Anda di halaman 1dari 16

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

TUGAS

BLOK I (ISLAM DISIPLIN ILMU APOTEKER)

“PERUNDANG-UNDANGAN”

OLEH :

NAMA : AMALIAH AYUSTINA YUSUF

NIM : 15120200131

DOSEN : Prof. DR. H. TADJUDDIN NAID.,S.Si.,M.Sc.,Apt

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2021
Buatlah suatu kesimpulan dari masing-masing Undang-Undang diPPT terkait
kefarmasian (peranan farmasi).

Jawab:
a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
• Sumber daya di bidang kesehatan adalah segala bentuk dana, tenaga,
perbekalan kesehatan, sediaan farmasi dan alat kesehatan serta
fasilitas pelayanan kesehatan dan teknologi yang dimanfaatkan untuk
menyelenggarakan upaya kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
• Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan
kosmetika.
BAB VI UPAYA KESEHATAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 48
• Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 47 dilaksanakan melalui kegiatan:
- pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan
Bagian Kelima Belas
Pengamanan dan Penggunaan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
Pasal 98
• Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman,
berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan terjangkau.
• Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi,
pengedaran sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi
standar mutu pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 99
• Sumber sediaan farmasi yang berasal dari alam semesta dan sudah
terbukti berkhasiat dan aman digunakan dalam pencegahan,
pengobatan, dan/atau perawatan, serta pemeliharaan kesehatan tetap
harus dijaga kelestariannya.
• Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengolah,
memproduksi, mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan
menggunakan sediaan farmasi yang dapat dipertanggungjawabkan
manfaat dan keamanannya.
• Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan sediaan
farmasi.
Pasal 102
• Penggunaan sediaan farmasi yang berupa narkotika dan psikotropika
hanya dapat dilakukan berdasarkan resep dokter atau dokter gigi dan
dilarang untuk disalahgunakan.
Pasal 104
• Pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan diselenggarakan
untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh
penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak memenuhi
persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau khasiat/kemanfaatan.
Pasal 105
• Sediaan farmasi yang berupa obat dan bahan baku obat harus
memenuhi syarat farmakope Indonesia atau buku standar lainnya.
• Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetika serta alat
kesehatan harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang
ditentukan.
Pasal 106
• Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah
mendapat izin edar.
• Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus
memenuhi persyaratan objektivitas dan kelengkapan serta tidak
menyesatkan.
• Pemerintah berwenang mencabut izin edar dan memerintahkan
penarikan dari peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan yang telah
memperoleh izin edar, yang kemudian terbukti tidak memenuhi
persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau kemanfaatan, dapat
disita dan dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 107
• Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan sediaan farmasi dan alat
kesehatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 108
• Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian
mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan
pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan
informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat
tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
• Ketentuan mengenai pelaksanaan praktik kefarmasian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XVIII PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Kesatu Pembinaan
Pasal 179
• Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 diarahkan untuk:
- memenuhi kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan perbekalan
kesehatan, termasuk sediaan farmasi dan alat kesehatan serta
makanan dan minuman
BAB XX KETENTUAN PIDANA
Pasal 196
• Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan
sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar
dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 197
• Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan
sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling
banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
Pasal 198
• Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk
melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal
108 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah).

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR


36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN
Pasal 21
Ayat (1)
• Pada prinsipnya perencanaan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan
dan pengawasan mutu tenaga kesehatan ditujukan kepada seluruh
tenaga kesehatan dalam menyelenggarakan upaya kesehatan. Tenaga
kesehatan dapat dikelompokkan sesuai dengan keahlian dan kualifikasi
yang dimiliki, antara lain meliputi tenaga medis, tenaga kefarmasian,
tenaga keperawatan, tenaga kesehatan masyarakat dan lingkungan,
tenaga gizi, tenaga keterapian fisik, tenaga keteknisian medis, dan
tenaga kesehatan lainnya.
Pasal 108
Ayat (1)
• Yang dimaksud dengan “tenaga kesehatan” dalam ketentuan ini adalah
tenaga kefarmasian sesuai dengan keahlian dan kewenangannya.
Dalam hal tidak ada tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan tertentu
dapat melakukan praktik kefarmasian secara terbatas, misalnya antara
lain dokter dan/atau dokter gigi, bidan, dan perawat, yang dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
b. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009
Tentang Pekerjaan Kefarmasian
Pasal 1
• Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu
Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan
pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat
atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat,
bahan obat dan obat tradisional
• Tenaga Kefarmasian adalah tenaga yang melakukan Pekerjaan
Kefarmasian, yang terdiri atas Apoteker dan Tenaga Teknis
Kefarmasian
• Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker
dalam menjalani Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana
Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah
Farmasi / Asisten Apoteker.
• Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA) adalah bukti tertulis yang
diberikan oleh Menteri kepada Apoteker yang telah diregistrasi.
• Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian (STRTTK) adalah
bukti tertulis yang diberikan oleh Menteri kepada Tenaga Teknis
Kefarmasian yang telah diregistrasi.
• Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA) adalah surat izin yang diberikan
kepada Apoteker untuk dapat melaksanakan Pekerjaan Kefarmasian
pada Apotek atau Instalasi Farmasi Rumah Sakit
• Surat Izin Kerja (SIK) adalah surat izin yang diberikan kepada Apoteker
dan Tenaga Teknis Kefarmasian untuk dapat melaksanakan Pekerjaan
Kefarmasian pada fasilitas produksi dan fasilitas distribusi atau
penyaluran
Pasal 4
Tujuan pengaturan Pekerjaan Kefarmasian untuk :
• Memberikan perlindungan kpd pasien dan masy. dlm memperoleh
dan/atau menetapkan sediaan farmasi dan jasa kefarmasian
• Mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan Pekerjaan
Kefarmasian sesuai dgn perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta PerPUUan, dan
• Memberikan kepastian hukum bagi pasien, masyarakat dan Tenaga
Kefarmasian
BAB II
Pasal 5
Pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian meliputi :
• Pekerjaan Kefarmasian dalam Pengadaan Sediaan Farmasi
• Pekerjaan Kefarmasian dalam Produksi Sediaan Farmasi
• Pekerjaan Kefarmasian dalam Distribusi atau Penyaluran Sediaan
Farmasi, dan
• Pekerjaan Kefarmasian dalam Pelayanan Sediaan Farmasi
BAB III
Pasal 33
• Tenaga Kefarmasian terdiri atas:
- Apoteker dan
- Tenaga Teknis Kefarmasian
• Tenaga Teknis kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b terdiri dari Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan
Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker
Pasal 39
• Setiap Tenaga Kefarmasian yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian di
Indonesia wajib memiliki surat tanda registrasi.
• Surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diperuntukan bagi :
- Apoteker berupa STRA dan
- Tenaga Teknis Kefarmasian berupa STRTTK.
Pasal 40
• Untuk memperoleh STRA, Apoteker harus memenuhi persyaratan :
- Memiliki ijazah Apoteker;
- Memiliki sertifikat kompetensi profesi
- Mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji
Apoteker
- Mempunyai surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang
memiliki surat izin praktik; dan
- Membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan
etika profesi.
• STRA dikeluarkan oleh Menteri.
Pasal 41
• STRA berlaku selama 5 (lima tahun) dan dapat diperpanajng untuk
jangka waktu 5 tahun apabila memenuhi syarat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40 ayat (1).
Pasal 42
• Apoteker lulusan luar negeri yang akan menjalankan pekerjaan
kefarmasian di Indonesia harus memiliki STRA setelah melakukan
adaptasi pendidikan.
• STRA sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) dapat berupa :
- STRA sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 40 ayat (1); atau
- STRA khusus
Pasal 44
• STRA khusus sebagaimana dimaksudkan pada pasal 42 ayat (2) huruf b
dapat diberikan kepada apoteker warga negara asing lulusan luar negeri
dengan syarat :
- Atas permohonan dari instansi pemerintah atau swasta;
- Mendapat persetujuan Menteri; dan
- Pekerjaan Kefarmasian dilakukan kurang dari 1 (satu) tahun.
Pasal 49
• STRA, STRA Khusus dan STRTTK tidak berlaku karena :
- Habis masa berlakunya dan tidak diperpanjang oleh yang
bersangkutan atau tidak memenuhi persyaratan untuk diperpanjang;
- Dicabut atas dasar ketentuan peraturan perundang-undangan;
- Permohonan yang bersangkutan;
- Yang bersangkutan meninggal dunia; atau
- Dicabut oleh Menteri atau pejabat kesehatan yang berwenang
Pasal 47
• Untuk memperoleh STRTTK bagi Tenaga Teknis Kefarmasian wajib
memenuhi persyaratan :
- Memiliki ijazah sesuai dengan pendidikannya;
- Memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang
memiliki surat izin praktik;
- Memiliki rekomendasi tentang kemampuan dari Apoteker yang telah
memiliki STRA di tempat Tenaga Teknis Kefarmasian bekerja; dan
- Membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan
etika kefarmasian.
• STRTTK dikeluarkan oleh Menteri.
• Menteri dapat mendelegasikan pemberian STRTTK kepada pejabat
kesehatan yang berwenang pada pemerintah daerah provinsi.
Pasal 48
• STRTTK berlaku selama 5 (lima tahun) dan dapat diperpanajang untuk
jangka waktu 5 tahun apabila memenuhi syarat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 47ayat (1).
Pasal 52
• Setiap Tenaga Kefarmasian yg melaksanakan Pekerjaan Kefarmasian di
Indonesia wajib memiliki surat izin sesuai tempat Tenaga Kefarmasian
bekerja
• Surat izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa :
- SIPA bagi Apoteker yg melakukan Pekerjaan Kefarmasian di
Apotek, puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit
- SIPA bagi Apoteker yg melakukan Pekerjaan Kefarmasian sebagai
Apoteker pendamping
- SIK bagi Apoteker yg melakukan Pekerjaan Kefarmasian di fasilitas
kefarmasian diluar Apotek dan instalasi farmasi rumah sakit; atau
- SIK bagi Tenaga Teknis Kefarmasian yang melakukan Pekerjaan
Kefarmasian pada Fasilitas Kefarmasian
Pasal 53
• Surat izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 dikeluarkan oleh
pejabat kesehatan yang berwenang di Kabupaten/Kota tempat
Pekerjaan Kefarmasian dilakukan
Pasal 55
• Untuk mendapatkan surat izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52,
Tenaga Kefarmasian harus memiliki :
- STRA, STRA Khusus, atau STRTTK yang masih berlaku;
- Tempat atau ada tempat untuk melakukan Pekerjaan Kefarmasian
atau fasilitas kefarmasian atau Fasilitas Kesehatan yang memiliki
izin; dan
- Rekomendasi dari Organisasi Profesi setempat.

c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang


Narkotika
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
• Pedagang Besar Farmasi adalah perusahaan berbentuk badan hukum
yang memiliki izin untuk melakukan kegiatan pengadaan, penyimpanan,
dan penyaluran sediaan farmasi, termasuk Narkotika dan alat
kesehatan.
• Industri Farmasi adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang
memiliki izin untuk melakukan kegiatan produksi serta penyaluran obat
dan bahan obat, termasuk Narkotika.
BAB IV PENGADAAN
Bagian Kedua Produksi
Pasal 11
• Menteri memberi izin khusus untuk memproduksi Narkotika kepada
Industri Farmasi tertentu yang telah memiliki izin sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan setelah dilakukan audit oleh
Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Bagian Keempat Penyimpanan dan Pelaporan
Pasal 14
• Narkotika yang berada dalam penguasaan Industri Farmasi, pedagang
besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah,
apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan,
dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan wajib disimpan secara khusus.
• Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan
farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat,
balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan wajib
membuat, menyampaikan, dan menyimpan laporan berkala mengenai
pemasukan dan/atau pengeluaran Narkotika yang berada dalam
penguasaannya.
BAB V IMPOR DAN EKSPOR
Bagian Kesatu Izin Khusus dan Surat Persetujuan Impor
Pasal 15
• Menteri memberi izin kepada 1 (satu) perusahaan pedagang besar
farmasi milik negara yang telah memiliki izin sebagai importir sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan
impor Narkotika.
Bagian Kedua Izin Khusus dan Surat Persetujuan Ekspor
Pasal 18
• Menteri memberi izin kepada 1 (satu) perusahaan pedagang besar
farmasi milik negara yang telah memiliki izin sebagai eksportir sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan
ekspor Narkotika.
BAB VI PEREDARAN
Bagian Kedua Penyaluran
Pasal 39
• Narkotika hanya dapat disalurkan oleh Industri Farmasi, pedagang besar
farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah sesuai
dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
• Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan
sediaan farmasi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memiliki izin khusus penyaluran Narkotika dari Menteri.
Pasal 40
• Industri Farmasi tertentu hanya dapat menyalurkan Narkotika kepada:
- pedagang besar farmasi tertentu
- apotek;
- sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu
- Rumah sakit
• Pedagang besar farmasi tertentu hanya dapat menyalurkan Narkotika
kepada:
- pedagang besar farmasi tertentu lainnya;
- apotek;
- sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu;
- rumah sakit;
- lembaga ilmu pengetahuan;
• Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu hanya dapat
menyalurkan Narkotika kepada:
- rumah sakit pemerintah;
- pusat kesehatan masyarakat;
- balai pengobatan pemerintah tertentu.
Pasal 41
• Narkotika Golongan I hanya dapat disalurkan oleh pedagang besar
farmasi tertentu kepada lembaga ilmu pengetahuan tertentu untuk
kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Bagian Ketiga Penyerahan
Pasal 43
• Penyerahan Narkotika hanya dapat dilakukan oleh:
- apotek;
- rumah sakit;
- pusat kesehatan masyarakat;
- balai pengobatan;
- dokter.
• Apotek hanya dapat menyerahkan Narkotika kepada:
- rumah sakit;
- pusat kesehatan masyarakat;
- apotek lainnya;
- balai pengobatan;
- dokter;
- pasien.
• Rumah sakit, apotek, pusat kesehatan masyarakat, dan balai
pengobatan hanya dapat menyerahkan Narkotika kepada pasien
berdasarkan resep dokter.
• Penyerahan Narkotika oleh dokter hanya dapat dilaksanakan untuk:
- menjalankan praktik dokter dengan memberikan Narkotika melalui
suntikan;
- menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan memberikan
Narkotika melalui suntikan;
- menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
• Narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu yang diserahkan
oleh dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dapat diperoleh
di apotek.
BAB VII LABEL DAN PUBLIKASI
Pasal 45
• Industri Farmasi wajib mencantumkan label pada kemasan Narkotika,
baik dalam bentuk obat jadi maupun bahan baku Narkotika.
Pasal 46
• Narkotika hanya dapat dipublikasikan pada media cetak ilmiah
kedokteran atau media cetak ilmiah farmasi.
BAB VIII PREKURSOR NARKOTIKA
Bagian Ketiga Rencana Kebutuhan Tahunan
Pasal 50
• Pemerintah menyusun rencana kebutuhan tahunan Prekursor Narkotika
untuk kepentingan industri farmasi, industri nonfarmasi, dan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Bagian Keempat Pengadaan
Pasal 51
• Pengadaan Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya dapat digunakan untuk tujuan industri farmasi, industri
nonfarmasi, dan ilmu pengetahuan dan teknologi.
BAB XIV PENGHARGAAN
Pasal 135
• Pengurus Industri Farmasi yang tidak melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
Pasal 147
• Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), bagi:
- pimpinan rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai
pengobatan, sarana penyimpanan sediaan farmasi milik pemerintah,
dan apotek yang mengedarkan Narkotika Golongan II dan III bukan
untuk kepentingan pelayanan kesehatan;
- pimpinan Industri Farmasi tertentu yang memproduksi Narkotika
Golongan I bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan;
- pimpinan pedagang besar farmasi yang mengedarkan Narkotika
Golongan I yang bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan atau mengedarkan Narkotika Golongan II dan III bukan
untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau bukan untuk
kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR


35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA
Pasal 5
• Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “Prekursor Narkotika” hanya
untuk industri farmasi.
Pasal 11
Ayat (1)
• Ketentuan ini membuka kemungkinan untuk memberikan izin kepada
lebih dari satu industri farmasi yang berhak memproduksi obat
Narkotika, tetapi dilakukan sangat selektif dengan maksud agar
pengendalian dan pengawasan Narkotika dapat lebih mudah dilakukan.
Pasal 15
Ayat (2)
• Yang dimaksud dengan ”dalam keadaan tertentu” dalam ketentuan ini
adalah apabila perusahaan besar farmasi milik negara dimaksud tidak
dapat melaksanakan fungsinya dalam melakukan impor Narkotika
karena bencana alam, kebakaran dan lain-lain.
Pasal 38
• Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “wajib dilengkapi dengan
dokumen yang sah” adalah bahwa setiap peredaran Narkotika termasuk
pemindahan Narkotika ke luar kawasan pabean ke gudang importir,
wajib disertai dengan dokumen yang dibuat oleh importir, eksportir,
industri farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan
farmasi pemerintah, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter,
atau apotek. Dokumen tersebut berupa Surat Persetujuan Impor/Ekspor,
faktur, surat angkut, surat penyerahan barang, resep dokter atau salinan
resep dokter, yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
Narkotika bersangkutan.
Pasal 39
Ayat (1)
• Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “industri farmasi, dan
pedagang besar farmasi” adalah industri farmasi, dan pedagang besar
farmasi tertentu yang telah memiliki izin khusus untuk menyalurkan
Narkotika.
Ayat (2)
• Ketentuan ini menegaskan bahwa Izin khusus penyaluran Narkotika bagi
sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah diperlukan sepanjang
surat keputusan pendirian sarana penyimpanan sediaan farmasi
tersebut tidak dikeluarkan oleh Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan.
Pasal 40
Ayat (1)
Huruf c
• Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “sarana penyimpanan
sediaan farmasi pemerintah tertentu” adalah sarana yang mengelola
sediaan farmasi dan alat kesehatan milik Pemerintah, baik Pemerintah
Pusat maupun Pemerintah Daerah, TNI dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah
dalam rangka pelayanan kesehatan.
Huruf d
• Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”rumah sakit” adalah rumah
sakit yang telah memiliki instalasi farmasi memperoleh Narkotika dari
industri farmasi tertentu atau pedagang besar farmasi tertentu.
Pasal 43
Ayat (1)
Huruf b
• Ketentuan ini menegaskan bahwa rumah sakit yang belum mempunyai
instalasi farmasi hanya dapat memperoleh Narkotika dari apotek.
Ayat (4)
Huruf c
• Ketentuan ini menegaskan bahwa penyerahan Narkotika oleh dokter
yang menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek
memerlukan surat izin penyimpanan Narkotika dari Menteri Kesehatan
atau pejabat yang diberi wewenang. Izin tersebut melekat pada surat
keputusan penempatan di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
Pasal 46
• Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “dipublikasikan” adalah
yang mempunyai kepentingan ilmiah dan komersial untuk Narkotika baik
dalam bentuk obat jadi maupun bahan baku Narkotika, di kalangan
terbatas kedokteran dan farmasi.

Anda mungkin juga menyukai