Anda di halaman 1dari 25

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Oksigenasi

1. Pengertian

Oksigenasi adalah proses penambahan O 2 ke dalam sistem (kimia atau

fisika). Sedangkan pernapasan atau respirasi adalah proses pertukaran gas

antara individu dan lingkungan. Fungsi utama pernapasan adalah untuk

memperoleh O2 agar dapat digunakan oleh sel-sel tubuh dan mengeluarkan

CO2 yang dihasilkan oleh sel (Mubarak dan Chayatin, 2008 : 159).

2. Anatomi Sistem Pernapasan

Menurut Muttaqin (2008 : 160), saluran pernapasan terbagi menjadi dua

yaitu:

a. Saluran pernapasan bagian atas

1) Rongga hidung

Rongga hidung adalah dua kanal sempit yang dipisahkan oleh septum.

Dinding rongga hidung dilapisi oleh mukosa respirasi serta sel epitel

batang, bersilia, dan berlapis.

2) Sinus paranasal

Sinus paranasal berperan dalam mensekresi mukus, membantu

pengaliran air mata melalui saluran pasolakrimalis, dan membantu

dalam menjaga permukaan rongga hidung tetap bersih dan lembab.

Sinus paranasal merupakan daerah pembau di bagian posterior rongga

hidung.
6

3) Faring

Pipa berotot yang bermula dari dasar tengkorak dan berakhir sampai

persambungannya dengan esophagus dan batas tulang rawan krikoid.

Faring terdiri dari nasofaring (di belakang hidung), orofaring (di

belakang mulut), dan laringofaring (di belakang laring).

b. Saluran pernapasan bagian bawah

1) Laring

Laring terletak diantara faring dan trakhea. Laring tersusun atas

sembilan kartilago, kartilago terbesar adalah kartilago kortikotiroid dan

di depannya terdapat benjolan subkutaneus yang dikenal sebagai jakun

yang terlihat pada pria. Di dalam laring terdapat pita suara yang

berfungsi menggetarkan udara yang melintasi glottis dan memvibrasi

pita suara sehingga menghasilkan bunyi.

2) Trakhea

Trakhea terletak setelah laring dan memanjang ke bawah setara dengan

vertebra torakalis ke-5. Ujung trakhea bercabang jadi dua bronkus

kanan dan kiri. Percabangan bronkus antara kanan dengan kiri biasa

disebut dengan karina. Trakhea berfungsi untuk mencegah terjadinya

kolaps atau ekspansi berlebihan akibat perubahan tekanan udara dalam

sistem pernapasan.

3) Bronkus

Bronkus merupakan cabang dari trakhea dan bronkus antara kanan

dengan kiri tidak simetris. Lebih pendek, lebih lebar, dan sudut lebih

runcing bagian kanan. Bronkus terbagi menjadi bronkus pulmonaris/


7

respiratoris selanjutnya bercabang lebih banyak yang disebut

bronkhiolus terminalis.

4) Alveoli

Bronkhiolus respiratoris terbagi dan bercabang menjadi beberapa

duktus alveolaris dan berakhir pada alveoli. Setiap paru terdiri dari 150

juta alveoli. Sirkulasi bronkhial menyediakan darah teroksigenasi dari

sirkulasi sistem yang berfungsi memenuhi kebutuhan metabolisme

jaringan paru.

3. Fisiologi Pernapasan

Menurut Mubarak dan Chayatin (2008 : 162), fisiologi pernapasan

sebagai berikut:

a. Pernapasan eksternal

1) Ventilasi pulmoner

Saat bernapas, udara keluar masuk paru-paru melalui proses ventilasi

sehingga terjadi pertukaran gas antara lingkungan eksternal dan

alveolus. Proses ventilasi ini dipengaruhi beberapa faktor yaitu jalan

napas yang bersih, sistem saraf pusat, dan sistem pernapasan yang

utuh, rongga thoraks yang mampu mengembang dan berkontraksi

dengan baik serta komplians paru yang adekuat.

2) Pertukaran gas alveolar

Setelah oksigen memasuki alveolus, proses pernapasan selanjutnya

adalah difusi oksigen dari alveolus ke pembuluh darah pulmoner.

