Anda di halaman 1dari 26

TUGAS MAKALAH

“PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA PASIEN


DENGAN Gullain Barre Syndrome (GBS)”

Di susun oleh :

Yusuf Zulfikar Permana

2010306034

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIOTERAPI PROFESI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH
YOGYAKARTA
2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Alhamdulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah Subhanahu wa


ta’ala berikan, tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Segala puji hanya untuk Allah
atas segala berkat, rahmat yang sangat besar, makalah ini bisa saya selesaikan.

Dalam penyusunannya, saya mengucapkan banyak terimakasih kepada


pembimbing yang telah memberikan bimbingan, dukungan, kasih, dan kepercayaan
yang begitu besar. Dukungan dari keluarga dan juga teman-teman dekat juga
membuat saya bersemangat dalam menyelesaikan makalah ini. Semoga makalah ini
memberikan sedikit kebahagiaan dan menuntun pada langkah yang lebih baik lagi.

Meskipun saya berharap isi dari makalah saya ini bebas dari kekurangan dan
kesalahan, namun Kesempurnaan itu sepertinya hal yang mustahil. Oleh karena itu,
saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini dapat lebih
baik lagi.

Akhir kata saya mengucapkan terimakasih, semoga hasil makalah presentasi


kasus saya ini bermanfaat.

Yogyakarta

Penyusun

HALAMAN PENGESAHAN

“PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA PASIEN


DENGAN Gullain Barre Syndrome (GBS)”

i
Disusun Oleh :

Yusuf Zulfikar Permana

2010306034

Program Studi Pendidikan Profesi Fisioterapi Fakultas Ilmu Kesehatan

Universitas ‘Aisyiyah

Yogyakarta

Menyetujui
Clinical Educator

Ftr. Setyawan, AIFO

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ i

i
KATA PENGANTAR......................................................................................... ii

DAFTAR ISI........................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang..................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah................................................................................ 2

C. Tujuan Penulisan.................................................................................. 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teoritis.................................................................................. 3

a. PengertianGuillain-Barre Syndrome (GBS) ……............ 3

b. ManifestasiKlinisGuillain-Barre Syndrome (GBS)........ 6

c. EtiologiGuillain-Barre Syndrome (GBS) …………........ 8

d. KlasifikasiGuillain-Barre Syndrome (GBS)  ………....... 8

e. PemeriksaanGuillain-Barre Syndrome (GBS) ………...... 10

BAB III PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI

A. Penatalaksanaan Fisioterapi ................................................................. 15

BAB IV SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan .............................................................................................. 18

B. Saran .................................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

i
Guillain–Barré syndrome (GBS) merupakan sekumpulan gejala

dengan onset akut yang merupakan penyakit yang diperantarai oleh sistem

kekebalan tubuh yang menyerang sistem saraf perifer. Guillain–Barré

syndrome dikemukakan pada tahun 1916 oleh Guillain dan Barre yang

menjelaskan mengenai karakteristik temuan cairan serebrospinal (CSS)

dimana ditemukan peningkatan konsentrasi protein namun tanpa disertai

dengan kenaikan jumlah sel pada dua prajurit Perancis yang mengalami

kelemahan.

Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim dan dapat

menyerang semua umur. Angka kejadian tahunan keseluruhan GBS di

Amerika Serikat adalah 1,65-1,79 per 100.000 orang dengan rasio kejadian

pada laki-lakidan wanita 3 : 2. Beberapa infeksi terlibat dalam perkembangan

GBS. Sekitar dua-pertiga dari pasien dengan infeksi saluran napas atau gejala

gastrointestinal telah dilaporkan dalam tiga minggu sebelum timbulnya gejala

GBS. Bukti yang paling kuat adalah pada infeksi Campylobacter jejuni,

namun GBS juga dilaporkan pada infeksi berikut yaitu Mycoplasma

pneumoniae, Haemophilus influenzae, cytomegalovirus, dan Epstein-Barr.

Guillain–Barré syndrome menyebabkan paralisis akut yang dimulai

dengan rasa baal, parestesia pada bagian distal dan diikuti secara cepat oleh

paralisis ke empat ekstremitas yang bersifat ascendens. Parestesia ini

biasanya bersifat bilateral. Refleks fisiologis akan menurun dan kemudian

menghilang sama sekali.2,3 Kerusakan saraf motorik biasanya dimulai dari

ekstremitas bawah dan menyebar secara progresif, dalam hitungan jam, hari

maupun minggu ke ekstremitas atas, tubuh dan saraf pusat.

i
Penatalaksanaan fisioterapi berupa terapi fisik pada penderita GBS

harus dimulai sejak awal, yaitu sejak kondisi pasien stabil. Oleh karena

perjalananan penyakit GBS yang unik, ada dua fase yang perlu diperhatikan

dalam memberikan fisioterapi. Yang pertama adalah fase ketika gejala masih

terus berlanjut hingga berhenti sebelum kondisi pasien terlihat membaik.

Pada fase tersebut yang diperlukan adalah mempertahankan kondisi pasien,

meskipun kondisi pasien akan terus menurun. Sedangkan yang kedua adalah

pada fase penyembuhan, ketika kondisi pasien membaik. Pada fase ini

pengobatan fisioterapi ditujukan pada penguatan dan pengoptimalan kondisi

pasien. Tujuan terapi fisik adalah untuk menstimulasi otot dan sendi, melalui

berbagai gerakan fisik dan latihan, sehingga terbentuk kekuatan, fleksibilitas,

dan lingkup gerak sendi yang optimal. Seorang fisioterapi akan melakukan

programlatihan progresif dan memberikan petunjuk mengenai gerakan

fungsional yang benar, sehingga tidak terjadi kompensasi gerakan yang salah

saat penyembuhan.

B. RUMUSAN MASALAH
a. Apa pengertianGuillain-Barre Syndrome (GBS) ?
b. Bagaimana ManifestasiKlinisdariGuillain-Barre Syndrome (GBS) ?
c. Bagaimana EtiologidariGuillain-Barre Syndrome (GBS) ?
d. ApasajaKlasifikasidariGuillain-Barre Syndrome (GBS) ?
e. Apa saja pemeriksaan dariGuillain-Barre Syndrome (GBS) ?

C. TUJUAN PENULISAN
a. Untuk mengetahui pengertianGuillain-Barre Syndrome (GBS) .
b. Untuk mengetahui ManifestasiKlinisdariGuillain-Barre Syndrome (GBS).
c. Untuk mengetahui etiologidariGuillain-Barre Syndrome (GBS).
d. Untuk mengetahui KlasifikasidariGuillain-Barre Syndrome (GBS).

i
e. Untuk mengetahui pemeriksaan dariGuillain-Barre Syndrome (GBS).

D. MANFAAT PENULISAN
a. Bagi Penulis
Manfaat dari penulis adalah untuk memperoleh pengetahuan dan
wawasan mengenai kasus vertigo dan penanganan fisioterapi terhadap
kasusGuillain-Barre Syndrome (GBS) .
b. Bagi Fisioterapi
Untuk menambah pengetahuan terutama pada kasus neuromuscular dan
menambah ilmu pengetahuan tentang penanganan terhadap
kasusneuromuscular yaituGuillain-Barre Syndrome (GBS) .
c. Bagi Pasien
Untuk memberi wawasan bagi pasien tentang bagaimana cara
penanganan fisioterapi sehingga dapat membantu mengurangi masalah-
masalah yang muncul akibat dariGuillain-Barre Syndrome (GBS) .

i
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teoritis
a. PengertianGuillain-Barre Syndrome (GBS) 
Guillain–Barré syndrome menyebabkan paralisis akut yang
dimulai dengan rasa baal, parestesia pada bagian distal dan diikuti
secara cepat oleh paralisis ke empat ekstremitas yang bersifat
ascendens. Parestesia ini biasanya bersifat bilateral. Refleks fisiologis
akan menurun dan kemudian menghilang sama sekali.2,3 Kerusakan
saraf motorik biasanya dimulai dari ekstremitas bawah dan menyebar
secara progresif, dalam hitungan jam, hari maupun minggu ke
ekstremitas atas, tubuh dan saraf pusat
Gangguan motorik yang pada GBS diawali dengan kelemahan
otot bagian bawah. Mula-mula yang dirasakan kelemahan (parese),
bila berlanjut menjadi lumpuh (plegia). Diawali dari gangguan
berjalan, seperti misalnya kaki ‘terseret’, hingga tidak bisa berdiri.
Perlahan-lahan kelemahan ‘naik’ otot lebih tinggi, seperti lutut dan
paha, sehingga penderita tidak bisa berdiri. Bila yang berlanjut
kelemahan otot bisa terjadi pada otot di sepajang tulang punggung,
punggung dan dada. Terus hingga ke tangan dan lengan. Bila otot-otot
pernafasan terganggu, akan terjadi kelemahan dalam bernafas.
Penderita merasa nafasnya berat.Kadang-kadang gejala GBS juga
disertai gangguan saraf otonomik, sehingga akan terjadi gangguan
saraf simpatik dan para simpatik. Yang tampak adalah gejala naik-
turunnya tekanan darah secara tiba-tiba, atau pasien berkeringat di
tempat yang dingin (Pryor & Webber 1998). Bila terjadi gangguan
cranial nerves akibatnya adalah tidak bisa menelan, berbicara atau
bernafas, atau kelemahan otot-otot muka. Uniknya kelemahan otot

i
biasanya simetris, artinya anggota badan yang kiri mengalami
kelemahan yang sama dengan anggota badan kanan.
Selain gangguan motorik, biasanya juga disertai gangguan
sensorik. Gangguannya bisa berupa rasa kesemutan, ‘terbakar’, tebal,
atau nyeri. Pola penyebaran gangguan sensorik biasanya tidak sama
dengan gangguan motorik. Gangguan sensorik bisa berpindah dari
waktu ke waktu Sebagai akibat dari gangguan motorik dan sistem
saraf otonomik, terjadi gangguan kardiopulmonari. Berawal dari nafas
berat, oleh karena kelemahan otot pernafasan (baik otot intercostal
maupun diafragma), hingga gangguan ritmik oleh karena gangguan
saraf otonomik. Akibatnya fungsi paru menjadi terganggu. Paru tidak
bisa mengembang secara maksimal akibatnya kapasitas vital
menurun, dan bisa menimbulkan atelektasis. Bila kondisi ini
berlanjut, bisa terjadi infeksi paru, pneumonia, yang akan
memperburuk kondisi. Ditambah kenyataannya pasien dalam kondisi
seperti di atas biasanya hanya terbaring, posisi yang hanya akan
menurunkan fungsi paru (Pryor & Webber 1998). Bila fungsi glotis
terganggu, akibat terganggunya sistem otonomik, penderita mungkin
akan tersedak. Sehingga makanan masuk ke saluran pernafasan, dan
akan menambah infeksi paru.Akibat terganggunya saraf otonomik,
irama jantung juga terganggu. Sehingga tekanan darah bisa naik-turun
secara mendadak, atau ‘flushing’, yaitu muka memerah secara
mendadak.Gejala-gejala tersebut akan terus muncul dalam waktu
maksimal 2 minggu. Sesudah itu akan berhenti, hingga proses
penyembuhan terjadi sekitar 2 sampai 4 minggu sesudah kelemahan
berhenti.
Guillain–Barré syndrome (GBS) adalah sekumpulan gejala
yang merupakan suatu kelainan sistem kekebalan tubuh manusia yang
menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri dengan
karakterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik
yang sifatnya progresif. Guillain-Barré syndrome ini memiliki
beberapa subtipe yaitu:

i
1. Acute inflammatory demyelinating
polyradiculoneuropathy (AIDP) dengan patologi klinis
demielinisasi perifer multifaktoral yang dapat dipengaruhi
baik oleh mekanisme humoral ataupun imun seluler.
Gejalanya bersifat progresif dengan kelemahan tubuh yang
simetris dan terdapat hiporefleksia atau arefleksia.
2. Acute motor axonal neuropathy (AMAN) disebabkan oleh
adanya antibodi yang terbentuk dalam tubuh yang
melawan gangliosida GM1, GD1a, GalNAc-GD1a, dan
GD1b pada akson saraf motorik perifer tanpa disertai
adanya proses demielinisasi. Berhubungan dengan infeksi
Campylobacter jejuni yang biasanya terjadi pada musim
panas pada pasien muda.
3. Acute motor-sensory axonal neuropathy (AMSAN)
memiliki mekanisme yang sama dengan AMAN tetapi
terdapat proses degenerasi aksonal sensoris, sehingga pada
kasus ini sering ditemukan gangguan pada sensoris.
4. Miller Fisher syndrome (MFS) terjadi proses
demielinisasi, dimana antibodi imunoglobulin G merusak
gangliosida GQ1b, GD3, dan GT1a. Miller Fisher
syndrome merupakan kasus yang jarang terjadi, yang
memiliki gejala yang khas berupa oftalmoplegi bilateral,
ataksia dan arefleksia. Selain itu juga terdapat kelemahan
pada wajah, bulbar, badan, dan ekstremitas yang terjadi
pada 50% kasus.
5. Acute autonomic neuropathy, mekanisme terjadinya belum
jelas dimana kasus ini sangat jarang terjadi. Gejalanya
berupa gejala otonom khususnya pada kardiovaskuler dan
visual, kehilangan sensoris juga terjadi pada kasus ini.

b. ManifestasiKlinisGuillain-Barre Syndrome (GBS) 


Manifetasi klinis GBS tergantung pada lokasi dan keparahan
inflamasi yang terjadi. GBS dapat menimbulkan gejala-gejala di

i
daerah multifokal dari infiltrasi sel monuklear pada saraf perifer. Pada
subtipe AIDP (Acute inflammatory demyelinating
polyradiculopathy), mielin lebih dominan mengalami kerusakan,
sedangkan pada AMAN (Acute motor axonal neuropathy), nodus
ranvier merupakan target inflamasi.Guillain–Barré syndrome
menimbulkan paralisis akut yang dimulai dengan rasa baal, parestesia
pada bagian distal dan diikuti secara cepat oleh paralisis ke empat
ekstremitas yang bersifat ascendens. Parestesia ini biasanya bersifat
bilateral. Badan, bulbar, dan otot respirasi mungkin saja terkena.
Pasien mungkin tidak dapat berdiri atau berjalan. Refleks fisiologis
akan menurun dan kemudian menghilang sama sekali.Kerusakan saraf
motorik biasanya dimulai dari ekstremitas bawah dan menyebar
secara progresif, dalam hitungan jam, hari maupun minggu, ke
ekstremitas atas, tubuh dan saraf pusat. Kerusakan sarafmotoris ini
bervariasi pada masing-masing individu, mulai dari kelemahan
sampai pada quadriplegia flaksid.Kelemahan lanjut yang dapat terjadi
yaitu melibatkan otot-otot respiratorik dan sekitar 25% pasien yang
dirawat membutuhkan ventilasi mekanik. Umumnya, kegagalan
respirasi terjadi pada pasien dengan progresi gejala yang cepat,
kelemahan anggota gerak atas, disfungsi otonom, atau kelumpuhan
bulbar.
Kelemahan biasanya mencapai puncak pada minggu kedua,
diikuti dengan fase plateu dengan durasi yang bervariasi sebelum
terjadinya resolusi atau stabilisasi dengan gejala disabilitas sisa.
Keterlibatan saraf pusat, muncul pada 50% kasus, biasanya meliputi
kelumpuhan otot fasial, orofaring dan okulomotor. Kerusakan
tersebut dapat menimbulkan gejala berupa disfagia, kesulitan dalam
berbicara, dan yang paling sering (50%) adalah bilateral facial
palsy.6,5 Pada GBS juga terjadi kerusakan pada saraf sensoris namun
kurang signifikan dibandingkan dengan kelemahan pada otot. Saraf
yang diserang biasanya proprioseptif dan sensasi getar.
Gejala yang dirasakan penderita biasanya berupa parestesia
dan disestesia pada ekstremitas distal. Gejala sensoris ini umumnya

i
ringan, kecuali pada pasien dengan GBS subtipe AMSAN (Acute
motor-sensory axonal neuropathy).Rasa nyeri dan kram juga dapat
menyertai kelemahan otot yang terjadi terutama pada anak. Nyeri
dirasakan terutama saat bergerak terjadi pada 50 – 89% pasien GBS.
Nyeri yang dideskripsikan berupa nyeri berat, dalam, seperti aching
atau crampin/kaku pada otot yang terserang, sering memburuk pada
malam hari. Nyeri bersifat nosiseptif dan/atau neuropatik. Rasa sakit
ini biasanya merupakan manifestasi awal pada lebih dari 50% pasien
yang dapat menyebabkan diagnosis GBS menjadi tertunda. Kelainan
saraf otonom tidak jarang terjadi dan dapat menimbulkan kematian.
Gejala otonom terjadi pada dua per tiga pasien dan meliputi
instabilitas tekanan darah (hipotensi atau hipertensi), takikardia,
aritmia jantung bahkan cardiac arrest, ortostasis, facial flushing,
retensi urin, gangguan hidrosis dan penurunan motilitas
gastrointestinal. Hipertensi terjadi pada 10–30 % pasien sedangkan
aritmia terjadi pada 30 % dari pasien.Gejala-gejala tambahan yang
biasanya menyertai GBS adalah kesulitan untuk mulai BAK,
inkontinensia urin dan alvi,konstipasi, kesulitan menelan dan
bernapas, perasaan tidak dapat menarik napas dalam, dan penglihatan
kabur (blurred visions).
Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan
otot yang bersifat difus dan paralisis. Refleks tendon akan menurun
atau bahkan menghilang. Batuk yang lemah dan aspirasi
mengindikasikan adanya kelemahan pada otot otot interkostal. Tanda
rangsang meningeal seperti tanda kernig dan kaku kuduk mungkin
dapat ditemukan. Refleks patologis seperti refleks Babinski umumnya
negatif.

c. EtiologiGuillain-Barre Syndrome (GBS) 


Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada GBS disebabkan karena
hilangnya mielin, material yang membungkus saraf. Hilangnya mielin
ini disebut dengan demielinisasi. Demielinisasi menyebabkan

i
penghantaran impuls oleh saraf tersebut menjadi lambat atau berhenti
sama sekali. Guillain–Barré syndrome menyebabkan inflamasi dan
destruksi dari mielin dan menyerang beberapa saraf.2,4 Penyebab
terjadinya inflamasi dan destruksi pada GBS sampai saat ini belum
diketahui. Ada yang menyebutkan kerusakan tersebut disebabkan oleh
penyakit autoimun.2 Mekanisme GBS diyakini merupakan suatu
neuropati inflamasi yang disebabkan oleh reaktivitas silang antara
antigen dan antibodi saraf yang disebabkan oleh infeksi tertentu yaitu
organisme menular, seperti C. jejuni, yang memiliki struktur dinding
bakteri yang mirip dengan gangliosida. Molekular mimikri ini akan
menciptakan antibodi anti-gangliosida yang akan menyerang saraf.

d. KlasifikasiGuillain-Barre Syndrome (GBS) 


GBS terutama ditegakkan dari temuan klinis dan pemeriksaan
penunjang. Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3 fase,
yakni:
1. Fase Progresif Pada umumnya, fase progresif berlangsung selama
dua sampai tiga minggu sejak timbulnya gejala awal sampai
gejala menetap yang dikenal sebagai “titik nadir”. Pada fase ini
timbul nyeri, kelemahan bersifat progresif dan gangguan sensorik.
Derajat keparahan gejala bervariasi dan tergantung seberapa berat
serangan yang muncul pada penderita. Penatalaksanaan
secepatnya akan mempersingkat transisi menuju fase
penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan fisik yang
permanen.
2. Fase Plateau Fase progresif akan diikuti oleh fase plateau yang
stabil dimana tidak didapati baik perburukan ataupun perbaikan
gejala. Serangan telah berhenti namun derajat kelemahan tetap
ada sampai dimulai fase berikutnya, yaitu fase penyembuhan.
Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat peradangan saraf
serta kekakuan otot dan sendi. Keadaan umum penderita sangat
lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus, serta
fisioterapi. Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi

i
yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada.
Pengawasan terhadap tekanan darah, irama jantung, pernafasan,
nutrisi, keseimbangan cairan, serta status generalis perlu
dilakukan dengan rutin. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini.
Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien langsung
mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi, sementara
pasien lain mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa
bulan, sebelum dimulainya fase penyembuhan.
3. Fase Penyembuhan Fase yang terakhir adalah fase penyembuhan
dimana terjadi perbaikan dan penyembuhan spontan. Sistem imun
berhenti memproduksi antibodi yang menghancurkan mielin, dan
gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai
terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik,
untuk membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan
pergerakan otot yang normal dan optimal. Kadang masih didapati
nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang beregenerasi. Lama fase
ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan
penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien
lainnya tetap menunjukkan gejala ringan sampai waktu yang lama
setelah penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari
derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi.
Selain daripada manifestasi klinis dan diagnosis berdasarkan fase,
kriteria diagnostik GBS menurut The National Institute of Neurological
and Communicative Disorders and Stroke (NINCDS) menjadi patokan
untuk diagnosis GBS; meliputi gejala utama, gejala tambahan,
pemeriksaan CSS, pemeriksaan elektrodiagnostik, dan gejala yang
menyingkirkan diagnosis.
1. Gejala utama
a) Kelemahan yang bersifat progresif pada satu atau lebih
ekstremitas dengan atau tanpa disertai ataksia
b) Arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general
2. Gejala tambahan

i
a) Progresivitas: gejala kelemahan motorik berlangsung
cepat, maksimal dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak
dalam 2 minggu, 80% dalam 3 minggu, 90% dalam 4
minggu.
b) Biasanya simetris
c) Adanya gejala sensoris yang ringan
d) Gejala saraf kranial, 50% terjadi parese N VII dan sering
bilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang
mempersarafi lidah dan otot-otot bulbar,kadang < 5%
kasus neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf
otak lain.
e) Disfungsi saraf otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi
postural, hipertensi dan gejala vasomotor.
f) Tidak disertai demam saat onset gejala neurologis
g) Pemulihan dimulai antara minggu ke 2 sampai ke 4 setelah
progresivitas berhenti. penyembuhan umumnya fungsionil
dapat kembali.
3. Pemeriksaan CSS
a) Peningkatan protein
b) Sel MN < 10 /µl
4. Pemeriksaan elektrodiagnostik
a) Terlihat adanya perlambatan atau blok pada konduksi
impuls saraf
5. Gejala yang menyingkirkan diagnosis
a) Kelemahan yang sifatnya asimetri
b) Disfungsi vesika urinaria yang sifatnya persisten
c) Sel PMN atau MN di dalam CSS > 50/ul
d) Gejala sensoris yang nyata

e. PemeriksaanGuillain-Barre Syndrome (GBS) 


Pemeriksaan spesifik mempunyai nilai yang sangat penting untuk
memperkuat temuan-temuan dalam anamnesis. Pemeriksaan Spesifik
pada klien GBS adalah MMT (Manual Muscles Testing), ROM

i
(Range Of Motion), dan pemeriksan sensori. Dan juga dapat
dilakukan dengan pemeriksaan refleks tendon.

