Anda di halaman 1dari 6

1

Nama : Allan Kharisma S


RINGKASAN Nosis : 2332
REDENOMINASI

Redenominasi

Redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang menjadi lebih kecil tanpa
mengubah nilai tukarnya. Pada waktu terjadi inflasi, jumlah satuan moneter yang sama
perlahan-lahan memiliki daya beli yang semakin melemah. Dengan kata lain, harga
produk dan jasa harus dituliskan dengan jumlah yang lebih besar. Ketika angka-angka
ini semakin membesar, mereka dapat memengaruhi transaksi harian karena risiko dan
ketidaknyamanan yang diakibatkan oleh jumlah lembaran uang yang harus dibawa,
atau karena psikologi manusia yang tidak efektif menangani perhitungan angka dalam
jumlah besar. Pihak yang berwenang dapat memperkecil masalah ini dengan
redenominasi: satuan yang baru menggantikan satuan yang lama dengan sejumlah
angka tertentu dari satuan yang lama dikonversi menjadi 1 satuan yang baru. Jika
alasan redenominasi adalah inflasi, maka rasio konversi dapat lebih besar dari 1,
biasanya merupakan bilangan positif kelipatan 10, seperti 10, 100, 1.000, dan
seterusnya. Prosedur ini dapat disebut sebagai "penghilangan nol".

Redenominasi Rupiah

Dalam rangka menciptakan sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman, dan
handal, Bank Indonesia melakukan redenominasi. Redenominasi rupiah menentukan
salah satu kewenangan Bank Indonesia dalam rangka mengatur dan menjaga
keselarasan sistem pembayaran di Indonesia. Berikut ini alasan redenominasi rupiah.

Uang pecahan Indonesia yang terbesar saat ini adalah Rp100.000 yang
merupakan pecahan terbesar kedua di dunia setelah mata uang Dong Vietnam yang
pernah mencetak 500.000 dong. Namun tidak memperhitungkan negara Zimbabwe
yang pernah mencetak 100 triliun dolar Zimbabwe dalam 1 lembar mata uang.
2

Munculnya keresahan atas status rupiah yang terlalu rendah dibandingkan mata
uang lainnya, misalnya terhadap dolar, euro, dan uang global lainnya, bukan dalam hal
substansi, melainkan identitas karena kekuatan mata uang Indonesia relatif stabil,
cadangan devisa juga aman, inflasi terjaga (1 digit), investasi juga tidak ada persoalan,
kinerja ekonomi Indonesia baik.

Pecahan uang Indonesia yang selalu besar akan menimbulkan ketidakefisienan


dan ketidaknyamanan dalam melakukan transaksi, karena diperlukan waktu yang
banyak untuk mencatat, menghitung dan membawa uang untuk melakukan transaksi
sehingga terjadi ketidakefisienan dalam transaksi ekonomi.

Untuk mempersiapkan kesetaraan ekonomi Indonesia dengan kawasan ASEAN


dalam memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN pada tahun 2015.

Untuk menghilangkan kesan bahwa nilai nominal uang yang terlalu besar seolah-
olah mencerminkan bahwa pada masa lalu, suatu negara pernah mengalami inflasi
yang tinggi atau pernah mengalami kondisi fundamental ekonomi yang kurang baik.

Sanering

Sanering atau devaluasi adalah pemotongan daya beli masyarakat melalui


pemotongan nilai uang. Hal yang sama tidak dilakukan pada harga-harga barang,
sehingga daya beli masyarakat menurun.

Sanering di Indonesia

30 Maret 1950
 Pemerintahan Presiden Sukarno, melalui menkeu Syafrudin Prawiranegara
(Masyumi, Kabinet Hatta RIS) pada 30 Maret 1950 melakukan devaluasi dengan
pengguntingan nilai uang. Syafrudin Prawiranegara menggunting uang kertas
bernilai Rp5,00 ke atas, sehingga nilainya berkurang separuh. Tindakan ini
dikenal sebagai "Gunting Syafruddin".
24 Agustus 1959
 Pemerintahan Presiden Sukarno melalui Menteri Keuangan yang dirangkap oleh
Menteri Pertama Djuanda menurunkan nilai mata uang Rp10.000 yang
3

bergambar gajah dan Rp5.000 yang bergambar macan, diturunkan nilainya


hanya jadi Rp100 dan Rp50.
 1966 (sebenarnya redenominasi, tetapi gagal)
 Walaupun perjuangan Irian Barat sudah dimenangkan pada tahun 1963, Bung
Karno menciptakan momok baru Malaysia, untuk memelihara koalisi semu
segitiga antara dirinya dengan TNI dan PKI. Koalisi ini berantakan dengan
pembunuhan, kudeta dan kontra kudeta 1 Oktober 1965. Waperdam III Chairul
Saleh terjeblos tindakan drastis, mengganti uang lama dengan uang baru
dengan kurs Rp1.000 akan diganti Rp1 baru. Inflasi segera melonjak 650% dan
Bung Karno mengeluarkan Supersemar 11 Maret 1966 yang semakin
mengukuhkan konfrontasi Soeharto sejak menolak dipanggil ke Halim oleh
Panglima Tertinggi pada 1 Oktober 1965..

Perbedaan redenominasi dan sanering

Tujuan Redenominasi

Tujuan utamanya adalah menyederhanakan pecahan uang agar lebih efisien dan
nyaman dalam transaksi serta efektif dalam pencatatan pembukuan keuangan. Tujuan
4

lainnya, agar perekonomian Indonesia bisa setara dengan negara-negara lain terutama
di tingkat regional. Contoh teknis redenominasi rupiah ialah ada uang Rp10.000,
setelah dilakukan redenominasi, maka tiga angka di belakang akan hilang,
penulisannya berubah Rp10 saja dan nilai uang masih sama dengan sepuluh ribu
rupiah. Jika kita biasanya membeli roti seharga Rp10.000 per bungkus, setelah ada
redenominasi rupiah, maka harga roti tersebut berubah Rp10 per bungkus.

Apa manfaat Redenominasi Rupiah ?

Pertama, untuk kemudahan dan penyederhanaan sistem pencatatan keuangan


bagi pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. Terutama soal kemudahan teknik
perhitungan rupiah karena selama ini selalu melibatkan banyak digit yang berpotensi
menyebabkan kesalahan dalam transaksi. Khusus bagi pemerintah akan
mempermudah penyusunan APBN yang nilainya saat ini sudah mencapai ribuan triliun
rupiah.

Kedua, meningkatkan citra rupiah terhadap mata uang negara lain. Nilai tukar
rupiah terhadap dolar AS kuotasinya akan sama dengan mata uang di negara lain.
Kalau saat ini USD/IDR adalah 13.320 nanti angka dibelakang koma dalam bilangan
sen sehingga nilai tukarnya menjadi USD/IDR 13,32.

Volatilitasnya juga tidak seperti saat ini, setelah redenominasi yang lebih sering
berubah hanya pada small vigures yaitu dua angka sen dibelakang koma. Tidak ada
lagi uang kertas NKRI dengan angka sebesar Rp100.000. Angka paling besar dalam
uang kertas menjadi Rp100 seperti uang kertas yang diterbitkan oleh mayoritas negara-
negara lain.

Redenominasi Rupiah juga ada risikonya.

Pertama, ada persepsi dan kekhawatiran di masyarakat bahwa Redenominasi


Rupiah sama dengan sanering. Dikhawatirkan banyak pemilik modal yang akan
mengkonversikan uang rupiahnya kedalam valuta asing khususnya dolar AS.
5

Padahal kedua kebijakan itu berbeda. Redenominasi hanya mengurangi jumlah


digit tanpa mengurangi nilai uangnya. Sanering adalah mengurangi daya beli dan nilai
uangnya. Kalau misalnya sebelum sanering harga suatu barang Rp100.000, setelah
sanering mata uang rupiah dikurangi digitnya menjadi Rp100. Namun uang baru ini
tidak bisa digunakan untuk membeli barang tersebut karena harganya tidak berubah,
tetap Rp100.000.

Kedua, potensi kenaikan harga karena pembulatan harga ke atas secara


berlebihan akibat dari pengusaha dan pedagang yang menaikkan harga semaunya.

Pada saat Redenominasi Rupiah dilaksanakan, selama masa peralihan para


pelaku usaha wajib mencantumkan harga barang atau tarif jasa dalam harga rupiah
lama dan rupiah baru secara bersamaan. Misalnya toko elektronik menjual komputer
dalam harga rupiah lama Rp3000.000, harus juga mencantumkan harganya dalam
rupiah baru Rp3.000.

Contoh lain, suatu perjanjian pinjaman kredit mobil bernilai Rp100.000.000


dengan cicilan per bulan Rp3.000.000. Setelah dilakukan redenominasi, perjanjian
kredit tersebut harus dibaca menjadi Rp100.000 dengan cicilan per bulan Rp3.000
tanpa perlu dilakukan perubahan atas perjanjian kreditnya.

Berdasarkan RUU Redenominasi Rupiah setiap pelaku usaha yang tidak


mencantumkan kuotasi atau menyatakan harga atau tarif barang dan/atau jasa dalam
rupiah lama dan rupiah baru secara bersamaan selama masa peralihan bisa dikenakan
sanksi pidana denda atau pidana kurungan.

Untuk mengatasi risiko saat pelaksanaannya, diperlukan landasan hukum yang


kuat dan dukungan masyarakat. Risiko ini terkait dengan potensi kenaikan harga yang
berlebihan sehingga berdampak pada meningkatnya inflasi, penolakan dari masyarakat
dan risiko perselisihan.
6

Belajar dari keberhasilan Polandia, Ukraina, Turki dan Rumania melakukan


sosialisasi, edukasi dan konsultasi publik yang baik disertai dasar hukum yang kuat dan
dukungan dari masyarakat luas, hampir seluruh risiko berhasil diatasi dengan baik.

Untuk mendukung kesuksesan program ini, harus ada sosialisasi dan edukasi
secara aktif, intensif dan berkesinambungan kepada masyarakat. Sangat diperlukan
kerja sama yang erat antara pemerintah, BI dan OJK serta didukung perbankan,
asosiasi industri dan pengusaha, lembaga pendidikan serta lembaga masyarakat
lainnya.

Kemajuan teknologi informasi di bidang media massa dan media sosial bisa
mendukung kebijakan redenominasi rupiah.

Penerapan redenominasi rupiah harus melalui beberapa tahapan. Pertama,


tahap persiapan dan pengesahan UU Redenominasi Rupiah serta rencana pencetakan
uang baru. Juga sosialisasi dan edukasi kepada seluruh masyarakat.

Tahap selanjutnya yaitu masa transisi dimana digunakan dua mata uang secara
bersamaan yaitu rupiah lama dan rupiah baru. Pada tahapan ini, pedagang dan dunia
usaha diwajibkan mencantumkan harga barang atau jasa dalam rupiah lama dan rupiah
baru (dual price tagging).

Tahap terakhir, seluruh transaksi barang dan jasa serta seluruh kegiatan
ekonomi harus menggunakan rupiah baru.

Anda mungkin juga menyukai