Redenominasi
Redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang menjadi lebih kecil tanpa
mengubah nilai tukarnya. Pada waktu terjadi inflasi, jumlah satuan moneter yang sama
perlahan-lahan memiliki daya beli yang semakin melemah. Dengan kata lain, harga
produk dan jasa harus dituliskan dengan jumlah yang lebih besar. Ketika angka-angka
ini semakin membesar, mereka dapat memengaruhi transaksi harian karena risiko dan
ketidaknyamanan yang diakibatkan oleh jumlah lembaran uang yang harus dibawa,
atau karena psikologi manusia yang tidak efektif menangani perhitungan angka dalam
jumlah besar. Pihak yang berwenang dapat memperkecil masalah ini dengan
redenominasi: satuan yang baru menggantikan satuan yang lama dengan sejumlah
angka tertentu dari satuan yang lama dikonversi menjadi 1 satuan yang baru. Jika
alasan redenominasi adalah inflasi, maka rasio konversi dapat lebih besar dari 1,
biasanya merupakan bilangan positif kelipatan 10, seperti 10, 100, 1.000, dan
seterusnya. Prosedur ini dapat disebut sebagai "penghilangan nol".
Redenominasi Rupiah
Dalam rangka menciptakan sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman, dan
handal, Bank Indonesia melakukan redenominasi. Redenominasi rupiah menentukan
salah satu kewenangan Bank Indonesia dalam rangka mengatur dan menjaga
keselarasan sistem pembayaran di Indonesia. Berikut ini alasan redenominasi rupiah.
Uang pecahan Indonesia yang terbesar saat ini adalah Rp100.000 yang
merupakan pecahan terbesar kedua di dunia setelah mata uang Dong Vietnam yang
pernah mencetak 500.000 dong. Namun tidak memperhitungkan negara Zimbabwe
yang pernah mencetak 100 triliun dolar Zimbabwe dalam 1 lembar mata uang.
2
Munculnya keresahan atas status rupiah yang terlalu rendah dibandingkan mata
uang lainnya, misalnya terhadap dolar, euro, dan uang global lainnya, bukan dalam hal
substansi, melainkan identitas karena kekuatan mata uang Indonesia relatif stabil,
cadangan devisa juga aman, inflasi terjaga (1 digit), investasi juga tidak ada persoalan,
kinerja ekonomi Indonesia baik.
Untuk menghilangkan kesan bahwa nilai nominal uang yang terlalu besar seolah-
olah mencerminkan bahwa pada masa lalu, suatu negara pernah mengalami inflasi
yang tinggi atau pernah mengalami kondisi fundamental ekonomi yang kurang baik.
Sanering
Sanering di Indonesia
30 Maret 1950
Pemerintahan Presiden Sukarno, melalui menkeu Syafrudin Prawiranegara
(Masyumi, Kabinet Hatta RIS) pada 30 Maret 1950 melakukan devaluasi dengan
pengguntingan nilai uang. Syafrudin Prawiranegara menggunting uang kertas
bernilai Rp5,00 ke atas, sehingga nilainya berkurang separuh. Tindakan ini
dikenal sebagai "Gunting Syafruddin".
24 Agustus 1959
Pemerintahan Presiden Sukarno melalui Menteri Keuangan yang dirangkap oleh
Menteri Pertama Djuanda menurunkan nilai mata uang Rp10.000 yang
3
Tujuan Redenominasi
Tujuan utamanya adalah menyederhanakan pecahan uang agar lebih efisien dan
nyaman dalam transaksi serta efektif dalam pencatatan pembukuan keuangan. Tujuan
4
lainnya, agar perekonomian Indonesia bisa setara dengan negara-negara lain terutama
di tingkat regional. Contoh teknis redenominasi rupiah ialah ada uang Rp10.000,
setelah dilakukan redenominasi, maka tiga angka di belakang akan hilang,
penulisannya berubah Rp10 saja dan nilai uang masih sama dengan sepuluh ribu
rupiah. Jika kita biasanya membeli roti seharga Rp10.000 per bungkus, setelah ada
redenominasi rupiah, maka harga roti tersebut berubah Rp10 per bungkus.
Kedua, meningkatkan citra rupiah terhadap mata uang negara lain. Nilai tukar
rupiah terhadap dolar AS kuotasinya akan sama dengan mata uang di negara lain.
Kalau saat ini USD/IDR adalah 13.320 nanti angka dibelakang koma dalam bilangan
sen sehingga nilai tukarnya menjadi USD/IDR 13,32.
Volatilitasnya juga tidak seperti saat ini, setelah redenominasi yang lebih sering
berubah hanya pada small vigures yaitu dua angka sen dibelakang koma. Tidak ada
lagi uang kertas NKRI dengan angka sebesar Rp100.000. Angka paling besar dalam
uang kertas menjadi Rp100 seperti uang kertas yang diterbitkan oleh mayoritas negara-
negara lain.
Untuk mendukung kesuksesan program ini, harus ada sosialisasi dan edukasi
secara aktif, intensif dan berkesinambungan kepada masyarakat. Sangat diperlukan
kerja sama yang erat antara pemerintah, BI dan OJK serta didukung perbankan,
asosiasi industri dan pengusaha, lembaga pendidikan serta lembaga masyarakat
lainnya.
Kemajuan teknologi informasi di bidang media massa dan media sosial bisa
mendukung kebijakan redenominasi rupiah.
Tahap selanjutnya yaitu masa transisi dimana digunakan dua mata uang secara
bersamaan yaitu rupiah lama dan rupiah baru. Pada tahapan ini, pedagang dan dunia
usaha diwajibkan mencantumkan harga barang atau jasa dalam rupiah lama dan rupiah
baru (dual price tagging).
Tahap terakhir, seluruh transaksi barang dan jasa serta seluruh kegiatan
ekonomi harus menggunakan rupiah baru.