Anda di halaman 1dari 19

SISTEM LUPUS ERYTHEMATOUS

(SLE)
Nama Kelompok:
1. Oxsa izulail Naframly (191335300018)
2. Indrianingsih Mawardi (191335300020)
Sistem Lupus Erythemtous (SLE) adalah
penyakit autoimun kronik yang melibatkan
banyak organ. Ciri khas dari SLE adalah
produksi autoantibodi antinuklear yang mana
patogen pembentukan kompleks imun dan
aktivasi komplemen menimbulkan inflamasi dan
kerusakan jaringan. SLE merupakan penyakit
multigenik, banyak gen yang terlibat pada
patogenesis yang menyebabkan manifestasi pada
masing-masing populasi beragam.
Etiologi dan Sistem imun pada SLE
SLE disebabkan oleh interaksi antara kerentanan gen (termasuk alel HLA,
DRB1,IRF5,STAT4,HLA-A1,DR3 dan B8), pengaruh hormonal, dan faktor
lingkungan. Interaksi ketiga faktor ini akan menyebabkan terjadinya
respon imun yang abnormal. Sistem imun yang terlibat dalam SLE, antara
lain makrofag, dendritic cells (DCs), dan netrofil sel B dan sel T. Sel B
selanjutnya memproduksi antibodi dan Sel DCs merupakan antigen
presenting cells (APC), fungsinya untuk mengenali perubahan
microenviroment lokal yang kemudian informasinya disampaikan ke sel
imun adaptif.
Interferon memegang kunci dalam proses patogenesis SLE dengan
identifikasi sitokin ini yang ke depannya dapat dipikirkan terapi interferon
pada SLE. Hal ini terbukti bahwa interferon dapat mempengaruhi
perubahan signaling intraseluler. Interferon berperan dalam hilangnya
toleransi dan aktivasi autoreaktif sel T dan B yang selanjutnya sekresi
autoantibodi. Beberapa manifestasi klinis SLE antara lain rash pada kulit,
demam dan leukopenia berhubungan dengan peningkatan kadar IFN,
namun tidak semua pasien SLE kadarnya meningkat. Biasanya pada
pasien SLE fase awal sering didapatkan kadar interferon meningkat yang
bisa berasal dari paparan sinar matahari atau infeksi virus.
Faktor Lingkungan
faktor lingkungan yang masih belum diketahui adalah tentang
mekanisme berbagai faktor pencetus lingkungan yang dapat
menyebakan SLE. Faktor lingkungan memiliki peran besar dalam
memicu terjadinya SLE. Beberapa faktor lingkungan antara lain paparan
sinar matahari, infeksi mikroba ataupun virus, serta obat-obatan dapat
mencetuskan SLE. Sinar UV memiliki banyak efek terhadap sel-sel kulit
seperti merusak rantai DNA sehingga dapat mengubah ekspresi gen
atau menyebabkan apoptosis maupun nekrosis sel. Walaupum sel yang
rusak akibat UV tidak mengalami kematian sel, kerusakan rantai DNA
dapat berperan sebagai antigen yang menstimulasi respons imun.
Mekanisme faktor lingkungan juga dapat mencakup induksi epitop
antigen didermis atau epidermis, pelepasan materi inti oleh sel kulit
yang dirusak oleh cahaya atau disregulasi sel imun kulit. Berbagai faktor
lingkungan lain juga terlibat dalam lupus.
Pada kasus ini, sinar ultraviolet merupakan faktor pencetus yang jelas
karena menurut anamnesis, pasien mengeluh ruam atau kemerahan
pada mukanya menjadi berat dengan paparan pada sinar matahari.
Pada pasien ini juga terjadi infeksi pneumonia.
Faktor Genetik
Peran gen merupakan faktor yang sangat penting dalam mendasari
patogenesis SLE. Major histocompatibility complex (MHC) merupakan gen
yang pertama dikenali sebagai faktor risiko, MHC ini merupakan gen yang
padat aktif melakukan transkripsi terletak di kromosom. Penyebab SLE
bukan gen tunggal namun suatu penyakit yang didasari dengan multi
genetik antara lain tumor necrosis factor α (TNF or TNFA), PTPN22,
interferon, sitokin, gen superkiller viralicidic activity 2 (SKIV2L) sangat
banyak terekspresi di Sel T, B, dan dendritik. Gen G-protein-coupled
receptor olfactory receptor 2 (OR2H2), c-AMP responsive element binding
protein-like 1 (CREBL1) MHC class I polypeptide-related sequence B
(MICB).
Data dari studi asosiasi genome menunjukkan bahwa polimorfisme
dalam sebanyak 50 gen berkontribusi terhadap kerentanan SLE. Penelitian
terbaru berfokus pada gen yang terkait dengan reseptor Tolllike (TLRs),
interferon tipe I, jalur regulasi imun, dan pembersihan kompleks imun yang
berhubungan dengan SLE. Berdasarkan laporan studi-studi tentang
interferon pada SLE bahwa interferon diproduksi pada awal penyakit akibat
dipicu oleh infeksi dan kadarnya sangat tinggi pada SLE aktif. Sistem imun
bawaan sebagai lini pertama sistem pertahanan tubuh terhadap serangan
mikro organisme dan sebagai regulator sistem imun adaptif. Sistem
bawaan memegang peran penting dalam patogenesis SLE.
Fungsi Sel T
Fungsi dari sel T (T-cells) pada pasien SLE telah diketahui
banyak perannya dalam patogenesis SLE. Fungsinya antara lain
mensekresi sitokin, memicu proliferasi sel, dan fungsi regulasi
sistem imun melalui Treg pada SLE dilaporkan kadar Treg menurun
sehingga tidak ada pengontrol sel T yang autoreaktif. Peran lain
dari sel T CD4+ (Th2) menstimulasi sel B untuk menyintesis
autoantibodi. Meskipun beberapa percobaan in vitro mendukung
peran sitokin seperti IL-21 dan B-cell activating factor (BAFF)/B
lymphocyte stimulator (BLyS) dan ligan TLR untuk memperantarai
produksi antibodi sel B, namun sel T dilaporkan sebagai mediator
yang paling efisien memicu diferensiasi sel B.
Selain itu, gangguan Th1 dan Th2 merupakan paradigma
patogenesis SLE, namun sejak ditemukannya Th17 paradigma
tersebut mulai bergeser. Diduga mempunyai peran besar dalam
patogenesis SLE adalah gangguan keseimbangan Th17 dan Treg.
Autoantibodi dan SLE
Autoantibodi pada SLE dilaporkan melebihi lebih dari 100 autoantibodi
karena target antigen pada SLE adalah sel dan seluruh komponennya,
yaitu inti sel, dinding sel, sitoplasma, dan partikel nukleoprotein
(nukleosum, histone, ribosome, dsDNA, RNP). Karena ada berbagai
macam antigen yang dipresentasikan maka di dalam tubuh penderita
SLE akan membentuk berbagai macam autoantibodi. Beberapa
penelitian menyebutkan bahwa antibodi-antibodi ini bisa terdeteksi
sebelum gejala klinik timbul.
Dilaporkan bahwa pada penderita SLE, FasR mempunyai ekspresi yang
lebih tinggi dibanding populasi normal. Antigen driven autoantibody
production adalah karakteristik dari penyakit SLE. Pada intinya proses
autoimun dimulai dengan hilangnya toleransi baik central dan perifer
sehingga sel T mengenali self-antigen. Setelah hilang faktor toleransi ini
maka dimulailah sel T autorektif dan diikuti sel B yang akhirnya
membentuk autoantibodi. Dasar gangguan fungsi organ karena SLE
adalah adanya inflamasi pada vaskuler yaitu yang sering disebut
vaskulitis.
SLE penyakit dengan manifestasi sangat heterogen yang
ditandai dengan disfungsi sel T dan sel B yang menyebabkan
kerusakan banyak organ akibat immune mediated. Belum ada
standar baku emas laboratorium untuk diagnosis SLE meskipun
pemeriksaan serologi standar untuk SLE adalah pemeriksaan
ANA dan dsDNA serta pengukuran kadar komplemen akan
menjadi masalah diagnosis apabila ANA atau dsDNA hasilnya
negatif. Kondisi ini sering dihadapi para klinisi di perifer, sering
kali tidak terdiagnosis, namun bisa terjadi over diagnosis kalau
laboratorium sebagai acuan untuk diagnosis SLE.
