Anda di halaman 1dari 14

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini akan dibahas mengenai teori dari berbagai sumber yang akan digunakan dalam
menentukan parameter penelitian. Bab ini terdiri dari kerangka teori dan pembahasan teori.

2.1 Kerangka Teori


Kerangka teori merupakan sebuah kerangka untuk memudahkan pembaca dalam
memahami pembangunan teori penelitian. Berikut merupakan kerangka teori dari penelitian.

Gambar 2. 1 Kerangka Teori Penelitian Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan


Penggunaan Lahan Pertanian menjadi Perumahan di Kawasan Peri urban
Sumber: Peneliti, 2019

2.2 Perubahan Penggunaan Lahan


Perubahan penggunaan lahan pada dasarnya adalah peralihan fungsi lahan yang tadinya
untuk peruntukan tertentu berubah menjadi peruntukan tertentu pula. Dwipradnyana (2014)
menjelaskan, perubahan penggunaan lahan adalah suatu proses perubahan penggunaan lahan
dari bentuk penggunaan tertentu menjadi penggunaan lainnya misalnya ke non pertanian.

Wadji Kamal (1987) dalam Wulandari (2017) menjelaskan pengertian perubahan


penggunaan lahan adalah perubahan penggunaan lahan dari fungsi tertentu menjadi fungsi
lainnya, misalnya dari sawah berubah menjadi pemukiman atau tempat usaha. Pengertian
tersebut didukung oleh Lestari (2009) yang menjelaskan perubahan penggunaan lahan adalah
perubahan fungsi sebagain atau seluruh lahan dari fungsi semula menjadi fungsi lain yang

12
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
menjadi dampak negatif terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Dampak alih fungsi
lahan juga mempengaruhi struktur sosial masyarakat, terutama dalam hal mata pencaharian.

Martin (1993) dalam Wahyunto (2001) mengatakan, perubahan penggunaan lahan


adalah bertambahnya suatu penggunaan lahan dari suatu penggunaan ke penggunaan lainnya
diikuti dengan berkurangnya tipe penggunaan lahan yang lain dari suatu waktu ke waktu
berikutnya, atau berubahnya fungsi suatu lahan pada kurun waktu yang berbeda. Alih fungsi
atau konversi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumber daya
lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya (Kustiawan, 1997).

Perubahan penggunaan lahan diartikan sebagai perubahan suatu jenis penggunaan lahan
ke penggunaan lainnya. Wijaya dalam Orleanti (2000) menjelaskan perubahan penggunaan
lahan merupakan suatu tindak lanjut penyesuaian penggunaan lahan dalam fungsinya sebagai
ruang kota, terhadap peningkatan kebutuhan ruang untuk aktivitas sosial dan ekonomi kota
berikut sarana dan prasarana penunjangnya, serta penduduk kota.

Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan, perubahan


penggunaan lahan adalah berubahnya fungsi suatu lahan dari suatu fungsi tertentu ke fungsi
lainnya, baik itu sebagian dari lahan ataupun keseluruhan lahan pada suatu kurun waktu
tertentu.

2.3 Penggunaan Lahan Pertanian dan Perumahan

2.3.1 Definisi Lahan


Menurut Purwowidodo (1983) lahan adalah suatu lingkungan fisik yang mencakup
iklim, relief, tanah, hidrologi, dan tumbuhan yang sampai pada batas tertentu akan
mempengaruhi kemampuan penggunaan lahan. Christian dan Stewart (1968) dalam Landoala
(2013) menambahkan, istilah lahan digunakan berkenaan dengan permukaan bumi beserta
segenap karakteristik-karakteristik yang ada padanya dan penting bagi peri kehidupan manusia.
Sedangkan Jayadinata (1999) mengatakan lahan merupakan tanah yang sudah ada
peruntukannya dan umumnya dimiliki dan dimanfaatkan oleh perorangan atau lembaga untuk
dapat diusahakan.

Selanjutnya Brinkman dan Smyth (1973) dan FAO (1976) dalam Purnomo (2012)
menjelaskan:

“Secara lebih rinci, istilah lahan atau land dapat didefinisikan sebagai suatu wilayah di
permukaan bumi, mencakup semua komponen biosfer yang dapat dianggap tetap atau

13
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
bersifat siklis yang berada di atas dan di bawah wilayah tersebut, termasuk atmosfer,
tanah, batuan induk, relief, hidrologi, tumbuhan dan hewan, serta segala akibat yang
ditimbulkan oleh aktivitas manusia di masa lalu dan sekarang; yang kesemuanya itu
berpengaruh terhadap penggunaan lahan oleh manusia pada saat sekarang dan di masa
mendatang.”
Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa lahan adalah
wilayah di permukaan bumi yang mencakup semua komponen biosfer yang memiliki
karakteristik tertentu yang mempengaruhi kemampuan penggunaan lahannya.

2.3.2 Penggunaan Lahan


Pemanfaatan lahan untuk membantu bagi berbagai kegiatan manusia memerlukan
pengolahan lebih lanjut. Oleh karena itu diperlukan suatu kebijakan dalam penggunaan lahan.
Rayes (2007) berpendapat bahwa yang dimaksud penggunaan lahan adalah penggolongan
penggunaan lahan secara umum seperti pertanian tadah hujan, pertanian beririgasi, padang
rumput, kehutanan atau daerah rekreasi.

Selanjutnya Arsyad (1989) mengatakan, penggunaan lahan adalah setiap bentuk campur
tangan manusia terhadap lahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik materil atau
spiritual. Penggunaan lahan tergantung pada lokasi, khususnya untuk wilayah permukiman,
zona industri, maupun wilayah wisata.

Menurut Soegino (1987) penggunaan lahan adalah suatu aktivitas manusia pada lahan
yang langsung berhubungan dengan lokasi dan kondisi lahan. Jayadinata (1999) juga
mengatakan bahwa penggunaan lahan adalah wujud atau bentuk usaha kegiatan pemanfaatan
suatu bidang tanah pada satu waktu.

Sedangkan Lillesand & Kiefer (1997) mengartikan penggunaan lahan sebagai segala
interaksi antara manusia dan lingkungannya di mana sikap dan kebijakan manusia terhadap
lahan akan meninggalkan bekas. Penggunaan lahan juga dapat diartikan sebagai segala campur
tangan manusia, baik itu menetap atau berpindah-pindah terhadap suatu kelompok sumber daya
alam dan sumber daya buatan yang secara langsung disebut lahan dengan tujuan untuk
memenuhi kebutuhan baik material atau spiritual maupun keduanya (Malingreau, 1978 dalam
Ritohardoyo, 2013).

Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas dapat disimpulkan, penggunaan lahan


adalah suatu bentuk campur tangan dan interkasi antara manusia dan lingkungannya untuk

14
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
memenuhi kebutuhan baik spiritual atau material maupun keduanya tergantung pada lokasi dan
kondisi lahan yang akan menentukan pemanfaatannya dengan luasan tertentu.

2.3.3 Lahan Pertanian


Lahan memiliki pemanfaatan atau kegunaannya masing-masing. Lahan memiliki
kemampuan tertentu yang menjadi dasar penggunaan lahan tersebut. Harsono (2003)
menjelaskan, lahan pertanian adalah tanah yang digunakan untuk usaha bidang pertanian, tidak
hanya sebagai persawahan dan tegalan melainkan juga semua tanah perkebunan, tanah bekas
ladang dan hutan yang menjadi tempat mencari mata pencaharian.

FAO (1976) menjelaskan lahan pertanian sebagai lahan yang ditujukan atau cocok
untuk dijadikan lahan usaha tani untuk memproduksi tanaman pertanian. Lahan pertanian
merupakan salah satu sumber daya utama pada usaha pertanian.

2.3.4 Definisi Perumahan


Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan
Pemukiman. Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat
tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana lingkungan.
Perumahan memberikan kesan tentang rumah beserta prasarana dan sarana lingkungannya.

Menurut Yudhohusono (1998) perumahan merupakan suatu cerminan dari diri pribadi
manusia, baik secara perorangan ataupun dalam suatu kesatuan dan kebersamaan dengan
lingkungannya dan juga mencerminkan taraf hidup, kesejahteraan, kepribadian, dan peradaban
manusia penghuninya, masyarakat ataupun suatu bangsa.

Selanjutnya Budiharjo (1998) berpendapat, perumahan adalah suatu bangunan di mana


manusia tinggal dan melangsungkan kehidupanya, di samping itu rumah juga merupakan
tempat di mana berlangsungnya proses sosialisasi pada seorang individu diperkenalkan norma
dan adat kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat. Sebagai wadah kehidupan manusia
bukan menyangkut aspek teknis dan fisik saja tetapi juga aspek sosial, ekonomi dan budaya
dari penghuninya. Perumahan merupakan salah satu bentuk sarana hunian yang memiliki kaitan
yang sangat erat dengan masyarakatnya. Hal ini berarti perumahan di suatu lokasi sedikit
banyak mencerminkan karakteristik masyarakat yang tinggal di perumahan tersebut (Abrams,
1964 dalam Santoso, 2015).

Sedangkan Hamzah dkk. (2000) menjelaskan perumahan sebagai bangunan atau


bagiannya, termasuk halaman dan jalan keluar masuk yang dianggap perlu yang dipergunakan
oleh seseorang, perusahaan, atau badan-badan lain untuk tempat tinggal dan atau keperluan
15
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
lain. Pendapat tersebut dikembangkan oleh Musthofa (2008) yang menjelaskan perumahan
sebagai kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan
hunian yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana lingkungan. Sarana dan prasarana yang
dimaksud tersebut yaitu kelengkapan dasar fisik lingkungan, misalnya penyediaan air minum,
pembuangan sampah, tersedianya listrik, telepon, jalan, yang memungkinkan lingkungan
permukiman berfungsi sebagaimana mestinya.

Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli di atas dapat disimpulkan, perumahan adalah
suatu bentuk sarana hunian atau bangunan tempat tinggal manusia dan mencerminkan taraf
hidup, kesejahteraan, kepribadian, dan peradaban manusia penghuninya, masyarakat ataupun
suatu bangsa yang di dalamnya terdapat aspek sosial, ekonomi dan budaya yang ditunjang oleh
sarana prasarana lingkungan.

2.4 Faktor Pendorong Penjualan Lahan Pertanian


Alih fungsi lahan pertanian merupakan lahan pertanian yang beralih fungsi dari sektor
pertanian ke sektor non pertanian. Dengan kata lain lahan tersebut yang tadinya digunakan
untuk kegiatan pertanian beralih fungsi digunakan menjadi kegiatan pembangunan seperti
pembangunan pabrik, gedung, perumahan, maupun infrastruktur lainnya (Mustopa, 2011).

Pertumbuhan ekonomi dan penduduk yang memusat di wilayah perkotaan menuntut


ruang yang lebih luas ke arah luar kota bagi berbagai aktivitas. Sebagai akibatnya wilayah
pinggiran yang sebagian besar berupa lahan pertanian sawah beralih fungsi (konversi) menjadi
lahan non pertanian dengan tingkat peralihan yang beragam antar periode dan wilayah
(Nugroho & Dahuri, 2004).

Menurut teori dari Barlowe (1978) sektor pertanian memiliki nilai komersial yang
kurang pula, hal ini menyebabkan nilai sewa lahan semakin kecil. Apabila lahan pertanian
letaknya berdekatan dengan pusat kota atau sumber ekonomi maka hal ini akan menggeser
penggunaannya ke bentuk lain seperti permukiman, industri manufaktur dan fasilitas
infrastruktur. Semakin dekat lahan sawah dengan pusat kota maka kemungkinan perubahan
penggunaan lahan pertanian akan semakin tinggi hal ini dikarenakan land rent dari lahan
tersebut akan lebih tinggi mengalami perubahan penggunaan lahan, karena land rent yang lebih
tinggi membuat petani berfikir alih profesi akan meningkatkan pendapatan mereka.

Nurmanaf & Nasution (1986) dalam Setiawan (2015) berpendapat, pendapatan yang
berasal dari luar sektor pertanian tampak memberikan kontribusi yang lebih besar terutama di
daerah-daerah yang kurang subur, dalam arti ketergantungan pendapatan rumah tangga

16
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
terhadap sektor ini. Selanjutnya Salim (1984) dalam Lambok (2016) mengatakan kemampuan
petani dalam memenuhi kebutuhannya juga merupakan faktor penentu alih fungsi lahan, petani
yang tidak dapat mencukupi pendapatan dalam memenuhi kebutuhan hidup yang paling pokok
seperti kebutuhan pangan, pakaian, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan dan lain-lain atau
miskin memiliki kecenderungan untuk melakukan konversi lahan. Kemampuan lahan pertanian
dalam menghasilkan komoditas menjadi pertimbangan bagi petani yang mengolahnya. Lahan
sawah yang menghasilkan memiliki kecenderungan terhindar dari konversi lahan,
dibandingkan dengan lahan yang kemampuan produksinya menurun secara otomatis
menurunkan pendapatan dan memiliki kecenderungan untuk dikonversikan menjadi komoditas
lain (Wiguna, 2009).

Selanjutnya Rustiadi & Wafda (2008) menjelaskan, meskipun lahan pertanian lebih
lestari kemampuannya dalam menjamin kehidupan petani, tetapi hanya dapat memberikan
sedikit keuntungan materi atau finansial dibandingkan dengan sektor industri, pemukiman dan
jasa lainnya sehingga konversi lahan pertanian ke penggunaan lain tidak dapat dicegah. Salah
satu penyebab perubahan penggunaan lahan pertanian juga dapat dikarenakan lahan yang tidak
produktif sehingga memaksa petani meninggalkan pekerjaannya tersebut. Priyono (2011)
menambahkan bahwa pendapatan hasil pertanian (terutama padi) masih jauh lebih rendah,
karena kalah bersaing dengan yang lain (terutama non pertanian) seperti usaha industri dan
perumahan. Di samping usaha padi dianggap melelahkan (lama dan sulit, lebih-lebih jika ada
hama/penyakit yang mengancam) dan harganya cenderung rendah saat panen (jaminan harga
stabil tidak ada).

Soegijoko (1997) mengatakan, pendapatan hasil produksi yang semakin lama tidak
dapat memenuhi kebutuhan petani dan keluarganya juga menjadi faktor berubahnya lahan
pertanian, dapat diartikan nilai tukar hasil usaha pertanian terhadap produk non pertanian
semakin menurun. Jika hal tersebut terus berlanjut atau dalam artian nilai tukar hasil pertanian
terus menurun maka yang terjadi adalah petani akan memikirkan peluang usaha lain yang dapat
menutup pengeluaran akan kebutuhannya. Selain itu, sistem pembagian waris yang sudah
menjadi budaya masyarakat Indonesia juga menjadi salah satu faktor berubahnya lahan
pertanian menjadi lahan non pertanian. Dengan adanya sistem pembagian waris maka lahan
pertanian yang tadinya luas akan terbagi-bagi dan menjadi beberapa petak lahan yang sempit.
Jika semua lahan yang sudah terbagi tersebut tetap menjadi lahan pertanian tentunya hal
tersebut tidak akan mempengaruhi perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi non
pertanian, akan tetapi dalam realitanya lebih banyak lahan hasil pembagian waris tersebut yang
dialihfungsikan menjadi lahan non-pertanian contohnya menjadi rumah atau perumahan. Lahan
17
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
pertanian yang tadinya luas menjadi sempit dan bahkan tidak ada sama sekali setelah adanya
pembagian waris. Sajogyo (1992) mendukung hal tersebut, ia mengatakan kepemilikan lahan
pertanian yang kecil disebabkan karena adanya pembagian tanah yang tidak merata. Tekanan
penduduk atas tanah yang berat serta terbatasnya kesempatan kerja merupakan pendorong yang
kuat bagi petani untuk mencari pekerjaan lain, karena hasil yang diperoleh sedikit sehingga
pendapatan yang diterima masih kurang untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Swastha & Irawan (2008) berpendapat, konversi lahan pertanian pada dasarnya terjadi
akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan antara sektor pertanian dan sektor non
pertanian pertumbuhan ekonomi yang cenderung mendorong permintaan lahan untuk kegiatan
non pertanian pada laju lebih tinggi dibanding permintaan lahan untuk kegiatan pertanian
karena permintaan produk non pertanian lebih elastis terhadap pendapatan. Sehingga dengan
meningkatnya permintaan lahan yang relatif tinggi untuk kegiatan non pertanian (akibat
pertumbuhan ekonomi) pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya konversi lahan pertanian.
Irawan juga mengatakan sebagian besar lahan pertanian yang berupa sawah, tegalan atau kebun
dimiliki oleh petani. Oleh karena itu proses konversi lahan pertanian umumnya diawali dengan
transaksi penjualan lahan petani kepada pihak lain yang umumnya kepada pihak swasta sebagai
pengembang (developer) perumahan. Penawaran lahan pertanian tersebut didorong oleh dua
fenomena yaitu berlakunya sistem pewarisan lahan yang berdampak pada pemilikan lahan
petani semakin sempit dan penurunan rente usaha pertanian sebagai konsekuensi dari
penurunan sekular nilai tukar pertanian dan naiknya harga lahan. Kedua fenomena tersebut
selanjutnya mendorong petani untuk menjual lahannya dan beralih ke sektor lain, karena
pendapatan yang diperoleh dari lahan yang dimiliki dinilai tidak mencukupi kebutuhan rumah
tangga petani.

18
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Tabel 2. 1 Sintesis Faktor Pendorong Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian
Basu
Nurmanaf Rustiadi &
Barlowe Salim Wiguna Priyono, Soegijoko Sajogyo Swastha &
& Nasution Wafda Sintesis Keterangan
1978 1984 2009 2011 1997 1992 Irawan
1986 2008
2008
Lahan sistem Lahan sempit milik
pertanian pewarisan warga atau
yang luas lahan yang masyarakat yang
menjadi berdampak Lahan didapatkan dari
sempit pada Sempit dari warisan
setelah pemilikan Warisan
adanya lahan petani
pembagian semakin
waris sempit
petani yang hasil mencari Biaya yang
tidak dapat produksi pekerjaan dikeluarkan pemilik
mencukupi yang tidak lain, karena Pengeluaran lahan pertanian untuk
pendapatan dapat hasil yang memenuhi suatu
dalam memenuhi diperoleh kebutuhan tertentu
pendapatan memenuhi kemampuan memberikan pendapatan kebutuhan sedikit nilai tukar Pendapatan dari
yang berasal kebutuhan produksinya sedikit hasil petani dan sehingga pertanian lahan pertanian milik
dari luar hidup menurun keuntungan pertanian keluarganya pendapatan Pendapatan warga atau
sektor secara materi atau masih jauh yang Hasil masyarakat sebelum
pertanian otomatis finansial lebih rendah diterima Pertanian menjual lahan
menurunkan masih kurang pertanian miliknya
pendapatan untuk
memenuhi Profesi atau
kebutuhan pekerjaan di luar
keluarga. sektor pertanian yang
Profesi di
dimiliki atau
Luar Sektor
diinginkan warga
Pertanian
atau masyarakat
pemilik lahan
pertanian
land rent naiknya Penilaian atas harga
yang lebih harga lahan lahan pertanian yang
Harga
tinggi dimiliki warga atau
Lahan
masyarakat sebelum
Pertanian
lahan pertanian
tersebut dijual
Sumber: Irawan (2005), Barlowe (1978), Nurmanaf & Nasution (1986), Salim (1984), Wiguna (2009), Rustiadi & Wafda (2008), Priyono (2011),
Soegijoko (1997), Sajogyo (1992), Basu Swastha & Irawan (2008), dan Penulis (2019).

19
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2.5 Wilayah Peri Urban


Perkembangan atau pengembangan kota (urban development) adalah suatu perubahan
menyeluruh, yaitu yang menyangkut segala perubahan di dalam masyarakat kota secara
menyeluruh, baik perubahan sosial ekonomi, sosial budaya, maupun perubahan fisik.
Sedangkan pertumbuhan kota (urban growth) adalah perubahan kota secara fisik sebagai akibat
perkembangan masyarakat kota. Secara umum kota akan mengalami pertumbuhan dan
perkembangan melalui keterlibatan aktivitas sumber daya manusia berupa peningkatan jumlah
penduduk dan sumber daya alam dalam kota yang bersangkutan (Hendarto, 1997).

Perkembangan kota menurut Raharjo dalam Widyaningsih (2001), memiliki arti yaitu
perubahan yang dialami oleh daerah perkotaan pada aspek-aspek kehidupan dan penghidupan
kota tersebut, dari tidak ada menjadi ada, dari sedikit menjadi banyak, dari kecil menjadi besar,
dari ketersediaan lahan yang luas menjadi terbatas, dari penggunaan ruang yang sedikit menjadi
ter-aglomerasi secara luas, dan seterusnya.

Perkembangan kota ke daerah pinggiran yang merupakan dampak dari keterbatasan


lahan dan eksistensi aktivitas pedesaan, menimbulkan perkembangan wilayah peri urban,
seperti yang dijelaskan oleh Rakodi dan Adel dalam Ginting (2010) di mana kawasan peri
urban merupakan zona transisi kota dengan kawasan yang didominasi lahan pertanian.
Kawasan ini adalah percampuran penggunaan lahan dan kerancuan batas dalam dan luar serta
umumnya merupakan gabungan dari beberapa kawasan yang secara administratif terpisah.
Wilayah peri urban terbentuk secara perlahan menjadi sebuah zone yang bertumbuh pesat di
pinggiran kota dan tersusun dari berbagai karakteristik penggunaan lahan (Conzen dalam
Rupini dkk, 2017).

Subroto dan Setyadi 1997 dalam Giyarsih (2001) juga menjelaskan bahwa wilayah peri
urban (urban fringe) adalah sebagai daerah transisi bukan daerah antara desa dan kota, namun
daerah perdesaan yang menyatu dengan daerah perkotaan yang diwarnai oleh disparitas
karakter desa dan kota yang kuat baik secara fisik spatial dan sosio kultural.

Andreas dalam Budiyantini & Vidya Pratiwi (2016) menjelaskan, kawasan peri urban
adalah zona yang di dalamnya terdapat percampuran antara struktur lahan kedesaan dan lahan
kekotaan. Wilayah peri urban adalah daerah rural – urban fringe, yaitu wilayah peralihan
mengenai penggunaan lahan, karakteristik sosial dan demografis. Wilayah ini terletak antara
lahan kekotaan kompak terbangun yang menyatu dengan pusat kota dan lahan kedesaan yang

20
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
di sana hampir tidak ditemukan bentuk – bentuk lahan kekotaan dan permukiman perkotaan
(Pryor, 1968).

Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan, wilayah peri urban
ini dapat diistilahkan sebagai rural-urban fringe yaitu wilayah yang terbentuk akibat adanya
perkembangan suatu kota atau urban sprawl yang terletak di pinggiran kota yang merupakan
peralihan karakteristik pedesaan dan perkotaan baik dari struktur penggunaan lahan maupun
sosial demografis dengan dominasi penggunaan lahan pertanian. Wilayah Peri Urban berbeda
dengan wilayah suburban, karena wilayah suburban sudah tidak menjadi bagian dari wilayah
perkotaan, namun terletak tepat setelah wilayah pinggiran kota/tepi wilayah perkotaan.

2.6 Faktor Pendorong Pemilihan Lokasi Perumahan di Kawasan Peri Urban


Menurut Yunus (1981), gerakan penduduk yang terbalik yaitu dari kota ke daerah
pinggiran atau pedesaan untuk memiliki lahan sebagai tempat tinggal semakin meningkat. Hal
tersebut disebabkan oleh nilai lahan di daerah pinggiran kota atau pedesaan masih sangat
rendah. Masih rendahnya harga tanah di daerah pinggiran kota menjadi alasan para
pengembang atau developer membeli luas tanah yang ideal dengan tujuan dijadikan perumahan.
Para pengembang atau developer dapat membeli tanah dengan luas tanah yang lebih luas
dibandingkan di daerah pusat kota dengan harga yang sama. Adanya pusat-pusat pendidikan
yang cenderung mengambil lokasi di daerah pinggiran kota memiliki pengaruh yang besar bagi
terciptanya perubahan penggunaan lahan agraris menjadi tata guna lahan non agraris. Para
pencari tempat tinggal dari suatu wilayah akan mencari lokasi tempat tinggal yang dekat dengan
pusat pendidikan, hal itu berlaku juga di wilayah peri urban. Ia juga menambahkan bahwa
penduduk akan mencari lokasi tempat tinggal yang berdekatan dengan pekerjaannya atau bisa
dibilang dekat dengan tempat kegiatan ekonominya.

Richard M Hurds (1903) dalam Ali (1996) dengan teori Bid-rent yang menyatakan
bahwa nilai lahan sangat tergantung pada kemauan dan kemampuan untuk membayar karena
faktor ekonomi dan keinginan tinggal di lokasi dan kedekatan. Teori ini muncul karena semakin
mahalnya harga lahan di perkotaan, untuk mendapatkan harga lahan yang murah maka
penduduk bergerak ke arah pinggiran kota. Dengan kata lain semakin jauh lokasinya dari pusat
kota, semakin menurun permintaan akan tanah. Dan apabila tanah banyak, maka sewa yang
ditawarkan orang untuk membayar tanah per meter bujur sangkarnya menurun mengikuti
jaraknya dari pusat kota. Dengan demikian tanah di pinggiran luar kota, persaingannya
berkurang dan harga yang ditawarkan untuk tanah perumahan lebih tinggi harganya
dibandingkan tanah tersebut ditawarkan untuk pendirian toko, karena tanah di pinggiran kota

21
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
lebih banyak diperuntukan bagi perumahan. Hal tersebut didukung oleh Chaizi (1995) yang
menjelaskan hubungan antara harga tanah dengan pencapaian atau aksesibilitas yang diukur
dengan jarak dari pusat kota. Pencapaian atau akses akan semakin menurun secara bertahap ke
semua arah dari pusat kota, sehingga harga tanah akan semakin berkurang seiring dengan makin
jauhnya lokasi tersebut dengan pusat kota. Tanah yang berada di sepanjang jalan utama harga
sewanya akan lebih tinggi dibandingkan dengan harga sewa tanah yang tidak berada di jalan
utama. Oleh karena itu penduduk akan memilih tempat tinggal diluar pusat kota karena harga
lahan dan harga sewa yang relatif lebih rendah.

Turner (1976) dalam Rindarjono (2015) menyatakan, pemilihan perumahan di


pinggiran kota juga karena adanya penyebaran jalur transportasi yang dapat memudahkan
pergerakan manusia. Penduduk yang berada di wilayah pinggiran kota dapat menggunakan
sarana transportasi berupa bus dan angkutan umum yang melintasi sepanjang jalan dari
pinggiran kota hingga ke pusat kota. Aksesibilitas yang baik di wilayah pinggiran kota menjadi
salah satu penarik untuk mendatangkan penduduk dan mempermudah penduduk dalam
pergerakan nya (Wardana, 2007). Hal tersebut sesuai dengan (Chapin & Kaiser, 1979) yang
mengatakan, kegiatan penentuan lokasi perumahan seharusnya juga mempertimbangkan
berbagai faktor pendukung seperti ekonomi, guna lahan, transportasi, dan kemasyarakatan.
Kemasyarakatan yang dimaksud adalah kondisi lingkungan sosial yang dapat mempengaruhi
kenyamanan seseorang dalam bertempat tinggal di suatu wilayah.

Drabkin (1980) dalam (Kalesaran, 2013) mengemukakan faktor yang berpengaruh


terhadap pemilihan lokasi perumahan, yaitu aksesibilitas, lingkungan, kesempatan kerja yang
tersedia, dan tingkat pelayanan. Faktor aksesibilitas ini terdiri dari kemudahan transportasi
dan jarak ke pusat kota. Faktor lingkungan dalam hal ini terdiri dari lingkungan sosial
dan fisik seperti kebisingan, polusi dan kenyamanan lingkungan. Kemudian faktor
kesempatan kerja yang tersedia yaitu kemudahan seseorang dalam mendapatkan pekerjaan
untuk keberlangsungan hidupnya. Selanjutnya, faktor tingkat pelayanan lokasi yang dipilih
merupakan lokasi yang memiliki pelayanan yang baik dalam hal sarana dan prasarana. Selain
itu baru ada faktor rasa keamanan dan lingkungan perumahan yang rendah kebisingannya.
Hasil studi mengenai persepsi lingkungan perumahan di Geneva oleh Bender dkk (1997 &
2000) dalam (Kestens, 2004) mengungkapkan bahwa faktor bebas kebisingan (ketenangan)
dan daerah yang hijau menjadi faktor utama kualitas lingkungan perumahan. Faktor tersebut
sesuai dengan faktor lingkungan yang di ungkapkan oleh Drabkin (1980) bahwa bebas
kebisingan, bebas polusi dan kenyamanan lingkungan mempengaruhi individu atau konsumen
dalam memilih lokasi rumah pada perumahan.
22
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Dasra (1995) dalam mengatakan bahwa faktor-faktor dominan dalam penentuan lokasi
perumahan, yaitu arah perkembangan kota, ketersediaan lahan dan harga tanah, kondisi sosial
budaya, aksesibilitas, transportasi, dan utilitas. Arah perkembangan kota yaitu bagaimana
berkembangnya suatu kota dengan faktor penentu yaitu keadaan fisik kota seperti adanya
sungai, topografi tanah, dan sebagainya. Ketersediaan lahan yaitu tersedianya lahan yang
belum terbangun di suatu wilayah. Harga tanah akan mempengaruhi harga unit rumah, seakin
mahal harga tanah maka biaya unit satuan perumahan akan semakin tinggi. Kondisi sosial
budaya yaitu keadaan sosial yang ada di suatu wilayah yang akan mempengaruhi kenyamanan
konsumen. Aksesbilitas dan transportasi yang dimaksud adalah tersedianya sarana transportasi
baik skala lokal maupun regional dan tersedianya pola jaringan jalan. Utilitas adalah
tersedianya jaringan listrik, jaringan telepon, jaringan drainase serta jaringan air bersih.

