tahun 11 bulan pada saat itu, dia baru memiliki berat badan 8,2 kg. Padahal
pada usia tersebut, anak perempuan idealnya sudah bisa memiliki berat badan 8,9 - 14,6 kg.
Trika juga merasa selama pandemi ini dirinya tak mampu memberikan asupan gizi terbaik untuk
anak-anaknya.
"Jelas ada kekhawatiran di kami, jangan-jangan berat badan Salsakila turun dan nanti terjadi apa-
apa pada dirinya," kata dia saat berbincang dengan Kompas.com di rumahnya, Kamis (1/4/2021).
Akibat pandemi, pendapatan keluarga Trika mengalami penurunan drastis. Hal itu terjadi setelah
sang suami, Muhammad Suhendro, 26, sebagai satu-satunya pencari nafkah, memutuskan untuk
tidak lagi bekerja sebagai nelayan di Semarang, Jawa Tengah. Suhendro memilih pulang
kampung karena daya beli ikan di masyarakat terus merosot, begitu juga dengan harga tangkapan
selama pandemi. Suhendro sekarang bekerja serabutan dengan penghasilan rata-rata yang jauh
lebih sedikit ketimbang saat masih jadi nelayan.
KASUS 2:
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Stunting adalah kondisi yang timbul akibat kekurangan gizi
berkepanjangan, yang berpengaruh pada perkembangan fisik dan otak. Didefinisikan sebagai
kurangnya tinggi badan pada anak, stunting hanya dapat didiagnosa dengan membandingkan
terhadap bagan tumbuh kembang yang sesuai standar. Permasalahannya, apabila dilihat dari
prevalensi stunting dalam 10 tahun terakhir, dapat disimpulkan bahwa stunting merupakan salah
satu masalah gizi terbesar pada bayi di Indonesia.
Menurut data 2019, jumlah kasus stunting di Indonesia mencapai 29,67%, lebih tinggi dari dari
angka standar WHO yaitu 20%. Data terkini juga menunjukkan bahwa sekitar sembilan juta
balita Indonesia saat ini mengalami stunting, yang artinya satu dari tiga bayi yang dilahirkan
terdiagnosa stunting. Kondisi pandemi Covid-19 yang terjadi pada tahun lalu hingga kini,
diyakini memperburuk jumlah angka stunting, dimana seluruh aspek pasti terpengaruh terutama
perekonomian, yang tentu saja berdampak pada tumbuh kembang anak. Sebanyak 60% posyandu
tidak menjalankan fungsinya, dan lebih dari 86% program stunting berhenti akibat pandemi.
Menyadari hal ini, dua lembaga nirlaba 1000 Days Fund atau Yayasan Seribu Cita Bangsa dan
Yayasan Kesehatan Perempuan mencanangkan sebuah inisiatif publik bertajuk Gerakan Nasional
#IndonesiaBebasStunting 2030.
Dengan dicanangkannya gerakan ini, diharapkan berbagai elemen masyarakat tergugah untuk
memahami, mendukung, dan beraksi secara bersama untuk menurunkan angka stunting di
Indonesia.
“Ada sembilan juta anak balita di Indonesia yang mengalami stunting. Ini adalah sumber daya
manusia masa depan Indonesia. Mereka tumbuh dengan ancaman pneumonia dan diare, dan
sering sakit, otak dan sistem imunitas mereka tidak tumbuh dengan seharusnya sehingga mereka
tidak bisa berkontribusi pada pembangunan dan kesejahteraan Indonesia," kaya Lead Strategist
1000 Days Fund Zack Petersen dalam kegiatan pencanangan Gerakan Nasional
#IndonesiaBebasStunting2030 si Jakarta, Kamis (8/4).
KASUS 3:
KASUS 5:
KASUS 6: