Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH FARMAKOTERAPI TERAPAN

PNEUMONIA ANAK-BALITA

Disusun Oleh : 1) Heny Nur Fitriana (2020001145)

2) Muhammad Yusuf Pratama (2020001153)

3) Reinaldy Yuda Afriza (2020001166)

4) Muzna (2020001209)

5) Natasya Rizkiyan Ramadhani (2020001210)

Kelas :B

Kelompok :5

PROGRAM STUDI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PANCASILA
JAKARTA
2021
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pneumonia adalah infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli) yang
dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti virus, jamur dan bakteri.
(Kemenkes 2018). Ketika seorang anak terkena pneumonia, akan terjadi penumpukan
nanah dan cairan di alveoli dikarenakan infeksi yang terjadi, hal ini membuat jalan
napas terbatas dann menimbulkan rasa sakit (UNICEF, 2016). Pneumonia adalah
peradangan pada parenkim paru yang biasanya terjadi pada anak-anak tetapi terjadi
lebih sering pada bayi dan awal masa kanak-kanak dan secara klinis pneumonia dapat
terjadi sebagai penyakit primer atau komplikasi dari penyakit lain (Seyawati, A, 2018).
Di dunia, terdapat 3 penyakit yang menyebabkan kematian terbesar pada balita. 3
penyakit tersebut adalah pneumonia dengan kasus kematian 920.000, diare 526.000 dan
malaria lebih dari 300.000. Hal ini menunjukkan bahwa pneumonia adalah penyebab
kematian tertinggi pada balita di dunia, dengan presentasi kasus kematian di setiap
wilayah yang berbeda. Dimana wilayah dengan kasus kematian tertinggi beurutan
adalah central and west africa 17%, eastern and southerm africa 17%, sub-saharan
africa 17%, south asia 15%, dan east asia and the pacific 15% (UNICEF, 2016).
Pada Profil Kesehatan Republik Indonesia data tahun 2017 didapatkan angka
insiden pneumonia di Indonesia sebesar 20,54 per 1000 balita. Jumlah kasus pneumonia
balita di Indonesia tahun pada tahun 2013 hingga 2017 mengalami kenaikan dan
penurunan. Pada tahun 2013 ditemukan kasus pneumonia balita sebanyak 571.547
kasus. Kasus tersebut mengalami kenaikan pada tahun 2014 menjadi 657.490 kasus.
Penurunan angka kasus terjadi pada tahun 2015 dengan besaran 554.650 kasus. Namun,
pada tahun 2016 kembali mengalami kenaikan hingga sebanyak 568.146 kasus dan
menurun pada tahun 2017 sebesar 511.434 kasus (Sari, M.P,dkk,2019). Sedangkan
berdasarkan Profil Kesehatan Republik Indonesia tahun 2018, di dapatkan insiden
pneumonia di Indonesia sebesar 20,06% per 1000 balita, dengan perkiraan presentasi
kasus pneumonia di wilayah Indonesia yang menempati urutan tertinggi adalah Nusa
Tenggara Barat 6,38%, Kepulauan bangka belitung 6,05% dan kalimantan Selatan
5,53% (Kemenkes 2018).
Maka dari itu, dalam makalah ini akan dibahas tentang pneumonia pada anak dan
balita, mulai darin penyebab terjadinya pneumonia, gejalanya, hingga
penatalksanaannya. Dan sebagai calon apoteker harusnya mampu dalam melakukan
asuhan kefarmasian kepada pasian, untuk itu dalam makalah ini juga akan dilakukan
pemecahan sebuah kasus terkait pneumonia.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

A. Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu
bakteri, virus, jamur dan protozoa. Pneumonia yang didapat di masyarakat (community-
acquired pneumonia atau pneumonia komuniti) banyak disebabkan oleh bakteri gram
positif, sebaliknya bakteri yang didapat di rumah sakit (hospital-acquired pneumonia
atau pneumonia nosokomial) banyak disebabkan oleh bakteri gram negatif, sedang
pneumonia aspirasi banyak disebabkan oleh bakteri anaerob (Seyawati, A, 2018).
Patogen penyebab pneumonia nosokomial berbeda dengan pneumonia komuniti.
Pneumonia nosokomial dapat disebabkan oleh kuman bukan multi drug resistance
(MDR) misalnya S.pneumoniae, H. Influenzae, Methicillin Sensitive Staphylococcus
Aureus (MSSA) dan kuman MDR misalnya Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli,
Klebsiella pneumoniae, Acinetobacter spp dan gram positif seperti Methicillin
Resistance Staphylococcus Aureus (MRSA). Pneumonia nosokomial yang disebabkan
jamur, kuman anaerob dan virus jarang terjadi (Seyawati, A, 2018).
Penyebab selain bakteri antara lain seperti aspirasi (makanan atau asam lambung,
benda asing, hidrokarbon dan substansi lipoid), reaksi hipersensitifitas, obat atau radiasi
yang menginduksi pneumonitis (Seyawati, A, 2018).
Pada tabel berikut dapat dilihat, mikroorganisme yang menyebabkan pneumonia
pada anak pada setiap usia (Schrock, K.S., dkk, 2012)
Umur Penyebab Umum Penyebab yang kurang
umum
2 - 24 bulan Respiratory syncytial virus Mycoplasma pneumoniae
Human metapneumovirus Haemophilus influenzae
Parainfluenza viruses Chlamydophila pneumoniae
Influenza A and B Rhinovirus
Adenovirus Enterovirus
Streptococcus pneumoniae
Chlamydia trachomatis
2-5 tahun Respiratory syncytial virus Staphylococcus aureus Group
Human metapneumovirus A streptococcus
Parainfluenza viruses
Influenza A and B Rhinovirus
Adenovirus Enterovirus S.
pneumoniae M. pneumoniae
H. influenzae (B and
nontypable) C. pneumoniae
> 5 tahun M. pneumoniae H. influenzae
C. pneumoniae S. S. aureus Group A
pneumoniae Rhinovirus streptococcus Respiratory
Adenovirus Influenza A and syncytial virus Parainfluenza
B viruses Human
metapneumovirus Enterovirus
B. Patofisiologi
Berdasarkan Barbara G. Wells, dkk (2015), berikut patofisiologi dari pneumonia :
 Mikroorganisme masuk ke saluran pernapasan bagian bawah melalui tiga rute:
terhirup sebagai partikel aerosol, melalui aliran darah dari tempat infeksi di luar
paru, atau melalui kerongkongan tertelan makanan yang terkontaminasi.
 Infeksi paru-paru dengan virus menekan aktivitas pembersihan bakteri paru-paru
dengan merusak fungsi makrofag alveolar dan pembersihan mukosiliar, sehingga
waktu yang lama menyebabkan pneumonia sekunder.
 Sebagian besar kasus pneumonia yang diperoleh di masyarakat oleh orang dewasa
yang sehat disebabkan oleh S. pneumoniae (hingga 75% dari semua kasus).
Penyebab bakteri umum lainnya adalah M.pneumoniae, spesies Legionella,
C.pneumoniae, dan H.influenzae dan berbagai virus.
 Pneumonia nasokomial (HCAP) adalah klasifikasi yang digunakan untuk
membedakan pasien yang tidak dirawat di rumah sakit yang berisiko terhadap
patogen multi-resistan (MDR) (mis. P. aeruginosa, spesies Acinetobacter, dan
Staphylococcus aureus resisten methicillin [MRSA]) dari mereka yang memiliki
pneumonia yang didapat masyarakat.
 Basil aerob gram negatif dan patogen S. aureus dan MDR juga merupakan agen
penyebab utama pada pneumonia yang didapat di rumah sakit.
 Bakteri anaerob adalah agen etiologi yang paling umum pada pneumonia yang
mengikuti aspirasi kotor dari isi lambung atau orofaring.
 Pada kelompok usia anak-anak, sebagian besar pneumonia disebabkan oleh virus,
terutama virus pernapasan, parainfluenza, dan adenovirus. S.pneumoniae adalah
penyebab bakteri yang paling umum, diikuti oleh grup A Streptococcus, S. aureus,
dan H.influenzae tipe b.
C. Faktor Risiko
Pada tabel berikut dapat dilihat faktor risiko pneumonia secara umum :

(Barbara G. Wells, dkk, 2015)

Berdasarkan Kartasima, (2010), faktor risiko pneumonia khusus pada anak-balita


adalah sebagai berikut :
1. Status gizi. Kurangnya gizi dan gizi buruk dapat meningkatkan risiko pada anak
2. Pemberian asi. Pemberian asi ekslusif dapat mengurangi risiko
3. Suplementasi Vitamin A. Vitamin A bermanfaat untuk meningkatkan imunitas dan
melindungi saluran pernapasan dari infeksi kuman.
4. Suplementasi zinc. suplementasi Zinc pada diet sedikitnya 3 bulan dapat mencegah
infeksi saluran pernapasan bawah
5. Berat bayi lahir rendah
6. Pemberian Imunisasi
7. Polusi udara. Asap rokok, asap biomassa, dan lain-lain
8. Pendidikan ibu
9. Status sosio-ekonomi keluarga

D. Manifestasi Klinik
Berdasarkan Kartasima, (2010), secara umum manifestasi klinik pneumonia
terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu :
1. Gejala umum
 Demam
 Sakit kepala
 Malaise
 Nafsu makan kurang
 Gejala gastrointestinal, seperti mual, muntah dan diare
2. Gejala respiratorik
 Batuk
 Napas cepat (tachypnoe/ fast breathing)
 Napas sesak (retraksi dada/chest indrawing),
 Napas cuping hidung,
 Air hunger
 Sianosis
Gejala pada balita yang menderita pneumonia berat bisa mengalami kesulitan bernafas,
sehingga dadanya bergerak naik turun dengan cepat atau tertarik ke dalam saat menarik
napas/inspirasi yang dikenal sebagai ‘lower chest wall indrawing’. Gejala pada anak
usia muda bisa berupa kejang, kesadaran menurun, suhu turun (hipotermia), tidak
bereaksi (letargi) dan minum terganggu
Berikut adalah kriteria gangguan pernapasan pada anak-anak penderita
pneumonia
No Tanda-tanda adanya gangguan pernapasan
1. Tachypnea, laju pernapasan, nafas/menit
Usia 0-2 bulan : >60
Usia 2-12 bulan : >50
Usia 1-5 tahun : >40
Usia >5 tahun : >20
2. Dyspnea
3. Retraction (Suprastenal, intercostals, atau subcostals)
4. Mendengkur
5. Penyumbatan hidung
6. Apnea
7. Perubahan status mental
8. Saturasi oksigen <90% di suhu ruang
(Bradley, S.J., dkk, 2011)

Berdasarkan Barbara G. Wells, dkk (2015), presentasi klinis dari pneumonia


berdasarkan penyebabnya adalaha sebagai berikut :
1. Pneumonia Bakteri Gram-Positif dan Gram-Negatif
• Presentasi klinis pneumonia ditemukan pada Tabel 43-6.
• Radiografi dada dan pemeriksaan serta biakan dahak adalah tes diagnostik yang
paling berguna untuk pneumonia bakteri gram positif dan gram negatif. Biasanya,
foto thoraks memperlihatkan infarkrat lobar atau segmental yang padat.
• Perubahan substansial dalam status mental pasien, sering di luar proporsi terhadap
derajat demam, terlihat pada sekitar seperempat pasien. Obtundation, halusinasi,
kejang grand mal, dan temuan neurologis fokal juga telah dikaitkan dengan
penyakit ini.
• Temuan laboratorium termasuk leukositosis dengan dominasi granulosit matang
dan imatur pada 50% hingga 75% pasien.
2. Pneumonia anaerob
• Perjalanan pneumonia anaerob biasanya bersifat indolen dengan batuk, demam
ringan, dan penurunan berat badan, walaupun dapat terjadi gejala akut. Dahak
busuk, bila ada, sangat menunjukkan diagnosis. Radiografi thoraks
mengungkapkan infiltrat yang biasanya terletak di segmen paru-paru dependen,
dan abses paru berkembang pada 20%pasien 1 sampai 2 minggu dalam perjalanan
penyakit.
3. Mycoplasma pneumoniae
• M. pneumoniae pneumonia datang dengan timbulnya demam, sakit kepala, dan
malaise secara bertahap, dengan penampilan 3 sampai 5 hari setelah timbulnya
penyakit batuk yang terus menerus dan meretas yang awalnya tidak produktif.
Sakit tenggorokan, sakit telinga, dan rinorea sering muncul. Temuan paru-paru
umumnya terbatas pada rales dan rhonchi; temuan konsolidasi jarang hadir.
• Manifestasi nonpulmoner sangat umum dan termasuk mual, muntah, diare, mialgia,
artralgia, artritis poliartikular, ruam kulit, miokarditis dan perikarditis, anemia
hemolitik, meningoensefalitis, neuropati kranial, dan sindrom Guillain-Barré.
Gejala sistemik umumnya jelas dalam 1 hingga 2 minggu, sedangkan gejala
pernapasan dapat bertahan hingga 4 minggu.
• Temuan radiografi termasuk infiltrat bercak atau interstitial, yang paling sering
terlihat di lobus bawah.
• Pewarnaan Gram dahak dapat mengungkapkan leukosit mononuklear atau
polimorfonuklear, tanpa organisme dominan. Meskipun M. pneumoniae dapat
dikultur dari sekret pernapasan menggunakan media khusus, 2 hingga 3 minggu
mungkin diperlukan untuk identifikasi kultur.
4. Pneumonia Viral
• Gambaran klinis yang dihasilkan oleh virus pernapasan cukup bervariasi dan
tumpang tindih sedemikian rupa sehingga diagnosis etiologis tidak dapat dibuat
dengan percaya diri hanya berdasarkan klinis saja. Tes serologis untuk antibodi
spesifik virus sering digunakan dalam diagnosis infeksi virus. Peningkatan empat
kali lipat titer diagnostik antara fase fase akut dan fase pemulihan mungkin
memerlukan 2 hingga 3 minggu untuk berkembang; namun, diagnosis infeksi
virus pada hari yang sama sekarang dimungkinkan melalui penggunaan tes
imunofluoresensi tidak langsung pada sel-sel yang terkelupas dari saluran
pernapasan.
• Temuan radiografi tidak spesifik dan termasuk penebalan dinding bronkus dan
perihilar dan infiltrat interstitial difus.
5. Pneumonia yang didapat di rumah sakit
• Faktor predisposisi terkuat untuk pneumonia yang didapat di rumah sakit (HAP)
adalah ventilasi mekanis. Faktor-faktor predisposisi pasien untuk HAP termasuk
penyakit parah, lama rawat inap, posisi telentang, aspirasi yang disaksikan, koma,
sindrom gangguan pernapasan akut, transportasi pasien, dan paparan antibiotik
sebelumnya.
• Diagnosis pneumonia nosokomial biasanya ditegakkan dengan adanya infiltrat
baru pada foto rontgen dada, demam, memburuknya status pernapasan, dan
munculnya sekresi pernapasan yang tebal dan berbeban neutrofil.

E. Diagnosa
Berdasarkan PDIP (2003), diagnosa pneumonia secara umum, antara lain :
1) Gambaran klinis
a) Anamnesis
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh
meningkat dapat melebihi 400C, batuk dengan dahak mukoid atau purulen
kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada.
b) Pemeriksaan fisik
Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada inspeksi
dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa palpasi fremitus
dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara napas
bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah halus, yang
kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi.
2) Pemeriksaan penunjang
a) Gambaran radiologis
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk
menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai
konsolidasi dengan " air broncogram", penyebab bronkogenik dan interstisial
serta gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan
penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi,
misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh Steptococcus
pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral
atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia sering
menunjukkan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat
mengenai beberapa lobus.
b) Pemeriksaan labolatorium
Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya
lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis
leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk
menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan
serologi. Kultur darah dapat positif pada 20- 25% penderita yang tidak diobati.
Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hikarbia, pada stadium lanjut
dapat terjadi asidosis respiratorik
Berdasarkan Serayati (2018), diagnosa pneumonia berdasarkan tingkat
keparannya pada anak, yaitu :
1) Pneumonia ringan
Disamping mengalami batuk dan kesulitan bernapas, anak hanya mengalami napas
cepat dan tidak terdapat tanda-tanda pneumonia berat.
a) Pada anak umur 2 bulan – 11 bulan : > 50 kali/menit
b) Pada anak umur 1 bulan – 5 tahun : > 40 kali/menit
2) Pneumonia berat
Terdapat batuk dan atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah satu dari tanda
berikut :
a) Kepala terangguk-angguk
b) Pernafasan cuping hidung
c) Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
d) Foto dada menunjukkan gambaran pneumonia (infiltrat luas, konsolidasi, dll)
Selain itu terdapat tanda lain yaitu nafas cepat, suara merintih, pada auskultasi
terdengar suara ronki, suara nafas menurun dan bronkial
3) Pneumonia sangat berat
Dalam keadaan yang sangat berat dijumpai beberapa tanda tambahan, tanda tersebut
antara lain :
a) Tidak dapat menyusu atau makan/minum
b) memuntahkan semuanya
c) Kejang
d) letargis atau tidak sadar
e) Sianosis
f) Distres pernafasan berat

F. Penatalaksanaan
Berdasarkan Barbara G. Wells, dkk (2015), berikut penatalaksanaan pneumonia.
 Pemberantasan organisme penyebab dan penyembuhan klinis lengkap adalah tujuan
utama. Morbiditas terkait harus diminimalkan (misalnya disfungsi ginjal, paru, atau
hati).
 Prioritas pertama pada penilaian pasien dengan pneumonia adalah untuk
mengevaluasi kecukupan fungsi pernapasan dan untuk menentukan apakah ada
tanda-tanda penyakit sistemik, khususnya dehidrasi, atau sepsis yang mengakibatkan
kolaps sirkulasi.
 Perawatan suportif pasien dengan pneumonia meliputi penggunaan humidifoxygen
untuk hipoksemia, resusitasi cairan, pemberian bronkodilator (auterol) ketika
bronkospasme hadir, dan fisioterapi dada dengan postural draage jika ada bukti
sekresi yang tertahan.
 Tambahan terapi penting termasuk hidrasi yang adekuat (dengan rute IV jika
diperlukan), dukungan nutrisi yang optimal, dan pengendalian demam.
 Pengobatan pneumonia bakteri pada awalnya melibatkan penggunaan empiris
antibiotik spektrum-relatbroad (atau antibiotik) yang efektif terhadap kemungkinan
patogen biakan yang sesuai dan spesimen untuk evaluasi laboratorium telah
diperoleh. Terapi harus dipersempit untuk mencakup patogen spesifik setelah hasil
kultus diketahui.
 Pilihan empiris yang tepat untuk pengobatan penyakit yang mendasari pneumonia
relativepatient bakteri ditunjukkan pada Tabel 43–7 untuk orang dewasa dan Tabel
43–8 anak-anak. Dosis untuk antibiotik untuk mengobati radang paru-paru
disediakan pada Tabel 43-9
 Konsentrasi antibiotik dalam sekresi pernapasan yang melebihi konsentrasi hambat
minimum patogen (MIC) diperlukan untuk keberhasilan pengobatan infeksi
monaring.
 Manfaat aerosol antibiotik atau pemberian endotrakeal langsung belum secara jelas
ditunjukkan.
(Lanjutan)

CMV, sitomegalovirus; RSV, virus syncytial pernapasan; CAP, pneumonia yang didapat masyarakat;
MRSA, S. aureus yang resisten methicillin.
Sebuah. Lihat bagian Pemilihan Agen Antimikroba.
b. Sefalosporin generasi ketiga: ceftriaxone dan cefotaxime. Perhatikan bahwa sefalosporin tidak aktif
melawan Listeria.
c. Carbapenem: imipenem-cilastatin dan meropenem.
d. Lihat teks untuk perincian tentang kemungkinan pengobatan ribavirin untuk infeksi RSV.
e. Macrolide / azalide: erythromycin dan clarithromycin / azithromycin.
Penisilin semisintetik: nafcillin dan oxacillin.
f. Sefalosporin generasi kedua: cefuroxime dan cefprozil.
(Lanjutan)

 Dosis dapat ditingkatkan untuk penyakit yang lebih parah dan mungkin
memerlukan modifikasi untuk pasien dengan disfungsi organ.
 Amoksisilin dosis tinggi dan amoksisilin / klavulanat (mis., 90 mg / kg / hari)
digunakan untuk S.pneumoniae yang resisten terhadap penisilin.
 Fluoroquinolon telah dihindari untuk pasien anak-anak karena potensi kerusakan
tulang rawan; Namun, mereka telah digunakan untuk infeksi bakteri MDR dengan
aman dan efektif pada bayi dan anak-anak (lihat teks).
 Tetrasiklin jarang digunakan pada pasien anak, terutama pada mereka yang lebih
muda dari 8 tahun karena perubahan warna gigi permanen yang diinduksi
tetrasiklin.
BAB 3
STUDI KASUS

A. Kasus
Bayi Zaskia, usia 9 bulan dengan BB 8,6 Kg (BB dua minggu yang lalu 8,9 kg).
Menurut ibunya, sudah satu minggu klien batuk pilek, demam dan anak tampak lemas. Ibu
juga mengatakan satu minggu ini anak menetek kurang kuat menetek. Ibu mengatakan
sebelumnya anaknya memang sering batuk pilek, dan di rumah suami dan bapak mertua
nya perokok dan sering merokok di dalam ruang TV. Ibu mengatakan kadang kesal untuk
menasehati kedua nya agar berhenti merokok.
Hasil pemeriksaan fisik: HR=110 x/menit, RR=48 x/menit, S=39 0C, suara nafas
ronchi +/+, pernafasan cuping hidung (+), terdapat retraksi intercostal dan subclavia.
Pemeriksaan laboratorium: Hb = 11,5 gr%, leukosit= 15.000/mm3. Pada pemeriksaan foto
thoraks: terdapat bercak infiltrat pada lobus kanan. Hasil pemeriksaan AGD: pH= 7,33,
PaO2= 60 mmHg, PCO2 = 60 mmHg. Saat ini klien mendapatkan terapi obat: Amoxicillin
3 x 300 mg i.v, Ambroxol 3 x ½ cth, Paracetamol 3 x ½ cth.

B. Identifikasi pasien
Nama : An. Zaskia
Usia : 9 bulan
Jenis kelamin : Perempuan
BB : 8,6 kg
Anamnesi : Diberikan oleh ibunya

C. Analisis SOAP
a) Subjektif
 Batuk (+)
 Pilek (+)
 Demam (+)
 Lemas (+)
 Penurunan nafsu makan

b) Objektif
Data Nilai Normal Interprestasi klinik
BB : 8,6 kg dari 8,9 (2 8.8 kg Rendah dan menurun
miggu yang lalu)
HR : 110x/menit 115x/menit Bradikardi
RR : 48x/menit 50x/menit Takipnea
Suhu : 39ºC 35.5ºC – 37.5ºC Hipotensi
Pernafasan cuping hidung Tidak ada pernafasan Abnormal
(+) cuping hidung
Retraksi Intercostal dan Tidak ada retraksi Abnormal
Subclavia intercostal dan subclavia
pada saat bernafas.

Hb : 11,5 gr% 12 gr% Hb rendah


Leukosit : 15.000/mm3 9.000 – 12.000/mm3 Leukosit naik
pH : 7,33 7,35 – 7,45 Rendah (Asidosis)
PaO2 : 60 mmHg 80 – 100 mmHg Rendah (Hipoksia)
PCO2 : 60 mmHg 35 – 45 mmHg Tinggi

c) Asessment/Plan
Data Data Problem Terapi DRP Plan Monitoring Literatur
Subjektif Objektif
Batuk - Ambroxol 3
x½c
Pilek -
Demam suhu 39C Paracetamol
3 x ½ cth
Lemas HR HR
110x/menit Rendah5
Penurunan
nafsu
makan
Leukosit Naik Amoxicillin
15.000/mm3 3 x 300 mg
i.v
Hb 11,5 gr Rendah
%

Daftar Pustaka

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2019, Profil Kesehatan Indonesia 2018,


Jakarta : Kemenkes RI.
UNICEF, 2016. One Is Too Many : Ending Child Deaths From Pneumonia and Diarrhoea,
New York : United Nations Children’s Fund.
Seyawati, A., dan Marwiati, 2018, Tata Laksana Batuk dan atau Kesulitan Bernapas :
Literatur review, Jurnal Ilmu Kesehatan 9(1):30-52.
Kartasima, 2010, Pneumonia Pembunuh Balita, Buletin Jendela Epidemiologi, Volume 3,
Jakarta: Kemenkes RI.
Sari M.P., Cahyati W.H., 2019. Tren Pneumonia Balita di Kota Semarang Tahun 2012-
2018. Higeia 3(3): 407-416. DOI: https://doi.org/10.15294/higeia/v3i3/30266
Schrock, K., S., Hayes, B., L., & George, C., M. 2012. Community-Acquired Pneumonia
in Children. American Family Physician, 86(7):661-667
Barbara G. Wells&Joseph T. DiPiro, Terry L. Schwinghammer, Cecily V. DiPiro, (2015).
Pharmacotherapy Handbook Ninth Edition. New York : McGraw-Hill Education
Bradley, S.J., dkk, 2011, The Management Of Community-Acquired Pneumonia in Infants
and Children Older Than 3 Months of Age : Clinical Practice Guidelines by the
Pediatric Infectious Disease Society and the Infectious Disease Society of America,
Clinical Infectious Disease, 53(7):25-76. DOI: 10.1093/cid/cir531
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003, Pneumonia Komuniti: Pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan di Indonesia,PDPI.

Anda mungkin juga menyukai