Peran Hormon
Hormon yang diduga terkait dengan SLE yaitu estrogen dan prolaktin. pada
hewan menunjukkan bahwa estrogen meningkatkan proliferasi sel B dan
sintesis antibodi.
Pada pasien SLE didapatkan kadar estrogen dan prolaktin yang tinggi
dibanding populasi normal. Peran estrogen pada SLE mengaktifkan
proliferasi sel T dan sel B. Dibuktikan pada pasien SLE kadar estradiol
lebih tinggi pada wanita-wanita yang menderita SLE. Kehamilan
meningkatkan risiko terjadinya kekambuhan.
Meskipun estrogen dapat untuk menjelaskan perbedaan insiden antara
perempuan dan laki-laki, tetapi pengukuran kadar estradiol plasma tidak
mengungkapkan perbedaan yang signifikan antara wanita normal dan
wanita dengan SLE; namun bukan kadar estrogen yang mempunyai
peranan dalam patogenesis SLE, namun yang diduga kuat memengaruhi
SLE adalah tingkat metabolisme estrogenik yang abnormal. Selain itu,
kehamilan sering dikaitkan dengan flare penyakit pada SLE karena
kehamilan bisa mengganggu keseimbangan metabolit 16-hidroksiestrogen.
Manifestasi mukokutaneus
Manifestasi kulit pada SLE merupakan manifestasi yang relatif
sering dijumpai. Beberapa manifestasi kulit menentukan morbiditas
antara lain manifestasi kulit yang nyeri dan alopecia. Manifestasi kulit
juga merupakan manifestasi yang sangat penting dievaluasi dalam
menentukan terapi serta menilai prognosis. Manifestasi kulit ini sangat
heterogen, tiap etnis memiliki manifestasi berbeda-beda. Hal ini
menunjukkan bahwa manifestasi kulit tergantung faktor genetik.
Manifestasi pada ginjal
Gangguan ginjal pada SLE merupakan penyebab
morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Diperkirakan 90% pasien
SLE akan memiliki bukti patologis pada ginjal apabila dilakukan
biopsi, tetapi yang bermanifestasi klinis sebagai lupus nefritis
hanya pada 50% kasus.
Beberapa bentuk kerusakan ginjal pada SLE antara lain
glomerulonefritis yang disebabkan oleh kompleks imun
(mekanisme paling umum), gangguan tubulointerstitial, dan
gangguan vaskular. Glomerulonefritis ditandai oleh deposisi
kompleks imun dan infiltrasi sel-sel inflamasi ke dalam
glomerulus. Gangguan tubulointerstitial ditemukan pada
sebanyak 66% spesimen biopsi ginjal dari pasien SLE dan
ditandai oleh infiltrat sel-sel inflamasi, kerusakan tubular, dan
fibrosis interstisial. Terjadinya gangguan tubulointerstitial
menjadi prediktor prognosis yang buruk.
Manifestasi pada mata
SLE dapat memengaruhi fungsi mata dalam berbagai cara.
Manifestasi okular yang paling umum terjadi yaitu
keratokonjungtivitis sika, yang mana dapat terjadi tanpa atau
disertai sindrom Sjögren. Gangguan retina yang dapat
ditemukan pada pemeriksaan oftalmoskopi antara lain
pendarahan retina, lesi vaskulitis, cotton wool spots, dan hard
exudates. Adanya gangguan retina pada SLE telah terbukti
berkorelasi dengan lupus nefritis, CNS lupus, dan adanya
antibodi anti-fosfolipid. Episkleritis dan skleritis dapat terjadi
pada SLE, namun uveitis sangat jarang terjadi.
Ruam diskoid SLE dapat mengenai palpebra inferior dan
konjungtiva. Glukokortikoid dan agen antimalaria, dua obat
yang biasa digunakan untuk pengobatan SLE, dapat
memberikan efek samping pada mata.
Manifestasi Hematologis
Anemia penyakit kronis merupakan anemia yang paling umum
terjadi pada SLE. Anemia ini ditandai dengan sel eritrosit normokromik-
normositik, besi serum rendah, transferin rendah, dan feritin serum
normal hingga meningkat. Anemia penyakit kronis dapat terjadi
bersamaan dengan anemia yang disebabkan dari proses lain. Anemia
Hemolitik Autoimun atau Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) harus
dicurigai apabila terdapat kelainan hasil laboratorium seperti
peningkatan bilirubin tak terkonjugasi, peningkatan enzim laktat
dehidrogenase (LDH), peningkatan jumlah retikulosit, dan menurunnya
haptoglobin.
Apabila pada pasien SLE terjadi Microangiopathic hemolytic
anemia (MAHA), yang ditandai dengan adanya schistocytes pada
hapusan darah tepi, maka harus segera dipertimbangkan kemungkinan
terjadinya thrombotic thrombocytopenic purpura-hemolytic uremic
syndrome (TTP-HUS).
Pada penderita SLE juga terjadi Leukopenia, leukopenia
terjadi pada sekitar 50% pasien SLE dan dapat terjadi sekunder
akibat limfopenia dan/atau neutropenia. Suatu penelitian
terhadap 158 pasien yang baru dengan SLE aktif menunjukkan
bahwa 75% pasien memiliki jumlah limfosit kurang dari 1500
sel/μL. Adanya antibodi limfosititoksik pada beberapa pasien
SLE berkorelasi dengan limfopenia dan dengan eksaserbasi
penyakit. Limfopenia juga bisa terjadi akibat efek samping dari
konsumsi glukokortikoid atau agen imunosupresif lainnya.
Selain itu, pada penderita SLE juga terjadi Trombositopenia.
Trombositopenia ringan terjadi pada 50% pasien SLE.
Trombositopenia berat juga dapat terjadi pada pasien SLE
walaupun lebih jarang dan biasanya prognosisnya buruk.
Diagnosis
Diagnosis SLE tidak mudah karena gambaran klinik penyakit
bervariasi sangat luas. Klinisi bisa curiga bila ada wanita usia
muda dengan penyakit sistemik yang bermanifestasi pada satu
organ atau lebih, yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya
dengan keadaan umum yang sangat berat dan dengan gejala
hilang timbul. Gambaran kliniknya didahului dengan gejala
konvensional, antara lain demam, nafsu makan turun, berat
badan turun biasanya terjadi pada SLE yang berat, dan fatigue.
Meskipun demikian banyak para klinisi menggunakan kriteria
klasifikasi untuk membantu dalam membuat diagnosis di klinik.
Keterbatasan klasifikasi bila digunakan untuk membuat
diagnosis adalah ketika kondisi pasien yang jelas secara klinis
SLE, tetapi belum memenuhi kriteria ACR maka akan terlambat
dilakukan diagnosis. Hal ini akan menimbulkan kondisi yang
fatal bila organ yang terserang sangat serius.
Penatalaksanaan
Tata laksana SLE telah menunjukkan perbaikan sejak beberapa
dekade yang lalu sehingga meningkatkan harapan hidup, namun
demikian pasien SLE masih mempunyai risiko kematian dua kali
lipat dibandingkan populasi normal. Tujuan utama tata laksana SLE
adalah mengendalikan aktivitas penyakit dengan meminimalkan
kerusakan organ serta efek samping obat-obatan. Tata laksana
SLE sangat bervariasi, oleh karena itu sedikit sekali konsensus
atau studi tentang penilaian konsep remisi atau aktivitas penyakit
yang rendah dan petunjuk bagaimana peratawan SLE jangka
panjang. Kondisi ini menyebabkan tata laksana kurang optimal,
karena pendekatan terapi dilakukan secara personal. Dalam
menjalankan tata laksana SLE, diagnosis awal amat sangat
penting.
Diagnosis dini mempermudah klinis dalam merawat SLE, serta
dapat mengurangi kerusakan organ dan angka kekambuhan
sangat rendah apabila pasien dapat di diagnosis secara dini.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai