Anda di halaman 1dari 59

ANALISIS EFEKTIFITAS BIAYA PENGGUNAAN

ANTIBIOTIK PADA PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKSI


KRONIS EKSASERBASI AKUT RAWAT INAP DI RSUP H.
ADAM MALIK

SKRIPSI

OLEH:
DINA KHAIRINA
NIM 141501191

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018

Universitas Sumatera Utara


ANALISIS EFEKTIFITAS BIAYA PENGGUNAAN
ANTIBIOTIK PADA PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKSI
KRONIS EKSASERBASI AKUT RAWAT INAP DI RSUP H.
ADAM MALIK

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar


Sarjana Farmasi pada Fakultas FarmasiUniversitas Sumatera Utara

OLEH:
DINA KHAIRINA
NIM 141501191

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Efektivitas

Biaya Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronis

Eksaserbasi Akut Rawat Inap di RSUP H. Adam Malik”. Skripsi diajukan sebagai

salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara.

Pemilihan antibiotik yang kurang tepat dan ketidak rasionalan penggunaan

antibiotik dapat meningkatkan pengaluaran biaya. Tujuan dari penelitian ini untuk

lebih mengetahui gambaran efektifitas biaya penggunaan antibiotik pada pasien

penderita penyakit paru obstruksi kronis eksaserbasi akut.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Prof. Dr. Masfria, M. S.,

Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara yang telah

menyediakan fasilitas selama masa pendidikan. Ibu Prof. Dra. Azizah Nasution,

M. Sc., Ph. D., Apt., selaku dosen pembimbing yang telah membimbing dan

mengarahkan penulis dengan penuh kesabaran dan keikhlasan selama penelitian.

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar–besarnya pada

keluarga tercinta, Ayahanda Nasril Bahar, S. E., dan Ibunda Dra. Kilopatra yang

telah memberikan cinta dan kasih sayang yang tidak ternilai dengan apapun, serta

abang-abangku, adikku serta seluruh keluarga yang selalu mendoakan penulis.

Medan, 15 Oktober 2018


Penulis,

Dina Khairina
NIM 141501191

iv
Universitas Sumatera Utara
SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertandatangan dibawah ini:

Nama : Dina Khairina

Nomor Induk Mahasiswa : 141501191

Program Studi : S-1 Reguler Farmasi

Judul Skripsi : Analisis Efektivitas Biaya Penggunaan Antibiotik


Pada Pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronis
Eksaserbasi Akut Rawat Inap di RSUP H. Adam
Malik
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat adalah asli karya sendiri

dan bukan plagiat. Apabila di kemudian hari diketahui skripsi tersebut terbuki

plagiat karna kesalahan sendiri maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh

Program Studi Sarjana Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikian surat pernyataan ini saya perbuat dengan sebenarnya dan dalam

keadaaan sehat.

v
Universitas Sumatera Utara
ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA
PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS EKSASERBASI AKUT
RAWAT INAP DI RSUP H. ADAM MALIK

ABSTRAK

Latar Belakang: Adanya perbedaan model terapi antibiotik pada pengobatan


penyakit paru obstruksi kroni (PPOK) eksaserbasi akut memberikan hasil klinis
yang berbeda pada tiap pasien. Oleh karena itu, analisis efektivitas biaya
diperlukan untuk mengoptimalkan biaya pengobatan.
Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi efektivitas biaya penggunaan
model terapi antibiotik pada pasien PPOK eksaserbasi akut rawat inap di RSUP
H. Adam Malik Medan.
Metode: Penelitian ini menggunakan rancangan deskriptif kohort dimana data
diperoleh dari rekam medik pasien rawat inap (n = 49) dengan PPOK eksaserbasi
akut di RSUP H. Adam Malik Medan periode Januari 2017-Desember 2017.
Karakteristik pasien dianalisis dengan metode statistik deskriptif menggunakan
SPSS versi 21. Metode Cost Effectiveness Ratio (CER) dan Incremental Cost
Effectiveness Ratio (ICER) digunakan untuk menganalisis biaya antibiotik yang
paling cost-effective. Diperoleh persentase outcome dari jumlah pasien dengan
WBC normal pada hari ke-3.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah terbesar pasien PPOK
eksaserbasi akut terjadi pada laki-laki (81,6%) dengan usia rata-rata 64 ± 1.5
tahun.
Model antibiotik yang paling banyak diberikan kepada pasien adalah injeksi
seftriakson (44,9%) dengan outcome tertinggi (81,8%). Diperoleh nilai CER pada
antibiotik seftriakson (Rp. 33.907,00), kombinasi seftriakson + azitromisin
(Rp.47,843,00) dan kombinasi seftriakson + siprofloksasin (Rp.141.879,00).
Antibiotik seftriakson dibandingkan dengan kombinasi seftriakson + azitromisin
memiliki nilai ICER (Rp.140.291,00) terendah.
Kesimpulan: Berdasarkan analisis efektivitas biaya, antibiotik yang paling efektif
adalah injeksi seftriakson dan direkomendasikan sebagai standar farmakoekonomi
dalam pengobatan pasien PPOK eksaserbasi akut di Rumah Sakit Haji Adam
Malik.

Kata kunci: analisis efektivitas biaya, antibiotik, PPOK eksaserbasi akut

vi
Universitas Sumatera Utara
COST-EFFECTIVENESS ANALYSIS OF ANTIBIOTIC USE IN
PATIENTS WITH ACUTE EXACERBATION CHRONIC OBSTRUCTIVE
PULMONARY DISEASE IN HAJI ADAM MALIK HOSPITAL

ABSTRACT

Background: Different models of antibiotic therapy for the treatment for acute
exacerbations of chronic obstructive pulmonary disease (COPD) will produce
different clinical outcomes in each patient. Therefore, a cost-effectiveness analysis
is needed to optimize the cost of the (HAM) treatment.
Objective: The aim of this study was to evaluate the cost-effectiveness use of
antibiotics model therapies provided for inpatients with acute exacerbation of
COPD at Haji Adam Malik Hospital.
Method: This study used a descriptive cohort study method in which data were
obtained from the medical records (n = 49) of hospitalized patients with acute
exacerbations COPD in HAM Hospital the period January 2017-December 2017.
Patients characteristics were analyzed by applying descriptive statistics in the
program of SPSS version 21. Cost Effectiveness Ratio (CER) and Incremental
Cost Effectiveness Ratio (ICER) applied to analyze the most cost-effective
antibiotic. The outcome was obtained from percentage of patients with normal
white blood cell on day-3.
Result: The results showed that the highest percentage of acute exacerbations of
COPD inpatients occurred in men (81.6%) with an average age of 64 ± 1.5 years.
The most widely models of antibiotics provided to the patients was ceftriaxone
injection (44.9%). CER values were obtained for ceftriaxone antibiotics
(Rp33,907.00), combination of ceftriaxone + azithromycin (Rp47,843.00) and
combination ceftriaxone + ciprofloxacin (Rp141,879.00). Ceftriaxone antibiotics
compared to the combination of ceftriaxone + azithromycin have the lowest ICER
value (Rp140,291.00).
Conclusion: Based on CEA analysis the most effective antibiotic is ceftriaxone
injection and recommended as pharmacoeconomic standard in the treatment of
acute exacerbation with COPD patients in Haji Adam Malik Hospital.

Keywords: acute exacerbation COPD, antibiotic, cost-effectiveness analysis

vii
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i


HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... iii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... iv
SURAT PERNYATAAN ........................................................................................v
ABSTRAK ............................................................................................................ vi
ABSTRACT ......................................................................................................... vii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ...................................................................................................x
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xi
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xii
BAB I PENDAHULUAN .....................................................................................1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................1
1.2 Kerangka Pikir Penelitian ................................................................................3
1.3 Perumusan Masalah .........................................................................................4
1.4 Hipotesis ..........................................................................................................5
1.5 Tujuan Penelitian .............................................................................................5
1.6 Manfaat Penelitian ...........................................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................7
2.1 Definisi PPOK .................................................................................................7
2.2 Epidemiologi ....................................................................................................8
2.3 Faktor Risiko ....................................................................................................8
2.4 Patologi ..........................................................................................................10
2.5 Gejala PPOK ..................................................................................................11
2.6 Antibiotik .......................................................................................................12
2.6.1 Definisi Antibiotik .......................................................................................12
2.6.2 Penggolongan Antibiotik .............................................................................13
2.6.3 Penggunaan Antibiotik ................................................................................14
2.6.4 Keberhasilan Penggunaan Antibiotik ..........................................................17
2.7 Farmakoekonomi ...........................................................................................18
2.7.1 Definisi Farmakoekonomi ............................................................................18
2.7.2 Tujuan Farmakoekonomi .............................................................................18
2.7.3 Metode Farmakoekonomi ............................................................................19
2.8 Biaya pelayanan kesehatan ............................................................................22
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ..............................................................24
3.1 Jenis Penelitian ...............................................................................................24
3.2 Populasi dan Sampel ......................................................................................24
3.2.1 Populasi ........................................................................................................24
3.2.2 Sampel ......................................................................................................... 24
3.2.3 Perhitungan Sampel .....................................................................................25
3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian .........................................................................25
3.4 Teknik Pengumpulan Data .............................................................................25
3.5 Pengolahan Data ............................................................................................26
3.6 Definisi Operasional ..................................................................................... 27
3.7 Langkah Penelitian .........................................................................................28
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ..............................................................30

viii
Universitas Sumatera Utara
4.1 Karakteristik Pasien .......................................................................................30
4.1.1 Karakteristik Berdasarkan Jenis Kelamin ....................................................30
4.1.2 Karakteristik Berdasarkan Umur ..................................................................31
4.2 Model Terapi Antibiotik ................................................................................32
4.3 Analisis Efektifitas Biaya ..............................................................................33
4.3.1 Biaya Langsung Medis .................................................................................33
4.3.2 Penilaian Outcome Terapi Obat ...................................................................35
4.3.3 Perhitungan Efektivitas CER .......................................................................36
4.3.4 Perhitungan Efektivitas Biaya ICER ............................................................37
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................39
5.1 Kesimpulan ....................................................................................................39
5.2 Saran ..............................................................................................................39
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................40
LAMPIRAN ..........................................................................................................42

ix
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR TABEL

4.1 Model terapi antibiotik ...................................................................................32


4.2 Distribusi biaya penggunaan antibiotik ..........................................................34
4.3 Rata-rata outcome terapi ................................................................................35
4.4 Hasil analisis CER terhadap total biaya langsung medis ...............................36
4.5 Hasil analisis ICER terhadap biaya total langsung medis .............................37

x
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR GAMBAR

1.1 Kerangka Pikir Penelitian ................................................................................4


4.1 Persentase Pasien PPOK Eksaserbasi Akut Rawat Inap di RSUP
Haji Adam Malik Medan Berdasarkan Jenis Kelamin ..................................30
4.2 Persentase Pasien PPOK Eksaserbasi Akut Rawat Inap di RSUP
Haji Adam Malik Medan Berdasarkan Usia ..................................................31
4.3 Diagram Efektivitas Biaya .............................................................................38

xi
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR LAMPIRAN

1. Surat Izin Penelitian .........................................................................................42


2. Surat Ethical Clearance ...................................................................................43
3. Surat Persetujuan Telah Menyelesaikan Penelitian ..........................................44
4. Data Demografi Pasien PPOK Eksaserbasi Akut .............................................45

xii
Universitas Sumatera Utara
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD),

PPOK adalah penyakit dengan keterbatasan saluran napas yang tidak sepenuhnya

reversibel. Keterbatasan saluran napas tersebut biasanya bersifat progresif dan

berhubungan dengan respons inflamasi, yang disebabkan oleh bahan merugikan

atau gas (Oemiati, 2013).

Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan salah satu penyakit

yang menarik perhatian dunia. Menurut data WHO tahun 2002 menyebutkan

bahwa PPOK masuk dalam 5 besar penyakit mematikan diseluruh dunia. Tingkat

kematian PPOK diperkirakan akan terus meningkat sebanyak 30% selama 10

tahun berikutnya jika faktor risiko tidak dimanajemen dengan baik, terutama

kebiasaan merokok. WHO memperkirakan pada tahun 2020 PPOK akan menjadi

penyakit 3 besar penyebab kematian teringgi (Marta dkk., 2014).

Di Amerika Serikat PPOK mengenai 5-10% populasi, sedangkan di

Indonesia 5,6% pada tahun 2006. Pada 2004 PPOK merupakan penyebab

kematian keempat di dunia dan diperkirakan pada 2020 akan naik ke peringkat

ketiga. Risiko eksaserbasi pada PPOK derajat sedang adalah 0,7-0,9 kali per

orang per tahun, pada PPOK berat 1,1-1,3 kali per orang per tahun, dan pada

PPOK sangat berat 1,2-2 kali per orang per tahun (Indreswari dkk.,2014).

Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) ditandai dengan hambatan aliran

udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif, dan melibatkan

respons inflamasi kronis di saluran napas dan paru terhadap partikel atau gas yang

berbahaya. Penyakit paru obstruktif kronik dapat meningkatkan morbiditas dan

1
Universitas Sumatera Utara
mortalitas di seluruh dunia serta menimbulkan beban sosial dan ekonomi.

Prevalensi, morbiditas, dan mortalitas PPOK diproyeksikan meningkat dalam

dekade mendatang karena meningkatnya usia harapan hidup dan bertambahnya

paparan faktor risiko PPOK, seperti asap rokok dan pencemaran udara (Indreswari

dkk., 2014).

Morbiditas dan mortalitas pasien PPOK berhubungan dengan eksaserbasi

periodik atau terjadinya perburukan gejala. Semakin sering terjadinya eksaserbasi,

semakin berat pula kerusakan paru yang akan diikuti dengan memburuknya fungsi

paru. PPOK eksaserbasi akut (AECOPD) ditandai dengan adanya peningkatan

produksi dan purulensi sputum disertai dispneu. Eksaserbasi akut ini disebabkan

oleh banyak faktor, seperti infeksi saluran pernapasan, polusi, perubahan

temperatur, alergi, dan faktor komorbid lainnya (Marta dkk., 2014).

Dari beberapa faktor tersebut, penyebab tersering eksaserbasi akut PPOK

adalah infeksi oleh bakteri. Beberapa penelitian bronkoskopik menunjukkan tidak

kurang dari 50% pasien yang terdeteksi mengalami infeksi bakteri yang memicu

eksaserbasi (Marta dkk., 2014).

Antibiotik merupakan golongan obat yang banyak digunakan di dunia

terkait dengan meningkatnya penyakit infeksi bakteri. Lebih dari seperempat

anggaran rumah sakit dikeluarkan untuk biaya penggunaan antibiotik. Adanya

ketidak tepatan terapi antibiotik dapat menimbulkan dampak buruk berupa

munculnya resistensi bakteri terhadap antibiotik (Okky dkk., 2014).

Kajian farmakoekonomi mempertimbangkan dua sisi, yaitu biaya (cost)

dan hasil pengobatan (outcome). Pada kenyataannya, faktor biaya (cost) selalu

dihubungkan dengan efektivitas (effectiveness), utilitas (utility) atau manfaat

(benefit) dari pengobatan (pelayanan) yang diberikan. Efektivitas merujuk pada

2
Universitas Sumatera Utara
kemampuan suatu obat dalam memberikan peningkatan kesehatan (outcomes)

kepada pasien dalam praktek klinik rutin (penggunaan sehari-hari di dunia nyata,

bukan di bawah kondisi optimal penelitian) (Kemenkes RI, 2013).

Masalah biaya kesehatan sejak beberapa tahun ini telah banyak menarik

perhatian. Biaya pelayanan kesehatan khususnya biaya obat telah meningkat tajam

dalam beberapa dekade terakhir dan kecenderungan ini tampaknya akan terus

berlangsung. Hal ini disebabkan karena meningkatnya jumlah populasi pasien

dengan konsekuensi meningkatnya penggunaan obat, serta adanya obat-obat baru

yang lebih mahal dan perubahan pola pengobatan (Trisna, 2008).

Pemilihan antibiotik yang kurang tepat pada suatu terapi pengobatan dan

ketidak rasionalan penggunaan antibiotik dapat meningkatkan pengaluaran biaya

oleh pasien maupun rumah sakit dan pemerintah. Adapun pemilihan antibiotik

dengan biaya relatif tinggi belum tentu bisa menjamin efektivitas terapi pasien.

Kondisi ini yang menarik perhatian penulis untuk lebih mengetahui gambaran

efektifitas biaya penggunaan antibiotik pada pasien penderita penyakit paru

obstruksi kronis eksaserbasi akut rawat inap di Rumah Sakit Umum Pusat Haji

Adam Malik.

1.2 Kerangka Pikir Penelitian

Penelitian ini mengkaji tentang Analisis Efektivitas Biaya Penggunaan

Antibiotik pada Pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronis Eksaserbasi Akut Rawat

Inap Di RSUP Haji Adam Malik. Pada penelitian ini pengambilan data secara

retospektif dari rekam medik pasien dan penderita PPOK eksaserbasi akut yang

menjalani rawat inap pada periode Januari 2017-Desember 2017. Selain dari

rekam medik, data juga diambil dari bagian keuangan rumah sakit untuk

3
Universitas Sumatera Utara
mengetahui biaya yang dikeluarkan. Adapun kerangka pikir penelitian ini

ditunjukan pada Gambar 1.1 di bawah ini:

Variabel bebas Variabel terikat

Penurunan WBC
Model terapi antibiotik (White Blood Cell)
yang digunakan
(Kombinasi atau
Tunggal) Biaya Langsung
Medis

Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian.

Variabel bebas adalah yang mempengaruhi varibel terikat. Pada penelitian

ini variabel bebas adalah model terapi antibiotik yang digunakan baik dalam

kombinasi atau tunggal.

Variabel terikat adalah yang dipengaruhi oleh variabel bebas dan akan

berubah karena variabel bebas (Saryono, 2008). Dalam hal ini variabel terikat

adalah:

a. Biaya langsung medis berupa biaya penggunaan antibiotik yang digunakan

pasien PPOK eksaserbasi akut selama pengobatan hingga dinyatakan sel

darah putih normal pada hari ke-3.

b. Nilai penurunan WBC (White Blood Cell).

1.3 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah penelitian ini


adalah:

a. Apakah ada perbedaan efektivitas pengobatan dan efektivitas biaya

diantara model terapi antibiotik pada pasien PPOK eksaserbasi akut di

rawat inap RSUP Haji Adam Malik Medan?

4
Universitas Sumatera Utara
1.4 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah, adapun hipotesa dalam penelitian ini

adalah:

a. Terdapat perbedaan efektivitas pengobatan dan efektivitas biaya diantara

model terapi antibiotik pada pasien PPOK eksaserbasi akut di rawat inap

RSUP Haji Adam Malik Medan.

1.5 Tujuan Penelitian

Berdasarkan hipotesis, tujuan penelitian ini adalah untuk:

a. Mengetahui perbedaan efektivitas pengobatan dan efektifitas biaya

diantara model terapi antibiotik pada pasien PPOK eksaserbasi akut rawat

inap di RSUP Haji Adam Malik.

1.6 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagi Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik dapat

digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam meningkatkan

mutu pelayanan kesehatan pada pasien PPOK eksaserbasi akut di Rumah

Sakit Umum Pusat haji Adam Malik.

b. Bagi manajemen Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik, diharapkan

dapat memberikan gambaran pengetahuan tentang analisis biaya

penggunaan antibiotik dan biaya pengobatan secara umum untuk PPOK

eksaserbasi akut di rawat inap, serta untuk mengetahui hubungan jenis

antibiotik dengan tingkat kesembuhan.

c. Bagi peneliti, menambah pengetahuan peranan farmakoekonomi dalam

5
Universitas Sumatera Utara
upaya meningkatkan kesehatan dan mengetahui antibiotik yang paling

cost-effective pada pasien PPOK eksaserbasi akut di rawat inap di Rumah

Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik.

6
Universitas Sumatera Utara
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi PPOK

Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah penyakit pada saluran

pernapasan, yang dapat mengakibatkan hambatan aliran udara dengan indikasi

sesak napas dan gangguan oksigenasi jaringan serta diikuti dengan adanya

obstruksi jalan napas yang sifatnya menahun (Amin, 1989).

Menururt Gold (2017), Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah

penyakit yang dapat dicegah dan diobati, dengan adanya hambatan aliran udara

yang menetap (persisten), bersifat progresif dan disertai peningkatan respon

inflamasi yang kronik pada paru-paru dan saluran pernapasan terhadap gas atau

partikel yang berbahaya (noxious). Eksaserbasi dan komorbid mengakibatkan

keseluruhan keparahan pada penderita. Definisi yang baru ini tidak lagi menyebut

hambatan aliran udara yang reversibel sebagian (GOLD, 2017; PDPI, 2010).

Secara umum eksaserbasi adalah perburukan gejala pernapasan yang akut.

Menurut Soler eksaserbasi meliputi meningkatnya sesak napas, volume dan

purulensi sputum. Eksaserbasi terbagi menjadi beberapa tipe menurut Soler. Tipe

1 jika mempunyai semua gejala yaitu peningkatan sesak napas, peningkatan

volume dan purulensi sputum. Tipe 2 jika mempuyai 2 gejala dan Tipe 3 jika

mempunyai 1 gejala diatas (Soler, 2005).

Eksaserbasi terjadi karena adanya produksi sputum berlebihan sehingga

memudahkan bakteri unutk tumbuh dan menyebabkan infeksi yang berulang.

Pada kondisi kronik imunitas tubuh mulai menurun, hal ini ditandai dengan

menurunnya kadar limfosit di dalam darah (Djojodibroto, 2009).

