Di susun oleh :
2010306034
Meskipun saya berharap isi dari makalah saya ini bebas dari kekurangan dan
kesalahan, namun Kesempurnaan itu sepertinya hal yang mustahil. Oleh karena itu,
saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini dapat lebih
baik lagi.
Yogyakarta
Penyusun
HALAMAN PENGESAHAN
i
Disusun Oleh :
2010306034
Universitas ‘Aisyiyah
Yogyakarta
Menyetujui
Clinical Educator
DAFTAR ISI
i
KATA PENGANTAR......................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................ 2
C. Tujuan Penulisan.................................................................................. 2
A. Tinjauan Teoritis.................................................................................. 3
A. Simpulan .............................................................................................. 18
B. Saran .................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 19
BAB I
PENDAHULUAN
i
Guillain–Barré syndrome (GBS) merupakan sekumpulan gejala
dengan onset akut yang merupakan penyakit yang diperantarai oleh sistem
syndrome dikemukakan pada tahun 1916 oleh Guillain dan Barre yang
dengan kenaikan jumlah sel pada dua prajurit Perancis yang mengalami
kelemahan.
Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim dan dapat
Amerika Serikat adalah 1,65-1,79 per 100.000 orang dengan rasio kejadian
GBS. Sekitar dua-pertiga dari pasien dengan infeksi saluran napas atau gejala
GBS. Bukti yang paling kuat adalah pada infeksi Campylobacter jejuni,
dengan rasa baal, parestesia pada bagian distal dan diikuti secara cepat oleh
ekstremitas bawah dan menyebar secara progresif, dalam hitungan jam, hari
i
Penatalaksanaan fisioterapi berupa terapi fisik pada penderita GBS
harus dimulai sejak awal, yaitu sejak kondisi pasien stabil. Oleh karena
perjalananan penyakit GBS yang unik, ada dua fase yang perlu diperhatikan
dalam memberikan fisioterapi. Yang pertama adalah fase ketika gejala masih
meskipun kondisi pasien akan terus menurun. Sedangkan yang kedua adalah
pada fase penyembuhan, ketika kondisi pasien membaik. Pada fase ini
pasien. Tujuan terapi fisik adalah untuk menstimulasi otot dan sendi, melalui
dan lingkup gerak sendi yang optimal. Seorang fisioterapi akan melakukan
fungsional yang benar, sehingga tidak terjadi kompensasi gerakan yang salah
saat penyembuhan.
B. RUMUSAN MASALAH
a. Apa pengertianGuillain-Barre Syndrome (GBS) ?
b. Bagaimana ManifestasiKlinisdariGuillain-Barre Syndrome (GBS) ?
c. Bagaimana EtiologidariGuillain-Barre Syndrome (GBS) ?
d. ApasajaKlasifikasidariGuillain-Barre Syndrome (GBS) ?
e. Apa saja pemeriksaan dariGuillain-Barre Syndrome (GBS) ?
C. TUJUAN PENULISAN
a. Untuk mengetahui pengertianGuillain-Barre Syndrome (GBS) .
b. Untuk mengetahui ManifestasiKlinisdariGuillain-Barre Syndrome (GBS).
c. Untuk mengetahui etiologidariGuillain-Barre Syndrome (GBS).
d. Untuk mengetahui KlasifikasidariGuillain-Barre Syndrome (GBS).
i
e. Untuk mengetahui pemeriksaan dariGuillain-Barre Syndrome (GBS).