Difusi adalah pergerakan molekul dari area berkonsentrasi tinggi ke

konsentrasi rendah. Proses ini berlangsung di alveolus dan membran


8

kapiler dan dipengaruhi oleh ketebalan membran serta perbedaan

tekanan gas.

3) Transpor oksigen dan karbondioksida

Tahap ketiga pada proses pernapasan adalah transport gas-gas

pernapasan. Pada proses ini, oksigen diangkut dari paru menuju

jaringan dan karbondioksida diangkut dari jaringan kembali menuju

paru.

a) Transpor O2

Proses ini berlangsung pada sistem jantung dan paru-paru.

Normalnya, sebagian besar oksigen (97%) berikatan lemah dengan

hemoglobin dan diangkut ke seluruh jaringan dalam bentuk

oksihemoglobin (HbO2) dan sisanya terlarut dalam plasma. Proses

ini dipengaruhi oleh ventilasi (jumlah O2 yang masuk paru) dan

perfusi (aliran darah ke paru dan jaringan). Kapasitas darah yang

membawa oksigen dipengaruhi oleh jumlah O2 dalam plasma,

jumlah hemoglobin (Hb), dan ikatan O2 dengan Hb.

b) Transpor CO2

Karbondioksida sebagai hasil metabolisme terus menerus

diproduksi dan diangkut menuju paru-paru dalam tiga cara yaitu

sebagian karbondioksida 70% diangkut dalam sel darah merah

dalam bentuk Bikarbonat (HCO3), sebanyak 23% karbondioksida

berikatan dengan hemoglobin membentuk karbaminohemoglobin

(HbCO2), dan sebanyak 7% diangkut dalam bentuk larutan di

dalam plasma dan dalam bentuk asam karbonat.


9

b. Pernapasan internal

Pernapasan internal (pernapasan jaringan) mengacu pada proses

metabolisme intrasel yang berlangsung dalam mitokondria, yang

menggunakan O2 dan menghasilkan CO2 selama proses penyerapan energi

molekul nutrien. Pada proses ini, darah yang mengandung banyak oksigen

dibawa ke seluruh tubuh hingga mencapai kapiler sistemik. Selanjutnya

terjadi pertukaran gas O2 dan CO2 antara kapiler sistemik dan sel jaringan.

Seperti di kapiler paru, pertukaran ini juga melalui proses difusi pasif

mengikuti penurunan gradien tekanan parsial.

4. Gangguan pada Fungsi Pernapasan

Menurut Mubarak dan Chayatin (2008 : 166), gangguan pada fungsi

pernapasan yaitu:

a. Perubahan pola napas

1) Takipnea

Frekuensi pernapasan yang cepat.

2) Bradipnea

Frekuensi pernapasan yang lambat dan abnormal.

3) Apnea

Henti napas.

4) Hiperventilasi

Peningkatan jumlah udara yang masuk paru.

5) Hipoventilasi

Penurunan jumlah udara yang masuk paru.

6) Pernapasan kussmaul

Salah satu jenis hiperventilasi yang menyertai asidosis metabolik.


10

7) Orthopnea

Ketidakmampuan untuk bernapas kecuali dalam posisi tegak atau

berdiri.

8) Dispnea

Kesulitan atau ketidaknyamanan dalam bernapas.

b. Hipoksia

Kondisi ketika kadar oksigen dalam tubuh (sel) tidak adekuat akibat

kurangnya penggunaan atau pengikatan O2 pada tingkat sel. Kondisi ini

ditandai dengan kelelahan, kecemasan, pusing, penurunan tingkat

kesadaran, penurunan konsentrasi, kelemahan, peningkatan tanda-tanda

vital, disritmia, pucat, sianosis, clubbing dan dispnea. Penyebabnya antara

lain penurunan Hb dan kapasitas angkut O2 dalam darah, penurunan

konsentrasi O2, ketidakmampuan sel mengikat O2, penurunan difusi O2 dari

alveoli ke dalam darah, dan penurunan perfusi jaringan.

c. Obstruksi jalan napas

Obstruksi jalan napas bagian atas karena makanan, akumulasi sekret, lidah

yang menyumbat orofaring pada orang tidak sadar. Sedangkan obstruksi

jalan napas bagian bawah seperti sumbatan total atau sebagian pada jalan

napas bronkus dan paru.

5. Faktor yang Mempengaruhi Oksigenasi

Menurut Potter dan Perry (2006 : 1558), faktor yang mempengaruhi

oksigenasi adalah:

a. Faktor fisiologis

Setiap kondisi yang mempengaruhi fungsi kardiopulmonal secara langsung

akan mempengaruhi kemampuan untuk memenuhi kebutuhan oksigen.


11

Klasifikasi umum gangguan jantung meliputi ketidakseimbangan konduksi,

kerusakan fungsi valvular, hipoksia miokard, kondisi-kondisi

kardiomiopati, dan hipoksia jaringan perifer. Gangguan pernapasan

meliputi hiperventilasi, hipoventilasi, dan hipoksia. Proses fisiologis lain

yang mempengaruhi proses oksigenasi pada pasien termasuk perubahan

yang mempengaruhi kapasitas darah untuk membawa oksigen seperti

anemia dengan manifestasi klinis keletihan, penurunan toleransi aktivitas

peningkatan sesak napas, tampak pucat, peningkatan frekuensi denyut

jantung, peningkatan kebutuhan metabolisme seperti kehamilan, demam,

dan infeksi, serta perubahan yang mempengaruhi gerakan dinding dada

atau sistem saraf pusat.

b. Faktor perkembangan

1) Bayi prematur

Bayi prematur berisiko terkena penyakit membran hialin yang diduga

karena adanya defisiensi surfaktan. Kemampuan memproduksi

surfaktan berkembang lambat pada masa kehamilan.

2) Bayi dan toddler

Bayi dan toddler berisiko mengalami infeksi saluran pernapasan atas

sebagai hasil pemaparan yang sering pada anak-anak lain dan

pemaparan asap dari rokok yang dihisap orang lain. Obstruksi napas

juga dapat terjadi jika benda asing teraspirasi.

3) Anak usia sekolah dan remaja

Anak usia sekolah dan remaja terpapar pada infeksi pernapasan dan

faktor-faktor risiko pernapasan seperti mengisap asap rokok dan

mengisap rokok. Jika diteruskan hingga usia dewasa pertengahan


12

mengalami peningkatan risiko penyakit kardiopulmoner dan kanker

paru.

4) Dewasa muda dan dewasa pertengahan

Individu usia dewasa pertengahan dan dewasa muda terpapar pada

banyak faktor risiko kardiopulmonar seperti diet tidak sehat, kurang

latihan fisik, obat-obatan, dan merokok.

5) Lansia

Sistem pernapasan dan sistem jantung mengalami perubahan sepanjang

proses penuaan. Perubahan ini membuat paru-paru tidak mampu

mengembang sepenuhnya, sehingga menyebabkan kadar oksigen lebih

rendah.

c. Faktor perilaku

Faktor gaya hidup yang mempengaruhi pemenuhan kebutuhan oksigen

seperti:

1) Nutrisi

Obesitas berat mempengaruhi penurunan ekspansi paru dan

meningkatkan kebutuhan oksigen untuk memenuhi kebutuhan

metabolisme tubuh. Sedangkan pasien yang kekurangan gizi,

mengalami kelemahan otot pernapasan. Pasien obesitas atau

kekurangan gizi berisiko anemia.

2) Latihan fisik

Latihan fisik meningkatkan aktivitas metabolisme tubuh dan

kebutuhan oksigen. Frekuensi dan kedalaman pernapasan meningkat,

memampukan individu untuk menghirup lebih banyak oksigen dan

mengeluarkan kelebihan karbondioksida.


13

3) Merokok

Merokok dikaitkan sejumlah penyakit jantung paru, penyakit paru

obstruksi kronik, dan kanker paru. Merokok dapat memperburuk

penyakit arteri koroner dan pembuluh darah perifer.

4) Penyalahgunaan substansi

Penggunaan alkohol dan obat-obatan lain secara berlebihan

mengganggu oksigenasi jaringan.

5) Ansietas dan Stres

Stress meningkatkan frekuensi dan kedalaman pernapasan. Pada

beberapa individu dengan penyakit kronis, tidak dapat mentoleransi

oksigen akibat rasa cemas.

d. Faktor lingkungan

Insiden penyakit paru lebih tinggi di daerah yang lebih tinggi serta

berkabut dan di perkotaan daripada di pedesaan.

6. Proses Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Oksigenasi

a. Pengkajian

1) Riwayat keperawatan

Menurut Mubarak dan Chayatin (2008 : 167), pengkajian riwayat

keperawatan gangguan oksigenasi yaitu:

a) Adanya batuk, sputum, nyeri, medikasi, dan adanya faktor risiko

untuk gangguan status oksigenasi.

b) Masalah pada pernapasan.

c) Riwayat penyakit atau masalah pernapasan

(1) Nyeri

(2) Paparan lingkungan atau geografi


14

(3) Batuk

(4) Bunyi napas mengi

(5) Faktor risiko penyakit paru

(6) Frekuensi infeksi pernapasan

(7) Masalah penyakit paru masa lalu

(8) Penggunaan obat

d) Adanya batuk dan penanganan.

e) Kebiasaan merokok.

f) Masalah pada fungsi kardiovaskuler (kelemahan, dispnea).

g) Faktor risiko yang memperberat oksigenasi

(1) Riwayat hipertensi, penyakit jantung, stroke

(2) Merokok

(3) Usia lanjut

(4) Obesitas

(5) Diit tinggi lemak

(6) Peningkatan kolesterol

h) Riwayat penggunaan medikasi.

i) Stressor yang dialami.

j) Status atau kondisi kesehatan.

2) Pemeriksaan fisik

Menurut Potter dan Perry (2006 : 1573), pemeriksaan fisik pada

pasien gangguan oksigenasi yaitu:

a) Inspeksi

Mengobservasi dari kepala sampai ujung kaki pasien untuk

dapat mengkaji kulit dan warna membran mukosa,


15

penampilan umum, tingkat kesadaran, keadekuatan sirkulasi

sistemik, pola pernapasan dan gerakan dinding dada.

b) Palpasi

Dengan palpasi, jenis dan jumlah kerja thoraks, daerah nyeri

tekan dapat diketahui dan dapat mengidentifikasi taktil

fremitus, getaran pada dada, angkatan dada, titik impuls

jantung maksimal, adanya benjolan, sirkulasi perifer, nadi

perifer, temperatur kulit, warna kulit, dan pengisian kapiler.

c) Perkusi

Menentukan adanya cairan, udara, benda padat di jaringan

yang berada dibawah objek. Perkusi mengetahui adanya

cairan yang tidak normal, udara di paru-paru atau diafragma.

d) Auskultasi

Mendengarkan gerakan udara di sepanjang lapang paru. Suara

napas tambahan terdengar jika suatu daerah paru mengalami

kolaps, terdapat cairan, atau obstruksi.

3) Pemeriksaan Penunjang

Menurut Potter dan Perry (2006 : 1574), pemeriksaan diagnostik

pada pasien gangguan oksigenasi yaitu:

a) Pemeriksaan fungsi paru

b) Pemeriksaan kecepatan aliran ekspirasi puncak (PEFR)

c) Pemeriksaan gas darah arteri

d) Pemeriksaan oksimetri

e) Pemeriksaan darah lengkap


16

f) Pemeriksaan sinar-X thorakPemeriksaan spesimen sputum

atau kultur tenggorok

b. Diagnosa keperawatan

Saat pengelolaan kasus pada pasien, ditemukan diagnosa keperawatan

ketidakefektifan bersihan jalan napas. Menurut NANDA-I 2012-2014

seperti yang dipaparkan oleh Herdman, ed. (2013 : 537), definisi,

batasan karakteristik, dan faktor yang berhubungan dengan diagnosa

tersebut adalah sebagai berikut :

1) Definisi

Ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi atau obstruksi dari

saluran napas untuk mempertahankan bersihan jalan napas.

2) Batasan karakteristik

a) Tidak ada batuk

b) Suara napas tambahan

c) Perubahan frekuensi napas

d) Perubahan irama napas

e) Cyanosis

f) Kesulitan berbicara/mengeluarkan suara

g) Penurunan bunyi napas

h) Dispnea

i) Sputum dalam jumlah yang berlebihan

j) Ortopnea

k) Gelisah

l) Mata terbuka lebar


17

3) Faktor yang berhubungan

a) Lingkungan

(1) Perokok pasif

(2) Menghisap asap

(3) Merokok

b) Obstruksi jalan napas

(1) Spasme jalan napas

(2) Mukus dalam jumlah berlebih

(3) Eksudat dalam alveoli

(4) Materi asing dalam jalan napas

(5) Adanya jalan napas buatan

(6) Sekresi yang tertahan/sisa sekresi

(7) Sekresi dalam bronki

c) Fisiologis

(1) Jalan napas alergik

(2) Asma

(3) Penyakit paru obstruksi kronis

(4) Hiperplasia dinding bronkial

(5) Infeksi

(6) Disfungsi neuromuskular

c. Perencanaan

Menurut Moorhead, et al., ed. (2008 : 581 dan 582), NOC untuk diagnosa

tersebut antara lain:

1) NOC

a) NOC I

Status respirasi : kepatenan jalan napas.


18

Definisi : Ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi atau

obstruksi dari saluran pernafasan untuk

mempertahankan kebersihan jalan nafas.

Indikator :

(1) Tidak tersedak

(2) Respiratory rate dalam batas normal

(3) Irama pernapasan dalam batas normal

(4) Sputum atau riak dapat keluar

(5) Tidak ada suara tambahan

b) NOC II

Status respirasi pertukaran gas

Definisi : Kelebihan atau defisit pada oksigen dan atau eliminasi

karbon dioksida pada membrane alveolar kapiler.

Indikator :

(1) Peningkatan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat

(2) AGD (analisa gas adarah) dalam batas normal

(3) Tidak ada cyanosis

(4) Tanda-tanda vital dalam batas normal

(5) Status neurologis dalam batas normal

Menurut Bulechek, Butcher, dan Dochterman, ed. (2008 : 121 dan

615), NIC untuk diagnosa tersebut antara lain:

2) NIC

a) NIC I

Manajemen jalan napas

Definisi : Memfasilitasi jalan nafas yang tepat.


19

(1) Buka jalan napas, bila perlu.

(2) Berikan oksigen sesuai terapi.

(3) Lakukan fisioterapi dada, jika perlu.

(4) Keluarkan sekret dengan batuk efektif atau suction.

(5) Auskultasikan suara napas, catat adanya suara napas

tambahan.

(6) Berikan bronkodilator, bila perlu.

(7) Monitor respirasi dan status oksigen.

(8) Catat pergerakan dada, amati kesimetrisan, penggunaan otot

tambahan, retraksi otot sopraclavicular dan intercosta.

(9) Berikan terapi nebulezer.

(10) Observasi cyanosis khususnya membran mukosa.

b) NIC II

Monitor Respirasi

Definisi : Mengumpulkan dan menganalisa data pasien untuk

meyakinkan kepatenan jalan napas dan pertukaran gas

yang adekuat.

(1) Monitor ritme dan kadalaman respirasi.

(2) Awasi pergerakan dada, lihat kesimetrisanya dan otot

tambahan.

(3) Monitor bunyi respirasi.

(4) Monitor pola pernapasan seperti bradipnea, tachipnea, dan

hiperventilasi.

(5) Palpasi ekspansi paru.

(6) Perkusi anterior dan posterior dada.


20

(7) Auskultasi bunyi pernapasan.

(8) Monitor kemampuan pasien untuk batuk efektif.

(9) Monitor sekret respirasi pasien.

(10) Buka jalan napas pasien.

B. Gangguan Oksigenasi pada Pasien Bronchopneumonia

1. Pengertian Bronchopneumonia

Bronchopneumonia merupakan peradangan pada parenkim paru

yang di sebabkan oleh bakteri, virus, jamur, atau pun benda asing yang

ditandai dengan gejala panas yang tinggi, gelisah, dispnea, napas cepat

dan dangkal, diare, serta batuk kering dan produktif (Hidayat, 2009 :

111).

Bronchopneumonia merupakan suatu peradangan paru yang

biasanya menyerang di bronkeoli terminal. Bronkeoli terminal tersumbat

oleh eksudat mokopurulen yang membentuk bercak-bercak konsolidasi

di lobuli yang berdekatan. Penyakit ini sering bersifat sekunder,

menyertai infeksi saluran pernapasan atas, demam infeksi yang spesifik

dan penyakit yang melemahkan daya tahan tubuh (Nurarif dan Kusuma,

2015 : 103).

2. Penyebab dan Faktor Resiko Bronchopneumonia

Menurut Nettiria, sebagaimana dikutip oleh Nurarif dan Kusuma

(2015 : 103), secara umum bronkopneumoni diakibatkan penurunan

mekanisme pertahanan tubuh terhadap virulensi organisme patogen.

Orang normal dan sehat mempunyai mekanisme pertahanan tubuh

terhadap organ pernapasan yang terdiri dari reflek glotis dan batuk,
21

adanya lapisan mukus, gerakan silia yang mengeluarkan kuman keluar

dari organ, dan sekresi humoral setempat.

Timbulnya bronchopneumonia disebabkan oleh virus, bakteri, jamur,

protozoa, mikrobakteri, mikoplasma, dan riketsia antara lain :

a. Bakteri : Streptococcus, Staphylococcus, H. Influenza, Klebsiell.

b. Virus : Legionella Pneumonia.

c. Jamur : Aspergillus Spesies, Candida Albicans.

d. Aspirasi makanan, sekresi orofaringeal atau isi lambung ke dalam

paru-paru

e. Terjadi karena kongesti paru yang lama

3. Patofisiologi Gangguan Oksigenasi pada Bronchopneumonia

Menurut Riyadi dan Sukarmin (2013 : 68), proses perjalanan

penyakit bakteri, jamur, dan virus masuk ke dalam jaringan paru-paru

melalui saluran pernapasan dari atas untuk mencapai bronkiolus dan

kemudian alveolus sekitarnya. Bagian alveoli yang terkena kuman dapat

menyebabkan kerusakan endotel kapiler alveoli, pada bagian yang

mengalami edema di alveoli dan menyebabkan konsolidasi yaitu terjadi

serbukan sel polimorfonuklear, fibrin, eritrosit, cairan udema dan

ditemukannya penurunan kapasitas paru yang mengakibatkan

ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi jaringan paru dan terjadinya

hipoksemia sehingga menyebabkan gangguan pertukaran gas.

Secara hematogen maupun langsung (lewat penyebaran sel)

mikroorganisme yang terdapat di dalam paru dapat menyebar ke

bronkus. Setelah terjadi fase peradangan lumen bronkus disebabkan sel

radang akut, terisi eksudat (nanah) dan sel epitel rusak. Bronkus dan
22

sekitarnya penuh dengan netrofil (bagian leukosit) yang banyak pada

saat awal peradangan dan bersifat fagositosis dan sedikit eksudat

fibrinosa. Bronkus rusak akan mengalami fibrosis dan pelebaran akibat

tumpukan nanah sehingga dapat timbul bronkiektasis. Selain itu

organisasi eksudat dapat terjadi karena absorpsi yang lambat. Eksudat

pada infeksi ini mula-mula encer dan keruh, mengandung banyak kuman

penyebab (streptokokus, virus, dan lain-lain). Selanjutnya eksudat

berubah menjadi purulen, dan menyebabkan sumbatan pada lumen

bronkus. Sumbatan tersebut dapat mengurangi asupan oksigen dari luar

sehingga penderita mengalami sesak nafas dan masalah bersihan jalan

napas.

Terdapatnya peradangan pada bronkus dan paru juga akan

mengakibatkan peningkatan produksi mukosa dan peningkatan gerakan

silia pada lumen bronkus sehingga timbul peningkatan refleks batuk.

Perjalanan patofisiologi di atas bisa berlangsung sebaliknya yaitu

didahului dulu dengan infeksi pada bronkus kemudian berkembang

menjadi infeksi pada paru-paru.


23

4. Pathway

Menurut Riyadi dan Sukarmin (2013 : 68), pathway untuk gangguan

oksigenasi pada bronkopneumoni adalah:

Bahan-bahan alergen
dan infeksius
(bakteri, virus dan
jamur)

Masuk melalui
saluran pernafasan
atas

Bronkiolus

Kuman terakumulasi Fase peradangan


di alveoli lumen bronkus

Terisi eksudat dan sel


Kerusakan endotel
epitel rusak
kapiler alveoli
24

Bronkus berisi
Edema di alveoli
neutrofil dan eksudat
fibrinosa

Konsolidasi pada
paru Eksudat infeksi
menjadi keruh dan
terdapat kuman
Penurunan kapasitas (virus, Streptokokus,
vital paru dll)

Ketidakseimbangan Purulen
ventilasi dan perfusi
jaringan paru
Sumbatan lumen
bronkus
Hipoksemia

Ketidakefektifan Akumulasi mukus di


Gangguan pertukaran
bersihan jalan napas bronkus
gas

5. Pemeriksaan Penunjang Bronchopneumonia

Menurut Padila (2013 : 284), pemeriksaan penunjang yang dapat

di lakukan yaitu cara:

a) Pemeriksan laboratorium

1) AGD (Analisa gas darah) : tidak normal mungkin terjadi,

tergantung pada luas paru yang terlibat dan penyakit paru yang

ada

2) JDL : leukositosis biasanya ada, meski sel darah merah putih

rendah terjadi pada infeksi virus, kondisi tekanan imun

memungkinkan berkembangnya pneumonia bakterial

3) LED : meningkat
25

4) Pemeriksaan serologi : titer virus atau legionella, aglutinin

dingin

5) Pemeriksaan kultur sputum darah/pemeriksaan gram : diambil

dengan jarum, aspirasi transtrakeal, bronkoskopifiberotik atau

biopsi pembukakan paru untuk mengatasi organisma penyebab

6) Pemeriksaan mikrobiologik : dapat di biakkan dari spesimen

usap tenggorokan, sekresi nasofaring, bilasan bronkus atau

sputum darah, aspirasi trakeal, fungsi pleura atau aspirasi paru

b) Pemeriksaan radiologi

Menurut Mansjoer yang dikutip oleh Riyadi dan Sukarmin (2013 :

74), pemeriksaan penunjang yang dapat di lakukan yaitu cara:

1) Pemeriksaan radiologis memberi gambaran bervariasi :

(a) Bercak konsolidasi merata pada bronkopneumonia

(b) Bercak konsolidasi atau lobus pada pneumonia lobaris

(c) Gambaran bronkopneumonia difusi atau infiltrat pada

pneumonia stafilokok

2) Pemeriksaan fungsi paru : volume mungkin menurun

(kongesti dan kolaps alveolar), tekanan jalan napas mungkin

meningkat dan komplain menurun, hipoksemia

Menurut Marcdante, et al., (2014 : 530), pemeriksaan penunjang yang

dapat di lakukan yaitu cara:

a) Pemeriksaan radiografi dari frontal dan lateral harus di lakukan

untuk mengetahui lokasi penyakit dan untuk memvisualisasi infiltrat

yang ada di balik jantung atau di lengkung diafragma. Pada

pneumoni terdapat gambaran radiologis yang khas, walaupun


26

terdapat tumpang tindih yang dapat menghalangi diagnostik definitif

melalui pemeriksaan radiologi saja

b) Pemeriksaan cairan pleura

Cairan pleura harus dibiakan untuk mendeteksi adanya bakteri,

mikobakterium, jamur dan virus. Apabila spesimen cairanyang di

dapat sangat purulen, maka evakuasi cairan tersebut akan

mengurangi toksisitas pasien

6. Prinsip Penatalaksanaan Bronchopneumonia

a) Penatalaksanaan farmakologis

Menurut Misnadiarly (2008 : 35), penatalaksanaan medis pada

bronkopneumonia bergantung pada penyebab, sesuai yang

ditentukan oleh pemeriksaan penunjang mencakup :

1) Oksigen 1-2 liter

2) IVFD dextrose 10%; NaCl 0,9% dengan perbandingan 3:1,

+KClL 10mEq/500ml cairan.

3) Berikan Antibiotik yang sesuai dengan hasil biakan atau

berikan:

(a) Untuk kasus bronkopneumonia community base:

(1) Ampicilin 100mg/kgBB/hari dalam 4 hari

pemberian.

(2) Chloramfenikol 75 mg/kgBB/hari dalam 4 kali

pemberian.

(b) Untuk kasus bronkopneumonia hospital base:

(1) Cefotaxim 100mg/kgBB/Hari dalam 2 kali

pemberian.
27

(2) Amikasin 10-15mg/kgBB/Hari dalam 2 kali

pemberian.

Menurut Muttaqin (2008 : 105), penatalaksanaan farmakologi

bronkopneumoni salah satunya yaitu dengan pemberian

bronkodilator seperti Aminofilin dapat diberikan untuk

memperbaiki drainase sekret dan distribusi ventilasi.

b) Penatalaksanaan non farmakologis

Menurut Misnadiarly (2008 : 35), penatalaksanaan non medis pada

bronkopneumonia bergantung pada penyebab, sesuai yang

ditentukan oleh pemeriksaan penunjang mencakup :

1) Jumlah cairan sesuai berat badan, kenaikan suhu, dan status

hidrasi

2) Jika sesak tidak terlalu berat maka dapat dimulai makanan

enteral bertahap melalui selang nasogastrik dengan feeding

drip.

3) Koreksi gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit

c) Penatalaksanaan gangguan oksigenasi pada bronkopneumonia

1) Penatalaksanaan farmakologis

Menurut Muttaqin (2008 : 105), penatalaksanaan

farmakologis gangguan oksigenasi pada bronkopneumonia

yaitu dengan pemberian O2 yang adekuat untuk menurunkan

perbedaan O2 di alveoli-arteri, dan mencegah hipoksia seluler.

Pemberian O2 sebaiknya dalam konsentrasi yang tidak beracun

(PO240) untuk mempertahankan PO2 arteri sekitar 60-70


28

mmHg dan juga penting mengawasi pemeriksaan analisa gas

darah.

Menurut Hidayat dan Uliyah (2015 : 21), penatalaksanaan

farmakologis gangguan oksigenasi pada bronkopneumonia

yaitu dengan terapi pemberian O2 0,5 l/menit, O2 diberikan

untuk mengatasi hipoksemia, menurunkan usaha untuk

bernapas, dan mengurangi kerja miokardium. Oksigen

diberikan pada anak yang menunjukkan gejala adanya tarikan

dinding dada (retraksi) bagian bawah yang dalam SpO2<

90%, frekuensi nafas 60x/menit atau lebih, merintih setiap

kali bernafas untuk bayi muda, dan adanya head nodding

(anggukan kepala). Pemberian O2 melalui nasal pronge yaitu

1 2 l/menit atau 0,5 l/menit untuk bayi muda. Pemberian O2

melalui kateter nasal yaitu 1 6 l/menit untuk memberikan

konsentrasi O2 24-44%. Pemberian O2 melalui sungkup biasa

yaitu 5-8 l/menit untuk memberikan konsentrasi oksigen 40-

60%. Serta pemberian O2 melalui sungkup reservoir yaitu 6-

10 l/menit untuk memberikan konsentrasi oksigen 60-99%.

2) Penatalaksanaan non farmakologis

Menurut Mubarak, Indrawati, dan Susanto (2015 : 191),

penatalaksanaan non farmakologis gangguan oksigenasi pada

bronkopneumonia yaitu dengan fisioterapi dada terdiri dari

tindakan perkusi dan vibrasi. Tindakan perkusi ini bertujuan

melepaskan sumbatan sekret pada dinding bronkus, sementara

tindakan vibrasi ini bertujuan untuk meningkatkan turbulensi


29

udara yang di hembuskan sehingga sekret terlepas dari

dinding bronkus.

Anda mungkin juga menyukai