Anda di halaman 1dari 15

Eksperimen Dasar

Faktor Yang Mempengaruhi Dosis Obat

(Variasi Biologi dan Variasi Kelamin)

Dosen:

Aunin Wulandari, M.Sc., Apt.

Rika Veryanti, M.Farm-Klin., Apr.

Theodora, M.Farm., Apt.

Nama : Rahmad Niki Saputro


NIM : 18330127
Kelas : Praktikum Farmakologi – A

LABORATORIUM FARMAKOLOGI
PROGRAM STUDI FARMASI S1 FAKULTAS FARMASI
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Secara normal metabolisme obat melibatkan banyak proses kimiawi dan enzimatik sehingga
menghasilkan banyak metabolit. Jumlah metabolit dapat ditentukan oleh aktivitas dan kadar
enzim yang berperan pada proses metabolisme. Kecepatan metabolisme dapat memperpanjang
dan menentukan intensitas kerja obat. Kecepatan..metabolisme..ini kemungkinan.berbeda-
beda.pada.masing-masing.individu. Penurunan kecepatan pada proses metabolisme dapat
meningkatkan intensitas dan memperpanjang masa kerja obat, dan mungkin dapat meningkatkan
toksisitas obat. Begitu juga dengan kenaikan kecepatan pada proses metabolisme, yang dapat
menurunkan intensitas dan memperpendek masa kerja obat sehingga obat menjadi tidak efektif
pada dosis normal. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi metabolisme obat antara lain faktor
keturunan atau genetik, perbedaan galur dan spesies, jenis kelamin, umur, penghambatan enzim
metabolisme, induksi enzim metabolisme dan faktor-faktor lainnya.

1.2 Tujuan Praktikum


a. Mahasiswa dapat mengenal dan mengamati berbagai faktor yang memodifikasi obat
b. Mahasiswa dapat mengajukan hal-hal yang melandasi pengaruh faktor-faktor tersebut secara
teoritis dan praktis
1.3 Prinsip Percobaan
Dosis yang diperlukan untuk mencapai kadar terapeutik efektif berbeda-beda pada tiap-tiap
individu yang disebabkan oleh adanya variasi jenis kelamin dan variasi biologi yang
mempengaruhi respons tubuh terhadap obat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Metabolisme Obat

1. Faktor Genetik atau Keturunan

Perbedaan tiap individu pada proses metabolisme sejumlah obat terkadang terjadi dalam
kehidupan. Hal ini menunjukkan bahwa faktor keturunan atau genetik dapat berperan terhadap
adanya perbedaan kecepatan metabolisme obat.

Salah satu contohnya adalah metabolisme isoniazid sebagai anti TBC, terutama melalui enzim n-
asetilasi. Studi terhadap kecepatan asetilasi isoniazid menunjukkan hasil adanya perbedaan
kemampuan asetilasi dari individu yang berbeda. Orang-orang Eksimo dan Jepang merupakan
asetilator cepat, sedangkan orang-orang Mesir dan Eropa Timur adalah asetilator lambat.
Waktu..paruh..isoniazid..pada..asetilator..cepat..dan..asetilator..lambat.bervariasi,..dimana..waktu
paruh..asetilator..cepat..antara..45-80menit,..sedangkan..pada asetilator..lambat antara 140-200
menit.

Reaksi..asetilasi..adalah,..pindahnya..gugusasetil..lalu..dikatalis..oleh...enzim N-asetil
transferase. Enzim N-asetil transferasi pada asetilator cepat lebih besar disbanding dengan
asetilator lambat. Aktifitas anti TBC isoniazid sangat tergantung pada kecepatan asetilasinya.
Pada asetilator cepat, isoniazid dalam bentuk asetilisoniazid yang tidak aktif diekskresikan
dengan cepat, sehingga obat mempunyai waktu kerja yang pendek dan memerlukan dosis
pengobatan yang lebih besar. Sedangkan pada asetilator lambat, lebih besar kemungkinan
terjadinya efek samping yang tidak dikehendaki, misal neuritis perifer. Prokainamid, Dapson,
dan juga Hidralazin menunjukkan perbedaan asetilasi secara genetik. Faktor genetik juga
mempengaruhi kecepatan oksidasi dari fenilbutazon, nortriptin, dan fenitoin.

2. Perbedaan Spesies dan Galur

Pada proses metabolisme obat, kemungkinan terjadi perubahan kimia yang sama atau sedikit
berbeda pada spesies dan galur, tetapi kadang-kadang pada reaksi metabolismenya terjadi
perbedaan yang cukup besar. Banyak dilakukan pengamatan pengaruh perbedaan spesies dan
galur terhadap metabolisme obat, yaitu pada pebedaan kualitatif atau kuantitatif dan pada
kecepatan metabolism, atau tipe reaksi metabolik.

Contohnya seperti fenilasetat, terkonjugasi dengan glutamine dan glisin pada manusia, lalu
terkonjugasi dengan glisin pada tikus dan kelinci. Asam benzoat, diekskresikan sebagai asam
hipurat pada anjing, lalu diekskresikan sebagai asam orniturat pada bebek. Amfetamin, yang
mengalami deminasi oksidatif pada marmot, kelinci, dan manusia, lalu mengalami hidroksilasi
aromatik pada tikus. Fenol, terkonjugasi dengan sulfat pada kucing, lalu terkonjugasi dengan
asam glukuronat pada babi, ini karena kucing mengandung enzim glukoronil transferase lebih
sedikit. Fenitoin, pada manusia mengalami oksidasi aromatik menghasilkan S(-)-orto-
hidroksifenitoin.

3. Perbedaan Jenis Kelamin

Pada beberapa spesies binatang menunjukkan adanya pengaruh kecepatan metabolism obat
terhadap jenis kelamin. Banyak obat yang dimetabolisis oleh tikus jantan dan tikus betina dengan
kecepatan yang sama baik. Tikus jantan memiliki kecepatan metabolisis beberapa obat dengan
lebih tinggi dibanding dengan tikus betina. Contohnya, oksidasi heksobarbital, N-demetilasi
aminopirin, dan glukuronidasi O-aminofenol. Hal ini menunjukkan bahwa metabolism juga
tergantung pada macam substrat, dan tidak hanya pada perbedaan jenis kelamin.

Penelitian terhadap efek hormon androgen, seperti testosteron, menunjukkan bahwa rangsangan
enzim oksidasi pada tikus jantan ternyata tidak berhubungan dengan efek androgenic tetapi
berhubungan dengan aktivitas anabolic pada sistem mikrosom hati. Belum banyak yang
diketehui dari adanya pengaruh perbedaan jenis kelamin terhadap proses metabolisme obat pada
manusia.

Contoh : nikotin dan asetosal dimetabolisis secara berbeda pada laki-laki dan perempuan.

4. Perbedaan Umur

Bayi yang masih dalam kandungan dan bayi yang baru lahir sangat peka dan sensitif terhadap
obat karena mereka memiliki jumlah enzim-enzim mikrosom hati yang relatif masih sedikit.
Contoh pengaruh umur terhadap metabolisme obat adalah heksobarbital, bila diberikan pada
tikus baru lahir dengan dosis 10 mg/kg BB, menyebabkan tikus itu tertidur selama 6 jam,
sedangkan pada pemberian pada tikus dewasa dengan dosis yang sama, hanya menyebabkan
tikus itu tertidur kurang dari lima menit. Tolbutamid, mempunyai waktu paruh enam jam pada
bayi yang baru lahir, sedangkan delapan jam pada orang dewasa. Ini disebabkan karena
kemampuan bayi untuk metabolisme oksidatif yang masih rendah. Kloramfenikol, pada bayi
yang baru lahir dapat menimbulkan grey sindrom. Hal ini disebabkan karena bayi mengandung
sedikit enzim glukuronil transferase, sehingga kemampuan memetabolisis kloramfenikolnya
masih rendah, oleh karena itu terjadi penumpukan obat pada jaringan yang akhirnya terjadi grey
sindrom pada bayi. Kloramfenikol, turunan salisilat, dan klorpromazin juga dapat menimbulkan
neonatal hyperbilirubinemia. Penyebabnya adalah terjadi kompetisi pada proses konjugasi antara
bilirubin, yang dimana suatu senyawa endogen hasil pecahnya hemoglobin dengan obat-obat di
atas, sehingga bilirubin yang tidak termetabolisis berkumpul pada jaringan lalu menimbulkan
efek yang tidak diinginkan.

5. Penghambatan enzim Metabolisme

Kadang-kadang, pemberian suatu senyawa yang menghambat kerja enzim-enzim metabolism


secara bersama-sama, dapat meningkatkan intensitas efek obat, memperpanjang masa kerja obat
namun dapat juga meningkatkan efek samping dan toksisitas.

Contohnya kloramfenikol, fenilbutazon, dikumarol, dan sulfonamida dapat menghambat enzim-


enzim yang memetabolisis klorpropamid dan tolbutamid, sehingga dapat menyebabkan
meningkatnya respon glikemi. Enzim metabolisme dari sikloserin, fenitoin, sulfonamida, dan
para-amino salisilat dapat dihambat oleh kloramfenikol, dikumarol, dan isoniazid, sehingga
kadar obat dalam serum darah dan toksisitasnya pun meningkat. Fenilbutazon, dapat
menghambat metabolisme.warfarin.secara.stereoselektif, lalu aktivitas koagulannya dapat
meningkat. Bila luka, terjadi perdarahan yang hebat.

6. Induksi enzim metabolisme

Kadang-kadang pemberian senyawa obat terlebih dahulu atau secara bersama-sama dapat
meningkatkan aktivitas atau jumlah enzim metabolisme dan bukan karena perubahan
permeabilitas mikrosom atau oleh adanya reaksi penghambatan. Meningkatnya aktivitas enzim
metabolism pada obat- obat tertentu, dapat menurunkan kadar obat dalam plasma dan
mempercepat metabolism, sehingga menurunkan efek farmakologis dan waktu kerja yang lebih
singkat. Contohnya fenobarbital, dapat menginduksi enzim mikrosom sehingga meningkatkan
metabolisme warfarin dan menurunkan efek antikoagulannya. Oleh karena itu, apabila ada
pasien yang akan diobati dengan warfarin lalu diberi fenobarbital, maka dosis warfarin yang
akan diberikan harus diperbesar. Fenobarbital berfungsi untuk meningkatkan metabolisme
griseofulvin, hidrokortison, paracetamol, fenitoin, kumarin, testosteron, bilirubin, dan obat
kontrasepsi oral. Fenitoin mempunyai fungsi yaitu untuk meningkatkan kecepatan metabolisme
pada kortisol, nortriptilin, dan obat kontrasepsi oral. Fenilbutazon berfungsi untuk meningkatkan
metabolisme aminopirin, dan kortisol. Induksi enzim juga dapat berpengaruh terhadap toksisitas
oleh beberapa obat karena dapat meningkatkan metabolisme dan meningkatkan pembentukan
metabolit reaktif. Contoh induksi enzim sitokrom P-450 oleh fenobarbital akan meningkatkan
oksidasi paracetamol, sehingga pembentukan metabolit reaktif imidokuinon dapat meningkat dan
efek hepatotoksisitasnya yang didapat menjadi lebih besar.

7. Faktor Lain-Lain

Faktor lain yang dapat mempengaruhi metabolisme obat adalah diet makanan, keadaan
kekurangan gizi, distribusi obat dalam jaringan, kehamilan, pengikatan obat oleh protein plasma,
gangguan keseimbangan hormon, dan keadaan patologis hati, misal kanker hati.

Variasi dalam Kemampuan Merespons Obat

Beberapa individu mungkin memiliki kemampuan merespons suatu obat dengan sangat berbeda.
Sesungguhnya, respons seseorang mungkin berbeda untuk suatu obat yang sama, yangdiberikan
pada saat yang berbeda selama masa pengobatan. Terkadang, individu menunjukkan respons
obat yang tidak biasa atau disebut juga respons idiosinkratik obat, suatu hal yang jarang muncul
dari sebagian besar pasien. Respon-respon idiosinkratik biasanya disebabkan oleh adanya
perbedaan genetik dalam mekanisme imunologik atau metabolisme obat, termasuk reaksi-reaksi
alergik.

Secara klinis variasi kuantitatif dalam respons obat biasanya lebih penting dan umum: seorang
pasien secara individual adalah hiperaktif atau hiporeaktif terhadap suatu obat dalam hal
intensitas efek dari dosis obat yang diberikan akan meningkat atau menurun bila dibanding
dengan efek yang muncul pada kebanyakan individu. Kemampuan merespons biasanya menurun
akibat dari pemberian obat secara terus menerus, yang dapat menimbulkan suatu keadaan toleran
yang relative pada efek-efek obat.

Ada empat mekanisme umum yang mungkin mendorong terjadinya perbedaan terhadap
kemampuan merespons obat dalam individu seorang pasien pada waktu yang berbeda.

a. Perubahan dalam Konsentrasi Obat yang Mencapai Reseptor

Dengan mengubah konsentrasi obat yang akan mencapai reseptor-reseptor yang relevan, macam-
macam perbedaan farmakokinetik yang demikian kemungkinan mengubah respons klinik.
Macam-macam perbedaan tertentu dapat diprediksi berdasarkan umur, BB, jenis kelamin,
keadaan penyakit, fungsi hati, fungsi ginjal, dan dengan melakukan pemeriksaan khusus untuk
mencari perbedaan genetik yang mungkin berasal dari perwarisan komplemen tersendiri yang
fungsional dari enzim yang telah memetabolisme obat.

b. Variasi dalam Konsentrasi suatu Ligan Reseptor Endogen

Mekanisme ini sangat mendorong variabilitas terhadap respons-respons terhadap antagonis-


antagonis farmakologik.

c. Perubahan dalam Jumlah Atau Fungsi Reseptor-Reseptor

Kajian-kajian eksperimental telah mendokumentasikan banyak perubahan dalam kemampuan


untuk memberi respons obat yang disebabkan oleh meningkatnya atau menurunnya jumlah situs
reseptor atau oleh perubahan efisiensi mekanisme hubungan reseptor-reseptor dengan efektor
distal. Dalam beberapa hal, perubahan jumlah reseptor dapat disebabkan oleh hormon-hormon
yang lain.
Suatu antagonis mungkin meningkatkan jumlah reseptor-reseptor di dalam suatu sel atau
jaringan yang kritis dengan cara mencegah down regulation yang disebabkan oleh agonis
endogen. Ketika antagonis tersebut ditarik, jumlah reseptor yang meningkat ini dapat
menimbulkan respons yang berlebihan pada konsentrasi-konsentrasi agonis yang fisiologis.
Dalam situasi ini jumlah reseptor yang diturunkan oleh drug-induced down regulation terlalu
rendah bagi agonis endogen untuk dapat menimbulkan stimulasi efek.
d. Perubahan-Perubahan dalam Komponen-Komponen Respons Distal dari Reseptor
Walaupun suatu obat kerjanya dimulai melalui ikatan pada reseptor, respons yang muncul pada
seorang pasien tergantung pada integritas fungsional proses-proses biokimia di dalam sel yang
merespons dan meregulasi secara fisiologis dengan berinteraksi.dengan.sistem-sistem.organ.
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan

Hewan Coba : Mencit putih, jantan dan betina (jumlah masing-masing 3 ekor),
usia 2 bulan, bobot tubuh 20-30g
Obat : Fenobarbital 100mg/70kgBB manusia
Alat : Spuit injeksi 1 ml, jarum suntik No. 27 (3/4 inch), timbangan
hewan, bejana untuk pengamatan, stop watch

3.2 Prosedur Percobaan

1. Siapkan mencit, sebelum pemberian obat, amati kelakuan normal masing-masing mencit selama
10 menit.
2. Hitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepat untuk masing-masing mencit
3. Berikan larutan fenobarbital 100mg/70kg BB manusia secara Intra Peritonial dan catat waktu
pemberiannya.
4. Tempatkan mencit kedalam bejana untuk pengamatan.
5. Amati selama 45 menit
6. Catat dan tabelkan pengamatan masing-masing kelompok lalu bandingkan hasilnya.

