celah jendela kamarku. Seolah membangunkan jiwa para manusia untuk bangkit dan maju. Berbeda denganku, meski pagi telah menyapa aku masih saja rebahan manja bertemankan bantal guling andalanku. Tubuhku terasa sangat lengket di kasur berdominan biru muda kesayanganku. Ku lirik jam dinding di sudut kamar. Jarum jam telah menunjukkan pukul 6 pagi, dan aku enggan untuk beranjak mandi. Ya, ini adalah hari pertamaku menjalani liburan akhir semester. Rasanya, aku ingin menumpahkan seluruh rasa penatku selama sekolah. Lega rasanya bisa terbebas dari tumpukan tugas sekolah yang selalu mengikatku. Tiba-tiba, ponselku berdering, menandakan ada pesan yang masuk. Ku raih benda tipis itu dan mulai membukanya. Ternyata sudah banyak pesan yang berasal dari grub kelas. Padahal, hari masih pagi dan mereka sibuk meramaikan grub chat dengan obrolan tak jelas. Tak terasa, sudah dua jam lebih aku berkutat dengan ponsel pintarku dan aku belum juga beranjak dari kasur. Maklum lah, anak millennial sepertiku memang sangat malas beraktivitas, apalagi di hari libur. Tiba-tiba, terdengar suara ibu yang meneriakiku dari luar kamar. Aku hanya memutar bola mataku malas, enggan untuk menyahuti. Tak lama, ibu memasuki kamarku tanpa aba-aba. “Astaghfirullahal’adzim, Sitii! Kamu belum mandi juga dari tadi!,” bentak ibu sambil berkacak pinggang. “Bukannya bantuin ibu, malah main handphone mulu,” lanjutnya. “Gak papa kali bu, sekarang kan masih libur,” elakku yang enggan mengalihkan pandanganku dari ponsel pintar yang ku otak-atik. “Gak papa gimana, kerjaan rumah itu banyak, bantuin ibu kek sesekali. Jangan buang waktu terus,” ujar ibu dengan tampang kesal. “Ibu gak ngerti banget sih, aku tuh sekarang lagi libur. Pengen santai sebentar karena terbebas dari tugas-tugas sekolah. Ini malah disuruh bantu bantu!,” bantahku pada ibu. “Ya sudah, kalo gak mau ya jangan marah. Ibu cuma mau kamu jadi anak yang mandiri. Sekarang, kamu mandi dulu sana. Anak cewek kok susah banget di suruh mandi,” ujar ibuku seraya merapikan tempat tidurku yang acak-acakan itu. Dengan langkah gontai, aku beranjak dari kasur dan menyambar handuk yang tergeletak di belakang pintu. Sembari aku mandi, ibu mulai membersihkan kamarku yang bak kapal pecah itu. Selesai mandi, aku bergegas menuju meja makan karena perutku mulai keroncongan. Aku pun mulai membuka tudung saji. Raut muka yang tadinya semangat, kini berubah lesu. Aku pun menutupnya kembali. Sayur asem lagi, sayur asem lagi, batinku. Seketika, nafsu makanku hilang dan aku memutuskan untuk menonton tv saja. Ibu yang melihatku murung langsung menghampiriku. “Kenapa nak? Kok tidak jadi makan?,” kata ibu. “Bosen, bu. Kemarin sayur asem, sekarang sayur asem lagi. Lauknya hanya tempe telor juga. Males, ah,” ujarku malas. “Ya sudah, ibu goreng ayam dulu ya, setelah itu ibu suapin kamu biar kamu mau makan,” kata ibu seraya pergi ke dapur. Memang, aku adalah anak yang tergolong susah makan dan cukup keras kepala. Tak salah, jika ibuku mungkin kerepotan untuk mengurusku. Tapi, ibuku tak pernah menunjukkan rasa letih dan penatnya kepadaku. Ia terlihat sangat tegar dan sabar mengurusku yang sangat rewel. Apalagi, hampir setiap pagi sebelum berangkat sekolah, ibu selalu menyempatkan waktu untuk menyuapiku sembari aku bersiap-siap ke sekolah. Jika tidak, aku akan terlambat ke datang sekolah. Keesokan harinya…