Bab Ii
Bab Ii
id
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini akan dibahas mengenai teori dari berbagai sumber yang akan digunakan dalam
menentukan parameter penelitian. Bab ini terdiri dari kerangka teori dan pembahasan teori.
12
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
menjadi dampak negatif terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Dampak alih fungsi
lahan juga mempengaruhi struktur sosial masyarakat, terutama dalam hal mata pencaharian.
Perubahan penggunaan lahan diartikan sebagai perubahan suatu jenis penggunaan lahan
ke penggunaan lainnya. Wijaya dalam Orleanti (2000) menjelaskan perubahan penggunaan
lahan merupakan suatu tindak lanjut penyesuaian penggunaan lahan dalam fungsinya sebagai
ruang kota, terhadap peningkatan kebutuhan ruang untuk aktivitas sosial dan ekonomi kota
berikut sarana dan prasarana penunjangnya, serta penduduk kota.
Selanjutnya Brinkman dan Smyth (1973) dan FAO (1976) dalam Purnomo (2012)
menjelaskan:
“Secara lebih rinci, istilah lahan atau land dapat didefinisikan sebagai suatu wilayah di
permukaan bumi, mencakup semua komponen biosfer yang dapat dianggap tetap atau
13
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
bersifat siklis yang berada di atas dan di bawah wilayah tersebut, termasuk atmosfer,
tanah, batuan induk, relief, hidrologi, tumbuhan dan hewan, serta segala akibat yang
ditimbulkan oleh aktivitas manusia di masa lalu dan sekarang; yang kesemuanya itu
berpengaruh terhadap penggunaan lahan oleh manusia pada saat sekarang dan di masa
mendatang.”
Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa lahan adalah
wilayah di permukaan bumi yang mencakup semua komponen biosfer yang memiliki
karakteristik tertentu yang mempengaruhi kemampuan penggunaan lahannya.
Selanjutnya Arsyad (1989) mengatakan, penggunaan lahan adalah setiap bentuk campur
tangan manusia terhadap lahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik materil atau
spiritual. Penggunaan lahan tergantung pada lokasi, khususnya untuk wilayah permukiman,
zona industri, maupun wilayah wisata.
Menurut Soegino (1987) penggunaan lahan adalah suatu aktivitas manusia pada lahan
yang langsung berhubungan dengan lokasi dan kondisi lahan. Jayadinata (1999) juga
mengatakan bahwa penggunaan lahan adalah wujud atau bentuk usaha kegiatan pemanfaatan
suatu bidang tanah pada satu waktu.
Sedangkan Lillesand & Kiefer (1997) mengartikan penggunaan lahan sebagai segala
interaksi antara manusia dan lingkungannya di mana sikap dan kebijakan manusia terhadap
lahan akan meninggalkan bekas. Penggunaan lahan juga dapat diartikan sebagai segala campur
tangan manusia, baik itu menetap atau berpindah-pindah terhadap suatu kelompok sumber daya
alam dan sumber daya buatan yang secara langsung disebut lahan dengan tujuan untuk
memenuhi kebutuhan baik material atau spiritual maupun keduanya (Malingreau, 1978 dalam
Ritohardoyo, 2013).
14
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
memenuhi kebutuhan baik spiritual atau material maupun keduanya tergantung pada lokasi dan
kondisi lahan yang akan menentukan pemanfaatannya dengan luasan tertentu.
FAO (1976) menjelaskan lahan pertanian sebagai lahan yang ditujukan atau cocok
untuk dijadikan lahan usaha tani untuk memproduksi tanaman pertanian. Lahan pertanian
merupakan salah satu sumber daya utama pada usaha pertanian.
Menurut Yudhohusono (1998) perumahan merupakan suatu cerminan dari diri pribadi
manusia, baik secara perorangan ataupun dalam suatu kesatuan dan kebersamaan dengan
lingkungannya dan juga mencerminkan taraf hidup, kesejahteraan, kepribadian, dan peradaban
manusia penghuninya, masyarakat ataupun suatu bangsa.
Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli di atas dapat disimpulkan, perumahan adalah
suatu bentuk sarana hunian atau bangunan tempat tinggal manusia dan mencerminkan taraf
hidup, kesejahteraan, kepribadian, dan peradaban manusia penghuninya, masyarakat ataupun
suatu bangsa yang di dalamnya terdapat aspek sosial, ekonomi dan budaya yang ditunjang oleh
sarana prasarana lingkungan.
Menurut teori dari Barlowe (1978) sektor pertanian memiliki nilai komersial yang
kurang pula, hal ini menyebabkan nilai sewa lahan semakin kecil. Apabila lahan pertanian
letaknya berdekatan dengan pusat kota atau sumber ekonomi maka hal ini akan menggeser
penggunaannya ke bentuk lain seperti permukiman, industri manufaktur dan fasilitas
infrastruktur. Semakin dekat lahan sawah dengan pusat kota maka kemungkinan perubahan
penggunaan lahan pertanian akan semakin tinggi hal ini dikarenakan land rent dari lahan
tersebut akan lebih tinggi mengalami perubahan penggunaan lahan, karena land rent yang lebih
tinggi membuat petani berfikir alih profesi akan meningkatkan pendapatan mereka.
Nurmanaf & Nasution (1986) dalam Setiawan (2015) berpendapat, pendapatan yang
berasal dari luar sektor pertanian tampak memberikan kontribusi yang lebih besar terutama di
daerah-daerah yang kurang subur, dalam arti ketergantungan pendapatan rumah tangga
16
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
terhadap sektor ini. Selanjutnya Salim (1984) dalam Lambok (2016) mengatakan kemampuan
petani dalam memenuhi kebutuhannya juga merupakan faktor penentu alih fungsi lahan, petani
yang tidak dapat mencukupi pendapatan dalam memenuhi kebutuhan hidup yang paling pokok
seperti kebutuhan pangan, pakaian, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan dan lain-lain atau
miskin memiliki kecenderungan untuk melakukan konversi lahan. Kemampuan lahan pertanian
dalam menghasilkan komoditas menjadi pertimbangan bagi petani yang mengolahnya. Lahan
sawah yang menghasilkan memiliki kecenderungan terhindar dari konversi lahan,
dibandingkan dengan lahan yang kemampuan produksinya menurun secara otomatis
menurunkan pendapatan dan memiliki kecenderungan untuk dikonversikan menjadi komoditas
lain (Wiguna, 2009).
Selanjutnya Rustiadi & Wafda (2008) menjelaskan, meskipun lahan pertanian lebih
lestari kemampuannya dalam menjamin kehidupan petani, tetapi hanya dapat memberikan
sedikit keuntungan materi atau finansial dibandingkan dengan sektor industri, pemukiman dan
jasa lainnya sehingga konversi lahan pertanian ke penggunaan lain tidak dapat dicegah. Salah
satu penyebab perubahan penggunaan lahan pertanian juga dapat dikarenakan lahan yang tidak
produktif sehingga memaksa petani meninggalkan pekerjaannya tersebut. Priyono (2011)
menambahkan bahwa pendapatan hasil pertanian (terutama padi) masih jauh lebih rendah,
karena kalah bersaing dengan yang lain (terutama non pertanian) seperti usaha industri dan
perumahan. Di samping usaha padi dianggap melelahkan (lama dan sulit, lebih-lebih jika ada
hama/penyakit yang mengancam) dan harganya cenderung rendah saat panen (jaminan harga
stabil tidak ada).
Soegijoko (1997) mengatakan, pendapatan hasil produksi yang semakin lama tidak
dapat memenuhi kebutuhan petani dan keluarganya juga menjadi faktor berubahnya lahan
pertanian, dapat diartikan nilai tukar hasil usaha pertanian terhadap produk non pertanian
semakin menurun. Jika hal tersebut terus berlanjut atau dalam artian nilai tukar hasil pertanian
terus menurun maka yang terjadi adalah petani akan memikirkan peluang usaha lain yang dapat
menutup pengeluaran akan kebutuhannya. Selain itu, sistem pembagian waris yang sudah
menjadi budaya masyarakat Indonesia juga menjadi salah satu faktor berubahnya lahan
pertanian menjadi lahan non pertanian. Dengan adanya sistem pembagian waris maka lahan
pertanian yang tadinya luas akan terbagi-bagi dan menjadi beberapa petak lahan yang sempit.
Jika semua lahan yang sudah terbagi tersebut tetap menjadi lahan pertanian tentunya hal
tersebut tidak akan mempengaruhi perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi non
pertanian, akan tetapi dalam realitanya lebih banyak lahan hasil pembagian waris tersebut yang
dialihfungsikan menjadi lahan non-pertanian contohnya menjadi rumah atau perumahan. Lahan
17
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
pertanian yang tadinya luas menjadi sempit dan bahkan tidak ada sama sekali setelah adanya
pembagian waris. Sajogyo (1992) mendukung hal tersebut, ia mengatakan kepemilikan lahan
pertanian yang kecil disebabkan karena adanya pembagian tanah yang tidak merata. Tekanan
penduduk atas tanah yang berat serta terbatasnya kesempatan kerja merupakan pendorong yang
kuat bagi petani untuk mencari pekerjaan lain, karena hasil yang diperoleh sedikit sehingga
pendapatan yang diterima masih kurang untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Swastha & Irawan (2008) berpendapat, konversi lahan pertanian pada dasarnya terjadi
akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan antara sektor pertanian dan sektor non
pertanian pertumbuhan ekonomi yang cenderung mendorong permintaan lahan untuk kegiatan
non pertanian pada laju lebih tinggi dibanding permintaan lahan untuk kegiatan pertanian
karena permintaan produk non pertanian lebih elastis terhadap pendapatan. Sehingga dengan
meningkatnya permintaan lahan yang relatif tinggi untuk kegiatan non pertanian (akibat
pertumbuhan ekonomi) pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya konversi lahan pertanian.
Irawan juga mengatakan sebagian besar lahan pertanian yang berupa sawah, tegalan atau kebun
dimiliki oleh petani. Oleh karena itu proses konversi lahan pertanian umumnya diawali dengan
transaksi penjualan lahan petani kepada pihak lain yang umumnya kepada pihak swasta sebagai
pengembang (developer) perumahan. Penawaran lahan pertanian tersebut didorong oleh dua
fenomena yaitu berlakunya sistem pewarisan lahan yang berdampak pada pemilikan lahan
petani semakin sempit dan penurunan rente usaha pertanian sebagai konsekuensi dari
penurunan sekular nilai tukar pertanian dan naiknya harga lahan. Kedua fenomena tersebut
selanjutnya mendorong petani untuk menjual lahannya dan beralih ke sektor lain, karena
pendapatan yang diperoleh dari lahan yang dimiliki dinilai tidak mencukupi kebutuhan rumah
tangga petani.
18
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Tabel 2. 1 Sintesis Faktor Pendorong Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian
Basu
Nurmanaf Rustiadi &
Barlowe Salim Wiguna Priyono, Soegijoko Sajogyo Swastha &
& Nasution Wafda Sintesis Keterangan
1978 1984 2009 2011 1997 1992 Irawan
1986 2008
2008
Lahan sistem Lahan sempit milik
pertanian pewarisan warga atau
yang luas lahan yang masyarakat yang
menjadi berdampak Lahan didapatkan dari
sempit pada Sempit dari warisan
setelah pemilikan Warisan
adanya lahan petani
pembagian semakin
waris sempit
petani yang hasil mencari Biaya yang
tidak dapat produksi pekerjaan dikeluarkan pemilik
mencukupi yang tidak lain, karena Pengeluaran lahan pertanian untuk
pendapatan dapat hasil yang memenuhi suatu
dalam memenuhi diperoleh kebutuhan tertentu
pendapatan memenuhi kemampuan memberikan pendapatan kebutuhan sedikit nilai tukar Pendapatan dari
yang berasal kebutuhan produksinya sedikit hasil petani dan sehingga pertanian lahan pertanian milik
dari luar hidup menurun keuntungan pertanian keluarganya pendapatan Pendapatan warga atau
sektor secara materi atau masih jauh yang Hasil masyarakat sebelum
pertanian otomatis finansial lebih rendah diterima Pertanian menjual lahan
menurunkan masih kurang pertanian miliknya
pendapatan untuk
memenuhi Profesi atau
kebutuhan pekerjaan di luar
keluarga. sektor pertanian yang
Profesi di
dimiliki atau
Luar Sektor
diinginkan warga
Pertanian
atau masyarakat
pemilik lahan
pertanian
land rent naiknya Penilaian atas harga
yang lebih harga lahan lahan pertanian yang
Harga
tinggi dimiliki warga atau
Lahan
masyarakat sebelum
Pertanian
lahan pertanian
tersebut dijual
Sumber: Irawan (2005), Barlowe (1978), Nurmanaf & Nasution (1986), Salim (1984), Wiguna (2009), Rustiadi & Wafda (2008), Priyono (2011),
Soegijoko (1997), Sajogyo (1992), Basu Swastha & Irawan (2008), dan Penulis (2019).
19
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Perkembangan kota menurut Raharjo dalam Widyaningsih (2001), memiliki arti yaitu
perubahan yang dialami oleh daerah perkotaan pada aspek-aspek kehidupan dan penghidupan
kota tersebut, dari tidak ada menjadi ada, dari sedikit menjadi banyak, dari kecil menjadi besar,
dari ketersediaan lahan yang luas menjadi terbatas, dari penggunaan ruang yang sedikit menjadi
ter-aglomerasi secara luas, dan seterusnya.
Subroto dan Setyadi 1997 dalam Giyarsih (2001) juga menjelaskan bahwa wilayah peri
urban (urban fringe) adalah sebagai daerah transisi bukan daerah antara desa dan kota, namun
daerah perdesaan yang menyatu dengan daerah perkotaan yang diwarnai oleh disparitas
karakter desa dan kota yang kuat baik secara fisik spatial dan sosio kultural.
Andreas dalam Budiyantini & Vidya Pratiwi (2016) menjelaskan, kawasan peri urban
adalah zona yang di dalamnya terdapat percampuran antara struktur lahan kedesaan dan lahan
kekotaan. Wilayah peri urban adalah daerah rural – urban fringe, yaitu wilayah peralihan
mengenai penggunaan lahan, karakteristik sosial dan demografis. Wilayah ini terletak antara
lahan kekotaan kompak terbangun yang menyatu dengan pusat kota dan lahan kedesaan yang
20
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
di sana hampir tidak ditemukan bentuk – bentuk lahan kekotaan dan permukiman perkotaan
(Pryor, 1968).
Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan, wilayah peri urban
ini dapat diistilahkan sebagai rural-urban fringe yaitu wilayah yang terbentuk akibat adanya
perkembangan suatu kota atau urban sprawl yang terletak di pinggiran kota yang merupakan
peralihan karakteristik pedesaan dan perkotaan baik dari struktur penggunaan lahan maupun
sosial demografis dengan dominasi penggunaan lahan pertanian. Wilayah Peri Urban berbeda
dengan wilayah suburban, karena wilayah suburban sudah tidak menjadi bagian dari wilayah
perkotaan, namun terletak tepat setelah wilayah pinggiran kota/tepi wilayah perkotaan.
Richard M Hurds (1903) dalam Ali (1996) dengan teori Bid-rent yang menyatakan
bahwa nilai lahan sangat tergantung pada kemauan dan kemampuan untuk membayar karena
faktor ekonomi dan keinginan tinggal di lokasi dan kedekatan. Teori ini muncul karena semakin
mahalnya harga lahan di perkotaan, untuk mendapatkan harga lahan yang murah maka
penduduk bergerak ke arah pinggiran kota. Dengan kata lain semakin jauh lokasinya dari pusat
kota, semakin menurun permintaan akan tanah. Dan apabila tanah banyak, maka sewa yang
ditawarkan orang untuk membayar tanah per meter bujur sangkarnya menurun mengikuti
jaraknya dari pusat kota. Dengan demikian tanah di pinggiran luar kota, persaingannya
berkurang dan harga yang ditawarkan untuk tanah perumahan lebih tinggi harganya
dibandingkan tanah tersebut ditawarkan untuk pendirian toko, karena tanah di pinggiran kota
21
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
lebih banyak diperuntukan bagi perumahan. Hal tersebut didukung oleh Chaizi (1995) yang
menjelaskan hubungan antara harga tanah dengan pencapaian atau aksesibilitas yang diukur
dengan jarak dari pusat kota. Pencapaian atau akses akan semakin menurun secara bertahap ke
semua arah dari pusat kota, sehingga harga tanah akan semakin berkurang seiring dengan makin
jauhnya lokasi tersebut dengan pusat kota. Tanah yang berada di sepanjang jalan utama harga
sewanya akan lebih tinggi dibandingkan dengan harga sewa tanah yang tidak berada di jalan
utama. Oleh karena itu penduduk akan memilih tempat tinggal diluar pusat kota karena harga
lahan dan harga sewa yang relatif lebih rendah.
23
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Tabel 2. 2 Sintesis Faktor Pendorong Pemilihan Lokasi Perumahan di Kawasan Peri Urban
Richard Chaizi Chapin & Drabkin Bender dkk Dasra
Yunus Turner Turner Wardana
M Hurds 1995 Kaiser 1980 1997 1995 Sintesis Keterangan
1981 1968 1976 2007
1903 1979
rendahnya harga harga lahan faktor dominan Penilaian atas harga
harga tanah lahan dan harga dalam lahan di lokasi yang
yang sewa yang penentuan lokasi dipilih pihak
murah relatif lebih perumahan, pengembang atau
Harga Lahan
rendah yaitu arah developer untuk
perkembangan dikembangkan atau
kota, dibangun perumahan
ketersediaan baru
berdekatan faktor yang dekat lahan dan harga Ketersediaan fasilitas
dengan berpengaruh dengan tanah, kondisi sosial ekonomi seperti
pekerjaannya terhadap tempat sosial budaya, pendidikan, kesehatan,
pemilihan kerja aksesibilitas, Fasilitas peribadatan dan
lokasi transportasi, dan Sosial perekonomian di dalam
perumahan, utilitas Ekonomi dan sekitar lokasi
yaitu perumahan yang dipilih
aksesibilitas, oleh pihak pengembang
lingkungan, atau developer
mempertim kesempatan Adanya Aksesibilitas Kemudahan dalam
bangkan kerja yang penyebaran yang baik di pencapaian ke berbagai
berbagai tersedia, dan jalur wilayah pusat kegiatan seperti
faktor tingkat transportasi pinggiran pusat perdagangan,
pendukung pelayanan kota Aksesibilitas pusat pendidikan, pusat
seperti kesehatan, pusat
transportasi, peribadatan dan
dan pelayanan
kemasyarak pemerintahan.
atan faktor bebas Kondisi lingkungan
kebisingan yang dilihat dari
(ketenangan) kenyamanan,
dan daerah kebersihan, keamanan
yang hijau dan sosial di suatu
Lingkungan wilayah yang dipilih
untuk dikembangkan
atau dibangun
perumahan oleh pihak
pengembang atau
developer
Sumber: Yunus (1981), Richard M Hurds (1903), Chaizi (1995), Chapin & Kaiser (1979), Drabkin (1980), Turner (1968), Bender dkk (1997),
Turner (1976), Wardana (2007), Dasra (1995), dan Penulis (2019).
24
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
25