Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

LUPUS ERYTHEMATOUS SEL (LE SEL)

OLEH:
1. OXSA IZULAIL NAFRAMLY (191335300018)
2. INDRIANINGSIH MAWARDI (191335300020)

TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SIDOARJO
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya, penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Lupus Erythematous sel (LE SEL) dengan tepat
waktu.
Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hematologi Patologis. Selain itu,
makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang penyakit lupus erythematous sel bagi para
pembaca dan juga bagi penulis.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik
yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Sidoarjo, 29 September 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................................................... 2
BAB I .............................................................................................................................................. 4
PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 4
BAB II............................................................................................................................................. 6
PEMBAHASAN ............................................................................................................................. 6
2.1 Definisi ............................................................................................................................. 6
2.2 Etiologi dan Sistem imun pada SLE ................................................................................ 6
2.3 Faktor Lingkungan ........................................................................................................... 7
2.4 Faktor Genetik .................................................................................................................. 9
2.5 Fungsi Sel T ................................................................................................................... 10
2.6 Autoantibodi dan SLE .................................................................................................... 11
2.7 Peran Hormon ................................................................................................................ 12
2.8 Manifestasi mukokutaneus ............................................................................................. 13
2.9 Manifestasi pada ginjal................................................................................................... 14
3.0 Manifestasi pada mata .................................................................................................... 15
4.0 Manifestasi Hematologis ................................................................................................ 15
5.0 Diagnosis ........................................................................................................................ 16
6.0 Penatalaksanaan ............................................................................................................. 17
BAB III ......................................................................................................................................... 18
KESIMPULAN ......................................................................................................................... 18
SARAN ..................................................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 19

3
BAB I

PENDAHULUAN

Sistemik Lupus Erythematous (SLE) merupakan suatu penyakit autoimun yang


menyebabkan inflamasi kronis. Penyakit ini terjadi di dalam tubuh akibar sistem
kekebalan tubuh salah menyerang jaringan sehat. Penyakit ini juga merupakan penyakit
multi-sistem dimana banyak manifestasi klinis yang didapat penderita, sehingga setiap
penderita akan mengalami gejala yang berbeda dengan penderita lainnya tergatung dari
organ apa yang diserang oleh antibodi tubuhnya sendiri.
SLE dapat menyerang siapa saja tidak memandang ras apapun. Hanya saja
penyakit ini angka kejadiannya didonimasi oleh perempuan diman perbandingan antara
perempuan dan laki laki adalah 10 : 1. SLE menyerang perempuan pada usia produktif,
puncak insidennya usia antara 15-40.
Awalnya, penyakit SLE hanya dikenali sebagai penyakit kulit karena pada
awalnya diagnosis SLE ditemukan pada wanita dengan bercak merah di pipi. Namun,
setelah dilakukan penelitian selama bertahun-tahun, ternyata penyakit lupus bukan
sekedar penyakit kulit namun penyakit sistemik yang diakibatkan autoimun. Pola
penyebab kematian SLE berbentuk bimodal yang artinya pada awal penyakit
kematiaannya disebabkan aktivitas penyakit dan infeksi, sedangkan penyebab kematian
pada akhir kehidupan penerita SLE ialah kelainan kardiovaskular, yaitu penyakit jantung
koroner akibat efek samping obat-obatan dan aterosklerosis akibat proses autoimun itu
sendiri.
Sistem Lupus Erythematous (SLE) tidak hanya penyakit autoimun sistemik
prototipikal, tetapi juga salah satu penyakit paling heterogen yang harus dikenali oleh
para dokter, ahli genetika dan peneliti klinis. Dalam hal ini, sifat heterogen pada SLE
menyangkut dalam bidang patogenesis, yang mana banyak gen yang terlibat di dalamnya
dan masing-masing orang diperkirakan berbeda-beda karena manifetasi klinisnya yang
berbeda. Patogenesis SLE sebagian dimengerti namun dengan adanya perkembangan
terapi target biologi maka patogenesis SLE masih perlu diungkap lebih dala tentang peran
sel imun sehingga klinisi dapat melakukan terapi dengan tepat sesuai mekanisme

4
imunologinya yang terlibat. Sampai saat ini, patogenesis SLE masih fokus tentang peran
sel B sebagai sel yang menyintesis antibodi yang selanjutnya membentuk kompleks imun
dan mengaktivasi komplemen sehingga terjadi inflamasi pada berbagai organ dengan
derajat inflamasi yang berebda-beda.

