1.1. Pneumonia
a. Definisi
Pneumonia merupakan suatu penyakit infeksi pada
parenkim paru yang disebabkan oleh sejumlah bakteri
yang berbeda, virus parasit atau jamur. Infeksi ini
meyebabkan peradangan pada paru dan akumulasi
eksudat pada jaringan paru. Selain itu pneumonia juga
didefinisikan sebagai peradangan parenkim paru, distal
dari bronkiolus terminalis yang mencangkup bronkiolus
respitorius, dan alveoli serta menimbulkan kinsolidasi paru
( Dahlan, 2019). Pneumonia adalah peradangan parenkim
paru yang disebabkan oleh mikroorgansme seperti bakteri,
virus, jamur, parasit. Pneumonia juga disebabkan oleh
bahan kimia dan paparan fisik seperti suhu atau radiasi
( Harifianti,2019).
Pneumonia adalah salah satu penyakit infeksi saluran
pernafasan bawah akut (ISNBA) dengan gejala batuk
disertai dengan sesak nafas yang disebabkan oleh agen
infeksius seperti virus, bakteri, mycoplasma (fungi), dan
aspirasi substansi asing, berupa radang paru-paru yang
disertai eksudasi dan konsolidasi. Pneumonia merupakan
penyakit infeksi yang menyebabkan kematian pada anak-
anak di seluruh dunia. Pneumonia penyebab dari 15%
kematian balita, diperkirakan sejumlah 922.000 balita.
Pneumonia menyerang semua umur di semua wilayah,
namun kejadina terbanyak di Asia Selatan dan Afrika Sub-
Sahara (Sa’diyah dkk, 2022).
b. Prevelansi
Pneumonia merupakan penyakit infeksi yang
menyebabkan kematian pada anak-anak di seluruh dunia.
Pneumonia penyebab dari 15% kematian balita,
diperkirakan sejumlah 922.000 balita. Pneumonia
menyerang semua umur di semua wilayah, namun
kejadina terbanyak di Asia Selatan dan Afrika Sub-Sahara
(Sa’diyah, 2022).
Pneumonia menyumbang 16% dari 5,9 juta kematian
balita di dunia dan menjadi penyebab 920.136 anak-anak
meninggal dunia di tahun 2019 (WHO, 2019) sedangkan di
Indonesia pada tahun 2018 angka kejadian pneumonia
pada balita yang ditemukan dan ditangani sebanyak
554.650 kasus dari target penemuan kasus sebanyak 874.195
(63,45%). Angka kematian akibat pneumonia pada balita
tahun 2019 sebesar 0,16% lebih tinggi dibandingkan
dengan tahun 2018 sebesar 0,08% (Kemenkes RI, 2019).
Berdasarkan kelompok umur, period prevalence
pneumonia yang tertinggi pada kelompok umur 1-4 tahun,
period prevalence pneumonia balita di Indonesia adalah
18,5 per mil (Kemenkes RI, 2019). Indonesia, riset
kesehatan dasar ( riskesdas) melaporkan bahwa kejadian
pneumonia mengalami peningkatan pada tahun 2021 dari
2,1% menjadi 2,7% pada tahun 2022. Terdapat 11 provinsi
( 33,3%) yang mengalami kenaikan periode prevalensi
pneumonia pada tahun 2022 ( Depkes RI.2022).
Pelaksanaan pencegahan dan pengendalian kejadian
pneumonia pada anak balita sejauh ini belum merata dan
masih tidak terkoordinasi (WHO-UNICEF, 2021). Hanya
54% anak dengan pneumonia di negara berkembang
dilaporkan dan dibawa ke penyedia layanan kesehatan
yang berkualitas dan hanya 19% anak balita dengan tanda-
tanda klinis pneumonia mendapatkan antibiotik. (Webber,
Fransisca, 2022).
c. Etiologi
Penyebab pneumonia dari berbagai macam
mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, dan protozoa.
Pneumonia yang berasal dari masyarakat atau komunitas
(Community Acquired Pneumonia) disebabkan oleh bakteri
gram positif. Sedangkan, bakteri yang berasal dari rumah
sakit (Hospital Acquired Pneumonia) disebabkan oleh bakteri
gram negatif. Dan pneumonia aspirasi disebabkan oleh
bakteri dari jamur, kuman anaerob, dan virus
(Warganegara, 2019). Menurut (Seyawati, 2018) penyebab
pneumonia yaitu:
a. Bakteri
Bakteri penyebab pneumonia yaitu Streptococcus
pneumoniae, haemophilus influenzae, mycoplasma
pneumonia, staphylococcus aureus.
b. Virus
Respiratory syntical virus, influenza A atau B virus
(vaksin tersedia), human rhinovirus, human
merapneumovirus, adenovirus, parainfluenza virus.
Penyebab pneumonia pada masa anak-anak yaitu
respiratory syntical virus (RSV), sedangkan pneumonia
yang disebabkan oleh bakteri paling sering yaitu
bakteri streptococcus pneumoniae dan hemophillus
influenzae.
c. Fungi/jamur (Mycoplasma)
d. Aspirasi substansi asing.
d. Klasifikasi
a. Klasifikasi berdasarkan anatomi menurut
(Warganegara, 2018):
1) Pneumonia lobaris, melibatkan seluruh atau
sebagian besar dari satu atau lebih lobus paru. Bila
kedua paru terkena, maka dikenal sebagai
pneumonia bilateral atau ganda.
2) Pneumonia lobularis (bronkopneumonia) terjadi
pada ujung akhir bronkiolus, yang tersumbat oleh
eksudat mukopurulen untuk membentuk bercak
konsolidasi dalam lobus yang berada didekatnya,
disebut juga pneumonia lobularis.
3) Pneumonia interstitial (bronkiolitis) proses
inflamasi yang terjadi di dalam dinding alveolar
(interstisium) dan jaringan peribronkial serta
interlobular.
b. Klasifikasi berdasarkan inang dan lingkungan menurut
(Nurarif, 2018):
1) Pneumonia komunitas
Dijumpai pada influenza pada pasien
perokok, pathogen atipikal pada lansia, gram
negative pada pasien dari rumah jompo, dengan
adanya PPOK, penyakit penyerta
kardiopulmonal/jamak, atau paksa terapi
antibiotika spectrum luas.
2) Pneumonia nosocomial
Tergantung pada 3 faktor yaitu: tingkat berat
sakit, adanya resiko untuk jenis pathogen tertentu,
dan masa menjelang timbul onset pneumonia.
3) Pneumonia aspirasi
Disebabkan oleh infeksi kuman, pneumonia
kimia akibat aspirasi bahan toksik, akibat aspirasi
cairan inert misalnya cairan makanan atau
lambung, edema paru, dan obstruksi mekanik
simple oleh bahan padat.
4) Pneumonia pada gangguan imun
Terjadi karena akibat proses penyakit dan
akibat terapi. Penyebab infeksi dapat disebabkan
oleh kuman pathogen atau mikroorganisme yang
biasanya nonvirulen, berupa bakteri, protozoa,
parasite, virus, jamur, dan cacing.
c. Berdasarkan (Hidayah, 2018)
Pneumonia dapat diklasifikasikan secara
sederhana berdasarkan dengan gejala yang ada.
Klasifikasi ini bukan diagnosis medis, melainkan
bertujuan untuk membantu petugas kesehatan yang
berada di lapangan untuk menentukan tindakan yang
perlu diambil, sehingga anak tidak terlambat
mendapatkan penanganan. Klasifikasi tersebut adalah
sebagai berikut:
1) Pneumonia berat atau penyakit sangat berat,
apabila terdapat gejala sebagai berikut:
a) Ada tanda bahaya umum, seperti anak tidak
bisa minum atau menyusu, selalu
memuntahkan semuanya, kejang atau anak
letargis/tidak sadar.
b) Terdapat tarikan dinding dada ke dalam.
c) Terdapat stridor (suara nafas bunyi “grok-
grok” saat inspirasi).
2) Pneumonia, apabila terdapat gejala nafas cepat.
Batasan nafas cepat adalah:
a) Anak usia 2-12 bulan apabila frekuensi nafas
50 kali per menit atau lebih.
b) Anak usia 12 bulan sampai 5 tahun apabila
frekuensi nafas 40 kali per menit atau lebih.
c) Batuk bukan pneumonia, apabila tidak ada
tanda-tanda pneumonia atau penyakit sangat
berat.
Biasanya bakteri dan virus tersebut
menyerang anak-anak usia di bawah 2 tahun
yang kekebalan tubuhnya lemah atau belum
sempurna (Sari, 2018).
e. Manifestasi Klinis
Gejala klinis dari Pneumonia adalah demam,
menggigil, berkeringat, batuk (baik non produktif atau
produktif atau menghasilkan sputum berlendir, purulen
atau bercak darah), sakit dada karena pleuritis dan sesak.
Gejala umum lainnya adalah pasien lebih suka berbaring
pada yang sakit dengan lutut tertekuk karena nyeri dada.
Pemeriksaan fisik didapatkan retraksi atau penarikan
dinding dada bagian bawah saat bernafas, takipneu,
kenaikan atau penurunan taktil fremitus, perkusi redup
sampai pekak menggambarkan konsolidasi atau terdapat
cairan pleura, dan ronki (Nursalam, 2019).
Sedangkan menurut (Nursalam, 2019) pneumonia
menunjukan gejala klinis sebagai berikut:
a. Batuk
b. Sputum produktif (sputum kuning kehijauan
kemudian menjadi kemerahan atau berkarat)
c. Sesak nafas
d. Ronki
e. Demam tidak setabil (38,8 ºC - 41,1 ºC)
f. Leukositosis
g. Infiltrat
h. Meningitis
i. Anoreksia
j. Muntah
k. Diare
l. Nyeri abdomen
m. Sakit tenggorokan
Sedangkan menurut (Padila, 2018), disamping batuk
atau kesulitan bernapas hanya terdapat napas cepat saja.
Adapun tanda dan gejala :
1. Kesulitan dan sakit pada pernapsan
a. Nyeri pleuritik
b. Napas dangkal dan mendengkur
c. Takipnea
2. Bunyi napas diatas area yang mengalami
konsolidasi
a. Mengecil, kemudian menjadi hilang
b. Krekels,ronki
3. Gerakan dada tidak simetris
4. Menggigil dan demam 38,8ºC sampai 41,1ºC,
delirium
5. Diafoesis
6. Anoreksia
7. Malaise
8. Batuk kental, produktif
Sputum kuning kehijauan berubah menjadi
kemerahan atau berkarat
9. Gelisah
10. Sianosis
a. Area sirkumoral
b. Dasar kuku kebiruan
11. Masalah-masalah psikososial: disorientasi,
ansietas, takut mati.
f. Patofisiologis
Bakteri atau virus masuk kedalam tubuh, akan menyebabakan
gangguan/ peradangan pada terminal jalan nafas dan
alveoli. Proses tersebut akan menyebabkan infiltrat yang
biasanya mengenai pada multiple lobus, terjadi destruksi
sel dengan menanggalkan debris cellular ke dalam lumen
yang mengakibatkan gangguan fungsi alveolar dan jalan
napas. Pada kondisi akut maupun kronik seperti AIDS,
cystic fibrosis, aspirasi benda asing dan konginetal yang
dapat meningkatkan resiko pneumonia (Marni,2019).
Secara hematogen maupun langsung (lewat penyebaran sel)
mikroorganisme yang terdapat didalam paru dapat
menyebar ke bronkus. Setelah terjadi fase peradangan
lumen bronkus menyebabkan sel radang akut, terisi
eksudat (nanah) dengan sel epitel rusak. Bronkus dan
sekitarnya penuh dengan netrofil (bagian leukosit yang
banyak pada saat awal peradangan dan bersifat fagositosis)
dan sedikit eksudat fibrinosa. Bronkus rusak akan
mengalami fibrosis dan pelebaran akibat tumpukan nanah
sehingga dapat timbul bronkiektasis. Selain itu organisasi
eksudat dapat terjadi karena absorpsi yang lambat. Eksudat
pada infeksi ini mula-mula encer dan keruh, mengandung
banyak kuman penyebab (streptokokus, virus dan lain-
lain). Selanjutnya eksudat berubah menjadi purulen dan
menyebabkan sumbatan pada lumen bronkus. Sumbatan
tersebut dapat mengurangi asupan oksigen dari luar
sehingga penderita mengalami sesk napas.
Terdapatnya peradangan pada bronkus dan paru juga akan
mengakibatkan peningkatan produksi mukosa dan
peningkatan gerakan silia pada lumen bronkus sehingga
timbul peningkatan flekflek batuk. Perjalanan patofisiologis
diatas bisa berlangsung sebaliknya yaitu di dahului dulu
dengan infeksi pada bronkus kemudian berkembang
menjadi infeksi pada paru (Riyadi, 2022).
g. Komplikasi
Menurut Paramita 2019 :
a. Empisema
b. Hipoksemia
c. Gagal respiratorik
d. Efusi pleura
e. Abses paru
f. Bacteremia
g. Meningitis
h. Endocarditis
i. Pericarditis
j. Dehidrasi
k. Hipotensi
l. Atelectasis
1.2.Terapi Non Farmakologis
a. Pengertian
Terapi non farmakologi diartikan sebagai terapi
tambahan selain hanya mengkonsumsi obat-obatan.
Manfaat dari terapi non farmakologi yaitu meningkatkan
efikasi obat, mengurangi efek samping, serta memulihkan
keadaan pembuluh darah dan jantung. Bentuk terapi non
farmakologi adalah terapi alternatif dan komplementer.
Pengobatan yang dipilih sebagai pengganti terhadap
pengobatan medis sedangkan pengobatan komplementer
adalah pengobatan yang digunakan bersama-sama dengan
pengobatan medis ( Aryando,2018).
Terapi non farmakologi adalah pengobatan tanpa
obat bagi penderita penyakit saluran pernafasan diataranya
dilakukan dengan cara relaksasi napas dalam,latihan batuk
efektif, pisioterapi dada dan edukasi obat dengan
menggunakan media video (Sayogo, 2019).
Terapi non farmakologi merupakan terapi
pengobatan tanpa menggunakan obat-obatan. Non
farmakologi yang dapat diterapkan salah satunya adalah
terapi komplementer. Terapi komplementer non
farmakologi yaitu dapat berupa terapi pikiran tubuh
(relaksasi progresif, meditasi, imajinasi, terapi musik,
humor, tertawa, dan aromaterapi) ( Ilham Fajri, 2020).
b. Jenis-jenis
Menurut Hastono, 2019 :
a. Distraksi dan teknik relaksasi napas dalam
b. Latihan batuk efektif
c. Fisioterapi dada
d. Hipnotis
e. Edukasi obat dengan menggunakan media
video
f. Aromaterapi
g. Terapi musik
h. Kompres hangat
1.3.Terapi Non Farmakologi Pada Pneumonia
a. Terapi Relaksasi Nafas Dalam
a) Pengertian
Teknik relaksasi merupakan intervensi
keperawatan secara mandiri untuk menurunkan
intensitas nyeri, meningkatkan ventilasi paru
dan meningkatkan oksigenasi darah. Relaksasi
otot skeletal dipercaya dapat menurunkan nyeri
dengan merilekskan tegangan otot yang
menunjang nyeri, ada banyak bukti yang
menunjukkan bahwa relaksasi efektif dalam
meredakan nyeri. Sedangkan latihan nafas
dalam adalah bernafas dengan perlahan dan
menggunakan diagfragma, sehingga
memungkinkan abdomen terangkat perlahan
dan dada mengembang penuh (Trullyen 2018).
Teknik relaksasi nafas dalam merupakan
pernafasan pada abdomen dengan frekuensi
lambat serta perlahan, berirama, dan nyaman
dengan cara memejamkan mata saat menarik
nafas. Efek dari terapi ini ialah distraksi atau
pengalihan perhatian. (Haryati, 2018).
Mekanisme relaksasi nafas dalam pada sistem
pernafasan berupa suatu keadaan inspirasi dan
ekspirasi pernafasan dengan frekuensi
pernafasan menjadi 6-10 kali permenit sehingga
terjadi peningkatan regangan kardiopulmonari.
Terapi relaksasi nafas dalam dapat dilakukan
secara mandiri, relatif mudah dilakukan dari
pada terapi nonfarmakologis lainnya, tidak
membutuhkan waktu lama untuk terapi, dan
dapat mengurangi dampak buruk dari terapi
farmakologis bagi penderita hipertensi
(Seyawati, 2018).
b) Tujuan
Beberapa tujuan terapi relaksasi nafas dalam
(Paramita, 2020)
adalah sebagai berikut:
a. Meningkatkan ventilasi alveoli
b. Memelihara pertukaran gas
c. Mencegah atelektasi paru
d. Meningkatkan efisiensi batuk
e. Meningkatkan mekanisme pembersihan jalan
napas
f. Ketentraman hati
g. Berkurangnya rasa cemas, khawatir dan
gelisah
h. Detak jantung lebih rendah
i. Kesehatan mental menjadi lebih baik
c) Indikasi
a) Dipsnea
b) Produksi psutum yang berlebih
c) Pasien dengan batuk yang tidak efektif
d) Susah mengeluarkan dahak
e) Nyeri
d) Kontraindikasi
a) Hemoptisis
b) Tension pneumotoraks
c) Gangguan kardiovaskuler
d) Edema paru
e) Efusi pleura yang luas
e) Standar Prosedure Operasional (SPO)
Menurut Potter dan Perry (2020), langkah-
langkah teknik relaksasi nafas dalam yaitu :
a. Tahap Pra Interaksi
1. Mengecek program terapi
2. Mencuci tangan
3. Menyiapkan alat (stetoskop, oximeter,
handscoon, alat tulis)
b. Tahap orientasi
1. Memberikan salam dan sapa nama pasien
2. Menjelaskan tujuan dan prosedur
pelaksanaan
3. Menanyakan persetujuan/kesiapakan
pasien
c. Fase kerja
1. Menjaga privasi pasien
2. Mempersiapkan pasien
3. Ciptakan lingkungan tenang, usahakan
tetap rileks dan tenang.
4. Ajarkan klien untuk melakukan tarik
napas melalui hidung, kemudian
mengerutkan bibir seperti bersiul dan
mengeluarkan napas dengan lembut dan
lambat sehingga membuat bunyi
“berdesis” tanpa mengembungkan pipi
5. Minta klien untuk melakukan napas
dalam melalui hidung dan hitung sampai
3 kali hitungan
6. Minta klien untuk berkonsentrasi
menegangkan otot-otot abdomen saat
mengeluarkan napas secara perlahan
melalui bibir yang dikerutkan sambil
menghitung sampai 7 atau sampai tidak
bisa mengeluarkan napas lagi.
7. Minta klien untuk melakukan latihan ini
pada sesak napas/dispne dan
meningkatkan secara bertahap sebanyak
3 kali sehari
d. Tahap terminasi
1. Melakukan evaluasi tindakan
2. Berpamitan dengan klien
3. Mencuci tangan
4. Mencatat kegiatan dalam lembar catatn
keperawatan
b. Terapi Latihan Batuk Efektif
a) Pengertian
Batuk efektif merupakan cara untuk
melatih pasien yang tidak memiliki kemampuan
batuk secara efektif dengan tujuan untuk
membersihkan laring, trakea, dan bronchioles
dari secret atau benda asing dijalan nafas.
Menurut Rochimah, (2019) batuk efektif
mengandung makna dengan batuk yang benar,
akan dapat mengeluarkan benda asing, seperti
secret semaksimal mungkin. Bila pasien
mengalami gangguan pernafasan karena
akumulasi sscret, maka sangan dianjurkan untuk
melakukan latihan batuk efektif menurut
Andarmoyo, (2018) latihan batuk efektif
merupakan cara untuk melatih pasien yang
tidak memiliki kemampuan batuk secara efektif
dengan tujuan untuk membersihkan laring,
trachea, dan bronkiolus dari secret atau benda
asing dijalan nafas. Menurut Ambarawati &
Nasution (2018).
b) Tujuan
Batuk efektif dilakukan dengan tujuan
untuk membersihkan jalan nafas, mencegah
komplikasi : infeksi saluran nafas, pneumonia
dan mengurangi kelelahan. Menurut Muttaqin
( 2020) tujuan batuk efektif adalah meningkatkan
mobilisasi sekresi dan mencegah resiko tinggi
retensi sekresi ( pneumonia, atelektasis, dan
demam). Pemberian latihan batuk efektif
dilaksanakan terutama pada klien dengan
masalah keperawatan bersihan jalan nafas tidak
efektif dan masalah resiko tinggi infeksi saluran
pernafasan bagian bawah yang berhubungan
dengan akumulasi secret pada jalan nafas yang
14 sering disebabkan oleh kemampuan batuk
yang menurun. Menurut Somantri, (2018) batuk
efektif sangat penting karena dapat
meningkatkan mekanisme pembersihan jalan
nafas (Normal Cleansing Mechanism). Menurut
Rosyidi & Wulansari, (2018).
f) Indikasi
1. Produksi psutum yang berlebih
2. Pasien dengan batuk yang tidak efektif
3. Susah mengeluarkan dahak
g) Kontraindikasi
1. Hemoptisis
2. Tension pneumotoraks
3. Gangguan kardiovaskuler
4. Edema paru
5. Efusi pleura yang luas
h) Standar Operasional Prosedure Operasional
(SPO)
Menurut Eni Kusyati et al (2018), langkah-
langkah batuk efektif yaitu :
a. Tahap Pra Interaksi
a) Mengecek program terapi
b) Mencuci tangan
c) Menyiapkan alat (Stetoskop, handuk, air
hangat, oximeter, handscoon, kom kecil)
b. Tahap orientasi
a) Memberikan salam dan sapa nama pasien
b) Memperkenalkan diri
c) Menjelaskan tujuan dan prosedur yang
akan dilakukan kepada keluarga pasien
d) Meminta izin kepada anak dan orang tua
c. Fase kerja
a) Menjaga privasi pasien
b) Mempersiapkan pasien
c) Mencuci tangan, kenakan hanscoon dan
pakai masker
d) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
e) Atur posisi klieen semi fowler atau fowler
f) Anjurkan klien untuk minum air hangat
sebelum melakukan batuk efektif untuk
mengcerkan dahak
g) Anjurkan untuk menarik nafas dalam
secara perlahan
h) Setelah itu tahan nafas kurang lebih 2
detik
i) Batukkan 2 kali dengan mulut terbuka .
batuk pertama untuk meluruhkan mucus
dan batuk kedua untuk mengeluarkan
secret
j) Tarik nafas dengan ringan
k) Istirahat
l) Lepaskan sarung tangan dan cuci tangan
d. Tahap terminasi
a) Melakukan evaluasi tindakan
b) Berpamitan dengan klien
c) Mencuci tangan
d) Mencatat kegiatan dalam lembar catatn
keperawatan
h) Dukungan Keluarga
Keluarga adalah Perkumpulan dua atau lebih
individu yang diikat oleh hubungan darah,
perkawinan atau adopsi, dan tiap-tiap
anggota keluarga selalu berinteraksi satu
sama lain. Pasien dengan RA sangat
membutuhkan dukungan dari orang-orang
terdekatnya, yaitu keluarga, dukungan dapat
ditujukan melalui sikap yaitu dengan:
1) Memberikan perhatian, misalnya
mempertahankan makanan meliputi
porsi, jenis, frekuensi dalam sehari-hari
serta kecukupan gizi.
2) Mengingatkan, misalnya kapan penderita
harus minum obat, kapan istirahat serta
kapan saatnya kontrol.
3) Menyiapkan obat yang harus diminum
oleh pasien.
4) Memberikan motivasi