1. MMT (Manual Muscles Testing)


MMT merupakan salah satu bentuk pemeriksaan
kekuatan otot yang paling sering digunakan. Hal tersebut
karena penatalaksanaan, intrepetasi, hasil serta validitas dan
realibilitasnya telah teruji. Namun demikian tetap saja, MMT
tidak mampu untuk mengukur otot secara individual
melainkan secara kelompok otot (Trisnowiyanto, 2012:30).

Tabel 2.1 Penilaian Manual Muscle Testing


Nilai Keterangan

5 (Normal) Klien dapat melawan gravitasi, LGS penuh dan dap


melawan tahanan maksimal

4 (Good) Klien dapat melawan gravitasi, LGS penuh dan dap


melawan tahanan minimal

3 (Fair) Klien dapat melawan gravitasi dan LGS penuh.

2 (Poor) Klien tidak mampu melawan gravitasi namun memiliki LG


penuh

1 (Trace) Hanya terdapat sedikit kontraksi

0 (Zero) Tidak ada kontraksi

Sumber  (Carolyn Jarvis, 2008:612)


Tujuan dilakukan MMT adalah untuk mengetahui
berapa nilai dari kekuatan otot klien, memprediksi dan
mencegah adanya kontraktur, dan dapat memberikan program
latihan yang tepat sesuai nilai kekuatan otot klien dengan
GBS. Namun otot yang akan dilakukan  pemeriksaan MMT
hanya merupakan otot-otot spesifik (bukan kelompok otot)
seperti otot sternocleidomastoids, deltoid, triceps, flexor carpi

i
ulnaris, lumbricals, iliopsoas, gluteus medius, anterior tibialis,
dan flexor hallucis longus.
2. ROM (Range Of Motion)
Range Of Motion merupakan bagian integral dari
gerakan manusia. Agar seorang individu untuk bergerak
secara efisien dan dengan sedikit usaha, berbagai gerak
seluruh sendi sangat penting. Selain itu, kisaran gerak yang
tepat memungkinkan sendi untuk beradaptasi lebih mudah
terhadap tekanan yang dikenakan pada tubuh, serta
mengurangi potensi cedera. Berbagai gerak seluruh sendi
sangat tergantung pada dua komponen ROM dan panjang otot.
Alat ukur yang sering digunakan untuk pemeriksaan ROM
adalah Goniometer dan terbagi menjadi empat bidang,
yaitu sagital plane, frontal plane, transversal
plane dan rotation.
Joint range motion adalah gerakan yang tersedia di
setiap sendi dan dipengaruhi oleh struktur tulang yang terkait
dan karakteristik fisiologis jaringan ikat di sekitar sendi.
Jaringan ikat penting yang membatasi rentang gerak sendi
termasuk ligamen dan kapsul sendi.

3.  Pemeriksan Refleks Tendon Dalam


Hasil pemeriksaan refleks merupakan informasi
penting yang sangat menentukan. Penilaian refleks selalu
berarti penilaian secara banding antara sisi kiri dan sisi kanan
(Ariani, 201). Itulah sebabnya pemeriksaan refleks penting
nilainya karena lebih objektif (Lumbantobing, 2015), karena
pada klien dengan GBS refleks tendon biasanya berkurang
atau tidak ada.  Refleks tendon dalam atau refleks regangan
otot dihantarkan melalui struktur pada sistem saraf pusat atau
tepi. Refleks tersebut menggambarkan satuan fungsi sensorik
dan motorik yang sederhana. Untuk menimbulkan refleks
tendon dalam, lakukan pengetukan dengan cepat pada otot
yang akan diperiksa.
Untuk dapat mencetuskan refleks, semua komponen
refleks harus utuh, komponen tersebut meliputi serabut saraf
sensorik, sinaps medulla spinalis, serabut saraf motorik,
sambungan serabut muskular, dan serabut-serabut otot.

i
Ketukan pada tendon akan mengaktifkan serabut-serabut
sensorik khusus pada otot yang teregang sebagian dengan
memicu impuls sensorik yang berjalan ke medulla spinalis
melalui saraf tepi. Serabut sensorik yang terangsang itu
bersinaps langsung dengan radiks saraf anterior yang
mempersarafi otot yang sama. Ketika impuls saraf melintasi
sambungan neuromuskular, maka otot akan berkontraksi
secara tiba-tiba (Bickley, 2010). Telah ditemukakan di atas
bahwa timbulnya refleks ini ialah karena teregangnya otot
oleh rangsang yang diberikan dan akan timbul kontraksi otot
(Lumbantobing, 2015). Tingkat jawaban refleks dibagi
menjadi beberapa tingkat, yaitu :
Keterangan tabel 2.2 Respon Penilaian refleks
Simbol Keterangan

          (negatif) Tidak ada refleks sama sekali

± Kontraksi sedikit

+ Ada kontraksi

++ Kontraksi berlebihan, refleks meningkat

Sumber  (Lubantombing, 2005:136)

4. Pemeriksaan Sensori
Tujuan dilakukan pemeriksaan sensori pada klien GBS
adalah untuk mengidentifikasi jenis tertentu dari perubahan
sensori, seperti parasthesia atau hypesthesia. Pemeriksaan
sensori atau sensibilitas merupakan pemeriksaan yang tidak
mudah. Kita tergantung kepada perasaan klien, jadi bersifat
subjektif. Oleh sebab itu, pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan
setelah pemeriksaan motorik termasuk refleks. Karena
subjektivitas ini, pemeriksa dapat salah, baik karena
keinggginan klien yang besar untuk membantu atau klien
berpura-pura mengerti sehingga memberikan informasi yang
salah. Pemeriksaan sensorik paling baik dilakukan secara
cepat, selain tidak melelahkan bagi pemeriksa dan klien, juga

i
mengurangi kemungkinan yang terjadi kesalahan informasi
yang diberikan.
Pemeriksaan sensori suhu dan nyeri dihantarkan oleh
jaras traktur spinotalamikus di medulla spinalis. Disini neuron
sensorik primer memasuki medulla spinalis melalui radiks
dorsalis. Pemeriksaan rasa nyeri dapat dilakukan dengan
menggunakan jarum dan kita menanyakan rasa nyeri yang
dirasakan klien. Pemeriksaan rasa suhu, ada dua macam rasa
suhu yaitu  rasa panas dan rasa dingin. Rasa suhu diperiksa
dengan menggunakan tabung reaksi yang diisi dengan air es
untuk rasa dingin, dan untuk rasa panas dengan air panas.
5. Kemampuan Fungsional dan Lingkungan aktivitas.
Pemeriksaan kemampuan fungsional dan aktivitas
untuk klien dengan GBS didalamnya harus ada aktifitas fungsi
dari bowel and bladder serta ambulasi. Indeks Barthel telah
lazim dipakai untuk mengukur kemampuan aktivitas klien.
Terdiri dari 10 poin aktivitas yang dikerjakan oleh klien dan
nilai oleh fisioterapi. Kesepuluh poin aktivitas yang akan nilai
masing-masing memiliki poin atau nilai, sebagai berikut :
Keterangan tabel 2.3 Penilaian Indeks Barthel
No Aktivitas Nilai

1 Makan 0 – 10

2 Berpindah dari kursi roda ke tempat tidur dan 0 – 15


sebaliknya , termasuk duduk di tempat tidur

3 Kebersihan diri, mencuci muka, menyisir, 0–5


mencukur, menggosok gigi

4 Aktivitas toilet 0 – 10

5 Mandi 0–5

6 Berjalan di jalan yang datar 0 – 15

(jika tidak mampu berjalan, lakukan dengan kursi (0 – 5)


roda)

7 Naik turun tangga 0 – 10

i
8 Berpakain termasuk mengenakan sepatu 0 – 10

9 Kontrol BAB 0 – 10

10 Kontrol 0 – 10
BAK                                                                            

Sumber  (Trisnowiyanto, 2012:99-
100)
Intepretasi hasil penilaian setelah dilakukan
pemeriksan Indeks Barthel adalah, sebagai berikut :
Keterangan tabel 2.3 Hasil Penilaian Indeks Barthel
Nilai Keterangan

0 – 20 Ketergantungan penuh

21 – 61 Ketergantungan berat

62 – 90 Ketergantungan moderat

91 – 99 Ketergantungan ringan

100 Mandiri

BAB III
PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI

Tujuan dari pemberian intervensi pada klien GBS adalah


mengurangi nyeri, menghindari terjadi kontraktur, dekubitus, dan
kelemahan atau denervated  otot. Namun konsep yang paling penting

i
untuk diingat dalam merancang program latihan untuk klien GBS
adalah latihan tidak akan mempercepat atau meningkatkan regenerasi
saraf, dan tidak akan mempengaruhi tingkat reinnervation selama
proses rehabilition. Tujuan utama manajemen terapi adalah hanya
menjaga sistem muskuloskeletal klien dalam keadaan yang optimal,
mencegah overwork, dan memacu proses pemulihan untuk
mendapatkan fungsi maksimal pada saat terjadinya
proses reinnervation.

Program rehabilitasi untuk klien dengan GBS harus dinilai


dengan hati-hati sesuai dengan tahap penyakit tersebut. Dalam kondisi
akut bila terjadi deficit pernapasan, penekanan awal yang harus
dilakukan untuk mendukung status pernapasan maksimal dapat
dilakukan melalui breathing exercise (Umphred, 2001:397). Breathing
exercise  merupakan suatu intervensi mendasar untuk pencegahan atau
penanganan yang komprehensif pada impairment yang berhubungan
dengan gangguan pernafasan  akut maupun kronis. Breathing exercise 
merupakan satu aspek manajemen untuk memperbaiki status paru dan
meningkatkan daya tahan tubuh secara keseluruhan. Tujuan
dari breathing exercise adalah meningkatkan efektivitas mekanisme
batuk dan membantu dalam pembersihan jalan nafas, meningkatkan
kekuatan, daya tahan, dan koordinasi dari otot-otot pernapasan,
mempertahankan atau meningkatkan mobilitas dada, memperbaiki
pola pernapasan yang tidak efisien atau abnormal dan mengurangi
kerja pernapasan, meningkatkan kapasitas fungsional klien dalam
kehidupan sehari-hari, pekerjaan dan rekreasi. Ekspirasi secara paksa
tidak diperbolehkan pada saat breathing exercise karena dapat
meningkatkan turbulensi dan restriksi pada jalan nafas, serta
menyebabkan bronkospasme. Klien juga tidak diperbolehkan
melakukan ekspirasi terlalu lama atau panjang karena dapat
menyebabkan klien kesulitan dalam melakukan inspirasi yang
selanjutnya sehingga pola nafas klien menjadi tidak teratur dan
efesien. Selain itu, klien juga tidak diperbolehkan untuk melakukan
inspirasi dengan menggunakan otot-otot bantu pernapasan dan upper
chest, sarankan agar klien menggunakan otot-otot bantu
pernapasannya secara minimal selama bernafas. Breathing
exercise inihanyadilakukansebanyak 3 sampai 4 kali inspirasi dan
ekspirasi agar mencegah terjadinya hiperventilasi (Kisner, 2007:861).

Program latihan berikutnya yang juga dapat dilakukan pada


kondisi akut adalah program
latihan positioning. Positioning merupakan program latihan yang harus
dilakukan dengan segera yang bertujuan untuk mencegah luka akibat

i
tekanan. Dalam program latihan ini fisioterapi sangat berperan aktif
dalam beberapa hari pertama klien di rawat inap khususnya bagi klien
yang memiliki kelumpuhan total atau kelumpuhan
ringan. Positioning merupakan sebuah program latihan untuk klien
yang dependent dan dilakukan dengan segera mungkin untuk
mencegah adanya komplikasi seperti dekubitus. Positioning juga dapat
dilakukan dengan menggunakan tempat tidur khusus seperti matras
listrik yang khusus dirancang untuk mengubah posisi klien
secaraterus-menerus atau menyebarkan tekanan di atas permukaan
yang luas (Umprhed, 2001:390-391).
Untuk klien dengan GBS yang memiliki bentuk tubuh yang
kurus dan terlihat adanya tonjolan tulang, mungkin perlu
membutuhkan alat bantu tambahan seperti busa berbentuk “donuts”
untuk melindungi tekanan tersebut. Sedangkan untuk klien yang
mengalami nyeri otot biasanya klien lebih suka untuk menekuk
pinggul serta lututnya sehingga fisioterapi harus mengatur atau
mengubah posisi klien keluar dari posisi tertekuk dalam beberapa jam.
Sebagai kelengkapan program positioning, terapis juga harus
mempertimbangkan cara terbaik untuk mempertahankan posisi
fisiologis tangan dan kaki dengan menggunakan fasilitas
footboard untuk mengontrol gerakan psaifdorsiflleksi pergelangan
kaki dengan ankle foot splint, yang dapat dikenakan saat klien berada
dalam posisi apapun. Sedangkan pemasangan splints pada pergelangan
tangan dan tangan dapat menggunakan resting-style splints atau
dibentuk sesuai dengan kebutuhan klien yang tujuannya untuk
menjaga pergelangan tangan yang baik, ibu jari, dan alignment jari
(Umprhed, 2001:390-391).
Program latihan yang dapat diberikan selanjutnya
adalah passive exercise. Pada klien GBS dikemukakan bahwa dengan
dilakukan passive exercise dapat mengurangi rasa nyeri atau
mengontrol rasa nyeri tersebut (Umphred, 2001:390), serta memelihara
lingkup gerak sendi klien (Lennon and Stokes, 2009:132). Menurut
Kisner (2007:44) Salah satu tujuan passive exercise adalah penurunan
atau menghambat nyeri, membantu sirkulasi dan dinamika vaskular,
membantu menjaga kesadaran gerakan klien, serta dapat
meminimalkan efek dari pembentukan kontraktur. Passive
exercise ditujukan pada klien dengan kondisi koma, paralysis, lumpuh,
atau bed rest yang mana klien tidak mampu untuk menggerakkan

i
anggota tubuhnya secara aktif  sehingga butuh gaya eksternal untuk
menggerakkan anggota tubuhnya. Gaya eksternal tersebut adalah
fisioterapis. Pemberian frekuensilatihan passive avercise pada klien
GBS sebaikknya lebih sering digerakkan dengan durasi yang rendah
sehingga tidak boleh menimbulkan nyeri atau kelelahan (Umphred,
2001:392).
 Klien tetap harus dimotivasi untuk dapat menggerakkan
anggota tubuhnya jika sudah mulai muncul kontraksi dari ototnya,
namum fisioterapi tetap harus memperhatikan atau mengamati gerakan
yang dihasilkan oleh klien supaya dapat mengetahui adanya perubahan
kualitas gerakan yang mungkin berhubungan dengan penurunan
kekuatan. Jika klien tidak mampu menyelesaikan latihan tersebut
sendiri maka fisioterapi membantu meyelesaikan latihan tersebut
sampai batas normal ROM atau dengan active assisted exercise,
namun harus hati-hati dan peka terhadap reaksi klien (Umphred,
2001:392).
Ketika klien sudah merasa cukup stabil maka active
exercise dapat dialakukan dengan diikuti periode latihan yang pendek
sesuai dengan kekuatan klien dan tanpa menyebabkan kelelahan. Pada
tahap awal latihan, pengulangan per periode latihan harus rendah dan
frekuensi latihan jangka pendek harus tinggi. Untuk mendorong
kontraksi otot aktif, terapis harus hati-hati menunjukkan kepada klien
gerakan yang diharapkan. Terapis kemudian mengerakkan anggota
tubuh klien dan menjelaskan gerakan tersebut, setelah mendapatkan
penjelasan yang jelas tentang gerakan yang sudah dijalaskan, klien
didorong untuk mengkontraksikan ataum enggerakkan ototnya
(Umphred, 2001:392-393). Menurut penelitian Tara Beth (2008)
intervensi fisioterapi melibatkan program latihan fungsional progresif
serta pemantauan overuse dan fatigue harus dilakukan. Hal ini
dimengerti bahwa penguatan dicapai sebanding dengan jumlah
motor unit yang utuh, demikian juga kemajuan peningkatan kekuatan
yang diharapkan akan dibatasi oleh tingkat kerusakan yang ada dalam
system motorik. Seperti yang disarankan untuk kondisi neuropati
perifer, peningkatan aktivitas atau tingkat latihan yang
dilaksanakanhanyajikaadaperbaikanatautidakadapenurunan  setelahsat
uminggusetelahdiberikanintervensidenganintensitastertentu.
Peningkatan program latihandimulaidari passive
exercise, active asissted exercise, dan active exercise pada

i
ekstremitasatas, ekstremitasbawah, dan trunk. Latihan
dilakukandengandurasi yang rendah, biasanya 5 sampai 10
pengulangan, dan selaludihentikanjikaklienmengeluhlelah. Waktu
istirahatseringdiberikan, dan
responklienterhadaplatihansecarakonsistenharusdimonitorsepertisesak
napas atautanda-tanda lain darikelelahan. Sesi per latihanen GBS
adalah 60 menit per sesi (Tara Beth, 2008).

BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Tujuan dari pemberian intervensi pada klien GBS adalah mengurangi
nyeri, menghindari terjadi kontraktur, dekubitus, dan kelemahan
atau denervated  otot. Namun konsep yang paling penting untuk diingat
dalam merancang program latihan untuk klien GBS adalah latihan tidak akan
mempercepat atau meningkatkan regenerasi saraf, dan tidak akan
mempengaruhi tingkat reinnervation selama proses rehabilition. Tujuan
utama manajemen terapi adalah hanya menjaga sistem muskuloskeletal klien
dalam keadaan yang optimal, mencegah overwork, dan memacu proses
pemulihan untuk mendapatkan fungsi maksimal pada saat terjadinya
proses reinnervation.

B. SARAN
1. Bagi Penulis
Dapat mengaplikasikan wawasan dan pemahaman mengenaiGuillain-
Barre Syndrome (GBS) untuk mengetahui pencegahan dan
penanggulangan kepada lingkungan penulis.
2. Bagi Pasien
Dapat menghimbau, jika memiliki kondisi serupa sebaiknya
dilakukan pemeriksaan dan intervensi sedini mungkin.

i
DAFTAR PUSTAKA

Ariani, Tutu April. 2012. Sistem Neurobehavior. Jakarta :SalembaMedika

Bickley, L dan Szilagyi, P. 2009. Buku Ajar PemeriksaanFisik Dan Riwayat


Kesehatan. Ahli Bahasa : Andry Hartono. 2009. Ed. 8,  Jakarta : EGC

Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi :BukuSaku. Alih Bahasa Nike


BudhiSubekti. 2009. Jakarta : EGC

Edwads, Susan. 2002. Neurological Physiotherapy. Second Edition. London


:Churcill Livingstone

Ginsberg, Lionel. 2005. Lecture Notes Neurologi. Alihbahasa Indah RetnoWardhani.


2005. Jakarta :PenerbitErlangga

Haghighi, Afshin Borhani et all. 2012. Vol :12. Seasonal Variation of Guillain-


Barré Syndrome Admission in a Large Tertiary Referral Center in
Southern Iran: A 10 Year Analysis. Iran : Acta Neural Taiwan

Irfan, Muhammad. 2010. FisioterapiBagiInsan stroke. Yogyakarta :GrahaIlmu           

Jarvis, Carolyn. 2008. Physical Examination & Health Assessment. Fifth Edition.


Canada: Saunders Elsevier

Kisner, Carolyn. 2007. Therapeutic Exercise. 5th Edition. Philadelphia: F. A Davis


Company

Kowalak, Jenifer. P. 2011. Buku Ajar Patofisiologi: Proses Penyakit, Tanda dan


Gejala, Penatalaksanaan, Efek, Pengobatan, Ilustrasi.  Alih Bahasa Andry
Hartono. 2011. Jakarta: EGC

i
Lennon, Sheila dan Maria Stokes. 2009. Pocketbook Of
Neurogical  Physiotherapy. : Philadelphia : Churcill Livingstone

Lumbantobing. 2012. NeurologiKlinikPemeriksaan dan Mental. Jakarta : FKUI

Netter, Frank H et all. 2002. Atlas of Neuroanatomy and Neurophysiology. USA


:ComTam

Pieter A. 2004. Gullian Barre Syndrome. Netherlands : University Medical Center


Rotterdam

Pourmand, Rahman. 2008. Practicing Neurology : What You Need To Know What


You Need To do. New Jersey: Humana Press

Price, Sylvia Anderson dan Lorraine Mccarty Wilson. 2005. Patofisiologi


:KonsepKlinis Proses-Proses penyakit. AlihbahasaBrahm U. 2005. Ed. 6.
Jakarta : EGC

Pryor, Jennifer. A. et all. 2001. Physiotherapy for Respiratory and Cardiac


Problems. Second Edition. London: Churchill Livingstone

Reese, Nancy Berryman dan William D. Bandy. 2002. Joint Range Of Motion and
Manual Muscle Testing. Philadelphia : W.B. Saunders Company

Rohkamm. 2004. Color Atlas of Neurology. German :Thieme Stuttgart

Scanlon, Valerie C dan Tina Sanders. 2006. Essentials of anatomy and


physiology. Philadelphia : F. A. Davis Company

Smelzter, Suzanne C. 2001. Buku Ajar MedikalBedah. Alihbahasa Agung Waluyo.


2001. Ed. 8. Jakarta : EGC

Snell, Richard S. 2006. AnantomiKlinikUntukMahasiswaKedokteran. Alih Bahasa


Liliana Sugiarto. 2006. Jakarta : EGC

Tara Beth, Fisher and Stevens Jennifer E. 2008. Vol : 3. Journal Of Neurologic
Physical Therapy. Philadelphia :Kivmars Bowling

Trisnowiyanto, Bambang. 2012. InstrumenPemeriksaanFisoterapi Dan Penelitian


Kesehatan. Yogyakarta :NuhaMedika

Umpred, Darcy A. 2001. Neurological Rehabilition. Fourth Edition. United States


Amerika : Mosby

Yuki, Naburiko and Hans Peter Hartung. 2012. The New England


JournaL Of Medicine. National University of Singapore : Department of
Medicine

Anda mungkin juga menyukai