OLEH:
1. OXSA IZULAIL NAFRAMLY (191335300018)
2. INDRIANINGSIH MAWARDI (191335300020)
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya, penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Lupus Erythematous sel (LE SEL) dengan tepat
waktu.
Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hematologi Patologis. Selain itu,
makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang penyakit lupus erythematous sel bagi para
pembaca dan juga bagi penulis.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik
yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................................................... 2
BAB I .............................................................................................................................................. 4
PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 4
BAB II............................................................................................................................................. 6
PEMBAHASAN ............................................................................................................................. 6
2.1 Definisi ............................................................................................................................. 6
2.2 Etiologi dan Sistem imun pada SLE ................................................................................ 6
2.3 Faktor Lingkungan ........................................................................................................... 7
2.4 Faktor Genetik .................................................................................................................. 9
2.5 Fungsi Sel T ................................................................................................................... 10
2.6 Autoantibodi dan SLE .................................................................................................... 11
2.7 Peran Hormon ................................................................................................................ 12
2.8 Manifestasi mukokutaneus ............................................................................................. 13
2.9 Manifestasi pada ginjal................................................................................................... 14
3.0 Manifestasi pada mata .................................................................................................... 15
4.0 Manifestasi Hematologis ................................................................................................ 15
5.0 Diagnosis ........................................................................................................................ 16
6.0 Penatalaksanaan ............................................................................................................. 17
BAB III ......................................................................................................................................... 18
KESIMPULAN ......................................................................................................................... 18
SARAN ..................................................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 19
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
imunologinya yang terlibat. Sampai saat ini, patogenesis SLE masih fokus tentang peran
sel B sebagai sel yang menyintesis antibodi yang selanjutnya membentuk kompleks imun
dan mengaktivasi komplemen sehingga terjadi inflamasi pada berbagai organ dengan
derajat inflamasi yang berebda-beda.
5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Sistem Lupus Erythemtous (SLE) adalah penyakit autoimun kronik yang
melibatkan banyak organ. Ciri khas dari SLE adalah produksi autoantibodi antinuklear
yang mana patogen pembentukan kompleks imun dan aktivasi komplemen menimbulkan
inflamasi dan kerusakan jaringan. SLE merupakan penyakit multigenik, banyak gen yang
terlibat pada patogenesis yang menyebabkan manifestasi pada masing-masing populasi
beragam. Hal ini dibuktikan pada studi famili penderita SLE, risiko kembar monozigot
menderita SLE 54-57%, sedangkan kembar dizigot 2-5%. Risiko munculnya SLE pada
individu didasari adanya gen yang multigenik dan adanya faktor pencetus di lingkungan.
Sinar matahari, infeksi, sinar ultraviolet atau hormonal diduga merupakan faktor
lingkungan yang memicu timbulnya penyakit SLE.
6
kedaan normal sel dendriatik mempertahankan hemostasis respon imun agar tidak timbul
autoimun dan pada SLE aktif ditemukan banyak sel dendrit yang mature.
7
obatan dapat mencetuskan SLE. Sinar UV memiliki banyak efek terhadap sel-sel kulit
seperti merusak rantai DNA sehingga dapat mengubah ekspresi gen atau menyebabkan
apoptosis maupun nekrosis sel. Walaupum sel yang rusak akibat UV tidak mengalami
kematian sel, kerusakan rantai DNA dapat berperan sebagai antigen yang menstimulasi
respons imun. Radiasi UVB menyebabkan terjadinya translokasi antigen Ro/SSA dan
La/SSB dan yang memicu terbentuknya autoantibodi. Dibuktikan bahwa penderita SLE
yang mengalami gejala fotosensitif berkolerasi dengan autoantibodi tersebut ultraviolet
menyebabkan apoptosis dan merangsang produksi IFN yang akan mengaktifkan sistem
imun dengan memicu terbentuknya kompleks imun dan aktivasi sel imun.