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Sistem Lupus Erythemtous (SLE) adalah penyakit autoimun kronik yang
melibatkan banyak organ. Ciri khas dari SLE adalah produksi autoantibodi antinuklear
yang mana patogen pembentukan kompleks imun dan aktivasi komplemen menimbulkan
inflamasi dan kerusakan jaringan. SLE merupakan penyakit multigenik, banyak gen yang
terlibat pada patogenesis yang menyebabkan manifestasi pada masing-masing populasi
beragam. Hal ini dibuktikan pada studi famili penderita SLE, risiko kembar monozigot
menderita SLE 54-57%, sedangkan kembar dizigot 2-5%. Risiko munculnya SLE pada
individu didasari adanya gen yang multigenik dan adanya faktor pencetus di lingkungan.
Sinar matahari, infeksi, sinar ultraviolet atau hormonal diduga merupakan faktor
lingkungan yang memicu timbulnya penyakit SLE.

2.2 Etiologi dan Sistem imun pada SLE


SLE disebabkan oleh interaksi antara kerentanan gen (termasuk alel HLA,
DRB1,IRF5,STAT4,HLA-A1,DR3 dan B8), pengaruh hormonal, dan faktor lingkungan.
Interaksi ketiga faktor ini akan menyebabkan terjadinya respon imun yang abnormal.
Sistem imun yang terlibat dalam SLE, antara lain makrofag, dendritic cells (DCs),
dan netrofil sel B dan sel T. Sel B selanjutnya memproduksi antibodi dan Sel DCs
merupakan antigen presenting cells (APC), fungsinya untuk mengenali perubahan
microenviroment lokal yang kemudian informasinya disampaikan ke sel imun adaptif.
Sel dendrit yang mature berasal dari sel plasmactoid dendritic (pDC) yang memicu
maturasi dendritik bila sel pDC mengenali antigen. Sel dendrit yang mature masuk dalam
sirkulasi yang selanjutnya ke jaringan limfanodus dan bermigrasi ke tempat zona sel T,
kemudian sel T berdiferesiansi menjadi sel efektor Th1, Th2, T17, sel T sitotoksik dan
treg atas bantuan sitokin yang ada di microenvironment. Bila terjadi gangguan
keseimbangan antara Th1 dan Th2, Th17, dan treg akan memicu proses inflamasi.
Inflamasi ini bisa berlanjut terus-menerus bila sel dendritik banyak yang matur. Sel T
yang berdiferesiansi menjadi Th2 menskresi sitokin untuk memicu diferesiansi pada

6
kedaan normal sel dendriatik mempertahankan hemostasis respon imun agar tidak timbul
autoimun dan pada SLE aktif ditemukan banyak sel dendrit yang mature.

Interferon memegang kunci dalam proses patogenesis SLE dengan identifikasi


sitokin ini yang ke depannya dapat dipikirkan terapi interferon pada SLE. Hal ini terbukti
bahwa interferon dapat mempengaruhi perubahan signaling intraseluler. Interferon
berperan dalam hilangnya toleransi dan aktivasi autoreaktif sel T dan B yang selanjutnya
sekresi autoantibodi. Beberapa manifestasi klinis SLE antara lain rash pada kulit, demam
dan leukopenia berhubungan dengan peningkatan kadar IFN, namun tidak semua pasien
SLE kadarnya meningkat. Biasanya pada pasien SLE fase awal sering didapatkan kadar
interferon meningkat yang bisa berasal dari paparan sinar matahari atau infeksi virus.
Pada umumnya, kompleks imun yang mengandung asam nukleat dapat memicu pDC
menskresi IFN seperti pada sttudi genetik yang melaporkan hubungan antara SLE dan
gen yang terlibat dalam produksi dan efek IFN, diduga pada SLE terjadinya peningkatan
interferon diduga karena adanya plimorfisme pada interferon regulatory factor (IRF) -5
yang terekspresi pada sel dendritik dan regulasi gen interferon yang terganggu.
Pada pederita SLE terdapatpeningkatan produksi NET dan terdapat gangguan
fungsi enzim DNA sel yang menyebabkan ekspresi asam nukleat dan protein yang
menyebabkan sel B teraktivasi dan membentuk autoantibodi.

2.3 Faktor Lingkungan


Secara umum, faktor lingkungan yang masih belum diketahui adalah tentang
mekanisme berbagai faktor pencetus lingkungan yang dapat menyebakan SLE. Faktor
lingkungan memiliki peran besar dalam memicu terjadinya SLE. Beberapa faktor
lingkungan antara lain paparan sinar matahari, infeksi mikroba ataupun virus, serta obat-

7
obatan dapat mencetuskan SLE. Sinar UV memiliki banyak efek terhadap sel-sel kulit
seperti merusak rantai DNA sehingga dapat mengubah ekspresi gen atau menyebabkan
apoptosis maupun nekrosis sel. Walaupum sel yang rusak akibat UV tidak mengalami
kematian sel, kerusakan rantai DNA dapat berperan sebagai antigen yang menstimulasi
respons imun. Radiasi UVB menyebabkan terjadinya translokasi antigen Ro/SSA dan
La/SSB dan yang memicu terbentuknya autoantibodi. Dibuktikan bahwa penderita SLE
yang mengalami gejala fotosensitif berkolerasi dengan autoantibodi tersebut ultraviolet
menyebabkan apoptosis dan merangsang produksi IFN yang akan mengaktifkan sistem
imun dengan memicu terbentuknya kompleks imun dan aktivasi sel imun.

Mekanisme faktor lingkungan juga dapat mencakup induksi epitop antigen


didermis atau epidermis, pelepasan materi inti oleh sel kulit yang dirusak oleh cahaya
atau disregulasi sel imun kulit. Berbagai faktor lingkungan lain juga terlibat dalam lupus.
Asam amino esensial L-canavanine jugaa dicurigai sebagai penyebab lupus.
Pajanan terhadap asam amino ini menyebabkan manifestasi singkat autoimun pada
manusia, seperti juga telah terbukti pada kera. Jika penderita mengidap SLE, infeksi yang
umum terjadi pada saluran napas atau saluran kemih seringkali diikuti dengan cetusan
aktvitas penyakit. Studi pada hewan menunjukkan bahwa retrovirus dapat menginduksi
fenomena autoimun mirip SLE.
Pada kasus ini, sinar ultraviolet merupakan faktor pencetus yang jelas karena
menurut anamnesis, pasien mengeluh ruam atau kemerahan pada mukanya menjadi berat
dengan paparan pada sinar matahari. Pada pasien ini juga terjadi infeksi pneumonia.

8
2.4 Faktor Genetik
Peran gen merupakan faktor yang sangat penting dalam mendasari patogenesis
SLE. Major histocompatibility complex (MHC) merupakan gen yang pertama dikenali
sebagai faktor risiko, MHC ini merupakan gen yang padat aktif melakukan transkripsi
terletak di kromosom. MHC ini terdiri dari klas I dan Klas II yang terlibat dalam
penyajian antigen MHC klas II dengan alel tertentu HLA-DR2 (DRB1*1501) dan HLA-
DR3 (DRB1*0301) merupakan gen yang konsisten sebagai faktor risiko terhadap
penyakit SLE terutama pada populasi kaukasian.
Penyebab SLE bukan gen tunggal namun suatu penyakit yang didasari dengan
multi genetik antara lain tumor necrosis factor α (TNF or TNFA), PTPN22, interferon,
sitokin, gen superkiller viralicidic activity 2 (SKIV2L) sangat banyak terekspresi di Sel
T, B, dan dendritik. Gen G-protein-coupled receptor olfactory receptor 2 (OR2H2), c-
AMP responsive element binding protein-like 1 (CREBL1) MHC class I polypeptide-
related sequence B (MICB).
Meskipun banyak studi menyimpulkan bahwa gen yang mendasari penyakit ini
adalah multigenik namun ada beberapa studi yang melaporkan SLE bisa ditimbulkan oleh
gen tunggal misalnya, antara lain complement component 1q (C1q) subcomponent A
(C1QA), C1QB, C1QC, three-prime repair exonuclease 1 (TREX1), atau
deoxyribonuclease 1-like 3 (DNASE1L3), masing-masing gen ini berperan sendiri-
sendiri dalam menimbulkan disregulasi sistem imun dan setiap individu mempunyai
variasi genetik yang menyebabkan perbedaan dalam manifestasi klinik, aktivitas
penyakit, morbiditas, mortalitas dan prevalensi (Lahita, 2004; Rus et al., 2007). Badai
sitokin tampaknya lebih penting dalam memicu disregulasi sistem imun sebelum
terbentuknya autoantibodi, diduga tidak mutlak adanya autoantibodi dan kompleks imun
saja yang mendasari patogenesis SLE.
Data dari studi asosiasi genome menunjukkan bahwa polimorfisme dalam
sebanyak 50 gen berkontribusi terhadap kerentanan SLE. Penelitian terbaru berfokus
pada gen yang terkait dengan reseptor Tolllike (TLRs), interferon tipe I, jalur regulasi
imun, dan pembersihan kompleks imun yang berhubungan dengan SLE. Berbagai macam
varian gen tersebut memproduksi jenis protein tertentu yang dapat memengaruhi dan