3.3 Data Biologis Hewan Coba

Mencit Berat Badan Rute Pemberian Dosis Pemberian Volume Pemberian


(gram) (mg) (ml)
Jantan
1 28 Intra Peritonial 0,364mg 0,04ml
2 22 Intra Peritonial 0,286mg 0,03ml
3 30 Intra Peritonial 0,39mg 0,04ml
Betina
1 32 Intra Peritonial 0,416mg 0,04ml
2 27 Intra Peritonial 0,351mg 0,04ml
3 21 Intra Peritonial 0,273mg 0,03ml
Sediaan Fenobarbital Injeksi 50 mg/ml

3.4 Perhitungan Dosis dan Volume Pemberian Obat


Dosis fenobarbital pada manusia = 100 mg

Faktor konversi manusia (70kg)  mencit (20g) = 0,0026

 Dosis pada mencit 20g adalah 0,0026 x 100mg = 0,26mg


a. Dosis fenobarbital pada mencit jantan no 1 dengan BB 28g
28 g
= X 0,26 mg
20 g
= 0,364 mg
0,364 mg
Volume sediaan yang di ambil = X 1 ml X 5 (pengenceran)
50 mg
= 0,04 ml
b. Dosis fenobarbital pada mencit jantan no 2 dengan BB 22g
22 g
= X 0,26 mg
20 g
= 0,286 mg
0,286 mg
Volume sediaan yang di ambil = X 1 ml X 5 (pengenceran)
50 mg
= 0,03ml
c. Dosis fenobarbital pada mencit jantan no 3 dengan BB 30g
30 g
= X 0,26 mg
20 g
= 0,39 mg
0,39 mg
Volume sediaan yang di ambil = X 1 ml X 5 (pengenceran)
50 mg
= 0,04 ml
d. Dosis fenobarbital pada mencit betina no 1 dengan BB 32g
32 g
= X 0,26 mg
20 g
= 0,416 mg
0,416 mg
Volume sediaan yang di ambil = X 1 ml X 5 (pengenceran)
50 mg
= 0,04 ml
e. Dosis fenobarbital pada mencit betina no 2 dengan BB 27g
27 g
= X 0,26 mg
20 g
= 0,351 mg
0,351mg
Volume sediaan yang di ambil = X 1 ml X 5 (pengenceran)
50 mg
= 0,04ml
f. Dosis fenobarbital pada mencit betina no 3 dengan BB 21g
21 g
= X 0,26 mg
20 g
= 0,273 mg
0,273 mg
Volume sediaan yang di ambil = X 1 ml X 5 (pengenceran)
50 mg
= 0,03ml
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pengamatan

Pengamatan
Waktu Waktu Onset Durasi
Waktu
Hilang Kembali Kerja Kerja
Hewan Obat Dosis Rute Pemberian
Rightin Righting Obat Obat
Obat
g Reflex Reflex (menit) (menit)
(menit)
(menit) (menit)
Mencit Fenobarbita 100 mg/ IP 08.00 08.45 12.43 45 238
jantan l 70 menit menit
no 1 kgBB
manusia
Mencit Fenobarbita 100 mg/ IP 08.05 08.43 11.59 38 196
jantan l 70 menit menit
no 2 kgBB
manusia
Mencit Fenobarbita 100 mg/ IP 08.10 08.59 12.22 49 203
jantan l 70 menit menit
no 3 kgBB
manusia
Mencit Fenobarbita 100 mg/ IP 08.00 08.40 12.17 40 217
betina l 70 menit menit
no 1 kgBB
manusia
Mencit Fenobarbita 100 mg/ IP 08.05 08.37 11.57 32 200
betina l 70 menit menit
no 2 kgBB
manusia
Mencit Fenobarbita 100 mg/ IP 08.10 08.45 11.45 35 180
betina l 70 menit menit
no 3 kgBB
manusia

4.2 Pembahasan

Pemberian obat secara Intra Peritonial yaitu pemberian cairan obat disuntikkan pada
rongga perut. Mencit dipegang dengan cara telentang . Dimana jari tengah dan telunjuk
memegang kepala tikus dengan tangan kiri kemudian kelingking dan jari manis bagian kaki.
Usapkan area kulit yang akan disuntik menggunakan alkohol 70%. Masukkan obat dengan
menggunakan alat suntik 0,1ml dengan dosis Fenobarbital yang sudah dihitung untuk masing-
masing mencit.
Jenis kelamin dapat mempengaruhi efek farmakologi suatu obat. Perbedaan-perbedaan
fisiologi dan biokimia antara jenis jantan dan betina menyebabkan hal ini. Faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi hasil percobaan adalah faktor internal dan faktor eksternal. Adapun faktor
internal yang dapat mempengaruhi hasil percobaan meliputi variasi biologis (usia dan jenis
kelamin) pada usia hewan semakin muda maka semakin cepat reaksi yang ditimbulkan, ras &
sifat genetik, status kesehatan, nutrisi, bobot tubuh dan juga luas permukaan tubuh. Faktor
eksternal yang dapat mempengaruhi hasil percobaan meliputi suplai oksigen, pemeliharaan
lingkungan fisologik pemeliharaan keutuhan struktur ketika menyiapkan jaringan  atau organ
untuk percobaan.

Pada percobaan kali ini didapat hasil yang bervariasi, dimana mencit kelamin jantan
memiliki onset kerja yang lebih lama dibamding dengan mencit betina. Hal ini mungkin saja
terjadi karena bobot dari mencit kelamin jantan yang rata-rata lebih besar dibanding mencit
betina. Karena perbedaan kecepatan memberikan efek obat bisa saja terjadi karena faktor bobot
tubuh dimana bila bobot semakin besar maka onset kerja akan lebih lama. Bisa juga terjadi
karena kesalahan pengambilan dosis pada spuit karena hasil perhitungan volume obat yang
hampir mendekati antar mencit. Atau karena kebisingan di dalam lab yang menyebabkan mencit
lain terbangun lebih dulu.
BAB V

PENUTUP

Kesimpulan

1. Kecepatan onset kerja obat pada mencit dapat dipengaruhi oleh berat badan mencit itu
sendiri, semakin berat atau gemuk suatu mencit maka onset kerja obat akan semakin
lama, sebaliknya semakin ringan atau kurus suatu mencit maka onset kerja obat akan
semakin cepat.
2. Pada praktikum kali ini faktor jenis kelamin tidak menunjukkan hasil yang sama dengan
teori dimana hasil yang didapat adalah mencit kelamin jantan menunjukkan onset kerja
yang lebih lama dari mencit kelamin betina, yang dimana secara teori mencit kelamin
jantan lebih cepat dibanding dengan mencit kelamin betina.
3. Faktor lain yang mempengaruhi onset kerja obat adalah keadaan lingkungan, seperti
kebisingan di dalam laboratorium yang mengakibatkan mencit bangun lebih cepat.
DAFTAR PUSTAKA

1. Gunawan, S.G., 2011. Farmakologi dan Terapi. Edisi V. Jakarta: Departemen Farmakologi
dan Teraupetik FK UI.
2. Katzung, B.G. 2007. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi X. Jakarta: Penerbit Salemba
Medika.
4. Mycek, M.J., dkk. 1995. Farmakologi Ulasan Bergambar. Edisi 2.
5. Mutschler, E. 2006. Dinamika Obat Edisi Kelima. Bandung : Penerbit ITB
6. Tim departemen farmakologi FKUI.2007. Farmakologi dan Terapi. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai