Anda di halaman 1dari 17

TUGAS MAKALAH

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA SEBELUM


KEMERDEKAAN

Disusun oleh:

1. Riska Norma Agita (49)


2. Heni Septiani (38)
3. Siti Kirana (16)
4. Sastri Ayuningtyas (48)

POLTEKKES KEMENKES TEGAL


TAHUN PEMBELAJARAN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang. Kami
penjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik,
hidayat,serta inayah-Nya kepada kita semua sehingga kami dapat menyelesaikan
laporan makalah kami tentang “Sejarah dan Perkembangan Bahasa Indonesia Sebelum
Kemerdekaan”.

Makalah ini tekah kami susun secara maksimal dan bersungguh-sungguh. Untuk itu
kami selaaku penyusun bertimakasih kepada semua pihak.

Kami menyadari, makalah yang kami buat jauh dari kata sempurna dan masih benyak
kekurangan. Kami harap, makalah tentang “Sejarah dan Perkembangan Bahasa
Indonesia sebelum Kemerdekaan” yang kami susun memberikan manfaat bagi
pembeca.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Memperhatikan perkembangan zaman, bahasa merupakan alat komunikasi yang
sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Demikian juga, bahasa Indonesia
menjadi sarana budaya dan sran berfikir manyarakat Indonesia. Menginggat
pentingnya peranan bahasa Indonesia, kami sebagai mahasiswa dituntut untuk
memahami bahasa dengan baik dan benar. Yang salah satunya adalah
mempelajari sejarah perkembangan bahasa Indonesia terutama dari zaman
sebemu Indonesia merdeka.
Bahasa bukan semata-semata alat komunikasi atau sebuah sistem kode atau
nilai yang secara sewenang-wenang menunjuk suatu realitis monilitik. Bahasa
adalah suatu kegiatan sosial ia terikat, dikontruksi,dan direkontruksi dalam
kundisi khusus dan setting sosial tertentu.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana sejarah perkembangan bahasa Indonesia sebelum merdeka
2. Mengapa bahsa sangat penting digunakan
3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi masuknya bahasa.
C. Kegunaan penyusunan makalah kegunaan makalah ini adalah:
1. Sebagai bukti bahwa kami sudah mengerjakan tugas.
2. Sebagai salah satu syarat dalam pelaksanaan tugas terstruktur dari dosen
mata kuliah.
3. Sebagai salah satu reverensi setelah pembahasan mata kuliah dan
menambah wawasan lagi.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia Sebelum Merdeka

Di dalam suatu masyarakat, bahasa mempunyai suatu peranan yang penting dalam
memersatukan anggotanya. Sekelompok manusia yang menggunakan bahasa yang
sama akan merasakan adanya ikatan batin di antara sesamanya. Sejarah bahasa
Indonesia berjalan terus seiring dengan sejarah bangsa pemiliknya.

Membahas tentang sejarah perkembangan bahasa indonesia sebelum merdeka tidak


terjadi dalam suatu waktu yang singkat, tetapi mengalami proses pertumbuhan
berabad-abad lamanya

Bahasa Melayu adalah bahasa kebangsaan Brunei, Indonesia, Malaysia, dan


Singapura. Bahasa Indonesia yang berkedudukan sebagai bahasa kebangsaan dan
bahasa resmi Negara Republik Indonesia merupakan sebuah dialek bahasa Melayu,
yang pokoknya dari bahasa Melayu Riau (bahasa Melayu dari provinsi Riau, Sumatera,
Indonesia). Agaknya terlalu sederhana untuk mengatakan bahwa bahasa Indonesia
berasal dari bahasa Melayu Riau. Orang-orang lupa bahwa bahasa Melayu Riau
hanyalah merupakan satu dialek dari sekian banyak dialek Melayu yang lain. Dan, di
atas semua ini sudah terkenal di seluruh Nusantara suatu bahasa perhubungan, suatu
lingua franca yang di sebut dengan Melayu Pasar. Melayu Pasar inilah yang merupakan
faktor yang paling penting untuk di terimannaya Melayu Riau sebagai bahasa pengantar
di sekolah-sekolah. Seandainya orang belum mengenal Melayu Pasar, tentulah sama
sulitnya pula menerima Melayu Riau menjadi bahasa pengantar, seperti halnya dengan
bahasa Jawa.

Nama Melayu mula-mula digunakan sebagai nama kerajaan tua di daerah Jambi di tepi
sungai Batanghari, yang pada pertengahan abad ke-7 ditaklukkan oleh kerajaan
Sriwijaya. Selama empat abad, kerajaan ini berkuasa di daerah Sumatera Selatan
bagian Timur dan di bawah pemerintahan raja-raja Syailendra bukan saja menjadi
pusat politik di Asia Tenggara, melainkan juga menjadi pusat ilmu pengetahuan.

Pada awal abad ke-15 kerajaan Malaka di Semenanjung berkembang dengan sangat
cepat menjadi pusat perdagangan dan pusat pertemuan para pedagang dari Indonesia,
Tiongkok, dan dari Gujarat. Para pedagang dari Jawa pada waktu itu dikuasai oleh
Majapahit membawa rempah-rempah, Cengkih dan pala dari Indonesia Timur ke
Malaka. Hasil bumi di Sumatera yang berupa Kapur Barus, Lada, Kayu Cendana, dan
yang lainnya dibawa ke Malaka oleh para pedagang dari Sumatera. Di Malaka mereka
membeli barang-barang dagangan yang dibawa oleh para pedagang dari Tiongkok dan
Gujarat berupa Sutera dari India, Kain Pelikat dari Koromandel, Minyak Wangi dari
Persia, Kain dari Arab, Kain Sutera dari Cina, Kain Bersulam dari Emas berasal dari
Tiongkok, Kain Satin, Kipas dari Tiongkok, dan barang-barang perhiasan yang lain.

Letak kota pelabuhan Malaka sangat menguntungkan bagi lalu lintas dagang melalui
laut dalam abad ke-14 dan 15. Semua kapal dari Tiongkok dan Indonesia yang akan
berlayar ke barat melalui Selat Malaka. Demikian pula semua kapal-kapal dari negara-
negara yang terletak di sebelah barat Malaka apabila berlayar ke Tiongkok atau ke
Indonesia juga melalui Selat Malaka, sebab pada saat itu, Malaka adalah satu-satunya
kota pelabuhan di Selat Malaka. Oleh karena itu, Malaka menguasai perdagangan
antara negara-negara yang terletak di daerah utara, barat dan timurnya.

Perkembangan Malaka yang sangat cepat berdampak positif terhadap bahasa Melayu.
Sejalan dengan lalu lintas perdagangan, bahasa Melayu yang digunakan sebagai
bahasa perdagangan dan juga penyiaran agama Islam dengan cepat tersebar ke
seluruh Indonesia, dari Sumatera sampai ke kawasan Timur Indonesia.

Perkembangan Malaka sangat cepat, tetapi hanya sebentar, karena pada tahun 1511
Malaka ditaklukkan oleh angkatan laut Portugis dan pada tahun 1641 ditaklukkan pula
oleh Belanda. Dengan kata lain, Belanda telah menguasai hampir seluruh Nusantara.

Belanda, seperti halnya negara-negara asing yang lain sangat tertarik dengan rempah-
rempah Indonesia. Mereka tidak puas kalau hanya menerima rempah-rempah dari
pedagang Gujarat. Oleh karena itu, mereka datang sendiri ke daerah rempah itu. Pada
tahun 1596 datanglah pedagang Belanda ke daerah Banten di bawah nama VOC
(Vereenigde Oost Indische Compagnie). Tujuan utama mereka adalah untuk
berdagang, tetapi sejak tahun 1799 diambil alih oleh pemerintah Belanda. Dengan
demikian tujuannya bukan hanya untuk berdagang, melainkan juga untuk tujuan sosial
dan pendidikan.

Masalah yang segera dihadapi oleh Belanda adalah masalah bahasa pengantar. Tidak
ada pilihan lain kecuali bahasa Melayu yang dapat digunakan sebagai bahasa
pengantar, karena pada saat itu bahasa Melayu secara luas sudah digunakan sebagai
lingua franca di seluruh Nusantara. Pada tahun 1521, Pigafetta yang mengikuti
pelayaran Magelhaens mengelilingi dunia, ketika kapalnya berlabuh di Tidore,
menuliskan kata-kata Melayu. Hal ini membuktikan bahwa bahasa Melayu yang berasal
Indonesia sebelah utara telah tersebar luas sampai ke daerah Indonesia sebelah Timur.

Dari hari ke hari kedudukan bahasa Melayu sebagai lingua franca semakin kuat,
terutama dengan tumbuhnya rasa persatuan dan kebangsaan di kalangan pemuda
pada awal abad ke-20 sekalipun mendapat rintangan dari pemerintah dan segolongan
orang Belanda berusaha keras menghalangi perkembangan bahasa Melayu dan
berusaha menjadikan bahasa Belanda sebagai bahasa Nasional di Indonesia. Para
pemuda yang tergabung dalam berbagai organisasi, para cerdik pandai Indonesia
berusaha keras mempersatukan rakyat. Mereka sadar bahwa hanya dengan persatuan
seluruh rakyat, bangsa Indonesia dapat menghalau kekuasaan kaum penjajah dari
bumi Indonesia dan mereka sadar juga hanya dengan bahasa Melayu mereka dapat
berkomunikasi dengan rakyat.

Untuk mengikuti pertumbuhan bahasa Indonesia dari awal mula terdapatnya faktor-
faktor historis hingga sekarang, baiklah kita mengikuti beberapa perkembangan berikut:
a. Masa Prakolonial

Walaupun bukti-bukti tertulis masih kurang, dapatlah di pastikan bahasa yang di pakai
oleh kerajaan Sriwijaya pada abad VII adalah bahasa Melayu. Perkembangan dan
pertumbuhan bahasa Melayu tampak lebih jelas dari berbagai peninggalan –
peninggalan bersejarah misalnya :

1. Tulisan yang terdapat pada Batu Nisan di Minye Tujoh, Aceh pada tahun 1380 M.

2. Prasasti Kedukan Bukit, di Palembang, pada tahun 683.

3. Prasasti Talang Tuo, di Palembang, pada tahun 684.

4. Prasasti Kota Kapur, di Bangka Barat, pada tahun 686.

5. Prasasti Karang Brahi Bangko, Merangi, Jambi, pada tahun 688.

Sriwijaya adalah sebuah kerajaan maritim yang memiliki armada perkapalan buat
perdagangan. Orang-orangnya menjelajahi seluruh pelosok tanah air, serta di mana-
mana memperkenalkan bahasa Melayu untuk mempermudah hubungan dagang
dengan semua penduduk Nusantara. Bukti-bukti tertulis untuk itu sulit ditemukan,
kecuali satu, yaitu di Pulau Jawa di daerah Kudu. Di situ terdapat sebuah prasasti yang
terkenal dengan nama Inskripsi Gandasuli yang berangka tahun 832. Berdasarkan
penelitian Dr. J.G. de Casparis di nyatakan bahwa bahasa yang di gunakan dalam
inskripsi itu adalah bahasa Melayu Kuno. Inilah satu-satunya bukti tertulis tentang
penyebaran dan pemakaian bahasa Melayu pada waktu itu.Walaupun bukti tertulis
hampir tidak ada, dengan adanya bermacam-macam dialek Melayu yang tersebar di
seluruh Nusantara seperti dialek Melayu Ambon, Larantuka, Kupang Betawi, dan
Manado, dapatlah di pastikan bahwa bahasa Melayu sudah mengalami penyebaran
seluas itu.Dalam kesusastraan Tiongkok terdapat berita-berita tentang musafir-musafir
Cina yang bertahun-tahun tinggal di kota-kota Indonesia. Mereka mempergunakan
bahasa penduduk asli yang disebut Kwu‟un Lun. I Tsing yang belajar di Sriwijaya pada
akhir abad VII mempergunakan juga bahasa itu. Mengingat adanya prasasti-prasasti
seperti di kemukakan di atas, dapat di simpulkan bahwa bahasa Kwu‟un Lun itu tidak
lain dari bahasa Melayu Kuno.Terdapat juga sebuah peninggalan berbentuk prasasti
dari beberapa abad kemudian, yaitu yang berangka tahun 1356. Prasasti ini cukup
berarti karena menggunakan bahasa prosa di selingi puisi. Hal ini di menunjukan
bahasa pemakaian bahasa Melayu pada waktu itu tidak hanya sebagai alat dalam
pergaulan sehari-hari, tetapi sudah di pakai pula dalam bentuk cerita yang panjang-
panjang.Begitu pula dari tahun 1380 di Minye Tujoh, Aceh, terdapat sebuah batu nisan
yang berisi suatu model syair tertua. Sesudah tahun ini, antara abad XIV-XVII di
peroleh banyak hasil kesusastraan lama dalam bentuk pelipur lara, hikayat, dongeng-
dongeng, dan sebagainya. Tentu saja untuk mencapai tahap itu diperlukan suatu masa
perkembangan. Dalam tahap perkembangan ini, baik bahasa maupun isi ceritanya,
menerima unsur-unsur dari luar untuk memperkaya dirinya, yaitu dari bahasa
Sansekerta dengan unsur-unsur Hindunya, dan dari bahasa Arab-persia dengan unsur-
unsur Islamnya. Pada masa sebelum kekuatan Eropa Barat mampu menguasai daratan
dan perairan Asia Tenggara, belum ada Indonesia. Nusantara yang sekarang kita kenal
sebagai Indonesia terdiri dari pulau-pulau dan tanah yang dikuasai oleh berbagai
kerajaan dan kekaisaran, kadang-kadang hidup berdampingan dengan damai
sementara di lain waktu mereka berada pada kondisi berperang satu sama lain.
Nusantara yang luas ini kurang memiliki rasa persatuan sosial dan politik seperti yang
dimiliki Indonesia sekarang.Meskipun demikian, jaringan perdagangan terpadu telah
berkembang di wilayah ini terhitung sejak awal permulaan sejarah Asia. Terhubung ke
jaringan perdagangan itu merupakan aset yang penting bagi sebuah kerajaan dan
seorang raja untuk mendapatkan kekayaan dan komoditas, yang diperlukan untuk
menjadi kekuatan besar dan berpengaruh. Namun, semakin global jaringan
perdagangan itu, semakin banyak pengaruh asing berhasil masuk ke Nusantara; suatu
perkembangan yang akhirnya mengarah pada kondisi penjajahan.Keberadaan sumber
tertulis adalah yang memisahkan masa sejarah dari masa prasejarah. Karena
sedikitnya sumber-sumber tertulis yang berasal dari masa sebelum tahun 500 Masehi,
sejarah Indonesia dimulai agak terlambat. Diduga sebagian besar tulisan dibuat pada
bahan yang mudah rusak dan - ditambah dengan iklim tropis yang lembab dan standar
teknik konservasi yang berkualitas rendah pada saat itu - ini berarti bahwa para
sejarawan harus bergantung pada inskripsi/prasasti di batu dan studi sisa-sisa candi
kuno untuk menelusuri sejarah paling lama Nusantara. Kedua pendekatan ini
memberikan informasi mengenai struktur politik jaman lama itu karena baik sastra
maupun pembangunan candi adalah contoh budaya tinggi yang diperuntukkan bagi elit
penguasa.Sejarah Indonesia memiliki salah satu ciri sangat khas, yaitu, pada
umumnya, sejarah ini berpusat di bagian barat Nusantara (khususnya di pulau
Sumatera dan Jawa). Soalnya, sebagian besar bagian timur Nusantara memiliki sedikit
kegiatan ekonomi sepanjang sejarah karena terletaknya jauh dari jalur-jalur
perdagangan utama (seperti Selat Malaka). Yu Ika, yang berarti „Persatuan dalam
Keberagaman', berasal dari sebuah puisi Jawa Kuno yang ditulis pada masa
pemerintahan Majapahit.

• Menuju Pemerintahan Kolonial di Indonesia

Sementara itu, negara-negara Islam terus berkembang di Nusantara. Di Aceh


(Sumatra) Sultan Iskandar Muda mendirikan kekuasaan besar di awal abad ke-17,
mengendalikan cadangan lada dan timah. Namun, ia tidak pernah berhasil membangun
hegemoni di sekitar Selat Malaka karena Johor dan para Portugis merupakan pesaing
yang kuat. Setelah pemerintahan Iskandar Muda, Aceh mengalami periode panjang
perpecahan internal yang menghentikannya menjadi kekuatan penting di luar ujung
utara Sumatera. Di Jawa Tengah dua kekuasaan Islam baru yang kuat muncul di paruh
kedua abad ke-16. Kekuasaan ini adalah Pajang dan Mataram yang - setelah melalui
perjuangan panjang - berhasil menghentikan dominasi politik daerah pesisir di utara
Jawa. Mataram menjadi dinasti yang paling kuat dan paling lama dari dinasti Jawa
modern, dengan masa pemerintahan Sultan Agung sebagai kejayaan politik. Sultan
Agung berkuasa pada tahun 1613-1646 dan berhasil menaklukkan hampir seluruh
daratan Jawa, kecuali kerajaan Banten di Jawa Barat dan kota Batavia yang dikuasai
VOC. Penguasaan Belanda terhadap Batavia adalah ibarat onak/duri di mata Sultan
Agung yang ingin menguasai seluruh daratan pulau. Dalam dua kesempatan ia
mengirim pasukannya untuk menaklukkan kota Belanda ini tapi gagal dua kali.VOC
dengan cepat menyebarkan kekuasaannya di Nusantara dan mendapatkan kendali atas
produksi cengkeh dan pala di Kepulauan Banda (Maluku) dengan menggunakan
langkah-langkah ekstrim seperti pembantaian massal. VOC terus memperluas jaringan
pos perdagangannya di seluruh Nusantara. Kota dan pelabuhan yang memainkan
peran sentral dalam jaringan perdagangan Belanda ini adalah Surabaya (Jawa Timur),
Malaka (Malaysia Barat) dan Banten (Jawa Barat).Meskipun statuta VOC pada awalnya
tidak memperbolehkannya mengganggu politik internal negara-negara pribumi, namun
VOC mengakar cukup kuat dalam politik Mataram di Jawa Tengah. Setelah kematian
Sultan Agung, Mataram dengan cepat merosot dan sengketa suksesi muncul sekitar
akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18. VOC memainkan taktik memecah-belah dan
menaklukkan yang pada akhirnya mengakibatkan pembagian kerajaan Mataram
menjadi empat bagian dengan penguasanya menjadi tunduk kepada VOC. Meskipun
posisi VOC masih lemah di luar Pulau Jawa, perkembangan politik di Jawa ini dapat
dianggap sebagai tahap awal penjajahan Belanda di Nusantara.

b. Masa Kolonial

Ketika orang-orang Barat sampai di indonesia pada abad ke XVI, mereka menghadapi
suatu kenyataan, yaitu bahasa Melayu merupakan suatu bahasa resmi dalam
pergaulan dan bahasa perantara dalam perdagangan (lingua franca). Hal ini dapat di
buktikan dari beberapa kenyataan berikut. Seorang Portugis bernama Pigafetta, setelah
menjunjung Tidore, menyusun semacam daftar kata pada tahun 1522; berarti sebelum
itu bahasa Melayu sudah tersebar sampai Kepulauan Maluku. Baik bangsa Portugis
maupun bangsa Belanda yang datang ke Indonesia mendirikan sekolah-sekolah.
Mereka terbentur pada soal bahasa pengantar. Usaha-usaha untuk memakai bahasa
Portugis atau bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar selalu mengalami kegagalan.
Demikianlah pengakuan seorang Belanda yang bernama Danckaerts dalam tahun
1631. Ia menyatakan bahwa kebanyakan sekolah di Maluku itu kebanyakan memakai
bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Kegagalan di dalam memakai bahasa-
bahasa Barat itu memuncak dengan keluarnya suatu keputusan pemerintah kolonial,
KB 1871 No. 104, yang menyatakan bahwa pengajaran di sekolah-sekolah Bumi Putra,
kalau tidak digunakan bahasa Melayu, di berikan dalam bahasa daerah.

Bahasa Indonesia di era kolonial sering digunakan tokoh-tokoh nasional sebagai alat
propaganda untuk perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia. Hal ini dibuktikan
dengan beberapa tulisan, pidato bahkan media saat itu. Contoh tulisan dengan Bahasa
Indonesia yang digunakan para tokoh untuk mempropaganda perjuangan rakyat
pribumi adalah tulisan Soewardi Soejaningrat alias Ki Hajar Dewantara, “Andai Aku
Seorang Belanda.” Ia menulisnya karena pada saat itu Belanda sedang merayakan hari
kemerdekaan di Indonesia. Dalam hal lain dapat dilihat dari upaya propaganda Haji
Oemar Said Tjokroaminoto melalui pidatonya. Dalam berpidato bahkan ia sampai
mengajarkan murid-muridnya termasuk Soekarno jika ingin menjadi pemimpin besar
menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator. Hal ini menandakan
perjuangan Tjokroaminoto mengenai bahasa sebagai tulisan maupun ucapan adalah
memuat unsur propaganda terhadap pribumi untuk melawan Belanda. Selain itu juga
ada media lokal yang menggunakan bahasa sebagai alat perjuangan dan propaganda.
Medan Prijaji yang didirikan oleh RM Tirto Adhi Soerjo yang mengawali penggunaan
bahasa sebagai alat propaganda seperti yang ditulis Pramoedya Ananta Toer di dalam
bukunya, “Sang Pemula” dan sebagai Minke dalam kisah tetralogi buru. Saat itu
Belanda yang mengetahuinya juga memberikan serangan balik terhadap hal tersebut.
Penggunaan ejaan Van Ophuijsen atau ejaan kolonial dan Balai Pustaka adalah salah
satunya. Mengapa demikian? Diketahui ejaan lama terhadap bahasa Indonesia adalah
salah satu ejaan yang membuat Bangsa Belanda dapat mengerti arti Bahasa Indonesia.
Hal ini berimbas pada mudahnya Belanda dalam pengawasan terhadap unsur
propaganda baik lisan maupun tulisan. Contohnya dapat dilihat beberapa waktu setelah
tulisan Ki Hadjar Dewantara, “Andai Aku Seorang Belanda,” ia ditangkap atas
persetujuan Gubernur Jenderal Idenburg dan akan diasingkan ke Pulau Bangka. Tidak
berhenti di situ, hal itu juga berakibat di beberapa kejadian berikutnya seperti
pengawasan terhadap pidato yang berujung pada penangkapan Ir Soekarno oleh
Belanda akibat tuduhan Belanda, bahwa Soekarno berniat menggulingkan Belanda dari
kekuasaannya atas Hindia-Belanda. Pidato atau lebih tepatanya pledoi, pembelaan, ini
dibukukan sendiri oleh Soekarno dengan judul Indonesia Menggugat. Di dalam media
pers juga demikian, pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan pertama mengenai
pers. Dikeluarkan pada tahun 1856. Aturan ini bersifat “pengawasan preventif”
sebagaimana tertuang dalam RR (KB 8 April 1856 Ind.Stb.No74).
Isinya menyebutkan, bahwa isi semua karya cetak sebelum diterbitkan dikirim terlebih
dahulu kepada pemerintahan setempat, pejabat justisi dan Algemene Secretarie oleh
pencetak atau penerbitnya dengan ditandatangani. Setelah itu terjadi transformasi
media dari yang awalnya berisi iklan menjadi kebijakan Belanda dan cenderung berisi
propaganda bagi pribumi. Caranya dengan menggaungkan kebobrokan Belanda.
Akhirnya pemerintah Belanda mengeluarkan kebijakan pada tahun 1931 yang disebut
“Persbreidel Ordonnantie”, tapatnya pada 7 September 1931. Isi daripada kebijakan ini
adalah menegaskan adanya larangan penerbitan bagi pers yang dinilai bisa
mengganggu ketertiban umum dan melanggar kekuasaan pemerintahan Belanda kala
itu. Kita bisa melihat bahwa saat itu bahasa sangat dipolitisasi oleh Belanda yang
berupa pengawasan dan legitimasinya dalam memperlanggeng kekuasaannya di
Hindia Belanda. Kemudian setelah merdekanya bangsa Indonesia pada 17 Agustus
1945 memasuki fase Orde Lama. Tidak ada perkembangan yang berarti dari Bahasa
Indonesia. Karena penggunaannya masih tetap sama seperti era pra kemerdekaan
dengan tetap menggunakan ejaan lama.

c. Masa Pergerakan Kemerdekaan

Dengan lahirnya Budi Utomo pada tahun 1908 sebagai penggerakan kemerdekaan,
terasa sangat diperlukan suatu bahasa untuk mengikat bermacam-macam suku bangsa
di Indonesia. Pergerakan yang besar dan hebat hanya dapat berhasil kalau semua
rakyat diikutsertakan. Untuk itu mereka mencari suatu bahasa yang dapat di pahami
dan di pakai semua orang.

Pada mulanya memang sulit untuk menentukan bahasa mana yang akan menjadi
bahasa persatuan. Tiap perhimpunan pemuda, apakah Jong Java, Jong Sumatra. Atau
Jong Ambon, lebih suka menggunakan bahasa daerahnya sendiri. Budi Utomo,
misalnya lebih menekankan kebudayaan dan bahasa Jawa. Hal-hal semacam ini di
rasakan sangat menghambat persatuan dan kesatuan yang hendak di capai.

Sementara itu dalam tahun 1908 oleh pemerintah kolonial didirikan suatu komisi yang di
sebut Comissie voor de Volkslectuur, di ketahui oleh Dr. G.A.J. Hazeu. Kemudian,
komisi ini diubah namanya menjadi Balai Pustaka dalam tahun 1917. Kegiatan badan
ini adalah membantu penyebaran dan pendalaman bahasa Melayu dengan
menerbitkan buku-buku murah berbahasa Melayu, pada tahun 1918, dengan ketetapan
Raja Belanda tanggal 25 Juni, anggota-anggota Dewan Rakyat diberi kebebasan untuk
mempergunakan bahasa Melayu dalam Volksraad. Kesempatan ini kemudian ternyata
tidak di gunakan semestinya.

Mengingat kesulitan-kesulitan untuk mempersatukan berbagai suku bangsa di


Indonesia, pada tahun 1926 Jong Java merasa perlu mengakui suatu bahasa daerah
sebagai media penghubung pemuda-pemudi Indonesia. Bahasa melayu dipilih sebagai
bahasa pengantar. Pemuda-pemudi di Sumatra sudah lebih dulu menyatakan dengan
tegas hasrat mereka agar bahasa Melayu Riau, yang juga disebut Melayu Tinggi, diakui
sebagai bahasa persatuan. Walaupun dengan adanya hasrat yang tegas ini, sebagai
majalah Jong Java dan Jong Sumatranen Bond masih di tulis dalam bahasa Belanda.

Perlu pula di catat jasa beberapa surat kabar yang turut menyebarluaskan bahasa
Melayu, seperti Bianglala, Bintang Timoer, Kaum Moeda, dan Neratja. Di samping
pengaruhnya yang sangat besar dalam perkembangan bahasa Melayu, media tersebut
sekaligus menjadi penghubung dan tempat latihan bagi putra-putri Indonesia untuk
mengutarakan berbagai macam masalah.

Dengan adanya bermacam-macam faktor seperti disebutkan diatas, akhirnya tibalah


saat diadakan Kongres Pemuda Indonesia di Jakarta, yaitu pada tanggal 28 Oktober
1928. Sebagai hasil yang paling gemilang dari kongres itu, diadakan ikrar bersama
yang terkenal dengan nama Sumpah Pemuda, yang berbunyi:

Kami poetera dan poeteri Indonesia

mengakoe bertoempah darah satoe,

Tanah Air Indonesia.

Kami poetera dan poeteri Indonesia


mengakoe berbangsa satoe,

Bangsa Indonesia.

Kami poetera dan poeteri Indonesia

Mendjoendjoeng bahasa persatoean,

Bahasa Indonesia.

Dari ketiga butir di atas yang menjadi paling perhatian pengamat (baca: sosiolog)
adalah butir ketiga. Butir ketiga itulah yang dianggap sesuatu yang luar biasa.
Dikatakan demikian, sebab negara-negara lain, khususnya negara tetangga kita,
membuat mencoba untuk membuat hal yang sama selalu mengalami kegagalan yang
dibarengi dengan bentrokan sana-sini. Oleh pemuda kita, kejadian itu dilakukan tanpa
hambatan sedikitpun, sebab semuanya telah mempunyai kebulatan tekad yang sama.
Kita patut bersyukur dan angkat topi kepada mereka. Demikianlah, tanggal 28 Oktober
merupakan hari yang amat penting, merupakan hari pengangkatan atau penobatan
bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, atau dengan kata lain sebagai bahasa
Nasional. Pengakuan dan pernyataan yang diikrarkan pada tanggal 28 Oktober 1928 itu
tidak akan ada artinya tanpa diikuti usaha untuk mengembangkan bahasa Indonesia,
meningkatkan kemampuan bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional. Sebagai
realisasi usaha itu, pada tahun 1939 para Cendekiawan dan Budayawan Indonesia
menyelenggarakan suatu Kongres, yaitu Kongres Bahasa Indonesia I di Solo, Jawa
Tengah. Dalam Kongres itu Ki Hajar Dewantara menegaskan bahwa "Jang dinamakan
'bahasa Indonesia' Jaitoe bahasa Melajoe Jang Soenggoehpoen pokoknya berasal dari
'Melajoe Riau' akan tetapi Jang Soedah ditambah, dioebah atau dikoerangi menoeroet
keperloean zaman dan alam baharoe, hingga bahasa itoe laloe moedah dipakai oleh
rakjat diseloeroeh Indonesia, pembaharoean bahasa malajoe hingga menjadi bahasa
Indonesia itoe haroes dilakoekan oleh kaoem ahli jang beralam baharoe, ialah alam
kebangsaan Indonesia". Oleh karena itu, kongres pertama ini memutuskan bahwa
buku-buku tata bahasa yang sudah ada tidak memuaskan lagi, tidak sesuai dengan
perkembangan bahasa Indonesia sehingga perlu disusun tata bahsa baru yang sesuai
dengan perkembangan bahasa.
Hingga berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia pada tahun 1942 tak satu
keputusan pun yang telah dilaksanakan karena pemerintah Belanda tidak merasa perlu
melaksanakan keputusan-keputusan itu. Barulah pada masa pendudukan Jepang
Bahasa Indonesia memperoleh kesempatan berkembang karena pemerintah Jepang
seperti halnya pemerintah penjajah yang lain sesungguhnya bercita-cita menjadikan
bahasa resmi di Indonesia terpaksa menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa
resmi pemerintahan dan sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah. Perkembangan
berjalan dengan sangat cepat sehingga pada waktu kemerdekaan Indonesia
diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, bahasa Indonesia telah siap menerima
kedudukan sebagai bahasa Negara, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang
Dasar 1945, Bab XV, Pasal 36.
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Bahasa Indonesia (dengan nama Indonesia itu) merupakan bahasa yang usianya masih
muda. Karena bahasa Indonesia baru diakui sebagai bahasa Nasional tahun 1928,
yang ditandai oleh lahirnya Sumopah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Sejak
itupula nama Indonesia dipakai sebagai nama bahasa tersebut, yang sebelumnya
dikenal dengan nama bahasa Melayu. Setelah Indonesia merdeka, bahasa Indonesia
dijadikan bahasa negara, seperti dapat dibaca pada Undang-undang Dasar 1945, pasal
36. Ini berarti bahwa sebagai bahasa negara bahasa Indonesia baru lahir pada tahun
1945, bersamaan dengan lahirnya Undang-Undang Dasar 1945.
DAFTAR PUSTAKA

Keraf Gorys. 1991. Tata Bahasa Rujukan Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Grasindo.

Muslich Masnur. 2010. Perencanaan Bahasa Pada Era Globalisasi. Malang: Bumi
Aksara.

Muslich Masnur. 2010. Bahasa Indonesia Pada Era Globalisasi. Malang: Bumi Aksara.

Latif Yudi, dkk. 1996. Bahasa dan Kekuasaan. Bandung: Mizam Pustaka.

M.C. Ricklefs: A History of Modern Indonesia since c.1200

Jean Gelman Taylor: Indonesia: Peoples and Histories

https://www.indonesia-investments.com/id/budaya/politik/sejarah-prakolonial/item123?

"Bahasa Indonesia tiga zaman: Era kolonial, orde baru dan reformasi" 31 Oktober 2017
<https://www.terakota.id/bahasa-indonesia-tiga-zaman-https://www.terakota.id/bahasa-
indonesia-tiga-zaman-era-kolonial-orde-baru-dan-reformasi

Anda mungkin juga menyukai