9
mengubah fungsi sistem imun. Hal ini membuktikan bahwa sistem imun berkontribusi
signifkan terhadap terjadinya inflamasi dan kerusakan organ luas pada penyakit SLE.
Berdasarkan laporan studi-studi tentang interferon pada SLE bahwa interferon
diproduksi pada awal penyakit akibat dipicu oleh infeksi dan kadarnya sangat tinggi pada
SLE aktif. Sistem imun bawaan sebagai lini pertama sistem pertahanan tubuh terhadap
serangan mikro organisme dan sebagai regulator sistem imun adaptif. Sistem bawaan
memegang peran penting dalam patogenesis SLE. berdasarkan laporan studi yang
melaporkan adanya peningkatan produksi interferon yang sangat tinggi pada SLE aktif
karena adanya peningkatan ekspresi gene (IFN signature). Interferon tipe I pada kondisi
normal diproduksi sel plasmacytoid dendritic cells (pDC) dalam merespons infeksi virus.
Pada SLE, peningkatan sintesis interferon melalui TLR yang mengenali asam nukleat.
Interferon berperan dalam hilangnya proses toleransi dan aktivasi sel T dan Sel B.
Sebenarnya proses autoimun adalah mirip sistem imun tubuh yang melawan bakteri,
namun pada SLE material sel tubuh dapat memicu aktivasi sistem bawaan maupun
adaptif.

2.5 Fungsi Sel T


Fungsi dari sel T (T-cells) pada pasien SLE telah diketahui banyak perannya
dalam patogenesis SLE. Fungsinya antara lain mensekresi sitokin, memicu proliferasi sel,
dan fungsi regulasi sistem imun melalui Treg pada SLE dilaporkan kadar Treg menurun
sehingga tidak ada pengontrol sel T yang autoreaktif. Peran lain dari sel T CD4+ (Th2)
menstimulasi sel B untuk menyintesis autoantibodi. Meskipun beberapa percobaan in
vitro mendukung peran sitokin seperti IL-21 dan B-cell activating factor (BAFF)/B
lymphocyte stimulator (BLyS) dan ligan TLR untuk memperantarai produksi antibodi
sel B, namun sel T dilaporkan sebagai mediator yang paling efisien memicu diferensiasi
sel B.
Selain itu, gangguan Th1 dan Th2 merupakan paradigma patogenesis SLE, namun
sejak ditemukannya Th17 paradigma tersebut mulai bergeser. Diduga mempunyai peran
besar dalam patogenesis SLE adalah gangguan keseimbangan Th17 dan Treg.
Peningkatan Th17 pada pasien SLE mengakibatkan produksi sitokin proinflamasi
dan kemokin secara berlebihan sehingga lingkungan tubuh pasien SLE akan selalu dalam
kondisi mengalami inflamasi. Pada pasien SLE juga didapatkan kegagalan mekanisme

10
toleransi yang mengakibatkan self selalu dikenali sebagai antigen dan sebagai responsnya
maka terbentuk autoantibodi. Antibodi ini disintesis oleh sel plasma yang berasal dari sel
B proses proliferasi dan diferensiasinya sangat oleh sitokin yang dihasilkan oleh Th2
dalam. Berdasarkan ini, sitokin Th2 masih lebih berperan untuk sintesis autoantibodi
meskipun IL 17 dilaporkan mampu menstimulasi sel. Di samping itu, proses diferensiasi
sel T sangat kompleks. Hal ini terjadi akibat sifat plastisitas sel T, yang mana sel T
mampu berdiferensiasi menjadi Treg, belum tentu tetap menjadi Treg. Adanya pengaruh
sitokin IL-6 sel nTreg dapat berubah menjadi Th17 sehingga pada pasien SLE
kemungkinan akan didapatkan peningkatan Th17. Selain itu gangguan keseimbangan
antara Th1 dan Th2 lebih berperan dalam patogenesis SLE apabila dibanding dengan
gangguan keseimbangan antara Th17 dan Treg. Th17 sendiri tidak berhubungan dengan
aktivitas penyakit SLE, namun rasio Th17/Treg yang berhubungan dengan aktivitas
penyakit SLE.

2.6 Autoantibodi dan SLE


Autoantibodi pada SLE dilaporkan melebihi lebih dari 100 autoantibodi karena
target antigen pada SLE adalah sel dan seluruh komponennya, yaitu inti sel, dinding sel,
sitoplasma, dan partikel nukleoprotein (nukleosum, histone, ribosome, dsDNA, RNP).
Karena ada berbagai macam antigen yang dipresentasikan maka di dalam tubuh penderita
SLE akan membentuk berbagai macam autoantibodi. Beberapa penelitian menyebutkan
bahwa antibodi-antibodi ini bisa terdeteksi sebelum gejala klinik timbul.
Adanya Fas mediated apoptosis merupakan inti terjadinya kegagalan self
tolerance. Dilaporkan bahwa pada penderita SLE, FasR mempunyai ekspresi yang lebih
tinggi dibanding populasi normal. Antigen driven autoantibody production adalah
karakteristik dari penyakit SLE. Pada intinya proses autoimun dimulai dengan hilangnya
toleransi baik central dan perifer sehingga sel T mengenali self-antigen. Setelah hilang
faktor toleransi ini maka dimulailah sel T autorektif dan diikuti sel B yang akhirnya
membentuk autoantibodi.
Dasar gangguan fungsi organ karena SLE adalah adanya inflamasi pada vaskuler
yaitu yang sering disebut vaskulitis. Beberapa sitokin yang diduga terlibat yaitu TNFα,
interferon, IL-6, dan sitokin proinflamasi lainnya. Manifestasi organ pada SLE sulit
diprediksi, pada beberapa laporan dikatakan ada kaitannya dengan antibodi yang

11
terbentuk, misalnya dsDNA dikaitkan dengan manifestasi pada ginjal dan pada serebral.
Autoantibodi yang terbentuk sangat terkait dengan faktor genetik. Oleh karena itu,
manifestasi klinik berbeda-beda pada tiap individu.
SLE penyakit dengan manifestasi sangat heterogen yang ditandai dengan
disfungsi sel T dan sel B yang menyebabkan kerusakan banyak organ akibat immune
mediated. Belum ada standar baku emas laboratorium untuk diagnosis SLE meskipun
pemeriksaan serologi standar untuk SLE adalah pemeriksaan ANA dan dsDNA serta
pengukuran kadar komplemen akan menjadi masalah diagnosis apabila ANA atau
dsDNA hasilnya negatif. Kondisi ini sering dihadapi para klinisi di perifer, sering kali
tidak terdiagnosis, namun bisa terjadi over diagnosis kalau laboratorium sebagai acuan
untuk diagnosis SLE. Pada contoh kasus misalnya pasien wanita muda, demam hilang
timbul selama satu bulan dan dari pemeriksaan fisik tidak dapat kelainan dan hasil
laboratorium ANA positif dengan titer 1: 360. Diperlukan pemahaman patogenesis
perjalanan penyakit serta pemeriksaan muskuloskeletal dengan baik maka diagnosis bisa
ditegakkan.

2.7 Peran Hormon


Hormon yang diduga terkait dengan SLE yaitu estrogen dan prolaktin. pada
hewan menunjukkan bahwa estrogen meningkatkan proliferasi sel B dan sintesis
antibodi. Pada pasien SLE didapatkan kadar estrogen dan prolaktin yang tinggi dibanding
populasi normal. Reseptor estrogen dan prolaktin terdapat pada sel B, sel T, makrofag
dan sel endotel. Peran estrogen pada SLE mengaktifkan proliferasi sel T dan sel B.
Dibuktikan pada pasien SLE kadar estradiol lebih tinggi pada wanita-wanita yang
menderita SLE. Kehamilan meningkatkan risiko terjadinya kekambuhan. Efek estrogen
pada sel T dan Sel B masih belum dimengerti sepenuhnya. Dari laporan studi uji coba
binatang menyebutkan bahwa timus sensitif terhadap hormon gonadal yang ditunjukkan
dengan cara tikus yang diberi estrogen. Dilaporkan juga adanya reseptor estrogen dapat
ditemukan pada sel T dan B, estrogen mempunyai efek langsung pada sel T Dan B. Efek
lain estrogen yaitu memicu sekresi sitokin dan meningkatkan fungsi sitokin.
Meskipun estrogen dapat untuk menjelaskan perbedaan insiden antara perempuan
dan laki-laki, tetapi pengukuran kadar estradiol plasma tidak mengungkapkan perbedaan
yang signifikan antara wanita normal dan wanita dengan SLE; namun bukan kadar

12
estrogen yang mempunyai peranan dalam patogenesis SLE, namun yang diduga kuat
memengaruhi SLE adalah tingkat metabolisme estrogenik yang abnormal. Selain itu,
kehamilan sering dikaitkan dengan flare penyakit pada SLE karena kehamilan bisa
mengganggu keseimbangan metabolit 16-hidroksiestrogen.

2.8 Manifestasi mukokutaneus


Manifestasi kulit pada SLE merupakan manifestasi yang relatif sering dijumpai.
Beberapa manifestasi kulit menentukan morbiditas antara lain manifestasi kulit yang
nyeri dan alopecia. Manifestasi kulit pada SLE dibagi menjadi lesi spesifik dan lesi
nonspesifik. Akut kutaneus lupus merupakan manifestasi kulit yang nonspesifik
berhubungan dengan penyakit yang sistemik, sedangkan lesi nonspesifik berhubungan
dengan aktivitas penyakit. Oleh karena itu, manifestasi kulit juga harus dimengerti
sehingga dapat membantu diagnosis dan melakukan terapi yang efisien. Manifestasi kulit
juga merupakan manifestasi yang sangat penting dievaluasi dalam menentukan terapi
serta menilai prognosis. Manifestasi kulit ini sangat heterogen, tiap etnis memiliki
manifestasi berbeda-beda. Hal ini menunjukkan bahwa manifestasi kulit tergantung
faktor genetik.
Fotosensitivitas berhubungan dengan lesi pada kulit sudah diteliti secara
mendalam.Sinar ultra violet menimbulkan inflamasi melalui antibody-mediated
cytotoxicity yang menyebabkan kerusakan jaringan sinar ultraviolet A. UVA (320–400
nm) dan B (UVB) (290– 320 nm) diperkirakan pemicu perbedaaan mekanisme. Dalam
suatu penelitian, tes provokasi terhadap sinar ultraviolet A, ultraviolet B, atau cahaya
tampak dapat menyebabkan reaksi kulit abnormal pada lebih dari 90% pasien lupus.
Selain itu, sinar UVB memodulasi sistem imun dengan cara mengaktifkan sistem imun
melalui sitokin yang beredar antara lain IL-1, TNF-α, intracellular adhesion molecule-1
(ICAM-1), dan HLA-DR yang terekspresi di sel kulit. Potosensitivitas ini pada umumnya
ditemukan sekitar 50-93%. Kebanyakan reaksi kulit yang tidak wajar terjadi 1-2 minggu
setelah paparan cahaya dan bertahan dalam beberapa minggu hingga bulan. Pasien yang
fotosensitif melaporkan memburuknya gejala penyakit sistemik, seperti kelelahan dan
nyeri sendi setelah paparan sinar matahari.

13
2.9 Manifestasi pada ginjal
Gangguan ginjal pada SLE merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang
tinggi. Diperkirakan 90% pasien SLE akan memiliki bukti patologis pada ginjal apabila
dilakukan biopsi, tetapi yang bermanifestasi klinis sebagai lupus nefritis hanya pada 50%
kasus.
Beberapa bentuk kerusakan ginjal pada SLE antara lain glomerulonefritis yang
disebabkan oleh kompleks imun (mekanisme paling umum), gangguan tubulointerstitial,
dan gangguan vaskular. Glomerulonefritis ditandai oleh deposisi kompleks imun dan
infiltrasi sel-sel inflamasi ke dalam glomerulus. Pola jelas sel-sel glomerulus ditentukan
oleh lokasi deposisi kompleks imun. Gangguan tubulointerstitial dan vaskular dapat
terjadi dengan atau tanpa glomerulonefritis. Gangguan tubulointerstitial ditemukan pada
sebanyak 66% spesimen biopsi ginjal dari pasien SLE dan ditandai oleh infiltrat sel-sel
inflamasi, kerusakan tubular, dan fibrosis interstisial. Terjadinya gangguan
tubulointerstitial menjadi prediktor prognosis yang buruk.
Lesi vaskular ginjal yang terjadi pada SLE antara lain vaskulopati lupus,
mikroangiopati trombotik/thrombotic microangiopathy (TMA), vaskulitis, dan sklerosis
vaskular nonspesifik. Vaskulopati lupus didefinisikan sebagai adanya trombus yang
mengandung imunoglobulin dan komplemen di dalam kapiler glomerulus atau lumen
arteriol ginjal tanpa adanya proses inflamasi dinding pembuluh darah. TMA ditandai
dengan terbentuknya trombus fibrin dalam kapiler glomerulus atau lumen arteriol ginjal
dan diduga berhubungan dengan adanya antibodi antifosfolipid.Apabila pasien ditemukan
mengalami TMA, maka diperlukan evaluasi anti-phospholipid antibody syndrome
nephropathy (APSN). Pada pasien SLE yang dicurigai mengalami gangguan ginjal,
biopsi ginjal sangat penting dalam menentukan atau menyingkirkan penyebab-penyebab
lain dan untuk memberikan manajemen yang tepat bagi pasien.

14
3.0 Manifestasi pada mata
SLE dapat memengaruhi fungsi mata dalam berbagai cara. Manifestasi okular
yang paling umum terjadi yaitu keratokonjungtivitis sika, yang mana dapat terjadi tanpa
atau disertai sindrom Sjögren. Gangguan retina yang dapat ditemukan pada pemeriksaan
oftalmoskopi antara lain pendarahan retina, lesi vaskulitis, cotton wool spots, dan hard
exudates. Retinopati SLE diyakini sebagai suatu vaskulopati yang dimediasi kompleks
imun dan/atau akibat proses mikrotrombosis.
Adanya gangguan retina pada SLE telah terbukti berkorelasi dengan lupus
nefritis, CNS lupus, dan adanya antibodi anti-fosfolipid. Episkleritis dan skleritis dapat
terjadi pada SLE, namun uveitis sangat jarang terjadi. Ruam diskoid SLE dapat mengenai
palpebra inferior dan konjungtiva. Glukokortikoid dan agen antimalaria, dua obat yang
biasa digunakan untuk pengobatan SLE, dapat memberikan efek samping pada mata.

4.0 Manifestasi Hematologis


Anemia penyakit kronis merupakan anemia yang paling umum terjadi pada SLE.
Anemia ini ditandai dengan sel eritrosit normokromik-normositik, besi serum rendah,
transferin rendah, dan feritin serum normal hingga meningkat. Anemia penyakit kronis
dapat terjadi bersamaan dengan anemia yang disebabkan dari proses lain. Anemia
Hemolitik Autoimun atau Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) harus dicurigai
apabila terdapat kelainan hasil laboratorium seperti peningkatan bilirubin tak
terkonjugasi, peningkatan enzim laktat dehidrogenase (LDH), peningkatan jumlah
retikulosit, dan menurunnya haptoglobin.
Apabila pada pasien SLE terjadi Microangiopathic hemolytic anemia (MAHA),
yang ditandai dengan adanya schistocytes pada hapusan darah tepi, maka harus segera
dipertimbangkan kemungkinan terjadinya thrombotic thrombocytopenic purpura-
hemolytic uremic syndrome (TTP-HUS). TTP adalah sindrom yang terdiri atas MAHA,
trombositopenia, demam, gejala neurologis, dan keterlibatan ginjal yang mungkin
berhubungan dengan SLE. Penyebab lain anemia pada pasien SLE bisa berupa
pendarahan, insufisiensi ginjal, aplasia sel darah merah murni, dan mielotoksisitas yang
disebabkan pengobatan.
Pada penederita SLE juga terjadi Leukopenia, leukopenia terjadi pada sekitar 50%
pasien SLE dan dapat terjadi sekunder akibat limfopenia dan/atau neutropenia. Suatu

15
penelitian terhadap 158 pasien yang baru dengan SLE aktif menunjukkan bahwa 75%
pasien memiliki jumlah limfosit kurang dari 1500 sel/μL. Adanya antibodi limfosititoksik
pada beberapa pasien SLE berkorelasi dengan limfopenia dan dengan eksaserbasi
penyakit. Limfopenia juga bisa terjadi akibat efek samping dari konsumsi glukokortikoid
atau agen imunosupresif lainnya. Neutropenia pada SLE dapat disebabkan oleh
kerusakan yang dimediasi oleh imun atau depresi sumsum tulang.
Selain itu, pada penderita SLE juga terjadi Trombositopenia. Trombositopenia
ringan terjadi pada 50% pasien SLE. Trombositopenia berat juga dapat terjadi pada
pasien SLE walaupun lebih jarang dan biasanya prognosisnya buruk. Trombositopenia
pada SLE dapat disebabkan oleh destruksi trombosit yang dimediasi oleh imun, yang
mana serupa dengan mekanisme pada Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP).

5.0 Diagnosis
Diagnosis SLE tidak mudah karena gambaran klinik penyakit bervariasi sangat
luas. Klinisi bisa curiga bila ada wanita usia muda dengan penyakit sistemik yang
bermanifestasi pada satu organ atau lebih, yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya
dengan keadaan umum yang sangat berat dan dengan gejala hilang timbul. Gambaran
kliniknya didahului dengan gejala konvensional, antara lain demam, nafsu makan turun,
berat badan turun biasanya terjadi pada SLE yang berat, dan fatigue. Selanjutnya diikuti
dengan gejala pada organ, pada individu masing-masing berbeda, gejala fullbloun bisa
terjadi dalam waktu bulan atau bertahun-tahun dengan gejala inflamasi pada satu organ
baru diikuti pada berbagai organ. Pada kulit didapatkan gambaran bercak, disertai gejala
muskuloskeletal nyeri sendi. Bila manifestasinya berat maka muncul gejala-gejala pada
organ yang sifatnya lifethreating diseases.
Meskipun demikian banyak para klinisi menggunakan kriteria klasifikasi untuk
membantu dalam membuat diagnosis di klinik. Keterbatasan klasifikasi bila digunakan
untuk membuat diagnosis adalah ketika kondisi pasien yang jelas secara klinis SLE,
tetapi belum memenuhi kriteria ACR maka akan terlambat dilakukan diagnosis. Hal ini
akan menimbulkan kondisi yang fatal bila organ yang terserang sangat serius.
Keterbatasan lain, yaitu manifestasinya yang sangat luas sedangkan kriteria hanya
mencakup beberapa organ yang masing-masing suku berbeda-beda.

16
Diagnosis banding seringkali dipersempit menjadi satu diagnosis tunggal ada
pemeriksaan laboratorium dan radiologis. Namun bila gejala klinis ini sudah jelas,
laboratorium pendukung tidak terlalu banyak membantu karena pada penyakit rematik
dalam hal ini termasuk serologis bukan merupakan gold standard. Penanda inflamasi
seperti laju endap darah (LED) atau protein C-reaktif dijumpai pada artritis inflamasi.
Pemeriksaan darah lengkap, urine lengkap, faal ginjal, dan faal hati merupakan
pemeriksaan dasar yang dianjurkan selain untuk melihat organ yang terlibat juga dipakai
sebagai patokan keberhasilan pengobatan. Pada pemeriksaan darah lengkap dapat
dijumpai anemia, leukopenia, trombopenia, dan LED yang meningkat. Pada pemeriksaan
urine lengkap untuk melihat proteinuria, hematuria, pada sedimen urine didapatkan cast
eritrisit atau lekosit. Tidak ada gambaran khas pada pemeriksaan laboratorium. Gambaran
laboratorium hanya menunjukkan organ yang terlibat.

6.0 Penatalaksanaan
Tata laksana SLE telah menunjukkan perbaikan sejak beberapa dekade yang lalu
sehingga meningkatkan harapan hidup, namun demikian pasien SLE masih mempunyai
risiko kematian dua kali lipat dibandingkan populasi normal. Tujuan utama tata laksana
SLE adalah mengendalikan aktivitas penyakit dengan meminimalkan kerusakan organ
serta efek samping obat-obatan. Tata laksana SLE sangat bervariasi, oleh karena itu
sedikit sekali konsensus atau studi tentang penilaian konsep remisi atau aktivitas penyakit
yang rendah dan petunjuk bagaimana peratawan SLE jangka panjang. Kondisi ini
menyebabkan tata laksana kurang optimal, karena pendekatan terapi dilakukan secara
personal. Dalam menjalankan tata laksana SLE, diagnosis awal amat sangat penting.
Diagnosis dini mempermudah klinis dalam merawat SLE, serta dapat mengurangi
kerusakan organ dan angka kekambuhan sangat rendah apabila pasien dapat di diagnosis
secara dini. Dekade terakhir, banyak upaya penelitian mencari biomarker aktivitas
penyakit dengan mendeteksi kadar sitokin proinflamasi antara lain IL-5, IL-6, IFN
gamma, dan alpha.

17
BAB III

KESIMPULAN

Sistemik Lupus Erythematous (SLE) merupakan suatu penyakit autoimun yang


menyebabkan inflamasi kronis. Penyakit ini juga merupakan penyakit multi-sistem dimana
banyak manifestasi yang didapat penderita, sehingga setiap penderita akan mengalami gejala
yang berbeda dengan penderita lainnya tergatung dari organ apa yang diserang oleh antibodi
pada tubuhnya sendiri. SLE dapat menyerang siapa saja tidak memandang ras apapun. Awalnya,
penyakit SLE dikenal sebagai penyakit kulit karena pada awalnya diagnosis SLE ditemukan pada
wanita dengan bercak merah di pipi. Namun, setelah dilakukan penelitian selama bertahun-tahun,
ternyata lupus bukan sekedar penyakit kulit namun penyakit sistemik yang diakibatkan
autoimun. Sistem Lupus Eritematosa (SLE) tidak hanya penyakit sistem sistemik
prototipikal, tetapi juga salah satu penyakit paling heterogen yang harus dikenal oleh para dokter,
ahli genetika dan peneliti klinis. Patogenesis SLE Sebagian Namun Namun dengan adanya
perkembangan terapi target biologis maka patogenesis SLE masih perlu diungkapkan lebih lanjut
tentang peran sel imun sehingga secara klinis dapat melakukan terapi dengan tepat sesuai
mekanisme imunologinya yang terlibat.

SARAN
Saran yang bisa penulis berikan perlu adanya metode penelitian lebih lanjut akan upaya
peningkatan penyakit Sistemik Lupus Erythematous (SLE) sebagai salah satu cara menurunkan
gejala SLE di indonesia.

18
DAFTAR PUSTAKA
Yuliasih. (2020). Buku Perkembangan Patogenesis dan tata laksana Systemic Lupus Erythematosus.
1-135.

Muthusamy, V. (2017). Systemic Lupus Erythematous. 1-26.

19

Anda mungkin juga menyukai