23
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Tabel 2. 2 Sintesis Faktor Pendorong Pemilihan Lokasi Perumahan di Kawasan Peri Urban
Richard Chaizi Chapin & Drabkin Bender dkk Dasra
Yunus Turner Turner Wardana
M Hurds 1995 Kaiser 1980 1997 1995 Sintesis Keterangan
1981 1968 1976 2007
1903 1979
rendahnya harga harga lahan faktor dominan Penilaian atas harga
harga tanah lahan dan harga dalam lahan di lokasi yang
yang sewa yang penentuan lokasi dipilih pihak
murah relatif lebih perumahan, pengembang atau
Harga Lahan
rendah yaitu arah developer untuk
perkembangan dikembangkan atau
kota, dibangun perumahan
ketersediaan baru
berdekatan faktor yang dekat lahan dan harga Ketersediaan fasilitas
dengan berpengaruh dengan tanah, kondisi sosial ekonomi seperti
pekerjaannya terhadap tempat sosial budaya, pendidikan, kesehatan,
pemilihan kerja aksesibilitas, Fasilitas peribadatan dan
lokasi transportasi, dan Sosial perekonomian di dalam
perumahan, utilitas Ekonomi dan sekitar lokasi
yaitu perumahan yang dipilih
aksesibilitas, oleh pihak pengembang
lingkungan, atau developer
mempertim kesempatan Adanya Aksesibilitas Kemudahan dalam
bangkan kerja yang penyebaran yang baik di pencapaian ke berbagai
berbagai tersedia, dan jalur wilayah pusat kegiatan seperti
faktor tingkat transportasi pinggiran pusat perdagangan,
pendukung pelayanan kota Aksesibilitas pusat pendidikan, pusat
seperti kesehatan, pusat
transportasi, peribadatan dan
dan pelayanan
kemasyarak pemerintahan.
atan faktor bebas Kondisi lingkungan
kebisingan yang dilihat dari
(ketenangan) kenyamanan,
dan daerah kebersihan, keamanan
yang hijau dan sosial di suatu
Lingkungan wilayah yang dipilih
untuk dikembangkan
atau dibangun
perumahan oleh pihak
pengembang atau
developer
Sumber: Yunus (1981), Richard M Hurds (1903), Chaizi (1995), Chapin & Kaiser (1979), Drabkin (1980), Turner (1968), Bender dkk (1997),
Turner (1976), Wardana (2007), Dasra (1995), dan Penulis (2019).
24
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2.7 Variabel Penelitian


Berdasarkan hasil sintesa faktor perubahan lahan pertanian dan faktor perubahan lahan
pertanian menjadi perumahan, didapatkan variabel-variabel yang akan digunakan dalam
penelitian ini. Variabel dan sub variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini antara lain
sebagai berikut:

Tabel 2. 3 Variabel Penelitian

Lahan Sempit dari Warisan


Pengeluaran
Variabel Pendorong
Penjualan Lahan Pendapatan Hasil Pertanian
Pertanian
Profesi di Luar Sektor Pertanian
Harga Lahan Pertanian
Harga Lahan
Variabel Pendorong
Pemilihan Lokasi Fasilitas Sosial Ekonomi
Perumahan di Kawasan Aksesibilitas
Peri Urban
Lingkungan
Sumber: Hasil Olahan Penulis, 2019

25

Anda mungkin juga menyukai