Anda di halaman 1dari 110

UNDANG-UNDANG REPUBLIK

INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2009


TENTANG KESEHATAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36
TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN

ASAS : Pembangunan kesehatan berasaskan :


 Perikemanusiaan yg berdsrkan Ketuhanan YME
 Manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan
 Adil dan merata, perikehidupan dalam keseimbangan
 Kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri

TUJUAN : Pembangunan kesehatan bertujuan meningkatkan


kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup
sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat
kesehatan masyarakat yang optimal
HAK : Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam
memperoleh derajat kesehatan yang optimal
KEWAJIBAN : Setiap orang berkewajiban untuk ikut serta
dalam memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan perseorangan, keluarga dan
lingkungannya

TUGAS : pemerintah bertugas :


 Mengatur, membina, dan mengawasi
penyeleggaraan upaya kesehatan
 Menggerakkan peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan dan pembiayaan kesehatan
dengan fungsi sosial, sehingga pelauyanan
kesehatan bagi yang kurang mampu tercapai

TANGGUNG JAWAB : Pemerintah bertanggung jawab untuk


meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
Mewujudkan derajat kesehatan optimal :
 Peningkatan pemeliharaan
 Peningkatan kesehatan (promotif)
 Pencegahan penyakit (preventif)
 Penyembuhan penyakit (kuratif)
 Pemulihan kesehatan (rehabilitatif)
Penyelenggaraan upaya kesehatan melalui kegiatan :
 Kesehatan keluarga
 Perbaikan gizi
 Pengamanan makanan dan minuman
 Kesehatan lingkungan
 Kesehatan kerja
 Kesehatan jiwa
 Pemberantasan penyakit
 Penyembuhan dan pemulihan kesehatan
 Penyuluhan kesehatan masyarakat
Lanjutan ….

 Pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan


 Pengamanan zat adiktif
 Kesehatan sekolah
 Pengobatan tradisional
 Kesehatan matra

Semuanya ini didukung SDM kesehatan


Kesehatan kematraan :
 Kesehatan lingkungan
 Kesehatan kelautan dan bawah air
 Kesehatan kedirgantaraan
Sediaan farmasi : obat dan bahan obat harus
memenuhi syarat farmakope Indonesia dan
atau buku standar lainnya

Sediaan farmasi : obat tradisional,


kosmetika dan alat kesehatan harus
memenuhi standar dan persyaratan yang
ditentukan
Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya
dapat diedarkan setelah mendapat izin
edar
Penandaan dan informasi sediaan farmasi
dan alat kesehatan harus objektif, lengkap
dan tak menyesatkan
Pemerintah berwenang mencabut izin edar
sediaan farmasi dan alat kesehatan
Pekerjaan kefarmasian harus dilakukan dalam
rangka menjaga mutu sediaan farmasi yang
beredar

Pengamanan sediaan farmasi dan alat


kesehatan ditetapkan dengan peraturan
pemerintah
Pengamanan penggunaan bahan yang
mengandung zat adiktif diarahkan agar
tidak mengganggu dan membahayakan
kesehatan perorangan keluarga
masyarakat dan lingkungan
Produksi, peredaran dan penggunaan
bahan yang mengandung zat adiktif harus
memenuhi standar dan persyaratan
tertentu
Pengobatan tradisional  salah satu upaya pengobatan
dan atau perawatan di luar ilmu kedokteran dan ilmu
keperawatan

Pengobatan tradisional  perlu dibina dan diawasi untuk


diarahkan agar dapat menjadi pengobatan dan perawatan.
Cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan
keamanannya

Pengobatan tradisional yang sudah dapat dipertanggung


jawabkan manfaat dan keamanannya perlu terus
ditingkatkan dan dikembangkan untuk mencapai
kesehatan optimal
Ketentuan pengamanan zat adiktif dan obat tradisional
ditetapkan dengan peraturan pemerintah

Sumber daya keehatan merupakan semua perangkat


keras dan perangkat lunak yang diperlukan sebagai
pendukung penyelenggaraan upaya kesehatan yaitu :
 Tenaga kesehatan
 Sarana kesehatan
 Perbekalan kesehatan
 Pembiayaan kesehatan
 Pengelolaan kesehatan
 Litbang kesehatan
 Apotik adalah tempat pengabdian profesi seorang
Apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan
 Apotik merupakan sarana farmasi yang melaksanakan
peracikan pengubahan bentuk, pencampuran dan
penyerahan obat atau bahan obat
 Apotik juga merupakan sarana penyalur perbekalan
farmasi yang diperlukan masyarakat secara meluas dan
merata
 Pengelolaan apotik menjadi tugas dan tanggung jaab
seorang Apoteker
 Tugas Apoteker :
 Paham pada bidang
 Pengelola bisnis
 Pengelola pelayanan kefarmasian
 Farmasi RS merupakan salah satu sarana penunjang di
RS, umumnya mempunyai tugas-tugas yang dalam
pelaksanaannya perlu bekerjasama dengan bagian lain
yang ada di RS
 Tugas-tugas farmasi Rumah Sakit tersebut :
1. Manajemen penyediaan obat-obatan
2. Manajemen formulasi produk dan pengemasan
kembali
3. Pelayanan yang berorientasi kepada pasien
4. Menjamin terapi obat-obat secara rasional
5. Jaminan kualitas
6. Aktivitas dalam pendidikan/penyuluhan kesehatan
masyarakat RS
7. Aktivitas dalam penelitian
Permenkes RI No : 259/Men.Kes/Per/V/85 tentang zat
warna tertentu yang dinyatakan sebagai bahan
berbahaya
Zat warna tertentu adalah bahan yang digunakan untuk
memberi warna dan atau memperbaiki warna bahan atau
barang
Obat adalah bahan atau paduan bahan-bahan yang
digunakan untuk mempengaruhi atau menyelediki sistem
fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan
diagnosa, pencegahan, penyembuhan, pemnulihan,
peningkatan kesehatan dan kontrasepsi.
Makanan adalah barang yang digunakan sebagai
makanan, minuman manusia, termasuk permen karet
dan sejenis, akan tetapi bukan obat
Kosmetika adalah bahan atau campuran
bahan untuk digosokkan, dilekatkan,
dituangkan, dipercikkan atau disemprotkan
pada, dimasukkan dalam, dipergunakan pada
badan atau bagian badan manusia dengan
maksud untuk membersihkan, memelihara,
menambah daya tarik atau mengubah rupa
dan tidak termasuk golongan obat
Beberapa zat warna yang berbahaya tersebut:
1. Auramin
2. Alkanat
3. Butter yellor
4. Black 7984
5. Bura umber
6. Chrysoidine (Basic orange)
7. Chrysoine S (Food yellow)
8. Citrus Red
9. Chocolate Brown FB
10. Fast red E

(Lihat lampiran Permenkes No. 239/85)


Permenkes RI No : 760/Men.Kes/Per/IX/1992 tentang
Fitofarmaka

Fitofarmaka adalah sediaan obat dan obat tradisional


yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya, bahan
bakunya terdiri dari Simplisia atau sediaan galenik yang
telah memenuhi persyaratan yang berlaku
Uji fitofarmaka adalah :
• Uji toksisitas

• Uji farmakologik eksperimental

• Uji klinik fitofarmaka

Pelaksana uji Fitofarmaka adalah Tim multidisipliner :


dokter, apoteker dan tenaga ahli lainnya yang mempunyai
fasilitas tersedia serta mampu melaksanakan pengujian
Komposisi fitofarmaka tidak boleh lebih dari 5
bahan baku
Fitofarmaka sebelum diedarkan harus mengalami
pengujian secara kualitatif, kuantitatif dan
memenuhi persyaratan yang berlaku
Keputusan Menteri Perdagangan No :
314/Kp/VIII/74 tentang peredaran, impor dan
ekspor obat, makanan dan minuman, alat
kecantikan dan alat kesehatan
Prinsipnya melarang peredarannya bila belum
terdaftar pada Depkes
Dokter adalah dokter umum, dokter spesialis, dokter gigi R,
puskesmas dan UPT lainnya
Komite farmasi dan terapi adalah suatu tim yang
beranggotakan para dokter dan sarjana farmasi yang
berfungsi dalam membantu pimpinan RS untuk
menentukan kebijaksanaan penggunaan obat dan
pengobatan
Apotik adalah suatu tempat tertentu dimana dilakukan
pekerjaan kefarmasian dan penyaluran obat kepada
masyarakat
Formularium rumah sakit adalah formula yang dipilih
secara rasional dan dilengkapi penjelasan, sehingga
merupakan informasi obat yang lengkap untuk pelayanan
medik RS.
Rumah sakit diwajibkan menyediakan obat esensial dengan
nama generik untuk kebutuhan pasien berobat jalan dan
rawat nginap
RS kelas A, BII dan BI diharuskan memiliki formularium
RS diwajibkan memiliki pedoman, terapi dan komite
farmasi dan terapi
Dinas Kesehatan Tk II diwajibkan menyediakan obat
esensial dengan nama generik untuk kebutuhan puskesmas
dan UPT lainnya di daerahnya.
Dokter yang bertugas di RS diharuskan menulis resep obat
esensial dengan nama generik bagi semua pasien
Dokter dapat menulis resep untuk diambil di apotik di luar
RS dalam hal obat esensial tidak tersedia di RS
Dokter yang bertugas di puskesmas dan UPT lainnya
diwajibkan menulis resep obat esensial dengan nama
generik bagi semua pasien
Instalasi farmasi RS diwajibkan mengelola obat RS secara
berdaya guna dan berhasil guna
Apotik berkewajiban menyediakan obat esensial dengan
nama generik
Apotek berkewajiban melayani resep dokter dan dilarang
mengganti obat yang tertulis dalam resep
Permenkes No : 918/Men.Kes/PerX/1993 tentang Pedagang
Besar Farmasi
Pedagang besar farmasi adalah badan huku PT atau
koperasi yang memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan
penyaluaran perbekalan farmasi dalam jumlah besar sesuai
ketentuan perundang-undangan yang berlaku
Perbekalan farmasi adalah perbekalan yang meliputi obat,
bahan obat dan alat kesehatan
Sarana pelayanan kesehatan adalah apotik, rumah sakit,
unit kesehatan lain yang ditetapkan oleh Menteri, Toko
obat dan pengecer lainnya
Menteri, Dirjen POM, Kanwil Kesehatan dan Balai
Pemeriksaan Obat dan Makanan.
PBF berkewajiban mengadakan, menyimpan dan
menyalurkan perbekalan farmasi yang memenuhi
persyaratan mutu yang ditetapkan oleh Menteri.
PBF yang menyalurkan bahan-bahan farmasi wajiba
menguasai laboratorium yang mempunyai kemampuan
untuk pengujian bahan-bahan farmasi yang disalurkan
sesuai ketentuan yang ditetapkan Dirjen.
Permenkes No : 919/Men.Kes/Per/X/1993 tentang Kriteria
Obat yang dapat diserahkan tanpa resep
Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi,
dokter hewan kepada apoteker pengelola apotik untuk
menyediakan dan menyerahkan obat bagi penderita sesuai
perundang-undangan yang berlaku.
Rasio khasiat keamanan adalah perbandingan relatif dari
keuntungan penggunaan dengan mempertimbangkan rasio
bahaya penggunaannya.
Obat yang dapat diserahkan tanpa resep :
1. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan obat
wanita hamil anak dibawah usia 2 tahun dan orang
tua di atas 65 tahun
2. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak
memberikan rasio pada kelanjutan penyakit.
3. Penggunaannya tidak memerlukan cara dan atau alat
khusus yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan
4. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang
prevalensinya tinggi di Indonesia.
5. Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan
yang dapat dipertanggung jawabkan untuk
pengobatan sendiri.
PERATURAN PEMERINTAH
NO. 51 TAHUN 2009

Tentang Kefarmasian
(1) Peraturan Pemerintah ini mengatur Pekerjaan
Kefarmasian dalam pengadaan, produksi, distribusi
atau penyaluran, dan pelayanan sediaan farmasi.
(2) Pekerjaan Kefarmasian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus dilakukan oleh tenaga kesehatan
yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.

Pekerjaan Kefarmasian dilakukan berdasarkan pada nilai


ilmiah, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, dan
perlindungan serta keselamatan pasien atau masyarakat
yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi yang memenuhi
standar dan persyaratan keamanan, mutu, dan
kemanfaatan.
Tujuan pengaturan Pekerjaan Kefarmasian
untuk:
a. memberikan perlindungan kepada pasien
dan masyarakat dalam memperoleh
dan/atau menetapkan sediaan farmasi dan
jasa kefarmasian;
b. mempertahankan dan meningkatkan mutu
penyelenggaraan Pekerjaan Kefarmasian
sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta peraturan
perundangan-undangan;
c. memberikan kepastian hukum bagi pasien,
masyarakat dan Tenaga Kefarmasian.
PENYELENGGARAAN PEKERJAAN KEFARMASIAN

Pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian meliputi:


a. Pekerjaan Kefarmasian dalam Pengadaan
Sediaan Farmasi;
b. Pekerjaan Kefarmasian dalam Produksi
Sediaan Farmasi;
c. Pekerjaan Kefarmasian dalam Distribusi atau
Penyaluran Sediaan Farmasi; dan
d. Pekerjaan Kefarmasian dalam Pelayanan
Sediaan Farmasi.
Pekerjaan Kefarmasian Dalam Pengadaan
Sediaan Farmasi
(1) Pengadaan Sediaan Farmasi dilakukan pada fasilitas
produksi, fasilitas distribusi atau penyaluran dan
fasilitas pelayanan sediaan farmasi.
(2) Pengadaan Sediaan Farmasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus dilakukan oleh Tenaga
kefarmasian.
(3) Pengadaan Sediaan Farmasi harus dapat menjamin
keamanan, mutu, manfaat dan khasiat Sediaan
Farmasi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengadaan
Sediaan Farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan
Menteri.
Pekerjaan Kefarmasian Dalam Produksi
Sediaan Farmasi

(1) Pekerjaan Kefarmasian dalam Produksi


Sediaan Farmasi harus memiliki Apoteker
penanggung jawab.
(2) Apoteker penanggung jawab sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dibantu oleh
Apoteker pendamping dan/atau Tenaga Teknis
Kefarmasian.

Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi dapat berupa


industri farmasi obat, industri bahan baku obat,
industri obat tradisional, dan pabrik kosmetika.
(1) Industri farmasi harus memiliki 3 (tiga) orang Apoteker
sebagai penanggung jawab masing-masing pada
bidang pemastian mutu, produksi, dan pengawasan
mutu setiap produksi Sediaan Farmasi.
(2) Industri obat tradisional dan pabrik kosmetika harus
memiliki sekurang-kurangnya 1 (satu) orang Apoteker
sebagai penanggung jawab.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Fasilitas Produksi
Sediaan Farmasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8 diatur dengan Peraturan Menteri.

Pekerjaan Kefarmasian dalam Produksi Sediaan Farmasi


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 harus memenuhi
ketentuan Cara Pembuatan yang Baik yang ditetapkan
oleh Menteri.
(1) Dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian, Apoteker
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) harus
menetapkan Standar Prosedur Operasional.
(2) Standar Prosedur Operasional harus dibuat secara
tertulis dan diperbaharui secara terus menerus
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang farmasi dan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pekerjaan Kefarmasian yang berkaitan dengan proses


produksi dan pengawasan mutu Sediaan Farmasi pada
Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi wajib dicatat oleh
Tenaga Kefarmasian sesuai dengan tugas dan
fungsinya.
Tenaga Kefarmasian dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada
Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi harus mengikuti perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang produksi dan pengawasan
mutu.

Pekerjaan Kefarmasian Dalam Distribusi atau


Penyaluran Sediaan Farmasi
(1) Setiap Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi
berupa obat harus memiliki seorang Apoteker sebagai
penanggung jawab.
(2) Apoteker sebagai penanggung jawab sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dibantu oleh Apoteker pendamping dan/atau
Tenaga Teknis Kefarmasian.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pekerjaan
Kefarmasian dalam Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan
Farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Peraturan Menteri.
Pekerjaan Kefarmasian dalam Fasilitas Distribusi atau
Penyaluran Sediaan Farmasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 harus memenuhi ketentuan Cara
Distribusi yang Baik yang ditetapkan oleh Menteri.

(1) Dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian, Apoteker


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14h arus
menetapkan Standar Prosedur Operasional.
(2) Standar Prosedur Operasional harus dibuat secara
tertulis dan diperbaharui secara terus menerus sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
di bidang farmasi dan sesuai dengank etentuan
peraturan perundang-undangan.
Pekerjaan Kefarmasian yang berkaitan dengan
proses distribusi atau penyaluran Sediaan
Farmasi pada Fasilitas Distribusi atau Penyaluran
Sediaan Farmasi wajib dicatat oleh Tenaga
Kefarmasian sesuai dengan tugas dan fungsinya.

Tenaga Kefarmasian dalam melakukan Pekerjaan


Kefarmasian dalam Fasilitas Distribusi atau
Penyaluran Sediaan Farmasi harus mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di
bidang distribusi atau penyaluran.
Pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian Pada Fasilitas
Pelayanan Kefarmasian

Fasilitas Pelayanan Kefarmasian berupa :


a. Apotek;
b. Instalasi farmasi rumah sakit;
c. Puskesmas;
d. Klinik;
e. Toko Obat; atau
f. Praktek bersama.
Dalam menjalankan Pekerjaan kefarmasian pada
Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker dapat dibantu
oleh Apoteker pendamping dan/ atau Tenaga Teknis
Kefarmasian.
(1) Dalam menjalankan praktek kefarmasian pada Fasilitas
Pelayanan Kefarmasian, Apoteker harus menerapkan
standar pelayanan kefarmasian.
(2) Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep
dokter dilaksanakan oleh Apoteker.
(3) Dalam hal di daerah terpencil tidak terdapat Apoteker,
Menteri dapat menempatkan Tenaga Teknis Kefarmasian
yang telah memiliki STRTTK pada sarana pelayanan
kesehatan dasar yang diberi wewenang untuk meracik
dan menyerahkan obat kepada pasien.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan
kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menurut jenis Fasilitas Pelayanan Kefarmasian
ditetapkan oleh Menteri.
(5) Tata cara penempatan dan kewenangan Tenaga Teknis
Kefarmasian di daerah terpencil sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Dalam hal di daerah terpencil yang tidak ada apotek,
dokter atau dokter gigi yang telah memiliki Surat Tanda
Registrasi mempunyai wewenang meracik dan
menyerahkan obat kepada pasien yang dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

(1) Dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian, Apoteker


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 harus
menetapkan Standar Prosedur Operasional.
(2) Standar Prosedur Operasional harus dibuat secara
tertulis dan diperbaharui secara terus menerus sesuai
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di
bidang farmasi dan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian
pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian,
Apoteker dapat:
a. mengangkat seorang Apoteker pendamping
yang memiliki SIPA;
b. mengganti obat merek dagang dengan obat
generik yang sama komponen aktifnya atau
obat merek dagang lain atas persetujuan
dokter dan/atau pasien; dan
c. menyerahkan obat keras, narkotika dan
psikotropika kepada masyarakat atas resep
dari dokter sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(1) Apoteker dapat mendirikan Apotek dengan
modal sendiri dan/atau modal dari pemilik
modal baikp erorangan maupun perusahaan.
(2) Dalam hal Apoteker yang mendirikan Apoteke
kerja sama dengan pemilik modal maka
pekerjaan kefarmasian harus tetap dilakukans
epenuhnya oleh Apoteker yang bersangkutan.
(3) Ketentuan mengenai kepemilikan Apotek
sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(1) Fasilitas Pelayanan Kefarmasian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 huruf e dilaksanakan
oleh Tenaga Teknis Kefarmasian yang memiliki
STRTTK sesuai dengan tugas dan fungsinya.
(2) Dalam menjalankan praktek kefarmasian di
Toko Obat, Tenaga Teknis Kefarmasian harus
menerapkan standar pelayanan kefarmasian di
Toko Obat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Fasilitas
Pelayanan Kefarmasian di Toko Obat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
standar pelayanan kefarmasian di toko obat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan oleh Menteri.
Pekerjaan Kefarmasian yang berkaitan dengan
pelayanan farmasi pada Fasilitas Pelayanan
Kefarmasian wajib dicatat oleh Tenaga Kefarmasian
sesuai dengan tugas dan fungsinya.

Tenaga Kefarmasian dalam melakukan Pekerjaan


Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian
wajib mengikuti paradigma pelayanan kefarmasian dan
perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi.

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pekerjaan


Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 diatur dengan
Peraturan Menteri.
Rahasia Kedokteran Dan Rahasia Kefarmasian

(1) Setiap Tenaga Kefarmasian dalam menjalankan


Pekerjaan Kefarmasian wajib menyimpan Rahasia
Kedokteran dan Rahasia Kefarmasian.
(2) Rahasia Kedokteran dan Rahasia Kefarmasian hanya
dapat dibuka untuk kepentingan pasien, memenuhi
permintaan hakim dalam rangka penegakan hukum,
permintaan pasien sendiri dan/atau berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Rahasia Kedokteran
dan Rahasia Kefarmasian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Kendali Mutu dan Kendali Biaya
(1) Setiap Tenaga Kefarmasian dalam
melaksanakan Pekerjaan Kefarmasian wajib
menyelenggarakan program kendali mutu dan
kendali biaya.
(2) Pelaksanaan kegiatan kendali mutu dan kendali
biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui audit kefarmasian.

Pembinaan dan pengawasan terhadap audit


kefarmasian dan upaya lain dalam pengendalian
mutu dan pengendalian biaya dilaksanakan oleh
Menteri.
TENAGA KEFARMASIAN
(1) Tenaga Kefarmasian terdiri atas:
a. Apoteker; dan
b. Tenaga Teknis Kefarmasian.
(2) Tenaga Teknis kefarmasian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri
dari Sarjana Farmasi, Ahli Madya
Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga
Menengah Farmasi/Asisten Apoteker.
(1) Tenaga Kefarmasian melaksanakan Pekerjaan
Kefarmasian pada:
a. Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi berupa industri farmasi
obat, industri bahan baku obat, industri obat tradisional,
pabrik kosmetika dan pabrik lain yang memerlukan Tenaga
Kefarmasian untuk menjalankan tugas dan fungsi produksi
dan pengawasan mutu;
b. Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi dan
alat kesehatan melalui Pedagang Besar Farmasi, penyalur
alat kesehatan, instalasi Sediaan Farmasi dan alat
kesehatan milik Pemerintah, pemerintah daerah provinsi,
dan pemerintah daerah kabupaten/kota;
c. Fasilitas Pelayanan Kefarmasian melalui praktik di Apotek,
instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik, toko obat,
atau praktek bersama.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pekerjaan
Kefarmasian dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Menteri.

(1) Tenaga kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal


33 harus memiliki keahlian dan kewenangan dalam
melaksanakan pekerjaan kefarmasian.
(2) Keahlian dan kewenangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus dilaksanakan dengan menerapkan Standar
Profesi.
3) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) harus didasarkan pada Standar
Kefarmasian, dan Standar Prosedur Operasional yang
berlaku sesuai fasilitas kesehatan dimana Pekerjaan
Kefarmasian dilakukan.
(4) Standar Profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(1) Apoteker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat
(1) huruf a merupakan pendidikan profesi setelah sarjana
farmasi.
(2) Pendidikan profesi Apoteker hanya dapat dilakukan pada
perguruan tinggi sesuai peraturan perundang-undangan.
(3) Standar pendidikan profesi Apoteker terdiri atas:
a. komponen kemampuan akademik; dan
b. kemampuan profesi dalam mengaplikasikan
Pekerjaan Kefarmasian.
(4) Standar pendidikan profesi Apoteker sebagaimanad
imaksud pada ayat (3) disusun dan diusulkano leh
Asosiasi di bidang pendidikan farmasi dan ditetapkan
oleh Menteri.
(5) Peserta pendidikan profesi Apoteker yang telah lulus
pendidikan profesi Apoteker sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) berhak memperoleh ijazah Apoteker dari
perguruan tinggi.
(1) Apoteker yang menjalankan Pekerjaan Kefarmasian
harus memiliki sertifikat kompetensi profesi.
(2) Bagi Apoteker yang baru lulus pendidikan profesi,
dapat memperoleh sertifikat kompetensi profesi
secara langsung setelah melakukan registrasi.
(3) Sertifikat kompetensi profesi berlaku 5 (lima) tahun
dan dapat diperpanjang untuk setiap 5 (lima) tahun
melalui uji kompetensi profesi apabila Apoteker tetap
akan menjalankan Pekerjaan Kefarmasian.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
memperoleh sertifikat kompetensi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan tata cara registrasi
profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan Menteri.
(1) Standar pendidikan Tenaga Teknis Kefarmasian harus
memenuhi ketentuan peraturan perundangundangan
yang berlaku di bidang pendidikan.
(2) Peserta didik Tenaga Teknis Kefarmasian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk dapat
menjalankan Pekerjaan Kefarmasian harus memiliki
ijazah dari institusi pendidikan sesuai peraturan
perundang-undangan.
(3) Untuk dapat menjalankan Pekerjaan Kefarmasian
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), peserta didik
yang telah memiliki ijazah wajib memperoleh
rekomendasi dari Apoteker yang memiliki STRA di
tempat yang bersangkutan bekerja.
(4) Ijazah dan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) wajib diserahkan kepada Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota untuk memperoleh izin kerja.
(1) Setiap Tenaga Kefarmasian yang
melakukan Pekerjaan Kefarmasian di
Indonesia wajib memiliki surat tanda
registrasi.
(2) Surat tanda registrasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diperuntukkan
bagi:
a. Apoteker berupa STRA; dan
b. Tenaga Teknis Kefarmasian berupa
STRTTK.
(1) Untuk memperoleh STRA, Apoteker harus memenuhi
persyaratan:
a. memiliki ijazah Apoteker;
b. memiliki sertifikat kompetensi profesi;
c. mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan
sumpah/janji Apoteker;
d. mempunyai surat keterangan sehat fisik dan
mental dari dokter yang memiliki surat izin praktik;
dan
e. membuat pernyataan akan mematuhi dan
melaksanakan ketentuan etika profesi.
(2) STRA dikeluarkan oleh Menteri.
STRA berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat
diperpanjang untuk jangka waktu 5 (lima) tahun apabila
memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40
ayat (1).
(1) Apoteker lulusan luar negeri yang akan menjalankan
Pekerjaan Kefarmasian di Indonesia harus memiliki
STRA setelah melakukan adaptasi pendidikan.
(2) STRA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berupa:
a. STRA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40
ayat (1); atau
b. STRA Khusus.
(3) Adaptasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan pada institusi pendidikan Apoteker di
Indonesia yang terakreditasi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian
STRA, atau STRA Khusus sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), dan pelaksanaan adaptasi pendidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Peraturan Menteri.
STRA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf a
diberikan kepada:
a. Apoteker warga negara Indonesia lulusan luar negeri yang telah
melakukan adaptasi pendidikan Apoteker sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 42 ayat (3) di Indonesia dan memiliki sertifikat
kompetensi profesi;
b. Apoteker warga negara asing lulusan program pendidikan
Apoteker di Indonesia yang telah memiliki sertifikat kompetensi
profesi dan telah memiliki izin tinggal tetap untuk bekerja sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
ketenagakerjaan dan keimigrasian; atau
c. Apoteker warga negara asing lulusan program pendidikan
Apoteker di luar negeri dengan ketentuan:
1. telah melakukan adaptasi pendidikan Apoteker di Indonesia;
2. telah memiliki sertifikat kompetensi profesi;
3. telah memenuhi persyaratan untuk bekerja sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
ketenagakerjaan dan keimigrasian.
STRA Khusus sebagaimana dimaksud pada
Pasal 42 ayat (2) huruf b dapat diberikan
kepada Apoteker warga negara asing lulusan
luar negeri dengan syarat:
1. atas permohonan dari instansi pemerintah
atau swasta;
2. mendapat persetujuan Menteri; dan
3. Pekerjaan Kefarmasian dilakukan kurang
dari 1 (satu) tahun.
(1) Penyelenggaraan adaptasi pendidikan Apoteker bagi
Apoteker lulusan luar negeri dilakukan pada institusi
pendidikan Apoteker di Indonesia.
(2) Apoteker lulusan luar negeri sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan yang berlaku
dalam bidang pendidikan dan memiliki sertifikat
kompetensi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai adaptasi pendidikan
Apoteker sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
oleh Menteri setelah mendapatkan pertimbangan dari
menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang
pendidikan.