Terdapat penyakit paru yang secara klinis dapat menyebabkan PPOK

7
Universitas Sumatera Utara
yaitu bronkitis kronis, emfisema pulmonal, dan asma bronkial. Beberapa penyakit

kronis yang dapat menyebabkan fibrosis seperti tuberkulosis dan sarkoidosis atau

yang mengakibatkan peradangan seperti bronkiektasis dan fibrosis kistik yang

dapat menyebabkan obstruksi yang bersifat irreversibel dan produksi mukus yang

bersifat kronis biasanya tidak dimasukkan ke dalam PPOK (Barnett, 2006).

2.2 Epidemiologi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan masalah kesehatan

global. Data prevalensi, morbiditas, dan mortalitas yang berbeda di tiap negara,

namun secara umum terkait langsung dengan prevalensi merokok. Beberapa

negara dengan polusi udara akibat pembakaran kayu, gas dan partikel berbahaya.

Satu meta-analysis dari beberapa studi yang dilaksanakan di 28 negara antara

1990 sampai 2004, menunjukkan bahwa prevalensi PPOK lebih tinggi pada

perokok dan bekas perokok dibanding pada yang bukan perokok, pada mereka

yang berusia diatas 40 tahun dibanding mereka yang dibawah 40 tahun, dan pada

pria lebih banyak dibanding wanita (GOLD, 2017).

2.3 Faktor Resiko

Terdapat beberapa faktor risiko penyebab utama berkembangnya penyakit

PPOK, Beberapa faktor paparan lingkungan antara lain adalah:

a. Merokok

Merokok merupakan penyebab utama terjadinya COPD, dengan risiko 30

kali lebih besar pada perokok dibanding dengan bukan perokok, dan merupakan

penyebab dari 85-90% kasus COPD. Kurang lebih 15-20% perokok akan

mengalami COPD, kematian akibat COPD terkait dengan banyaknya rokok yang

8
Universitas Sumatera Utara
dihisap, umur mulai merokok, dan status merokok yang terakhir saat COPD

berkembang (PDPI, 2011).

b. Pekerjaan

Para pekerja tambang emas atau batu bara, industri gelas dan keramik

yang terpapar debu silika, atau pekerja yang terpapar debu katun dan debu

gandum, toluene diisosianat, dan asbes, mempunyai risiko yang lebih besar

daripada yang bekerja di tempat selain yang disebutkan di atas (PDPI, 2011).

c. Polusi udara

Pasien yang mempunyai disfungsi paru akan semakin memburuk

gejalanya dengan adanya polusi udara. Polusi ini bisa berasal dari luar rumah

seperti asap pabrik, asap kendaraan bermotor, maupun polusi dari dalam rumah

misalnya asap dapur (PDPI, 2011).

d. Infeksi

Kolonisasi bakteri pada saluran pernafasan secara kronis merupakan suatu

pemicu inflamasi neurotofilik pada saluran nafas, terlepas dari paparan rokok.

Adanya kolonisasi bakteri menyebabkan peningkatan kejadian inflamasi yang

dapat diukur peningkatan jumlah sputum, peningkatan frekuensi eksaserbasi, dan

percepatan penurunan fungsi paru, yang semua ini meningkatkan risiko kejadian

COPD (PDPI, 2011).

e. Usia

Umumnya penderita PPOK kebanyakan berusia lanjut (> 55 tahun),

karena terdapat gangguan mekanis dan pertukaran gas pada sistem pernapasan dan

menurunnya aktifitas fisik pada kehidupan sehari-hari. Peningkatan volume paru

dan tahanan aliran udara dalam saluran napas pada penderita PPOK akan

meningkatkan kerja pernapasan. Penyakit ini bersifat kronis dan progresif, makin

9
Universitas Sumatera Utara
lama kemampuan penderita akan menurun bahkan penderita akan kehilangan

stamina fisiknya (Hisyam, 2001).

f. Gangguan Fungsi Paru

Gangguan fungsi paru-paru merupakan salah satu faktor risiko PPOK,

misalnya defisiensi Immunoglobulin A ( Ig A/Hypogammaglobulin ) atau infeksi

pada masa kanak-kanak seperti TBC dan bronkiektasis. Seseorang dengan

gangguan fungsi paru dapat mengalami penurunan fungsi paru-paru lebih besar

sejalan dengan waktu daripada yang fungsi parunya normal, sehingga lebih

berisiko terhadap berkembangnya PPOK. Termasuk di dalamnya adalah orang

yang pertumbuhan parunya tidak normal karena lahir dengan berat badan rendah

sehingga memiliki risiko lebih besar (Hisyam, 2001).

2.4 Patologi

Perubahan patologi yang khas pada penderita COPD nampak pada

permukaan epitel saluran napas besar berupa infiltrasi sel–sel radang sebagai

fungsi hipersekresi mucus; di saluran napas kecil terjadi fibrosis, di parenkim paru

terjadi emfisema, serta di pembuluh darah pulmonal berupa infilterasi sel– sel

radang pada dinding pembuluh darah pulmonal. Inhalasi asap rokok dan partikel

berbahaya lainnya menyebabkan inflamasi pada paru yang mendasari seseorang

menderita COPD. Respons inflamasi ini merangsang kerusakkan jaringan

parenkim sehingga terjadi emfisema dan menghalangi mekanisme perbaikan

jaringan dan pertahanan normal tubuh (menyebabkan fibrosis di saluran napas

kecil). Inflamasi dan perubahan struktur pada saluran napas ini akan berlanjut

sesuai dengan derajat keparahan penyakit meskipun pasien telah berhenti

merokok (PDPI, 2011).

10
Universitas Sumatera Utara
2.5 Gejala PPOK

Gejala yang ditimbulkan pada PPOK biasanya terjadi bersamaan dengan

gejala primer dari penyebab penyakit ini. Bila disebabkan oleh bronkitis kronis

maka gejala yang utama adalah batuk dengan produksi sputum yang berlebihan

dan sesak napas. Akan tetapi bila penyebabnya adalah emfisema maka gejala

utamanya adalah kerusakan pada alveoli dengan keluhan klinis berupa sesak

napas (dispnea) yang terjadi sehubungan dengan adanya gerak badan (Rab, 1996).

a. Sesak napas

Gejala ini yang paling sering terjadi pada penderita PPOK. Hal ini

disebabkan saluran udara yang menyempit dan bersifat irreversibel. Penyempitan

saluran napas tersebut menyebabkan peningkatan resistensi dan tertahannya udara

sehingga udara inspirasi menjadi berkurang. Kurangnya udara yang masuk

menyebabkan saluran bronkiolus menjadi kolaps, sehingga udara akan semakin

sulit masuk ke paru-paru. Hiperinflasi paru-paru meningkatkan volume residu

sehingga terjadi sesak saat beraktivitas. Diafragma menjadi rata sehingga

dibutuhkan usaha yang lebih besar untuk bernapas (Rab, 1996).

b. Batuk dan produksi sputum

Pada kebanyakan penderita gejala ini biasanya diawali dengan sesak

napas. Batuk terjadi karena adanya iritasi saluran pernapasan akibat pelepasan

komponen dari sel yang sudah mengalami inflamasi dan produksi sputum yang

meningkat. Kondisi ini biasanya mengalami perburukan pada pagi hari. Warna

dari dahak tersebut berwarna putih pada penderita yang bukan perokok dan

berwarna abu-abu pada perokok (Rab, 1996).

c. Mengi

Suara mengi dihasilkan oleh aliran turbulen pada saluran udara. Gejala ini

11
Universitas Sumatera Utara
muncul karena adanya paparan alergen tertentu dan penderita yang mengalami

eksaserbasi disebabkan penyempitan bronkus (Rab, 1996).

Beberapa gejala lain yang ditimbul oleh penyakit paru obstruksi kornis

adalah nyeri dada, infeksi dada, anoreksia, penurunan berat badan, kelelahan,

depresi, dan kecacatan (terjadi pada PPOK stadium lanjut) (Amin, 1996).

2.6 Antibiotik

2.6.1 Definisi Antibiotik

Antibiotik adalah senyawa yang dihasilkan oleh mikroorganisme (bakteri,

jamur) yang mempunyai efek menghambat atau menghentikan suatu proses

biokimia mikroorganisme lain. Antibiotika harus memiliki sifat toksisitas selektif

setinggi mungkin, artinya obat tersebut harus bersifat sangat toksik untuk mikroba

tetapi relatif tidak toksik untuk hostes (Setiabudy, 2007).

Selain dari hasil metabolisme mikroorganisme, antibiotik juga dapat

dibuat dari bahan alam yaitu dari beberapa hewan dan tanaman, serta dapat pula

dibentuk antibiotik baru secara sintesis parsial yang sebagian mempunyai sifat

yang lebih baik (Mutchsler, 1991).

Pemilihan antibiotik harus didasarkan kepada pengobatan empiris yang

rasional berdasarkan etiologi yang paling mungkin serta antibiotik yang paling

tepat untuk mengobati infeksi tersebut. Pasien memiliki beberapa faktor yang

perlu diperhatikan dalam pemberian antibiotik diantaranya yaitu fungsi organ

tubuh pasien seperti fungsi ginjal dan hati, adanya riwayat alergi pada antibiotik,

daya tahan terhadap infeksi (status imunologis), daya tahan terhadap obat,

beratnya infeksi yang diderita pasien, usia, dan untuk wanita apakah sedang hamil

atau menyusui (Setiabudy, 2007).

12
Universitas Sumatera Utara
2.6.2 Penggolongan Antibiotik

Antibiotika dapat digolongkan atas dasar mekanisme kerjanya sifatnya

apakah bakterisid atau bakteriostatis:

1. Bakterisid adalah zat yang pada dosis biasa berkhasiat mematikan kuman.

Contohnya penisilin, sefalosporin, aminoglikosida, polimiksin B, kolistin,

vankomisin, basitrasin, sikloserin, heksamin dan rifampisin.

2. Bakteriostatis adalah zat yang pada dosis biasa terutama berkhasiat

menghentikan pertumbuhan dan perbanyakan kuman. Pemusnahannya

harus dilakukan oleh sistem pertahan tubuh sendiri dengan jalan

fagositosis (dimakan oleh limfosit) seperti sulfonamid, kloramfenikol,

tetrasiklin, makrolida, linkomisin, P-amino salisilat dan asam fusidat (Tjay

dan Rahardja, 2006).

Berdasarkan luas aktivitasnya, antibiotika juga digolongkan berdasarkan

aktivitas spektrumnya, yaitu:

1. Antibiotik narrow spectrum (akitvitas sempit).

Obat-obat ini terutama aktif terhadap beberapa jenis kuman saja, misalnya

penisilin-G dan penisilin-V, eritromisin, klindamisin, kanamisin, dan asam

fusidat hanya bekerja terhadap kuman Gram positif. Sedangkan streptomisin,

gentamisin, polimiksin-B, dan asam nalidiksat khusus aktif terhadap

kuman Gram negatif.

2. Antibiotik broad spectrum (aktivitas luas).

Antibiotik yang memiliki spectrum luas dapat membunuh atau

menghambat jenis bakteri gram positif maupun gram negatif. Golongan antibiotik

yang termasuk spektrum luas antara lain sulfonamida, ampisilin, sefalosforin,

kloramfenikol, tetrasiklin, dan rifampisin (Tjay dan Rahardja, 2003).

13
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan sasaran tindakan antibiotika terhadap mikroba, maka

antibiotika dapat digolongkan ke dalam lima golongan, yaitu:

1. Menghambat metabolisme sel mikroba. Dengan mekanisme kerja ini

diperoleh efek bakteriostatik. Obat yang termasuk kelompok ini yaitu

sulfonamid, trimethoprim.

2. Menghambat sintesis dinding sel mikroba. Mekanisme ini merupakan

dasar efek bakterisida pada kuman yang peka. Obat yang termasuk

kelompok ini yaitu penisilin, sefalosporin, basitrasin, vankomisin dan

sikloserin.

3. Mengganggu keutuhan membran sel. Obat yang termasuk kelompok ini

yaitu polimiksin, golongan polien serta berbagai antibiotik kemoterapi.

4. Menghambat sintesis protein sel mikroba. Obat yang termasuk kelompok

ini yaitu golongan aminoglikosida, makrolida, linkomisin, tetrasiklin dan

kloramfenikol.

5. Menghambat sintesis asam nukleat sel mikroba. Obat yang termasuk

kelompok ini yaitu rifampisin dan golongan kuinolon (Setiabudy, 2007).

2.6.3 Penggunaan Antibiotik

1. Sephalosporin

Sefalosporin diperoleh dari jamur Cephalorium acremonium yang berasal

dari Sicilia. Sefalosporin merupakan antibiotika betalaktam dengan struktur,

khasiat, dan sifat yang banyak mirip penisilin, tetapi dengan keuntungan-

keuntungan antara lain spektrum antibakterinya lebih luas tetapi tidak mencakup

enterococci dan kuman-kuman anaerob (Istiantoro dan Rianto, 2007).

Reaksi alergi merupakan efek samping yang paling sering terjadi. Reaksi

anafilaksis dengan spasme bronkus dan urtikaria dapat terjadi. Reaksi silang

14
Universitas Sumatera Utara
biasanya terjadi pada pasien dengan alergi penisilin berat, sedangkan pada alergi

penisilin yang ringan dan sedang kemungkinannya kecil. Sefalosporin merupakan

zat yang nefrotoksik, walaupun jauh kurang toksis dibandingkan dengan

aminoglikosida (Elin, 2008).

a. Seftriakson adalah derivat thiazolyl ditemukan pada tahun 1983 dari generasi

ketiga sepalosporin dengan sifat anti-laktamase dan anti kuman gram negatif

kuat. Seftriakson menghambat sintesis peptidoglycan yang diperlukan kuman

sehingga sel mengalami lisis dan sel bakteri akan mati (Tjay dan Rahardja,

2002; Katzung, 2004).

2. Makrolida

Golongan makrolida menghambat sintesis protein kuman dengan jalan

berikatan secara reversibel dengan ribosom sub unit 50S, dan umumnya bersifat

bakteriostatik, walaupun terkadang dapat bersifat bakterisidal untuk kuman yang

sangat peka (Setiabudy, 2007).

Kelompok antibiotika ini terdiri dari eritromisin dengan derivatnya

klaritromisin, roksitromisin, azitromisin, dan diritromisin. Semua makrolida

diuraikan dalam hati dan sebagian oleh sistem enzim oksidatif sitokrom-P450

menjadi metabolit inaktif. Eksresinya berlangsung melalui empedu, tinja serta

kemih. Semua makrolida dapat mengganggu fungsi hati, yang tampak sebagai

peningkatan nilai-nilai enzim tertentu dalam serum (Elin dkk., 2008).

a. Azitromisin merupakan derivat dari eritromisin. Memiliki sifat

farmakokinetik yang jauh lebih baik dibandingkan eritomisin, antara lain

resorpsinya dari usus lebih tinggi karena lebih tahan asam, begitu pula daya

tembus ke jaringan dan intra-seluler. Azitromisin mempunyai t1/2 13 jam yang

memungkinkan pemberian dosis hanya 1 atau 2 kali sehari. Makanan

15
Universitas Sumatera Utara
memperburuk resorpsinya, maka sebaiknya diminum pada saat perut kosong

(Tjay dan Rahardja, 2007).

3. Aminoglikosida

Aminoglikosida bersifat bakterisid berdasarkan dayanya untuk menembus

dinding bakteri dan mengikat diri pada ribosom di dalam sel. Proses translasi

(RNA dan DNA) diganggu sehingga biosintesis proteinnya dikacaukan. Spektrum

kerjanya luas yaitu aktif terhadap bakteri gram positif dan gram negatif. Yang

termasuk ke dalam golongan ini adalah streptomisin, gentamisin, amikasin,

kanamisin, neomisin, dan paramomisin (Tjay dan Rahardja, 2007).

a. Gentamisin memiliki spektrum antibakteri luas, tapi tidak efektif terhadap

kuman anaerob, kurang efektif terhadap Str. Hemolyticus. Bila digunakan

pada infeksi berat yang belum diketahui penyebabnya, sebaiknya dikombinasi

dengan penisilin dan/atau metronidazole. Apabila digunakan bersamaan

dengan karbenisilin atau tikarsilin dan gentamisin dapat menyebabkan

peningkatan sinergisme dan aktivitas bakterisid terhadap beberapa strain,

salah satunya adalah Pseudomonas dan bakteri gram negatif lainnya (Elin

dkk., 2008; Katzung, 1997).

b. Amikasin adalah turunan semisintetis dari kanamisin yang kurang toksik.

Amikasin relatif resisten terhadap beberapa enzim yang menginaktivasi

gentamisin. Terutama diindikasikan untuk infeksi berat gram negatif yang

resisten terhadap gentamisin. Dosis yang dianjurkan pemberian amikasin

adalah 15 mg /kg/hari sebagai dosis tunggal (Tjay dan Rahardja, 2007;

Goodman, 2006).

4. Quinolon

Golongan quinolon merupakan antimikroba oral memberikan pengaruh

16
Universitas Sumatera Utara
yang baik dalam terapi infeksi. Dari prototipe awal yaitu asam nalidiksat

berkembang menjadi asam pipemidat, asam oksolinat, cinoksacin, norfloksacin.

Mekanisme kerja golongan quinolon secara umum adalah dengan menghambat

DNA-gyrase. Aktivitas antimikroba secara umum meliputi, Enterobacteriaceae, P.

aeruginosa, staphylococci, enterococci, streptococci. Aktivitas terhadap bakteri

anaerob pada generasi kedua tidak dimiliki. Demikian pula dengan generasi ketiga

quinolon seperti levofloksasin, gatifloksasin, moksifloksasin. Aktivitas terhadap

anaerob seperti B. fragilis, dan Gram-positif baru muncul pada generasi keempat

yaitu trovafloksacin (Depkes RI, 2005).

2.6.4 Keberhasilan Penggunaan Antibiotik

Hal yang perlu perhatian khusus pada penanganan infeksi ialah :

a. Dosis antibiotik

b. Rute pemberian antibiotic

1. Rute parenteral: ditempuh bila infeksi perlu segera diatasi; infeksi

terdapat pada lokasi yang memerlukan konsentrasi darah yang tinggi

dari antibiotik untuk menjamin penetrasi yang memadai dari jaringan

yang terinfeksi (endokardium, tulang, otak).

2. Rute oral: dipilih untuk mengatasi kebanyakan jenis infeksi saluran

kemih, faringitis oleh streptokokus dimana antibiotik disampaikan ke

jaringan tanpa masalah dan mikroorganisme yang menimbulkan infeksi

sangat peka untuk antibiotik.

c. Lamanya pemberian antibiotik harus menjamin musnahnya penyebab

infeksi sehingga penyakit infeksi tidak mungkin untuk kambuh kembali,

adanya kekambuhan pada infeksi ditentukan oleh daya tahan suatu

mikroorganisme terhadap sistem pertahanan dalam tubuh serta mekanisme

17
Universitas Sumatera Utara
resistensi mikroorganisme terhadap antibiotik (Wattimena, 1991).

2.7 Farmakoekonomi

2.7.1 Definisi Farmakoekonomi

Farmakoekonomi adalah ilmu yang mengukur biaya dan hasil yang

diperoleh dihubungkan dengan penggunaan obat dalam perawatan kesehatan.

Analisis farmakoekonomi menggambarkan dan menganalisis biaya obat untuk

sistem perawatan kesehatan (Orion, 1997). Farmakoekonomi juga didefenisikan

sebagai deskripsi dan analisis dari biaya terapi dalam suatu sistem pelayanan

kesehatan, tentang proses identifikasi, mengukur, membandingkan biaya, resiko

dan keuntungan dari suatu program pelayanan terapi (Vogenberg, 2001).

Hasil analisis farmakoekonomi bisa dijadikan sebagai informasi yang

dapat membantu para pembuat kebijakan dalam menentukan pilihan atas

alternatif-alternatif pengobatan yang tersedia agar pelayanan kesehatan lebih

efektif dan efisien (Trisna, 2010).

2.7.2 Tujuan Farmakoekonomi

Tujuan farmakoekonomi adalah mengidentifikasi, mengukur, dan

membandingkan biaya serta konsekuensi dari suatu pelayanan kesehatan.

Farmakoekonomi dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan biaya, menentukan

alternatif pengobatan, dan membantu dalam pengambilan keputusan klinik dalam

pemilihan terapi yang efektif dan efisien (Andayani, 2013).

Dengan keterbatasan sumber daya yang tersedia dalam memberikan

pelayanan kesehatan, maka farmakoekonomi dimanfaatkan dalam membantu

membuat keputusan dan menentukan pilihan atas alternatif-alternatif pengobatan

agar pelayanan kesehatan menjadi lebih efisien dan ekonomis (Trisna, 2010).

18
Universitas Sumatera Utara
2.7.3 Metode Farmakoekonomi

Tipe farmakoekonomi meliputi Cost-Minimization Analysis (CMA), Cost-

Effectiveness Analysis (CEA), Cost-Benefit Analysis (CBA), Cost-Utility Analysis

(CUA),dan Cost of Illness (COI) yang penting bagi pembuat keputusan dalam

sistem pelayanan kesehatan untuk mengalokasikan sumber daya yang terbatas.

Setiap metode, mengukur biaya dalam rupiah tetapi berbeda dalam mengukur dan

membandingkan outcome kesehatan (Vogenberg, 2001).

a. Cost-Minimization Analysis (CMA)

Metode AMiB digunakan untuk membandingkan dua intervensi kesehatan

yang telah dibuktikan memiliki efek yang sama, serupa, atau setara. Jika dua

terapi atau dua (jenis, merek) obat setara secara klinis, yang perlu dibandingkan

hanya biaya untuk melakukan intervensi. Sesuai prinsip efisiensi ekonomi, jenis

atau merek obat yang menjanjikan nilai terbaik adalah yang membutuhkan biaya

paling kecil per periode terapi yang harus dikeluarkan untuk mencapai efek yang

diharapkan (Newby dan Hill, 2003).

Pada pola ini perlu studi epidemiologis sebelumnya, yang mungkin

menunjukkan bahwa dua intervensi atau lebih terhadap suatu kegiatan

menghasilkan suatu luaran (output) yang sama (Newby dan Hill, 2003).

b. Cost-Effectiveness Analysis (CEA)

Cost-effectiveness analysis adalah tipe analisis yang membandingkan

biaya suatu intervensi dengan beberapa ukuran non-moneter, yang berpengaruh

terhadap hasil perawatan kesehatan. Cost-effectiveness analysis merupakan salah

satu cara untuk memilih dan menilai program yang terbaik bila terdapat beberapa

program yang berbeda dengan tujuan yang sama tersedia untuk dipilih. Kriteria

penilaian program mana yang akan dipilih didasarkan pada discounted unit cost

19
Universitas Sumatera Utara
dari masing-masing alternatif program sehingga program yang mempunyai

discounted unit cost terendahlah yang akan dipilih oleh para analisis atau

pengambil keputusan (Tjiptoherianto dan Soesetyo, 2008).

Hasil CEA digambarkan sebagai rasio, baik dengan cost-effectiveness

ratio (CER) atau sebagai incremental cost-effectiveness ratio (ICER). CER

menggambarkan total biaya program atau alternatif dibagi dengan outcome klinik,

dipresentasikan sebagai unit moneter per outcome klinik spesifik yang dihasilkan

sehingga klinisi dapat memilih alternatif dengan biaya lebih rendah untuk setiap

outcome yang diperoleh (Murti, 2013).

c. Cost-Benefit Analysis (CBA)

Analisis manfaat biaya (AMB) adalah suatu teknik analisis dalam ilmu

farmakoekonomi yang menghitung dan membandingkan biaya suatu intervensi

kesehatan terhadap manfaatnya dan diekspresikan dalam satuan moneter

(Kemenkes RI., 2013).

Contoh dari cost benefit analysis adalah membandingkan program

penggunaan vaksin dengan program perawatan suatu penyakit. Pengukuran dapat

dilakukan dengan menghitung jumlah episode penyakit yang dapat dicegah,

kemudian dibandingkan dengan biaya kalau program perawatan penyakit

dilakukan. Semakin tinggi benefit cost, maka program makin menguntungkan

(Trisna, 2010).

d. Cost-Utility Analysis

Metode AUB digunakan untuk membandingkan biaya terhadap program

kesehatan yang diterima dan dihubungkan dengan peningkatan kesehatan selama

perawatan. Dalam AUB, peningkatan kesehatan diukur dalam bentuk penyesuaian

kualitas hidup atau quality adjusted life years (QALYs) dan hasilnya ditunjukkan

20
Universitas Sumatera Utara
dengan biaya per penyesuaian kualitas hidup. Data kualitas dan kuantitas hidup

dapat dikonversi ke dalam nilai QALYs. Sebagai contoh bila pasien dinyatakan

benar-benar sehat, maka nilai QALYs dinyatakan dengan angka 1 (satu).

Keuntungan dari analisis ini dapat ditujukan untuk mengetahui kualitas hidup

sedangkan kekurangan analisis ini bergantung pada tingkat kesehatan pasien

(Orion, 1997).

e. Cost of Illness (COI)

Metode COI mengidentifikasi dan memperkirakan biaya keseluruhan

penyakit tertentu dalam suatu populasi. Metode evaluasi ini sering disebut sebagai

beban penyakit. Dengan berhasil mengidentifikasi biaya langsung dan biaya tidak

langsung dari suatu penyakit maka dapat ditentukan nilai relatif dari pengobatan

atau strategi pencegahannya. Misalnya dengan menentukan biaya penyakit

tertentu kepada masyarakat, biaya dari pencegahan dapat dikurangkan dari biaya

yang harus dikeluarkan apabila sakit untuk menghasilkan keuntungan apabila

dilakukan strategi pencegahannya. Evaluasi COI tidak digunakan untuk

membandingkan alternatif pengobatan tetapi untuk memberikan estimasi beban

keuangan dari penyakit tertentu. Jadi, nilai dari biaya pencegahan dan pengobatan

dapat diukur melalui COI (Shanchez, 1994).

Metode yang digunakan untuk biaya pelayanan adalah dengan metode

micro-costing. Pada metode micro-costing, biaya pelayanan dinilai dengan

menjumlahkan masing-masing komponen biaya yang diperlukan untuk pelayanan.

Metode micro-costing adalah metode yang tepat untuk menghitung biaya

kunjungan ke rumah sakit, melibatkan pengumpulan informasi mengenai

penggunaan sumber daya (misalnya penggunaan obat-obatan, layanan

laboratorium) (Rascati, 2014).

21
Universitas Sumatera Utara
2.8 Biaya Pelayanan Kesehatan

Biaya pelayanan kesehatan dapat dikelompokkan menjadi enam kategori,

yaitu:

1. Biaya langsung medis (Direct Medical Cost)

Biaya langsung medis adalah biaya yang dikeluarkan oleh pasien terkait

dengan jasa pelayanan medis, yang digunakan untuk mencegah atau mendeteksi

suatu penyakit seperti kunjungan pasien, obat-obat yang diresepkan, lama

perawatan.

2. Biaya langsung non-medis (Direct non-medical Cost)

Biaya langsung non-medis adalah biaya yang dikeluarkan pasien tidak

terkait langsung dengan pelayanan medis, seperti transportasi pasien ke rumah

sakit, makanan, jasa pelayanan lainnya yang diberikan pihak rumah sakit.

3. Biaya tidak langsung (Indirect Cost)

Biaya tidak langsung adalah biaya yang dapat mengurangi produktivitas

pasien, atau biaya yang hilang akibat waktu produktif yang hilang.

4. Biaya tak berwujud (Intangible Cost)

Biaya tak terduga merupakan biaya yang dikeluarkan bukan hasil tindakan

medis, tidak dapat diukur dalam mata uang. Biaya yang sulit diukur seperti rasa

nyeri/cacat, kehilangan kebebasan, efek samping. Sifatnya psikologis, sukar

dikonversikan dalam nilai mata uang.

5. Opportunity Cost

Jenis biaya ini mewakili manfaat ekonomi bila menggunakan suatu terapi

pengganti dibandingkan dengan terapi terbaik berikutnya. Oleh karena itu, jika

sumber daya telah digunakan untuk membeli program atau alternatif pengobatan,

maka opportunity cost menunjukkan hilangnya kesempatan untuk

22
Universitas Sumatera Utara
menggunakannya pada tujuan yang lain. Dengan kata lain, Opportunity Cost

adalah nilai yang dikorbankan. Misalnya, hilangnya kesempatan ataupun

dikorbankannya penghasilan/pendapatan.

6. Incremental Cost

Disebut juga biaya tambahan, merupakan biaya tambahan atas alternatif

atau perawatan kesehatan dibandingkan dengan pertambahan manfaat, efek

ataupun hasil (outcome) yang ditawarkan. Incremental Cost adalah biaya

tambahan yang diperlukan untuk mendapatkan efek tambahan dari suatu alternatif

dan menyediakan cara lain untuk menilai dampak farmakoekonomi dari layanan

kesehatan ataupun pilihan pengobatan dalam suatu populasi (Vogenberg, 2001).

23
Universitas Sumatera Utara
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat non-eksperimental dengan menggunakan rancangan

kohort. Pengambilan data dilakukan secara retrospektif dari rekam medis pasien

PPOK eksaserbasi kronis yang dirawat inap di RSUP Haji Adam Malik Medan

periode Januari 2017-Desember 2017.

3.2 Populasi dan Sampel

3.2.1 Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh data rekam medis pasien

penyakit paru obstruksi kronis eksaserbasi akut rawat inap di RSUP. Haji Adam

Malik Medan periode Januari 2017– Desember 2017.

3.2.2 Sampel

Sampel pada penelitian ini adalah pasien PPOK eksaserbasi akut yang

menjalani rawat inap di RSUP Haji Adam Malik dengan kriteria sebagai berikut:

- Kriteria inklusi:

a. Pasien PPOK eksaserbasi akut yang dirawat di instalasi rawat inap Rumah

Sakit Umum Pusat Haji adam Malik Januari 2017 – Desember 2017.

b. Pasien PPOK eksaserbasi akut tanpa penyakit penyerta.

c. Pasien dengan rekam medis lengkap dan memuat informasi dasar yang

diperlukan dalam penelitian (antibiotik, hasil laboratorium, umur, dan

jenis kelamin). 


d. Pasien PPOK eksaserbasi akut yang menerima terapi pengobatan

antibiotik dalam mengobati infeksi akibat eksaserbasi.

24
Universitas Sumatera Utara
- Kriteria ekslusi:

b. Pasien PPOK eksaserbasi akut dengan penyakit penyerta.

c. Data status pasien yang tidak lengkap, hilang dan tidak jelas terbaca.

d. Pasien PPOK eksaserbasi akut yang pulang dengan status PAPS (pulang

atas permintaan sendiri) dan meninggal dunia.

3.2.3 Perhitungan Sampel

Pada penelitian ini diperoleh jumlah populasi target yaitu pasien PPOK

eksaserbasi akut sebesar 571 orang dan jumlah kriteria eksklusi sebesar 522

orang. Dari data yang diperoleh, dapat dihitung jumlah populasi studi dengan cara

dibawah ini: Populasi target – Kriteria eksklusi = Populasi studi

(571 orang – 522 orang = 49 orang )

3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di instalasi rawat inap RSUP Haji Adam Malik

Medan. Pertimbangan pemilihan lokasi penelitian karena tersedianya data pasien

PPOK dengan eksaserbasi akut dan RSUP Haji Adam Malik Medan merupakan

Rumah Sakit Pendidikan dan sebagai pusat rujukan di Provinsi Sumatra Utara.

Waktu penelitian dilakukan pada bulan Februari 2018-Maret 2018.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan secara retrospektif yang diambil dari data

rekam medis dan status pasien PPOK eksaserbasi akut yang dirawat inap di

RSUP Haji Adam Malik Medan periode Januari 2017-Desember 2017. Data

diperoleh berdasarkan rekam medis pasien meliputi:

a. Data karakteristik pasien meliputi nomor rekam medis, nama inisial,

25
Universitas Sumatera Utara
jenis kelamin, umur, diagnosis dan lama rawat inap. 


b. Data klinis pasien berupa hasil pemeriksaan laboratorium.

c. Data biaya antibiotik yang digunakan pasien selama pasien dirawat di

rumah sakit, berdasarkan nama, jenis, dosis, frekuensi, lama pemberian

dan cara pemberian. 


3.5 Pengolahan Data

a. Data yang telah dikumpulkan dikelompokkan dan disusun menurut kriteria

inklusi dalam Microsoft Excel dan SPSS untuk selanjutnya di analisis.

b. Mengidentifikasi dan menghitung biaya dari model terapi antibiotik

yang
diberikan.
Biaya lainnya yang berhubungan langsung dengan pelayanan

kesehatan medis seperti biaya rawat inap, pemeriksaan laboratorium,

penggunaan obat lain, tindakan medis, dan biaya pemeriksaan tidak

dimasukkan dalam perhitungan biaya langsung medis karena menyebabkan

data yang dianalisis akan semakin kecil dan beranekaragam, sehingga akan

sulit membandingkan antara model yang satu dengan model terapi lainnya.

c. Mengidentifikasi dan menghitung outcome berupa evaluasi pasien dengan

jumlah sel darah putih normal (4.000-10.000 mm3) pada pasien PPOK

eksaserbasi akut yang pada hari ke-3.

d. Menghitung cost effectiveness ratio (CER) dan membandingkan nilai CER dari

masing-masing model terapi. Analisis efektifitas biaya dihitung dengan

menggunakan rumus Cost Effectiveness Ratio (CER) yang dihitung

berdasarkan jumlah biaya penggunaan antibiotik yang dikeluarkan pasien

PPOK eksaserbasi akut terhadap hasil terapi penggunaaan antibiotik dengan

rumus sebagai berikut:

26
Universitas Sumatera Utara

e. Memilih nilai Incremental Cost-Effectiveness Ratio (ICER) yang terkecil

untuk
direkomendasikan. Perbandingan model terapi antibiotik dengan

antibiotik lain dianalisis menggunakan Incremental Cost-Effectiveness Ratio

dengan rumus sebagai berikut:

f. Memilih model terapi antibiotik yang memiliki outcome terapi terbaik untuk

direkomendasikan sebagai standar tertinggi pada pengobatan PPOK

eksaserbasi akut.

3.6 Definisi Operasional

1. Cost-effectiveness analysis (CEA) adalah suatu metode farmakoekonomi

yang membandingkan dua intervensi pengobatan atau lebih yang memiliki

besaran outcome dengan unit yang sama atau tujuan pengobatan yang sama.

2. Cost-effectiveness ratio (CER) adalah nilai ratio yang diperoleh dengan cara

membandingkan biaya yang harus dikeluarkan dengan outcome rata-rata dari

masing-masing model terapi antibiotik.

3. Incremental cost-effectiveness ratio (ICER) adalah nilai ratio yang diperoleh

dengan membandingkan dua model terapi antibiotik untuk mengetahui biaya

tambahan yang diperlukan untuk mencapai peningkatan satu unit outcome

terhadap pembandingnya.

4. Efektivitas biaya adalah suatu analisis untuk membandingkan total biaya

langsung medis yang dikeluarkan oleh pasien PPOK eksaserbasi akut.

27
Universitas Sumatera Utara
5. Outcome adalah kemampuan suatu model terapi antibiotik untuk menurunkan

jumlah sel darah putih hingga jumlah normal (4.000-10.000 mm3) pada

pasien PPOK eksaserbasi akut pada hari ke-3. 


6. Model terapi antibiotik adalah kelompok kombinasi terapi antibiotik yang

digunakan pasien PPOK eksaserbasi akut selama perawatan di Rumah Sakit

Umum Pusat Haji Adam Malik hingga menunjukan sel darah putih normal

pada hari ke-3.

7. Biaya langsung medis adalah biaya yang dikeluarkan pasien pada

penggunaan antibiotik selama dirawat inap tanpa memperhitungkan biaya

lain.

3.7 Langkah Penelitian

Langkah penelitian yang dilaksanakan:

1. Meminta izin Dekan Fakultas Farmasi USU untuk mendapatkan izin penelitian

di RSUP Haji Adam Malik Medan. 


2. Menghubungi Direktur RSUP Haji Adam Malik Medan untuk mendapatkan

izin melakukan penelitian dan pengambilan data dengan membawa surat

rekomendasi dari Fakultas. 


3. Mencatat data karakteristik pasien PPOK eksaserbasi akut periode Januari

2017-Desember 2017 di bagian Instalasi Rekam Medis RSUP Haji Adam

Malik . 


4. Mencatat data penggunaan antibiotik (nama obat, jenis, dosis, frekuensi, lama

pemberian dan cara pemberian) pasien PPOK eksaserbasi akut periode Januari

2017 – Desember 2017 di bagian Instalasi Farmasi RSUP Haji Adam Malik. 


28
Universitas Sumatera Utara
5. Mencatat data biaya langsung medis (penggunaan antibiotik) pasien PPOK

eksaserbasi akut periode Januari 2017 – Desember 2017 di bagian keuangan

RSUP Haji Adam Malik. 


6. Mengelompokkan data berdasarkan kriteria inklusi seperti diagnosis,

antibiotik, umur, jenis kelamin dalam Microsoft Excel. 


7. Melakukan analisis farmakoekonomi dengan menggunakan metode Cost-

Effectiveness Analysis (CER).

8. Menarik kesimpulan dari hasil analisis yang diperoleh.

29
Universitas Sumatera Utara
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil pengamatan data rekam medik pasien penderita

penyakit paru obstruksi kronis eksaserbasi akut rawat inap di RSUP H. Adam

Malik Medan pada periode Januari 2017- Desember 2017 diperoleh data pasien

yang menjalani perawatan sebayak 571 orang. Dari data tersebut diperoleh jumlah

sampel yang memenuhi kriteria eksklusi sebesar 522 orang dan kriteria inklusi

adalah sebanyak 49 orang. Data hasil penelitian kemudian diolah berdasarkan

karakteristik pasien serta dianalisis secara farmakoekonomi sehingga didapatkan

kelompok antibiotik yang paling cost- effective. Adapaun hasil penelitian dapat

dilihat sebagai berikut:

4.1 Karakteristik Pasien

4.1.1 Karakteristik Berdasarkan Jenis Kelamin

Dari data yang diperoleh, jumlah sampel penelitian penderita PPOK

eksaserbasi akut rawat inap RSUP Haji Adam Malik Medan pada periode Januari

2017- Desember 2017 adalah 49 orang. Karakterisik subjek penelitian

berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Gambar 4.1.

Karakteristik Berdasarkan Jenis Kelamin

18% Laki-laki

82%

Gambar 4.1 Persentase pasien PPOK eksaserbasi akut rawat inap di RSUP Haji
Adam Malik Medan berdasarkan jenis kelamin.

30
Universitas Sumatera Utara
Pada Gambar 4.1, dapat dilihat bahwa terdapat 40 kasus pada laki-laki

(81,63%) dan 9 kasus pada perempuan (18,37%). Hasil yang diperoleh sesuai

dengan penelitian Sidabutar (2016), dimana dari 110 sampel yang memenuhi

kriteria inklusi di dapatkan jumlah sampel terbanyak adalah laki-laki yaitu sebesar

86,4% dan perempuan sebesar 13,6%. Kejadian ini dikaitkan dengan kebiasaan

merokok yang lebih tinggi pada laki-laki dibanding perempuan. Menurut

Indreswari, dkk. tahun 2014, faktor resiko terhadap kejadian eksaserbasi PPOK

disebabkan oleh rokok dimana persentase terbesar pada perokok aktif adalah laki-

laki.

4.1.2 Karakteristik Berdasarkan Umur

Rentang usia pada sampel penelitian ini berkisar dari range 41 hingga 90

tahun, dimana pembagian rentang usia terbagi atas 41-50 tahun, 51-60 tahun, >60

tahun menurut GOLD (2018). Distribusi terbanyak berada pada kelompok usia

>60 tahun sebanyak 32 orang (65,3%), kemudian kelompok usia 51-60 tahun

sebanyak 9 orang (18,4%), dan 8 orang pada kelompok usia 41-50 tahun (16,3%).

Karakteristik berdasarkan umur dapat dilihat pada Gambar 4.2.

Karakteristik Berdasarkan Usia

32 orang 8 orang

65,3 % 16,3%

18,4 %
9 orang

Usia 41- 50 tahun Usia 51-60 tahun Usia >60 tahun

Gambar 4.2 Persentase pasien PPOK eksaserbasi akut rawat inap di RSUP Haji
Adam Malik Medan berdasarkan usia (tahun).

31
Universitas Sumatera Utara
Data yang diperoleh sejalan dengan penelitian Soler dkk, yang

menyatakan bahwa usia lebih dari 65 tahun merupakan faktor resiko independen

eksaserbasi PPOK dan prognosis buruk. Menurut GOLD (2018), salah satu faktor

resiko eksaserbasi PPOK adalah pertumbuhan dan perkembangan paru-paru

seiring dengan pertambahan usia. Proses yang terjadi selama kehamilan,

kelahiran, dan eksposur selama masa kanak-kanak dan remaja mempengaruhi

pertumbuhan paru-paru.

4.2 Model Terapi Antibiotik

Pada penelitian ini diperoleh 7 golongan model terapi antibiotik yang

digunakan pasien PPOK eksaserbasi akut rawa inap di RSUP Haji Adam Malik

Medan pada periode Januari 2017-Desember 2017. Dalam hal ini model terapi

antibiotik adalah kelompok kombinasi obat antibiotik yang digunakan pasien

PPOK eksaserbasi akut selama menjalani perawatan di rumah sakit hingga

menunjukan sel darah putih normal. Model terapi antibotik yang digunakan pada

pasien PPOK eksaserbasi akut dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Model terapi antibiotik pada pasien PPOK eksaserbai akut rawat inap
di RSUP Haji Adam Malik Medan
Jumlah
No Model Terapi Antibiotik %
Pasien
1 Injeksi Seftriakson 22 44,90
2 Injeksi Seftriakson + Oral Azitromisin 8 16,34
3 Injeksi Seftriakson + Infus Levofloksasin 5 10,20
4 Injeki Seftriakson + Injeksi Gentamisin 5 10,20
5 Injeksi Seftriakson + Infus Siprofloksasin 5 10,20
Injeksi Seftriakson + Infus Siprofloksasin +
6 2 4,08
Infus Levofloksasin
7 Injeksi Amikasin 2 4,08

Berdasarkan Tabel 4.1, model terapi antibiotik injeksi seftriakson paling

32
Universitas Sumatera Utara
banyak digunakan oleh pasien dengan jumlah 22 orang (44,90%), selanjutnya

kombinasi injeksi seftriakson + oral azitromisin sebanyak 8 orang (16,33%),

selanjutnya kombinasi injeksi seftriakson + infus levofloksasin sebanyak 5 orang

(10,20%), selanjutnya kombinasi injeksi seftriakson + infus siprofloksasin

sebanyak 5 orang (10,20%), selanjutnya kombinasi injeksi seftriakson + injeksi

gentamisin sebanyak 5 orang (10,20%), selanjutnya kombinasi injeksi seftriakson

+ infus levofloxacin + infus siprofloksasin sebanyak 2 orang (4,08%) dan injeksi

amikasin sebanyak 2 orang (4,08%).

4.3 Analisis Efektifitas Biaya

Cost Effectiveness Analysis (CEA) merupakan tipe analisis yang

membandingkan biaya suatu intervensi dengan beberapa ukuran non moneter dan

pengaruhnya terhadap hasil perawatan kesehatan. CEA juga merupakan suatu cara

untuk memilih dan menilai program atau obat yang terbaik bila terdapat beberapa

pilihan dengan tujuan yang sama. Kriteria penilaian berdasarkan discounted unit

cost dari masing-masing pilihan sehingga program yang mempunyai discounted

unit cost terendah yang akan dipilih (Tjiptoherijanto, 1994).

Kajian farmakoekonomi senantiasa mempertimbangkan dua sisi, yaitu

biaya (cost) dan hasil pengobataan (outcome). Kenyatannya, dalam kajian yang

mengupas sisi ekonomi dari suatu pengobatan ini, faktor biaya (cost) selalu

dikaitkan dengan efektivitas (effectiveness), utilitas (utility) atau manfaat (benefit)

dari pengobatan yang diberikan (Kemenkes RI, 2013).

4.3.1 Biaya Langsung Medis

Dalam penelitian ini biaya langsung yang diteliti terbatas yaitu hanya dari

33
Universitas Sumatera Utara
segi biaya pengobatan antibiotika yang diberikan. Biaya lainnya seperti biaya

pemeriksaan laboratorium, biaya administrasi dan biaya obat tambahan tidak

diikutsertakan dalam perhitungan karena setiap pasien mendapatkan perlakuan

yang bervariasi dalam hal tersebut. Distribusi biaya penggunaan antibiotik pada

pasien PPOK eksaserbasi akut dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Distribusi biaya penggunaan antibiotik pada pasien PPOK eksaserbasi
akut rawat inap di RSUP Haji Adam Malik.
Total Biaya
Jumlah
Jumlah Biaya Antibiotik
No. Model Terapi Antibiotik Obat
Pasien Antibiotik (100 Orang)
(unit)
(Rp) (Rp)
1 Injeksi Amikasin 10 2 505.000 25.250.000
Injeksi Seftriakson +
2 56 5 425.639 8.512.780
Infus Siprofloksasin
Injeksi Seftriakson +
3 Infus Siprofloksasin + 30 2 152.664 7.633.200
Infus Levofloksasin
Injeksi Seftriakson +
4 66 5 360.292 7.205.840
Infus Levofloksasin
Injeki Seftriakson +
5 55 5 230.647 4.612.940
Injeksi Gentamisin
Injeksi Seftriakson +
6 83 8 287.062 3.588.275
Oral Azitromisin
7 Injeksi Seftriakson 129 22 604.236 2.746.527

Berdasarkan Tabel 4.2, diperoleh rata-rata biaya penggunaan antibiotik

yang paling tinggi adalah kelompok model terapi injeksi amikasin yaitu Rp.

25.250.000 dan rata-rata biaya paling rendah adalah injeksi seftriakson yaitu Rp.

2.746.527. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan pada penggunaan jumlah

antibiotik, jumlah pasien yang menggunakan antibiotik dan variasi harga

antibiotik. Harga antibiotik amikasin (Rp. 50.500 / vial) yang digunakan pada 2

pasien dengan jumlah pemakaian sebanyak 10 unit jauh lebih mahal, jika

dibandingkan dengan penggunaan antibiotik seftriakson (Rp. 3.300/ vial) yang

digunakan pada 22 pasien dengan jumlah pemakaian sebanyak 129 unit.

34
Universitas Sumatera Utara
4.3.2 Penilaian Outcome Terapi Obat

Pada penelitian ini, sampel pasien PPOK eksaserbasi akut rawat inap di

RSUP Haji Adam Malik dilihat hasil terapi antibiotik yang digunakan pasien

selama menjalani perawatan sampai sel darah putih ada pada jumlah normal pada

hari ke-3.

Jumlah WBC normal adalah 4.000-10.000 mm3. Infeksi atau kerusakan

jaringan mengakibatkan peningkatan jumlah total leukosit. Leukosit berfungsi

untuk meindungi tubuh terhadap invasi benda asing, termasuk bakteri dan virus.

Sebagian besar aktivitas leukosit berlangsung dalam jaringan dan dalam aliran

darah (Sloane, 2004).

Tabel 4.3 Outcome rata-rata pasien PPOK eksaserbasi akut rawat inap di RSUP
Haji Adam Malik Medan.
Model Terapi Jumlah WBC Normal Outcome %
No
Antibiotika Pasien Pada Hari Ke-3
1 Injeksi Seftriakson 22 18 0,81 81
Injeksi Seftriakson
2 8 6 0,75 75
+ Oral Azitromisin
Injeksi Seftriakson
3 + Infus 5 3 0,6 60
Siprofloksasin
4 Injeksi Amikasin 2 1 0,5 50
Injeksi Seftriakson
+ Infus
5 2 1 0,5 50
Siprofloksasin +
Infus Levofloksasin
Injeksi Seftriakson
6 + Infus 5 2 0,4 40
Levofloksasin
Injeki Seftriakson +
7 5 2 0,4 40
Injeksi Gentamisin

Berdasarkan hasil penelitian yang didapat pada Tabel 4.3 outcome model

terapi antibiotik pada pemeriksaan sel darah putih pasien pada jumlah normal di

hari ke-3, dilihat bahwa kombinasi injeksi seftriakson memiliki hasil terapi paling

35
Universitas Sumatera Utara
tinggi dengan nilai efektivitas sebesar 81%. Terdapat model terapi antibiotik

dengan outcome yang sama yaitu injeksi amikasin dan kombinasi antibiotik

injeksi seftriakson, infus siprofloksasin dan infus levofloksasin memiliki nilai

efektivitas sebesar 50% dan pada model terapi kombinasi antibiotik injeksi

seftriakson dan infus levofloksasin dan kombinasi antibiotik injeki seftriakson dan

injeksi gentamisin sebesar 40% sehingga tidak dapat dianalisis dengan metode

analisis efektivitas biaya.

4.3.3 Perhitungan Efektivitas CER

Untuk mengetahui nilai cost effective ditentukan dengan CER dan ICER..

Pada penelitian ini CER berguna menggambarkan total biaya terapi atau

intervensi dibagi outcome klinis (Dipiro, dkk., 2005). Hasil dari CER pada

umumnya digambarkan sebagai rasio biaya/efektivitas (C/E ratio), pembilang dari

rasio menunjukan total biaya dan penyebut dari rasio merupakan variabel outcome

(Andayani, 2013). Model terapi antibiotik yang lebih cost-effective berdasarkan

dapat dilihat pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4 Hasil analisis CER terhadap total biaya langsung pada pasien PPOK
eksaserbasi akut rawat inap di RSUP Haji Adam Malik Medan.
Total Biaya
%
Model Terapi Langsung CER
No Outcome
Antibiotika (100 Orang)(C) (C)/(E)
(E)
(Rp)
1 Injeksi Seftriakson 2.746.527 81 33.907
Injeksi Seftriakson +
2 3.588.275 75 47.843
Oral Azitromisin
Injeksi Seftriakson +
3 8.512.780 60 141.879
Infus Siprofloksasin

Berdasarkan tabel di atas dari perhitungan CER model terapi antibiotik

yang paling cost-effective adalah injeksi seftriakson dengan nilai CER terendah

sebesar Rp. 33.907 dengan nilai outcome sebesar 81%. Pada Tabel 4.4 nilai CER

36
Universitas Sumatera Utara
diurutkan berdasarkan nilai CER terendah ke nilai CER tertinggi. Urutan

antibiotik yang kurang efektif hingga paling efektif berdasarkan perhitungan CER

adalah kombinasi injeksi seftriakson dan infus siprofloksasin, kombinasi

antibiotik injeksi seftriakson dan oral azitromisin, dan injeksi seftriakson.

4.3.4 Perhitungan Efektifitas Biaya ICER

Incremental Cost Effectivenesss Ratio (ICER) digunakan untuk

menentukan kelebihan biaya dan kelebihan unit efektivitas dari suatu terapi

dibandingkan dengan terapi yang lainnya, sehingga didapat terapi mana yang

paling efektif berdasarkan biaya, efektivitas dan waktu. Incremental Cost

Effectiveness Ratio (ICER) berfungsi sebagai arahan menetukan keputusan dari

sudut pandang penyandang dana, mana yang lebih baik (Drummond, 1997). Hasil

analisis ICER terhadap total biaya langsung dapat dilihat pada Tabel 4.5

Tabel 4.5 Hasil analisis ICER terhadap biaya total langsung medis pasien PPOK
eksaserbasi akut RSUP Haji Adam Malik Medan
Total Biaya
Model Terapi Langsung % ICER
No ∆C ∆E
Antibiotika (100 Orang) (E) (∆C)/( ∆E)
(C)(Rp)
Injeksi Seftriakson 2.746.527 81
1 Injeksi Seftriakson + 841.748 6 140.291
3.588.275 75
Oral Azitromisin
Injeksi Seftriakson 2.746.527 81
2 Injeksi Seftriakson + 5.766.253 21 274.583
8.512.780 60
Infus Siprofloksasin
Injeksi Seftriakson +
3.588.275 75
Oral Azitromisin
3 4.924.505 15 328.300
Injeksi Seftriakson +
8.512.780 60
Infus Siprofloksasin

Pada Tabel 4.5 menunjukkan data hasil perhitungan ICER yang diurutkan

dari yang terendah hingga tertinggi. Perhitungan nilai ICER terendah adalah pada

perbandingan antibiotik injeksi seftriakson terhadap kombinasi antibiotik injeksi

seftriakson dan oral azitromisin dengan selisih harga sebesar Rp. 841.748 dan

37
Universitas Sumatera Utara
nilai ICER sebesar Rp. 140.291. Perbandingan model terapi kombinasi antibiotik

injeksi seftriakson terhadap kombinasi antibiotik injeksi seftriakson dan infus

siprofloksasin memberikan selisih harga sebesar Rp. 5.766.253 dengan nilai ICER

terbesar yaitu Rp. 274.583. Pada perbandingan model terapi kombinasi antibiotik

injeksi seftriakson dan oral azitromisin terhadap antibiotik injeksi seftriakson

memberikan perbedaan harga sebesar Rp. 4.924.505 dan perbedaan outcome

sebesar 6% yang menghasilkan nilai ICER terbesar yaitu Rp. 328.300.

∆C [+]
Kuadran IV Kuadran I
Efektivitas kurang baik Efektivitas lebih baik
dengan Biaya lebih mahal dengan Biaya lebih mahal
[-] ∆E [+]
Kuadran III Kuadran II
Efektivitas kurang baik Efektivitas lebih baik
dengan Biaya lebih murah dengan Biaya lebih murah
[-]

Gambar 4.3 Diagram efektivitas biaya

Berdasarkan perhitungan CER dan ICER, model terapi antibiotik yang

paling cost-effective adalah terapi antibiotik injeksi seftriakson dengan nilai CER

dan ICER terendah. Model terapi injeksi seftriakson terletak pada kuadran II

dimana dengan harga lebih murah mengasilkan efektivitas lebih baik.

38
Universitas Sumatera Utara
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan, maka kesimpulan dari penelitian ini adalah:

a. Berdasarkan efektifitas pengobatan dan efektivitas biaya diperoleh model

terapi antibiotik yang paling efektif pada pasien PPOK eksaserbasi akut

adalah injeksi seftriakson dengan nilai outcome 81% dengan nilai CER

sebesar Rp. 33.907 dan nilai ICER sebesar Rp. 140.291.

5.2 Saran

a. Untuk pihak rumah sakit setelah mengetahui hasil penelitian ini diharapkan

model terapi antibiotik injeksi seftriakson menjadi pilihan terapi karena

memiliki outcome terapi tertinggi serta telah terbukti secara

farmakoekonomi.

b. Agar penelitian selanjutnya dapat melakukan penelitian analisis ekonomi

secara prospektif dan dibandingkan hasilnya. 


39
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA

Amin, M. 1989. Pengantar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga


University Press. Halaman 13, 29-32.
Amin, M. 1996. Penyakit Paru Obstruksi Menahun Polusi Udara, rokok, dan
alfa-1-antitripsin. Surabaya: Airlangga University Press. Halaman 21.
Andayani, T. M. 2013. Farmakoekonomi Prinsip Dan Metodologi. Yogyakarta:
Bursa Ilmu. Halaman 3, 84-85.
Barnett, M. 2006. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. New England Journal
of Medicine. 343: 269-270.
Depkes, R.I. 2005. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Infeksi Saluran
Pernapasan. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan. Halaman 8-30, 37-39.
Djojodibroto, R. D. 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: EGC.
Halaman 57.
Drummond, M. F. 1999. An Introduction to Health Economics. UK: Brookwood
Medical Publications. Halaman 46.
Elin Y. S. 2008. Iso Farmakoterapi. Jakarta: PT. ISFI. Halaman 349-353.
GOLD. 2013. Global Strategy for the Diagnosis, Management and Prevention of
Chronic Obstructive Pulmonary Disease. UK: GOLD, Inc. Halaman 13.
Hisyam. 2001. Pola Mikroba pada Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)
Eksaserbasi di RS dr. Sardjito. Yogyakarta: UMS. Halaman 18.
Ikawati, Z. 2008. Farmakoterapi Penyakit Sistem Pernapasan. Yogyakarta:
Pustaka Adipura. Halaman 25.
Indreswari, Y.S., Cleopas, M.R., Ceva, W.P. 2014. Faktor-Faktor yang
Berhubungan dengan Eksaserbasi pada Pasien Penyakit Paru Obstruksi
Kronik di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. IJC. 1:160-161.
Istiantoro, Y.H., Rianto, S. 2007. Penisilin, Sefalosporin dan Antibiotik
Betalaktam Lainnya. Dalam: Gunawan, S.G., editor. Farmakologi dan
Terapi. Edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Halaman 664-680.
Kemenkes, R.I. 2013. Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi. Jakarta:
Kementrian Kesehatan RI. Halaman 1-2,9-14, 36.
Marta, N. A., Andrini, F., Saad, A. 2014. Identifikasi Bakeri Pada Sputum Pasien
Penyakit Paru Obstruksi Kronis Eksaserbasi Akut Di RSUD Arifin
Achmad Provinsi Riau. JOM FK. 1;2.
Mutschler, E. 1991. Dinamika obat. Edisi 5. Alih Bahasa. Widianto MB, Ranti
AS. Bandung: Penerbit ITB. Halaman 608-56.
Newby, D., Hill, S. 2003. Use of Pharmacoeconomics in Prescribing Research.
Part 2: Cost-Minimization Analysis-When Are Two Therapies Equal.
Journal of Clinical Pharmacy and Therapeutics. 28:145-148.
Notoatmojo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Halaman 10, 57-58, 164-170.
Oemiati, R. 2013. Kajian Epidemiologi Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK).
Media Litbangkes. 23: 82-83.
Okky SP, Rizky A, Ivan SP, Cherry R. 2014. Analisis minimalisasi biaya
penggunaan antibiotik empirik pasien sepsis sumber infeksi pernapasan.
JFKI. 2014. 3(1): 10-17.

40
Universitas Sumatera Utara
Orion. 1997. Pharmacoeconomics Primer and Guide Introduction to Economic
Evaluation. Virginia: Hoesch Marion Rousel Incorporation. Halaman 57.
PDPI. 2011. Penyakit Paru Obtruksi Kronis (PPOK). Ed I. Jakarta: PDPI.
Halaman 4-30.
Rab, T. 1996. Ilmu Penyakit Paru. Pekanbaru: Universitas Riau. Halaman 18-20.
Rascati, K.L. 2014. Essentials of Pharmacoeconomics. Philadelphia: Lippincott
Williams and Wilkins Wolther Kluwer Business. Halaman 12-13,21.
Sanchez, L.A. 1994. Pharmacoeconomics: Principles, Methods, and Aplication.
[diakses: 20 Juni 2018]. Diambil dari: URL:
http://www.pharmacotherapyonline.com.
Saryono. 2008. Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Mitra Cendika
Press. Halaman 141- 143.
Setiabudy, R. 2007. Pengantar Antimikroba. Dalam: Gunawan SG, Setiabudy R.,
Nafrialdi, Elysabeth, penyunting. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5.
Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Halaman 585, 592-593.
Sloane. 2004. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: EGC. Halaman 245.
Sidabutar, P. 2012. Karakteristik Penderita Penyakit Peru Obstruksi Kronik
(PPOK) Yang Dirawat Inap Di RSUP H. Adam Malik Medan. Medan:
Universitas Sumatra Utara. Halaman 4.
Sevilla, Consuelo, G., Manila, F. 2007. Research Methods. Quezon City: Rex
Printing Company. Halaman 127, 137.
Soler J. J., Garcia MA, Sanchez PR, Navarro M, Ochando R. 2005. Severe acute
exacerbations and mortality in patients with chronic obstructive pulmonary
disease. Thorax. 60: 925-31.
Tjay, H. T., Rahardja, K. 2003. Obat-obat Penting. Edisi ke-5. Jakarta: PT. Elex
Media Komputindo. Halaman 56.
Tjay, H. T., Rahardja, K. 2006. Obat-Obat Penting. Edisi VI. Jakarta: PT. Elex
Media Komputindo. Halaman 54 – 55, 154 – 156, 172.
Tjay, H. T., Raharja, K. 2007. Obat-Obat Penting; Khasiat, Penggunaan, dan
Efek-Efek Sampingnya. Edisi keenam. Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo. Halaman 65-86.
Tjiptoherijanto, P., Soestyo, B. 2008. Ekonomi Kesehatan. Jakarta: Penerbit
Renika Cipta. Halaman 1,29.
Murti, T. 2013. Farmakoekonomi Prinsip dan Metodologi. Yogyakarta: Bursa
Ilmu. Halaman 7-9, 73-75, 85-88.
Trisna, Y. 2008. Aplikasi Farmakoekonomi. [online].
https://www.ikatanapotekerindonesia.net/news/pharma-update/aplikasi-
farmakoekonomi [diakses: 25 Juni 2018].
Vogenberg, F. R. 2001. Introduction to Applied Pharmacoeconomics. USA:
McGraw Hill Medical Publishing Division. Halaman 256-258.
Wattimena, J.R. 1991. Farmakodinamik dan Terapi Antibiotik. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press. Halaman 16-17.

41
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 1. Surat izin penelitian di RSUP Haji Adam Malik Medan

42
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 2. Surat ethical clearance

43
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 3. Surat persetujuan telah menyelesesaikan penelitian

44
Universitas Sumatera Utara
No Rekam Jenis Usia Tanggal Tanggal
No Model Terapi Nama WBC Hari Ke-3
Medik Kelamin (Tahun) Masuk Keluar

1 Injeksi Seftriakson 85046 as L 67 6/17 6/22 9.304


369457 jkk L 70 2/14 2/21 10.290
573842 mams L 77 1/6 1/16 7.100
699004 sls L 53 2/6 2/14 9.540
703690 bs L 62 3/29 4/5 10.010
711820 ps L 69 6/27 6/30 9.800
719524 om L 79 9/14 9/17 8.270
722377 r P 72 10/11 10/16 9.272
453414 mat L 68 3/14 3/22 9.700

45
629021 js L 42 7/7 7/20 10.872
709327 bbn L 51 5/27 6/8 6.784
696959 bm P 64 1/13 1/17 11.128
550746 ns L 63 4/5 4/13 8.248
634501 om L 80 2/3 2/8 9.784
705921 ms L 67 4/19 4/25 11.405
Lampiran 4. Data Demografi Pasien PPOK Eksaserbasi Akut

706000 rrl P 77 4/20 4/25 10,480


711833 mh L 47 7/11 7/14 15.017
725433 th L 54 11/11 11/22 13.011
727145 mg L 46 11/27 11/30 6.290
727305 ls L 72 11/30 12/6 8.123

Universitas Sumatera Utara


238755 bfk P 66 11/16 11/21 9.344
591144 sms L 71 12/9 12/14 7.040
Injeksi Ceftriakson +
2 703463 hm L 86 3/26 4/4 5.640
Oral Azithromycin
423978 asp L 45 10/28 11/6 9.211
699001 vs L 56 2/5 2/17 6.580
681465 ap L 70 1/12 1/18 12.750
716623 em P 44 11/12 11/22 11.258
724338 ras L 48 10/31 11/10 9.547
723969 mg L 59 10/26 11/8 8.388
729096 ps L 72 12/20 12/28 7.340
Injeksi Seftriakson +

46
3 87175 bs L 58 12/8 12/15 12.033
Infus Levofloxacin
714477 kp L 74 7/21 8/7 8.276
728291 ib P 74 12/11 12/21 11.483
643871 ah L 58 1/21 2/2 7.815
706660 pbt P 60 4/28 5/4 16.472
Injeksi Seftriakson +
4 Oral Levofloxacin + 236253 pp L 83 5/28 6/5 9.348
Infus Ciprofloxacin
712557 kg L 63 7/6 7/13 13.966
Injeksi Seftriakson +
5 342683 ahn P 75 9/27 10/9 9.308
Injeksi Gentamysin
432823 rbs P 50 8/4 8/8 12.165

Universitas Sumatera Utara


599172 hs L 72 3/15 3/21 9.557
682267 mgh L 66 1/20 1/31 11.114
640095 rel L 64 10/17 10/20 10.410
Injeksi Seftriakson + Infus
6 599172 hs L 72 4/22 4/25 11.063
Ciprofloxacin
652861 ls L 73 8/1 8/11 9.372
658980 bs L 65 1/11 1/19 12.190
671309 rjr L 53 11/28 12/14 8.403
719745 ms L 61 9/15 9/19 9.143
7 Amikasin 623477 js L 50 3/1 3/24 10.619
697712 hs L 59 9/29 11/10 9.144

47
Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai