Anda di halaman 1dari 38

Nama : Aprila

Jurnal Sistem Endokrin

MPPKI
Media Publikasi Promosi Kesehatan Indonesia
The Indonesian Journal of Health Promotion
Artikel Penelitian Open Access

Pengaruh Distraksi Pendengaran Terhadap Penurunan Kadar Glukosa Darah Pada


Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 Di UPTD Diabetes Center

Effect Of Listening Distraction On Blood Glucose Level On Diabetes Mellitus Tyoe II In


UPTD Diabetes Center Of Ternate City
Al Azhar Muhammad
Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Kemenkes Ternate
(*)
Email Korespondensi :alazharmuhammad08@gmail.com

ABSTRAK
Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit kronik pada sistem endokrin ditandai Hiperglikemia akibat kekurangan
insulin, kerja insulin dan atau keduanya.Hiperglikemia mengakibatkan gangguan mikrovaskuler dan makrovaskuler.
Penanganan DM dengan ketaatan diit, pengobatan, olahraga, gaya hidup dan pengobatan seumur hidup menyebabkan
stres. Stres akan merangsang hormon Kortisol dan Epinefrin yang memicu hiperglikemia yang berujung pada DM.
Upaya mengatasi masalah DM tidak hanya bersifat farmakologis namun memerlukan upaya non farmakologis dalam
mengendalikan kadar glukosa darah diantaranya mencegah hiperglikemia akibat stres dengan terapi distraksi
pendengaran. Tujuan penelitian untuk Mengkaji efek Distraksi pendengaran, frekuensi penurunan kadar glukosa
darah dan mengkaji perbedaan kadar glukosa darah sebelum dan sesudah diberikan Distraksi pendengaran pada
penderita DM Tipe 2 di UPTD Diabetes Center Kota Ternate. Populasi penelitian adalah seluruh pasien yang berobat
di UPTD Diabetes Center Kota Ternate dan bersedia diberikan terapi distraksi pendengaran. Data dianalisis dengan
uji paired sample t test untuk melihat perbedaan kadar glukosa sebelum dan sesudah terapi distraksi pendengaran.
Hasil penelitian menunjukkan nilai t hitung 3,541 dengan signifikansi p = 0,001. Kesimpulan terdapat pengaruh
Distraksi Pendengaran terhadap penurunan kadar glukosa darah penderita DM tipe 2 di UPTD Diabetes Center Kota
Ternate .

Kata Kunci : Distraksi Pendengaran; Musik Instrumental; Diabetes Melitus tipe 2

ABSTRACT
Diabetes melitus (DM) is a chronic disease in endocrine system characterized by hyperglycemia as a result of lack
of insulin, insulin work or both. Hyperglycemia causes microvascular and macrovascular disorder. DM could be
treated by doing proper diet, treatment, exercise, life style causes a life time treatment lead to stress. Stress could

Published By: Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Muhammadiyah Palu Copyright © 2018 MPPKI. All rights reserved
stimulate cortisol and epinephrine hormone that trigger hyperglycemia and finally resulting DM. Solving DM is not
only pharmacologically, but also non-pharmacologically in order to control blood glucose level such as prevent
hyperglycemia by practicing listening distraction therapy. This study aimed to examined the effect of listening
distraction, blood glucose level and assessed the difference of blood glucose level of DM Type II patients before and
after listening distraction therapy. Study population is all patient who get treated in UPTD Diabetes Center of
Ternate City. Paired t test was used to assessed the difference of blood glucose level of DM Type II patients before
and after listening distraction therapy. The result suggested t-score value was 3.541 and p-value = 0.001. it could be
suggested there was an impact of listening therapy on blood glucose level of DM Type II patients in UPTD Diabetes
Center of Ternate City .

Keywords :Listening distraction; instrumental music; Diabetes Melitus type II


PENDAHULUAN Amerika (20). Menurut Kepala Unit Pelaksana Tugas
Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit Daerah (UPTD) Diabetes Center Kota Ternate,
kronik pada sistem endokrin ditandai dengan penelitian yang dilaksanakan oleh Fakultas Kedokteran
hiperglikemia disebabkan kekurangan insulin akibat Universitas Indonesia bersama Dinas Kesehatan Kota
ketidakmampuan pankreas memproduksi insulin, kerja Ternate, jumlah penderita DM di Kota Ternate
insulin atau karena keduanya (2).Hiperglikemia kronik diperkirakan sebanyak 19,8% dari total penduduk. Jika
mengakibatkan kegagalan berbagai organ, terutama mata, diasumsikan jumlah penduduk sebanyak 200.000 jiwa
ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah.Gangguan maka penderita DM diperkirakan berjumlah
sekresi insulin dapat mengakibatkan hiperglikemia yang 38.00040.000 jiwa. Sesuai dengan laporan/profil kerja
berdampak pada risiko gangguan pembuluh darah kecil UPTD Diabetes Center Kota Ternate tahun 2013, jumlah
misalnya terjadi pada retina, glomerulus ginjal dan saraf penderita DM yang datang berobat ke UPTD Diabetes
perifer maupun gangguan pembuluh darah besar seperti Center sebanyak 678 orang, kunjungan penderita DM
aterosklerosis, penyakit arteri koronari dan stroke (1). yang berobat dalam sehari sebanyak 7–10 orang dan
setiap bulannya terdapat sekitar 5 kasus baru.
Jumlah penderita DM menurut International Peningkatan angka kejadian Diabetes melitus disebabkan
Diabetes Federation (IDF) dalam (20), terdapat 382 juta penyakit multifaktor terkait genetik, faktor dan faktor
orang pada tahun 2013 dan diperkirakan pada tahun 2035 lingkungan (18).Menurut data dari Kementerian
jumlah penderita DM meningkat menjadi 592 juta orang Kesehatan RI, jumlah pasien diabetes melitus yang
dan diperkirakan dari 382 juta orang tersebut, 175 juta di dirawat inap dan rawat jalan di rumah sakit menempati
antaranya belum terdiagnosa sehingga terancam urutan pertama dari seluruh penyakit endokrin.Fenomena
berkembang progresif menjadi komplikasi tanpa disadari epidemiologi penyakit ini memerlukan peran peran aktif
dan tanpa pencegahan. Penderita DM setiap tahun Perawat untuk memberikan solusi penanganan yang tidak
mengalami peningkatan pada semua kelompok umur dan hanya tergantung pada upaya farmakologi, salah satunya
diperkirakan pada tahun 2014 sebanyak 422 juta orang dengan memberikan tindakan terapi relaksasi.
dewasa hidup dengan diabetes dibandingkan 108 juta
orang pada tahun 1980, dimana kenaikan populasi Teknik relaksasi merupakan salah satu tindakan
penderita DM sebanyak dua kali lipat terutama di negara keperawatan yang dapat mengurangi kecemasan dan
berkembang dibandingkan dengan negara berpenghasilan secara otomatis dapat menurunkan kadar gula darah.
tinggi. DM juga mengakibatkan kematian sebanyak 1,5 Relaksasi dapat mempengaruhi hipotalamus untuk
juta jiwa pada tahun 2012 dengan meningkatkan risiko mengatur dan menurunkan aktivitas sistem saraf
penyakit seperti kardiovaskuler dan lainnya (20). simpatis. Stres tidak hanya dapat meningkatkan kadar
gula darah secara fisiologis. Pasien dalam keadaan stres
Di Indonesia jumlah penderita DM pada tahun juga dapat mengubah pola kebiasaannya yang baik,
2000 sebanyak 8,4 juta dan diperkirakan meningkat terutama dalam hal makan, latihan dan pengobatan.
sebanyak 21,3 juta pada tahun 2030. Jumlah tersebut
menempatkan Indonesia pada peringkat ke-4 jumlah Terapi relaksasi yang pernah dilakukan dengan
penderita DM tertinggi di dunia setelah India, Cina dan melakukan relaksasi fisik ringan selama sepuluh menit
setiap dua hari sekali selama tujuh hari mampu Equivalent Control Group Design. Rancangan
menurunkan kadar glukosa darah. Terapi musik juga pendekatan pada penelitian ini menggunakan cross
memberikan efek relaksasi pada tubuh karena membuat sectional. Prosedur penelitian telah mendapatkan
hati dan perasaan seseorang menjadi senang dan terhibur, rekomendasi dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan
mengurangi beban penderitaan dan tempat penyaluran Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan
bakat seseorang. Mendengarkan musik diharapkan dapat Tanjungkarang dengan no 254/ EC/KEP-TJK/X/2018.
merangsang dan menarik penderita untuk mengikuti alur
irama yang selanjutnya menciptakan suasana santai, Subjek dalam penelitian ini berjumlah 41 orang,
gembira yang pada akhirnya adanya perubahan yang yang direkrut dari penderita DM tipe 2 yang berobat di
positif. UPTD Diabetes Center Kota Ternate (6).analisis data
yang dikumpulkan dan dilakukan uji dengan Paired
Rangsangan musik pada terapi musik ternyata Sample T test .
mampu mengaktivasi sistem limbik yang berhubungan
dengan emosi.Saat sistem limbik teraktivasi, otak
menjadi rileks. Relaksasi dapat memberikan efek HASIL DAN PEMBAHASAN
penekanan pada pengeluaran hormon-hormon yang dapat
meningkatkan kadar glukosa darah yaitu epinefrin, Karakteristik Subjek Penelitian Subjek pada penelitian
kortisol, glukagon, adrenocorticotropic hormon (ACTH), ini sebanyak 41 orang pasien yang datang berobat di
Kortikosteroid dan tiroid. UPTD Diabetes Center Kota Ternate dan telah
didiagnosa menderita DM Tipe 2 oleh dokter pemeriksa.
Karakteristik subjek dalam penelitian ini
METODE
Jenis penelitian kuantitatif dengan rancangan
penelitian yang digunakan adalah kuasi eksperimen Non

meliputi variabel Usia, Jenis kelamin atau Sex, Indeks dengan persentasi 68,3% dan penderita yang kadar glu-

Massa Tubuh (IMT), lama sakit dan terapi yang diberikosa darah tidak mengalami perubahan atau tetap

kan. Usia penderita dikategorikan dalam lima kelompok, sebanyak 2 orang dengan persentasi 4,9%.

pada penelitian ini usia 53-61 tahun dengan frekuensi 13

Dalam penelitian ini dilakukan observasi ten-

orang dan persentasi 31,7%. tang pemberian obat antidiabetik oral yang diberikan

Lama sakit pada subjek penelitian yang tertinggi oleh dokter pemeriksa di UPTD Diabetes Center Kota

pada 1-5 tahun dengan frekuensi 22 orang dan persentasi

Ternate berdasarkan fungsinya. Jumlah penderita DM

53,7%. Pada Indeks Massa Tubuh (IMT) terdapat pada

Tipe 2 yang memperoleh pengobatan antidiabetik oral


Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian

Variabel Frekuensi Presentase Valid Presentase


Umur 53-61 Tahun 13 31.7 31.7
Jenis Kelamin Perempuan 30 73,2 73,2
IMT Kegemukan 18 43.9 43.9
lama sakit 1-5 Tahun 22 53.7 53.7

Terapi Metformin + Glimepiride 30 73.7 73.7


Sumber : Data Primer 2018
sebagian besar dengan terapi kombinasi seperti
Metformin dan Glimepiride berjumlah 30 orang dan
persentasi

level kegemukan dengan frekuensi 18 dan persentasi

73,2%, Glucophage dan Glimepiride berjumlah 1 orang

43,9%. dan persentasi 2,4% serta Insulin dan Levemir ber-

Terapi yang diberikan pada subjek dalam

jumlah 1 orang dan persentasi 2,4%.

penelitian ini terbanyak adalah terapi yang dikombinasi-

Terdapat pula pemberian antidiabetik oral tung-

kan antara Metformin dan Glimepiridee dengan frekuengal seperti Metformin berjumlah 6 orang dan persentasi

si 30 orang dan persentasi 73,7%. Karakteristik subjek

14,6% dan atau Glimepiride berjumlah 3 orang dan per-

penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. sentasi 7,4%. Data tentang jenis pemberian obat antidia-

Hubungan pemberian Terapi Distraksi pen-

betik oral pada responden penelitian dapat dilihat pada

dengaran terhadap kadar glukosa darah. Terapi distraksi tabel 2.

pendengaran pada penelitian ini adalah menggunakan

musik instrumental religi selama 60 menit dengan posisi

Tabel 2. Jenis pengobatan antidiabetik oral pada responden


Obat Antidiabetik oral

Frequency Percent Valid Percent


Metformin + Glimepiride 30 73.2 73.2
Glucophage + Glimepiride 1 2.4 2.4
Glimepiridee 3 7.4 7.4
Metformin 6 14.6 14.6
Insulin + Levemir 1 2.4 2.4
Total 41 100.0 100.0
Sumber : Data primer 2018
Setelah diberikan perlakuan dengan mendengarkan
musik instrumental religi kepada responden dengan

penderita ditempatkan di ruangan yang nyaman dan tidberbagai pengobatan antidiabetik oral, yang mengalami

ak berisik. Mendengarkan musik menggunakan earpenurunan kadar glukosa darah sebanyak 28 orang se-

phone diatur volume senyaman mungkin menurut klien dangkan terjadi peningkatan kadar glukosa darah

dan dalam kondisi terlentang diatas tempat tidur. sebanyak 11 orang dan yang mengalami kadar glukosa

Klien diminta untuk tidak tidur dan fokus pada darah tetap sebanyak 2 orang.

musik yang diperdengarkan. Penderita DM tipe 2 yang

Data pengaruh pemberian terapi musik instru-

bersedia menjadi responden berjumlah 41 orang setelah mental religi terhadap kadar glukosa darah dapat dilihat

diberikan terapi
distraksi

pendengaran
berupa
pada Tabel 3.

mendengarkan musik instrumental religi mengalami

penurunan kadar glukosa darah sebanyak 28 orang

Untuk mengetahui perbedaan kadar glukosa

darah sebelum diberikan terapi musik instrumental religi persentasi 31,7%. Menurut (11), Penurunan fungsi organ

dengan sesudah diberikan terapi dengan menggunakan pankreas dapat dipengaruhi oleh faktor usia. Hal ini

uji paired sampel t tes. Dari uji paired sampel t tes antara mendorong terjadi epidemi diabetes.

kadar glukosa darah sebelum dan sesudah diberikan ter-

Faktor usia mengakibatkan penurunan aktivitas

api musik intrumentalia religi dapat dilihat pada nilai t elektrik pada kanal sel beta pankreas yang sensitif ATP,

tes hitung 3,541 dengan nilai singnifikan 0,001. Data berkurangnya sensifitas menyebabkan kanal ATP tidak

perbedaan sebelum diberikan terapi musik instrumentali tertutup dan mempengaruhi proses sekresi insulin.

terhadap kadar glukosa darah dapat dilihat pada tabel 4.

Selain faktor usia, penyebab gangguan aktivitas listrik


sel β pankreas dapat disebabkan oleh peningkatan rantai

Prevalensi kejadian penyakit diabetes melitus panjang Acyl CoA. Hal ini dapat terjadi karena kelebi-

terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Menurut han glukosa yang tidak diubah menjadi energi dan disin-

(20), Indonesia akan mengalami peningkatan jumlah


Tabel 3. Pengaruh terapi musik terhadap kadar glukosa darah
Perubahan setelah perlakuan
Total
Naik Tetap Turun

Metformin + Glimepiride 10 0 20 30
Glucophage + Glimepiride 0 0 1 1
Glimepiridee 1 1 1 3
Metformin 0 1 5 6
Insulin + Levemir 0 0 1 1
Jumlah 11 2 28 41
Sumber : Data Primer 2018 tesis menjadi lemak.
Sintesis lemak yang berlebihan memicu pening-

penyandang DM dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi katan berat badan. Obesitas dapat mengakibatkan re-

sekitar 21.3 juta pada tahun 2030. Risiko komplikasi sistensi insulin yang dapat bersamaan dengan penurunan

yang ditimbulkan dan perlu ketaatan penyandang DM sekresi insulin. Berkurangnya kadar insulin menyebab-

dalam pengobatan, diit, gaya hidup dapat menjadi stresskan peningkatan kadar gluosa darah / hiperglikemia

or. yang berujung pada DM tipe 2 (4).

Stres yang dialami oleh penyandang DM me-

Individu dengan Indeks Masa Tubuh (IMT) pa-

nyebabkan hipotalamus menstimulasi kelenjar adrenal da level kegemukan menjadi subjek terbanyak dalam

untuk memproduksi hormon-hormon stres yaitu kortisol


Tabel 4. Perbedaan kadar glukosa darah Pre dan Post
Perlakuan Rata-rata St.Dev. t Sig
Gula darah pra
17,24390 ±31.87037 3,541 0,001
Gula darah post
Sumber : Data Primer 2018
penelitian ini dengan frekuensi 18 orang (43,9%). Hal ini
sejalan dengan pemberian pengobatan yang diberikan

dan epinefrin (adrenalin), hal ini dapat mempengaruhi yakni kombinasi antara Metformin dan Glimepiride

sistem sistem imun, saraf dan endokrin. Kortisol memdengan frekuensi 30 orang (73,3%).

iliki efek metabolis berupa menghambat penyerapan dan


Pemberian antidiabetik oral metformin dapat

penggunaan glukosa oleh jaringan kecuali otak, serta dikombinasi atau pemberian tunggal. Metformin yang

mempengaruhi proses glukoneogenesis dan lipolisis setermasuk golongan biguanid tidak menyebabkan hipog-

bagai pengganti glukosa. likemia dan penambahan berat badan sehingga sangat

Hormon epinefrin bekerja pada otot polos arteribaik


digunakan bagi penderita DM Tipe 2 dengan obesi-

ol dan pankreas yang menghambat produksi insulin dan tas (5). Menurut (12), Individu yang memiliki Indeks

meningkatkan produksi glukagon. Kedua hormon ini

Masa Tubuh lebih (obesitas) berkontribusi pada Diabe-

dapat meningkatkan kadar glukosa darah (6).

tes Melitus tipe 2.


Hasil penelitian yang telah dilaksanakan menun-

Penelitian ini menggunakan teknik distraksi

jukkan bahwa usia 53-61 tahun termasuk pada kategori pendengaran berupa mendengarkan musik instrumental

terbanyak penyandang diabetes melitus tipe 2 dengan

religi kepada penyandang DM selama 60 menit. Hasil


intervensi dengan mendengarkan musik instrumental religi mampu membuat perbedaan kadar
glukosa darah sebelum dan sesudah diperdengarkan musik instrumental religi dan hasilnya
signifikansi P=0,001.

Terapi musik intrumentalia religi merupakan salah satu bentuk terapi yang tergolong dalam
pendekatan spiritual.Musik instrumental religi yang disajikan diyakini mampu memberikan
ketenangan jiwa.Sumber spritual dapat berkontribusi pada kualitas hidup dan status kesehatan
pasien-pasien hemodialisa.Fungsi spiritual menciptakan hubungan transpersonal antara individu
dengan Tuhannya.

Ketenangan jiwa yang diperoleh oleh penyandang DM melalui mendengarkan musik


instrumental religi akan berdampak pada kemampuan tubuh memproduksi hormon Endorfin.
Untuk meningkatkan produksi endorfin dapat dilakukan dengan olah tubuh, meditasi, shalat atau
melakukan zikir untuk mendapatkan ketenangan.Endorfin diyakini berfungsi menghambat
produksi epinefrin dan kortisol, mengurangi nyeri dan memberikan perasaan senang, dengan
demikian peningkatan glukosa darah tidak terjadi. Terapi distraksi pendengaran dengan
mendengarkan musik intrumentalia religi sebagai salah satu upaya untuk mengendalikan kadar
glukosa darah bagi penderita DM selain pemberian pengobatan baik antidiabetik oral maupun
insulin.

KESIMPULAN
Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh Distraksi Pendengaran terhadap
penurunan kadar glukosa darah penderita DM tipe 2 di UPTD Diabetes Center Kota Ternate.

UCAPAN TERIMA KASIH


Terima kasih disampaikan kepada Direktur Poltekkes Kemenkes Ternate yang telah membantu
dalam pendanaan penelitian melalui DIPA Poltekkes Kemenkes Ternate Tahun 2018.Ucapan
terima kasih juga disampaikan kepada Kantor Kesbangpol dan Linmas Kota Ternate yang telah
memberikan Izin Penelitian serta Dinas Kesehatan dan UPTD Diabetes Center bersedia
dijadikan lokasi penelitian.

DAFTAR PUSTAKA
1. American Diabetes Association, 2014, Standards of Medical Care In Diabetes-2014,
Diabetes Care, Vol 37 Suppl 1
2. American Diabetes Association, 2015, Standar of Medical Care in Diabetes-2015, Diabetes
Care, Vol 38 Suppl 1
3. American Diabetes Association, 2016, Standar of Medical Care in Diabetes-2016:Abridge
for Primary
Care Providers, Diabetes Care, 39 Suppl 1, S1-S12

4. Ashcroft FM, 2005, ATP-sensitive potassium channelopathies: focus on insulin secretion,


JCI, 115 : 2047-58.
5. Badan Pengawasan Obat dan Makanan RI, 2010, Info POM, Vol 11 No 5, Jakarta
6. Dahlan MS, 2013, Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian
Kedokteran dan Kesehatan, Salemba Medika, Jakarta.
7. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2005,
Phamaceutical Care untuk Penyakit Diabetes Melitus.

57
8. Evliyaoglu O, Sancaktar E, Sogut E, Basarali MK, Uzuncan N, dan Karaca B, 2011,
Association of a single nucleotide polymorphism in the SUR1 gene with type 2 diabetes and
obesity in Turkish patients, J Clin Exp Invest, 2 (2): 161-67
9. Fatimah RN, 2015, Review Artikel : Diabetes Melitus tipe 2, J Majority, 4:93-101
10. Kemenkes RI, 2015, Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2014, Pusat Data dan Informasi
Kemenkes RI.
11. Kirkman MS, Briscoe VJ, Clark N, Florez H, Haas LB, Halter JB, and Huang ES et al,
2012, Diabetes in older Adults, Diabetes Care, Vol 35 ; 2650-2664.
12. Kwon Y, Kim HJ, Park S, Park YG, and Cho KH, 2017, Body Mass Index-Related
Mortality in Patients with Type 2 Diabetes and Heterogeneity in
Obesity Paradox Studies: A Dose-Response Meta-
Analysis, Plos One ; 1-14

13. Merentek E, 2006, Resistensi Insulin pada Diabetes Mellitus tipe 2, Poliklinik Endokrin
Metabolik, Bagian Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Gowa, Makassar.
14. Muhammad AA, 2015, Sulfonylurea Receptor-1 dan Potassium Inwardly-Rectifying
Channel Sub Family J Member 11 Sebagai Faktor Risiko Diabetes Melitus Tipe 2 pada
Etnik Ternate, Tesis, Tidak dipublikasi.
15. Murray RK, Granner DK & Rodwell VW, 2009, Biokimia Harper, ed. 27, EGC, Jakarta.
16. Sastroasmoro S dan Ismael S, 2011, Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis, Ed 2, CV
Sagung Seto, Yogyakarta.
17. Sulistyoningrum E, 2010, Tinjauan Molekular dan Aspek Klinis Resistensi Insulin, Mandala
of Health,
Vol 4 No 2

18. Sunita R, Sadewa AH dan Farmawati A, 2015, Lower HOMA-β values are detected among
individuals with variant of E23K polymorphism of potassium inwardly-rectifying channel,
subfamily J, member 11 (KCNJ11) gene, Egyptian J Med Hum Gen. 16: 227-31.
19. Wild S, Roglic G, Green A, Sicre R, dan King H, 2004, Global Prevalence of Diabetes:
Estimates for the year 2000 and projections for 2030, Diabetes Care, 27: 1047-53.World
Health Organization, 2016, World Health Day 2016 : Global Report on Diabetes.
20. World Health Organization, 2016, World Health Day 2016 : Global Report on Diabetes.

58
Jurnal Sistem Gastrointestinal

ARTIKEL PENELITIAN Penerapan Asuhan Keperawatan dengan Gangguan


Sistem Pencernaan
“Gastritis”
Application of Nursing Care with "Gastritis" Digestive System
Disorders

Suprapto Suprapto
Prodi DIII Keperawatan Politeknik Sandi Karsa
Artikel info
Artikel history: Abstract
Received; 08 Februari The purpose of applying nursing care by using a nursing
2020 process approach with priority problems meeting the basic
Revised; 11 Februari needs of pain. The research method used with the case study
2020 approach is designed descriptively, which in this case study
Accepted; 12 Februari will explain the cases experienced by patients with gastritis.
The results of research from the results of case studies that
2020
people with gastritis will be worse if he experiences stress. In
addition to stress, the entry of air through the mouth when
consuming food can also cause an increasingly bloated
stomach and increased belching frequency. Conclusions
obtained from the main complaints of patients say uluhati like
pricked and felt at mealtime or late eating with the nature of
complaints disappearing arise. The objective data is that the
general condition of the patient is weak, the patient seems to
wince The main nursing diagnoses are pain related to gastric
mucosal irritation, nutritional changes less than the body's
needs related to inadequate intake and the risk of lack of fluid
volume associated with nausea and vomiting. In planning the
writer involves the family in determining the priority of the
problem of choosing the right action in the nursing process of
gastritis. Interventions carried out adjusted to interventions
contained in the theory. The implementation phase is based on
a plan that has been prepared by the author together with the
client and family. In evaluating the nursing process in clients
with gastritis always refers to the purpose of meeting the needs
of the client. The results of the evaluation conducted for three
days showed that all problems could be overcome.
Abstrak.
Tujuan menerapkan asuhan keperawatan dengan
menggunakan pendekatan proses keperawatan dengan
prioritas masalah pemenuhan kebutuhan dasar
nyeri. Metode penelitian yang digunakan dengan pendekatan
studi kasus didesain secara deskriptif, dimana dalam studi
kasus ini akan menjelaskan tentang kasus yang dialami oleh
pasien dengan Gastritis. Hasil penelitian dari hasil studi kasus
bahwa penderita gastritis akan menjadi lebih buruk jika

59
dirinya mengalami stres. Selain stress, masuknya udara lewat
mulut ketika mengkonsumsi makanan
juga bisa menyebabkan perut semakin kembung dan
frekuensi sendawa meningkat. Kesimpulan didapatkan
keluhan utama pasien
mengatakan uluhati seperti ditusuk-tusuk dan dirasakan pada
waktu makan atau terlambat makan dengan sifat keluhan
hilang timbul. Data obyektifnya berupa keadaan umum pasien
lemah, pasien nampak meringis. Diagnosa keperawatan yang
utama ditegakkan adalah nyeri berhubungan dengan iritasi
mukosa lambung, Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh berhubungan dengan intake tidak adekuat dan resiko
kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual muntah.
Dalam perencanaan penulis melibatkan keluarga dalam
menentukan prioritas masalah memilih tindakan yang tepat
dalam proses keperawatan gastritis. Intervensi yang
dilaksanakan disesuaikan dengan intervensi yang terdapat
dalam teori. Tahap pelaksanaan didasarkan pada
perencanaan yang telah disusun penulis bersama klien dan
keluarga.Dalam mengevaluasi proses keperawatan pada klien
dengan gastritis selalu mengacu pada tujuan pemenuhan
kebutuhan klien. Hasil evaluasi yang dilakukan selama tiga
hari menunjukkan semua masalah dapat teratasi
Keywords: Coresponden
Gastritis; author: Email:
Pencernaan; atoenurse@gmail.com
Nyeri;

artikel dengan akses terbuka dibawah lisensi CC BY


-4.0
Pendahuluan
Kesehatan merupakan keadaan normal dan sejahtera anggota tubuh sosial dan jiwa pada
seseorang untuk dapat melakukan aktifitas tanpa gangguan yang berarti dimana ada
kesinambungan antara kesehatan fisik, mental dan social seseorang termasuk dalam
melakukan interaksi dengan lingkungan. Masalah keperawatan merupakan masalah
yang sangat kompleks yang saling berkaitan dengan masalah kesehatan masyarakat
tidak hanya dilihat dari segi kesehatannya sendiri tapi harus dari seluruh segi yang ada
pengaruhnya terhadap kesehatan., Sehat adalah keadaan sejahtera dari tubuh (jasmani),
jiwa (rohani), dan social yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial
dan ekonomis(Depkes, 1992).
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa tidak ada hubungan antara keteraturan makan
dengan kejadian gastritis dengan P value=0,092 (> 0, 05) sedangkan untuk variabel
kebiasaan makan dan jenis makanan yang dimakan dengan kejadian gastritis didapatkan
hasil P value=0,000 (< 0,05) di AKPER Manggala Husada Jakarta tahun 2013. Perlu
adanya kesadaran dari mahasiswa untuk menjaga pola makan yang sehat dan teratur
supaya masalah kejadian penyakit gastristis tidak menjadi lebih parah(Hartati &

60
Cahyaningsih, 2016). Menurut (Suratun, 2010) dalam buku Asuhan Keperawatan
Klien Gangguan Sistem Gastrointestinal tahun 2010 hal 62 menjelaskan pada klien
yang mengalami mual di anjurkan untuk bedrest. Sependapat dengan Nuari Afrian
(2015) dalam Buku Ajar Asuhan Keperawatan Pada Gangguan Sistem
Gastrointestinal tahun 2015 hal 142 mengatakan penderita gastritis yang mengalami
gejala mual di anjurkan untuk mempertahankan tirah baring atau beristirahat untuk
mencegah terjadinya muntah.(Hartati & Cahyaningsih, 2016)
Dalam melakukan implementasi keperawatan berdasarkan dengan rencana tindakan
keperawatan, Evaluasi keperawatan menunjukkan bahwa tidak semua masalah dapat
teratasi mengingat kondisi pasien.Diharapkan kepada untuk perawat mampu
memberikan asuhan keperawatan secara komprehensif kepada pasien dengan gangguan
Trauma Capitis Ringan,Melatih berfikir kritis dalam melakukan asuhan keperawatan,
khusunya pada pasien gawatdarurat dengan Trauma Capitis Ringan,Untuk Rumah Sakit
Untuk meningkatkan mutu pelayanan keperawatan, perlu ditunjang fasilitas diruangan
yang memadai dalam memberikan pelayanan keperawatan khususnya pada ruang
gawatdarurat.Untuk Institusi Pendidikan,Untuk sumber informasi bagi rekan – rekan
mahasiswa dalam meningkat pengetahuan tentang asuhan keperawatan pasien.Untuk
pasien, Sebagai bahan acuan bagi pasien mendapatkan informasi dan pengetahuan
tentang cara mengontrol Nyeri, ansiestas dan resiko infeksi akibat Trauma Capitis
Ringan (Suprapto, 2017)
Gastritis merupakan penyakit yang sering kita jumpai dalam masyarakat. Kurang
tahunya cara penangan yang tepat merupakan salah satu penyebabnya. Gastritis adalah
proses inflamasi pada lapisan mukosa dan sub mukosa pada lambung. Pada orang awam
sering menyebutnya dengan penyakit maag. Masyarakat sering menganggap remeh
penyakit gastritis, padahal jika inflamasi semakin besar dan parah maka lapisan mukosa
akan tampak sembab, merah dan mudah berdara. Diagnosa yang muncul pada gastritis
yaitu gangguan rasa nyaman, nyeri berhubungan dengan peradangan pada Epigastrium;
gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari pemenuhan tubuh berhubugan dengan nafsu
makan menurun, mual dan muntah; resiko tinggi kurang volume cairan berhubungan
dengan out put yang berlebihan; kurang pengetahuan tentang penyakitnya berhubungan
dengan ketidaktahuan dan kurang informasi. Proses asuhan keperawatan dilakukan pada
pasien dengan gejala gastritis yang sedang menjalani perawatan di bangsa Melati RSUD
Sragen. Masalah yang paling menonjol dari asuhan keperawatan gastritis yaitu nyeri
karena adanya peradangan pada epigastrium. Prioritas pelaksanaan asuhan keperawatan
pada pasien gastritis yaitu perawat harus mengakali nyeri, dan meminimalis terjadinya
faktor-faktor yang memperparah penyakit yaitu dengan membatasi makanan yang
menimbulkan ketidak nyamanan (Ekowati, 2008)

Metode
Metode penelitian yang digunakan studi kasus didesain secara deskriptif, dimana dalam
studi kasus ini akan menjelaskan tentang kasus yang dialami oleh pasien dengan
Gastritis. Fokus pada masalah nyeri; merupakan pengalaman sensori dan emosional
yang tidak menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan yang actual atau
potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan sedemikian rupa.Instrument studi

61
kasus yang digunakan dalam studi kasus telah diujii validitas dan reliabilitasnya.Dalam
melakukan pengumpulan data, studi kasus harus cermat, intensif dan komprehensif
sehingga didapatkan data yang akurat.
Prosedur pengumpulan data dan istrumen pengumpulan data yang digunakan dalam
studi kasus, diuraikan pada bagian ini. Penyusunan bagian awal instrument dituliskan
karakteristik responden: umur, pekerjaan, social ekonomi, jenis kelamin, dll. Jenis
instrument yang sering digunakan pada ilmu keperawatan diklasifikasikan menjadi 5
bagian; biofisiologis(pengukuran yang berorientasi pada dimensi fisiologis manusia,
baik invino maupun invitro, observasi (terstruktur dan tidak teratur).Penyajian data
disesuaikan dengan desain studi kasus deskriptif yang dipilih. Untuk studi kasus, data
disajikan secara tekstular/narasi dan dapat disertai dengan cuplikan ungkapan verbal
dari subyek penilitian yang merupakan data pendukungnya (Suprapto, 2018)

Hasil Dan Pembahasan


Menurut data dari ABN Impact 2016 bahwa penyebab timbulnya penyakit gastritis yang
dialami oleh masyarakat Indonesia adalah salah satunya karena mengkonsumsi makanan
pedas, berminyak dan juga konsumsi kopi berlebihan. Sedangkan data yang ditemukan
pada kasus penyebab gastritis adalah pola makan tidak teratur mengkonsusi alcohol dan
mengkonsumsi makan yang tidak sehat, pertambahan usia dan stress. Dari data tersebut
penulis dapat menyimpulkan bahwa penyebab gastritis menurut teori dijelaskan secara
detail dan terperinci sedangkan pada kasus hanya berfokus pada gejala umum.
(Siswandana, 2018)
Menurut (Astuti, 2010) gastritis adalah suatu penyakit yaitu inflamasi atau peradangan
yang terjadi pada mukosa lambung yang disebabkan oleh bakteri, kuman penyakit
maupun akibat mengkonsumsi barang yang bersifat iritan lainnya, obat- obatan seperti
aspirin dan anti inflamasi nonsteroid, stress dan akibat zat kimia. Mahasiswa mampu
mengetahui penerapan asuhan keperawatan keluarga, Melaksanakan pengkajian,
Merumuskan dan menegakkan diagnose keperawatan, Menyusun intervensi
keperawatan, Melaksanakan tindakan keperawatan,

Melaksanakan evaluasi pada keluarga Tn. H. Kompleksitas penyakit ini dapat


ditemukan pada tahap proses keperawatan sebagai berikut: Pada gastritis yang dialami
Tn.H pada keluarga Tn. H, muncul masalah kesehatan yaitu: 1) Nyeri b/d terputusnya
jaringan tulang, dan Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d intake kurang,
2) Prioritas diagnosa keperawatan yang pertama yaitu Nyeri b/d terputusnya jaringan
tulang, hal ini dikarenakan scoring atas diagnosa ini 3 1/3, 3) Dalam melaksanakan
tugas keperawatan keluarga, Tn. H dan keluarga telah dapat memenuhi empat tugas
yaitu keluarga mampu mengenal masalah kesehatan, keluarga mampu mengambil
keputusan mengenai tindakan kesehatan yang tepat, keluarga mampu merawat anggota
keluarga yang sakit,dan keluarga sudah menggunakan fasilitas/ pelayanan kesehatan di
masyarakat. Hanya saja keluarga belum mampu memodifikasi lingkungan yang sehat
karena keluarga Tn. H terhalang keterbatasan dana.

62
Dari teori dan kasus penulis menyimpulkan bahwa dimana teori menjelaskan ada empat
masalah keperawatan yang dapat muncul sedangkan pada kasus hanya ditemukan 3
masalah.Pada teori menjelaskan masala yang dapat muncul yaitu “ketidakseimbangan
nutrisi” sedangkan pada kasus tidak ditemukan data yang dapat menunjang terjadinya
ketidakseimbangan nutrisi.
Sesuai dengan hasil penelitian (Wulansari & Apriyani, 2017) menunjukkan bahwa
diagnosis keperawatan aktual yang dialami pasien adalah : Nausea (100% responden),
nyeri akut (91,7% responden), gangguan pola tidur (58,33% responden, dan gangguan
menelan (58,33% responden, dan gangguan mukosa oral (50% responden). Saran bagi
pihak RS adalah menjadikan diagnosis keperawatan temuan sebagai dasar pembuatan
standar asuhan keperawatan bagi pasien dengan keluhan gastrointestinal yang dirawat di
RSD HM Ryacudu Kotabumi Lampung Utara. Sedangkan rekomendasi bagi peneliti
selanjutnya adalah melanjutkan penerapan standar asuhan keperawatan pada pasien
dengan gangguan pencernaan.
Menurut (Fadli et al., 2019) evaluasi keperawatan antara teori dan kasus mengacu
kepada kriteria tujuan.Evaluasi masala keperawatan dilakukan dengan melihat
perkembangan kondisi atau respon dari pasien dari tanggal 17-25 Januari 2018, dari tiga
diagnosa keperawatan yang ditemukan dalam kasus semuanya dapat teratasi. Sistem
pencernaan merupakan suatu saluran jalan makanan/nutrisi dari jalan masuk atau input
sampai dengan keluaran (ekskresi/eliminasi). Secara anatomis sistem pencernaan atau
sering disebut sistem digestivus atau gastrointestinal terdiri atas berbagai macam organ
dari rongga mulut sampai anus.Keluhan pada pasien gastrointestinal dapat berkaitan
dengan gangguan lokal/intralumen saluran cerna misalnya adanya ulkus duodeni,
gastritis dan sebagainya.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh terapi
dzikir terhadap intensitas nyeri pada pasien gastritis.Penelitian tersebut mengunakan
desain quasi experiment dengan pendekatan Pre and Post Test Group design.Penelitian
ini dilakukan pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2018. Pengumpulan data di
Ruang Bedah Rumah Sakit Nene Mallomo Kabupaten Sidrap dilaksanakan setiap pagi
mulai tanggal 2 Juni 2018 sampai dengan 25 Agustus 2018 dengan jumlah sampel
sebanyak 45 responden. Hasil penelitian ini diperoleh nilai p=0,000 dengan tingkat
kemaknaan p<α (0,05) yang dimana nilai p<α maka dapat disimpulkan bahwa ada
pengaruh terapi dzikir terhadap intensitas nyeri pada pasien gastritis di rumah sakit
Nene Mallomo Kabupaten Sidrap.
Menurut (Sari, 2018) gastritis bukan merupakan penyakit tunggal, tetapi terbentuk dari
beberapa kondisi yang kesemuanya itu mengakibatkan peradangan pada lambung.Tetapi
factor – factor lain seperti trauma fisik dan pemakaian secara terus menerus beberapa
obat penghilang sakit dapat juga menyebabkan gastritis. Evaluasi dalam dunia
keperawatan merupakan kegiatan dalam menilai tindakan keperawatan yang telah
ditentukan guna mengetahui pemenuhan kebutuhan klien secara optimal dan mengukur
hasil dari proses keperawatan. Tujuan : penulisan ini bertujuan untuk mengetahui dan
menganalisis bagaimana diagnosa gastritis ditegakkan dan menilai hubungan diagnosa
gastritis dengan bentuk diet terhadap pasien dengan gastritis. Metode : Metode
penulisan kajian ini menggunakan metode analisis observasi terhadap materi penugasan.

63
Hasil : Berdasarkan hasil analisis terhadap beberapa sumber jurnal yang sesuai dengan
materi penugasan di peroleh bahwa Evaluasi kerap sekali tidak dilakukan karena kurang
mampunya peraat dalam lakukan analisis terhadap asuhan keperawatan serta intervensi
yang telah dilakukan Evaluasi merupakan suatu proses kontinyu yang terjadi saat
melakukan kontak dengan pasien dan penulis menggunakan teori SOAP yaitu S
(Subjektif) berisi data pasien melalui anamnesis yang mengungkapkan perasaan
langsung, O (Objektif) berisi data yang ditemukan setelah melakukan tindakan, dapat
dilihat secara nyata dan dapat diukur, A (assasment) merupakan kesimpulan tentang
kondisi pasien setelah dilakukan tindakan dan P (Planning) adalah rancana lanjutan
terhadap masalah yang dialami pasien. Pasien mengatakan nyeri pada ulu hati sudah
tidak terasa. Secara objektif ditemukan keadaan umum pasien mulai membaik, pasien
nampak tenang sehingga dapat disimpulkan bahwa masalah utama teratasi dan
intervensi dihentikan karena pasien diperbolehkan pulang (Taamu, 2018)

Simpulan Dan Saran


Hasil pengkajian didapatkan keluhan utama pasien mengatakan uluhati seperti ditusuk-
tusuk dan dirasakan pada waktu makan atau terlambat makan dengan sifat keluhan
hilang timbul. Data obyektifnya berupa keadaan umum pasien lemah, pasien nampak
meringis dan TTV (TD : 130/70 mmHg, S 0: 36,7C, P : 24 x/m, N: 84 x/m). Diagnosa
keperawatan yang utama ditegakkan adalah nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa
lambung, Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
tidak adekuat dan resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual muntah.
Dalam perencanaan penulis melibatkan keluarga dalam menentukan prioritas masalah
memilih tindakan yang tepat dalam proses keperawatan gastritis. Pada tahap ini
intervensi yang dilaksanakan disesuaikan dengan intervensi yang terdapat dalam teori.
Tahap pelaksanaan asuhan keperawatan Ny. S didasarkan pada perencanaan yang telah
disusun penulis bersama klien dan keluarga.Dalam mengevaluasi proses keperawatan
pada klien dengan gastritis selalu mengacu pada tujuan pemenuhan kebutuhan klien.
Hasil evaluasi yang dilakukan selama tiga hari menunjukkan semua masalah dapat
teratasi.
Kepada masyarakat yang sering mangalami atau mempunyai anggota keluarga yang
memiliki gejala penyakit gastritis atau nyeri lambung agar segera memeriksakan diri ke
pelayanan kesehatan terdekat agar dapat dilakukan penanganan secara dini.Untuk pihak
lahan praktek, supaya membuat model pelayanan keperawatan profesional yang dapat
dijadikan model dalam proses belajar mahasiswa perawat guna menjamin kualitas
asuhan yang diberikan pada klien

Daftar Rujukan
Astuti, A. (2010). Asuhan Keperawatan Keluarga Pada Keluarga Tn. H Khususnya Tn.
H Dengan Gangguan Pencernaan: Gastritis Di Wilayah Puskesmas Grogol I.

Depkes, R. (1992). Undang Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan. Jakarta:
Depkes RI.
64
Ekowati, P. (2008). Asuhan Keperawatan Pada Tn. S Dengan Gastritis Di Bangsal
Melati Rsud Sragen.

Fadli, F., Resky, R., & Sastria, A. (2019). Pengaruh Terapi Dzikir terhadap Intensitas
Nyeri pada Pasien Gastritis. Jurnal Kesehatan, 10(2), 169–174.

Hartati, S., & Cahyaningsih, E. (2016).Hubungan Perilaku Makan dengan Kejadian


Gastritis pada Mahasiswa Akper Manggala Husada Jakarta Tahun 2013. Jurnal
Keperawatan, 6(1).

Sari, A. D. (n.d.). Evaluasi Proses Keperawatan Pada Pasien


Gastritis. 2018. https://osf.io/preprints/inarxiv/wnzdy/download

Siswandana, D. (2018). Asuhan Keperawatan Pada Bp. D Dengan Gastritis Erosif Di


Rst Dr. Soedjono Magelang Jawa Tengah.

Suprapto. (2017). Pedoman Penulisan Karya Tulis Ilmiah (2nd ed.). LP2M Akper Sandi
Karsa.

https://isbn.perpusnas.go.id/Account/SearchBuku?
searchCat=ISBN&searchTxt=978-60250820-2-3

Suprapto, S. (2017).Studi Kasus pada Klien Nn. N dengan Trauma Capitis Ringan
Dirawat Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Islam Faisal Makassar. Jurnal Ilmiah
Kesehatan Sandi Husada, 5(1), 25–29.

Suratun, L. (2010). Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem


Gastrointestinal. Jakarta: Trans Info Media.

Taamu, H. (2018). Asuhan Keperawatan Pada Ny. S Dengan Gangguan Sistem


Pencernaan Gastritis Di Puskesmas Wangi-Wangi Selatan Kabupaten Wakatobi.

Wulansari, P., & Apriyani, H. (2017).Diagnosis keperawatan pada pasien dengan


gangguan pencernaan. Jurnal Ilmiah Keperawatan Sai Betik, 12(1), 40–45.

65
Jurnal Sistem Urology

ANALISIS KATETERISASI TERHADAP KEJADIAN INFEKSI DI


SALURAN KEMIH PADA PASIEN RUANG RAWAT INAP RSU
IMELDA PEKERJA INDONESIA (IPI) MEDAN TAHUN 2017

1.
Roby Gultom ,2. Pontianus Famaugu
1.
Dosen Prodi S1Keperawatan, STIKes Imelda, Jalan Bilal Nomor 52 Medan;
2.
Alumni STIKes Imelda

E-mail: 1. roby.gultom@gmail.com

ABSTRAK

Kateterisasi perkemihan adalah tindakan memasukkan selang karet atau plastik melalui
uretra ke dalam kandung kemih untuk mengeluarkan air kemih yang terdapat di
dalamnya.Infeksi saluran kemih diduga berhubungan dengan faktor risiko yaitu
pemasangan kateterisasi perkemihan Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi
kejadian infeksi di saluran kemih pada pasien yang sudah terpasang katetersiasi di
Ruang Rawat Inap RSU Imelda Pekerja Indonesia (IPI) Medan Tahun 2017. Penelitian
dilakukan pada April 2017 dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam
penelitian ini adalah perawat pelaksana di Rumah Sakit Imelda Medan dan sampel
sebanyak 13 orang yang ditentukan dengan menggunakan teknik purposive
sampling.Analisis statistik yang digunakan uji chi-square. Hasil analisis univariat,
didapat bahwa bahwa kateterisasi yang dilakukan oleh perawat mayoritas baik
sebanyak 10 orang (76,92%), kejadian infeksi saluran kemih sebanyak 2 orang
(15,38%), sedangkan 11 orang (84,62%) tidak terkena infeksi saluran kemih. Hasil
analisis bivariat menunjukkan bahwa pemasangan kateter yang baik yaitu 10 orang
dan tidak menyebabkan kejadian infeksi saluran kemih, sedangkan prosedur
kateterisasi yang buruk yaitu 3 orang.Dari 3 orang tersebut, 2 orang terinfeksi saluran
kemih dan 1 orang tidak terinfeksi saluran kemih. Dari hasil uji chi-square diatas
antara pemasangan kateter dengan kejadian infeksi saluran kemih didapat nilai P =
0.005(P <0,05) artinya ada hubungan antara pemasangan kateter dengan kejadian
infeksi saluran kemih. Disarankan bagi perawat untuk meningkatkan pengetahuan
tentang prosedur pemasangan dan perawatan kateter.

66
JURNAL ILMIAH FARMASI IMELDA Vol.2, No.1, Februari 2018

Kata kunci: Kateterisasi, Infeksi Saluran Kemih.

67
PENDAHULUAN

Infeksi saluran kemih merupakan infek si yang paling sering didapat dari rumah sakit
dan jumlahnya 40% dari 2 juta kejadian infeksi nosokomial pertahun (UTIs are the most
common nosocomial infections ). Tingginya potensi infeksi saluran kemih tersebut
berkaitan dengan penggunaan kateter menetap> 48 jam. Untuk menegakk an kejadian
infeksi saluran kemih adalah dengan ditemukannya bakteri dalam urin bakteriuria (Brooks,
2007). Infeksi kandung kemih terjadi ketika ada bakteri atau Mikroorganisme lainnya,
melekat pada pembukaan uretra dan berkembang biak (Dephi, 2014).

Infeksi saluran kemih diduga berhubun gan dengan faktor risiko yaitu pemasangan
kateterisasi perkemihan. Kateterisasi perkem ihan adalah tindakan memasukkan selang karet
atau plastik melalui uretra ke dalam kandung kemih untuk mengeluarkan air kemih yang
terdapatdi dalamnya. Pemasang an kateter biasanya dilakukan sebagai tindakan untuk
memenuhi kebutuhan eliminasi pada pasien yang tidak memiliki kemampuan untuk
mobilisasi seperti pasien pembedahan, pasien dengan kondisi kronis atau lemah yang
membuatnya tidak memiliki kemampuan untuk melakukan mobilisasi secara aktif. Tindakan
ini dinilai berbahaya karena dapat menyebabkan masuknya organisme ke dalam kandung
kemih (Kozier et all 2010).

Menurut Gruendemann dan Fernsebner (2006) penyebab utama infeksi saluran kemih pada
pasien yang dirawat di rumah sakit adalah pemasangan kateter. Pendapat yang sama juga
dikemukakan oleh Boss Meyer et all (2004) bahwa infeksi saluran kemih dapat disebabkan
oleh pemasangan kateter indwelling (kateter yang dipakai untuk beberapa hari atau minggu).
Infeksi saluran kemih sering berkaitan dengan penggunaan kateter urin yaitu penggunaan
kateter memungkinkan jalur masuk mikroba kedalam saluran kemih sehingga semakin lama
kateter terpasang maka peluang kateter terkontaminasi oleh mikroba semakin besar dan
peluang pasien terkontaminasi mikroba juga semakin besar sebab kateter dapat mengiritasi
lapisan kulit saluran kemih dan juga merupakan jalur masuk yang menghubu ngkan antara
dunia luar dengan bagian dalam saluran kemih Hal ini yang menyebabkan mudahnya akses
mikroba masuk kesaluran kemih.

Menurut Craven (2000), dan Furqon (2003) infeksi setelah pemasangan kateter dapat terjadi
karena kuman dapat masuk kedalam kandung kemih dengan jalan berenang melalui lumen
kateter. Penguranga n lama pemakaian kateter dapat menurunkan terjadinya infeksi saluran
kencing. Pemasan gan kateter akan menurunkan sebagian besar daya tahan pada saluran
kemih bagian bawah dengan menyumbat saluran di sekeliling uretra, mengiritasi mukosa
kandung kemih dan menimbulkan jalur masuknya kuman ke dalam kandung kemih. Pada
pasien yang menggunakan kateter, mikroorganisme dapat menjangkau saluran kemih melalui
tiga lintasan utama: yaitu dari uretra ke dalam kandung kemih pada saat kateterisasi; melalui
jalur dalam lapisan tipis cairan uretra yang berada di luar kateter ketika kateter dan membran
mukosa bersentuhan; dan cara yang paling sering melalui migrasi ke dalam kandung kemih
883

di sepanjang lumen internal kateter setelah kateter terkontaminasi (Gruendemann dan


Fernsebner 2006).

Mashita, (2011) menyatakan untuk mengurangi kejadian infeksi saluran kemih akibat
pemasangan kateter menetap perlu dilakukan penggantian kateter 3-4 hari sekali. Namun
pasien yang menggunakan kateter > 3 hari memiliki peluang untuk mengalami infeksi
saluran kemih dibanding kan dengan pasien yang menggunakan kate ter ≤ 3 hari, ada
pengaruh antara perawatan kateter dengan kejadian Infeksi Saluran Kemih pada pasien yang
menggunakan kateter menetap berarti bahwa pasien dengan pemasangan kateter yang
kateternya tidak dirawat secara rutin setiap hari mempunyai peluang untuk mengalami
kejadian infeksi saluran kemih dibandingkan dengan pasien dengan pemasangan yang
kateternya dirawat secara rutin Putri dkk (2011).

Hasil studi pendahuluan di RSUD Ulin Banjarmasin pada pasien rawat inap yang
terpasang kateter perbulan adalah 183 pasien dari jumlah tersebut 7 orang atau 3,8%
mengalami infeksi saluran kemih. Rata rata lama pemasangan kateter adalah 3-7 hari (Nopi
Arisandy, 2013). Mencermati permasa lahan di atas terdapat dugaan bahwa lama pemasangan
kateter dapat menjadi

penyebab infeksi saluran kemih pada pasien yang menjalani rawat inap sehingga peneliti
memandang perlu untuk melakukan penelitian tentang “Analisis Kateterisasi Terhadap
Kejadian Infeksi Di Saluran Kemih Pada Pasien di Ruang Rawat Inap RSU Imelda Pekerja
Indonesia (IPI) Medan Tahun 2017”.

Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini menganalisis pemasangan kateterisasi terhadap
Kejadian Infeksi Di Saluran Kemih Pada Pasien di Ruang Rawat Inap RSU

Imelda Pekerja Indonesia (IPI) Medan Tahun 2017

Tujuan Penelitian
Untuk mengidentifikasi kejadian infeksi di saluran kemih pada pasien yang sudah
terpasang katetersiasi di Ruang Rawat Inap RSU Imelda Pekerja Indonesia (IPI) Medan
Tahun 2017.

Manfaat Penelitian
1. Ruang Rawat Inap RSU Imelda Pekerja Indonesia (IPI) Medan.
Untuk menambah wawasan dan pengetahuan setiap perawat didalam melakukan tindakan
kateter dan praktik pencegahan terjadinya infeksi di saluran kemih pada pasien yang
terpasang kateterisasi di Ruang Rawat Inap RSU Imelda Pekerja Indonesia (IPI) Medan.

2. STIKes Imelda MedanSebagai sumber literatur pustaka didalam menambah wawasan


pengetahuan mahasiswa dalam bentuk asuhan keperawatan.

Jurnal Kesehatan Khatulistiwa. Volume 5. Nomor 2B. Juli 2019


884

3. Peneliti Selanjutnya. Menjadi bahan referensi untuk penelitian selanjudnya yang


berhubungan dengan tindakan kateterisasi.

METODE

Jenis dan Desain Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus observasional
dengan deskriptif analitik yang bertujuan untuk menganalisis kateteris asi terhadap kejadian
infeksi di saluran kemih pada pasien di ruang rawat inap RSU Imelda Pekerja Indonesia (IPI)
Medan

Tahun 2017

Waktu Penelitian
Waktu penelitian dilakukan pada bulan April - Mei Tahun 2017.

Populasi
Populasi diambil dari semua pasien yang terpasang kateter yang dirawat di Ruang Rawat
Inap RSU Imelda Pekerja Indonesia (IPI) Medan Tahun 2017 yang berjumlah 13 responden.

Teknik Sampling
Metode yang digunakan dalam pengam bilan sample penelitian ini adalah purposive
sampling, yaitu metode penetapan sample dengan memilih beberapa sample tertentu yang
dimiliki sesuai dengan tujuan atau masalah penelitian dalam sebuah populasi (Nursalam,
2008).

Sampel
Sampel terdiri dari bagaian populasi terjangkau yang dapat digunakan sebagai subjek
penelitian melalui sampling. Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi yang
dapat mewakili populasi yang ada (Nursalam, 2008). Sample dalam penelitian ini adalah
semua populasi yaitu pasien yang terpasang kateter.Kriteria inklusi digunakan untuk
menentukan apakah seseorang dapat berpartisipasi dalam studi penelitian atau apakah
penelitian individu dapat dimasukkan dalam penelaahan sistematis.

Teknik Pengumpulan Data Adapun tahapan prosedur penggumpula n data yang dilakukan,
meliputi:

1. Tahap persiapan pengumpulan data


a. Peneliti mengurus surat izin untuk melakukan penelitian dari Progam Studi Sekolah
Tinggi Ilmu Kesehata n (STIkes) Imelda Medan.

Jurnal Kesehatan Khatulistiwa. Volume 5. Nomor 2B. Juli 2019


885

b. Peneliti mengurus surat izin untuk melakukan penelitian di bagian pene litian dan
pengembangan di Ruang Rawat Inap RSU Imelda Pekerja Indonesia (IPI) Medan
Tahun 2017.
2. Tahap pengumpulan data dilakukan melalui tahap-tahap sebagai berikut:
a. Peneliti datang langsung ke tempat penelitian dihari yang telah tertera dalam surat
yang dikeluarkan oleh bagian pelatihan dan pengembangan di Ruang Rawat Inap
RSU Imelda Pekerja Indonesia (IPI) Medan.
b. Peneliti terlebih dahulu memperkena lkan diri dan menjelaskan maksud dari
kedatangan peneliti kepada responden (pasien).
c. Meminta kesediaan responden untuk berpartisipasi dalam penelitian
d. Peneliti mengobservasi kateterisasi
e. Peneliti melakukan urinalisa pada pasien yang dipasangi kateter oleh responden.

Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah karakteristik yang diamati dan mempunyai variasi nilai dan
merupakan operasionalisasi dari suatu konsep agar dapat diteliti secara empiris atau
ditentukan tingkatannya (Setiadi, 2007).

Defenisi Operasional
1. Kateterisasi yaitu semua pasien yang terpasang kateter di Ruang Rawat Inap RSU
Imelda Pekerja Indonesia (IPI) Medan Tahun 2017. Semua pasien yang terpasang
kateterisasi akan dilakukan observasi, meliputi lamanya terpasang kateterisasi, ukuran
kateter, pemasanga n kateterisasi dan perawatan kateterisas i. Dilakukan dengan
menggunakan lem bar observasi
2. Kejadian infeksi di saluran kemih yaitu kejadian infeksi di saluran kemih yang
disebabkan karena lamanya pergantian kateterisasi di Ruang Rawat Inap RSU Imelda
Pekerja Indonesia (IPI) Medan Tahun 2017. Kejadian infeksi di saluran kemih yaitu
untuk mengetahui berapa jumlah kejadian infeksi di saluran kemih yang terjadi di Ruang
Rawat Inap RSU Imelda Pekerja Indonesia (IPI) Medan Tahun 2017. Cara
mengetahuinya dengan menggunakan lembar observasi dengan melakukan observasi
pada kateterisasi, ukuran kateterisasi, perawatan kateterisasi, dan lamanya pergantian
kateterisasi.

Teknik Pengukuran
Variabel bebas yaitu pemasangan kateter terdiri dari 16 pertanyaan, setiap pertanyaan
terdiri dari 2 indikator jawaban
”ya” diberi nilai 1; tidak” diberi 0 untuk menghitung skor dengan menggunakan

rumus statistik

Jurnal Kesehatan Khatulistiwa. Volume 5. Nomor 2B. Juli 2019


886

dimana P merupakan panjang kelas dengan nilai tertinggi dikurangi nilai terendah (Sudjana,
2002) diperoleh rentang sebesar 16, kelas dibagi 2 kategori maka diperoleh panjang kelas 8 ,
data kuesioner/observasi dikategorikan:
a. ”Baik” kumulatif jawaban : 9 - 16.
b. ” Buruk” kumulatif jawaban : 0 - 8. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kejadian
infeksi saluran kemih yang terdiri dari 7 pertanyaan, setiap pertanyaan terdiri dari 2
indikator jawaban, ”ya” diberi nilai 1; ”tidak” diberi nilai 0. Untuk menghitung total skor
dengan menggunakan rumus
statistik

dimana P merupakan panjang kelas dengan nilai tertinggi dikurangi nilai terendah (Sudjana,
2002) diperoleh rentang 7, kelas dibagi 2 kategori maka diperoleh panjang kelas 4, data
kuesioner/observasi dikategorik an:
a. ”Baik” kumulatif jawaban : 4-7
b. ” Buruk” kumulatif jawaban : 0-3

Analisa Data
1. Univariat
Analisis univariat yang digunakan untuk mengetahui karakteristik responden serta distribusi
frekuensi kateterisasi dan kejadian infeksi di saluran kemih

2. Bivariat
Analisis bivariat ini digunakan untuk menganalisa kateterisasi terhadap kejadian infeksi di
saluran kemih, dengan menggunakan uji chi square dengan (α) 0,05 dan tingkat
kepercay aan 95%.

HASIL

Tabel 1.Distribusi frekuensi karakteristik responden

Karakterist Frekuen Persenta


N
ik si se (%)
o
Responden (f)
Umur
23 - 32 9 69,23
1 Tahun 4 30,77
33 - 42
Tahun
Total 13 100
Pendidikan
2 Terakhir 10 76,92
D-III 3 23,08

Jurnal Kesehatan Khatulistiwa. Volume 5. Nomor 2B. Juli 2019


887

S-1
Total 13 100
Lama
Bekerja
2 15,38
1-2 tahun
3 23,08
3 2-3 tahun
5 38,46
3-4 tahun
2 15,38
4-5 tahun
1 7,69
5-6 tahun
Total 13 100
Dari tabel 1 diatas menunjukkan bahwa umur responden mayoritas 23-32 tahun yaitu
69,23%, pendidikan terakhir mayoritas D-III yaitu 76,92% dan lama bekerja mayoritas 34
tahun yaitu 38,46%.

Tabel 2.Distribusi Frekuensi Kateterisasi

Frekuensi Persen
No Kateterisasi
(f) (% )
1. Baik 10 76,92
2. Buruk 3 23,08
Total 13 100

Dari tabel 2 diatas menunjukkan bahwa kateterisasi yang dilakukan oleh perawat
mayoritas baik sebanyak 10 orang (76,92%).

Tabel 3.Distribusi Frekuensi Kejadian Infeksi Saluran Kemih


No Kejadian ISK Frekuensi (f) Persen (%)
1 Positif 2 15,38
2
Negatif 11 84,62
Total 13 100
Dari tabel 3 diatas menunjukkan bahwa kejadian infeksi saluran kemih sebanyak 2
orang (15,38%), sedangkan 11 orang (84,62%) tidak terkena infeksi saluran kemih.

Analisa Bivariat
Tabel 4.Analisis kateterisasi terhadap kejadian Infeksi Saluran Kemih

Kejadian infeksi Chi saluran kemih Total Square Positif Negative test
Baik 0 10 10
Kateterisasi
Buruk 2 1 3 0,005
Total 2 11 13

Jurnal Kesehatan Khatulistiwa. Volume 5. Nomor 2B. Juli 2019


888

Dari tabel 4 dapat dilihat bahwa pemasangan kateter yang baik yaitu 10 orang dan
tidak menyebabkan kejadian infeksi saluran kemih, sedangkan prosedur kateterisasi yang
buruk yaitu 3 orang. Dari 3 orang tersebut, 2 orang terinfeksi saluran kemih dan 1 orang
tidak terinfeksi saluran kemih.

Dari hasil uji chi-square diatas antara pemasangan kateter dengan kejadian infeksi
saluran kemih didapat nilai P = 0.005(P <0,05) artinya ada hubungan antara pemasangan
kateter dengan kejadian infeksi saluran kemih.

PEMBAHASAN

Dari hasil penelitian yang dilakukan peneliti di Ruang Rawat Inap RSU Imelda Pekerja
Indonesia (IPI) Medan Tahun 2017, akan menguraikan pembahasan penelitian ini yang
bertujuan untuk mengetahui hubung an analisis kateterisasi terhadap kejadian infeksi di
saluran kemih.

Kateterisasi merupakan tindakan mema sukkan selang plastik atau karet melalui uretra
ke dalam kandung kemih (Potter & Perry, 2005). Pemasangan kateter semaki n lama
akan menurunkan sebagian besar daya tahan alami pada traktus urinarius inferior
dengan menyumbat duktus periuretr alis, mengiritasi mukosa kandung kemih dan
menimbulkan jalur artifisial untuk masuknya kuman (mikroba patogen) ke dalam kandung
kemih (Smeltzer & Bare, 2001). Kemudian mikroba patogen tersebut

akan berkembang biak maka akan mengakibatkan kerusakan serta gangguan fungsi organ
semakin luas yang akhirnya memunculkan manifestasi klinis yang signifikan untuk
diagnosis infeksi saluran kemih (Darmadi, 2008).

Saluran kemih adalah tempat yang paling sering mengalami infeksi nosokomial.
Pemasangan kateter dan lamanya dipasang sangat mempengaruhi kejadian terjadinya infeksi
saluran kemih, tetapi tidak semua klien yang dipasang kateter mengalami infeksi saluran
kemih (Tessy, 2004). Barbara & Smeltzer (2001) menyatakan bahwa infek si saluran kemih
menempati tempat ke-3 dari infeksi nosokomial di rumah sakit 80% dari infeksi saluran
kemih disebabkan oleh kateter uretra. Infeksi saluran kemih setelah pemasangan kateter
terjadi karena kuman dapat masuk ke dalam kandung kemih dengan jalan berenang
melalui lumen kateter, rongga yang terjadi antara dinding.kateter dengan mukosa uretra,
sebab

lain adalah bentuk uretra yang sulit dicapai oleh antiseptik. Sehingga pasien yang
mengalami infeksi saluran kemih akibat pemasangan kateter akan mendapatkan perawatan
yang lebih lama dari yang seharusnya sehingga biaya perawatan akan menjadi bertambah dan
masalah ini juga dapat memperburuk kondisi kesehatan klien, bahkan dapat mengancam
keselamatan jiwanya. Tindakan yang dapat dilakukan perawat untuk mencegah
terjadinya infeksi saluran kemih pada pasien yang terpasang kateter adalah dengan
melakukan higiene perineum, perawatan kateter, peman tauan drainase urin dan
memberikan informasi kesehatan kepada pasien tentang hal-hal yang dapat mendukung

Jurnal Kesehatan Khatulistiwa. Volume 5. Nomor 2B. Juli 2019


889

kelancaran drainase urin yang sekaligus akan mencegah terjadinya infeksi pada saluran
kemih.

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 3 diketahui bahwa 11 pasien (84,62%) yang
dilakukan pemasangan kateter dengan baik oleh responden tidak mengalami infeksi saluran
kemih dan hanya 2 pasien (15,38%) yang mengalami infeksi saluran kemih. Hasil
penelitian ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Sudoyo (2006) bahwa
dipasangnya kateter sangat mempeng aruhi kejadian infeksi saluran kemih. Dipasang 1 kali
menyebabkan infeksi 1,7%, intermitten 3,5%, sedangkan bila dipasang dower kateter
sebanyak 10%. Pemasangan kateter pada sistem terbuka kejadian demam lebih sering
daripada sistem tertutup.Bila kateter dipasang selama 2 hari infeksi dapat terjadi 15%,
bila 10 hari menjadi 50%. Penelitian yang dilakukan oleh Putri dkk (2011) tentang ”Faktor
Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Infeksi Saluran Kemih Pada Pasien Rawat
Inap Usia 20 Tahun Ke Atas Dengan Kateter Menetap di RSUD Tugurejo
Semarang”.Dalam hasil penelitian ini diperoleh ada pengaruh antara lama penggunaan
kateter dengan kejadian Infeksi Saluran Kemih pada pasien yang mengguna kan kateter
menetap (p value = 0,005) artinya pasien dengan lama penggunaan kateter >3 hari
memiliki peluang untuk mengalami infeksi saluran kemih dibanding kan dengan pasien
yang menggunakan kateter <3 hari, ada pengaruh antara perawatan kateter dengan
kejadian Infeksi Saluran Kemih (ISK) pada pasien yang menggunakan kateter menetap.

Menurut peneliti berdasarkan teori dan hasil penelitian terkait diatas maka dapat
disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara pemasangan kateter dengan kejadian infeksi
saluran kemih hal ini disebabkan karena pemasangan kateter yang kurang baik
sehinggaakan memudahkan mikroorgan isme untuk masuk kedalam sistem perkemih an
yang menyebabkan terjadinya infeksi. Hal ini dapat dicegah tentunya dengan teknik
pemasangan kateter yang aseptik serta perawatan kateter yang baik.Seseuai dengan
teori yang dikemukakan oleh Potter & Perry (2005) bahwa perawatan kateter adalah
suatu tindakan keperawatan dalam memelihara kateter dengan antiseptik untuk
membersihkan ujung uretra dan selang kateter bagian luar serta mempertaha nkan
kepatenan kelancaran aliran urin pada sistem drainase kateter. Pasien yang di kateterisasi
dapat mengalami infeksi saluran kemih melalui berbagai cara. Perawa tan kateter
merupakan tindakan yang penting untuk mengontrol infeksi. Perawatan kateter yang salah
dapat menyebabkan masuknya mikroorganisme. Daerah yang memiliki resiko masuknya
mikroorganisme ini adalah daerah insersi kateter, kantung drainase, sambungan selang,
klep, dan sambungan antara selang dan kantung.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti mengenai analisis kateterisasi
terhadap kejadian infeksi di saluran kemih pada pasien di ruang rawat inap RS Imelda Medan
Tahun 2017 dapat di simpulkan bahwa :

1. Kateterisasi yang dilakukan oleh perawat mayoritas baik sebanyak 10 orang (76,92%).

Jurnal Kesehatan Khatulistiwa. Volume 5. Nomor 2B. Juli 2019


890

2. Kejadian infeksi saluran kemih sebanyak 2 orang (15,38%), sedangkan 11 orang


(84,62%) tidak terkena infeksi saluran kemih.
3. Hasil uji chi-square diatas antara pemasangan kateter dengan kejadian infeksi saluran
kemih didapat nilai P = 0.005(P <0,05) artinya ada hubungan antara pemasangan kateter
dengan kejadian infeksi saluran kemih.

DAFTAR PUSTAKA

Brooks, Geo F. (2007). Mikrobiologi Kedokt eran Jawetz, Melnick & Adelberg / Geo F.
Brooks, Janets S. Butel, Stephen A. Morse,; Alih Bahasa, Huriawati Hartan to…[et.
al.]; editor edisi bahasa Indonesia, Retna Neary Elfira..[et.al.] ed. 23. Jakarta:.EGC.

Brunner & Suddarth, (2008). Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Jakarta: EGC.

Ellis, et all. (1996). Modules for Basic Nursing Skills. Philadelphia: :

Lippincott.

Gruendemann BJ, Fernsebner B. (2005). Buku Ajar Keperawatan Perioperatif.Vol. 1.


Jakarta: EGC.
Hotoon, T.M,.[et.al]. (2010).Diagnosis, Prevention and Treatmen oa Catheter A ssociated
Urinary Tract Infection In Adults: 2009 Internasional Clinical Practice Guidelines from
the Infectious Disease Sosiety of America, Guideline s catheterUrinary.

Kozier, B., Erb, G., Berman, A., Synder, S.J. (2010). Buku ajar keperawatan fundam ental
(Esty wahyuningsih, penerjemah). Jakarta: EGC.

Makic, M.B., Vonrueden, K. T., Rauen, C.A., & Chadwick, J. (2011). Evidence Based
Practice Habits: Putting more sacret cows out to pasture. critical care nurse.Vol 31.
No.2. 38-61.

Meyer, D.J. Harvey J.W. (2004).Veterinary Laboratory Medicine Interpretation and


Diagnosis. Philadelphia: Saunders.
Murwani (2009).Pedoman Kateterisasi urin.Edisi revisi. Jakarta: EGC.

Notoatmodjo, S. (2010).Metodolog penelitian kesehatan edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta.

Nursalam. (2008). Konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawata n pedoman
skripsi, tesis, dan istrumen penelitian keperawatan. Jakarta:
Salemba Medika.

Potter & Perry.(2005). Fundamental of nursing. (7𝑡𝑛ed). Mosby: Elsevier Inc.

Jurnal Kesehatan Khatulistiwa. Volume 5. Nomor 2B. Juli 2019


891

Rendy dan Margareth.(2012). Asuhan Keperawatan Medikal Bedah dan Penyakit Dalam.
Yokyakarta: Nuha Medika.

Samad, R. (2012). Hubungan Pemasangan Kateter Dengan Kejadian Infeksi Saluran Kemih
Pada Pasien Di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam Rsudza Banda Aceh Tahun 2012.

Suharyanto, dan Madjid.(2009). Asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem
perkemihan. Jakarta: TIM.
Tessy Agus, Ardaya, Suwanto. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Infeksi Saluran
Kemih. Edisi: 3. Jakarta: FKUI. Tietjen, L., Bossomeyer, D., & Noel, M. (2004).Panduan
pencagahan infeksi un tuk fasilitas pelayanan kesehatan dengan sumber daya terbatas. Alih
bahasa: Abdul Bari Syaifuddin. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwon o Prawirohardjo.

Tuzker, S.M., [et.al). (1998). Patiend Care Standards : Nursing process, diagnosis, and
autcome). California: Mosby Inc.

Jurnal Kesehatan Khatulistiwa. Volume 5. Nomor 2B. Juli 2019


892

Jurnal Sistem Multipel Trauma

Hubungan antara Pediatric Trauma Score dan Mortalitas pada Pasien Cedera
Kepala di RSUD dr. Abdul Aziz Kota Singkawang

Syarif M. N Taufiq1, Sonny G.R. Saragih2, Diana Natalia3

1
Program Studi Kedokteran, FK UNTAN
2
Departemen Ilmu Bedah Saraf, RSUD dr. Abdul Aziz Singkawang
3
Departemen Parasitologi Medik, Program Studi Kedokteran, FK UNTAN

Abstrak
Latar Belakang. Cedera kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering terjadi
didunia dan terbanyak diantara penyebab utama mortalitas serta morbilitas pada
anak.Pediatric Trauma Score (PTS) merupakan salah satu alat prediksi yang dapat digunakan
dalam menentukan prognosis.Metode.Penelitian ini bersifat analitik dengan menggunakan
pendekatan potong lintang.Subjek penelitian berjumlah 30 orang.Data Pediatric Trauma
Score (PTS) dan mortalitas diambil dari rekam medis di RSUD DR Abdul Aziz Kota
Singkawang.Analisis data menggunakan uji.Hasil.Analisis data dengan uji chi square
mengindikasikan adanya hubungan yang bermakna antaraPediatric Trauma Score (PTS) dan
mortalitas (p=0,000). Kesimpulan.Terdapat hubungan antara Pediatric Trauma Score (PTS)
dan mortalitas yaitu rendahnya nilai Pediatric Trauma Score (PTS) dapat meningkatkan
mortalitas pada pasien cedera kepala.

Kata kunci : Cedera kepala, Mortalitas, Pediatric Trauma Score (PTS)

Background. Head injury is one of health problems that occur in the world and the leading
causes of mortality and disablity in children. Pediatric Trauma Score (PTS) is one predictor
tool that can be used in determining prognosis. Method.This study was an analytic study
with crosectional design where 30 patient were studied. Pediatric Trauma Score (PTS) and
mortality head injury patient data were obtained from medical records at RSUD DR Abdul
Aziz Singkawang. The data were analyzed by chi square test. Result. The increase of
Pediatric Trauma Score (PTS) value affected mortality in children (p=0.000).
Conclusion.There was a relationship between Pediatric Trauma Score (PTS) and mortality
that increases the value of Pedatric Trauma Score (PTS) can increase the mortality

Jurnal Kesehatan Khatulistiwa. Volume 5. Nomor 2B. Juli 2019


893

Keywords : Trauma Brain Injury, Mortality, Pediatric Trauma Score (PTS)

Jurnal Kesehatan Khatulistiwa. Volume 5.Nomor 2B. Juli 2019

Jurnal Kesehatan Khatulistiwa. Volume 5. Nomor 2B. Juli 2019


894

PENDAHULUAN
Cedera kepala atau trauma brain injury merupakan masalah kesehatan yang sering
terjadi didunia dan terbanyak diantara penyebab utama mortalitas serta morbilitas pada
semua umur.1 Cedera kepala dapat menyebabkan luka di bagian kepala, luka pada kulit di
bagian kepala, ruptur meninges pada otak, serta kerusakan jaringan otak dan dapat
mengakibatkan gangguan fungsi neurologis.2 Insiden cedera kepala banyak terjadi pada usia
produktif yaitu 14-24 tahun3. Diantara penyebab terjadinya cedera kepala adalah kecelakaan
lalu lintas, pukulan benda tumpul, jatuh dari ketinggian dan kekerasan fisik. 4 Kecelakaan
lalu lintas sering terjadi di negara maju maupun negara berkembang. Berdasarkan

penelitian Khan dkk5,kecelakaan lalu lintas menjadi epidemiologi terbesar kasus cedera
kepala.5
Risiko terjadinya insiden cedera kepala anak di negara maju adalah 400/100

000 per tahun.6 Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2004,

akibat cedera kepala kecelakaan lalu lintas tertinggi dijumpai di negara Amerika Latin

41,7% dan Korea Selatan 21,9%

sedangkan insiden di Indonesia 19,6%.6 Insiden cedera kepala anak di Inggris dilaporkan
sebesar 2,8 juta kasus cedera kepala dari tahun 2000 – 2005. 7 Pada tahun 2012 – 2013
sebanyak 34 932 anak meninggal akibat cedera kepala di negara Inggris. 8 Kebanyakan kasus
pada cedera kepala anak berumur diantara 1 hingga 14 tahun.9
Data kepolisian Republik Indonesia tahun 2001 mencapai 108 696 jumlah kecelakaan
dengan 31 195 meninggal dunia. Di Kalimantan Barat jumlah korban meninggal akibat
kecelakaan lalu lintas pada tahun 2013 adalah sebanyak 560 orang, pada tahun 2014 adalah
sebanyak 550 orang dan pada tahun 2015 adalah sebanyak 470 orang. Pada tahun 2016
adalah sebanyak 12 orang. Sedangkan insiden kecelakaan lalu lintas di Kota

Singkawang pada tahun 2012 adalah sebanyak 211 kasus, pada tahun 2013 adalah sebanyak
168 kasus, pada tahun 2014 sebanyak adalah 120 kasus, pada tahun 2015 adalah sebanyak
110 kasus dan pada tahun 2016 adalah sebanyak 108 dari data tersebut mengalami kerugian
material hingga Rp. 286 miliyar.10,11
Terdapat berbagai cara penilaian prognosis pada pasien cedera kepala, diantaranya
adalah dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS).12 GCS

adalah salah satu penilaian fisiologis, serta

untuk menentukan tingkat keparahan cedera kepala, GCS memiliki rentang nilai 3-15.
Klasifikasi GCS terdiri dari perhitungan GCS dewasa dan GCS anak atau PediatricGlasgow
Coma Scale, Keuntungan GCS adalah cepat dan

sederhana.13 Klasifikasi cedera kepala di bagi menjadi tiga, cedera ringan, cedera sedang dan
cedera berat. Nilai skor rendah menggambarkan cedera yang lebih berat dan memiliki risiko
mortalitas yang lebih

Jurnal Kesehatan Khatulistiwa. Volume 5. Nomor 2B. Juli 2019


895

tinggi.14,15

Trauma kepala anak merupakan

masalah kesehatan yang dapat berakibat fatal, berdasarkan kasus yang terjadi maka

penanganan kegawatdaruratan harus dilakukan dengan cepat dan tepat, yaitu menggunakan
sistem triage di Intalasi Gawat darurat (IGD). Dalam hal ini, penentuan triage IGD dapat
menggunakan sistem skoring yang objektif dengan melakukan skoring Pediatric Trauma
Score (PTS).Pediatric Trauma Score (PTS) adalah penilaian fisiologisuntuk menentukan
derajat keparahan dari trauma pada anakbagi pasien cedera kepala. 16 PTSsangat penting
untuk menentukan tindakan pada kasus cedera kepala anak.16
Penilaian PTS memiliki 6 parameter dengan maksimal skor +12 dan minimal 6,
semangkin tinggi PTS memiliki faktor mortalitas yang kecil, namun jika nilai PTS dibawah 8
maka memiliki faktor resiko yang besar untuk terjadinya mortalitas sehingga harus di bawa
ke penanganan lebih lanjut.17 Hasil penjumlahan akan menentukan resiko terjadi keburukan
seseorang dengan nilai antara lain serius (nilai<6), berat (7-8), sedang (nilai 9-10), ringan
(nilai 11-12).18 Penelitian mengenai hubungan antaraPTS dengan mortalitas pada pasien
cedera kepala anak di RSUD Abdul Aziz Kota Singkawang belum pernah dilakukan
sebelumnya sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan antara
Pediatric Trauma Score (PTS) dan mortalitas pada pasien cedera kepala anak di RSUD
Abdul Aziz Kota Singkawang.

METODE
Penelitian ini bersifat analitik dengan menggunakan pendekatan potong lintang.

Penelitian ini dilakukan di RSUD DR Abdul Aziz Kota Singkawang. Populasi penelitian ini
adalah pasien cedera kepala

di DR Abdul Aziz Kota Singkawang dengan pemilihan sampel menggunakan metode total
sampling dengan jumlah sampel sebanyak 30 orang yang memenuhi kriteria penelitian.
Variabel yang diteliti adalah Pediatric Trauma Score (PTS) dan mortalitas. Data dari
penelitian ini dikumpulkan melalui rekam medis dan gambaran CT-Scan pasien, kemudian

dilakukan analisis univariat dan analisis bivariat. Analisis bivariat yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah uji normalitas data dan dilanjutkan dengan uji Chi

Square.

HASIL
Sebanyak 30 subjek terlibat dalam penelitian ini.Sebagian besar sampel dieksklusikan
dari penelitian karena rekam medis yang tidak lengkap. Usia rata-rata subjek penelitian

Jurnal Kesehatan Khatulistiwa. Volume 5. Nomor 2B. Juli 2019


896

adalah 6 ± 4,20. Usia termuda subjek penelitian adalah 1 tahun dan yang tertua adalah 14
tahun. Sebagian besar subjek penelitian adalah berjenis kelamin laki-laki, yaitu sebanyak 17
orang dengan persentase 56,67%. Sebagian besar etiologi cedera kepala adalah terjatuh yaitu
sebesar 76,77%. Sebagian pekerjaan belum bekerja karena merupakan anak-anak dan
pelajar.Sebanyak 20% pekerjaan subjek penelitian adalah pelajar yang terdata dalam rekam
medis.pekerjaan terbanyak adalah belum bekerja karena pada

penelitian ini yang terinklusi adalah usia muda yaitu sebesar 80,00%.

Nilai Pediatric Trauma Score (PTS) memiliki rerata nilai 10.63 ± 1.47 dengan
parameter ringan, sedang, berat, dan serius.Parameter PTS pada tekanan sistolik subjek
penelitian bervariasi dengan nilai terendah 60mmHg dan nilai tertinggi sebesar 140
mmHg.Nilai tekanan darah sistolik subjek penelitian terbanyak adalah sebesar 120 mmHg
yaitu 30%. Frekuensi napas subjek penelitian normal tanpa alat bantu napas dengan
presentase 100%. Fraktur subjek penelitian tertinggi dengan presentase 80%. Luka subjek
penelitian tertinggi dalam subjek penelitian tidak ada luka dengan presentase 76,67%.
Penilaian SSP yang tertinggi dalam keadaan sadar dengan presentase 83,33%. Presentase
berat badan tertinggi dengan presentase

13,33% pada berat 14 kg terdapat 4 subjek.

Analisis bivariat merupakan

analisis dua variabel yang meliputi analisis statistik perbandingan nilai Pediatric Trauma
Score (PTS) dan mortalitas pada pasien cedera kepala anak di RSUD Dr Abdul Aziz Kota
Singkawang. Variabel nilai PTS berupa skala ordinal dengan pembagian kategori ringan,
sedang dan berat dan serius, sedangkan variabel mortalitas berupa skala nominal dengan
pembagian kategori meninggal dan hidup.

Setelah dilakukan tabulasi silang setiap kategori maka dilakukan uji chisquare untuk
mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara kategori PTS dengan mortalitas dengan hasil
nilai p = 0,000 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
kategori PTS dan mortalitas.

PEMBAHASAN
Angka kasus cedera kepala di RSUD DR Abdul Aziz Kota Singkawang periode
Januari 2016 – Mei 2017 terhitung sebanyak 529 kasus dengan etiologi yang bermacam-
macam, seperti kecelakaan lalu lintas, jatuh, tertembak, terkena pukulan benda tumpul.
Subjek penelitian yang digunakan berdasarkan kriteria inklusi penelitian berjumlah 30 dari
529 kasus tersebut. Cedera kepala disebabkan oleh benturan pada bagian kepala secara
langsung ataupun tidak langsung yang dapat terjadi dengan mekanisme benturan secara
mendadak ataupun terus-menerus oleh gaya akselerasi, deselerasi dan serta rotasi. Cedera
kepala dapat berakibat fatal, dapat menyebabkan disabilitas hingga

Jurnal Kesehatan Khatulistiwa. Volume 5. Nomor 2B. Juli 2019


897

mortalitas.19

Cedera pada kepala dapat

melibatkan seluruh struktur lapisan, mulai dari lapisan kulit kepala atau lapisan yang paling
luar, tulang tengkorak, duramater, vaskular otak, sampai jaringan otaknya sendiri, baik
berupa luka yang tertutup, maupun trauma yang menembus kulit hingga tengkoraknya. 20
Cedera kepala adalah penyebab utama kematian dan cacat diantara pengguna sepeda motor
serta biaya dari cedera kepala yang tinggi karena mereka sering memerlukan

perawatan medis khusus atau rehabilitasi jangka panjang. 21 Adapun penyebab tersering
cedera kepala adalah kecelakaan lalu lintas yaitu sebanyak 49% dan

kemudian disusul dengan jatuh.21

Pada penelitian ini, cedera kepala banyak terjadi pada jenis kelamin laki-laki etiologi
cedera kepala sebanyak 76,77% diakibatkan oleh terjatuh. Trefan 22 menyatakan bahwa
kejadian cedera kepala lebih banyak pada laki-laki dibanding perempuan, 5 berbanding 1.
Cedera kepala sering terjadi di Indonesia menurut data insidensinya sebesar 19,6%. 6 Hal
tersebut disebabkan frekuensi kendaraan bermotor bertambah setiap tahun khususnya sepeda
motor.
Penilaian PTS memiliki rentang skor -6 hingga +12 dengan 6 parameter, nilai
tertinggi adalah 12 dan terendah adalah -6. Skor yang tinggi menujukkan bahwa kondisi
pasien dalam keadaan yang baik dan skor rendah menujukkan keadaan

yang buruk23

Sistem skoring PTS berperan

penting dalam penilaian keparahan trauma anak. Jika skor digunakan oleh banyak orang
maka skor itu dapat menjadi objektivitas dalam penilaian trauma 23, skoring PTS berdasarkan
tingkat

keparahan yang terjadi pada trauma anak dapat di kategorikan menjadi 4 yaitu kategori
trauma serius, berat, sedang, dan ringan.18 Penilaian PTS memiliki 6 parameter dengan skor
maksimal +12 dan minimal -6, hasil penjumlahan akan menentukan resiko terjadinya
keburukan pasien cedera kepala anak dengan antara lain dapat dikategorikan nilai skor PTS
dengan skor serius nilai<6), berat (nilai 78), sedang (nilai 9-10), ringan (nilai 1112).18
Pada data hasil diperlihatkan bahwa semakin rendah nilai PTS maka semakin
besar nilai kemungkinan kematian pada pasien anak. Wolfler23 menyatakan bahwa jika PTS
kurang dari atau sama dengan 8 kondisi pasien dalam keadaan buruk yang berpotensi terjadi
kematian sebesar 43% hal ini dikarenakan rendahnya nilai PTS memperlihatkan semangkin
tinggi keparahan pasien. American Collage of Surgeons
Commmittes menyatakan bahwa penilaian PTS adalah penelitian yang mempunyai

Jurnal Kesehatan Khatulistiwa. Volume 5. Nomor 2B. Juli 2019


898

keakuratan sebesar 83% untuk

memberikan penilaian yang tepat kepada

pasien trauma anak.24

Pada kasus kematian penelitian ini skor PTS mengalami penurunan tekanan darah
sistolik karena kemampuan jantung yang tidak adekuat memompa darah ke

otak hal ini dapat terjadi pada kasus cedera kepala anak karena gangguan regulasi

aliran darah ke serebral, kejadian ini sering terjadi pada kasus cedera kepala sedang, cedera
kepala berat dan multipel trauma. Kejadian fraktur pada regio femur dapat memperburuk
prognosis, karena di femur memiliki arteri femoralis yang

memperdarahi arteri kecil dan organ lain dan dimana memperparah keadaan jika terjadi. 25
Sistolik menurun dapat memicu terjadinya cedera kepala sekunder. Studi obervasional
menunjukkan tekanan sistolik rendah berhubungan dengan prognosis yang buruk pada cedera
primer.26 Markam27 menyatakan bahwa tekanan darah yang terlalu tinggi atau terlalu rendah
menunjukkan keadaan yang buruk, akan diikuti dengan kematian. 27 Penderita dengan
hipotensi pada penelitian ini sebanyak 7 orang dan 4 orang meninggal. Pasien yang hipotensi
memiliki angka mortalitas 83% pada kejadian hipotensi saat dirawat dalam waktu 24 jam,
dibandingkan dengan angka mortalitas 45% dari penderita tanpa disertai hipotensi sistemik.
Pada orang normal frekuensi berkisar dari 12 – 20 kali permenit. Frekuensi ini dapat
meningkat dikarenakan respons fisiologis dalam melindungi dan mempertahankan kadar
oksigen di dalam tubuh. Peningkatan juga dapat dipengaruhi oleh pendarahan intrakranial.
Pada bayi 0 bulan hingga 1 tahun frekuensi pernapasan berksisar 30-60 kali permenit anak
1-3 tahun frekuensi pernapasan normal 24-40 kali permenit, anak 3-6 tahun frekuensi
pernapasan 22-34 kali permenit.28 Indikasi pemasangan ventilator adalah pasien dengan
respiratory failure atau gagal napas, respiratory arrest, PaO2 kurang dari 60, PaCO2 lebih
dari 60 mmHg, tujuan pemasangan ventilator adalah memberikan kekuatan mekanis pada
sistem paru untuk

mempertahankan ventilasi yang

fisiologis.29 Murphy30 menyatakan bahwa penyebab tersering kasus cedera kepala anak yang
menggunakan alat bantu
ventilator adalah contusio serebri. Pada penelitian ini semua subjek penelitian tidak
menggunakan ventilator sebagai alat bantu napas. berdasarkan analisis yang telah dilakukan
subjek penelitian yang sadar sebanyak 25 orang dan 5 tidak ada respon. Berdasarkan
referensi mengatakan bahwa seorang yang terganggu fungsi saraf otonomnya dapat terjadi
peningkatan tekanan intrakranial,karena bila tekanan intrakranial meningkat maka orang
tersebut akan kehilangan kesadaran dan

terjadi gangguan neurologis. 31,32

Jurnal Kesehatan Khatulistiwa. Volume 5. Nomor 2B. Juli 2019


899

KESIMPULAN

1. Terdapat hubungan yang bermakna antara Pediatric Trauma Score (PTS) dan tingkat

mortalitas pada pasien cedera kepala.

2. Nilai Pediatric Trauma Score (PTS) subjek penelitian memiliki rerata nilai 10.63 ±

1.47.

3. Terdapat 4 subjek penelitian yang mengalami mortalitas dengan

presentase 13,33%.

DAFTAR PUSTAKA
1. Kumar R dan Mahapatra AK. A Textbook of Head Injury. Edisi ke New Delhi: JP
Medical Ltd; 2012.
2. Manarisip MEI, Oley M, Limpeleh H. Gambaran CT Scan Kepala Pada
Penderita Cedera Kepala Ringan di BLU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado
Periode 2012-2013.J E-Clin. 2014;2(2) : 1-4.
3. Abelson-Mitchell N. Neurotrauma:
Managing Patients with Head Injury. Oxford: John Wiley & Sons; 2013.
4. Sasser S, Varghese M, Kellermann A, Lormand JD. Prehospital traumacare system.
World Health Organization Geneva.2005.
In:http://www.who.int/violence_injury_pr
evention/media/news/04_07_200en/[Accesson:2015.02.20].
5. Khan MK, Hanif SA, Husain M, Huda MF, Sabri I. Pattern of Non-Fatal Head Injury in
Adult Cases Reported at J.N.M.C. Hospital, A.M U, Aligarh. Indian Acad Forensic
Med. 2011; 33(1) : 21-23.
6. http://www.hscic.gov.uk/catalogue/PUB1 2566/hospepis-stat-admi-diag-2012-12-
3tab.xlsx (accessed 20 Jul 2017).
7. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Childhood Injury Report. Patterns
of Unintentional Injuries among 0-19 Year Olds in the United States. Periode 2002-
2006. 2016; 12-21.
8. Burrows P, Trefan L, Houston R. Head injury from falls in children younger than 6
years of age. Arch Dis Child
2015;100:1032–7.
9. Khodadadi H, Asadpoor M, Zohreh Kermani SH, Ravari A. Frequency of the Accidents
in Children Under 15 Years Old Referring to the Emergency Center of Ali Ebn Abitaleb
Hospital in Rafsanjan 2000-2001. JRUMS 2006;5:201–8.
10. Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Barat. Kalimantan Barat dalam Angka 2015.
Pontianak: BPSProvinsi Kalimantan Barat; 2015.
11. Badan Pusat Statistik Kota Pontianak. Kota Pontianak dalam Angka 2015. Pontianak:
BPS-Kota Pontianak; 2015.
12. Chong CL, Ooi S. Commonly used scoring systems. In: Ooi S, Manning P, editors.
Guide to the essentials in emergency medicine. 2nd ed. Singapore: McGraw-Hill; 2015.

Jurnal Kesehatan Khatulistiwa. Volume 5. Nomor 2B. Juli 2019


900

13. Kingston R, O’Flanagan SJ. Scoring system in trauma. Irish J Med Sci. 2000; 169(3):
168-72.
14. Rehn M, Perel P, Blackhall K, Lossius HM. Prognostic models for the early care of
trauma patients: A systematic review. Scand J Trauma, Resuscitation and Emergency
Medicine. 2015; 19(17): 6.
15. Ozoilo KN. Measurement of the magnitude of injury: A review of the trauma scoring
systems. Jos J Med. 2013; 6(2): 19-20.
16. Malq WZ. Pediatric Trauma Score Lecture Notes Injury: A reviews of the pediatric
trauma scoring and Emergency. 2015; 12(7):6-12.
17. Champion HR. Trauma scoring. Scand J Surg. 2002; 91(1): 12-22.
18. Bawono L. Perbandingan Modified Injury Severity Score dan Pediatric Trauma Score
Sebagai Prediktor Mortalitas Serta Indikasi Operasi pada Kasus Trauma Anak di RSUP
Dr. Sardjito Yogyakarta. Universitas Gajah Mada. 2014.
19. World Health Organization. Motorcylerelated road traffic crashes in Kenya fact &
figures. 2011.
20. Departemen Dalam Negeri UndangUndang Republik Indonesia. Komisi Kesehatan.
Kesehatan Nomor 36 tahun
2009. Tersedia: http://www.depdagri.go.iddi akses pada 23 Maret 2017.
21. Brown L dan Pineda L. Evidance-Based
Assessment of Severe Pediatric Traumatic Brain Injury and Emergent Neurocritical Care.
Rosen's Emergency Medicine: Concepts and Clinical Practice. 8th ed. Philadelphia, PA:
Elsevier; a2014.
22. Trefan L, Houston R, Pearson G, Edwards H, Hyde P, Maconochie, Parslow RV.
Epidemiology of children with head injury:a national overview. Arch Dis. BMJ.
Childpublished online March 14, 2016.
23. Wolfler A, Osello R, Gualino J, et al. The
Importance of Mortality Risk
Assessment: Validation of the Pediatric Index of Mortality 3 Score. Pediatric Crit
Care Med 2016; 17:251.
24. American Collage of Surgeons Committes on Trauma Instructor Syllabus of advance
life support. 1984.
25. Tepas Iil, Daniel Mollet, James L. The
Pediatric Trauma Score as a Predictor of
Injury Child. Journal of Pediatric Surgery, Vol 22, 201 (January) 1987: pp 14-18.
26. Newfield P, Pitts L, Kaktis J, Hoff J. The influence of shock on mortality after head
trauma. Crit Care Med. 1980;8(4):254
27. Markam, S, Atmadja, DS, & Budijanto,
A.2005. Cedera kepala tertutup, Jakarta :Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
28. Hall JE. Body Temperature Regulation and Fever. Guyton and Hall Textbook of
Medical Physiology. 13th ed. Saunders; 2015 Jun 03. Chapter 74, 911-922 29.Esteban
A, Frutos-Vivar F, Ferguson ND. Noninvasive positive-pressure ventilation for
respiratory failure after extubation. N Engl J Med. 2004 Jun 10. 350(24):245260.
30. Murphy SL, Kochanek KD, Xu J, Arias E. Mortality in the United States, 2014.
NCHS Data Brief. 2015 Dec. no. 229:1-8.
31. Sherer M dan Sander AM. Handbook on the Neuropsychology of Traumatic Brain
Injury. New York: Springer; 2014.

Jurnal Kesehatan Khatulistiwa. Volume 5. Nomor 2B. Juli 2019


901

32. Takahashi C, Hinson H dan Bagulay IJ. Autonomic dysfunction syndromes after
acute brain injury. Edisi ke-3.
Philadelphia: Elsevier; 2015.

Jurnal Kesehatan Khatulistiwa. Volume 5. Nomor 2B. Juli 2019

Anda mungkin juga menyukai