Kewajiban perpanjangan registrasi bagi Apoteker lulusan


luar negeri yang akan melakukan Pekerjaan Kefarmasian
di Indonesia mengikuti ketentuan perpanjangan registrasi
bagi Apoteker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41.
(1) Untuk memperoleh STRTTK bagi Tenaga Teknis
Kefarmasian wajib memenuhi persyaratan:
a. memiliki ijazah sesuai dengan pendidikannya;
b. memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental
dari dokter yang memiliki surat izin praktek;
c. memiliki rekomendasi tentang kemampuan dari
Apoteker yang telah memiliki STRA di tempat
Tenaga Teknis Kefarmasian bekerja; dan
d. membuat pernyataan akan mematuhi dan
melaksanakan ketentuan etika kefarmasian.
(2) STRTTK dikeluarkan oleh Menteri.
(3) Menteri dapat mendelegasikan pemberian STRTTK
kepada pejabat kesehatan yang berwenang pada
pemerintah daerah provinsi.
STRTTK berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat
diperpanjang untuk jangka waktu 5 (lima) tahun apabila
memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
47 ayat (1).

STRA, STRA Khusus, dan STRTTK tidak berlaku karena:


a. habis masa berlakunya dan tidak diperpanjang oleh
yang bersangkutan atau tidak memenuhi persyaratan
untuk diperpanjang;
b. dicabut atas dasar ketentuan peraturan perundang-
undangan;
c. permohonan yang bersangkutan;
d. yang bersangkutan meninggal dunia; atau
e. dicabut oleh Menteri atau pejabat kesehatan yang
berwenang.
(1) Apoteker yang telah memiliki STRA, atau STRA
Khusus, serta Tenaga Teknis Kefarmasian yang telah
memiliki STRTTK harus melakukan Pekerjaan
Kefarmasian sesuai dengan pendidikan dan
kompetensi yang dimiliki.
(2) Tenaga Teknis Kefarmasian yang telah memiliki
STRTTK mempunyai wewenang untuk melakukan
Pekerjaan Kefarmasian dibawah bimbingan dan
pengawasan Apoteker yang telah memiliki STRA
sesuai dengan pendidikan dan keterampilan yang
dimilikinya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai wewenang Tenaga
Teknis Kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dalam Peraturan Menteri.
(1) Pelayanan Kefarmasian di Apotek,
puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit
hanya dapat dilakukan oleh Apoteker.
(2) Apoteker sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib memiliki STRA.
(3) Dalam melaksanakan tugas Pelayanan
Kefarmasian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Apoteker dapat dibantu oleh Tenaga
Teknis Kefarmasian yang telah memiliki
STRTTK.
(1) Setiap Tenaga Kefarmasian yang melaksanakan
Pekerjaan Kefarmasian di Indonesia wajib memiliki
surat izin sesuai tempat Tenaga Kefarmasian
bekerja.
(2) Surat izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berupa:
a. SIPA bagi Apoteker yang melakukan Pekerjaan
Kefarmasian di Apotek, puskesmas atau instalasi
farmasi rumah sakit;
b. SIPA bagi Apoteker yang melakukan Pekerjaan
Kefarmasian sebagai Apoteker pendamping;
c. SIK bagi Apoteker yang melakukan Pekerjaan
Kefarmasian di fasilitas kefarmasian diluar
Apotek dan instalasi farmasi rumah sakit; atau
d. SIK bagi Tenaga Teknis Kefarmasian yang
melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada
Fasilitas Kefarmasian.
(1) Surat izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52
dikeluarkan oleh pejabat kesehatan yang berwenang di
Kabupaten/Kota tempat Pekerjaan Kefarmasian
dilakukan.
(2) Tata cara pemberian surat izin sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikeluarkan berdasarkan pedoman yang
ditetapkan oleh Menteri.

(1) Apoteker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat


(2) huruf a hanya dapat melaksanakan praktik di 1 (satu)
Apotik, atau puskesmas atau instalasi farmasi rumah
sakit.
(2) Apoteker pendamping sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 52 ayat (2) huruf b hanya dapat melaksanakan
praktik paling banyak di 3 (tiga) Apotek, atau puskesmas
atau instalasi farmasi rumah sakit.
(1) Untuk mendapat surat izin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 52, Tenaga Kefarmasian harus memiliki:
a. STRA, STRA Khusus, atau STRTTK yang masih
berlaku;
b. tempat atau ada tempat untuk melakukan
Pekerjaan Kefarmasian atau fasilitas kefarmasian
atau Fasilitas Kesehatan yang memiliki izin; dan
c. rekomendasi dari Organisasi Profesi setempat.

(2) Surat Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) batal


demi hukum apabila Pekerjaan Kefarmasian
dilakukan pada tempat yang tidak sesuai dengan
yang tercantum dalam surat izin.
DISIPLIN TENAGA KEFARMASIAN
Penegakkan disiplin Tenaga Kefarmasian
dalam menyelenggarakan Pekerjaan
Kefarmasian dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan.

Pelaksanaan penegakan disiplin Tenaga


Kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 56 dilaksanakan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Menteri, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah


Kabupaten/Kota sesuai kewenangannya serta Organisasi Profesi
membina dan mengawasi pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian.