D. MANFAAT PENULISAN
a. Bagi Penulis
Manfaat dari penulis adalah untuk memperoleh pengetahuan dan
wawasan mengenai kasus vertigo dan penanganan fisioterapi terhadap
kasusGuillain-Barre Syndrome (GBS) .
b. Bagi Fisioterapi
Untuk menambah pengetahuan terutama pada kasus neuromuscular dan
menambah ilmu pengetahuan tentang penanganan terhadap
kasusneuromuscular yaituGuillain-Barre Syndrome (GBS) .
c. Bagi Pasien
Untuk memberi wawasan bagi pasien tentang bagaimana cara
penanganan fisioterapi sehingga dapat membantu mengurangi masalah-
masalah yang muncul akibat dariGuillain-Barre Syndrome (GBS) .
i
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teoritis
a. PengertianGuillain-Barre Syndrome (GBS)
Guillain–Barré syndrome menyebabkan paralisis akut yang
dimulai dengan rasa baal, parestesia pada bagian distal dan diikuti
secara cepat oleh paralisis ke empat ekstremitas yang bersifat
ascendens. Parestesia ini biasanya bersifat bilateral. Refleks fisiologis
akan menurun dan kemudian menghilang sama sekali.2,3 Kerusakan
saraf motorik biasanya dimulai dari ekstremitas bawah dan menyebar
secara progresif, dalam hitungan jam, hari maupun minggu ke
ekstremitas atas, tubuh dan saraf pusat
Gangguan motorik yang pada GBS diawali dengan kelemahan
otot bagian bawah. Mula-mula yang dirasakan kelemahan (parese),
bila berlanjut menjadi lumpuh (plegia). Diawali dari gangguan
berjalan, seperti misalnya kaki ‘terseret’, hingga tidak bisa berdiri.
Perlahan-lahan kelemahan ‘naik’ otot lebih tinggi, seperti lutut dan
paha, sehingga penderita tidak bisa berdiri. Bila yang berlanjut
kelemahan otot bisa terjadi pada otot di sepajang tulang punggung,
punggung dan dada. Terus hingga ke tangan dan lengan. Bila otot-otot
pernafasan terganggu, akan terjadi kelemahan dalam bernafas.
Penderita merasa nafasnya berat.Kadang-kadang gejala GBS juga
disertai gangguan saraf otonomik, sehingga akan terjadi gangguan
saraf simpatik dan para simpatik. Yang tampak adalah gejala naik-
turunnya tekanan darah secara tiba-tiba, atau pasien berkeringat di
tempat yang dingin (Pryor & Webber 1998). Bila terjadi gangguan
cranial nerves akibatnya adalah tidak bisa menelan, berbicara atau
bernafas, atau kelemahan otot-otot muka. Uniknya kelemahan otot
i
biasanya simetris, artinya anggota badan yang kiri mengalami
kelemahan yang sama dengan anggota badan kanan.
Selain gangguan motorik, biasanya juga disertai gangguan
sensorik. Gangguannya bisa berupa rasa kesemutan, ‘terbakar’, tebal,
atau nyeri. Pola penyebaran gangguan sensorik biasanya tidak sama
dengan gangguan motorik. Gangguan sensorik bisa berpindah dari
waktu ke waktu Sebagai akibat dari gangguan motorik dan sistem
saraf otonomik, terjadi gangguan kardiopulmonari. Berawal dari nafas
berat, oleh karena kelemahan otot pernafasan (baik otot intercostal
maupun diafragma), hingga gangguan ritmik oleh karena gangguan
saraf otonomik. Akibatnya fungsi paru menjadi terganggu. Paru tidak
bisa mengembang secara maksimal akibatnya kapasitas vital
menurun, dan bisa menimbulkan atelektasis. Bila kondisi ini
berlanjut, bisa terjadi infeksi paru, pneumonia, yang akan
memperburuk kondisi. Ditambah kenyataannya pasien dalam kondisi
seperti di atas biasanya hanya terbaring, posisi yang hanya akan
menurunkan fungsi paru (Pryor & Webber 1998). Bila fungsi glotis
terganggu, akibat terganggunya sistem otonomik, penderita mungkin
akan tersedak. Sehingga makanan masuk ke saluran pernafasan, dan
akan menambah infeksi paru.Akibat terganggunya saraf otonomik,
irama jantung juga terganggu. Sehingga tekanan darah bisa naik-turun
secara mendadak, atau ‘flushing’, yaitu muka memerah secara
mendadak.Gejala-gejala tersebut akan terus muncul dalam waktu
maksimal 2 minggu. Sesudah itu akan berhenti, hingga proses
penyembuhan terjadi sekitar 2 sampai 4 minggu sesudah kelemahan
berhenti.
Guillain–Barré syndrome (GBS) adalah sekumpulan gejala
yang merupakan suatu kelainan sistem kekebalan tubuh manusia yang
menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri dengan
karakterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik
yang sifatnya progresif. Guillain-Barré syndrome ini memiliki
beberapa subtipe yaitu:
i
1. Acute inflammatory demyelinating
polyradiculoneuropathy (AIDP) dengan patologi klinis
demielinisasi perifer multifaktoral yang dapat dipengaruhi
baik oleh mekanisme humoral ataupun imun seluler.
Gejalanya bersifat progresif dengan kelemahan tubuh yang
simetris dan terdapat hiporefleksia atau arefleksia.
2. Acute motor axonal neuropathy (AMAN) disebabkan oleh
adanya antibodi yang terbentuk dalam tubuh yang
melawan gangliosida GM1, GD1a, GalNAc-GD1a, dan
GD1b pada akson saraf motorik perifer tanpa disertai
adanya proses demielinisasi. Berhubungan dengan infeksi
Campylobacter jejuni yang biasanya terjadi pada musim
panas pada pasien muda.
3. Acute motor-sensory axonal neuropathy (AMSAN)
memiliki mekanisme yang sama dengan AMAN tetapi
terdapat proses degenerasi aksonal sensoris, sehingga pada
kasus ini sering ditemukan gangguan pada sensoris.
4. Miller Fisher syndrome (MFS) terjadi proses
demielinisasi, dimana antibodi imunoglobulin G merusak
gangliosida GQ1b, GD3, dan GT1a. Miller Fisher
syndrome merupakan kasus yang jarang terjadi, yang
memiliki gejala yang khas berupa oftalmoplegi bilateral,
ataksia dan arefleksia. Selain itu juga terdapat kelemahan
pada wajah, bulbar, badan, dan ekstremitas yang terjadi
pada 50% kasus.
5. Acute autonomic neuropathy, mekanisme terjadinya belum
jelas dimana kasus ini sangat jarang terjadi. Gejalanya
berupa gejala otonom khususnya pada kardiovaskuler dan
visual, kehilangan sensoris juga terjadi pada kasus ini.
i
daerah multifokal dari infiltrasi sel monuklear pada saraf perifer. Pada
subtipe AIDP (Acute inflammatory demyelinating
polyradiculopathy), mielin lebih dominan mengalami kerusakan,
sedangkan pada AMAN (Acute motor axonal neuropathy), nodus
ranvier merupakan target inflamasi.Guillain–Barré syndrome
menimbulkan paralisis akut yang dimulai dengan rasa baal, parestesia
pada bagian distal dan diikuti secara cepat oleh paralisis ke empat
ekstremitas yang bersifat ascendens. Parestesia ini biasanya bersifat
bilateral. Badan, bulbar, dan otot respirasi mungkin saja terkena.
Pasien mungkin tidak dapat berdiri atau berjalan. Refleks fisiologis
akan menurun dan kemudian menghilang sama sekali.Kerusakan saraf
motorik biasanya dimulai dari ekstremitas bawah dan menyebar
secara progresif, dalam hitungan jam, hari maupun minggu, ke
ekstremitas atas, tubuh dan saraf pusat. Kerusakan sarafmotoris ini
bervariasi pada masing-masing individu, mulai dari kelemahan
sampai pada quadriplegia flaksid.Kelemahan lanjut yang dapat terjadi
yaitu melibatkan otot-otot respiratorik dan sekitar 25% pasien yang
dirawat membutuhkan ventilasi mekanik. Umumnya, kegagalan
respirasi terjadi pada pasien dengan progresi gejala yang cepat,
kelemahan anggota gerak atas, disfungsi otonom, atau kelumpuhan
bulbar.
Kelemahan biasanya mencapai puncak pada minggu kedua,
diikuti dengan fase plateu dengan durasi yang bervariasi sebelum
terjadinya resolusi atau stabilisasi dengan gejala disabilitas sisa.
Keterlibatan saraf pusat, muncul pada 50% kasus, biasanya meliputi
kelumpuhan otot fasial, orofaring dan okulomotor. Kerusakan
tersebut dapat menimbulkan gejala berupa disfagia, kesulitan dalam
berbicara, dan yang paling sering (50%) adalah bilateral facial
palsy.6,5 Pada GBS juga terjadi kerusakan pada saraf sensoris namun
kurang signifikan dibandingkan dengan kelemahan pada otot. Saraf
yang diserang biasanya proprioseptif dan sensasi getar.
Gejala yang dirasakan penderita biasanya berupa parestesia
dan disestesia pada ekstremitas distal. Gejala sensoris ini umumnya
i
ringan, kecuali pada pasien dengan GBS subtipe AMSAN (Acute
motor-sensory axonal neuropathy).Rasa nyeri dan kram juga dapat
menyertai kelemahan otot yang terjadi terutama pada anak. Nyeri
dirasakan terutama saat bergerak terjadi pada 50 – 89% pasien GBS.
Nyeri yang dideskripsikan berupa nyeri berat, dalam, seperti aching
atau crampin/kaku pada otot yang terserang, sering memburuk pada
malam hari. Nyeri bersifat nosiseptif dan/atau neuropatik. Rasa sakit
ini biasanya merupakan manifestasi awal pada lebih dari 50% pasien
yang dapat menyebabkan diagnosis GBS menjadi tertunda. Kelainan
saraf otonom tidak jarang terjadi dan dapat menimbulkan kematian.
Gejala otonom terjadi pada dua per tiga pasien dan meliputi
instabilitas tekanan darah (hipotensi atau hipertensi), takikardia,
aritmia jantung bahkan cardiac arrest, ortostasis, facial flushing,
retensi urin, gangguan hidrosis dan penurunan motilitas
gastrointestinal. Hipertensi terjadi pada 10–30 % pasien sedangkan
aritmia terjadi pada 30 % dari pasien.Gejala-gejala tambahan yang
biasanya menyertai GBS adalah kesulitan untuk mulai BAK,
inkontinensia urin dan alvi,konstipasi, kesulitan menelan dan
bernapas, perasaan tidak dapat menarik napas dalam, dan penglihatan
kabur (blurred visions).
Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan
otot yang bersifat difus dan paralisis. Refleks tendon akan menurun
atau bahkan menghilang. Batuk yang lemah dan aspirasi
mengindikasikan adanya kelemahan pada otot otot interkostal. Tanda
rangsang meningeal seperti tanda kernig dan kaku kuduk mungkin
dapat ditemukan. Refleks patologis seperti refleks Babinski umumnya
negatif.
i
penghantaran impuls oleh saraf tersebut menjadi lambat atau berhenti
sama sekali. Guillain–Barré syndrome menyebabkan inflamasi dan
destruksi dari mielin dan menyerang beberapa saraf.2,4 Penyebab
terjadinya inflamasi dan destruksi pada GBS sampai saat ini belum
diketahui. Ada yang menyebutkan kerusakan tersebut disebabkan oleh
penyakit autoimun.2 Mekanisme GBS diyakini merupakan suatu
neuropati inflamasi yang disebabkan oleh reaktivitas silang antara
antigen dan antibodi saraf yang disebabkan oleh infeksi tertentu yaitu
organisme menular, seperti C. jejuni, yang memiliki struktur dinding
bakteri yang mirip dengan gangliosida. Molekular mimikri ini akan
menciptakan antibodi anti-gangliosida yang akan menyerang saraf.
i
yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada.
Pengawasan terhadap tekanan darah, irama jantung, pernafasan,
nutrisi, keseimbangan cairan, serta status generalis perlu
dilakukan dengan rutin. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini.
Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien langsung
mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi, sementara
pasien lain mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa
bulan, sebelum dimulainya fase penyembuhan.
3. Fase Penyembuhan Fase yang terakhir adalah fase penyembuhan
dimana terjadi perbaikan dan penyembuhan spontan. Sistem imun
berhenti memproduksi antibodi yang menghancurkan mielin, dan
gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai
terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik,
untuk membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan
pergerakan otot yang normal dan optimal. Kadang masih didapati
nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang beregenerasi. Lama fase
ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan
penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien
lainnya tetap menunjukkan gejala ringan sampai waktu yang lama
setelah penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari
derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi.
Selain daripada manifestasi klinis dan diagnosis berdasarkan fase,
kriteria diagnostik GBS menurut The National Institute of Neurological
and Communicative Disorders and Stroke (NINCDS) menjadi patokan
untuk diagnosis GBS; meliputi gejala utama, gejala tambahan,
pemeriksaan CSS, pemeriksaan elektrodiagnostik, dan gejala yang
menyingkirkan diagnosis.
1. Gejala utama
a) Kelemahan yang bersifat progresif pada satu atau lebih
ekstremitas dengan atau tanpa disertai ataksia
b) Arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general
2. Gejala tambahan
i
a) Progresivitas: gejala kelemahan motorik berlangsung
cepat, maksimal dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak
dalam 2 minggu, 80% dalam 3 minggu, 90% dalam 4
minggu.
b) Biasanya simetris
c) Adanya gejala sensoris yang ringan
d) Gejala saraf kranial, 50% terjadi parese N VII dan sering
bilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang
mempersarafi lidah dan otot-otot bulbar,kadang < 5%
kasus neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf
otak lain.
e) Disfungsi saraf otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi
postural, hipertensi dan gejala vasomotor.
f) Tidak disertai demam saat onset gejala neurologis
g) Pemulihan dimulai antara minggu ke 2 sampai ke 4 setelah
progresivitas berhenti. penyembuhan umumnya fungsionil
dapat kembali.
3. Pemeriksaan CSS
a) Peningkatan protein
b) Sel MN < 10 /µl
4. Pemeriksaan elektrodiagnostik
a) Terlihat adanya perlambatan atau blok pada konduksi
impuls saraf
5. Gejala yang menyingkirkan diagnosis
a) Kelemahan yang sifatnya asimetri
b) Disfungsi vesika urinaria yang sifatnya persisten
c) Sel PMN atau MN di dalam CSS > 50/ul
d) Gejala sensoris yang nyata
i
(Range Of Motion), dan pemeriksan sensori. Dan juga dapat
dilakukan dengan pemeriksaan refleks tendon.
i
ulnaris, lumbricals, iliopsoas, gluteus medius, anterior tibialis,
dan flexor hallucis longus.
2. ROM (Range Of Motion)
Range Of Motion merupakan bagian integral dari
gerakan manusia. Agar seorang individu untuk bergerak
secara efisien dan dengan sedikit usaha, berbagai gerak
seluruh sendi sangat penting. Selain itu, kisaran gerak yang
tepat memungkinkan sendi untuk beradaptasi lebih mudah
terhadap tekanan yang dikenakan pada tubuh, serta
mengurangi potensi cedera. Berbagai gerak seluruh sendi
sangat tergantung pada dua komponen ROM dan panjang otot.
Alat ukur yang sering digunakan untuk pemeriksaan ROM
adalah Goniometer dan terbagi menjadi empat bidang,
yaitu sagital plane, frontal plane, transversal
plane dan rotation.
Joint range motion adalah gerakan yang tersedia di
setiap sendi dan dipengaruhi oleh struktur tulang yang terkait
dan karakteristik fisiologis jaringan ikat di sekitar sendi.
Jaringan ikat penting yang membatasi rentang gerak sendi
termasuk ligamen dan kapsul sendi.
i
Ketukan pada tendon akan mengaktifkan serabut-serabut
sensorik khusus pada otot yang teregang sebagian dengan
memicu impuls sensorik yang berjalan ke medulla spinalis
melalui saraf tepi. Serabut sensorik yang terangsang itu
bersinaps langsung dengan radiks saraf anterior yang
mempersarafi otot yang sama. Ketika impuls saraf melintasi
sambungan neuromuskular, maka otot akan berkontraksi
secara tiba-tiba (Bickley, 2010). Telah ditemukakan di atas
bahwa timbulnya refleks ini ialah karena teregangnya otot
oleh rangsang yang diberikan dan akan timbul kontraksi otot
(Lumbantobing, 2015). Tingkat jawaban refleks dibagi
menjadi beberapa tingkat, yaitu :
Keterangan tabel 2.2 Respon Penilaian refleks
Simbol Keterangan
± Kontraksi sedikit
+ Ada kontraksi
Sumber (Lubantombing, 2005:136)
4. Pemeriksaan Sensori
Tujuan dilakukan pemeriksaan sensori pada klien GBS
adalah untuk mengidentifikasi jenis tertentu dari perubahan
sensori, seperti parasthesia atau hypesthesia. Pemeriksaan
sensori atau sensibilitas merupakan pemeriksaan yang tidak
mudah. Kita tergantung kepada perasaan klien, jadi bersifat
subjektif. Oleh sebab itu, pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan
setelah pemeriksaan motorik termasuk refleks. Karena
subjektivitas ini, pemeriksa dapat salah, baik karena
keinggginan klien yang besar untuk membantu atau klien
berpura-pura mengerti sehingga memberikan informasi yang
salah. Pemeriksaan sensorik paling baik dilakukan secara
cepat, selain tidak melelahkan bagi pemeriksa dan klien, juga
i
mengurangi kemungkinan yang terjadi kesalahan informasi
yang diberikan.
Pemeriksaan sensori suhu dan nyeri dihantarkan oleh
jaras traktur spinotalamikus di medulla spinalis. Disini neuron
sensorik primer memasuki medulla spinalis melalui radiks
dorsalis. Pemeriksaan rasa nyeri dapat dilakukan dengan
menggunakan jarum dan kita menanyakan rasa nyeri yang
dirasakan klien. Pemeriksaan rasa suhu, ada dua macam rasa
suhu yaitu rasa panas dan rasa dingin. Rasa suhu diperiksa
dengan menggunakan tabung reaksi yang diisi dengan air es
untuk rasa dingin, dan untuk rasa panas dengan air panas.
5. Kemampuan Fungsional dan Lingkungan aktivitas.
Pemeriksaan kemampuan fungsional dan aktivitas
untuk klien dengan GBS didalamnya harus ada aktifitas fungsi
dari bowel and bladder serta ambulasi. Indeks Barthel telah
lazim dipakai untuk mengukur kemampuan aktivitas klien.
Terdiri dari 10 poin aktivitas yang dikerjakan oleh klien dan
nilai oleh fisioterapi. Kesepuluh poin aktivitas yang akan nilai
masing-masing memiliki poin atau nilai, sebagai berikut :
Keterangan tabel 2.3 Penilaian Indeks Barthel
No Aktivitas Nilai
1 Makan 0 – 10
4 Aktivitas toilet 0 – 10
5 Mandi 0–5
i
8 Berpakain termasuk mengenakan sepatu 0 – 10
9 Kontrol BAB 0 – 10
10 Kontrol 0 – 10
BAK
Sumber (Trisnowiyanto, 2012:99-
100)
Intepretasi hasil penilaian setelah dilakukan
pemeriksan Indeks Barthel adalah, sebagai berikut :
Keterangan tabel 2.3 Hasil Penilaian Indeks Barthel
Nilai Keterangan
0 – 20 Ketergantungan penuh
21 – 61 Ketergantungan berat
62 – 90 Ketergantungan moderat
91 – 99 Ketergantungan ringan
100 Mandiri
BAB III
PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI
i
untuk diingat dalam merancang program latihan untuk klien GBS
adalah latihan tidak akan mempercepat atau meningkatkan regenerasi
saraf, dan tidak akan mempengaruhi tingkat reinnervation selama
proses rehabilition. Tujuan utama manajemen terapi adalah hanya
menjaga sistem muskuloskeletal klien dalam keadaan yang optimal,
mencegah overwork, dan memacu proses pemulihan untuk
mendapatkan fungsi maksimal pada saat terjadinya
proses reinnervation.
i
tekanan. Dalam program latihan ini fisioterapi sangat berperan aktif
dalam beberapa hari pertama klien di rawat inap khususnya bagi klien
yang memiliki kelumpuhan total atau kelumpuhan
ringan. Positioning merupakan sebuah program latihan untuk klien
yang dependent dan dilakukan dengan segera mungkin untuk
mencegah adanya komplikasi seperti dekubitus. Positioning juga dapat
dilakukan dengan menggunakan tempat tidur khusus seperti matras
listrik yang khusus dirancang untuk mengubah posisi klien
secaraterus-menerus atau menyebarkan tekanan di atas permukaan
yang luas (Umprhed, 2001:390-391).
Untuk klien dengan GBS yang memiliki bentuk tubuh yang
kurus dan terlihat adanya tonjolan tulang, mungkin perlu
membutuhkan alat bantu tambahan seperti busa berbentuk “donuts”
untuk melindungi tekanan tersebut. Sedangkan untuk klien yang
mengalami nyeri otot biasanya klien lebih suka untuk menekuk
pinggul serta lututnya sehingga fisioterapi harus mengatur atau
mengubah posisi klien keluar dari posisi tertekuk dalam beberapa jam.
Sebagai kelengkapan program positioning, terapis juga harus
mempertimbangkan cara terbaik untuk mempertahankan posisi
fisiologis tangan dan kaki dengan menggunakan fasilitas
footboard untuk mengontrol gerakan psaifdorsiflleksi pergelangan
kaki dengan ankle foot splint, yang dapat dikenakan saat klien berada
dalam posisi apapun. Sedangkan pemasangan splints pada pergelangan
tangan dan tangan dapat menggunakan resting-style splints atau
dibentuk sesuai dengan kebutuhan klien yang tujuannya untuk
menjaga pergelangan tangan yang baik, ibu jari, dan alignment jari
(Umprhed, 2001:390-391).
Program latihan yang dapat diberikan selanjutnya
adalah passive exercise. Pada klien GBS dikemukakan bahwa dengan
dilakukan passive exercise dapat mengurangi rasa nyeri atau
mengontrol rasa nyeri tersebut (Umphred, 2001:390), serta memelihara
lingkup gerak sendi klien (Lennon and Stokes, 2009:132). Menurut
Kisner (2007:44) Salah satu tujuan passive exercise adalah penurunan
atau menghambat nyeri, membantu sirkulasi dan dinamika vaskular,
membantu menjaga kesadaran gerakan klien, serta dapat
meminimalkan efek dari pembentukan kontraktur. Passive
exercise ditujukan pada klien dengan kondisi koma, paralysis, lumpuh,
atau bed rest yang mana klien tidak mampu untuk menggerakkan
i
anggota tubuhnya secara aktif sehingga butuh gaya eksternal untuk
menggerakkan anggota tubuhnya. Gaya eksternal tersebut adalah
fisioterapis. Pemberian frekuensilatihan passive avercise pada klien
GBS sebaikknya lebih sering digerakkan dengan durasi yang rendah
sehingga tidak boleh menimbulkan nyeri atau kelelahan (Umphred,
2001:392).
Klien tetap harus dimotivasi untuk dapat menggerakkan
anggota tubuhnya jika sudah mulai muncul kontraksi dari ototnya,
namum fisioterapi tetap harus memperhatikan atau mengamati gerakan
yang dihasilkan oleh klien supaya dapat mengetahui adanya perubahan
kualitas gerakan yang mungkin berhubungan dengan penurunan
kekuatan. Jika klien tidak mampu menyelesaikan latihan tersebut
sendiri maka fisioterapi membantu meyelesaikan latihan tersebut
sampai batas normal ROM atau dengan active assisted exercise,
namun harus hati-hati dan peka terhadap reaksi klien (Umphred,
2001:392).
Ketika klien sudah merasa cukup stabil maka active
exercise dapat dialakukan dengan diikuti periode latihan yang pendek
sesuai dengan kekuatan klien dan tanpa menyebabkan kelelahan. Pada
tahap awal latihan, pengulangan per periode latihan harus rendah dan
frekuensi latihan jangka pendek harus tinggi. Untuk mendorong
kontraksi otot aktif, terapis harus hati-hati menunjukkan kepada klien
gerakan yang diharapkan. Terapis kemudian mengerakkan anggota
tubuh klien dan menjelaskan gerakan tersebut, setelah mendapatkan
penjelasan yang jelas tentang gerakan yang sudah dijalaskan, klien
didorong untuk mengkontraksikan ataum enggerakkan ototnya
(Umphred, 2001:392-393). Menurut penelitian Tara Beth (2008)
intervensi fisioterapi melibatkan program latihan fungsional progresif
serta pemantauan overuse dan fatigue harus dilakukan. Hal ini
dimengerti bahwa penguatan dicapai sebanding dengan jumlah
motor unit yang utuh, demikian juga kemajuan peningkatan kekuatan
yang diharapkan akan dibatasi oleh tingkat kerusakan yang ada dalam
system motorik. Seperti yang disarankan untuk kondisi neuropati
perifer, peningkatan aktivitas atau tingkat latihan yang
dilaksanakanhanyajikaadaperbaikanatautidakadapenurunan setelahsat
uminggusetelahdiberikanintervensidenganintensitastertentu.
Peningkatan program latihandimulaidari passive
exercise, active asissted exercise, dan active exercise pada
i
ekstremitasatas, ekstremitasbawah, dan trunk. Latihan
dilakukandengandurasi yang rendah, biasanya 5 sampai 10
pengulangan, dan selaludihentikanjikaklienmengeluhlelah. Waktu
istirahatseringdiberikan, dan
responklienterhadaplatihansecarakonsistenharusdimonitorsepertisesak
napas atautanda-tanda lain darikelelahan. Sesi per latihanen GBS
adalah 60 menit per sesi (Tara Beth, 2008).
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Tujuan dari pemberian intervensi pada klien GBS adalah mengurangi
nyeri, menghindari terjadi kontraktur, dekubitus, dan kelemahan
atau denervated otot. Namun konsep yang paling penting untuk diingat
dalam merancang program latihan untuk klien GBS adalah latihan tidak akan
mempercepat atau meningkatkan regenerasi saraf, dan tidak akan
mempengaruhi tingkat reinnervation selama proses rehabilition. Tujuan
utama manajemen terapi adalah hanya menjaga sistem muskuloskeletal klien
dalam keadaan yang optimal, mencegah overwork, dan memacu proses
pemulihan untuk mendapatkan fungsi maksimal pada saat terjadinya
proses reinnervation.
B. SARAN
1. Bagi Penulis
Dapat mengaplikasikan wawasan dan pemahaman mengenaiGuillain-
Barre Syndrome (GBS) untuk mengetahui pencegahan dan
penanggulangan kepada lingkungan penulis.
2. Bagi Pasien
Dapat menghimbau, jika memiliki kondisi serupa sebaiknya
dilakukan pemeriksaan dan intervensi sedini mungkin.
i
DAFTAR PUSTAKA
i
Lennon, Sheila dan Maria Stokes. 2009. Pocketbook Of
Neurogical Physiotherapy. : Philadelphia : Churcill Livingstone
Reese, Nancy Berryman dan William D. Bandy. 2002. Joint Range Of Motion and
Manual Muscle Testing. Philadelphia : W.B. Saunders Company
Tara Beth, Fisher and Stevens Jennifer E. 2008. Vol : 3. Journal Of Neurologic
Physical Therapy. Philadelphia :Kivmars Bowling