Anda di halaman 1dari 20

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DALAM

PERSPEKTIF KETAHANAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK


INDONESIA

TUGAS

KEWARGANEGARAAN

Disusun Oleh:
Allan Kharisma
No. Mahasiswa : 2332

SEKOLAH TINGGI HUKUM MILITER


ANGKATAN XXV
2020
ii

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi ALLAH SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-NYA yang
senantiasa memberikan kemudahan dalam meyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
Tidak luput bantuan dari beberapa pihak juga yaitu saya berterimakasih kepada orang tua yang
selalu mendoakan dan memberikan dukungan, kepada dosen saya Bpk Kolonel (Purn) Chk.
Sudiro, S.H., M.H., M.Sc. selaku dosen “Kewarganegaraan” yang telah memberikan motivasi
dan kesempatan kepada saya untuk mengerjakan makalah ini. Adapun makalah ini
berdasarkan berbagai sumber yang berkaitan dengan tema dan judul makalah ini yaitu
“IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DALAM PERSPEKTIF KETAHANAN
NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA”. Harapan kami, makalah dapat memberi
tuntunan konsep yang praktis bagi teman-teman Mahasiswa dalam memahami tentang
nasionalisme dan bela negara ada saat ini. Untuk itu kami bisa mengembangkan saran dan
kritik yang bersifat membangun dari para pembaca. Akhir kata semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi kita semua.

Jakarta, Maret 2020


Penyusun

Allan Kharisma
No Mahasiswa 2332
iii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.....................................................................................................i
KATA PENGANTAR..................................................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...........................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................2
C. Tujuan.........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
D. Geopolitik dan Geostrategi Indonesia …………………………………….2
E. Nasionalisme dan Wawasan Kebangsaan Indonesia …………………..5
F. Globalisasi dan Tantangannya ……………………………………………..7
G. Pertahanan Negara dan Bela Negara……………………………………..10
BAB III PENUTUP…………………………………………………………………………14
DAFTAR PUSTAKA
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai negara kepulauan terbesar dunia, posisi geografis Indonesia membentang pada
koordinat 6 LU – 11.08’ LS dan 95 BT – 141.45’ BT dan terletak di antara dua benua, Asia di
utara, Australia di Selatan, dan dua samudera yaitu Hindia/Indonesia di barat dan Pasifik di
timur. Dalam perspektif geopolitik, bentangan posisi geografis ini tentu saja menjadikan
Indonesia sebagai Negara yang memiliki bargaining power dan bargaining positionstrategis
dalam percaturan dan hubungan antar bangsa, baik dalam lingkup kawasan maupun global.
Hal ini berangkat dari pemikiran bahwa ruang merupakan inti dari geopolitik karena di sana
merupakan wadah dinamika politik dan militer. Penguasaan ruang secara de facto dan de jure
merupakan legitimasi dari kekuasaan politik. Bertambahnya ruang negara atau berkurangnya
ruang negara oleh berbagai jenis sebab, selalu dikaitkan dengan kehormatan dan kedaulatan
negara dan bangsa (Sunardi, 2000, 33 – 35). Sementara itu, hubungan antar bangsa
senantiasa diwarnai oleh kompetisi dan kerjasama. Dalam hubungan tersebut, setiap bangsa
berupaya untuk mencapai dan mengamankan kepentingan nasionalnya menggunakan semua
instrumen kekuatan nasional dimilikinya. Dalam kaitan kepentingan nasional itulah, bangsa
Indonesia tentu saja harus senantiasa mengembangkan dan memiliki kesadaran ruang (space
consciousness) dan kesadaran geografis (geographical awareness) sebagai Negara
kepulauan. Hal ini logis dan sangat mendasar mengingat, di satu sisi, posisi geografis yang
strategis dan terbuka serta mengandung keragaman potensi sumber kekayaan alam, tentu saja
merupakan peluang dan keuntungan bagi bangsa Indonesia dalam mewujudkan cita-cita dan
tujuan nasionalnya. Namun di sisi lain, posisi geografis yang menjadi perlintasan dan
pertemuan kepentingan berbagai negara ini, mengandung pula kerawanan dan kerentanan
karena pengaruh perkembangan lingkungan strategis yang dapat berkembang menjadi
ancaman bagi ketahanan bangsa dan pertahanan Negara.

Berbagai pengaruh dan dampak negatif dari perkembangan lingkungan strategis yang
disertai berubahnya persepsi dan hakikat ancaman terhadap eksistensi maupun kedaulatan
bangsa, tentu saja harus dicermati dan disikapi oleh bangsa Indonesia secara sungguh–
sungguh. Hal ini penting mengingat kemajuan ilmu pengetahuan teknologi, informasi dan
komunikasi (Information and Communication Technologies – ICT) telah berimplikasi semakin
berkembangnya peperangan modern dalam bentuk Asymmetric Warfare dan Proxy War. Oleh
karena itu, salah satu upaya yang harus menjadi fokus perhatian segenap komponen bangsa
adalah kemandirian dalam penguasaan, pengembangan dan pemanfaatan teknologi di
berbagai bidang. Dalam konteks membangun ketahanan nasional aspek pertahanan
keamanan, maka penguasaan, pengembangan dan pemanfaatan teknologi merupakan cara
cerdas untuk mengantisipasi dan menghadapi ancaman militer maupun ancaman nir militer.
Terkait hal tersebut, keberadaan Resimen Mahasiswa ITB “Resimen Teknologi”, memiliki
relevansi yang sangat strategis dalam memperkuat sistem pertahanan negara di masa damai
maupun di masa perang. Sesuai dengan kapasitas, kapabilitas dan kompetensinya, peranserta
dan partisipasi aktif Menwa ITB “Resimen Teknologi” semakin dibutuhkan untuk
melipatgandakan kekuatan dan kemampuan pertahanan negara dalam menghadapi potensi
ancaman Asymmetric Warfare maupun Proxy War.

B. Rumusan Masalah.
1. Bagaimana geopolitik dan geostrategi Indonesia ?
2. Bagaimana nasionalisme dan wawasan kebangsaan Indonesia. ?
3. Bagaimana globalisasi dan tantangannya ?
4. Bagaimana pertahanan negara dan bela negara ?

C. Tujuan. Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah agar mahasiswa mengetahui
bagaimana nasionalisme dan bela negara dalam perspektif ketahanan nasional.

BAB II

PEMBAHASAN

D. Geopolitik dan Geostrategi Indonesia.

Keberlangsungan hidup dan eksistensi suatu bangsa, sangat dipengaruhi oleh


kemampuan bangsa tersebut dalam memahami dan menguasai kondisi geografi serta
lingkungan sekitarnya. Tumbuh kembangnya atau berkurangnya ruang hidup bangsa, juga
dipengaruhi oleh pandangan geopolitik yang diyakini oleh entitas suatu bangsa. Menurut
Sophie Chautard dalam bukunya La Geopolitique, “Geopolitik bukan ilmu pengetahuan murni,
melainkan sebuah multidisiplin ilmu yang mempelajari hubungan antar ruang dan politik, antara
teritorial dan individu. Meletakkan semua masalah pada aspek geografi yang memungkinkan
kita menganalisa kondisi saat ini, memahami hubungan satu kejadian dengan kejadian lainnya”.
Pandangan Gearoid O’ Tuathail menyatakan bahwa, “Geopolitik tidak memiliki makna atau
identitas tunggal yang mencakup segala hal….. Geopolitik merupakan suatu wacana, yaitu
suatu cara penggambaran, perwakilan dan penulisan tentang geografi dan politik internasional
yang sangat beragam secara kultural dan politik.” Dalam pidato peresmian Lemhannas RI
tahun 1965, Presiden pertama RI, Ir. Soekarno, menegaskan bahwa pertahanan nasional
hanya dapat dilaksanakan secara sempurna, bila suatu bangsa mendasarkan pertahanan
nasional atas pengetahuan geopolitik. Wawasan Nusantara. Pengetahuan geopolitik yang
dimaksud adalah geopolitik Indonesia yang dikembangkan berdasarkan tiga faktor yang
membentuk karakter bangsa indonesia, yaitu sejarah lahirnya negara, bangsa dan tanah
air,serta cita – cita dan ideologi bangsa. Berdasarkan ketiga hal tersebut, bangsa indonesia
telah mengembangkan pandangan geopolitik yang bersumber pada nilai – nilai kesejarahan
yang sudah dimulai sejak era prakolonialisme hingga era kemerdekaan RI.

Pandangan yang bersumber pada kesamaan pengalaman pahit sejarah, pada akhirnya
menghasilkan konsepsi Wawasan Nusantara sebagai pandangan geopolitik yang memandang
wilayah nusantara sebagai ruang hidup yang harus dipertahankan dan dikelola sebagai sumber
kehidupan bangsa Indonesia dalam mencapai tujuan dan cita – cita nasional. Secara formal,
Wawasan Nusantara dipahami dan dimengerti sebagai cara pandang bangsa indonesia tentang
diri dan lingkungan keberadaanya dalam memanfaatkan kondisi dan konstelasi geografi
dengan menciptakan tanggungjawab dan motivasi atau dorongan bagi seluruh bangsa
indonesia untuk mencapai tujuan nasional. Sebagai wawasan nasional, konsepsi Wawasan
Nusantara menganut filosofi dasar geopolitik Indonesia yang mengutamakan persatuan dan
kesatuan bangsa. Sebagai hasil perenungan filsafat tentang diri dan lingkungannya, Wawasan
Nusantara mencerminkan pula dimensi pemikiran mendasar bangsa Indonesia yang mencakup
dimensi kewilayahan sebagai suatu realitas serta dimensi kehidupan, bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara sebagai suatu fenomena hidup. Kedua dimensi pemikiran tersebut
merupakan keterpaduan pemikiran dalam dinamika kehidupan pada seluruh aspek kehidupan
nasional yang berlandaskan Pancasila. Dengan prinsip inilah, seyogyanya setiap komponen
dan anak bangsa harus mampu memandang, menyikapi serta mengelola sifat dan karakter
geografis lingkungannya yang sarat dengan potensi dan risiko ancaman. Pola pikir, pola sikap
dan pola tindak bangsa Indonesia harus paham, akrab dan menyatu dengan perilaku geografis
kepulauan indonesia sebagai ruang, alat dan kondisi juang untuk mempertahankan
kelangsungan hidupnya.

Ketahanan Nasional. Pada hakikatnya Ketahanan Nasional merupakan kondisi sekaligus


konsepsi pembangunan nasional dalam pencapaian tujuan dan cita – cita bangsa. Sebagai
suatu kondisi, Ketahanan Nasional merupakan kondisi dinamis bangsa yang berisi
ketangguhan serta keuletan dan kemampuan bangsa untuk mengembangkan kekuatan
nasional dalam menghadapi segala macam dan bentuk ancaman, tantangan, hambatan, dan
gangguan baik yang datang dari dalam maupun luar, yang mengancam dan membahayakan
integritas, identitas serta kelangsungan hidup bangsa dan negara.Sebagai kondisi, Ketahanan
Nasional merupakan kondisi kehidupan nasional yang harus diwujudkan dan dibina secara dini,
terus menerus, terpadu dan sinergis. Sebagai konsepsi, Ketahanan Nasional merupakan
landasan konsepsional strategis yang sekaligus merupakan pisau analisis untuk memecahkan
berbagai permasalahan strategis bangsa melalui pendekatan 8 (delapan) aspek kehidupan
nasional (asta gatra) yang terdiri dari 3 (tiga) aspek alamiah (tri gatra) yang bersifat statis dan 5
(lima) aspek kehidupan (panca gatra) yang bersifat dinamis. Peran dan hubungan diantara
kedelapan gatra saling terkait dan saling tergantung secara utuh menyeluruh membentuk tata
laku masyarakat dalam kehidupan nasional. Dalam implementasinya, ketahanan nasional
diselenggarakan dengan mengutamakan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) dan
pendekatan keamanan (security approach) yang serasi, selaras dan seimbang. Kesejahteraan
dapat digambarkan sebagai kemampuan bangsa dalam menumbuhkan dan mengembangkan
nilai-nilai nasionalnya demi sebesar-besar kemakmuran yang adil dan merata, rohaniah, dan
jasmaniah. Sementara itu, keamanan harus dipahami sebagai kemampuan bangsa dalam
melindungi nilai-nilai nasionalnya terhadap ancaman dari luar dan dari dalam, termasuk di
dalamnya melindungi pancasila sebagai dasar negara (philosophi gronslag). Dalam perspektif
Ketahanan Nasional, pertahanan negara Indonesia tidak terlepas dari pengaruh dan dinamika
kondisi yang terkait dengan delapan aspek kehidupan nasional di atas. Konsep keseimbangan
dan saling keterkaitan antar satu gatra dengan gatra lainnya serta sistem pertahanan negara
yang bersifat kesemestaan, mencerminkan adanya keterhubungan yang kuat antara kondisi
Ketahanan Nasional dengan Pertahanan Negara secara menyeluruh. Oleh karena itu,
pembinaan dan pengkondisian Ketahanan Nasional dalam berbagai aspeknya, akan
menentukan kualitas Pertahanan Negara, baik di masa damai maupun dalam masa perang.
Kualitas Pertahanan Negara akan berbanding lurus dengan kondisi Ketahanan Nasional yang
dimiliki, artinya setiap perubahan kondisi Ketahanan Nasional bangsa, dengan sendirinya akan
berpengaruh terhadap kualitas pertahanan negara dalam implementasinya.

E. Nasionalisme dan Wawasan Kebangsaan Indonesia.

Sejarah mencatat bahwa setidaknya ada empat hal yang dapat menjadi perekat bangsa,
yaitu pertama, jaringan perdagangan di masa lampau; kedua, penggunaan bahasa yang sejak
1928 kita sebut sebagai bahasa Indonesia; ketiga, imperium Hindia-Belanda sesudah
paxneerlandica, dan keempat, pengalaman bersama hidup sebagai bangsa Indonesia sejak
1945. Proses pembentukan bangsa Indonesia diawali oleh keinginan untuk lepas dari
penjajahan dan ingin memiliki kehidupan yang lebih baik bebas dari penindasan dan bebas
untuk melakukan apa yang diinginkan sebagai sebuah bangsa yang dibalut dalam rasa
Nasionalisme. kemudian Kerangka cita-cita Nasional (bangsa) tersebut terangkum apik dalam
pembukaan UUD 1945, dengan Negara republik Indonesia sebagai pengemban amanah dari
kedaulatan rakyat Indonesia. Pertumbuhan wawasan kebangsaan Indonesia bersifat unik dan
tidak dapat disamakan dengan pertumbuhan nasionalisme bangsa lain. Walaupun rasa
“persatuan” ke-Indonesia-an telah bertunas lama dalam sejarah bangsa Indonesia, namun
semangat kebangsaan atau nasionalisme ke-Indonesia-an dalam arti yang sesungguhnya,
secara formal baru lahir pada permulaan abad ke-20. Semangat kebangsaan tersebut lahir
sebagai reaksi perlawanan terhadap kolonialisme yang telah berlangsung berabad-abad
lamanya. Karena itu, nasionalisme Indonesia kontemporer terutama berakar pada keadaan
bangsa Indonesia pada abad keduapuluh, namun beberapa dari akar-akarnya berasal dari
lapisan sejarah yang jauh lebih tua (Kahin, 1970). Kebangkitan dan lahirnya semangat
kebangsaan dan nasionalisme Indonesia pada awal abad ke-20, ditandai oleh tiga momentum
sejarah yang saling terkait erat dan tidak dapat dipisahkan, yaitu : Kebangkitan nasional tahun
1908, Sumpah Pemuda tahun 1928 dan Proklamasi kemerdekaan RI tahun 1945. Ketiga
momentum sejarah tersebut, merupakan rangkaian proses terbentuknya nasionalisme
Indonesia yang sarat dengan nilai – nilai keIndonesiaan. Semangat kebangsaan dan
nasionalisme Indonesia berpijak pada sistem nilai dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Hal
ini tercermin dalam pidato Bung Karno (7 Mei 1953) di Universitas Indonesia, yang intinya ialah:
Pertama, nasionalisme Indonesia bukan nasionalisme sempit (chauvinism) tetapi nasionalisme
yang mencerminkan perikemanusiaan (humanisme, internasionalisme); Kedua, kemerdekaan
Indonesia tidak hanya bertujuan untuk menjadikan negara yang berdaulat secara politik dan
ekonomi, tetapi juga mengembangkan kepribadian sendiri atau kebudayaan yang “bhinneka
tunggal ika”.

Menurut Notonagoro, seorang ahli filsafat dan hukum dari Universitas Gajah Mada,
nasionalisme dalam konteks Pancasila bersifat “majemuk tunggal” (bhinneka tunggal ika).
Unsur-unsur yang membentuk nasionalisme Indonesia adalah sebagai berikut: 1. Kesatuan
Sejarah. yaitu kesatuan yang dibentuk dalam perjalanan sejarahnya yang panjang sejak zaman
Sriwijaya, Majapahit dan munculnya kerajaan-kerajaan Islam hingga akhirnya muncul
penjajahan VOC dan Belanda. Secara terbuka nasionalisme mula pertama dicetuskan dalam
Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan mencapai puncaknya pada Proklamasi Kemerdekaan
RI pada 17 Agustus 1945. 2. Kesatuan Nasib. Bangsa Indonesia terbentuk karena memiliki
persamaan nasib, yaitu penderitaan selama masa penjajahan dan perjuangan merebut
kemerdekaan secara terpisah dan bersama-sama. 3. Kesatuan Kebudayaan. Walaupun
bangsa Indonesia memiliki keragaman kebudayaan dan menganut agama yang berbeda,
namun keseluruhannya itu merupakan satu kebudayaan yang serumpun dan mempunyai kaitan
dengan agama-agama besar yang dianut bangsa Indonesia. 4. Kesatuan Wilayah. Bangsa ini
hidup dan mencari penghidupan di wilayah yang sama yaitu tumpah darah Indonesia. 5.
Kesatuan Asas Kerohanian. Bangsa ini memiliki kesamaan cia-cita, pandangan hidup dan
falsafah kenegaraan yang berakar dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia sendiri di
masa lalu maupun pada masa kini. Bagi bangsa Indonesia, mengutip sejarawan sosial Charles
Tilly, Nasionalisme kita adalah “state-led nationalism”.1 Semacam nasionalisme yang dibangun
dari atas, dan lalu meluncur ke bawah. Artinya, negara harus membentuk watak dan karakter
serta memberi arah bagi anak bangsa. Negara harus melakukan konstruksi wawasan
kebangsaan sebagai “proyek bersama” (common project) bagi seluruh warganya. Namun
demikian, apa yang diupayakan negara tentu saja harus dipahami, dimengerti dan didukung
oleh seluruh anak bangsa tanpa terkecuali.

F. Globalisasi dan Tantangannya.

Pada hakikatnya, globalisasi merupakan proses hubungan antarbangsa yang sudah


terjadi sejak berabad lalu. Proses ini berkembang dari waktu ke waktu sejalan dengan
perkembangan ideologi, politik, ekonomi dan sosial budaya. Perkembangan serta kemajuan
ilmu pengetahuan teknologi informasi dan komunikasi, telah mendorong hubungan sosial dan
saling ketergantungan antarbangsa, antarnegara dan antar manusia semakin besar. Globalisasi
yang didominasi oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi, telah merubah pola
hubungan antar bangsa dalam berbagai aspek dan menjadikan globalisasi sebagai fenomena
yang bersifat multidimensi. Negara seolah tanpa batas (borderless), saling tergantung
(interdependency) dan saling terhubung (interconected) antara satu negara dengan negara
lainnya. Sementara itu, dominasi negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang
semakin menguat melalui konsep pasar bebas dalam lingkup global maupun regional. Di
tengah kuatnya arus globalisasi yang ditandai dengan persaingan global, saat ini tidak ada
satupun negara di dunia yang mampu berdiri sendiri. Saling ketergantungan dan saling
keterhubungan merupakan hal yang sulit untuk dihindari. Era reformasi yang diawali krisis
moneter tahun 1998, merupakan bukti kuatnya pengaruh globalisasi terhadap dinamika
kehidupan nasional. Sejak era reformasi digulirkan tahun 1998, dari perspektif kehidupan
demokrasi, kehidupan politik nasional mengalami kemajuan yang sangat signifikan. Kebebasan
dan keterbukaan dalam menyampaikan pendapat, menjadi ciri kehidupan masyarakat sehari–
hari. Di satu sisi, pencapaian ini tentu saja merupakan kemajuan dan prestasi besar bangsa.
Namun di sisi lain, tidak dapat disangkal, bahwa keseharian kehidupan masyarakat telah
diwarnai pola pikir, pola sikap dan pola tindak individualistis dan kelompok. Masyarakat luas,
dalam berbagai tataran, telah mengadopsi nilai – nilai baru yang belum sepenuhnya dipahami
serta diyakini kebenaran dan kesesuaiannya dengan karakter bangsa. Sementara, nilai – nilai
luhur bangsa dianggap sebagai nilai lama yang usang dan sudah tidak relevan dengan
semangat reformasi yang sarat dengan semangat perubahan. Semangat perubahan telah
diartikan secara hitam putih dan bahkan cenderung pragmatis tanpa memperhatikan dampak
8
yang diakibatkannya.

Dinamika kehidupan nasional berjalan sangat dinamis tapi kontra produktif bagi
penguatan wawasan kebangsaan. Dampak demokratisasi tidak didasari dengan pemahaman
nilai-nilai Pancasila telah memunculkan sikap individualistis yang sangat jauh berbeda dengan
nilai-nilai Pancasila yang lebih mengutamakan semangat kegotongroyongan, keseimbangan,
kerjasama, saling menghormati, kesamaan, dan kesederajatan dalam hubungan manusia
dengan manusia. Perubahan tata nilai dan tata laku sebagian besar komponen bangsa
tercermin dari sikap pragmatisme dalam menyikapi dan menyelesaikan berbagai permasalahan
bangsa. Hal ini juga dirasakan dan diungkapkan oleh mantan Presiden BJ Habibie dan Ibu
Megawati dalam sambutannya di hadapan MPR RI pada tanggal 1 Juni 2011 dalam rangka
memperingati Pidato Bung Karno 1 Juni 1945. Dalam sambutannya Bapak BJ Habibie
menyampaikan:“……sejak reformasi 1998, Pancasila seolah-olah tenggelam dalam pusaran
sejarah masa lalu yang tak lagi relevan untuk disertakan dalam dialektika reformasi. Pancasila
seolah hilang dari memori kolektif bangsa. Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dan
dibahas baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun kemasyarakatan.
Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi justru di tengah denyut kehidupan bangsa
Indonesia yang semakin hiruk-pikuk dengan demokrasi dan kebebasan berpolitik” Ibu Megawati
juga menyampaikan bahwa“……dalam kurun 13 tahun reformasi, menunjukkan kealpaan kita
semua terhadap dokumen penting sebagai rujukan Pancasila dalam proses ketatanegaraan
kita”. Ekspresi dan kegundahan kedua tokoh nasional tersebut, tentu merupakan bentuk
kegelisahan yang harus dijadikan tolok ukur memudarnya pemahaman masyarakat terhadap
wawasan kebangsaan yang dijiwai oleh nilai – nilai luhur Pancasila. Hingga saat ini, Pancasila
masih tampak kokoh berdiri mempersatukan berbagai komponen bangsa, suku bangsa,
golongan dan etnik di bawah NKRI. Namun, bangsa ini harus berani jujur untuk mengakui
bahwa Pancasila sebagai dasar negara cenderung dipandang hanya sebatas simbol yang
mulai kehilangan roh dan makna filosofinya. Tidak mengherankan, apabila saat ini
Nasionalisme ataupun Wawasan kebangsaan keIndonesia-an, menjadi barang mewah yang
sangat sulit ditemukan di kalangan generasi muda. Wawasan kebangsaan bukan merupakan
sesuatu yang menarik untuk dibahas atau bahkan menjadi trendsetter dalam kehidupan
kalangan muda. Mungkin ada benarnya bila banyak orang menyimpulkan bahwa generasi
muda Indonesia sedang mengalami krisis wawasan kebangsaan. Wawasan kebangsaan, kini
terasa menjadi sesuatu yang bersifat abstrak tak tersentuh dan mengalami sebuah
pendangkalan makna secara mendasar. Globalisasi yang menembus batasbatas negara telah
mengaburkan persepsi dan wawasan kebangsaan, sesuatu yang justru merupakan hal yang
sangat esensial dalam mempertahankan eskistensi dan kedaulatan negara. Oleh karena itu,
berbicara soal wawasan kebangsaan akan terdengar asing, dan bagi mereka yang berapi-api
membelanya akan dianggap sebagai anomali ditengah kehidupan modern. Salah satu
tantangan dalam pergeseran seisme global era baru, yakni meningkatnya kompetisi secara
eksponensial, dimana teknologi telah membuat satu negara dapat bersaing dengan negara lain,
untuk itu secara terus-menerus diperlukan pengembangan cara baru untuk berkompetisi
dengan negara lain, melalui inovasi dan efisiensi, namun tetap mengedepankan kualitas. Tak
satu negara pun bisa bertahan hanya dengan sekadar menyejajarkan diri dengan pesaing atau
bahkan dengan mereka yang dianggap unggul, melainkan bangsa ini harus menyejajarkan diri
dengan mereka yang masuk “kelas dunia”. Di tengah semakin kaburnya wujud dan bentuk
ancaman yang berkembang dewasa ini, potensi ancaman tidak lagi dalam bentuk ancaman
yang bersifat fisik. Invasi dalam bentuk pengerahan kekuatan militer tidak lagi menjadi pilihan
bagi negara – negara memiliki kepentingan atas negara lain. Ideologi, politik, ekonomi dan
budaya kini merupakan pilihan negara – negara lain untuk memaksakan kepentingannya dan
“menaklukan” negara lainnya. Namun demikian, dampak yang ditimbulkan menyentuh hampir
seluruh sendi – sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di perkotaan
maupun hingga pelosok desa.

Dunia kini juga dihadapkan dengan perang yang dilakukan oleh pihak ketiga tanpa
keterlibatan langsung pihak yang berkepentingan atau disebut Proxy War. Hal tersebut
dilakukan oleh pihak berkekuatan besar untuk menghindari konfrontasi secara langsung dan
menghindarkan terjadinya perang terbuka yang akan meninggalkan tanggung jawab besar.
Andrew Mumford dalam bukunya Proxy Warfare, menyebutkan bahwa ancaman perang cyber
(cyber warfare) kian membesar di masa depan seiring dengan intensnya penggunaan teknologi
cyber dalam penggunaan sehari-hari. Dunia maya (cyber) kini menjadi sarana dan arena
berperang yang melibatkan banyak pihak tanpa dibatasi oleh batas – batas negara.
Transformasi bentuk ancaman ini, tentu harus disadari sepenuhnya oleh bangsa Indonesia,
mengingat tantangan dan potensi ancaman yang semakin berat dan kompleks. Disamping
tantangan dalam aspek teknologi, kini bangsa–bangsa di dunia, tengah dihadapkan pada
berbagai tantangan dan isu global seperti perubahan iklim (global climate change), food
security, energy security, terorisme, human security, kejahatan lintas negara (trans national
crime), drug trafficking, maritime security, cyber crime, konflik di kawasan, dll. Melihat sifat dan
kompleksitas dampak yang ditimbulkannya, negara tidak lagi menjadi satu – satunya elemen
yang bertanggung jawab untuk menghadapinya. Partisipasi dan peran aktif setiap individu
warga negara akan menentukan keberhasilan suatu bangsa dalam mengantisipasi dampak
negatif yang mengancam eksistensi bangsa dan negara. Untuk itulah, kalangan muda harus
menyadari bahwa sebagai salah satu komponen kekuatan nir militer, kalangan intelektual muda
memiliki peran penting dalam mengantisipasi ancaman nir militer sesuai dengan keahlian dan
kompetensi yang dimiliki. Dinamika kehidupan nasional yang dihadapkan pada berbagai bentuk
ancaman maupun persaingan global, membutuhkan hadirnya sosok intelektual muda yang
berkarakter dan memiliki nasionalisme kebangsaan yang kuat.

G. Pertahanan Negara dan Bela Negara.

Bagi bangsa Indonesia, perang merupakan jalan terakhir yang terpaksa harus ditempuh untuk
mempertahankan ideologi negara, kemerdekaan dan kedaulatan NKRI. Doktrin dan Sistem
Pertahanan Negara Indonesia tersebut secara tersirat mencerminkan pandangan bangsa
Indonesia tentang konsep perang dan damai, yakni “Bangsa Indonesia cinta damai, akan tetapi
lebih cinta kemerdekaan”. Oleh karenanya, bangsa Indonesia tidak mengembangkan ajaran
tentang kekuasaan dan adu kekuatan, karena hal tersebut mengandung benih-benih
persengketaan, permusuhan dan ekspansionisme. Indonesia mengembangkan dan
menyelenggarakan sistem pertahanan negaranya dalam nuansa keterbukaan, yang merupakan
perwujudan prinsip cinta damai dan ingin hidup berdampingan secara harmonis dengan negara
negara lain. Sikap dan cara pandang bangsa Indonesia tersebut merefleksikan pandangan
Geopolitik dan Geostrategi bangsa Indonesia yang secara jelas dituangkan dalam Buku Putih
Pertahanan Indonesia tahun 2008. Sistem Pertahanan Semesta. Sebagai penjabaran konstitusi
pada aspek pertahanan, bangsa Indonesia telah menyusun Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2002 tentang Pertahanan Negara yang menetapkan bahwa Sistem Pertahanan Negara
Indonesia adalah sistem pertahanan bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga negara,
wilayah, dan sumber daya nasional lainnya. Hal ini merupakan upaya untuk menyinergikan
kinerja komponen Militer dan Nir Militer dalam rangka menjaga, melindungi dan memelihara
kepentingan nasional Indonesia. Sistem Pertahanan Semesta memadukan pertahanan militer
dan pertahanan nirmiliter yang saling menyokong dalam menegakkan kedaulatan negara,
keutuhan wilayah NKRI, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman. Dalam UU RI
Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara ditegaskan bahwa sebagai wujud dari
kesemestaan, pelibatan seluruh warga negara dalam upaya bela negara merupakan kewajiban
sekaligus haknya. UU Pertahanan Negara juga mengklasifikasikan bahwa bala pertahanan
negara yang digolongkan pada tiga kelompok, yakni Komponen Utama (TNI), Komponen
Cadangan dan Komponen Pendukung. UU RI Nomor 3 Tahun 2002 pasal 9 ayat (2) juga
menjabarkan bahwa keikutsertaan warga negara dalam upaya bela negara, diselenggarakan
melalui: pendidikan kewarganegaraan; pelatihan dasar kemiliteran secara wajib; pengabdian
sebagai prajurit TNI; dan pengabdian sesuai dengan profesi. Dengan demikian, Sistem
Pertahanan Semesta dilaksanakan dengan melibatkan seluruh warga negara, wilayah, serta
segenap sumber daya nasional yang dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan
diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut. Pada masa damai, sistem
pertahanan semesta dibangun untuk menghasilkan daya tangkal yang tangguh dengan
menutup setiap ruang yang dapat menjadi titik lemah. Pembangunan Sistem Pertahanan
Semesta pada masa damai dilaksanakan dalam kerangka pembangunan nasional yang
tertuang dalam program pemerintah yang berlaku secara nasional. Tentara Nasional Indonesia
(TNI) di masa damai melaksanakan fungsi Operasi Militer Selain Perang (OMSP), membantu
lembaga pemerintah di luar Kementerian Pertahanan dan masyarakat untuk melaksanakan
fungsi Pertahanan Sipil sesuai profesinya menghadapi ancaman non-militer. Disamping itu, TNI
juga membantu pemerintah (dalam hal ini Kementerian Pertahanan) dalam rangka melatih dan
membentuk sumber daya manusia non-TNI, potensi sumber daya alam dan buatan, serta
sarana prasarana nasional untuk ditransformasikan menjadi potensi pertahanan negara pada
saat dibutuhkan.

Pada masa perang atau pada kondisi negara menghadapi ancaman nyata, pemerintah
mendayagunakan Sistem Pertahanan Negara sesuai dengan hakikat ancaman atau tantangan
yang dihadapi. Sistem Pertahanan Negara dalam menghadapi ancaman militer memadukan
pertahanan militer dan pertahanan nirmiliter dalam susunan Komponen Utama Pertahanan,
yaitu TNI, serta Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung yang terdiri atas warga
negara, sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional.
Komponen Cadangan dibentuk dari sumber daya nasional yang dipersiapkan untuk dikerahkan
melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan TNI.
Spektrum Bela Negara. Dalam perspektif hidup bernegara, konsep pertahanan negara dalam
masa damai maupun masa perang tersebut pada dasarnya merefleksikan spektrum bela
negara yang harus dipahami oleh setiap warganegara. Hal ini mengingat bahwa setiap bangsa
akan senantiasa dihadapkan pada perjuangan untuk mempertahankan ruang hidup dan
kepentingan nasionalnya. Oleh karena itu, spektrum bela negara tidak terbatas pada
pemahaman bela negara secara fisik pada masa perang saja, melainkan juga mencakup pada
aspek yang lebih luas mulai dari bentuk yang paling halus (soft) hingga aspek yang paling
keras (hard). Bela negara dalam spektrum yang halus atau lunak (soft) mencakup aspek
psikologis (psychological) dan aspek fisik (physical). Aspek psikologis mencerminkan kondisi
jiwa, karakter dan jati diri setiap warganegara yang dilandasi oleh pemahaman nilai – nilai luhur
bangsa, Ideologi Pancasila dan UUD NRI tahun 1945. Muara kondisi psikologis ini akan
direpresentasikan oleh pola pikir dan pola sikap yang mencerminkan soliditas wawasan
kebangsaan, persatuan dan kesatuan bangsa serta kesadaran bela negara. Aspek fisik pada
dasarnya merupakan implementasi dan perwujudan bela negara aspek psikologis yang
tercermin dari pola tindak secara nyata dalam perjuangan mengisi kemerdekaan melalui
berbagai aktitivitas, mulai dari pengabdian sesuai profesi, menjunjung tinggi nama bangsa dan
negara dalam berbagai kegiatan nasional maupun internasional, partisipasi aktif dalam
penanganan permasalahan sosial maupun bencana hingga kewaspadaan individual dalam
menghadapi ancaman non fisik dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya. Bela negara dalam
spektrum yang keras (hard) merupakan bentuk hak dan kewajiban perwujudan bela negara
secara fisik dalam menghadapi ancaman yang didominasi oleh ancaman militer negara lain.
Disadari bahwa saat ini, perang yang melibatkan kekuatan militer secara langsung sudah tidak
menjadi model penyelesaian konflik antar dua negara. Namun demikian, sebagai bangsa yang
merdeka dan berdaulat, bangsa Indonesia harus tetap memiliki kesadaran bahwa probabilitas
terjadinya perang masih sangat terbuka. Perang terbatas yang terjadi di berbagai kawasan di
Afrika, Afganistan dan Irak merupakan gambaran bahwa probabilitas perang masih menjadi
pilihan dalam mempertahankan kepentingan nasional suatu bangsa. Dengan berbagai
permasalahan perbatasan dengan negara tetangga yang belum terselesaikan, maka spektrum
bela negara secara fisik tetap harus dipahami, dijaga dan dikembangkan secara proporsional
dan profesional. Untuk itu, negara telah menyusun doktrin dan sistem pertahanan semesta
yang mengakomodosi hak maupun kewajiban bela negara warganegaranya secara terencana,
terukur, terorganisir dan sistematis. Mekanisme pelaksanaan yang ditetapkan oleh peraturan
perundangan terkait peran, tugas dan tanggung jawab Komponen Utama, Komponen
Cadangan (Kombatan) dan Komponen Pendukung (Non Kombatan) harus dipahami secara
utuh tanpa disertai pretensi negatif yang melahirkan sikap resistensi.

Keberadaan Komponen Cadangan maupun Komponen Pendukung harus dipandang


sebagai wadah dan sarana menyalurkan energi kolektif bangsa agar sikap militansi dalam bela
negara tidak berkembang menjadi sikap anarkis yang merusak langkah – langkah diplomasi
bangsa Indonesia secara keseluruhan. Melalui pemahaman komprehensif inilah, bela negara
dalam spektrum yang keras dapat terselenggara dengan proporsional sehingga mampu
memperbesar dan memperkuat Komponen Utama. Yang perlu dipahami, spektrum bela negara
mulai dari spektrum lunak hingga spektrum keras merupakan spektrum bela negara yang tidak
terputus dan berkelanjutan. Bela negara spektrum lunak merupakan pondasi dasar
terbentuknya kualitas bela negara spektrum keras. Artinya, kualitas bela negara spektrum lunak
akan berbanding lurus dengan kualitas bela negara spektrum keras. Dengan demikian tidak
dapat dipungkiri bahwa membangun pemahaman bela negara yang komprehensif di masa
damai merupakan faktor kunci keberhasilan terselenggaranya implementasi konsep bela
negara dalam sistem pertahanan semesta.Intelektual Muda dan Peranannya. Komponen
Pendukung dikelompokkan dalam lima suku komponen pendukung, yakni Garda Bangsa,
tenaga ahli sesuai dengan profesi dan bidang keahliannya, warga negara lainnya, industri
nasional, sarana dan prasarana, serta sumber daya buatan dan sumber daya alam yang dapat
digunakan untuk kepentingan pertahanan. Intelektual muda menempati posisi sebagai
komponen pendukung yang sangat potensial dalam mengembangkan potensi pertahanan
nirmiliter dimana pertahanan dilakukan melalui usaha tanpa menggunakan kekuatan senjata,
melainkan dengan pemberdayaan faktor-faktor ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan
teknologi. Dalam masa damai maupun masa perang, sesungguhnya kalangan intelektual muda
sebagai garda bangsa dalam pertahanan nirmiliter, memiliki peran yang vital dan krusial
sebagai kekuatan potensial agen perubahan dalam pembentukan watak dan karakter bangsa.
Di tengah tantangan perubahan yang membawa tata laku dan tata nilai baru, kalangan muda
terpelajar harus mampu membekali dan membentengi diri dengan wawasan kebangsaan yang
kuat. Generasi muda, utamanya para intelektual muda harus mampu memilih dan memilah tata
nilai baru yang tidak sesuai dengan identitas dan jati diri bangsa yang bercirikan semangat
14
gotong royong.

Beratnya tantangan yang dihadapi generasi muda, harus pula disikapi dengan menjaga
keseimbangan antara kecerdasan intelektual dengan kecerdasan emosional maupun
kecerdasan spiritual. Keseimbangan ketiga faktor tersebut, diharapkan akan mewujudkan
perilaku kalangan muda yang senantiasa menjunjung tinggi Moral dan Etika; Kejujuran dan
Kebangsaan. Tanpa keseimbangan ketiga faktor tersebut, kecerdasan yang dimiliki generasi
muda justru akan menggerogoti sendi sendi kehidupan bangsa. Kemampuan inilah yang
sesungguhnya merupakan wujud bela negara dalam spektrum yang halus yang perlu dilakukan
oleh kalangan muda di masa damai. Dengan disertai karakter kebangsaan yang kuat, ilmu
pengetahuan, kecerdasan dan kompetensi yang dimiliki, merupakan modal utama kalangan
intelektual muda untuk menjalankan kewajiban bela negaranya dalam memperkuat pertahanan
negara di berbagai bidang kehidupan nasional. Dalam perspektif Ketahanan Nasional, justru
peran bela negara dalam spektrum lunak inilah yang akan menentukan kualitas pertahanan dan
ketahanan bangsa kedepan. Oleh karena itu, kalangan muda harus menempatkan diri secara
cerdas dan mengambil peran aktifnya dalam berbagai proses pembangunan nasional,
utamanya dalam pembangunan watak dan karakter bangsa. Hal ini perlu dilakukan mengingat
profesi, pengetahuan dan keahlian, serta kecerdasan yang dijiwai oleh semangat kebangsaan
merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan untuk mengelola berbagai potensi sumber daya
alam secara efektif dalam membangun perekonomian nasional. Berbekal dengan potensi yang
sama, kalangan muda dalam peran bela negaranya sebagai salah satu kekuatan Komponen
Pendukung, dapat berpartisipasi dalam membangun kemampuan dan kemandirian industri
strategis yang dibutuhkan dalam pertahanan negara.

BAB III

PENUTUP
15

Ketangguhan serta keuletan dan kemampuan bangsa untuk mengembangkan potensi


kekuatan nasional menjadi kekuatan pertahanan negara yang solid, perlu dibangun diatas nilai
– nilai kebangsaan, nasionalisme dan bela negara. Dalam perspektif Ketahanan Nasional,
ketiga elemen dasar tersebut merupakan prasyarat yang harus dibina secara dini, terus
menerus, terpadu dan berkelanjutan. Terkait hal inilah, nasionalisme dan bela negara bukan
merupakan retorika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, namun harus mampu
diwujudkan dan diimplementasikan secara nyata oleh seluruh komponen bangsa, utamanya
kalangan intelektual muda. Kecerdasan intelektual yang merupakan potensi besar yang dimiliki
kalangan muda harus mampu dikembangkan secara seimbang dengan kecerdasan emosional,
kecerdasan moral dan kecerdasan spiritual. Keseimbangan tersebut dibutuhkan sebagai
rangkaian proses membangun kesadaran individual terkait bela negara. Itulah yang
sesungguhnya harus disadari oleh kalangan intelektual muda untuk dipahami dan dikerjakan
dalam memenuhi hak dan kewajiban bela negara dalam perspektif Ketahanan Nasional
DAFTAR PUSTAKA

Arjoso, Amin .2000. Pancasila Dasar Falsafah Negara. Yayasan Kepada Bangsaku. Jakarta.
Chautard, Sophie. 2009. La Geopolitique. 2e edition. Studyrama.
G. Ó Tuathail. 1996. Critical Geopolitics: The Politics of Writing Global Space. Minneapolis:
University of Minnesota Press (Volume 6 in the Borderlines series) and London: Routledge.
Kansil, CST dan Kansil, Christine ST . 2001. Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945.
Pradnya Paramita, Jakarta.
Lemhannas RI. 2012. Geostrategi dan Ketahanan Nasional. Jakarta.
Lemhannas RI. 2012. Wawasan Nusantara. Jakarta.
Mumford, Andrew. 2013. Proxy Warfare. Polity Press. Cambridge.
Purnomo Yusgiantoro, Ceramah Menteri Pertahanan RI di depan anggota HIPMI pada
Kegiatan Pemantapan Nilai-Nilai Kebangsaan di Lemhannas RI 18 Februari 2014.
Ruland, Jurgen, 2012. The Politics of Military Reform. Springer. London.
Soekarno, Ir. 2012. Susunlah Pertahanan Nasional Bersendikan Karakteristik Bangsa – Amanat
Presiden Soekarno pada Peresmian Lembaga Pertahanan Nasional di Istana Negara, tanggal
20 Mei 1965. Jakarta.
Soepandji, Budi Susilo, Bangga Indonesia – Menjadi Komponen Cadangan Tanah Air, PT.
Grasindo, Cetakan III. 2012.
Soepandji, Budi Susilo, Indonesia Menyongsong Abad Asia Pasifik Jilid II Dalam Perspektif
Ketahanan Nasional, Makalah Gubernur Lemhannas RI pada Seminar Nasional Gerakan
Mahasiswa Nasional Indonesia, 3 Mei 2014.
Soepandji, Budi Susilo, Membangun Pondasi Dasar Nasionalisme, Makalah Gubernur
Lemhannas RI pada Indonesian Fellowship Youth Camp 2012, tanggal 28 November 2014.
Soepandji, Budi Susilo, Peran Strategis Menwa Yang Berkemampuan Teknologi Sebagai
Bagian dari Potensi Ketahanan Nasional, Makalah Gubernur Lemhannas RI pada Sarasehan
dan Seminar Nasional 50 Tahun Menwa ITB “Resimen Teknologi” 22 Maret 2014.

Anda mungkin juga menyukai