(1) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal


58 diarahkan untuk:
a. melindungi pasien dan masyarakat dalam hal pelaksanaan
Pekerjaan Kefarmasian yang dilakukan oleh Tenaga Kefarmasian;
b. mempertahankan dan meningkatkan mutu Pekerjaan Kefarmasian
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
dan
c. memberikan kepastian hukum bagi pasien, masyarakat, dan
Tenaga Kefarmasian.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Menteri.
Undang-undang no 35 tahun
2009
TENTANG
NARKOTIKA
DASAR, ASAS, DAN TUJUAN
Undang-Undang tentang Narkotika berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang tentang Narkotika diselenggarakan
berasaskan:
a. keadilan;
b. pengayoman;
c. kemanusiaan;
d. ketertiban;
e. perlindungan;
f. keamanan;
g. nilai-nilai ilmiah; dan
h. kepastian hukum.
Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan:
a. menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan
pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi;
b. mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa
Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika;
c. memberantas peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika; dan
d. menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan
sosial bagi Penyalah Guna dan pecandu Narkotika.

RUANG LINGKUP
Pengaturan Narkotika dalam Undang-Undang ini
meliputi segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan
yang berhubungan dengan Narkotika dan Prekursor
Narkotika.
(1) Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
digolongkan ke dalam:
a. Narkotika Golongan I;
b. Narkotika Golongan II; dan
c. Narkotika Golongan III.
(2) Penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) untuk pertama kali ditetapkan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
Undang-Undang ini.
(3) Ketentuan mengenai perubahan penggolongan
Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Peraturan Menteri.
Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan
pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.

(1) Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk


kepentingan pelayanan kesehatan.
(2) Dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan I dapat
digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia
diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah
mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
PENGADAAN

Rencana Kebutuhan Tahunan


(1) Menteri menjamin ketersediaan Narkotika untuk
kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau untuk
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(2) Untuk keperluan ketersediaan Narkotika sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), disusun rencana kebutuhan
tahunan Narkotika.
(3) Rencana kebutuhan tahunan Narkotika sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disusun berdasarkan data
pencatatan dan pelaporan rencana dan realisasi produksi
tahunan yang diaudit secara komprehensif dan menjadi
pedoman pengadaan, pengendalian, dan pengawasan
Narkotika secara nasional.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana
kebutuhan tahunan Narkotika diatur dengan Peraturan
Menteri.
(1) Narkotika untuk kebutuhan dalam negeri
diperoleh dari impor, produksi dalam negeri,
dan/atau sumber lain dengan berpedoman
pada rencana kebutuhan tahunan Narkotika
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(3).
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai
penyusunan rencana kebutuhan tahunan
Narkotika sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 dan kebutuhan Narkotika dalam
negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Menteri.
Produksi
(1) Menteri memberi izin khusus untuk memproduksi Narkotika
kepada Industri Farmasi tertentu yang telah memiliki izin sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan setelah
dilakukan audit oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan.
(2) Menteri melakukan pengendalian terhadap produksi Narkotika
sesuai dengan rencana kebutuhan tahunanNarkotika
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
(3) Badan Pengawas Obat dan Makanan melakukan pengawasan
terhadap bahan baku, proses produksi, dan hasil akhir dari
produksi Narkotika sesuai dengan rencana kebutuhan tahunan
Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin dan
pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Menteri.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
(1) Narkotika Golongan I dilarang diproduksi dan/atau
digunakan dalam proses produksi, kecuali dalam
jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(2) Pengawasan produksi Narkotika Golongan I untuk
kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan secara ketat oleh Badan Pengawas Obat dan
Makanan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penyelenggaraan produksi dan/atau penggunaan
dalam produksi dengan jumlah yang sangat terbatas
untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Menteri.
Narkotika untuk Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
(1) Lembaga ilmu pengetahuan yang berupa lembaga
pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan
pengembangan yang diselenggarakan oleh pemerintah
ataupun swasta dapat memperoleh, menanam,
menyimpan, dan menggunakan Narkotika untuk
kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi setelah
mendapatkan izin Menteri.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
untuk mendapatkan izin dan penggunaan Narkotika
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Menteri.
Penyimpanan dan Pelaporan

(1) Narkotika yang berada dalam penguasaan industri farmasi,


pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan
farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan
masyarakat, balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu
pengetahuan wajib disimpan secara khusus.
(2) Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, sarana
penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah
sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan,
dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan wajib membuat,
menyampaikan, dan menyimpan laporan berkala mengenai
pemasukan dan/atau pengeluaran Narkotika yang berada
dalam penguasaannya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyimpanan
secara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
jangka waktu, bentuk, isi, dan tata cara pelaporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Menteri.
(4) Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai
penyimpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan/atau ketentuan mengenai pelaporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi
administratif oleh Menteri atas rekomendasi
dari Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
berupa:
a. teguran;
b.peringatan;
c. denda administratif;
d. penghentian sementara kegiatan; atau
e. pencabutan izin.
IMPOR DAN EKSPOR

Izin Khusus dan Surat Persetujuan Impor


(1) Menteri memberi izin kepada 1 (satu) perusahaan
pedagang besar farmasi milik negara yang telah
memiliki izin sebagai importir sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan untuk
melaksanakan impor Narkotika.
(2) Dalam keadaan tertentu, Menteri dapat memberi
izin kepada perusahaan lain dari perusahaan milik
negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
memiliki izin sebagai importir sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan untuk
melaksanakan impor Narkotika
(1) Importir Narkotika harus memiliki Surat Persetujuan
Impor dari Menteri untuk setiap kali melakukan impor
Narkotika.
(2) Surat Persetujuan Impor Narkotika sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan hasil
audit Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
terhadap rencana kebutuhan dan realisasi produksi
dan/atau penggunaan Narkotika.
(3) Surat Persetujuan Impor Narkotika Golongan I dalam
jumlah yang sangat terbatas hanya dapat diberikan
untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi.
(4) Surat Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan kepada pemerintah negara
pengekspor.
Pelaksanaan impor Narkotika dilakukan atas dasar persetujuan
pemerintah negara pengekspor dan persetujuan tersebut
dinyatakan dalam dokumen yang sah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di negara pengekspor.

Izin Khusus dan Surat Persetujuan Ekspor

(1) Menteri memberi izin kepada 1 (satu) perusahaan pedagang


besar farmasi milik negara yang telah memiliki izin sebagai
eksportir sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
untuk melaksanakan ekspor Narkotika.
(2) Dalam keadaan tertentu, Menteri dapat memberi izin kepada
perusahaan lain dari perusahaan milik negara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang memiliki izin sebagai eksportir sesuai
dengan ketentuan peratuan perundang-undangan untuk
melaksanakan ekspor Narkotika.
(1) Eksportir Narkotika harus memiliki Surat Persetujuan
(2) Ekspor dari Menteri untuk setiap kali melakukan ekspor
Narkotika.
(2) Untuk memperoleh Surat Persetujuan Ekspor Narkotika
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon harus
melampirkan surat persetujuan dari negara pengimpor.

Pelaksanaan ekspor Narkotika dilakukan atas dasar persetujuan


pemerintah negara pengimpor dan persetujuan tersebut dinyatakan
dalam dokumen yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di negara pengimpor.

Impor dan ekspor Narkotika dan Prekursor Narkotika hanya


dilakukan melalui kawasan pabean tertentu yang Ketentuan lebih
lanjut mengenai syarat dan tata cara memperoleh Surat Persetujuan
Impor dan Surat Persetujuan Ekspor diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pemeriksaan

Pemerintah melakukan pemeriksaan atas kelengkapan


dokumen impor, ekspor, dan/atau Transito Narkotika.

(1) Importir Narkotika dalam memeriksa Narkotika yang


diimpornya disaksikan oleh Badan Pengawas Obat
dan Makanan dan wajib melaporkan hasilnya kepada
Menteri paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak tanggal
diterimanya impor Narkotika di perusahaan.
(2) Berdasarkan hasil laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Menteri menyampaikan hasil
penerimaan impor Narkotika kepada pemerintah
negara pengekspor.
PEREDARAN

Peredaran Narkotika meliputi setiap


kegiatan atau serangkaian
kegiatan penyaluran atau penyerahan
Narkotika, baik dalam
rangka perdagangan, bukan perdagangan
maupun
pemindahtanganan, untuk kepentingan
pelayanan kesehatan
dan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
(1) Narkotika dalam bentuk obat jadi hanya dapat
diedarkan setelah mendapatkan izin edar dari
Menteri.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
perizinan peredaran Narkotika dalam bentuk obat
jadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Menteri.
(3) Untuk mendapatkan izin edar dari Menteri, Narkotika
dalam bentuk obat jadi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus melalui pendaftaran pada Badan
Pengawas Obat dan Makanan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
pendaftaran Narkotika dalam bentuk obat jadi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan.
Narkotika Golongan II dan Golongan III yang berupa
bahan baku, baik alami maupun sintetis, yang digunakan
untuk produksi obat diatur dengan Peraturan Menteri.

Setiap kegiatan peredaran Narkotika wajib dilengkapi


dengan dokumen yang sah.

PENYALURAN

(1) Narkotika hanya dapat disalurkan oleh Industri


Farmasi, pedagang besar farmasi, dan sarana
penyimpanan sediaan farmasi pemerintah sesuai
dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
(2) Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, dan sarana
penyimpanan sediaan farmasi pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki
izin khusus penyaluran Narkotika dari Menteri.
(1) Industri Farmasi tertentu hanya dapat menyalurkan
Narkotika kepada:
a. pedagang besar farmasi tertentu;
b. apotek;
c. sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah
tertentu; dan
d. rumah sakit.
(2) Pedagang besar farmasi tertentu hanya dapat
menyalurkan Narkotika kepada:
a. pedagang besar farmasi tertentu lainnya;
b. apotek;
c. sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah
tertentu;
d. rumah sakit; dan
e. lembaga ilmu pengetahuan.
(3) Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah
tertentu hanya dapat menyalurkan Narkotika kepada:
a. rumah sakit pemerintah;
b. pusat kesehatan masyarakat; dan
c. balai pengobatan pemerintah tertentu.

Narkotika Golongan I hanya dapat disalurkan oleh


pedagang besar farmasi tertentu kepada lembaga ilmu
pengetahuan tertentu untuk kepentingan pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi.

Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara


penyaluran Narkotika diatur dengan Peraturan Menteri.
PENYERAHAN

(1) Penyerahan Narkotika hanya dapat dilakukan


oleh:
a. apotek;
b. rumah sakit;
c. pusat kesehatan masyarakat;
d. balai pengobatan; dan
e. dokter.
(2) Apotek hanya dapat menyerahkan Narkotika
kepada:
a. rumah sakit;
b. pusat kesehatan masyarakat;
c. apotek lainnya;
d. balai pengobatan;
e. dokter; dan
f. pasien.
(3) Rumah sakit, apotek, pusat kesehatan masyarakat, dan
balai pengobatan hanya dapat menyerahkan Narkotika
kepada pasien berdasarkan resep dokter.
(4) Penyerahan Narkotika oleh dokter hanya dapat
dilaksanakan untuk:
a. menjalankan praktik dokter dengan memberikan
Narkotika melalui suntikan;
b. menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan
memberikan Narkotika melalui suntikan; atau
c. menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada
apotek.
(5) Narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu
yang diserahkan oleh dokter sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) hanya dapat diperoleh di apotek.
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
penyerahan Narkotika sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 43 diatur dengan Peraturan Menteri
LABEL DAN PUBLIKASI

(1) Industri Farmasi wajib mencantumkan label pada


kemasan Narkotika, baik dalam bentuk obat jadi
maupun bahan baku Narkotika.
(2) Label pada kemasan Narkotika sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk tulisan,
gambar, kombinasi tulisan dan gambar, atau
bentuk lain yang disertakan pada kemasan atau
dimasukkan ke dalam kemasan, ditempelkan, atau
merupakan bagian dari wadah, dan/atau
kemasannya.
(3) Setiap keterangan yang dicantumkan dalam label
pada kemasan Narkotika harus lengkap dan tidak
menyesatkan.
PREKURSOR NARKOTIKA

Tujuan Pengaturan

Pengaturan prekursor dalam Undang-Undang


ini bertujuan:
a. melindungi masyarakat dari bahaya
penyalahgunaan Prekursor Narkotika;
b. mencegah dan memberantas peredaran
gelap Prekursor Narkotika; dan
c. mencegah terjadinya kebocoran dan
penyimpangan Prekursor Narkotika.
Penggolongan dan Jenis Prekursor Narkotika

(1) Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 5 digolongkan ke dalam Prekursor Tabel I dan
Prekursor Tabel II dalam Lampiran Undang-Undang
ini.
(2) Penggolongan Prekursor Narkotika sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk pertama kali ditetapkan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II dan
merupakan bagian tak terpisahkan dari Undang-
Undang ini.
(3) Ketentuan mengenai perubahan penggolongan
Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri setelah
berkoordinasi dengan menteri terkait.
Rencana Kebutuhan Tahunan

(1) Pemerintah menyusun rencana kebutuhan tahunan


Prekursor Narkotika untuk kepentingan industri
farmasi, industri nonfarmasi, dan ilmu pengetahuan
dan teknologi.
(2) Rencana kebutuhan tahunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disusun berdasarkan jumlah persediaan,
perkiraan kebutuhan, dan penggunaan Prekursor
Narkotika secara nasional.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
penyusunan rencana kebutuhan tahunan Prekursor
Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri setelah
berkoordinasi dengan menteri terkait.
Pengadaan

(1) Pengadaan Prekursor Narkotika dilakukan melalui


produksi dan impor.
(2) Pengadaan Prekursor Narkotika sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan
untuk tujuan industri farmasi, industri nonfarmasi,
dan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Ketentuan mengenai syarat dan tata cara produksi,


impor, ekspor, peredaran, pencatatan dan pelaporan,
serta pengawasan Prekursor Narkotika diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
PENGOBATAN DAN REHABILITASI

Pengobatan

(1) Untuk kepentingan pengobatan dan berdasarkan


indikasi medis, dokter dapat memberikan Narkotika
Golongan II atau Golongan III dalam jumlah terbatas
dan sediaan tertentu kepada pasien sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
memiliki, menyimpan, dan/atau membawa Narkotika
untuk dirinya sendiri.
(3) Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
mempunyai bukti yang sah bahwa Narkotika yang
dimiliki, disimpan, dan/atau dibawa untuk digunakan
diperoleh secara sah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan.
Rehabilitasi

Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib


menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

(1) Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum Cukup
umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat,
rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan
pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial.
(2) Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri
atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan
masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk
mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial.
(3) Ketentuan mengenai pelaksanaan wajib lapor sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
(1) Rehabilitasi medis Pecandu Narkotika dilakukan di
rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri.
(2) Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan
oleh instansi pemerintah atau masyarakat dapat
melakukan rehabilitasi medis Pecandu Narkotika
setelah mendapat persetujuan Menteri.

Selain melalui pengobatan dan/atau rehabilitasi medis,


penyembuhan Pecandu Narkotika dapat diselenggarakan
oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui
pendekatan keagamaan dan tradisional.

Rehabilitasi sosial mantan Pecandu Narkotika


diselenggarakan baik oleh instansi pemerintah maupun
oleh masyarakat.
(1) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 56 dan Pasal 57 diatur dengan
Peraturan Menteri.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 58 diatur dengan peraturan menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang sosial.

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

(1) Pemerintah melakukan pembinaan terhadap segala


kegiatan yang berhubungan dengan Narkotika.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
upaya:
a. memenuhi ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan
kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi;
b. mencegah penyalahgunaan Narkotika;
c. mencegah generasi muda dan anak usia sekolah dalam
penyalahgunaan Narkotika, termasuk dengan memasukkan
pendidikan yang berkaitan dengan Narkotika dalam kurikulum
sekolah dasar sampai lanjutan atas;
d. mendorong dan menunjang kegiatan penelitian dan/atau
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang
Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan; dan
e. meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis bagi
Pecandu Narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah
maupun masyarakat.
(1) Pemerintah melakukan pengawasan terhadap segala kegiatan
yang berkaitan dengan Narkotika.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Narkotika dan Prekursor Narkotika untuk kepentingan
pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi;
b. alat-alat potensial yang dapat disalahgunakan untuk
melakukan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;
c. evaluasi keamanan, khasiat, dan mutu produk sebelum
diedarkan;
d. produksi;
e. impor dan ekspor;
f. peredaran;
g. pelabelan;
h. informasi; dan
i. penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dan
pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pemerintah mengupayakan kerja sama dengan negara


lain dan/atau badan internasional secara bilateral dan
multilateral, baik regional maupun internasional dalam
rangka pembinaan dan pengawasan Narkotika dan
Prekursor Narkotika sesuai dengan kepentingan
nasional.
PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN

Kedudukan dan Tempat Kedudukan

(1) Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan


penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika, dengan Undang-Undang ini
dibentuk Badan Narkotika Nasional, yang selanjutnya
disingkat BNN.
(2) BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
lembaga pemerintah nonkementerian yang
berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung
jawab kepada Presiden.
(1) BNN berkedudukan di ibukota negara dengan wilayah
kerja meliputi seluruh wilayah Negara Republik
Indonesia.
(2) BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mempunyai perwakilan di daerah provinsi dan
kabupaten/kota.
(3) BNN provinsi berkedudukan di ibukota provinsi dan
BNN kabupaten/kota berkedudukan di ibukota
kabupaten/kota.

BNN provinsi dan BNN kabupaten/kota sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 65 ayat (3) merupakan instansi
vertikal.
(1) BNN dipimpin oleh seorang kepala dan dibantu oleh
seorang sekretaris utama dan beberapa deputi.
(2) Deputi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
membidangi urusan:
a. bidang pencegahan;
b. bidang pemberantasan;
c. bidang rehabilitasi;
d. bidang hukum dan kerja sama; dan
e. bidang pemberdayaan masyarakat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur organisasi
dan tata kerja BNN diatur dengan Peraturan
Presiden.
Pengangkatan dan Pemberhentian

(1) Kepala BNN diangkat dan diberhentikan oleh


Presiden.
(2) Syarat dan tata cara pengangkatan dan
pemberhentian Kepala BNN sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.

Untuk dapat diusulkan menjadi Kepala BNN, seorang


calon harus memenuhi syarat:
a. warga negara Republik Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. sehat jasmani dan rohani;
d. berijazah paling rendah strata 1 (satu);
e. berpengalaman paling singkat 5 (lima) tahun dalam
penegakan hukum dan paling singkat 2 (dua) tahun
dalam pemberantasan Narkotika;
f. berusia paling tinggi 56 (lima puluh enam) tahun;
g. cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan
memiliki reputasi yang baik;
h. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
i. tidak menjadi pengurus partai politik; dan
j. bersedia melepaskan jabatan struktural dan/atau
jabatan lain selama menjabat kepala BNN.
Tugas dan Wewenang

BNN mempunyai tugas:


a. menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional
mengenai pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
b. mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
c. berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia dalam pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika;
d. meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis
dan rehabilitasi sosial pecandu Narkotika, baik yang
diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat;
e. memberdayakan masyarakat dalam pencegahan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
f. memantau, mengarahkan, dan meningkatkan kegiatan
masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
g. melakukan kerja sama bilateral dan multilateral, baik
regional maupun internasional, guna mencegah dan
memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika;
h. mengembangkan laboratorium Narkotika dan Prekursor
Narkotika;
i. melaksanakan administrasi penyelidikan dan
penyidikan terhadap perkara penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
j. membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan
tugas dan wewenang
Dalam melaksanakan tugas pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika, BNN berwenang melakukan
penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

(1) Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71


dilaksanakan oleh penyidik BNN.
(2) Penyidik BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diangkat dan diberhentikan oleh Kepala BNN.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
pengangkatan dan pemberhentian penyidik BNN
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Kepala BNN.
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG
PENGADILAN

Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan


terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika dilakukan berdasarkan peraturan
perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-
Undang ini.

(1) Perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan


Prekursor Narkotika, termasuk perkara yang didahulukan dari
perkara lain untuk diajukan ke pengadilan guna penyelesaian
secepatnya.
(2) Proses pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan tindak
pidana Prekursor Narkotika pada tingkat banding, tingkat kasasi,
peninjauan kembali, dan eksekusi pidana mati, serta proses
pemberian grasi, pelaksanaannya harus dipercepat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam rangka melakukan penyidikan, penyidik BNN
berwenang:
a. melakukan penyelidikan atas kebenaran laporan serta
keterangan tentang adanya penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
b. memeriksa orang atau korporasi yang diduga
melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika;

Anda mungkin juga menyukai