8
2.4 Faktor Genetik
Peran gen merupakan faktor yang sangat penting dalam mendasari patogenesis
SLE. Major histocompatibility complex (MHC) merupakan gen yang pertama dikenali
sebagai faktor risiko, MHC ini merupakan gen yang padat aktif melakukan transkripsi
terletak di kromosom. MHC ini terdiri dari klas I dan Klas II yang terlibat dalam
penyajian antigen MHC klas II dengan alel tertentu HLA-DR2 (DRB1*1501) dan HLA-
DR3 (DRB1*0301) merupakan gen yang konsisten sebagai faktor risiko terhadap
penyakit SLE terutama pada populasi kaukasian.
Penyebab SLE bukan gen tunggal namun suatu penyakit yang didasari dengan
multi genetik antara lain tumor necrosis factor α (TNF or TNFA), PTPN22, interferon,
sitokin, gen superkiller viralicidic activity 2 (SKIV2L) sangat banyak terekspresi di Sel
T, B, dan dendritik. Gen G-protein-coupled receptor olfactory receptor 2 (OR2H2), c-
AMP responsive element binding protein-like 1 (CREBL1) MHC class I polypeptide-
related sequence B (MICB).
Meskipun banyak studi menyimpulkan bahwa gen yang mendasari penyakit ini
adalah multigenik namun ada beberapa studi yang melaporkan SLE bisa ditimbulkan oleh
gen tunggal misalnya, antara lain complement component 1q (C1q) subcomponent A
(C1QA), C1QB, C1QC, three-prime repair exonuclease 1 (TREX1), atau
deoxyribonuclease 1-like 3 (DNASE1L3), masing-masing gen ini berperan sendiri-
sendiri dalam menimbulkan disregulasi sistem imun dan setiap individu mempunyai
variasi genetik yang menyebabkan perbedaan dalam manifestasi klinik, aktivitas
penyakit, morbiditas, mortalitas dan prevalensi (Lahita, 2004; Rus et al., 2007). Badai
sitokin tampaknya lebih penting dalam memicu disregulasi sistem imun sebelum
terbentuknya autoantibodi, diduga tidak mutlak adanya autoantibodi dan kompleks imun
saja yang mendasari patogenesis SLE.
Data dari studi asosiasi genome menunjukkan bahwa polimorfisme dalam
sebanyak 50 gen berkontribusi terhadap kerentanan SLE. Penelitian terbaru berfokus
pada gen yang terkait dengan reseptor Tolllike (TLRs), interferon tipe I, jalur regulasi
imun, dan pembersihan kompleks imun yang berhubungan dengan SLE. Berbagai macam
varian gen tersebut memproduksi jenis protein tertentu yang dapat memengaruhi dan
9
mengubah fungsi sistem imun. Hal ini membuktikan bahwa sistem imun berkontribusi
signifkan terhadap terjadinya inflamasi dan kerusakan organ luas pada penyakit SLE.
Berdasarkan laporan studi-studi tentang interferon pada SLE bahwa interferon
diproduksi pada awal penyakit akibat dipicu oleh infeksi dan kadarnya sangat tinggi pada
SLE aktif. Sistem imun bawaan sebagai lini pertama sistem pertahanan tubuh terhadap
serangan mikro organisme dan sebagai regulator sistem imun adaptif. Sistem bawaan
memegang peran penting dalam patogenesis SLE. berdasarkan laporan studi yang
melaporkan adanya peningkatan produksi interferon yang sangat tinggi pada SLE aktif
karena adanya peningkatan ekspresi gene (IFN signature). Interferon tipe I pada kondisi
normal diproduksi sel plasmacytoid dendritic cells (pDC) dalam merespons infeksi virus.
Pada SLE, peningkatan sintesis interferon melalui TLR yang mengenali asam nukleat.
Interferon berperan dalam hilangnya proses toleransi dan aktivasi sel T dan Sel B.
Sebenarnya proses autoimun adalah mirip sistem imun tubuh yang melawan bakteri,
namun pada SLE material sel tubuh dapat memicu aktivasi sistem bawaan maupun
adaptif.
10
toleransi yang mengakibatkan self selalu dikenali sebagai antigen dan sebagai responsnya
maka terbentuk autoantibodi. Antibodi ini disintesis oleh sel plasma yang berasal dari sel
B proses proliferasi dan diferensiasinya sangat oleh sitokin yang dihasilkan oleh Th2
dalam. Berdasarkan ini, sitokin Th2 masih lebih berperan untuk sintesis autoantibodi
meskipun IL 17 dilaporkan mampu menstimulasi sel. Di samping itu, proses diferensiasi
sel T sangat kompleks. Hal ini terjadi akibat sifat plastisitas sel T, yang mana sel T
mampu berdiferensiasi menjadi Treg, belum tentu tetap menjadi Treg. Adanya pengaruh
sitokin IL-6 sel nTreg dapat berubah menjadi Th17 sehingga pada pasien SLE
kemungkinan akan didapatkan peningkatan Th17. Selain itu gangguan keseimbangan
antara Th1 dan Th2 lebih berperan dalam patogenesis SLE apabila dibanding dengan
gangguan keseimbangan antara Th17 dan Treg. Th17 sendiri tidak berhubungan dengan
aktivitas penyakit SLE, namun rasio Th17/Treg yang berhubungan dengan aktivitas
penyakit SLE.
11
terbentuk, misalnya dsDNA dikaitkan dengan manifestasi pada ginjal dan pada serebral.
Autoantibodi yang terbentuk sangat terkait dengan faktor genetik. Oleh karena itu,
manifestasi klinik berbeda-beda pada tiap individu.
SLE penyakit dengan manifestasi sangat heterogen yang ditandai dengan
disfungsi sel T dan sel B yang menyebabkan kerusakan banyak organ akibat immune
mediated. Belum ada standar baku emas laboratorium untuk diagnosis SLE meskipun
pemeriksaan serologi standar untuk SLE adalah pemeriksaan ANA dan dsDNA serta
pengukuran kadar komplemen akan menjadi masalah diagnosis apabila ANA atau
dsDNA hasilnya negatif. Kondisi ini sering dihadapi para klinisi di perifer, sering kali
tidak terdiagnosis, namun bisa terjadi over diagnosis kalau laboratorium sebagai acuan
untuk diagnosis SLE. Pada contoh kasus misalnya pasien wanita muda, demam hilang
timbul selama satu bulan dan dari pemeriksaan fisik tidak dapat kelainan dan hasil
laboratorium ANA positif dengan titer 1: 360. Diperlukan pemahaman patogenesis
perjalanan penyakit serta pemeriksaan muskuloskeletal dengan baik maka diagnosis bisa
ditegakkan.
12
estrogen yang mempunyai peranan dalam patogenesis SLE, namun yang diduga kuat
memengaruhi SLE adalah tingkat metabolisme estrogenik yang abnormal. Selain itu,
kehamilan sering dikaitkan dengan flare penyakit pada SLE karena kehamilan bisa
mengganggu keseimbangan metabolit 16-hidroksiestrogen.
13
2.9 Manifestasi pada ginjal
Gangguan ginjal pada SLE merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang
tinggi. Diperkirakan 90% pasien SLE akan memiliki bukti patologis pada ginjal apabila
dilakukan biopsi, tetapi yang bermanifestasi klinis sebagai lupus nefritis hanya pada 50%
kasus.
Beberapa bentuk kerusakan ginjal pada SLE antara lain glomerulonefritis yang
disebabkan oleh kompleks imun (mekanisme paling umum), gangguan tubulointerstitial,
dan gangguan vaskular. Glomerulonefritis ditandai oleh deposisi kompleks imun dan
infiltrasi sel-sel inflamasi ke dalam glomerulus. Pola jelas sel-sel glomerulus ditentukan
oleh lokasi deposisi kompleks imun. Gangguan tubulointerstitial dan vaskular dapat
terjadi dengan atau tanpa glomerulonefritis. Gangguan tubulointerstitial ditemukan pada
sebanyak 66% spesimen biopsi ginjal dari pasien SLE dan ditandai oleh infiltrat sel-sel
inflamasi, kerusakan tubular, dan fibrosis interstisial. Terjadinya gangguan
tubulointerstitial menjadi prediktor prognosis yang buruk.
Lesi vaskular ginjal yang terjadi pada SLE antara lain vaskulopati lupus,
mikroangiopati trombotik/thrombotic microangiopathy (TMA), vaskulitis, dan sklerosis
vaskular nonspesifik. Vaskulopati lupus didefinisikan sebagai adanya trombus yang
mengandung imunoglobulin dan komplemen di dalam kapiler glomerulus atau lumen
arteriol ginjal tanpa adanya proses inflamasi dinding pembuluh darah. TMA ditandai
dengan terbentuknya trombus fibrin dalam kapiler glomerulus atau lumen arteriol ginjal
dan diduga berhubungan dengan adanya antibodi antifosfolipid.Apabila pasien ditemukan
mengalami TMA, maka diperlukan evaluasi anti-phospholipid antibody syndrome
nephropathy (APSN). Pada pasien SLE yang dicurigai mengalami gangguan ginjal,
biopsi ginjal sangat penting dalam menentukan atau menyingkirkan penyebab-penyebab
lain dan untuk memberikan manajemen yang tepat bagi pasien.
14
3.0 Manifestasi pada mata
SLE dapat memengaruhi fungsi mata dalam berbagai cara. Manifestasi okular
yang paling umum terjadi yaitu keratokonjungtivitis sika, yang mana dapat terjadi tanpa
atau disertai sindrom Sjögren. Gangguan retina yang dapat ditemukan pada pemeriksaan
oftalmoskopi antara lain pendarahan retina, lesi vaskulitis, cotton wool spots, dan hard
exudates. Retinopati SLE diyakini sebagai suatu vaskulopati yang dimediasi kompleks
imun dan/atau akibat proses mikrotrombosis.
Adanya gangguan retina pada SLE telah terbukti berkorelasi dengan lupus
nefritis, CNS lupus, dan adanya antibodi anti-fosfolipid. Episkleritis dan skleritis dapat
terjadi pada SLE, namun uveitis sangat jarang terjadi. Ruam diskoid SLE dapat mengenai
palpebra inferior dan konjungtiva. Glukokortikoid dan agen antimalaria, dua obat yang
biasa digunakan untuk pengobatan SLE, dapat memberikan efek samping pada mata.
15
penelitian terhadap 158 pasien yang baru dengan SLE aktif menunjukkan bahwa 75%
pasien memiliki jumlah limfosit kurang dari 1500 sel/μL. Adanya antibodi limfosititoksik
pada beberapa pasien SLE berkorelasi dengan limfopenia dan dengan eksaserbasi
penyakit. Limfopenia juga bisa terjadi akibat efek samping dari konsumsi glukokortikoid
atau agen imunosupresif lainnya. Neutropenia pada SLE dapat disebabkan oleh
kerusakan yang dimediasi oleh imun atau depresi sumsum tulang.
Selain itu, pada penderita SLE juga terjadi Trombositopenia. Trombositopenia
ringan terjadi pada 50% pasien SLE. Trombositopenia berat juga dapat terjadi pada
pasien SLE walaupun lebih jarang dan biasanya prognosisnya buruk. Trombositopenia
pada SLE dapat disebabkan oleh destruksi trombosit yang dimediasi oleh imun, yang
mana serupa dengan mekanisme pada Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP).
5.0 Diagnosis
Diagnosis SLE tidak mudah karena gambaran klinik penyakit bervariasi sangat
luas. Klinisi bisa curiga bila ada wanita usia muda dengan penyakit sistemik yang
bermanifestasi pada satu organ atau lebih, yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya
dengan keadaan umum yang sangat berat dan dengan gejala hilang timbul. Gambaran
kliniknya didahului dengan gejala konvensional, antara lain demam, nafsu makan turun,
berat badan turun biasanya terjadi pada SLE yang berat, dan fatigue. Selanjutnya diikuti
dengan gejala pada organ, pada individu masing-masing berbeda, gejala fullbloun bisa
terjadi dalam waktu bulan atau bertahun-tahun dengan gejala inflamasi pada satu organ
baru diikuti pada berbagai organ. Pada kulit didapatkan gambaran bercak, disertai gejala
muskuloskeletal nyeri sendi. Bila manifestasinya berat maka muncul gejala-gejala pada
organ yang sifatnya lifethreating diseases.
Meskipun demikian banyak para klinisi menggunakan kriteria klasifikasi untuk
membantu dalam membuat diagnosis di klinik. Keterbatasan klasifikasi bila digunakan
untuk membuat diagnosis adalah ketika kondisi pasien yang jelas secara klinis SLE,
tetapi belum memenuhi kriteria ACR maka akan terlambat dilakukan diagnosis. Hal ini
akan menimbulkan kondisi yang fatal bila organ yang terserang sangat serius.
Keterbatasan lain, yaitu manifestasinya yang sangat luas sedangkan kriteria hanya
mencakup beberapa organ yang masing-masing suku berbeda-beda.
16
Diagnosis banding seringkali dipersempit menjadi satu diagnosis tunggal ada
pemeriksaan laboratorium dan radiologis. Namun bila gejala klinis ini sudah jelas,
laboratorium pendukung tidak terlalu banyak membantu karena pada penyakit rematik
dalam hal ini termasuk serologis bukan merupakan gold standard. Penanda inflamasi
seperti laju endap darah (LED) atau protein C-reaktif dijumpai pada artritis inflamasi.
Pemeriksaan darah lengkap, urine lengkap, faal ginjal, dan faal hati merupakan
pemeriksaan dasar yang dianjurkan selain untuk melihat organ yang terlibat juga dipakai
sebagai patokan keberhasilan pengobatan. Pada pemeriksaan darah lengkap dapat
dijumpai anemia, leukopenia, trombopenia, dan LED yang meningkat. Pada pemeriksaan
urine lengkap untuk melihat proteinuria, hematuria, pada sedimen urine didapatkan cast
eritrisit atau lekosit. Tidak ada gambaran khas pada pemeriksaan laboratorium. Gambaran
laboratorium hanya menunjukkan organ yang terlibat.
6.0 Penatalaksanaan
Tata laksana SLE telah menunjukkan perbaikan sejak beberapa dekade yang lalu
sehingga meningkatkan harapan hidup, namun demikian pasien SLE masih mempunyai
risiko kematian dua kali lipat dibandingkan populasi normal. Tujuan utama tata laksana
SLE adalah mengendalikan aktivitas penyakit dengan meminimalkan kerusakan organ
serta efek samping obat-obatan. Tata laksana SLE sangat bervariasi, oleh karena itu
sedikit sekali konsensus atau studi tentang penilaian konsep remisi atau aktivitas penyakit
yang rendah dan petunjuk bagaimana peratawan SLE jangka panjang. Kondisi ini
menyebabkan tata laksana kurang optimal, karena pendekatan terapi dilakukan secara
personal. Dalam menjalankan tata laksana SLE, diagnosis awal amat sangat penting.
Diagnosis dini mempermudah klinis dalam merawat SLE, serta dapat mengurangi
kerusakan organ dan angka kekambuhan sangat rendah apabila pasien dapat di diagnosis
secara dini. Dekade terakhir, banyak upaya penelitian mencari biomarker aktivitas
penyakit dengan mendeteksi kadar sitokin proinflamasi antara lain IL-5, IL-6, IFN
gamma, dan alpha.
17
BAB III
KESIMPULAN
SARAN
Saran yang bisa penulis berikan perlu adanya metode penelitian lebih lanjut akan upaya
peningkatan penyakit Sistemik Lupus Erythematous (SLE) sebagai salah satu cara menurunkan
gejala SLE di indonesia.
18
DAFTAR PUSTAKA
Yuliasih. (2020). Buku Perkembangan Patogenesis dan tata laksana Systemic Lupus Erythematosus.
1-135.
19