Anda di halaman 1dari 42

BAB 1 TERAPI NON FARMAKOLOGI PADA PNEUMONIA

1.1. Pneumonia
a. Definisi
Pneumonia merupakan suatu penyakit infeksi pada
parenkim paru yang disebabkan oleh sejumlah bakteri
yang berbeda, virus parasit atau jamur. Infeksi ini
meyebabkan peradangan pada paru dan akumulasi
eksudat pada jaringan paru. Selain itu pneumonia juga
didefinisikan sebagai peradangan parenkim paru, distal
dari bronkiolus terminalis yang mencangkup bronkiolus
respitorius, dan alveoli serta menimbulkan kinsolidasi paru
( Dahlan, 2019). Pneumonia adalah peradangan parenkim
paru yang disebabkan oleh mikroorgansme seperti bakteri,
virus, jamur, parasit. Pneumonia juga disebabkan oleh
bahan kimia dan paparan fisik seperti suhu atau radiasi
( Harifianti,2019).
Pneumonia adalah salah satu penyakit infeksi saluran
pernafasan bawah akut (ISNBA) dengan gejala batuk
disertai dengan sesak nafas yang disebabkan oleh agen
infeksius seperti virus, bakteri, mycoplasma (fungi), dan
aspirasi substansi asing, berupa radang paru-paru yang
disertai eksudasi dan konsolidasi. Pneumonia merupakan
penyakit infeksi yang menyebabkan kematian pada anak-
anak di seluruh dunia. Pneumonia penyebab dari 15%
kematian balita, diperkirakan sejumlah 922.000 balita.
Pneumonia menyerang semua umur di semua wilayah,
namun kejadina terbanyak di Asia Selatan dan Afrika Sub-
Sahara (Sa’diyah dkk, 2022).
b. Prevelansi
Pneumonia merupakan penyakit infeksi yang
menyebabkan kematian pada anak-anak di seluruh dunia.
Pneumonia penyebab dari 15% kematian balita,
diperkirakan sejumlah 922.000 balita. Pneumonia
menyerang semua umur di semua wilayah, namun
kejadina terbanyak di Asia Selatan dan Afrika Sub-Sahara
(Sa’diyah, 2022).
Pneumonia menyumbang 16% dari 5,9 juta kematian
balita di dunia dan menjadi penyebab 920.136 anak-anak
meninggal dunia di tahun 2019 (WHO, 2019) sedangkan di
Indonesia pada tahun 2018 angka kejadian pneumonia
pada balita yang ditemukan dan ditangani sebanyak
554.650 kasus dari target penemuan kasus sebanyak 874.195
(63,45%). Angka kematian akibat pneumonia pada balita
tahun 2019 sebesar 0,16% lebih tinggi dibandingkan
dengan tahun 2018 sebesar 0,08% (Kemenkes RI, 2019).
Berdasarkan kelompok umur, period prevalence
pneumonia yang tertinggi pada kelompok umur 1-4 tahun,
period prevalence pneumonia balita di Indonesia adalah
18,5 per mil (Kemenkes RI, 2019). Indonesia, riset
kesehatan dasar ( riskesdas) melaporkan bahwa kejadian
pneumonia mengalami peningkatan pada tahun 2021 dari
2,1% menjadi 2,7% pada tahun 2022. Terdapat 11 provinsi
( 33,3%) yang mengalami kenaikan periode prevalensi
pneumonia pada tahun 2022 ( Depkes RI.2022).
Pelaksanaan pencegahan dan pengendalian kejadian
pneumonia pada anak balita sejauh ini belum merata dan
masih tidak terkoordinasi (WHO-UNICEF, 2021). Hanya
54% anak dengan pneumonia di negara berkembang
dilaporkan dan dibawa ke penyedia layanan kesehatan
yang berkualitas dan hanya 19% anak balita dengan tanda-
tanda klinis pneumonia mendapatkan antibiotik. (Webber,
Fransisca, 2022).
c. Etiologi
Penyebab pneumonia dari berbagai macam
mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, dan protozoa.
Pneumonia yang berasal dari masyarakat atau komunitas
(Community Acquired Pneumonia) disebabkan oleh bakteri
gram positif. Sedangkan, bakteri yang berasal dari rumah
sakit (Hospital Acquired Pneumonia) disebabkan oleh bakteri
gram negatif. Dan pneumonia aspirasi disebabkan oleh
bakteri dari jamur, kuman anaerob, dan virus
(Warganegara, 2019). Menurut (Seyawati, 2018) penyebab
pneumonia yaitu:
a. Bakteri
Bakteri penyebab pneumonia yaitu Streptococcus
pneumoniae, haemophilus influenzae, mycoplasma
pneumonia, staphylococcus aureus.
b. Virus
Respiratory syntical virus, influenza A atau B virus
(vaksin tersedia), human rhinovirus, human
merapneumovirus, adenovirus, parainfluenza virus.
Penyebab pneumonia pada masa anak-anak yaitu
respiratory syntical virus (RSV), sedangkan pneumonia
yang disebabkan oleh bakteri paling sering yaitu
bakteri streptococcus pneumoniae dan hemophillus
influenzae.
c. Fungi/jamur (Mycoplasma)
d. Aspirasi substansi asing.
d. Klasifikasi
a. Klasifikasi berdasarkan anatomi menurut
(Warganegara, 2018):
1) Pneumonia lobaris, melibatkan seluruh atau
sebagian besar dari satu atau lebih lobus paru. Bila
kedua paru terkena, maka dikenal sebagai
pneumonia bilateral atau ganda.
2) Pneumonia lobularis (bronkopneumonia) terjadi
pada ujung akhir bronkiolus, yang tersumbat oleh
eksudat mukopurulen untuk membentuk bercak
konsolidasi dalam lobus yang berada didekatnya,
disebut juga pneumonia lobularis.
3) Pneumonia interstitial (bronkiolitis) proses
inflamasi yang terjadi di dalam dinding alveolar
(interstisium) dan jaringan peribronkial serta
interlobular.
b. Klasifikasi berdasarkan inang dan lingkungan menurut
(Nurarif, 2018):
1) Pneumonia komunitas
Dijumpai pada influenza pada pasien
perokok, pathogen atipikal pada lansia, gram
negative pada pasien dari rumah jompo, dengan
adanya PPOK, penyakit penyerta
kardiopulmonal/jamak, atau paksa terapi
antibiotika spectrum luas.
2) Pneumonia nosocomial
Tergantung pada 3 faktor yaitu: tingkat berat
sakit, adanya resiko untuk jenis pathogen tertentu,
dan masa menjelang timbul onset pneumonia.
3) Pneumonia aspirasi
Disebabkan oleh infeksi kuman, pneumonia
kimia akibat aspirasi bahan toksik, akibat aspirasi
cairan inert misalnya cairan makanan atau
lambung, edema paru, dan obstruksi mekanik
simple oleh bahan padat.
4) Pneumonia pada gangguan imun
Terjadi karena akibat proses penyakit dan
akibat terapi. Penyebab infeksi dapat disebabkan
oleh kuman pathogen atau mikroorganisme yang
biasanya nonvirulen, berupa bakteri, protozoa,
parasite, virus, jamur, dan cacing.
c. Berdasarkan (Hidayah, 2018)
Pneumonia dapat diklasifikasikan secara
sederhana berdasarkan dengan gejala yang ada.
Klasifikasi ini bukan diagnosis medis, melainkan
bertujuan untuk membantu petugas kesehatan yang
berada di lapangan untuk menentukan tindakan yang
perlu diambil, sehingga anak tidak terlambat
mendapatkan penanganan. Klasifikasi tersebut adalah
sebagai berikut:
1) Pneumonia berat atau penyakit sangat berat,
apabila terdapat gejala sebagai berikut:
a) Ada tanda bahaya umum, seperti anak tidak
bisa minum atau menyusu, selalu
memuntahkan semuanya, kejang atau anak
letargis/tidak sadar.
b) Terdapat tarikan dinding dada ke dalam.
c) Terdapat stridor (suara nafas bunyi “grok-
grok” saat inspirasi).
2) Pneumonia, apabila terdapat gejala nafas cepat.
Batasan nafas cepat adalah:
a) Anak usia 2-12 bulan apabila frekuensi nafas
50 kali per menit atau lebih.
b) Anak usia 12 bulan sampai 5 tahun apabila
frekuensi nafas 40 kali per menit atau lebih.
c) Batuk bukan pneumonia, apabila tidak ada
tanda-tanda pneumonia atau penyakit sangat
berat.
Biasanya bakteri dan virus tersebut
menyerang anak-anak usia di bawah 2 tahun
yang kekebalan tubuhnya lemah atau belum
sempurna (Sari, 2018).

e. Manifestasi Klinis
Gejala klinis dari Pneumonia adalah demam,
menggigil, berkeringat, batuk (baik non produktif atau
produktif atau menghasilkan sputum berlendir, purulen
atau bercak darah), sakit dada karena pleuritis dan sesak.
Gejala umum lainnya adalah pasien lebih suka berbaring
pada yang sakit dengan lutut tertekuk karena nyeri dada.
Pemeriksaan fisik didapatkan retraksi atau penarikan
dinding dada bagian bawah saat bernafas, takipneu,
kenaikan atau penurunan taktil fremitus, perkusi redup
sampai pekak menggambarkan konsolidasi atau terdapat
cairan pleura, dan ronki (Nursalam, 2019).
Sedangkan menurut (Nursalam, 2019) pneumonia
menunjukan gejala klinis sebagai berikut:
a. Batuk
b. Sputum produktif (sputum kuning kehijauan
kemudian menjadi kemerahan atau berkarat)
c. Sesak nafas
d. Ronki
e. Demam tidak setabil (38,8 ºC - 41,1 ºC)
f. Leukositosis
g. Infiltrat
h. Meningitis
i. Anoreksia
j. Muntah
k. Diare
l. Nyeri abdomen
m. Sakit tenggorokan
Sedangkan menurut (Padila, 2018), disamping batuk
atau kesulitan bernapas hanya terdapat napas cepat saja.
Adapun tanda dan gejala :
1. Kesulitan dan sakit pada pernapsan
a. Nyeri pleuritik
b. Napas dangkal dan mendengkur
c. Takipnea
2. Bunyi napas diatas area yang mengalami
konsolidasi
a. Mengecil, kemudian menjadi hilang
b. Krekels,ronki
3. Gerakan dada tidak simetris
4. Menggigil dan demam 38,8ºC sampai 41,1ºC,
delirium
5. Diafoesis
6. Anoreksia
7. Malaise
8. Batuk kental, produktif
Sputum kuning kehijauan berubah menjadi
kemerahan atau berkarat
9. Gelisah
10. Sianosis
a. Area sirkumoral
b. Dasar kuku kebiruan
11. Masalah-masalah psikososial: disorientasi,
ansietas, takut mati.

f. Patofisiologis
Bakteri atau virus masuk kedalam tubuh, akan menyebabakan
gangguan/ peradangan pada terminal jalan nafas dan
alveoli. Proses tersebut akan menyebabkan infiltrat yang
biasanya mengenai pada multiple lobus, terjadi destruksi
sel dengan menanggalkan debris cellular ke dalam lumen
yang mengakibatkan gangguan fungsi alveolar dan jalan
napas. Pada kondisi akut maupun kronik seperti AIDS,
cystic fibrosis, aspirasi benda asing dan konginetal yang
dapat meningkatkan resiko pneumonia (Marni,2019).
Secara hematogen maupun langsung (lewat penyebaran sel)
mikroorganisme yang terdapat didalam paru dapat
menyebar ke bronkus. Setelah terjadi fase peradangan
lumen bronkus menyebabkan sel radang akut, terisi
eksudat (nanah) dengan sel epitel rusak. Bronkus dan
sekitarnya penuh dengan netrofil (bagian leukosit yang
banyak pada saat awal peradangan dan bersifat fagositosis)
dan sedikit eksudat fibrinosa. Bronkus rusak akan
mengalami fibrosis dan pelebaran akibat tumpukan nanah
sehingga dapat timbul bronkiektasis. Selain itu organisasi
eksudat dapat terjadi karena absorpsi yang lambat. Eksudat
pada infeksi ini mula-mula encer dan keruh, mengandung
banyak kuman penyebab (streptokokus, virus dan lain-
lain). Selanjutnya eksudat berubah menjadi purulen dan
menyebabkan sumbatan pada lumen bronkus. Sumbatan
tersebut dapat mengurangi asupan oksigen dari luar
sehingga penderita mengalami sesk napas.
Terdapatnya peradangan pada bronkus dan paru juga akan
mengakibatkan peningkatan produksi mukosa dan
peningkatan gerakan silia pada lumen bronkus sehingga
timbul peningkatan flekflek batuk. Perjalanan patofisiologis
diatas bisa berlangsung sebaliknya yaitu di dahului dulu
dengan infeksi pada bronkus kemudian berkembang
menjadi infeksi pada paru (Riyadi, 2022).
g. Komplikasi
Menurut Paramita 2019 :
a. Empisema
b. Hipoksemia
c. Gagal respiratorik
d. Efusi pleura
e. Abses paru
f. Bacteremia
g. Meningitis
h. Endocarditis
i. Pericarditis
j. Dehidrasi
k. Hipotensi
l. Atelectasis
1.2.Terapi Non Farmakologis
a. Pengertian
Terapi non farmakologi diartikan sebagai terapi
tambahan selain hanya mengkonsumsi obat-obatan.
Manfaat dari terapi non farmakologi yaitu meningkatkan
efikasi obat, mengurangi efek samping, serta memulihkan
keadaan pembuluh darah dan jantung. Bentuk terapi non
farmakologi adalah terapi alternatif dan komplementer.
Pengobatan yang dipilih sebagai pengganti terhadap
pengobatan medis sedangkan pengobatan komplementer
adalah pengobatan yang digunakan bersama-sama dengan
pengobatan medis ( Aryando,2018).
Terapi non farmakologi adalah pengobatan tanpa
obat bagi penderita penyakit saluran pernafasan diataranya
dilakukan dengan cara relaksasi napas dalam,latihan batuk
efektif, pisioterapi dada dan edukasi obat dengan
menggunakan media video (Sayogo, 2019).
Terapi non farmakologi merupakan terapi
pengobatan tanpa menggunakan obat-obatan. Non
farmakologi yang dapat diterapkan salah satunya adalah
terapi komplementer. Terapi komplementer non
farmakologi yaitu dapat berupa terapi pikiran tubuh
(relaksasi progresif, meditasi, imajinasi, terapi musik,
humor, tertawa, dan aromaterapi) ( Ilham Fajri, 2020).
b. Jenis-jenis
Menurut Hastono, 2019 :
a. Distraksi dan teknik relaksasi napas dalam
b. Latihan batuk efektif
c. Fisioterapi dada
d. Hipnotis
e. Edukasi obat dengan menggunakan media
video
f. Aromaterapi
g. Terapi musik
h. Kompres hangat
1.3.Terapi Non Farmakologi Pada Pneumonia
a. Terapi Relaksasi Nafas Dalam
a) Pengertian
Teknik relaksasi merupakan intervensi
keperawatan secara mandiri untuk menurunkan
intensitas nyeri, meningkatkan ventilasi paru
dan meningkatkan oksigenasi darah. Relaksasi
otot skeletal dipercaya dapat menurunkan nyeri
dengan merilekskan tegangan otot yang
menunjang nyeri, ada banyak bukti yang
menunjukkan bahwa relaksasi efektif dalam
meredakan nyeri. Sedangkan latihan nafas
dalam adalah bernafas dengan perlahan dan
menggunakan diagfragma, sehingga
memungkinkan abdomen terangkat perlahan
dan dada mengembang penuh (Trullyen 2018).
Teknik relaksasi nafas dalam merupakan
pernafasan pada abdomen dengan frekuensi
lambat serta perlahan, berirama, dan nyaman
dengan cara memejamkan mata saat menarik
nafas. Efek dari terapi ini ialah distraksi atau
pengalihan perhatian. (Haryati, 2018).
Mekanisme relaksasi nafas dalam pada sistem
pernafasan berupa suatu keadaan inspirasi dan
ekspirasi pernafasan dengan frekuensi
pernafasan menjadi 6-10 kali permenit sehingga
terjadi peningkatan regangan kardiopulmonari.
Terapi relaksasi nafas dalam dapat dilakukan
secara mandiri, relatif mudah dilakukan dari
pada terapi nonfarmakologis lainnya, tidak
membutuhkan waktu lama untuk terapi, dan
dapat mengurangi dampak buruk dari terapi
farmakologis bagi penderita hipertensi
(Seyawati, 2018).
b) Tujuan
Beberapa tujuan terapi relaksasi nafas dalam
(Paramita, 2020)
adalah sebagai berikut:
a. Meningkatkan ventilasi alveoli
b. Memelihara pertukaran gas
c. Mencegah atelektasi paru
d. Meningkatkan efisiensi batuk
e. Meningkatkan mekanisme pembersihan jalan
napas
f. Ketentraman hati
g. Berkurangnya rasa cemas, khawatir dan
gelisah
h. Detak jantung lebih rendah
i. Kesehatan mental menjadi lebih baik
c) Indikasi
a) Dipsnea
b) Produksi psutum yang berlebih
c) Pasien dengan batuk yang tidak efektif
d) Susah mengeluarkan dahak
e) Nyeri
d) Kontraindikasi
a) Hemoptisis
b) Tension pneumotoraks
c) Gangguan kardiovaskuler
d) Edema paru
e) Efusi pleura yang luas
e) Standar Prosedure Operasional (SPO)
Menurut Potter dan Perry (2020), langkah-
langkah teknik relaksasi nafas dalam yaitu :
a. Tahap Pra Interaksi
1. Mengecek program terapi
2. Mencuci tangan
3. Menyiapkan alat (stetoskop, oximeter,
handscoon, alat tulis)
b. Tahap orientasi
1. Memberikan salam dan sapa nama pasien
2. Menjelaskan tujuan dan prosedur
pelaksanaan
3. Menanyakan persetujuan/kesiapakan
pasien
c. Fase kerja
1. Menjaga privasi pasien
2. Mempersiapkan pasien
3. Ciptakan lingkungan tenang, usahakan
tetap rileks dan tenang.
4. Ajarkan klien untuk melakukan tarik
napas melalui hidung, kemudian
mengerutkan bibir seperti bersiul dan
mengeluarkan napas dengan lembut dan
lambat sehingga membuat bunyi
“berdesis” tanpa mengembungkan pipi
5. Minta klien untuk melakukan napas
dalam melalui hidung dan hitung sampai
3 kali hitungan
6. Minta klien untuk berkonsentrasi
menegangkan otot-otot abdomen saat
mengeluarkan napas secara perlahan
melalui bibir yang dikerutkan sambil
menghitung sampai 7 atau sampai tidak
bisa mengeluarkan napas lagi.
7. Minta klien untuk melakukan latihan ini
pada sesak napas/dispne dan
meningkatkan secara bertahap sebanyak
3 kali sehari
d. Tahap terminasi
1. Melakukan evaluasi tindakan
2. Berpamitan dengan klien
3. Mencuci tangan
4. Mencatat kegiatan dalam lembar catatn
keperawatan
b. Terapi Latihan Batuk Efektif
a) Pengertian
Batuk efektif merupakan cara untuk
melatih pasien yang tidak memiliki kemampuan
batuk secara efektif dengan tujuan untuk
membersihkan laring, trakea, dan bronchioles
dari secret atau benda asing dijalan nafas.
Menurut Rochimah, (2019) batuk efektif
mengandung makna dengan batuk yang benar,
akan dapat mengeluarkan benda asing, seperti
secret semaksimal mungkin. Bila pasien
mengalami gangguan pernafasan karena
akumulasi sscret, maka sangan dianjurkan untuk
melakukan latihan batuk efektif menurut
Andarmoyo, (2018) latihan batuk efektif
merupakan cara untuk melatih pasien yang
tidak memiliki kemampuan batuk secara efektif
dengan tujuan untuk membersihkan laring,
trachea, dan bronkiolus dari secret atau benda
asing dijalan nafas. Menurut Ambarawati &
Nasution (2018).
b) Tujuan
Batuk efektif dilakukan dengan tujuan
untuk membersihkan jalan nafas, mencegah
komplikasi : infeksi saluran nafas, pneumonia
dan mengurangi kelelahan. Menurut Muttaqin
( 2020) tujuan batuk efektif adalah meningkatkan
mobilisasi sekresi dan mencegah resiko tinggi
retensi sekresi ( pneumonia, atelektasis, dan
demam). Pemberian latihan batuk efektif
dilaksanakan terutama pada klien dengan
masalah keperawatan bersihan jalan nafas tidak
efektif dan masalah resiko tinggi infeksi saluran
pernafasan bagian bawah yang berhubungan
dengan akumulasi secret pada jalan nafas yang
14 sering disebabkan oleh kemampuan batuk
yang menurun. Menurut Somantri, (2018) batuk
efektif sangat penting karena dapat
meningkatkan mekanisme pembersihan jalan
nafas (Normal Cleansing Mechanism). Menurut
Rosyidi & Wulansari, (2018).

f) Indikasi
1. Produksi psutum yang berlebih
2. Pasien dengan batuk yang tidak efektif
3. Susah mengeluarkan dahak
g) Kontraindikasi
1. Hemoptisis
2. Tension pneumotoraks
3. Gangguan kardiovaskuler
4. Edema paru
5. Efusi pleura yang luas
h) Standar Operasional Prosedure Operasional
(SPO)
Menurut Eni Kusyati et al (2018), langkah-
langkah batuk efektif yaitu :
a. Tahap Pra Interaksi
a) Mengecek program terapi
b) Mencuci tangan
c) Menyiapkan alat (Stetoskop, handuk, air
hangat, oximeter, handscoon, kom kecil)
b. Tahap orientasi
a) Memberikan salam dan sapa nama pasien
b) Memperkenalkan diri
c) Menjelaskan tujuan dan prosedur yang
akan dilakukan kepada keluarga pasien
d) Meminta izin kepada anak dan orang tua
c. Fase kerja
a) Menjaga privasi pasien
b) Mempersiapkan pasien
c) Mencuci tangan, kenakan hanscoon dan
pakai masker
d) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
e) Atur posisi klieen semi fowler atau fowler
f) Anjurkan klien untuk minum air hangat
sebelum melakukan batuk efektif untuk
mengcerkan dahak
g) Anjurkan untuk menarik nafas dalam
secara perlahan
h) Setelah itu tahan nafas kurang lebih 2
detik
i) Batukkan 2 kali dengan mulut terbuka .
batuk pertama untuk meluruhkan mucus
dan batuk kedua untuk mengeluarkan
secret
j) Tarik nafas dengan ringan
k) Istirahat
l) Lepaskan sarung tangan dan cuci tangan
d. Tahap terminasi
a) Melakukan evaluasi tindakan
b) Berpamitan dengan klien
c) Mencuci tangan
d) Mencatat kegiatan dalam lembar catatn
keperawatan

c. Terapi Fisioterapi Dada


a) Pengertian
Fisioterapi dada merupakan salah satu terapi
yang digunakan dalam pengobatan penyakit saluran
pernapasan pada anak seperti penyakit pernapasan
kronis dan neuromuskular. Fisioterapi dada pada
anak bertujuan untuk membantu sebagai
pembersihan sekresi trakeobronkial, mengevakuasi
eksudat inflamasi, menghilangkan penghalang jalan
napas, mengurangi resistensi saluran napas,
meningkatkan pertugaran gas, dan mengurangi
kerja pernapasan (GSS et al, 2019).
Fisioterapi dada merupakan tindakan yang
dilakukan pada klien yang mengalami retensi
sekresi dan gangguan oksigenasi yang memerlukan
bantuk untuk mengencerkan atau mengeluarkan
sekresi. Fisioterapi dada adalah suatu tindakan yang
terdiri atas perkusi (clapping), vibrasi dan postural
drainage. Tindakan ini biasa diberikan pada klien
dengan ketidakefektifan jalan napas akibat adanya
sputum yang sulit untuk dikeluarkan (Potter &
Perry, 2018).
Postural drainage adalah teknik fisioterapi
yang bertjuan untuk mengeluarkan sputum dengan
cara memberikan posisi pada pasien yang
berlawanan dengan letak segmen paru yang
terdapat sumbatan dengan waktu yang digunakan
selama 5 menit agar mempermudah pengeluaran
sputum (Ningrum et al, 2019). Postural drainage
merupakan suattu teknik pengaturan posisi tubuh
semifowler untuk mengeluarkan sputum dengan
cara meletakkan jari di bawah procexus xipoideus
kemudian dorong dengan jari saat mnedorong
udara lalu pasien disuruh menahan 3-5 detik
kemudian hembuskan perlahan-lahan melalui
mulut dengan postural drainage dapat membantu
mengeluarkan sputum pada pasien yang mengalami
jalan napas tidak efektif (Sari, 2019).
Perkusi dada (clapping) merupakan teknik
manual menggunakan tepukan di dada atau di
punggung dada yang berada diarea bawah lengan
pasien untuk melonggarkan lendir yang kental dan
lengket dari sisi paru-paru. Hal ini menyebabkan
sekresi untuk pindah ke saluran napas yang lebih
besar saat menarik napas dalam sehingga pasien
akan terbatuk dan mengeluarkan sekresi secara
efektif. Teknik ini sangat efektif dalam perawatan
bayi dan anak-anak yang mengalami bersihan jalan
napas tidak efektif (M Yang et al, 2019).
Vibrasi merupakan tindakan yang dilakukan
untuk memberikan kompresi pada dada yang dapat
menggerakkan sekret ke jalan napas saat pasien
menghembuskan napas (Suhanda dan Rusmana,
2018). Vibrasi adalah teknik yang menggunakan
getaran pada dada untuk mendorong sekret dari
jalan napas sehingga sekret dapat keluar dengan
mudah dengan cara menginstruksikan pasien untuk
menarik napas dengan lambat melalui hidunng dan
menghembuskan melalui mulut dengan bibir
membentuk huruf “O” setelah itu di getarkan
dengan cepat selama 5 menit (Ningrum et al, 2019).
b) Tujuan
Tujuan utama dilakukannya fisioterapi
dada yaitu untuk membersihkan obstruksi jalan
napas, mengurangi hambatan jalan napas,
meningkatkan pertukaran gas dan mengurangi
kerja pernapasan.
c) Indikasi
1. Terdapat penumpukan sekret pada saluran
napas yang dibuktikan dengan pengkajian
fisik, X Ray dan data Klinis.
2. Sulit mengeluarkan sekret yang terdapat
pada saluran pernapasan
d) Kontraindikasi
1. Hemoptisis
2. Penyakit jantung
3. Serangan asma akut
4. Deformitas sruktur dinding daada dan
tulang belakang
5. Nyeri meningkat
6. Kepala pusing
7. Kelemahan
e) Standar Prosedure Operasional (SPO)
Persiapan alat :
Stetoskop, Handuk, Sputum pot, Segelas air
hangat, Handscoon, Tissue, Bengkok, Alat tulis
1) Postural drainase
a. Perawat mencuci tangan, lalu memasang
sarung tangan
b. Auskultasi area lapang paru untuk
menentukan lokasi sekret
c. Posisikan pasien pada posisi berikut
untuk sekret-sekret di area target
segmen/lobus paru pada:
a) Bronkus apikal lobus aterior kanan
dan kiri atas, minta pasien duduk di
kursi, bersandar pada bantal.
b) Bronkus apikal lobus posterior kanan
dan kiri atas duduk membungkuk,
kedua kaki ditekuk. Kedua tangan
memeluk tungkai atau bantal
c) Bronkus lobus anterior kanan dan
kiri atas supinasi datar untuk area
target di segmen anterior kanan dan
kiri atas.
d) Lobus anterior kanan dan kiri bawah
supinasi dengan posisi
trendelenburg, lutut menekuk di atas
bantal.
e) Lobus kanan tengah. Supinasi
dengan bagian dada kiri/kanan lebih
ditinggikan dengan posisi
trendelenburg (bagian kaki tempat
tidur di tinggikan)
f) Lobus tengan anterior posisi sims’s
kanan/kiri disertai posisi
trendelenburg
g) Lobus bawah anterior supinasi datar
dan posisi trendelenburg
h) Lobus bawah posterior pronasi datar
dengan posisi trendelenburg
i) Lobus lateral kanan bawah. Miring
kiri dengan lengan bagian atas
melewati kepala disertai dengan
posisi trendelenburg
j) Lobus lateral kiri bawah miring kiri
dengan lengan bagian atas melewati
kepala disertai dengan posisi
trendelenburg.
2) Perkusi dada (clapping)
a. Letakkan handuk diatas kulit pasien
b. Rapatkan jari-jari dan sedikit
direfleksikan membentuk mangkok
tangan
c. Lakukan perkusi dengan menggerakkan
sendi pergelangan tangan, prosedur
benar jika terengar suara gema pada saat
perkusi
d. Perkusi seluruh area target, dengan
menggunakan pola yang simetris.
3) Vibrasi dada
a. Instruksikan pasien untuk tarik napas
dalam dan mengeluarkan napas
perlahan-lahan
b. Pada saat buang napas, lakukan
prosedur vibrasi dengan teknik: tangan
non dominan berada dibawah tangan
dominan, dan letakkan pada area target
c. Instruksikan untuk menarik napas
dalam
d. Pada saat membuang napas, perlahan
getarkan tangan dengan cepat tanpa
melakukan penekanan berlebihan
e. Posisikan pasien untuk dilakukan
tindakan batuk efektif.
d. Kepatuhan Minum Obat
a) Pengertian
Kepatuhan dalam mengkonsumsi obat
harian adalah perilaku untuk mentaati saran-
saran atau prosedur dari dokter tentang
penggunaan obat, yang sebelumnya didahului
oleh proses konsultasi antara pasien dengan
dokter sebagai penyedia jasa kesehatan.
Beberapa aspek yang digunakan untuk
mengukur kepatuhan dalam mengkonsumsi
obat harian adalah frekuensi, jumlah pil/obat
lain, kontinuitas, metabolisme dalam tubuh,
aspek biologis dalam darah, serta perubahan
fisiologis dalam tubuh. Sedangkan faktor-faktor
penentu munculnya kepatuhan dalam
mengkonsumsi obat harian di antaranya adalah:
persepsi dan perilaku pasien, interaksi antara
pasien dan dokter dan komunikasi medis antara
kedua belah pihak, kebijakan dan praktek
pengobatan di publik yang dibuat oleh pihak
yang berwenang dan berbagai intervensi yang
dilakukan agar kepatuhan dalam mengkonsumsi
obat terjadi (Lailatushifah, 2019)
b) Dampak Ketidakpatuhan
Pasien yang tidak patuh pada akhirnya
akan diikuti dengan berhentinya pasien untuk
mengkonsumsi obat. Ketidakpatuhan minum
obat dapat dilihat terkait dengan dosis, cara
minum obat, waktu minum obat dan periode
minum obat yang tidak sesuai dengan aturan.
Jenis-jenis ketidakpatuhan meliputi
ketidakpatuhan yang disengaja (intentional non
compliance) dan ketidakpatuhan yang tidak
disengaja (unintentional non compliance ).
Ketidakpatuhan yang disengaja (intentional non
compliance) disebabkan karena keterbatasan
biaya pengobatan, sikap apatis pasien, dan
ketidakpercayaan pasien akan efektivitas obat
(Lailatushifah, 2019)
Ketidakpatuhan yang tidak disengaja
(unintentional non compliance) karena pasien
lupa minum obat, ketidaktahuan akan petunjuk
pengobatan, kesalahan dalam hal pembacaan
etiket. Beberapa dampak ketidakpatuhan pasien
dalam mengkonsumsi obat antara lain yaitu
(Lailatushifah, 2019): terjadinya efek samping
obat yang dapat merugikan kesehatan pasien,
membengkaknya biaya pengobatan dan rumah
sakit. Selain hal tersebut, pasien juga dapat
mengalami resistensi terhadap obat tertentu.
Ada sebagian obat yang bila penggunaannya
berhenti sebelum batas waktu yang ditentukan
justru dapat berakibat harus diulang lagi dari
awal.
c) Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan
Faktor-faktor yang memengaruhi kepatuhan
(Toulasik, 2019), faktor yang memengaruhi
tingkat kepatuhan adalah:
a) Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara. Pendidikan klien dapat meningkatkan
kepatuhan, sepanjang bahwa pendidikan
tersebut merupakan pendidikan yang aktif.
b) Akomodasi
Suatu usaha harus dilakukan untuk
memahami ciri kepribadian klien yang dapat
mempengaruhi kepatuhan pengobatan adalah
jarak dan waktu, biasanya pasien cenderung
malas melakukan pemeriksaan/pengobatan
pada tempat yang jauh.
c) Modifikasi faktor lingkungan dan sosial
Hal ini berarti membangun dukungan sosial
dari keluarga dan teman-teman, kelompok-
kelompok pendukung dapat dibentuk untuk
membantu kepatuhan terhadap program
pengobatan seperti pengurangan berat badan,
berhenti merokok dan menurunkan konsumsi
alkohol. Lingkungan berpengaruh besar pada
pengobatan, lingkungan yang harmonis dan
positif akan membawa dampak yang positif
pula pada pasien hipertensi, kebalikannya
lingkungan negatif akan membawa dampak
buruk pada proses pengobatan pasien.
d) Perubahan model terapi
Program pengobatan dapat dibuat
sesederhana mungkin dan klien terlihat aktif
dalam pembuatan program pengobatan
(terapi).
e) Meningkatkan interaksi profesional kesehatan
dengan klien
Meningkatkan interaksi profesional kesehatan
dengan klien adalah suatu hal penting untuk
memberikan umpan balik pada klien setelah
memperoleh infomasi tentang diagnosis.
Suatu penjelasan penyebab penyakit dan
bagaimana pengobatan dapat meningkatkan
kepatuhan.
f) Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini
terjadi setelah orang melakukan pengindraan
terhadap suatu obyek tertentu, dari
pengalaman dan penelitian terbukti bahwa
perilaku yang didasari oleh pengetahuan
akan lebih langgeng dari pada perilaku yang
tidak didasari oleh pengetahuan.
g) Usia
Usia adalah umur yang terhitung mulai saat
dilahirkan sampai saat akan berulang tahun.
Semakin cukup umur, tingkat kematangan
dan kekuatan seseorang akan lebih matang
dalam berpikir dan bekerja. Dari segi
kepercayaan, masyarakat yang lebih dewasa
akan lebih dipercaya daripada orang yang
belum cukup tinggi tingkat kedewasaannya.
Hal ini sebagai akibat dari pengalaman dan
kematangan jiwanya. Semakin dewasa
seseorang, maka cara berfikir semakin matang
dan teratur melakukan pengobatan

h) Dukungan Keluarga
Keluarga adalah Perkumpulan dua atau lebih
individu yang diikat oleh hubungan darah,
perkawinan atau adopsi, dan tiap-tiap
anggota keluarga selalu berinteraksi satu
sama lain. Pasien dengan RA sangat
membutuhkan dukungan dari orang-orang
terdekatnya, yaitu keluarga, dukungan dapat
ditujukan melalui sikap yaitu dengan:
1) Memberikan perhatian, misalnya
mempertahankan makanan meliputi
porsi, jenis, frekuensi dalam sehari-hari
serta kecukupan gizi.
2) Mengingatkan, misalnya kapan penderita
harus minum obat, kapan istirahat serta
kapan saatnya kontrol.
3) Menyiapkan obat yang harus diminum
oleh pasien.
4) Memberikan motivasi

BAB II MASALAH KEPERAWATAN PADA PNEUMONIA


a. Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif b.d Hipersekresi
Jalan Napas
Bersihan jalan napas tidak efektif merupakan
ketidakmampuan membersihkan sekret atau obstruksi
jalan napas untuk mempertahankan jalan napas tetap
paten (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2018). Bersihan jalan
napas merupakan ketidakmampuan membersihkan
sekresi atau obstruksi dari saluran napas untuk
mempertahankan bersihan jalan napas (NANDA, 2018).
Pengertian lain juga menyebutkan bahwa bersihan jalan
napas tidak efektif adalah kondisi ketika individu
mengalami ancaman pada status pernapasannya
sehubungan dengan ketidakmampuan untuk batuk
secara efektif (Carpenito, J, & Moyet, 2018).
Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2018),
penyebab dari bersihan jalan napas tidak efektif antara
lain : Spasme jalan napas, Hipersekresi jalan
napasDisfungsi neuromuskular, Benda asing dalam
jalan napas, Adanya jalan napas buatan, Sekresi yang
tertahan, Hyperplasia dinding jalan napas, Proses
infeksi dan respon alergi, Efek agen farmakologis
Data mayor dan minor bersihan jalan napas tidak
efektif . Tanda dan gejala pada pasien dengan diagnosis
keperawatan bersihan jalan napas tidak efektif sesuai
dengan standar diagnosis keperawatan Indonesia
(SDKI) adalah seperti tabel berikut:
1) Gejala Dan Tanda Mayor
Batuk tidak efektif atau idak mampu batuk, sputum
berlebih/obstruksi di jalan napas/mekonium di jalan
napas (pada neonatus), mengi, wheezing dan/atau
ronkhi kering.
2) Gejala Dan Tanda Minor
Dispnea, sulit bicara, orthopnea, gelisah, sianosis,
bunyi napas menurun, frekuensi napas berubah,
pola napas berubah.
Terdapat beberapa penyebab bersihan jalan
napas yang telah disebutkan, namun penyebab yang
mungkin terjadi pada masalah bersihan jalan napas
tidak efektif pada pasien pneumonia yaitu proses
infeksi dan respon alergi, dan sekresi yang tertahan,
benda asing dalam jalan napas, dan hipersekresi
jalan napas.
b. Hipertermia b.d Peningkatan Laju Metabolisme
Hipertermia adalah keadaan meningkatnya suhu
tubuh di atas rentang normal tubuh,(Tim Pokja SDKI
DPP PPNI, 2018). Menurut, (Arif Muttaqin, 2019)
hipertermia adalah peningkatan suhu tubuh sehubugan
dengan ketidakmampuan tubuh untuk meningkatkan
pengeluaran panas atau menurunkan produksi panas.
Menurut (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2018) ada
beberapa penyebab dari hipertermia yaitu dehidrasi,
terpapar lingkungan panas, proses penyakit (mis.
Infeksi, kanker), ketidaksesuaian pakaian dengan suhu
lingkungan, peningkatan laju metabolisme, respon
trauma, aktifitas berlebihan, dan penggunaan inkubator.
Menurut (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2018)
gejala dan tanda hipertermia,yaitu:
1) Gejala dan Tanda Mayor
Suhu tubuh di atas nilai normal (> 37,5ºC)
2) Gejala dan Tanda Minor
Kulit kemerahan, Kejang, Takikardi, Takipnea, Kulit
terasa hangat (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2018).
Terjadinya gejala seperti demam menggigil
merupakan sebuah tanda adanya peradangan atau
inflamasi yang terjadi didalam tubuh sehingga
hipotalamus bekerja dengan memberi respon dengan
menaikan suhu tubuh. Demam pada penyakit
pneumonia dapat mencapai 38,80C sampai 41,10C
(Mandan, 2019).
c. Ketidakpatuhan Minum Obat b.d Ketidakadekuatan
Pemahaman Orang Tua Mengenai Program Terapi
Yang Sedang Dilakukan
Perilaku individu dan/atau pemberi asuhan
tidak mengikuti rencana perawatan/pengobatan yang
disepakati dengan tenaga kesehatan,sehingga
menyebabkan hasil perawatan/pengobatan tidak efektif.
Penyebab terjadinya ketidakpatuhan antara lain:
Disabilitas (mis. penurunan daya ingat, defisit
sensorik/motorik), Efek samping program
perawatan/pengobatan, Beban pembiayaan program
perawatan/pengobatan, Lingkungan tidak terapeutik,
Program terapi kompleks dan/atau lama, Hambatan
mengakses pelayanan kesehatan (mis. gangguan
mobilisasi, masalah transportasi, ketiadaan orang
merawat anak dirumah, cuaca tidak menentu, Program
terapi tidak ditanggung asuransi, Ketidakadekuatan
pemahaman (sekunder akibat defisit kognitif,
kecemasan, gangguan
penglihatan/pendengaran,kelelahan,kurang motivasi)
Data mayor dan minor ketidakpatuhan Tanda
dan gejala sesuai dengan standar diagnosis keperawatan
Indonesia (SDKI) adalah:
1) Gejala dan Tanda Mayor
Menolak menjalani perawatan/pengobatan,
Menolak mengikuti anjuran, perilaku tidak
mengikuti program perawatan/pengobatan,
Perlikau tidak menjalankan anjuran
2) Gejala dan Tanda Minor
Tampak tanda/gejala penyakit/masalah kesehatan
masih ada atau meningkat, Tampak kompilasi
penyakit/masalah kesehatan menetap atau
meningkat
BAB III JUDUIL BUKU
a. Terapi Relaksasi Nafas Dalam
1. Hasil penerapan tindakan keperawatan
Penerapan tindakan pada karya ilmiah akhir
ini penulis memilih tindakan terapi nonfarmakologi
yaitu terapi relaksasi nafas dalam maka pada
implementasi keperawatan penulis menguraikan
tindakan relaksasi nafas dalam sesuai dengan
standar intervensi keperawatan (SIKI,2018). Hasil
yang diperoleh selama intervensi keperawatan
selama 3x24 jam penulis menguraikan hasil pada
hari ke 1 sampai hari ke 3 sebagai berikut:
Pada An.R hari pertama sebelum dilakukan
terapi relaksasi nafas dalam frekuensi pernapasan
30x/menit dan terdapat bunyi napas tambahan
wheezing, SPO2 90%, napas cepat dan dangkal,
sedangkan setelah dilakukan relaksasi nafas dalam
frekuensi pernapasan menjadi 29x/menit, SPO2 95%,
masih terdapat wheezing. Pada hari kedua sebelum
dilakukan relaksasi nafas dalam pernapasan
30x/menit batuk berdahak, sulit mengeluarkan
dahak, dan masih terdapat suara napas tambahan
wheezing, SPO2 95%, sedangkan setelah dilakukan
relaksasi nafas dalam frekuensi pernapasan menjadi
29x/menit napas cepat dan dangkal, SPO2 95% dan
masih terdapat suara napas tambahan wheezing,
masih terdapat sputum, masih batuk berdahak. Pada
hari ketiga sebelum dilakukan relaksasi nafas dalam
frekuensi pernapasan 29x/menit SPO2 94%, setelah
dilakukan relaksasi nafas dalam frekuensi napas
menjadi 22x/menit SPO2 98% dan sudah tidak
terdapat suara napas tambahan wheezing, sudah
bisa batuk efektif, sudah tidak sesak, irama teratur

Menurut penelitian (Mamik, 2022) didapatkan


hasil penelitian pada pasien 1 dan 2 pneumonia
dengan bersihan jalan nafas tidak efektif, diberikan
terapi relaksasi nafas dalam selama 3 hari berturut-
turut dengan durasi waktu 8 menit, evaluasi pada
hari ke 3 di dapatkan hasil masalah teratasi sebagian
dibuktikan dengan keduan pasien samasama
mengatakan batuk berdahak dan sesak berkurang
2. Pembahasan
Pada kasus penelitian ini masalah diagnosis
keperawatan adalah bersihan jalan nafas tidak efektif
berhubungan dengan hipersekresi jalan napas, tindakan
keperawatan difokuskan pada terapi non farmakologi
yaitu pemberian terapi relaksasi nafas dalam.
Relaksasi nafas dalam merupakan tindakan yang
dilakukan pada klien yang mengalami sesak nafas dan
gangguan oksigenasi yang memerlukan nafas dalam
untuk mengatur irama pernapasan. Relaksasi nafas
dalam merupakan pernafasan pada abdomen dengan
frekuensi lambat serta perlahan, berirama, dan nyaman
dengan cara memejamkan mata saat menarik nafas. Efek
dari terapi ini ialah distraksi atau pengalihan perhatian.
(Haryati, 2018).
Pada penelitian ini didapatkan hasil pasien
mengalami perubahan bersihan jalan nafas menjadi
efektif. Sebelum dilakukan terapi relaksasi nafas dalam
dan setelah dialukan relaksasi nafas Pada An.R hari
pertama sebelum dilakukan terapi relaksasi nafas dalam
frekuensi pernapasan 30x/menit dan terdapat bunyi
napas tambahan wheezing, SPO2 90%, napas cepat dan
dangkal, sedangkan setelah dilakukan relaksasi nafas
dalam frekuensi pernapasan menjadi 29x/menit, SPO2
95%, masih terdapat wheezing. Pada hari kedua
sebelum dilakukan relaksasi nafas dalam pernapasan
30x/menit batuk berdahak, sulit mengeluarkan dahak,
dan masih terdapat suara napas tambahan wheezing,
SPO2 95%, sedangkan setelah dilakukan relaksasi nafas
dalam frekuensi pernapasan menjadi 29x/menit napas
cepat dan dangkal, SPO2 95% dan masih terdapat suara
napas tambahan wheezing, masih terdapat sputum,
masih batuk berdahak. Pada hari ketiga sebelum
dilakukan relaksasi nafas dalam frekuensi pernapasan
29x/menit SPO2 94%, setelah dilakukan relaksasi nafas
dalam frekuensi napas menjadi 22x/menit SPO2 98%
dan sudah tidak terdapat suara napas tambahan
wheezing, sudah bisa batuk efektif, sudah tidak sesak,
irama teraturi.
Penelitian yang dilakukan (Sidabutar, 2022)
bahwa adanya perbedaan antara sebelum dan sesudah
dilakukan intervensi relaksasi nafas dalam pada anak
balita dengan pneumonia yaitu pada intervensi hari
pertama belum terjadi perubahan pola napas, namun
pada hari kedua intervensi sudah mengalami perubahan
terhadap pola napas, dan pada hari ketiga dilakukan
intervensi maka perubahan semakin terlihat pola napas
akan dapat kembali efektif bila dilakukan secara terus
menerus.
Penelitian lain yang dilakukan (Weni, 2021)
didapatkan bahwa relaksasi nafas dalam pada pasien
pneumonia bermanfaat dalam menurunkan frekuensi
nafas menjadi normal, terapi relaksasi nafas dalam
merupakn intervensi yang aman dan efektif
dilaksanakan untuk pasien pneumonia.
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
(Egeria, 2022) yaitu terdapat perbedaan antara sebelum
dan sesudah dilakukan intervensi relaksasi nafas dalam
3-5x dalam sehari dengan durasi 5-10 menit. Namun
pada intervensi pertama dan baru sekali dilakukan
sehingga belum menunjukkan perubahan, namun pada
intervensi kedua didapatkan perubahan setelah
dilakukan terapi relaksasi nafas dalam.
Didukung oleh penelitian (Windri, 2021)
menunjukkan bahwa terdapat 1 responden (25%)
mengalami sesak nafas ringan dengan skala II dan 3
responden (75%) mengalami sesak nafas sedang dengan
skala III. Hal tersebut disebabkan karena ke-4 responden
sudah melakukan tindakan latihan nafas dalam selama 3
hari berturut-turut dengan 3x pemberian dengan durasi
waktu 10-15 menit sesuai dengan SOP latihan nafas
dalam dan latihan nafas dalam sangat membantu
meringankan sesak nafas.
Menurut analisa penulis pemberian terapi relaksasi
nafas dalam untuk bersihan jalan napas sangat efektif.
Hasil evaluasi menunjukkan setelah dilakukan
pemberian terapi relaksasi nafas dalam pada selama 3x1
(08.00 pagi, 13.00 siang, 15.00 sore) dengan durasi 10-15
menit mengalami bersihan jalan napas kembali efektif
dengan batuk efektif meningkat, sputum menurun,
tidak ada napas tambahan, frekuensi nafas menjadi
normal yaitu 22x/menit, sesak sudah tidak ada.
b. Latihan Batuk Efektif
1. Hasil penerapan tindakan keperawatan
Implementasi keperawatan dilaksanakan
dilakukan pada An.R dimulai tanggal 15 Mei 2022
sampai dengan 18 Mei 2023 dengan salah satu
implementasi yaitu latihan batuk efektif .
Intervensi Batuk Efektif diberikan selama 3 hari
dengan Posisi Semi Flower dan dilakukan 3 kali
pemberian dalam sehari (pagi jam 08.00 Wib, siang
jam 13.00 Wib, sore jam 15.00 wib), dilakukan
dengan cara menarik nafas dalam-dalam sebanyak 4-
5 kali, pada tarikan nafas terahir tahan selama 1-2
detik, Angkat bahu dan dada longgarkan setelah itu
batukkan dengan kuat dan spontan, Anjurkan
minum air hangat sebelum memulai latihan batuk
efektif , Atur posisi duduk dengan mencondongkan
badan ke depan.
Puspitasari et al. (2021) yang menyatakan bahwa
penerapan teknik batuk efektif dapat mengeluarkan
sputum. Respon yang didapat setelah latihan batuk
efektif dari hari pertama sampai hari keempat
mengalami peningkatan yang cukup baik karena
pasien mampu mendemonstrasikannya dan dapat
mengeluarkan dahak walau hanya sedikit-sedikit
dan mengalami peningkatan jumlah pengeluaran
sputum yang dikeluarkan perharinya.
Implementasi ini dilakukan sesuai dengan
penelitian Rahman .I (2022) didalam penelitian nya
responden dianjurkan agar menarik napas dalam-
dalam melalui hidung selama 4 detik, tahan selama 2
detik, lalu hembuskan melalui mulut dengan bibir
melengkung selama 8 detik dan sebaiknya Ulangi
napas dalam-dalam hingga 3 kali, kemudian
menyarankan batuk yang kuat setelah napas dalam
ke-3, dan dievaluasi dilakukan pelatihan dengan
pendamping keluarga klien.
Didukung oleh penelitian Elisi, (2021)
mengatakan bahwa dengan Terapi Pemberian
Perawatan penerapan batuk efektif . Untuk
mengatasi ketidakefektifan bersihan jalan nafas pada
pasien bronkupneumonia di ruang anak hasilnya
intervensi batuk efektif yang dilakukan selama 3 hari
berturut-turut dengan hasil pasien 1 terjadi
ketidakefektifan bersihan jalan napas, dan setelah di
lakukan intervensi keperawatan dengan pemberian
Terapi penerapan batuk efektif untuk
mempermudah jalan nafas dan mempermudah
mengeluarkan secret.
Menurut Teori Posisi semi powler merupakan
posisi tempat tidur dengan menaikkan kepala dan
dada setinggi 45-90 tanpa fleksi lutut .dan posisi ini
di lakukan dengan maksud untuk mempertahankan
kenyemanan dan mempasilitasi fungsi pernafasan
pasien,posisi semi fowler atau posisi setengah duduk
adalah posisi tempat tidur meninggikan batang
tubuh dan kepala di naikkan 15-45 , apabila klien
berada dalam posisi ini, grafitasi menarik diafragma
kebawah ,kemungkinan ekspansi dada dan ventilasi
paru yang lebih besar (kozier 2019).
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil
penelitian Pranowo (2018), membuktikan bahwa
latihan batuk efektif sangat efektif dalam
pengeluaran sputum dan membantu membersihkan
secret pada jalan nafas serta mampu mengatasi sesak
nafas pada pasien TB paru di ruang rawat inap
Rumah Sakit Mardi Rahayu Kudusda didukung juga
oleh hasil penelitian Septherisa (2018) yang
membuktikan bahwa adanya efektifitas latihan batuk
efektif dalam peningkatan sekresi mucus dan
membantu mengatasi sesak nafas pada klien Asma
Bronkial d I IRNA Penyakit Dalam Teratai Rumah
Sakit AK. Gani (Septherisa, 2018).
Berdasarkan Intervensi yang diberikan ada
perbedaan dari teori menurut rahmat yaitu
diberikan 3 kali sehari tarik nafas selama 4 detik
dan ditahan selama 2 detik lalu dihembuskan selama
8 detik.
2. Pembahasan
Hasil evaluasi keperawatan pemberian tindakan
Batuk efektif yang dilakukan selama 3 hari,
didapatkan hasil data subjektif: Ibu klien
mengatakan anakanya tidak mengeluh sesak nafas
lagi dan Ibu pasien mengatakan anaknya batuk
berdahak berkurang “ibu pasien mengatakan setelah
latihan batuk efektif batuk berdahaknya berkurang,
Data objektif : Napas pasien mulai membaik,
Terdengar suara nafas vasikuler, RR: 22x/ menit
dan Pasien tampak tidak gelisah.
Sejalan dengan penelitian Tahir et al., (2019)
Kemampuan mengeluarkan sekret pasien
ditunjukkan pada hari pertama sampai hari terakhir
pemberian tindakan batuk efektif. Kemampuan
mengeluarkan sekret berkaitan dengan kemampuan
pasien melakukan batuk efektif. Batuk yang efektif
dapat mendorong sekret yang menumpuk pada jalan
nafas untuk keluar. Setelah dilakukan latihan batuk
efektif selama 3 hari maka didapatkan hasil bahwa
pasien mampu mengeluarkan sekret karena bisa
melakukan batuk dengan efektif.
Menurut Smeltzer & Bare (2018), Latihan batuk
efektif merupakan aktivitas perawat untuk
membersihkan sekresi pada jalan nafas. Tujuan
batuk efektif adalah meningkatkan mobilisasi sekresi
dan mencegah resiko tinggi retensi sekret, untuk
membantu mengeluarkan dahak yang melekat pada
jalan nafas dan menjaga paru-paru agar tetap bersih
jika dilakukan dengan benar.
Walaupun intervensi tidak memberikan hasil
instan dan cepat namun jika dilakukan secara rutin
dapat membatu pengeluaran dahak pada pasien
penderita pneumonia.seperti p[enelitian dari
( Andayani, 2019 )dengan melakukan intervensi
selama 2x pagi dan sore selama 5 hari mampu
mengeluaran secret.
Menurut Nugroho (2021) Batuk efektif yang baik
dan benar ini akan mempercepat pengeluaran dahak
pada pasien penderita pneumonia. Batuk efektif
penting untuk menghilangkan gangguan pernafasan
akibat adanya penumpukan sekret. Sehingga
penderita tidak lelah dalam mengeluarkan sekret.
Untuk dewasa, kecepatan nafas kurang dari 12 x /
menit disebut bradipnea dan kecepatan nafas lebih
dari 20 x / menit disebut takipnea.
Penulis menyimpulkan pemberian latihan batuk
efektif yang dilakukan selama 3 hari dengan 6x
intervensi pada pagi, siang dan sore ada perbedaan
sebelum dan setelah dilakukan latihan batuk efektif,
terdapat penurunan frekuensi nafas dan pengeluaran
secret.Hal ini terlihat pada evaluasi pasien dimana
menunjukkan penurunan frekuensi napas menjadi
normal.
c. Fisioterapi Dada
1. Hasil penerapan tindakan keperawatan
Penulis menguraikan tindakan fisioterapi dada
sesuai dengan standar intervensi keperawatan
(SIKI,2018) dan juga sesuai Standar Operasional
Prosedur (SOP) Fisioterapi dada (Papakhan R.E
2020). Penerapan tindakan fisioterapi dada yang
telah dilakukan selama 3 hari berturut-turut selama
15 menit sebanyak 3 kali yaitu dengan teknik
postural drainase (pengaturan posisi) selama 5 menit
kemudian melakukan tindakan dengan teknik
ketukan dada (clapping) selama 2 menit dan terakhir
dengan melakukan teknik vibrasi (getaran) selama 8
menit setelah itu anjurkan pasien untuk bernapas
dalam-dalam dan menganjurkan untuk batuk efektif.
Hasil yang diperoleh selama intervensi
keperawatan selama 3x24 jam yaitu: Pada hasil
evaluasi catatan perkembangan pasien An.M hari
pertama yaitu S : Ibu pasien mengatakan sesak
anaknya belum berkurang (2), Ibu pasien
mengatakan dahaknya masih sulit untuk
dikeluarkan (2). O : Suara nafas tambahan ronkhi
masih terdengar sama (2), RR: 24x/ menit (2). A :
Bersihan Jalan Nafas tidak efektif belum teratasi. P :
Lanjutkan Intervensi. Pada evaluasi hari kedua yaitu
S : Ibu pasien mengatakan sesak anaknya sudah
berkurang (3), Ibu pasien mengatakan sudah bisa
mengeluarkan dahak (3). O : Suara nafas tambahan
ronkhi sudah berkurang (3), RR: 23x/ menit (3). A :
Bersihan Jalan Nafas tidak efektif teratasi sebagian. P
: Lanjutkan Intervensi. Pada evaluasi hari ketiga
yaitu S : Ibu pasien mengatakan sesak anaknya
sudah tidak ada (5), Ibu pasien mengatakan sudah
bisa menegeluarkan dahak (5). O : Suara nafas
tambahan ronkhi sudah tidak ada (5) RR: 22x/ menit
(5). A : Bersihan Jalan Nafas tidak efektif teratasi. P :
Hentikan intervensi.
Evaluasi pada penelitian ini dengan diterapkan
intervensi fisioterapi dada selama 3 hari didapatkan
hasil bahwa sesak napas sudah tidak ada, sputum
berlebih sudah bisa untuk dikeluarkan, respirasi
pada rentang normal yaitu 22x/menit, dan tidak ada
suara napas tambahan ronkhi. Sehingga masalah
bersihan jalan napas tidak efektif dapat teratasi.
2. Pembahasan
Pada penelitian ini diketahui pasien An.M
berusia 5 tahun dengan jenis kelamin laki-laki yang
memiliki diagnosa pneumonia. Pneumonia
merupakan proses infeksi yang menyerang jaringan
paru (alveoli) dengan gejala batuk, nafas sesak dan
cepat. Terjadinya pneumonia pada anak seringkali
bersamaan dengan infeksi akut di bronkus yang
disebut bronchopneumonia. Kejadian pneumonia di
negara berkembang yaitu anak dibawah 5 tahun dan
pada anak yang lebih tua (Munikah, 2019).
Pemilihan usia anak pada penelitian ini didasari
bahwa pada usia tersebut anak bisa diajarkan untuk
melakukan terapi fisioterapi dada seperti
mengeluarkan sputum atau sekret dari saluran
pernapasan dengan melakukan batuk. Pada usia bayi
(1 bulan sampai 12 bulan) dan toddler (1 sampai 3
tahun) anak belum toleransi terhadap batuk efektif
(Wong, 2009).
Dari pertimbangan usia diatas, maka peneliti
melakukan terapi fisioterapi dada pada anak berusia
5 tahun sesuai dengan kasus pneumonia yang ada di
masyarakat. Supaya pada saat
mengimplementasikan terapi fisoterapi dada, anak
sudah kooperatif dan bisa mengikuti arahan dari
perawat untuk melakukan fisoterapi dada.
d. Kepatuhan Meminum Obat
1. Hasil penerapan tindakan keperawatan
Implementasi pada An Y dilakukan pada tanggal
16 Juli 2023 pukul 11.45, tanggal 17 Juli 2023 pukul
12.15 dan tanggal 18 Juli 2023 puku; 11.45.
Implementasi dilakukan oleh peneliti langsung
dengan media video, implementasi berupa edukasi
menggunakan media yang menarik seperti vidio dan
gambar. Media edukasi dilakukan selama 3 hari
berturut-turut dengan durasi 10 menit setiap kali
memberikan edukasi.
Menurut teori Nurmala (2018) edukasi kesehatan
meurpakan peningkatan kemampuan masyarakat
untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya.
Tujuan edukasi untuk memungkinkan orang untuk
menyampaikan masalah dan kebutuhan mereka,
untuk memahami apa yang dapat mereka lakukan
tentang masalah mereka dengan sumber daya
yangmereka miliki dan dukungan eksternal, dan
untuk memilih tindakan yang tepat untuk
meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan mereka.
kesejahteraan umum.
Media yang dapat digunakan sebagai alat bantu
untuk memberikan edukasi pada klien dan keluarga
adalah media audio visual (video). Media
audiovisual disebut juga dengan media video saat ini
mulai banyak digunakan karena media ini
merupakan alat peraga yang dapat didengar dan
dilihat sehingga membantu peserta didik dalam
proses pembelajaran yang berfungsi memperjelas
atau mempermudah dalam memahami pengetahuan
yang sedang dipelajari (Arsyad, 2017).
Sejalan dengan penelitian Kapti, Rustiana &
Widyatuti (2013) pengaruh penggunaan media audio
visual (video) dan flip chart terhadap perubahan
motivasi dan sikap telah dilakukan, seperti
penelitian yang dilakukan oleh yang meneliti
efektifitas audiovisual sebagai media penyuluhan
kesehatan terhadap peningkatan pengetahuan dan
sikap ibu dalam tatalaksana balita dengan diare.
Hasilnya terjadi peningkatan pengetahuan dan sikap
setelah penyuluhan.
Kemudian pada penelitian Nopa Purnama Sari,
dkk (2019) pengaruh edukasi melalui media video
terhadap pengetahuan dan sikap keluarga mengenai
Pneumonia pada Balita di Puskesmas Caringin Kota
Bandung. Desain penelitian ini menggunakan pre-
Experimen one group pretest posttest eksperimen.
Teknik pengambilan sampel secara cros sectional,
jumlah sampel 41 responden. Pelaksanaan edukasi
dilakukan oleh peneliti selama 3 hari dengan
menggunakan media video berdurasi 10 menit. Hasil
analisis data pengetahuan ibu sebelum diberikan
edukasi dengan skore kategori kurang baik sebanyak
78%dan setelah diberikan edukasi pada hari ke 3
pengetahuan ibu menjadi kategori baik sebanyak
81%. Hasil analisa didapatkan bahwa ibu mampu
menjelaskan terkait penanganan pneumonia pada
anak dengan patuh konsumsi obat serta ibu mampu
menjelaskan hasil edukasi dengan baik.
Menurut peneliti kajian implementasi kegiatan
edukasi telah dilakukan oleh peneliti selama 3 hari
berturut-turut dengan durasi 10 menit setiap kali
pemberian edukasi. Keluarga sangat kooperatif
dalam proses pemberian edukasi, keluarga banyak
memberikan respon dalam proses edukasi sehingga
edukasi yang diberikan dapat tersampaikan terkait
kepatuhan minum obat pada pasien pneumonia.
2. Pembahasan
Hasil evaluasi pemberian edukasi menggunakan
video pada ibu di hari pertama didapatkan bahwa
ibu mampu menjelaskan kembali tentang jenis obat
yang digunakan dalam penanganan anak dengan
pneumonia, ibu mampu menjelaskan kembali aturan
konsumsi obat yang diberikan pada anak namun
belum begitu sempurna. Pada hari kedua hasil
evaluasi didapatkan ibu mampu menerapkan
pemberian obat secara rutin dan teratur kepada
anak, ibu mampu menjelaskan perbedaan kondisi
anak dimana anak mengalami penurunan suhu
ketika ibu telah memberikan obat secara rutin dan
teratur dengan baik. Kemudian pada hari ketiga
hasil evaluasi didapatkan bahwa ibu mampu
menjelaskan kembali materi yang telah disampaikan
dari awal pertemuan terkait jenis obat, manfaat,
tujuan dan aturan konsumsi obat secara rutin, ibu
mampu memberikan obat secara rutin pada anak
sampai habis da nada perubahan pada anak setelah
diberikan obat secara rutin, pemaparan ibu sangat
baik dan lengkap.
Berdasarkan hasil evaluasi kepatuhan minum
obat kepada orangtua An Y pada hari pertema
didapatkan bahwa Ibu mengatakan anaknya sudah
diberikan terapi/obat Paracetamol sirup 4 x 5 ml, Ibu
mengatakan kemarin sudah membaik sehingga
paracetamol di stop dan tidak diberikan lagi, namun
sekarang kambuh kembali/ pada pertemuan kedua
Ibu mengatakan terapi/obat Paracetamol sirup 4 x 5
ml atau antibiotic harus dihabiskan sesuai resep
yang sudah diberikan dan pada pertemuan ketiga
didapatkan Ibu mengatakan sudah mengetahui jika
mendapatkan terapi/obat harus dihabiskan sesuai
resep yang sudah diberikan agar tidak terjadi
resisten dan kekambuhan berulang.
Menurut teori Ningsih, dkk (2019) menyatakan
bahwa media edukasi dengan video menjelaskan
tentang tata cara konsumsi obat, dosis dan lama
penggunaan obat. Kemudian dapat dilakukan
pengukuran kepatuhan pasien pneumonia yaitu
dengan pengisian kuesioner Medication Adherence
Rating Scale (MARS). Hal ini guna mengukur
kepatuhan pasien dalam konsumsi obat. Menurut
Setiawati dan Dermawan (2018) media video
merupakan alat bantu visual yang dapat digunakan
dalam proses edukasi peningkatan kepatuhan
minum obat.Sehingga dengan edukasi yang
diberikan dapat meningkatkan pengetahuan dan
pemahaman orangtua dalam pencegahan dan
perawatan balita pneumonia, yang akhirnya
diharapkan dapat menurunkan angka kejadian
pneumonia pada balita. Pemberian edukasi kepada
orangtua memerlukan media pendukung.Media
yang menarik akan memberikan keyakinan,
sehingga perubahan kognitif, afektif dan psikomotor
dapat dipercepat.
Pada hasil penelitian yang dilakukan oleh
(Pujianti & Angraini, 2020), didapatkan bahwa
kepatuhan yang kurang cenderung dimiliki oleh
responden dengan kemampuan komunikasi petugas
kesehatan yang kurang, yaitu sebesar 31 (70,5%),
sedangkan kepatuhan yang tinggi cenderung
dimiliki oleh responden dengan kemampuan
komunikasi petugas kesehatan yang baik, yaitu
sebesar 19 (57,6%). Hal ini dikarenakan responden
beranggapan bahwa petugas kesehatan belum
mampu mengkomunikasikan dengan baik cara
pemakaian obat serta mereka juga belum mampu
untuk memberikan informasi dan edukasi yang tepat
dan jelas kepada pasien tentang penyakit dan
pengobatannya.
Berdasarkan hasil penelitian yang meneliti
pengaruh penggunaan media audio visual (video)
dan flip chart terhadap perubahan motivasi dan
sikap telah dilakukan, seperti penelitian yang
dilakukan oleh Kapti, Rustiana & Widyatuti (2013)
yang meneliti efektifitas audiovisual sebagai media
penyuluhan kesehatan terhadap peningkatan
pengetahuan dan sikap ibu dalam tatalaksana balita
dengan diare. Hasilnya terjadi peningkatan
pengetahuan dan sikap setelah penyuluhan.
Menurut peneliti dari hasil kajian selama 3 hari
pemberian video keluarga terutama ibu lebih banyak
memahami bahwa kepatuhan minum obat
merupakan faktor pendorong anak sembuh,
keluarga juga telah memberikan obat sesuai dosis,
frekuensi sampai dengan obat habis. Serta
menyatakan akan mengingat bahwa jika anak atau
keluarga sakit akan patuh dalam konsumsi obat.

Anda mungkin juga menyukai